You are on page 1of 10

2013

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA & ILMU PENGETAHUAN ALAM

TUGAS KIMIA MEDISINAL


INTERAKSI OBAT-RESEPTOR (Potensiasi, Efikasi, Afinitas)

[TYPE THE DOCUMENT TITLE]


[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents of the document. Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents of the document.]

INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

Beberapa obat dapat menghasilkan efek setelah berikatan dengan komponen organisme yang spesifik. komponen organisme yang spesifik tersebut merupakan suatu protein yang terikat dalam membran sel. Komponen spesifik tersebut ialah Reseptor. Reseptor obat yang paling dikenal adalah protein-protein regulator, yang menjadi perantara senyawa-senyawa kimia endogen, seperti neurotransmitter, autokoid, dan hormon. Jenis-jenis protein lainnya yang telah diidentifikasi sebagai reseptor obat juga mencakup enzim-enzim, yang dapat dihambat (atau kadangkadang diaktifkan) setelah terikat dengan suatu obat (misalnya, dihidrofolat reduktase, reseptor obat antineopliastik methotrexate), protein transport (misalnya, Na+/K+ APTase, reseptor, membran digitalis glikosida kardioaktif), dan protein struktural (misalnya tubulin, reseptor kolkisin, obat antiinflamasi. Reseptor obat merupakan suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus fungsional atau atom-atom terorganisasi, relative secara kimia dan bersifat spesifik, dapat berinteraksi secara reversible dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional spesifik, menghasilkan respon biologis yang spesifik pula. Untuk dapat berinteraksi dengan reseptor spesifik molekul obat harus mempunyai faktor sterik dan distribusi muatan yang spesifik pula. Interaksi suatu obat dengan sisi aktif reseptor tergantung pada kesesuaian dari dua molekul tersebut. Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap yaitu: a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik. Interaksi ini memerlukan afinitas. b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein sehingga timbul respons biologis. Interaksi obat reseptor ini memerlukan efikasi (aktivitas intrinsik). Efikasi merupakan kemampuan obat untuk memngbah bentuk konformasi makromolekul protein sehingga dapat menimbulkan respons biologis. Interaksi obat-reseptor dapat membentuk kompleks obat-reseptor yang merangsang timbulnya respons biologis, baik respons agonis maupun antagonis.

Gambar: Interaksi Obat-Reseptor

Jaringan ringan tubuh hanya mempunyai sedikit respons pada saat terpapar dengan agonis (misalnya, kontraksi otot, sekresi kelenjar) dan hubungan kuantitatif antara respons-respons fisiologis ini dengan menggunakan bioassay. Bagian pertama pada interaksi obat-reseptor. Potensiasi, Afinitas, Efikasi Afinitas merupakan ukuran seberapa kuat suatu obat untuk berikatan dengan reseptornya. Afinitas ditandai dengan konstanta disosiasi keseimbangan (KD) yang merupakan rasio konstanta kecepatan untuk reaksi balik (k-1) dan reaksi maju (k+1) antara obat dan reseptor. Kebalikan dari KD disebut konstanta afinitas (KA), dan (pada keadaan tidak adanya simpanan reseptor) adalah konsentrasi obat yang menghasilkan 50% respons maksimum. Efikasi merupakan kemampuan agonis untuk mengubah konformasi reseptor dengan cara yang dapat menimbulkan respons dalam system. Hal ini didefenisikan sebagai afinitas kompleks agonis-reseptor terhadap transduser. Aktivitas Intrinsik dinotasikan sebagai yang merupakan besaran efek per unit kompleks obat-reseptor. Terdapat suatu senyawa yang menghasilkan efek Agonis, Antagonis, dan Agonis

parsial. Agonis mempunyai harga = 1, Antagonis mempunyai harga = 0, sedangkan untuk Agonis parsial mempunyai harga 1< < 0. Untuk Agonis parsial mempunyai harga tersebut karena terdapat suatu senyawa atau obat yang memiliki aksi Agonis maupun Antagonis, Jadi aktivitas berdasarkan agonis parsial tidak akan menghasilkan efek maksimum. Agonis memiliki afinitas (aviditas meningkat) untuk reseptor dan mengubah protein reseptor sedemikian rupa untuk menghasilkan stimulus yang memunculkan perubahan fungsi sel: "aktivitas intrinsik". Efek biologis agonis, yaitu, perubahan fungsi biologis sel, tergantung pada efisiensi langkah transduksi sinyal dimulai saat reseptor diaktifkan. Beberapa agonis mencapai efek maksimal bahkan ketika obat hanya menempati sebagian kecil dari reseptor. Jadi efek obat tergantung dari banyak obat yang menduduki reseptor. Antagonis kompetitif tidak mempunyai efikasi intrinsik dan tidak mempunyai suatu bagian reseptor, antagonis ini secara efektif menyebabkan dilusi konsentrasi reseptor. Oleh karena antagonis irreversible mempunyai efek melepaskan reseptor dari system, maka tidak semua reseptor perlu ditempati untuk menimbulkan respons maksimum (simpanan reseptor). Syarat agonis dapat menimbulkan respon: Afinitas Kemampuan obat untuk berinteraksi dengan reseptornya. Parameter: pD2 = log (1/[D]maks/2 = - log ([D] maks/2 = log (1/KD) Ukuran kemampuan agonis untuk berinteraksi membentuk kompleks dengan suatu reseptor. Nilai pD2 bermakna: afinitas semakin besar dan sensitivitas reseptor terhadap obat juga semakin besar. Aktivitas Intrinsik/Efikasi Kemapuan suatu obat untuk menghasilkan efek untuk atau respon jaringan. Tujuannya: untuk menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh suatu senyawa. Efek maksimum merupakan efek dalam skal respon mekasimum jaringan.

Mekanisme interaksi molekul obat-reseptor

Potensiasi dan Efisiasi pada Agonis

Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktitivas intrinsiknya. Sehingga perubahan kecil dalam molekul obat. Misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar pada sifat farmakologinya. Banyak obat yang termasuk campuran rasemat, termasuk -bloker, agen nonsteroid antiinflamasi, dan anti kolenergik (seperti benetimide). Sebuah rasemat terdiri dari molekul dan atom kiral. Molekul kiral mengalami enansiomer. Enansiomer rasemat dapat menghasilkan efek farmakokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda-beda.

Mekanisme timbulnya respons biologis terdapat pada beberapa teori interaksi obat-reseptor. Beberapa teori interaksi obat-reseptor, antara lain: teori klasik, teori pendudukan, teori kecepatan, teori kesesuaian terimbas, teori gangguan

makromolekul, teori pendudukan-aktivasi, konsep kurir kedua, serta teori mekanisme dan farmakofor sebagai dasar rancangan obat. A. Teori Klasik Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Crum, Brown dan Fraser (1869) Langley (1878), dan Ehrlich (1907) yang merupakan pakar-pakar yang mengemukakan teori klasik maka dapat disimpulkan bahwa Respons biologis timbul bila ada interaksi antara tempat atau struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asng yang sesuai atau obat, dan satu sama lain merupakan struktur yang saling mengisi. Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat.

B. Teori Pendudukan Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks. Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk kompleks obat-reseptor. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi antagonis. Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat merupakan: 1. Rangsangan aktivitas (efek agonis) 2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis) Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap, yaitu: 1. Pembentukan kompleks obat-reseptor 2. Menghasilkan respons biologis Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor. Afinitas O+R O+R O+R C. Teori Kecepatan Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor. Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan kecepatan ikatan obat-reseptor didudukinya. dan bukan dari jumlah reseptor yang Efikasi Kompleks O-R O-R O-R Respons biologis

Respons (+) : Senyawa agonis Respons (-) : Senyawa antagonis

Asosiasi O+R

Disosiasi Kompleks O-R Respons biologis

Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat mengikat reseptor besar dan disosiasi yang besar. Senyawa dikatakn antagonis bila mempunyai kecepatan asosiasi sangat besar sedang disosiasi nya sangat kecil. Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal. D. Teori Kesesuaian Terimbas Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat menginduksi terjadinya perubahan konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan orientasi gugus-gugus aktif enzim. (E) + (S) Kompleks E-S Respons biologis

E. Teori Ganguan Makromolekul Belleau (1964), memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori gangguan makromolekul. Menurut Belleau, interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul protein (reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor sebagai berikut: 1. Gangguan konformasi spesifik (Specific Conformational Perturbation = SCP) 2. Gangguan konformasi tidak spesifik (Non Specific Conformational Perturbation = NSCP. Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis. Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek pemblokan. Pada teori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada proses pengikatan obat-reseptor.

F. Teori Pendudukan-Aktivasi Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979), mengemukakan teori pendudukan-aktivasi dari model dua keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara dua keadaan yang berbeda fungsinya, yaitu: 1. Bentuk teraktifkan (R*) : dapat menunjang efek biologis 2. Bentuk istirahat (R) : tidak dapat menunjang efek biologis Agonis R Antagonis G. Konsep Kurir Kedua Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan sistem adenil siklase. Sebagai contoh katekolamin, glukagon, hormon paratiroid, serotonin dan histamin telah menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar siklik-AMP dalam intrasel, tergantung pada hambatan atau rangsangan adenil siklase. Bila rangsangan tersebut meningkatkan kadar siklik-AMP, hormon dianggap sebagai kurir pertama (first messenger), sedang siklik-AMP sebagai kurir kedua (second messenger). H. Teori Mekanisme dan Farmakofor sebagai dasar Rancangan Obat Teori mekanisme dan farmakofor sebagai dasar rancangan obat dapat diilustrasikan oleh obat antihipertensi penghambat kompetitif enzim pengubah angiotensin (Angiotensin-converting enzyme = ACE). R*

DAFTAR PUSTAKA Katzung, Bertram G, 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik, EGC, Jakarta. Neal, Michael J, 2002, At a Glance Farmakologi Medis, Erlangga, Jakarta. Soekarjo, Bambang, dan Siswandono, 2008, Kimia Medisinal, Airlangga University Press, Surabaya. Ziegler, Albrecht, et.al, 2000, Color Atlas of Pharmacology, Thieme Stuttgart, New York.

You might also like