Professional Documents
Culture Documents
Karya: Sutardji Calzoum Bachri Di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi memetik bulan di puncak mereka oleng tapi mereka bilang --kami takkan karam dalam lautan bulan-mereka nyanyi nyai jatuh dan mendaki lagi di puncak gunung mabuk mereke berhasil memetik bulan
mereka mneyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka di puncak semuanya diam dan tersimpan.
Dua mata hitam adalah matahati yang biru dua mata hitam sangat kenal bahasa rindu. Rindu bukanlah milik perempuan melulu dan keduanya sama tahu, dan keduanya tanpa malu. Dua mata hitam terbenam di daging yang wangi kecantikan tanpa sutra, tanpa pelangi. Dua mata hitam adalah rumah yang temaram secangkir kopi sore hari dan kenangan yang terpendam.
Aku berada kembali. Banyak yang asing: air mengalir tukar warna,kapal kapal, elang-elang serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain; rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain. Hanya Kelengangan tinggal tetap saja. Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan; lebih lengang pula ketika berada antara yang mengharap dan yang melepas. Telinga kiri masih terpaling ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh 1949
Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Dari bentangan langit yang semu Ia, kemarau itu, datang kepadamu Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan ! datang kepadamu, Ia, kemarau itu dari Tuhan, yang senantia diam dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
1997
Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan Selamat tinggal perjuangan Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata Lanjutkan Perjuangan.
Dalam kereta api Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky Namun kata-katamu kudengar Mengatasi derak-derik deresi.
Kulempar pandang ke luar: Sawah-sawah dan gunung-gunung Lalu sajak-sajak tumbuh Dari setiap bulir peluh Para petani yang terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi. Kutahu kau pun tahu Hidup terumbang-ambing antara langit dan bumi Adam terlempar dari surga Lalu kian kemari mencari Hawa.
Tidakkah telah menjadi takdir penyair Mengetuk pintu demi pintu Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati Yang tak mau Menyerah pada situasi?
Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar. Dalam kereta api Kubaca puisi: turihan-turihan hati Yang dengan jari-jari besi sang Waktu Menentukan langkah-langkah Takdir: Menjulur Ke ruang mimpi yang kuatur sia-sia.
Aku tahu. Kau pun tahu. Dalam puisi Semuanya jelas dan pasti.
1968
Pergi ke dunia luas, anakku sayang pergi ke hidup bebas ! Selama angin masih angin buritan dan matahari pagi menyinar daun-daunan dalam rimba dan padang hijau. Pergi ke laut lepas, anakku sayang pergi ke alam bebas ! Selama hari belum petang dan warna senja belum kemerah-merahan menutup pintu waktu lampau. Jika bayang telah pudar dan elang laut pulang kesarang angin bertiup ke benua Tiang-tiang akan kering sendiri dan nakhoda sudah tahu pedoman boleh engkau datang padaku ! Kembali pulang, anakku sayang kembali ke balik malam !
Jika kapalmu telah rapat ke tepi Kita akan bercerita Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.
Seekor penyu pulang ke laut Setelah meletakkan telurnya di pantai Malam ini kubenamkan butir-butir Puisiku di pantai hatimu Sebentar lagi aku akan balik ke laut.
Puisiku telur-telur penyu itumungkin bakal menetas menjadi tukik-tukik perkasa yang berenang beribu mil jauhnya Mungkin juga mati Pecah, terinjak begitu saja
Misalnya sebutir telur penyu menetas di pantai hatimu tukik kecilku juga kembali ke laut Seperti penyair mudik ke sumber matahari melalui desa dan kota, gunung dan hutan yang menghabiskan usianya
Kalau ombak menyambutku kembali Akan kusebut namamu pantai kasih Tempat kutanamkan kata-kata yang dulu melahirkan aku bergenerasi yang lalu
Betul, suatu hari penyu itu tak pernah datang lagi ke pantai sebab ia tak bisa lagi bertelur Ia hanya berenang dan menyelam menuju laut bertemu langit di cakrawala abadi
Jakarta, 2003
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku dan ibulah yang meletakkan aku di sini saat bunga kembang menyemerbak bau sayang ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
bila kasihmu ibarat samudera sempit lautan teduh tempatku mandi, mencuci lumut pada diri tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala sesekali datang padaku menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku.