You are on page 1of 7

Artikel 1

PENDIDIKAN POLITIK, PARPOL DAN PEMILU 2009

(Josef Christofel Nalenan)

Kampanye untuk Pemilu Legislatif yang akan berlangsung pada tanggal 9 April 2009 telah
dimulai sejak hari Sabtu tanggal 12 Juli 2008. Kampanye ini diikuti oleh 34 Parpol peserta
Pemilu 2009. Kampanye yang dimulai 9 bulan sebelum hari pemilihan ini diharapkan oleh
berbagai pihak termasuk oleh pihak KPU dijadikan ajang oleh pihak Parpol, tidak hanya untuk
melakukan sosialisasi tapi juga untuk melakukan pendidikan poltik kepada masyarakat. Bisakah
harapan untuk melakukan pendidikan politik yang bertujuan agar Pemilu 2009 bisa berlangsung
dengan damai dan menghasilkan para wakil rakyat dan pemimpin yang absah dan berkualitas itu
dibebankan kepada Parpol belaka. Pengalaman demokrasi Indonesia yang sudah berjalan lebih
dari 10 tahun menyatakan bahwa pekerjaan maha besar tersebut yaitu melakukan pendidikan
politik yang masif kepada masyarakat Indonesia tidak bisa diserahkan hanya kepada Parpol saja.

Dalam sebuah diskusi yang diadakan Indonesian Research and Development Institute (IRDI)
sekitar dua bulan yang lalu berkaitan dengan launching survey popularitas calon Presiden,
penulis mengusulkan agar pendidikan politik dilakukan oleh semua pihak termasuk oleh lembaga
penelitian. Namun usul penulis ini diprotes oleh profesor Riset Syamsuddin Haris dari LIPI, dia
berargumen jika tugas pendidikan politik adalah tugas dari Parpol semata dan oleh karena itu
harus dibebankan kepadanya. Penulis sendiri sangat insyaf mengenai salah satu tugas parpol
tersebut yang memang ada hampir di seluruh buku pengantar ilmu politik yang ada baik yang
dibuat oleh pengarang luar negeri maupun dalam negeri.Tetapi harus disadari bahwa Parpol di
Indonesia sudah sedari dulu tidak menjalankan fungsi-fungsinya seperti yang ditekankan oleh
para ahli politik, seperti melakukan pendidikan politik, komunikasi politik dan penengah konflik;
parpol di Indonesia hanya berperan sebagai alat pencari dan mengakumulasi kekuasaan belaka,
oleh karena itu walau saat ini Parpol sudah diharuskan oleh Undang-undang No.2 Tahun 2008
tentang Parpol untuk melaksanakan pendidikan politik tetap saja penulis pesimis, Parpol akan
menjalankan tugasnya untuk melakukan pendidikan politik dengan baik.

Oleh karena itu bagi penulis keadaan di Indonesia saat ini adalah keadaan yang tidak normal
atau Force Major, sehingga tugas melakukan pendidikan politik tidak bisa diserahkan hanya
kepada Parpol namun juga dilakukan oleh aktor lain. Siapakah aktor tersebut ? Jawaban untuk
pertanyaan ini saya kira sangatlah mudah, sejak 10 tahun lalu, demokrasi di Indonesia bertahan
bukan karena kekuatan Parpol, tetapi karena kinerja Civil Society yang bekerja tanpa henti
terutama di tingkatan akar rumput dalam menyebarkan nilai-nilai demokrasi. Civil Society lebih
efektif dalam melakukan pendidikan politik dikarenakan Civil Society tidak mengharapkan
kekuasaan sementara Parpol di Indonesia setiap kerjanya ditujukan untuk memperoleh
kekuasaan.

Yang termasuk civil society dalam hal ini adalah LSM, media, Ormas, termasuk juga
lembaga penelitian dan lembaga pemantau independen. Kelompok civil society ini lah yang
memiliki hak dan tanggung jawab dalam melakukan pendidikan politik menjelang
berlangsungnya pemilu 2009.

Penulis masih teringat ketika dulu pada tahun 1980-an ketika itu lembaga penelitian LP3ES
yang dimotori oleh Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae dan lain-lain, berusaha
melakukan pendidikan politik kepada masyarakat yang berada di bawah kekuasaan rezim otoriter
orde baru, saat itu parpol tidak bisa diharapkan karena dikooptasi oleh rezim. Usaha itu cukup
berhasil, Majalah Prisma sebagai media LP3ES melakukan pendidikan politik laku keras di
masyarakat dan menjadi bacaan wajib tidak hanya oleh para aktivis dan akademisi di kampus
tapi juga sampai para pedagang asongan, yang membaca Prisma untuk menemaninya berjualan.

Saat ini kondisinya hampir sama, bedanya jika dulu parpol dikooptasi rezim saat ini parpol
dikooptasi oleh elite politik yang membajak parpol untuk menjadi alat memperoleh kekuasaan.

Penulis optimis jika dilakukan dengan masif dan pendekatan yang tepat, maka pendidikan
politik yang dilakukan oleh civil society akan berhasil dan bisa mendorong pelembagaan
demokrasi yang kokoh di Indonesia. Berdasarkan pengalaman Jaringan Pendidikan Pemilih
untuk Rakyat (JPPR) pendekatan dialog adalah cara yang cukup efektif dalam melakukkan
pendidikan politik. Untuk pemilu 2009 dialog-dialog dengan warga harus dilakukan secara
massal khususnya di tingkat desa di seluruh Indonesia, setiap desa bisa membuat komunitas-
komunitas dialog yang beranggotakan sekitar 30-50 orang. Pengorganisasian komunitas-
komunitas dialog ini dilakukan oleh kelompok civil society dengan bekerjasama dengan tokoh
maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan tingkat desa. Dengan dialog-dialog yang intensif
maka rakyat akan semakin terdidik dan mengetahui dengan baik nilai-nilai demokrasi, di mana
masyarakat bukan hanya mengenal demokrasi yang prosedural tetapi juga demokrasi yang
substansial.
Artikel 2

Membebaskan Dunia Pendidikan dari “Virus” Politik


Sawali Tuhusetya

Pemilihan Presiden (Pilpres) memang baru akan berlangsung 2009 nanti. Namun, denyutnya
sudah kita rasakan mulai sekarang. Para calon presiden (Capres) mulai “tabur pesona” dengan
menjaga komunikasi seramah dan seefektif mungkin. Sebisa-bisanya membangun citra dan imaji
positif di tengah-tengah publik untuk meraih simpati. Sikap kritis terhadap kepemimpinan RI I
pun kian gencar dilakukan. Yang pasti, para Capres mulai ancang-ancang dan memasang strategi
untuk menjerat rival politiknya sekaligus merangkul berbagai kelompok dan organisasi untuk
membangun citra positif secara kolektif.

Dunia pendidikan dan dunia politik memang merupakan khazanah yang berbeda. Hakikat
pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia secara utuh dan paripurna, sedangkan dunia
politik sangat erat kaitannya dengan proses bertindak dan mekanisme kebijakan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan visi dan platform perjuangannya. Untuk mencapai
tujuan, para politikus tidak jarang menempuh langkah dengan menghalalkan segala macam cara.
Kawan bisa jadi lawan, lawan pun bisa menjadi kawan. Tidak heran apabila publik sering dibuat
tercengang oleh ulah para elite politik yang suka berubah-ubah pendirian.

Lantas, apa hubungan realitas politik dan dunia pendidikan kita? Secara langsung tidak ada
memang. Namun, jika kita becermin pada sejarah, dunia pendidikan kita (nyaris) tak pernah bisa
steril dari “virus” politik. Pada masa Orde Baru (Orba), misalnya, dunia pendidikan kita
diletakkan oleh rezim penguasa dalam “rumah kaca” sehingga seluruh gerak-gerik para pelaku
dan praktisi pendidikan bisa dengan mudah dikontrol dan diawasi. Mereka yang tidak sejalan
dengan kehendak politik penguasa, dihambat kariernya, bahkan tidak segan-segan disingkirkan.

Doktrin Golkar menjadi “lagu wajib” yang harus dinyanyikan oleh para guru menjelang pemilu.
Dunia pendidikan harus menghamba pada ambisi penguasa. Otak dan akal budi para murid
diseragamkan lewat penataran P4 atau buku-buku sejarah yang “menyesatkan”.

Kini, realitas politik kontemporer Indonesia tidak hanya bertumpu pada satu kekuatan seperti
pada era Orba, ketika Golkar menjadi sebuah kekuatan hegemonik dengan aktor tunggalnya,
Presiden Soeharto, tetapi sudah menyebar ke berbagai lini dan kekuatan politik. Puluhan partai
dengan aktor-aktor politiknya yang berbeda karakter bermunculan dan saling berlomba untuk
meraih simpati rakyat.

Yang kita khawatirkan, dunia pendidikan kita tidak mampu membendung arus dukung-
mendukung pada sebuah kekuatan politik tertentu yang terus dihembuskan oleh para politikus.
Fenomena semacam itu ditengarai sudah mulai muncul di perguruan tinggi, entah dengan cara
terselubung atau terang-terangan. Gerakan moral reformasi yang dulu gencar diperjuangkan para
mahasiswa –sehingga sukses menggulung rezim Orba dari panggung kekuasaan– dinilai banyak
kalangan hanya tinggal retorika, bahkan sudah mulai dicemari oleh limbah politik keberpihakan,
terpecah-pecah ke dalam berbagai kubu. Bentrokan antarmahasiswa yang berselisih paham pun
tak jarang terjadi.

Bukan tidak mungkin para politikus yang berkantong tebal akan “melebarkan sayap”-nya, masuk
ke lembaga pendidikan menengah (SMA/SMK/MA dan yang sederajat) dengan kompensasi-
kompensasi tertentu agar mendukung kebijakan-kebijakan politiknya. Hal itu sangat beralasan,
sebab para pelajar yang rata-rata masih polos, murni, dan awam politik, bisa menjadi media
strategis untuk menaikkan posisi tawar politik dan membangun opini publik jika mereka
diturunkan di jalan-jalan. Jika itu terjadi, lawan politik mereka tentu tidak akan tinggal diam, dan
tidak mustahil akan membalasnya dengan aksi serupa. Kalau kondisi semacam itu benar-benar
terjadi, quo-vadis dunia pendidikan kita?

Namun, mudah-mudahan kekhawatiran semacam itu tidak terjadi. Kita berharap para elite politik
masih menyisakan hati nurani untuk tidak menyeret dan membentur-benturkan para pelajar kita –
yang sedang gencar memburu identitas diri– ke tengah-tengah pertarungan dan konflik politik.

Sudah saatnya dunia pendidikan kita terbebas dari “virus” politik. Berikan kemerdekaan kepada
dunia pendidikan untuk menentukan dunianya sendiri. Biarlah wilayah politik menjadi panggung
permainan para politikus dengan segala akting, ulah, dan alur konflik yang mereka bangun
sendiri. Meskipun demikian, tidak lantas berarti bahwa pendidikan politik mejadi “haram”
diajarkan dalam dunia pendidikan (baca: sekolah) kita. Justru yang penting dan mendesak untuk
segera dipikirkan adalah upaya memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada para
siswa didik, sehingga pada gilirannya kelak mereka mampu menggunakan hak dan kewajiban
politiknya secara benar, cerdas, arif, elegan, dan ksatria.

Pola indoktrinasi dan penyeragaman yang berlandas tumpu pada proses “pencucian otak” dan
pembodohan politik peserta didik dengan meabukan perbedaan pendapat, kemerdekaan berpikir
dan berserikat, serta berprakarsa, seperti yang pernah dipraktikkan rezim Orba, hendaknya segera
dibuang jauh-kauh. Peserta didik justru harus dikondisikan untuk mulai terbiasa mengapresiasi
sikap berbeda pendapat di tengah pluralisme budaya.

Mereka harus disediakan ruang dan mimbar akademis yang cukup untuk belajar memahami dan
mendalami berbagai persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya dalam suasana dan
atmosfer pendidikan yang terbuka, dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Persoalan
ini menjadi penting dipersoalkan sebab sistem pendidikan kita dinlai belum mampu memberikan
landasan yang kuat kepada anak-anak negeri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa.
Mayoritas generasi muda kita, bahkan tidak mendapatkan bekal yang memadai dari sekolah
tempat mereka menuntut ilmu mengenai persoalan-persoalan yang sedang dihadapi bersama.

Sekolah dinilai belum mampu memberikan landasan historis yang kuat kepada generasi muda.
Anak-anak kita tidak mempunyai bayangan mengenai akar-akar sejarah dari berbagai persoalan
yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Akibatnya, setelah terjun di tengah-tengah masyarakat
bagaikan “rusa masuk kampung”, gagap dan asing dengan lingkungannya sendiri. Pernah
membaca puisi WS. Rendra “Sajak Seonggok Jagung”? Coba kita camkan sejenak kutipan
berikut ini!
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“Di sini aku merasa asing dan sepi !”

Ya, sebuah parodi terhadap sistem dunia pendidikan kita yang hanya membentuk generasi
“robot”; hanya taat komando dan tak tahu harus berbuat apa ketika remote-kontrol dilepas.

Disadari atau tidak, sistem pendidikan kita semacam itu sebenarnya merupakan imbas dari
kebijakan penguasa yang “memberhalakan” pembangunan ekonomi, sehingga gagal memberikan
pendidikan politik yang mencerahkan bagi peserta didik. Selama belajar di bangku pendidikan,
para pelajar kita “dibutakan” dari berbagai persoalan yang dihadapi bangsanya. Mereka hanya
dicetak untuk menjadi “penghamba” rezim penguasa yang korup dan otoriter.

Agar terhindar dari stigma semacam itu, dunia pendidikan kita harus benar-benar mampu
mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai –termasuk nilai politik– secara utuh
dan holistik kepada peserta didik sehingga kelak mereka memiliki kepekaan terhadap persoalan
yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Kalau harus terjun ke dunia politik, mereka mampu
bermain simpatik, amanah, jujur, benar-benar memikirkan kepentingan bangsa, tidak sikut-
sikutan dalam memburu ambisi dan gengsi kekuasaan melalui tindakan dan manuver yang vulgar
dan tidak populer. Nah, bagaimana

Artilel 3

Domestikasi Arah Politik Pendidikan (hari sucahyo)


Adalah seorang Paulo Freire yang mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin
dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat
menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Namun apa jadinya bila dunia
pendidikan banyak terkontaminasi urusan politik ? tentu saja tergantung bagaimana para pelaku
politik itu menyikapi pendidikan. apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju
dengan memiliki sumberdaya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif ? atau
justru penuh pretensi yang muaranya adalah pada vested interest, pementingan diri sendiri dan
kelompok ?

Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan bila mencermati pelaksanaan politik
pendidikan yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Pada masa perjuangan kemerdekaan,
dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses
pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai kehadiran pemimpin-
pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka merebut bangsa ini
dari tangan penjajah. Mereka adalah pemimpin politik yang dapat dipandang sebagai model yang
pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan
resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula Ki
Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana
namun begitu dalam filosofinya : Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut
Wuri Handayani. Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang
mengawasi.

Sebaliknya pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik


yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak
berasyik masyuk dengan kepentingan kelompok,karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi
amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya.
Dalam pandangan mereka dunia pendidikan tidak menjanjikan segi finansial apapun, non issue,
sesuatu hal yang mudah, yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian
diketepikan, digeser ke pinggir. Hal ini bisa dilihat dari animo partai politik terhadap posisi-
posisi politis. pada umumnya untuk kementerian Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, atau
BUMN yang selalu diperebutkan dengan sengit, sedangkan kementerian Pendidikan dianggap
poisisi kering, sehingga klop kalau dikategorikan sebagai pelengkap atau hiburan yang boleh
diambil siapa pun yang berminat.

Maka tidak mengherankan bila dalama periode tersebut bahkan hingga sekarang dunia
pendidikan mengalami krisis. salah urus, begitu kata-kata yang tepat terhadap dunia pendidikan

kita. Bagaimana tidak, selama lebih dari 32 tahun Orde Baru plus 6 tahun Orde Reformasi,
persoalan pendidikan tak beranjak dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya
pendidikan, saran-prasarana, evaluasi akhir, dan masalah-masalah yang sesungguhnya sejak awal
telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh substansi yang
sebenarnya.

Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan
akademik maupun otonomi sekolah dan kampus serta keilmuan pada kenyataannya tak lebih dari
sekedar slogan-slogan kosong atau janji-janji politik manis saja. Sangat mudah diucapkan,
namun susah dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik.
seperti dikatakan David N. Plank dan William Lowe Boyd ( 1994 ) dalam Antipolitics,
Education, and Institutional Choise : The Flight From Democracy, bahwasanya antara
pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi
dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis
mereka, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan
menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, lewat tangan para pakar pendidikan.
Namun realitanya berbicara lain; justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena
kepentingan politiklah yang dominan bermain, baik itu dari para pekerja politik, politisi,
pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.

Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka
secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam
sebagai akibat penjinakan ( domestikasi ) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin
diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam
arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami
hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor
pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka
hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak
mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas
selama mungkin ( menyitir ucapan Tantowi Yahya dalam Who Wants to be Millioner )

Meskipun begitu kita tetap percaya dibawah Kabinet Indonesia Bersatu ( KIB ) masih akan
ditemukan politisi-politisi, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif yang mengutamakan hati
nuraninya dalam berpikir, berbicara, dan memutuskan segala sesuatu. Hanya saja kita jangan
menjadi over expectation bila mereka harus berhadapan dengan sistem. Sebaliknya dari kalangan
pendidik saatnya untuk mencoba menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan
harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum
pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih
leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu
bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti
melakukan perbuatan tercela. Paling tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan
kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu
mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan
mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini,
harus dimaklumi; namun ke depan,ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata
kehidupan ekonomi dan politik.

Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang
tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan
suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak
jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan
mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.

You might also like