Professional Documents
Culture Documents
MISTERI
PENURUNAN ANGKA
KEMISKINAN DI
Awalil Rizky
INDONESIA Nasyith Majidi
www.brightindonesia.com
This Analysis Brief is part of the BRIGHT Indonesia research © 2009 BRIGHT Indonesia .
brief series. It present policy‐oriented summaries of All rights reserved. No part
individual published, peer review documents or of body of of this publication may be
published work. BRIGHT Indonesia is a private institute used or reproduced in any
manner whatsoever without
devoted to independent & non‐partisan economic research. permission in writing from
We provide high quality research analysis and BRIGHT Indonesia except in
recommendations for decision makers on the full range of the case of brief quotations
challenges facing and increasingly interdependent world. Our embodied in critical articles
innovative policy solutions to inform the public discussions.
and reviews.
Cover: Anton & Berty
Analysis Brief | 2
EXECUTIF SUMMARY
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta,
dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009.
Sedangkan angka kemiskinan, turun dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen.
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata‐rata pengeluaran
per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Selain dibedakan atas dasar
perdesaan dan perkotaan, dalam prakteknya, penghitungan GK dibedakan pula
untuk masing‐masing propinsi. GK nasional sebesar Rp.200.262 per kapita per
bulan pada Maret 2009 adalah bersifat indikatif, bukan untuk menjadi ukuran
praktis seseorang tergolong miskin atau tidak. Penentuannya adalah dengan
angka GK pada provinsi dan wilayah perdesaan atau perkotaan di mana penduduk
bersangkutan berdomisili.
Selama periode Maret 2008‐Maret 2009, GK naik sebesar 9,65 persen.
Kecenderungan GK untuk naik secara signifikan juga terjadi pada tahun‐tahun
sebelumnya, Sebagaimana yang dikatakan BPS, salah satu penyebab utama dari
perubahannya adalah kenaikan harga‐harga (inflasi).
Perubahan GK setiap tahunnya terlihat lebih tinggi daripada angka inflasi
umum. Mengingat perhitungan GK oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS,
maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga‐harga yang dialami (dikonsumsi) oleh
penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata‐rata
oleh seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum
memperlihatkan pola tertentu.
Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah
penduduk, selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi.
Hal ini kerap dianggap mencerminkan perbaikan tingkat pendapatan masyarakat
dalam suatu negara. Jika pertumbuhan PDB per kapita cukup tinggi dan jauh
melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka bisa diharapkan jumlah penduduk
miskin akan berkurang secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata‐rata
penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata‐rata pengeluarannya,
sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data tahun 2005‐2009
tidak mendukung sepenuhnya atas penalaran semacam ini.
Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan
pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara
kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan
ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.
Analysis Brief | 3
Analysis Brief | 4
PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA 2005‐2009
Setiap awal Juli selama beberapa tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS)
mengumumkan profil kemiskinan di Indonesia untuk keadaan bulan Maret pada
tahun bersangkutan. Data terakhir yang dipublikasikan adalah pada tanggal 1 Juli
lalu, seminggu sebelum Pemilihan Presiden diselenggarakan. Oleh karena
Pemerintahan Presiden SBY‐JK mulai bekerja pada akhir 2004, maka Analysis Brief
BRIGHT Indonesia ini akan menggambarkan perkembangan soal kemiskinan
dengan data dari Maret 2005 sampai dengan Maret 2009.
A. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Kemiskinan Menurun
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta,
dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009.
Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 15,97
persen menjadi 14,15 persen.
Grafik 1 Jumlah Penduduk Miskin (juta)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2005 2006 2007 2008 2009
25
20
15
10
0
2005 2006 2007 2008 2009
Analysis Brief | 6
makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di
perdesaan.
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata‐rata pengeluaran
per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Dengan demikian, besar kecilnya
jumlah penduduk miskin setiap tahun sangat dipengaruhi oleh perkembangan
garis tersebut.
Selain dibedakan atas dasar perdesaan dan perkotaan, dalam prakteknya,
penghitungan GK dibedakan pula untuk masing‐masing propinsi. GK nasional
sebesar Rp.200.262 per kapita per bulan pada Maret 2009 adalah bersifat
indikatif, bukan untuk menjadi ukuran praktis seseorang tergolong miskin atau
tidak. Penentuannya adalah dengan angka GK pada provinsi dan wilayah
perdesaan atau perkotaan di mana penduduk bersangkutan berdomisili.
Setiap tahun BPS melakukan penyesuaian terhadap garis kemiskinannya.
Sebab utamanya adalah perubahan harga (inflasi), namun kadang juga oleh
perubahan pola konsumsi masyarakat. Sumber data utama yang dipakai untuk
menghitung tingkat kemiskinan tahun 2009 adalah data SUSENAS (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2009. Jumlah sampel
sebesar 68.000 RT dimaksudkan supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai
tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD
(Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan
proporsi dari pengeluaran masing‐masing komoditi pokok bukan makanan.
Tabel 1 Perkembangan Garis Kemiskinan BPS (Rp per kapita per bulan)
2005 2006 2007 2008 2009
Kota 150 799 174 290 187 942 204 896 222 123
Desa 117 259 130 584 146 837 161 831 179 835
Kota+Desa 129 108 151 997 166 697 182 636 200 262
Sumber: BPS, diolah
Garis kemiskinan (GK) secara nasional pada Maret 2009 adalah Rp200.262
per kapita per bulan. GK pada tahun‐tahun sebelumnya adalah : Rp129.108
(2005), Rp151.997 (2006) Rp166.697 (2007), dan Rp182.636 (2008). Tabel 1 juga
memperlihatkan perkembangan GK secara nasional untuk daerah perkotaan dan
perdesaan dalam beberapa tahun terakhir.
Perkembangan GK memperlihatkan bahwa peranan komoditi makanan
jauh lebih besar dibandingkan komoditi bukan makanan, seperti : perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan (lihat tabel 2). Perkembangan porsi GKM
terhadap GK adalah : 70,54 persen (2005), 75,08 persen (2006), 74,38 persen
(2007), 74,07 persen (2008), 73,57 persen (2009).
Analysis Brief | 7
Tabel 4 Perkembangan Garis Kemiskinan
2005 2006 2007 2008 2009
Kota: Makanan 103 992 126 163 132 259 143 897 155 909
Kota: Bukan Makanan 46 807 48 127 55 683 60 999 66 214
Desa: Makanan 84 014 102 907 116 265 127 207 139 331
Desa: Bukan Makanan 33 245 27 677 30 572 34 624 40 503
Kota+Desa: Makanan 91 072 114 125 123 993 135 270 147 339
Kota+Desa: Bukan 38 036 37 872 42 704 47 366 52 923
Makanan
Sumber: BPS, diolah
Porsi GKM terhadap GK di daerah perdesaan cenderung lebih besar
daripada di perkotaan. Perkembangannya di perdesaan adalah: 71,64 persen
(2005), 78,80 persen (2006), 79,18 persen (2007), 78,60 persen (2008), 77,48
persen (2009). Sedangkan di perkotaan adalah : 68,96 persen (2005), 72,39 persen
(2006), 70,37 persen (2007), 70,23 persen (2008), 70,19 persen (2009).
C. Perkembangan Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan
BPS dalam empat tahun terakhir publikasinya mengemukakan pula tingkat
kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Ada indeks Kedalaman Kemiskinan
(Poverty Gap Index) yang merupakan ukuran rata‐rata kesenjangan pengeluaran
masing‐masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai
indeks, yang biasa ditulis sebagai P1, semakin jauh rata‐rata pengeluaran
penduduk dari Garis Kemiskinan. Ada indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty
Severity Index) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, yang biasa ditulis sebagai
P2, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Pada periode Maret 2008‐Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. P1
turun dari 2,77 pada keadaan Maret 2008 menjadi 2,50 pada keadaan Maret 2009.
Penurunan P1 terjadi secara konsisten selama beberapa tahun terakhir, dan
dengan laju yang hampir sama di perdesaan dan di perkotaan (lihat tabel 3).
Penurunan nilai P1 diartikan oleh BPS sebagai mengindikasikan rata‐rata
pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan.
Tabel 3 Indeks kedalaman Kemiskinan (P1)
2006 2007 2008 2009
Kota 2,61 2,15 2,07 1,91
Desa 4,22 3,78 3,42 3,05
Kota+Desa 3,43 2,99 2,77 2,50
Sumber: BPS
Pada periode Maret 2008‐Maret 2009, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
juga menunjukkan kecenderungan menurun, dari 0,76 menjadi 0,68. Penurunan
Analysis Brief | 8
P2 terjadi secara konsisten selama beberapa tahun terakhir, dan dengan laju yang
hampir sama di perdesaan dan di perkotaan (lihat tabel 4). Penurunan nilai P2
mengindikasikan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin
menyempit.
Tabel 4 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
2006 2007 2008 2009
Kota 0,77 0,57 0,56 0,52
Desa 1,22 1,09 0,95 0,82
Kota+Desa 1,00 0,84 0,76 0,68
Sumber: BPS
D. Beberapa Analisis Tambahan
Perkembangan Garis Kemiskinan dan Inflasi
Selama periode Maret 2008‐Maret 2009, garis kemiskinan (GK) naik
sebesar 9,65 persen. Selama dua tahun sebelumnya, GK juga naik dengan
persentase yang hampir setara. Kenaikan yang lebih besar terjadi pada Maret
2006 terhadap Maret 2005. Sebagaimana yang dikatakan BPS, salah satu
penyebab utama dari perubahannya adalah kenaikan harga‐harga (inflasi).
Oleh karena itu, perkembangan GK dapat diperbandingkan dengan inflasi
untuk periode yang sama. Angka inflasi yang dipakai adalah dari indeks harga
konsumen (IHK) bersifat tahunan (yoy), untuk kondisi Maret tahun bersangkutan
dibanding Maret tahun sebelumnya. Selain inflasi umum (seluruh barang), tabel 5
juga memperlihatkan kenaikan harga untuk kelompok bahan makanan dan
kelompok makanan jadi.
Perubahan GK setiap tahunnya terlihat lebih tinggi daripada angka inflasi
umum. Mengingat perhitungan GK oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS,
maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga‐harga yang dialami (dikonsumsi) oleh
penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata‐rata oleh
seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum
memperlihatkan pola tertentu. Sebagai contoh, ketika inflasi umum naik dari 6,52
persen (2007) menjadi 8,17 persen (2008), laju kenaikan GK justeru melambat dari
9,67 persen menjadi 9,56 persen (lihat tabel 5).
Tabel 5 Perkembangan Garis Kemiskinan dan Inflasi
2005 2006 2007 2008 2009
Garis Kemiskinan (Rp per kapita per bulan) 129 108 151.997 166 697 182 636 200 262
Perubahan dari tahun sebelumnya (persen) ‐ 17,73 9,67 9,56 9,65
Inflasi umum yoy Maret‐Maret (persen) 8,81 15,74 6,52 8,17 7,92
Inflasi bahan Makanan yoy Maret‐Maret (persen) 8,1 17,13 11,97 13,61 11,03
Inflasi makanan jadi yoy Maret‐Maret (persen) 6,45 12,82 6,05 8,63 10,79
Sumber: BPS, diolah
Analysis Brief | 9
Jika dikaitkan dengan informasi BPS bahwa GK lebih banyak ditentukan
oleh kebutuhan makanan, maka inflasi kelompok bahan makanan dan makanan
jadi perlu diperhatikan secara tersendiri. Tampak kecenderungan kenaikan bahan
makanan selalu lebih tinggi daripada inflasi umum (kecuali tahun 2006 yang relatif
setara), dan dengan sendirinya lebih tinggi daripada laju kenaikan garis
kemiskinan. Dalam hal ini, kenaikan bahan makanan yang dialami oleh penduduk
miskin cenderung lebih ringan dibanding oleh keseluruhan penduduk. Tentu saja
untuk menarik kesimpulan yang lebih jauh diperlukan pengamatan berbagai
barang secara lebih terinci. Sedangkan untuk kaitan antara GK dengan laju inflasi
kelompok makanan jadi, polanya tampak masih kurang beraturan untuk data yang
tersedia pada tabel. Khusus untuk Maret 2009, kenaikan harga kelompok makanan
jadi masih lebih tinggi dari kenaikan GK.
Perkembangan Garis Kemiskinan, PDB per kapita dan Pertumbuhan
Ekonomi
Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir
yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu
(satu tahun). Barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia sendiri terdiri dari
jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, industri
pengolahan, dan dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi
rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat
korporasi. Macam jasa pun demikian, mulai dari jasa pedagang kecil sampai
dengan jasa konsultan keuangan bagi korporasi. Praktis, perhitungannya hanya
dimungkinkan melalui penyamaan satuan hitungnya, yaitu mata uang.
Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa
yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari‐hari adalah dibeli oleh siapa saja.
Sebagai catatan, ada sebagian yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari
sudut pandang pihak pembeli, nilai yang dibayarnya adalah pengeluaran, sehingga
PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Secara
otomatis tercermin sisi lainnya, yakni sebagai penghasilan total dari setiap orang.
Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran
seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian.
Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi
internasional.
Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah
penduduk, kerap dianggap mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat dalam
suatu negara. PDB per kapita Indonesia selalu mengalami pertumbuhan dengan
persentase yang cukup tinggi, pada tahun 2008 naik 23,56 persen dibanding tahun
2007 (lihat tabel 8). Patut dicermati bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita ini
jauh lebih tinggi daripada kenaikan garis kemiskinan. Sebagai contoh, laju
pertumbuhan PDB per kapita 2008 (terhadap 2007) dibandingkan dengan
kenaikan garis kemiskinan Maret 2008‐Maret 2009. Perbedaan diantara keduanya
cukup signifikan, dan cendrung demikian setiap tahunnya.
Analysis Brief | 10
Jika pertumbuhan PDB per kapita cukup tinggi dan jauh melampaui
kenaikan garis kemiskinan, maka bisa diharapkan jumlah penduduk miskin akan
berkurang secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata‐rata penduduk
semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata‐rata pengeluarannya, sehingga
mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data dalam tabel 6 tidak
mendukung sepenuhnya atas penalaran semacam ini. Kurang terlihat adanya pola
hubungan yang kuat.
Tabel 6 Perkembangan Garis Kemiskinan dan PDB per kapita
2005 2006 2007 2008 2009
Garis Kemiskinan disetahunkan (Rpribu) 1.549 1.824 2.000 2.192 2.403
Perubahan dari tahun sebelumnya (persen) ‐ 17,73 9,67 9,56 9,65
PDB per kapita (Rpribu) 12.675 15.029 17.545 21.679 ‐
Laju PDB perkapita (persen) 18,57 18,57 16,74 23,56 ‐
Pertumbuhan ekonomi (persen) 5,68 5,48 6,35 6,06 ‐
Kenaikan (Penurunan) Penduduk Miskin (juta) (1,50) 4,20 (2,13) (2,21) (2,43)
Sumber: BPS, diolah
Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan
pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara
kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan
ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.
Masih terkait dengan itu adalah hubungan antara penurunan jumlah
penduduk miskin dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah
perubahan PDB riil suatu tahun terhadap tahun sebelumnya. PDB riil diartikan PDB
yang telah dibersihkan dari komponen kenaikan harga‐harga (inflasi). Berbagai
wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu
merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di
Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi.
Penjelasan dan penalaran ilmiah tentang hal tersebut memang sangat
masuk akal, jika kita melihat definisi pertumbuhan ekonomi atau PDB di atas. Akan
tetapi untuk periode 2005‐2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan
pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat. Kadang, pada
saat pertumbuhan ekonomi tetap terjadi meskipun dalam laju yang moderat,
jumlah penduduk miskin justeru bertambah. Dilain waktu, laju pertumbuhan
ekonomi yang sedikit melambat seperti pada tahun lalu justeru mampu
mengurangi lebih banyak penduduk miskin.
Penjelasannya mungkin harus diteliti pada sektor dan subsektor apa saja
yang tumbuh lebih cepat dan seberapa kaitannya dengan pendapatan kaum
miskin. Wajar pula jika banyak pihak menduga penurunan jumlah dan angka
kemiskinan selama dua tahun terakhir lebih karena kebijakan populis program
kemiskinan secara langsung daripada akibat pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
banyak disebut soal kontribusi besar dari relatif rendahnya kenaikan harga‐harga,
khususnya yang terkait langsung dengan garis kemiskinan.
Analysis Brief | 11
E. Penutup
Ada beberapa kritik dari berbagai pihak atas garis kemiskinan versi BPS.
Salah satu sebabnya adalah karena BPS kurang transparan menjelaskan
metodologi yang digunakan untuk mengolah data menjadi garis kemiskinan. Ada
yang mengatakan bahwa meski seorang peneliti punya seluruh set data yang
dibutuhkan menghitung garis kemiskinan, hampir dipastikan dia akan kesulitan
untuk mereplikasi angka kemiskinan yang diterbitkan BPS. Sebagai contoh, istilah
yang digunakan BPS adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic needs), tetapi
tidak pernah ada penjelasan memadai. Baik penjelasan teknis maupun non‐teknis,
makna dari istilah “pendekatan kebutuhan dasar”. Untuk yang teknis, mestinya
harus disertakan source code yang dipakai oleh program statistik BPS (sekaligus
modifikasi‐modifikasi non‐programming yang dilakukan BPS), agar bisa diuji
validitas analisis statistiknya dengan replikasi. BPS sebaiknya lebih transparan lagi
agar para peneliti bisa mengkritisi asumsi yang digunakan sekaligus melakukan
koreksi bila perlu. Jika hal ini dilakukan, maka rumor buruk tentang independensi
BPS bisa dieliminasi.
Aspek kedalaman dan keparahan sebenarnya tidak terpisahkan dari aspek
ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia dicurigai terdapat pada keadaan
antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang
dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang
menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa
tahun terakhir. Penelitian lebih lanjut, termasuk dengan pendekatan pendapatan
(bukan hanya pengeluaran), diperlukan agar kebijakan yang lebih efektif dapat
direkomendasikan.
Sedangkan ketimpangan antar daerah, terutama antar provinsi dan
kabupaten, masih memperlihatkan persoalan yang perlu ditangani secara lebih
serius. Sebagai contoh, pada periode Maret 2008‐2009, ketika jumlah penduduk
dan persentase penduduk miskin secara nasional menurun. Ada tiga provinsi yang
justeru mengalami kenaikan, yaitu: Gorontalo, Papua dan Papua Barat. Selain itu,
beberapa propinsi memiliki angka (persentase) kemiskinan yang jauh di atas rata‐
rata nasional yang sebesar 14,15%. Selain ketiga propinsi tadi, adalah : Nangroe
Aceh Darusalam, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
Lampung. Kedelapan propinsi itu memiliki angka kemiskinan yang lebih dari 20
persen. Bahkan, Papua mencapai 37,53 persen dan Papua Barat mencapai 35,71
persen. Sementara itu, hanya terdapat 3,62 persen penduduk miskin di DKI
Jakarta.
Ketimpangan juga tidak cukup dilihat dari angka‐angka, yang sekadar
mencerminkan ketimpangan absolut. Masih ada soal ketimpangan relatif yang
lebih bersifat psikologis, namun tidak kalah pentingnya karena amat berpengaruh
dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh, analisa ketimpangan
yang memperhitungkan faktor sosial dan psikologis, maka perkotaan mungkin
akan dinilai lebih buruk. Berdasar data, angka kemiskinan di perkotaan cenderung
lebih baik daripada di pedesaan, dan ketimpangan absolut di sebagian kota
Analysis Brief | 12
membaik secara signifikan. Namun, kaum miskin kota melihat secara langsung
kehidupan penduduk kaya. Keadaan kekurangannya lebih terasa karena melihat
gaya hidup sebagian penduduk lainnya yang justeru amat berlebihan.
Bagaimanapun, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan berhasil
diturunkan selama era Pemerintahan SBY‐JK. Kelompok penduduk termiskin
secara umum mengalami perbaikan, diindikasikan oleh semakin mendekatnya
mereka dengan garis kemiskinan. Sejalan dengan itu, ketimpangan antar
penduduk miskin juga berkurang atau membaik. Selain karena relatif
terkendalinya inflasi, diperkirakan berbagai kebijakan anti kemiskinan memang
memperlihatkan hasil yang cukup memadai.
Permasalahan yang masih menonjol adalah masih rentannya mereka yang
tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi
dan atau melemahnya kemampuan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan
populis anti kemiskinan semisal BLT dan PNPM. Begitu pula dengan mereka yang
masih miskin bisa dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari
garis kemiskinan.
Selain mempertahankan dan memperbaiki kebijakan kemiskinan yang ada,
fokus kebijakan berikut menurut BRIGHT adalah meningkatkan kualitas
pertumbuhan ekonomi. Yang perlu segera didorong adalah sektor‐sektor yang
terkait langsung dengan kebanyakan pendudukan miskin dan nyaris miskin,
semisal pertanian rakyat dan industri kecil. Pada akhirnya, kemampuan
berproduksi dan memperoleh pendapatan secara berkesinambungan akan lebih
bisa diandalkan daripada program Pemerintah yang bersifat charity semata.
Analysis Brief | 13