You are on page 1of 22

Antara Idealisme dan Elektabilitas (Bayyanat untuk Jama'ah Tarbiyah UGM Part 1)

January 12, 2014 at 8:28pm

Ada dua hal yang ingin aku tekankan pada tulisanku kali ini; Di part 1 akan diuraikan sikap dan pandanganku terhadap Jama'ah tarbiyah kampus dan PKS. Di part 2 klarifikasi tentang dinamika musyawarah akbar partai bunderan dan pemira tahun 2013. Tulisan ini sebagai sebuah bayyanat terhadap berbagai macam prasangka yang berkembang pasca peristiwa musyawarah tersebut. Semoga dengan tulisan ini kita saling mengukuhkan kembali ber- wa tawaashobil haqq dan wa tawaa shoubi shobr. Izinkan Kami Menegakkan sebuah Prinsip! Ketika gerakan mahasiswa dilumpuhkan dengan pragmatisme dan transaksional politik yang telah terjadi, siapakah yang menjadi tangkup perubahannya?. Jujur saja, perihal inilah yang telah menyandera kekuatan mahasiswa saat ini. Kalimat diatas-lah yang sekiranya selalu terngiang-ngiang dalam diri ini. Kalau memang ingin menjadi kaya raya secara instan, cukuplah kita menjadi manusia tanpa idealisme yang mengejar jabatan di berbagai macam gerakan mahasiswa maupun Serikat Pekerja lalu menjual gerakan tersebut pada penguasa, pengusaha, broker politik, atau pun mafia proyek, mungkin kita akan kaya raya dengan seketika. Mengapa? karena gerakan-gerakan tersebut memiliki eskalasi massa yang begitu banyak. Atas dasar instruksi, mereka bisa merubah massa yang tadinya melawan, bisa jadi terdiam ataupun mengubah isu sesuai dengan keinginan pihak yang membayarnya. Sejarah selalu berulang, kematian gerakan mahasiswa di zaman Orde Baru maupun Orde Lama pun banyak yang tersandra dengan sikap yang seperti ini. Buat sebagian orang, aksi massa bisa dibuat pesanan dan tergantung mengambil paket yang harganya berapa. Disinilah mahasiswa yang rindu akan eksistensi ekonomi-politik melalui kekuasaan mulai bermunculan dimana-mana. Betapa tanpa adanya sikap independensi yang teguh, tidak adanya kontrol sosial yang ketat dalam pergerakan, maka yang terjadi adalah gerakan kita akan mudah diperjual belikan oleh sebagian pihak. Cukuplah kiranya sejarah negeri ini menjadi pelajaran yang berarti betapa aktivis mahasiswa pernah menjadi lumpuh ketika idealisme telah hilang diantara mereka. Dalam orasi ia berkata kita harus namun dibalik itu semua, secara sadar ia melanggarnya. Untuk apa berpandai-pandai mengasah retorika jika ujung-ujungnya tidak komitmen terhadap pernyataan kita sendiri. Antara Aktivis Dakwah Kampus dan PKS Izinkan aku berpikir tentang semua ini. Bukan berarti aku anti-pati terhadap politik praktis, melainkan ada waktunya yang tepat dimana kita harus berpolitik praktis, dan adanya waktu dimana kita harus menanam idealisme diri. Dinatara kami mungkin ada yang bertanya,

bagaimana hubungan anda selaku bagian dari Jamaah tarbiyah dengan PKS? Maka dengan tegas akan aku jawab; ketika kalian ingin menjawab antara syari dan tidak syari, maka saya katakan bahwa alasan berpolitik PKS adalah syari. Bahkan, cara PKS membangun basis kekuatan politik ditubuh mahasiswa pun juga termasuk dalam kategori s yari. Mungkin kita akan bertanya-tanya, apakah dengan begitu kita harus menjadi agen politik PKS dikampus, atau menginfiltrasikan agenda politik 2014 PKS kedalam agenda setting gerakan mahasiswa hari ini karena sudah sesuai dengan syariat? Maka yang harus aku jawab selanjutnya adalah; benar, tapi tidak tepat. Berbicara tentang masuknya agenda politik PKS kedalam aktivisme kampus bukan hanya berbicara tentang syari atau tidak syari, melainkan juga kita sedang berbicara tentang konsisten atau tidak konsisten, tepat atau tidak tepat. Selama ini kita terlampau sering berbicara tentang Gerakan Mahasiswa harus independen, Gerakan Mahasiswa harus menjauh dari setting agenda politik praktis itulah wacana yang berkembang ketika kita berlembaga di gerakan mahasiswa. Bagiku, perihal tersebut adalah benar adanya. Fasilitas intelegensia maupun dinamika politik kampus adalah medium pembelajaran kita untuk mempelajari dan mencari solusi berbagai macam persoalan negeri ini. Kemandirian dalam bersikap maupun dalam berpijak menjadi penting agar kita tidak bergantung kepada siapa pun, ketika suatu hari nanti diantara kita memimpin negeri ini. Ketika ia salah, ia adalah suatu hal yang wajar. Karena dengan kesalahan itulah akhirnya kita belajar tentang bagaimana cara menyelesaikan suatu permasalahan dengan benar. Bimbingan adalah cara kita berguru dan berkonsultasi untuk menyelesaikan permasalahan, namun yang menelurkan ide dan yang bertindak untuk menyelesaikannya adalah kita sendiri. Hal ini tentunya berbeda dengan intervensi, dimana ide sudah terbentuk oleh pihak tertentu, tugas kita hanyalah tinggal menjalankannya. Yang terjadi saat ini adalah, sebagaian aktivis tarbiyah kampus terkesan terlalu mudah mengalami intervensi dan skenario politik yang dilakukan oleh elite atas nama partai dan jamaah terhadap sebagian aktivis tarbiyah kampus itu sendiri. Secara kuantitas dan pergumulan massa pemilih, mungkin ia sangat menguntungkan elektabilitas PKS, namun secara pembentukan kualitas kader, sikap intervensionis yang terlalu sering seperti ini justru terjadi pengeroposan terhadap kualitas kader di masa depan itu sendiri. Karena pasalnya kekuatankekuatan kader sebagai determinan sangat sedikit diberikan ruang dalam pembelajaran pengambilan sebuah keputusan, karena sifat sakralitas ketergantungan kader terhadap elite jamaah, seakan telah melumpuhkan pengembangan potensi kader untuk terlibat aktif dan mempelajari lebih jauh tentang pengambilan sebuah keputusan yang bersifat strategis. Jika ini yang terjadi, maka kita akan sulit untuk mempelajari negeri ini dalam menjawab tantangantantangan masa depan dan selalu menunggu menengadahkan keputusan. Hal ini juga diperkuat dari prilaku kita dalam berlembaga yang masih cenderung telat dalam menanggapi seuatu permasalahan dan cenderung mempertahankan cara-cara lama yang seharusnya mulai melakukan transformasi karena dinamika realita yang ada. Atau dengan kata lain, saat ini kita baru hanya menjadi kader, namun belum diarahkan seutuhnya untuk menjadi agen dimasa mendatang. Maksudku adalah; jika kita berpikir jangka panjang tentang kualitas Jamaah dimasa depan, prilaku intervensi politik PKS terhadap kadernya di kampus hari ini adalah boomerang bagi Jamaah itu sendiri. Bahkan yang terjadi saat ini adalah; syndrom memenangkan

kekuasaaan dan cara bersiasat politik praktis di tingkat kampus seakan jauh lebih bernilai harganya ketimbang menekankan setiap kader untuk menjadi bagian dari intelektual muslim yang mampu menghasilkan karya perjuangan yang sesungguhnya.[1] Untuk menjadi itu semua butuh pengorbanan waktu yang panjang untuk membaca, butuh banyaknya menuntut ilmu dan pengabdian terhadap umat dalam menjawab tantangan-tantangan umat dihadapannya. Perihal inilah yang jauh lebih penting untuk dikedepankan lebih jauh. Maka yang harus dilakukan oleh Jamaah adalah memandirikan kadernya ditingkat kampus secara independen dalam rangka menajamkan idealisme dan pengembangan potensi diri yang lebih matang untuk dipersiapkan menjawab berbagai macam tantangan dan menciptakan karya yang bermanfaat dimasa depan. Biarkan kader Jamaah tarbiyah dikampus hari ini benar-benar independen dari intervensi politik PKS dan benar-benar memegang ruh perjuangannya yang menolak politik praktis masuk kampus. Perihal tersebut sebagai sebuah pelajaran. Karena dengan begitulah, kita menjaga konsistensi untuk menjadikan kampus sebagai tempat yang steril untuk pembelajaran dan lebih mengedepankan nilai-nilai pengabdian dan perjuangan rakyat ketimbang pengakumulasian elektoral. Bahkan, seharusnya kader Jamaah tarbiyah kampus berfungsi menjadi social control terhadap partai politik apa pun, sebagai sebuah bukti tanda penyemaian idealisme itu sendiri. Dengan begitulah, setidaknya kedepan Jamaah tarbiyah mampu melahirkan kader-kader tangguh yang paradigma berpikirnya sejak awal sudah terbiasa dengan mengedepankan risalah perjuangan, mereka yang mengenal permasalahan masyarakat dan menjadi kader-kader yang lebih mementingkan kepentingan umat ketimbang hanya memikirkan kepentingan golongan, terlebih lagi hanya memikirkan demi kepentingan dirinya ansich. Sehingga, ketika pasca kampus mereka menjadi orang-orang yang militan, tangguh, dan kuat untuk selalu berorientasi kebermanfaatan bagi orang banyak. Mereka menjadi politisi ataupun menjadi ahli di bidang apa pun, adalah mereka yang matang dan mengetahui apa yang selama ini menjadi penderitaan masyarakat. Sehingga ruh perjuangan itu hidup, tidak hanya dengan berorientasi pada pergumulan elektabilitas semata. Cara Kita Memaknai al-jamaah hiya al-hizb Mungkin, yang akan menjadi permasalahan selanjutnya adalah ketika kita bertemu pada sebuah adagium al-jamaah hiya al-hizb, wa al-hizb huwa al-jamaah atau dengan kata lain; ketika kita menjadi bagian dari Jamaah tarbiyah, maka sudah sejatinya kita menjadi kader partai. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa adagium seperti itu muncul? Maka yang harus kita pelajari selanjutnya adalah konteks sejarah sebelum memasuki masa reformasi. Arif Munandar menyatakan; memasuki tahun 1997, dalam rencana awal Jamaah Tarbiyah mencetuskan bahwa mereka akan memasukki mihwar muasasi dengan terjunnya ke dalam politik parlementer sebagai bentuk perjuangan Islahul Hukumah (perbaikan Pemerintahan) pada tahun 2010. Karena itu rencana tersebut dinamakan Visi 2010. Namun kemudian terjadilah Reformasi 1998 yang melengserkan Soeharto dan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, dan membuka peluang mendirikan partai politik dengan azas yang beragam, termasuk azas Islam. Dengan diambilnya keputusan mendirikan Partai Keadilan tahun 1998, artinya mihwar muassasi mengalami percepatan 12 tahun, dari semula dicanangkan akan memasuki mihwar tersebut pada tahun 2010.

Ketika mengalami percepatan selama 12 tahun itulah, maka timbul sebuah konsekuensi logis dimana Jamaah tarbiyah bukan hanya berbicara tentang percepatan memasuki ranah politik, melainkan juga memperhitungkan kekuatan massa pemilih dalam membangun elektabilitas. Pada tahun 1998 Arif Munandar mengambarkan; ketika pertama kali terjun ke politik pada tahun 1998 jumlah kader Jamaah Tarbiyah mencapai 33 ribu orang, 3 ribu di antaranya adalah Anggota Inti. Dari jumlah 33 ribu orang, maka Jamaah tarbiyah harus berfikir strategis tentang bagaimana dari jumlah kader yang masih puluhan ribu ini mampu mempengaruhi ratusan juta penduduk Indonesia untuk memilih PK (sebelum menjadi PKS) pada masa itu? Disinilah letaknya, kemunculan adagium tersebut harus dipahami bahwa al-jamaah hiya al-hizb wa al- hizb huwa al-jamaah adalah sebuah strategi yang dipilih pada masa itu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sapto Waluyo dalam Kebangkitan Politik Dakwah: Konsep dan Praktik Politik Partai Keadilan Sejahtera dimasa Transisi pun juga mengafirmasi bahwa kala itu ijtihad menyatukan Jamaah dengan partai sebagai satu kesatuan identitas adalah sebuah ijtihad politik yang menekankan bahwa setiap identitas status kader sebagai jamaah yang bekerja diberbagai bidang seperti; pendidikan, pekerja sosial, dll juga harus menjadi simbol bagi identitas partai yang mampu menggait pemilih. Dengan kata lain, setiap individu dalam Jamaah dari berbagai kalangan juga harus dituntut bertumpu menjadi bagian dari pegiat partai politik karena jumlah massa yang masih minim. Oleh karena itu, sebagaimana penafsiran terhadap adagium tersebut dapat dipahami bahwa; al-jamaah hiya al-hizb wa al- hizb huwa al-jamaah bukanlah suatu hal yang bersifat tsawabit atau-pun mutlak. Melainkan harus dimaknai sebagai sebuah strategi dalam berpolitik, yang dalam pemaknaan asas-nya tetap harus dibedakan diantara keduanya dengan sebuah pemahaman bahwa partai adalah wajihah yang bersifat mutaghoyyirot tidaklah sama pemaknaannya dengan jamaah yang bersifat tsawabit. Penyatuan diantara keduanya bukanlah suatu hal yang permanen dan diantara keduanya tidak berada dalam posisi yang equal, melainkan jamaah harus dimaknai berada di atas partai itu sendiri. Dengan begitu, jamaah dapat berfungsi sebagai social control dan checks and balances terhadap kinerja partai serta memberikan ruang bagi setiap kader untuk mengkritisi kinerja partai itu sendiri. Perihal tersebut dapat diperkuat dengan prosentase Jamaah itu sendiri. Arif Munandar menyatakan; pada tahun 2004, jumlah kader Jamaah Tarbiyah mengalami pertumbuhan mencapai 400 ribu orang. Dalam Sensus tahun 2009, jumlah kader Jamaah Tarbiyah membengkak menjadi lebih dari 800 ribu orang. Itu artinya, kalkulasi pertumbuhan setiap tahun terhitung dari tahun 1998 mencapai 2009 saja mencapai 70 ribu kader pertahun. Itu artinya, dengan pertumbuhan jumlah kader yang mengalami peningkatan dari tahunketahun adagium pun seharusnya bisa berganti menjadi Al-hizbu mina Al- Jamaah atau partai adalah bagian dari Jamaah. Atau sekali pun kader belum siap untuk merubah adagium tersebut, setidaknya dengan kalkulasi jumlah kader yang mencapai ratusan ribu kader tersebut bisa diorientasikan bukan hanya diprioritaskan sebagai identitas politik yang selama ini dipergulirkan untuk memprioritaskan kemenangan politik, melainkan juga memprioritaskan identitas profesional yang diarahkan untuk menjadi ahli di bidangnya masing-masing, seperti; ahli agama, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli kedokteran yang semestinya di arahkan dan prioritaskan secara terorganisir dan mengalami penekanan olehjamaah terhadap kadernya sendiri. Dari perihal inilah, sekiranya Jamaah terutama jamaah kampus bisa memahami profesionalisme dan kemandirian yang harus dikedepankan oleh setiap kadernya. Ada batasan-

batasan tertentu dimana Jamaah tidak selamanya menuntut kita untuk menjadi bagian dari dari partai dan menjadi bagian dari seorang pembelajar. Semoga dengan cara berpikir yang seperti inilah, kedepan Jamaah tarbiyah mampu menjadi taring peradaban baru untuk kehidupan agama dan Indonesia yang lebih baik.

Wallahu Alam Bii Showaab.. [1] Perihal ini juga dapat dihitung dari sejauhmana kedekatan aktivis dakwah hari ini terhadap kegiatan belajar dan belajar yang sesungguhnya. Suatu hari, pada kajian Manhaj yang disampaikan oleh ustadz Deden di Masjid Marldhiyyah, beliau bertanya kepada para kader tarbiyah kampus yang sedang mengikuti kajian tersebut. Siapa diantara kalian yang sudah selesai khatam membaca Sirah Nabawiyah siapa pun penulisnya? Silahkan tunjuk tangan Dari sekian banyak kader tarbiyah yang hadir dalam kajian tersebut baik ikhwan maupun akhwat, hanya ada dua orang yang sudah mengkahtamkan Sirah Nabawiyah. Satu orang ikhwan dan satu orang akhwat. Selanjutnya, ustadz Deden bertanya kembali, siapa yang sudah membaca buku biografi tokoh apa pun hingga khatam siapa pun tokohnya? dan yang mengacungkan bukti tanda selesainya membaca biografi tokoh itu pun hanya ada dua orang, satu ikhwan dan satu akhwat. Bagi saya, sangat disayangkan jika hari ini aktivis dakwah kampus mulai menjauhkan tradisi membaca. Karena menurut saya, membaca sirah nabawiyah dan biografi tokoh adalah tuntutan membaca yang sangat mendasar. Perihal ini sudah semestinya harus ditekankan kembali oleh sebagian aktifis.

Antara Kita dan Mereka.. (Bayyanat Jama'ah Tabiyah UGM Part 1 Bagian 2)
January 16, 2014 at 2:06am

untuk

"Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud)[1] Mengapa Jama'ah Tarbiyah Harus Diketahui Publik? Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya tentang apa yang aku tulis di part-1 beberapa hari lalu. Dan hari ini, aku menuliskannya kembali untuk melanjutkan permabahasan part-1 itu sendiri. Pertanyaannya adalah; mengapa bayyanat tersebut harus dipublish ke publik? Bukankah perihal tersebut tidaklah ahsan? Jika berbicara tentang ahsan, mungkin ada benarnya tulisan ini tidak tepat ketika di publish ditempat umum. Tapi yakinlah, bahwasanya tulisan ini dipublish lantaran kecintaan diri ini terhadap jamaah tarbiyah itu sendiri. Ada dua hal yang sekiranya melatar belakangi mengapa tulisan seperti ini harus dipublish; (1) Jamaah tarbiyah dilihat sebagai ideologi dan ilmu. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Muslim tanpa Masjid menekankan; ideologi memiliki watak yang bersifat tertutup, final, dan normatif. Meski pun begitu, ideologi memiliki

tujuan untuk melakukan rekonstruksi sosial. Dalam hal ini, Kuntowijoyo menekankan; ideologi cenderung baku dan cenderung tidak berkembang. Penyimpangan dari pembakuan terhadap ideologi akan disebut revisionis. Sedangkan ilmu adalah suatu hal yang bersifat terbuka, artinya adalah; ilmu bukan hanya sebatas berdasarkan kreativitas-intuitif-teologis (selayaknya ideologi), melainkan ilmu juga berkaitan dengan suatu hal yang dapat dikaji dan ditelusuri kebenarannya. Dalam ideologi, fakta yang diolah secara normatif adalah suatu hal yang bersifat individual. Sedangkan dalam ilmu, fakta yang berkembang ditengah masyarakat adalah fakta sosial. Hal ini sepadan dengan Islam yang bukan hanya dilihat sebagai ideologi, melainkan juga dilihat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Fahmi Hamid Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya menekankan bahwa; Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagaimana tergambar dalam 3 periode penurunan wahyu. Ajaran tentang ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan, dan dikembangkan kedalam berbagai bidang kehidupan yang berakumulasi pada pembentukan peradaban yang kokoh. Maksudnya adalah; Islam bukan hanya dilihat sebagai ideologi, melainkan juga Islam dilihat sebagai ilmu pengetahuan. Perihal ini juga sama dengan cara pandang kita terhadap Jamaah tarbiyah itu sendiri bahwa Jamaah tarbiyah bukan hanya dipandang sebagai ideologi melainkan juga sebagai ilmu pengetahuan. Ketika berbicara tentang ilmu pengetahuan, berbagaimacam dinamika yang berkembang dan terjadi dalam perjalanan jamaah tarbiyah sebagaimana yang dibahas dalam part 1- adalah bagian dari fakta sosial yang dapat dikaji secara sosiologis sebagai sebuah bagian dari khazanah pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengembangan khazanah ilmu pengetahuan menjadi penting agar kita mengetahui tentang berbagai macam solusi yang harus ditempuh atau mengetahui dimana letak permasalahan yang seharusnya diperbaiki di tubuh jamaah tarbiyah itu sendiri baik melalui pendekatan secara epistimologis maupun secara aksiologis. (2) Fakta sosial Jamaah Tarbiyah sebagai sebuah informasi kolektif. Fakta sosial yang berkembang dalam dinamika perjalanan Jamaah tarbiyah menjadi penting untuk dijadikan informasi kolektif yang diketahui baik oleh setiap kader maupun publik- dalam rangka menjadikannya sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan. Perihal ini menjadi penting sebab dalam Islam, pengetahuan dalam Islam bukan hanya diperuntukkan bagi umat muslim, melainkan juga bagi umat diluarnya. Mengapa? Sebab Islam begitu pun Jamaah tarbiyah yang menjadi bagian dari Islam- adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari wahyu Allah, yang kebermanafaatannya bukan hanya diperuntukan bagi umat Islam sendiri melainkan juga bagi seluruh alam semesta. Mungkin, yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah; cara bagaimana kita menyampaikan atau menyemaikan ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai kebaikan membutuhkan sebuah strategi tentang kapan, dimana, dan bagaimana cara memulainya untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Ada dua poin penting yang dihasilkan dari tinjauan fakta sosial sebagai sebuah informasi kolektif ini adalah; (a) manfaat bagi internal kader; adalah pengetahuan untuk melihat berbagai macam celah-celah yang sekiranya harus diperbaiki sebagai sebuah tools untuk mengintrospeksi diri. (b) manfaat bagi publik; adalah cara bagaimana publik menjadi kontrol sosial terhadap kinerja Jamaah tarbiyah itu sendiri tentang apakah selama ini perjalanan Jamaah tarbiyah sudah sesuai dengan semangat awalnya menjadi bagian dari aktivitas dakwah dan cara-cara yang dilakukan sudah sesuai dengan syariat Islam yang sesungguhnya. Perihal ini

menjadi penting agar perjuangan Jamaah tarbiyah dalam mengembangkan risalah Islam memiliki check and balances agar tidak terjadi disorientasi dalam perjalanannya itu sendiri. Perihal ini juga senyawa dengan sejarah Islam itu sendiri. Adian Husaini dalam tulisannya yang berjudul Korupsi Ilmu menyatakan; dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Daya kritis terhadap fakta sosial menjadi penting bagi setiap kalangan agar dijadikan sebagai sebuah bagian dari transformasi kesadaran individual menuju kesadaran kolektif dalam rangka membangun kolektifitas perjuangan itu sendiri. Karena bagaimana pun juga Jamaah tarbiyah adalah jamiatu minal muslim (bagian dari jamaah muslim). Maksudnya adalah; dalam memperjuangkan Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamiin tidak akan bisa dicapai oleh perjuangan Jamaah tarbiyah secara sendirian, melainkan butuh kerja-kerja kolektif dari jamaatu minal muslim yang lainnya seperti; Hizbu Tahrir, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Salafi, dan lain sebagainya untuk mencapai cita-cita Islam itu sendiri. Oleh karena itu, persatuan perjuangan menuju Jamaatul Muslim menjadi penting. Menjadi Murobbi Kampus Reid menyatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara mengungkapkan; Syaikh Al-Ulama,Qdhi AlQudh, Syaikh Al-Haramain, dan empat qadhi dari empat mazhab secara kolektif membuat keputusan tentang pengangkatan ulama sebagai pengajar di Masjid Al-Haram. Sekali atau dua kali dalam setahun, mereka duduk bersama untuk menguji calon guru. Para calon, biasanya, telah menjadi murid di lingkungan masjid dalam waktu yang lama yang telah dikenal baik oleh guru-guru senior. Para penguji, di samping mengecek ijazah calon, juga mengajukan sejumlah pertanyaan tentang berbagai macam cabang keilmuan Islam. Jika calon mampu menjawab seluruh pertanyaan secara memuaskan, mereka mengeluarkan ijazah atau izin untuk mengajar di Masjid Suci. Nama-nama guru baru tersebut diumumkan dan murid-murid dapat memulai belajar dengannya. Dari perihal diatas, setidaknya kita dapat mengambil hikmah bahwa; (1) sejarah Islam menunjukkan bahwa; peran para naqib (baca: murobbi) dalam usroh adalah mereka yang secara keilmuan Islam-nya teruji. Terujinya sebuah ilmu bukan hanya dilihat pada permasalahan kepahaman terhadap ajaran-ajaran Islam semata, melainkan juga dari sejauhmana ia dapat mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya sehari-hari. (2) Ulama-ulama terdahulu tidak serta merta memudahkan seseorang untuk menjadikan seseorang sebagai seorang naqib. Butuh waktu dan penilaian yang panjang untuk menetapkan seseorang apakah layak atau tidaknya menjadi seorang naqib, butuh pengujian secara menyeluruh baik pada permasalahan akhlaq, ibadah, dan cabang ilmu Islam yang diajarkannya. Allahu Rabbi.. Perjalanan ulama masa lalu menjadi penting untuk dipelajari tentang bagaimana cara mereka membangun peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Dan kita semua sangatlah sepakat bahwa kemajuan Islam pun ditentukan dari maju atau mundurnya pengembangan tradisi keilmuan itu sendiri.

Dan kita yakin, bahwa perjalanan Jamaah tarbiyah pun tidak terkecuali hanyalah untuk mengembangkan dakwah dalam mencapai kejayaan Islam itu sendiri. Namun mungkin dalam perjalanannya kita akan melambatan dan dinamika yang terus menerus silih berganti. Dalam dinamika perjalanan dakwah tarbiyah yang terjadi di tingkat kampus (sebagaimana kita ketahui bahwa kampus adalah wadah pembentukan agen intelegensia) kini tengah mengalami permasalahan yang sangat fundamen. Salah satunya adalah tentang entitas murobbi kampus yang kini menjadi bagian dari fenomena sosial jamaah tarbiyah saat ini. Aku teringat pernyataan Dr. M. Supraja dalam sebuah diskusi yang membandingkan antara syiah dan muslim sunni menekankan bahwa; permasalahan muslim sunni (didalamnya termasuk Jamaah tarbiyah) terlalu mudah untuk menjadikan seseorang menjadi ustadz. Orang baru ngaji beberapa bulan tanpa pengetahuan yang dalam- sudah dijadikan sebagai seorang ustadz. Hal ini berbeda dengan Syiah. Mereka, untuk menjadikan seseorang sebagai Ustadz Syiah butuh penilaian yang panjang, bahkan ia bisa dijadikan sebagai seorang ustadz ketika keilmuannya telah teruji dan sudah mampu melakukan ijtihad. Wajarlah kiranya tradisi keilmuan Syiah begitu berkembang dan dinamis. Bagiku, pernyataan tersebut benar, namun juga bukan berarti tidak terdapat kelemahan. Mungkin, yang terjadi bagi sebagian muslim sunni saat ini adalah; pada dasarnya dalam seharah Islam memiliki kualifikasi-kualifikasi tersendiri dalam menentukan seseorang menjadi ulama maupun pemimpin dari kalangannya, namun mungkin yang terjadi saat ini adalah karena ketidak pahaman diantara sebagian muslim sunni itu sendiri yang menyebabkan terjadinya pemudahan-pemudahan untuk menjadikan seseorang sebagai ulama mereka. Perihal ini pula-lah yang mungkin juga sedang mengjangkiti Jamaah tarbiyah. Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya, mengapa aku tidak ingin menjadi murobbi? Bukan aku tidak ingin, melainkan secara pribadi aku belum siap karena merasa belum memenuhi kualifikasi seorang murobbi itu sendiri. Yang menjadi refleksi kita saat ini adalah; yang terjadi dalam dinamika Jamaah tarbiyah di tingkat kampus adalah; mudahnya seorang kader untuk dijadikan sebagai seorang murobbi. Dengan mengikuti beberapa hari dauroh murobbi, seseorang sudah diperkenankan untuk membina mutarobbi yang sebenarnya pada saat itu belum mencapai kualifikasi keilmuan yang sudah diuji dan matang. Jika perihal ini terus terjadi dan merambah luas, maka kemungkinan yang terjadi dalam tubuh Jamaah tarbiyah kedepan sebagaimana yang dikemukakan oleh Adian Husainiadalah; terjadinya kejahilan ringan. Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Pada dasarnya mereka belum memperoleh memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq), namun karena ia memiliki posisi sebagaimurobbi yang dituntut menyampaikan suatu hal; sehingga ia tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka anggap sebagai suatu kebenaran. Fenomenaignorance akan mengakibatkan banyaknya murobbi yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman dengan baik, sementara ia dituntut untuk memberikan suatu pengajaran.[2] Meminjam bahasa Adian Husaini --Jika orangorang yang berposisi atau memposisikan diri sebagai murobbi atau pun penanggung jawab dakwah tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam maupun Jamaah tarbiyah dalam kondisi yang memprihatinkan. Jika perihal ini yang terjadi, maka kekhawatiran selanjutnya adalah; sebagaimana sabda Rasulullah SAW ; Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari

manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).

Naudzubillah tsumma naudzubillah.. Semoga perihal diatas tidak terjadi ditengah-tengah kita. Meski pun begitu, setidaknya karya Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud yang berjudul Rihlah Ilmiah menjadikan sebuah refleksi bagi kita semua yang menekankan bahwa; usroh / halaqoh merupakan sumber terpenting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan sumber pengembangan intelejensia muslim itu sendiri. Namun, fakta sosial yang terjadi saat ini adalah; pembahasan kajian dalam halaqoh -di tingkat kampus pun- masih cenderung asas dan sangat datar, yang belum bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menjadikan setiap individuindividu peserta halaqoh menjadi intelektual ahli yang menghadirkan berbagai macam gagasan gagasan penting yang berasaskan pada nilai-nilai Islam- sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing. Pembahasan kajian dalam halaqoh juga belum mengajak setiap individu untuk tergerak aktif dalam tradisi keilmuan baik dalam bidang kesadaran pentingnya penelitian, kajian, maupun daya kritis- yang mampu menghadirkan perbincangan tentang Al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang bukan hanya dilihat secarasubtantif, melainkan juga secara method. Dalam hal ini, Prof. Wan Mohd Wan Daud menekankan bahwa; kaedah (method) adalah; cara-cara memahami nas-nas (texts) dalamsemantic fields dan dalam rangka sosio-sejarah serta dalam tasawwur umum yang memadukan al-Quran dengan perjuangan Rasulullah SAW. Selanjutnya, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menyatakan; method tanpa substance yang memadai akan mengalami kerancuan. Jika gerakan dakwah habis-habisan dalam memperjuangkan sebuah method untuk merealisasikan cita-cita gerakannya namun tanpa dilandasi konsepsi Islam yang benar, maka akan mengakibatkan kerusakan yang melebihi kemungkinan kebaikan yang diimpikannya. Tragedi golongan Khawarij- dahulu dan masa kiniialah keterperangkapan mereka dengan method (dengan sedikit substance) tanpa substance yang memadai akan menumbuhkan fanatisme; fanatisme akan menghasilkan kezaliman. Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan Ibnu Taimiyah yang menggariskan; betapa usaha-usaha amar maruf dan nahi mungkar memerlukan ilmu, kelembutan, kesabaran; ketiga-tiganya memadukan unsur substance dan method itu sendiri. Setidaknya, dari penjabaran panjang lebar ini aku ingin mengungkapkan; bahwa diri ini pun belum bisa menjadi manusia yang ideal. Terlebih lagi berbicara tentang permasalahan akhlaq, ibadah, maupun tradisi keilmuan yang mungkin masih jauh panggang daripada api. Namun setidaknya, melalui renungan tulisan inilah kita bersama-sama melakukan instrospeksi tentang apa yang seharusnya kita perbaiki baik setiap individu maupun Jamaah- untuk sebuah perbaikan dikemudian hari. Meski pun dengan begitu, akan ada beberapa tawaran strategis dari untuk mengatasi permasalahan ini di part-1 bagian 3. Semoga Allah memudahkan. Wallahu A'lam Biishowaab.. [1] Sabda Rasulullah ini sekiranya menjadi refleksi kita terhadap berbagai macam dinamika yang berkembang terhadap Jamaah kita hari ini sekaligus mengingatkan diri kita secara individu- maupun pemimpin umat masa kini. Secara pribadi saya sepakat bahwa bagaimana pun

juga; keadilan harus ditegakkan kepada ustadz LHI terhadap kasus hukum yang menjeratnya. Namun bagiku, ini adalah langkah cara Allah mengingatkan kita bahwa; bagaimana pun juga (meski ustadz LHI apakah benar korupsi atau tidak) adalah peringatan berharga dari Allah bahwa mungkin; ustadz LHI jangan lagi memubadzirkan uang. Sebagaimana yang diberitakan oleh vivanews.com, kompas.com, tempo.co yang diantara media tersebut mengemukakan fakta persidangan; ustadz LHI membeli satu jas senilai Rp. 60 juta rupiah, dan memodifikasi soundsystem terhadap 3 mobil yang dimilikinya mencapai Rp. 156 juta rupiah. Pembahasan di persidangan hanyalah permasalahan tempat pembelian dan siapa yang membayar, namun barang tersebut secara faktual persidangan di beli. Sekali pun uang yang dipergunakan oleh ustadz LHI halal untuk membeli barang-barang tersebut, namun menurutku kurang etis jikalau ustadz LHI -selaku pemimpin Jamaah bermewah-mewahan ditengah kondisi masyarakat dan kader yang sedang mengalami krisis ekonomi. Aku teringat oleh cerita dari temanku yang menyatakan bahwa; salah seorang pekerja yang bekerja sebagai pemotong kayu diperusahaan meuble ayahnya adalah seorang kader PKS lulusan SMK. Setiap kali ada kampanye PKS, maka pekerja itu meminta izin pada ayahnya untuk mengikuti kampanye itu sendiri. Pendapatannya sedikit, ia adalah orang yang ikhlas mengabdikan dirinya untuk pemenangan PKS bahkan mungkin menyumbangkan sebagian gajinya yang sedikit untuk menyumbang biaya kampanye PKS- meski pun pada dasarnya ia masih tergolong kategori miskin. Potret kader PKS yang masih berada di dalam perekonomian menengah ke bawah- dan berjuang untuk kemenangan PKS baik secara pendanaan maupun tenaga pastilah sangat banyak- namun hal ini berbeda oleh para pemimpin Jamaah ini seperti ustadz LHI dan ustadz Anis Matta yang terlalu berlebihan dalam gaya hidup. Islam memang mengajarkan kita untuk kaya raya, namun kekayaan itu bukan untuk dimubazzirkan melainkan untuk didistribusikan kebermanfaatannya untuk kehidupan orang banyak. Keberhasilan Islam ditangan Nuruddin Al-Zanki dan Sholahuddin Al-Ayyubi adalah; keduanya adalah orang yang sangat kaya raya; namun ketika keduanya dipilih menjadi kepala negara, seluruh kekayaannya diperuntukkan untuk kebermanfaatan masyarakatnya. Bahkan dalam sebuah kisah, tidak orang yang paling miskin di negaranya kecuali Nuruddin Al-Zanki itu sendiri sebagai kepala negaranya. Yang menarik adalah; semiskin-miskinnya Nuruddin Al-Zanki pada saat itu sudah sangat sejahtera. Itu artinya, rakyat yang lain pun sejahtera. Dengan adanya peristiwa ini, menunjukkan betapa kasih sayangnya Allah yang segera mengingatkan para aktivis dakwah agar tidak semakin banyak fitnah akibat harta, tahta, dan wanita.Allaahumma Amiin.. [2] Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud juga mengungkapkan; melalui beberapa pengalaman yang berkembang, saat ini muncul fenomena sebagian halaqoh kader yang hanya menekankan bacaan teks pilihan dengan memperbincangkan suatu hal yang spontan tanpa pengetahuan yang mendalam, dan tidak adanya follow up isu-isu yang dipergulirkan dari diskusi tersebut. Ada pun orang-orang yang paham namun ia tidak berani mengungkapkan pandangan-pandangan dan berbagai macam ide-idenya, karena takut dianggap bertentangan dengan pandangan umum atau pun pandangan sang murobbi itu sendiri.

Antara Jamaah Tarbiyah dan Serikat Jesuit (Bayyanat untuk Jama'ah Tarbiyah UGM Part 1 Bagian 3)

January 17, 2014 at 11:16am

Mungkin diantara para pembaca yang budiman akan bertanya-tanya tentang mengapa Fachry mengambil tindakan ini? yang penuh dengan tindakan kontroversial, penuh dengan perdebatan dan berbagai macam pandangan terhadap diri ini sendiri. Namun bagiku, tak apalah kepahitan ini harus ditanggung, sebab semoga dengan kepahitan ini ruang hati kita tergerak untuk menjadi lebih baik untuk kehidupan Indonesia dan agama ini. Perlu pembaca budiman ketahui, bahwa tulisan-tulisan sebelumnya masih mengalami keberlanjutan. Pertanyaannya adalah; mengapa aku menulis? Mungkin perihal inilah yang membuat diri ini merasa dihantui jika diri ini harus berdiam. Merasa ada beban di pikiran jika suatu hari, peristiwa ini terjadi. Oleh karena itu, yang terlintas dalam pikiran ini adalah tentang bagaimana cara menggerakkan saudara-saudara seperjuanganku di dalam Jamaah tarbiyah itu sendiri. Meski pun mungkin diantara kita berbeda secara pandangan politik, meski pun diri ini tidak mencapai titik ideal dan kesempurnaan sebagai seorang kader, namun yakinlah bahwa diantara kita pada dasarnya ingin mencapai tujuan yang sama, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keridhoan-Nya. Ada Apa dengan Serikat Jesuit? Mungkin disinilah yang menjadi awal kegelisahanku. Pada suatu hari, tergetar hati ini untuk mencoba menelusuri lebih jauh tentang cara bagaimana orang-orang diluar Islam mencoba membangun basis kekuatannya. Dan mungkin, disinilah tantangan umat Islam dan khususnya di Jamaah tarbiyah itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui dan menjadi khalayak umum- tentang bagaimana kalangan zionis membangun konspirasi ekonomi-politiknya. Namun, pernahkah kita menelaah lebih jauh tentang gerakan yang paling dekat diantara kita terlebih di Yogyakarta itu sendiri? Pernahkah kita bertanya-tanya; mengapa Rumah Sakit Panti Rapih, Rumah Sakit Bethesda, berbagai macam sekolah-sekolah seperti; , bopkri, stella duce, kollese de brito, maupun beberapa apostolik tepat berada disentral tengah-tengah daerah Sleman dan Yogyakarta yang sangat strategis, namun di satu sisi kita melihat bagaimana berbagai macam lembaga-lembaga tersebut juga hadir di daerah-daerah terpencil, pedalam dan terisolir di daerah bagian sudut provinsi DIY itu sendiri? Apakah benar penempatan di lokasi-lokasi tersebut hadir secara alamiah ataukah memang penempatan lokasi tersebut memiliki perencanaan yang matang? Setidaknya, dari pertanyaan inilah muncul sebuah ikhtiar untuk mencoba menelusuri lebih jauh. Dan dari penelusuran tersebut, agenda setting gerakan yang paling dekat dengan dinamika ke-Indonesia-an maupun Yogyakarta muncullah kepermukaan tentang identitas Serikat Jesuit. Siapakah Serikat Jesuit? Bagiku, antara Serikat Jesuit dan Jamaah tarbiyah adalah gerakan yang bertentangan secara keyakinan dan ideologi, namun dalam aras tradisi pergerakan bawah tanah mengalami sedikit persamaan, yaitu; sama-sama membangun basis militansi. Berbicara tentang Serikat Jesuit, maka sudah sewajarnyalah kita membuka sejarah. Serikat Jesus (SJ) adalah ordo religius yang ada dalam Gereja Katolik. Didirikan pada tahun 1540 oleh St. Ignatius Loyola, bersama sembilan sahabatnya. Anggota dari Serikat Jesus lebih dikenal dengan sebutan "Jesuit. Menurut statistik awal tahun 2000, jumlah anggota Serikat Jesus di seluruh dunia mencapai kurang lebih 18.000 orang. Mereka adalah imam, bruder dan frater (anggota yang sedang dalam masa studi untuk menjadi imam). Mereka berasal dari berbagai bangsa, suku, latar belakang adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda-beda.[1]

Provinsial Serikat Yesus Pastor R.B Riyo Mursanto SJ mengungkapkan bahwa pada tahun 2011, anggota Serikat Jesuit Provinsi Indonesia hanya berjumlah 353 orang, yang terdiri dari; 32 orang berusia lebih dari 70 tahun. Dari jumlah ini 11 orang berusia lebih dari 80 tahun. Yang berusia 59 69 tahun sebanyak 53 orang. Jumlah yang paling banyak usia antara 37 sampai dengan 58 tahun, yakni 147 orang. Dan sebanyak 108 orang berusia 36 tahun ke bawah.[2] Dalam perayaan Jubileum 150 Tahun Serikat Jesus (SJ) di Indonesia (9 Juli 1859-9 Juli 2009) yang di selenggarakan pada tanggal 9 Juli 2009 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, R.B Riyo Mursanto SJ menyatakan bahwa; saat ini Serikat Jesuit sudah banyak menciptakan ahli di didang Humaniora. Selanjutnya, R.B Riyo Mursanto SJ mengungkapkan bahwa; "Jika direntangkan, dari 100 calon Jesuit, yang akhirnya jadi hanya 60 persen. Dengan masa pendidikan 12 tahun dan dari sisi manusiawi berat, memang hanya sedikit yang jadi. Memang sulit, karena menjadi Jesuit adalah panggilan". Dalam sebuah diskusi Erie Sudewo selaku founder Dompet Dhuafa menyatakan; saat ini hampir 75% imam Serikat Jesuit dunia adalah ahli ekonomi. Dalam Perayaan Jubelium tersebut, R.B Riyo Mursanto SJ sangat menekankan kepada para Anggota Serikat Jesuit bahwa saat ini agenda mereka diarahkan bergerak bukan hanya untuk menjadi ahli di bidang Humaniora, melainkan juga harus menjadi ahli di bidang lingkungan hidup, ekonomi, sosial-politik, dan berbagai macam bidang keilmuan lainnya dalam rangka mengeluarkan masyarakat Indonesia dari zona kemiskinan yang merupakan strategi ekspansi kalangan missionaris itu sendiri. Jappy Pellokila menungkapkan bahwa; Serikat Jesuit berupaya untuk mengembangkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan untuk sesama. Dari pemaparan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita analisa lebih jauh tentang Serikat Jesuit itu sendiri, diantaranya ialah; (1) Sistem Kaderisasi: Pada dasarnya Serikat Jesuit menciptakan sistem kaderisasi yang begitu rumit, panjang dan berjenjang. Mereka tidak melakukan ekspansi massa secara signifikan, melainkan melakukan pembinaan anggota secara intensif. Hal ini juga sependapat dengan kisah tentang Martinus Dam. F yang menceritakan betapa sulitnya untuk menyelesaikan alur kaderisasi Serikat Jesuit yang mengantarkan ia untuk selalu mengikuti Retret meski pun harus menempuh perjalanan JakartaMedan yang diikutinya setiap bulan selama mengikuti alur kaderisasi tersebut.[3] Serikat Jesuit berupaya menjadi gerakan bawah tanah yang sangat militan, dikelola oleh segelintir orang namun mampu memberikan efek terhadap perubahan dunia. Oleh karena itu, sistem kaderisasi Serikat Jesuit sangat tertutup dan tingkat militansinya sangat ketat. Pernyataan yang disampaikan oleh R.B. Riyo Mursanto SJ tentang 60% anggota Serikat Jesuit menjadi Intelektual Katolik -yang berasal dari berbagai macam disiplin ilmu- sangat serius dalam penggemblengan anggota di bidang keilmuan. Hasil dari itu semua adalah, banyaknya sekolah-sekolah yang berkualitas didirikan oleh Serikat tersebut, seperti; pendidikan di SMA Kanisius Jakarta, SMA Loyola Semarang, SMA de Britto Yogyakarta, SMK PIKA Semarang, SMK Mikael Surakarta, Akademi Tehnik Mesin Surakarta, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya, Yayasan Strada Jakarta, Yayasan Kanisius Semarang-Kedu-Yogyakarta-Surakarta; karya Audio Visual Puskat, Penerbitan Kanisius, pembimbing rohani para calon imam, karya sosial karitatif, yang telah menghasilkan banyak tokoh nasional dan tokoh-tokoh intelektual di berbagai macam lini.

Dan perlahan kini mereka menuai hasilnya dengan cara menggenggam banyak sektor perekonomian Indonesia dan media, salah satunya adalah keberhasilan koran kompas yang merupakan bagian dari propaganda kaum Serikat Jesuit masih menjadi media massa utama masyarakat Indonesia itu sendiri. (2) Konstruksi Berpikir: Ada hal yang menarik untuk mengungkapkan cara bagaimana Serikat Jesuit membangun konstruksi berpikir setiap anggotanya, yaitu melalui pendekatan teologis __rasional__visioner__kedisiplinan untuk membaca perubahan dunia secara eskatologis (gambaran tentang masa depan) yang dipersiapkan sejak hari ini. Sifat merasa tidak puas terhadap hasil yang diperoleh mereka saat ini menjadi pedoman mereka untuk terus menanamkan ambisi dan melakukan berbagai macam cara untuk menggapai tujuannya. Rasionalitas dalam pergerakan ini pun digunakan untuk mengukur sejauh mana kinerja, upaya, dan etos kerja yang selama ini dilakukan untuk mencapai misi mereka di masa mendatang. Dari pendekatan dua analisa inilah, setidaknya kita dapat memaklumi bahwa sangat wajar jikalau Serikat Jesuit yang jumlahnya begitu sedikit- namun pengaruhnya terhadap pembentukan opini publik melalui berbagai macam kekuatan media yang dimilikinya, kekuatan basis ekonomi-politik Indonesia di berbagai macam sektor, maupun pengaruhnya di bidang pendidikan sangatlah kuat bahkan sangat meng-hegemoni. Yang menjadi refleksi selanjutnya adalah; bagaimana dengan kita? Inilah yang sekiranya patut kita sadari bersama. Zionis, Freemason, Syiah maupun Amerika dan Israel dan gerakangerakan sekutunya menyerang umat muslim maupun Indonesia- bukan dengan hanya sebatas emosional melainkan juga penuh dengan perencanaan yang begitu matang dan terorganisir melalui pendekatan setiap lini keilmuannya masing-masing. Mengapa bidang keilmuan? Karena ilmu adalah pisau tajam yang menjadi senjata ampuh untuk menguasai dunia itu sendiri. Mengapa Harus Jamaah Tarbiyah? Mungkin pertanyaan inilah yang muncul dalam pikiran kita. Salah satu yang melatar belakanginya adalah;Jamaah tarbiyah adalah gerakan yang spirit kelahiran dan perjuangannya berada di tingkat kampus. Saat ini Jamaah tarbiyah hadir dan berkembang di berbagai macam kampus dan memberikan warna sekaligus dinamika kampus itu sendiri dengan berbagai macam cara perjuangannya. Jikalau kita menghitung, mungkin lebih dari ratusan lembaga dari berbagai macam universitas di Indonesia baik universitas negeri maupun swasta- yang telah mengkaryakan dan mendominasi oleh Jamaah tarbiyah tarbiyah itu sendiri. Bahkan, kehadiran Jamaah tarbiyah sudah mampu melebarkan sayapnya bukan hanya mendominasi berbagai kegiatannya dalam lembaga-lembaga keislaman kampus seperti; Lembaga Dakwah Kampus semata, melainkan juga sudah mulai merambah ke berbagai macam lembaga Eksekutif Mahasiswa, kelompok-kelompok studi, bahkan lembaga pers mahasiswa itu sendiri. Bagiku, penguasaan Jamaah tarbiyah terhadap berbagai macam lembaga di tingkat kampus adalah modal sosial yang begitu baik yang dimiliki oleh umat Islam pada saat ini. Karena fakta tersebut menunjukkan bahwa; perjalanan aktivis dakwah yang mengazzamkan kemenangan risalah Islam- masih dipercaya oleh mahasiswa pada umumnya. Bahkan dalam perjalanannya, Jamaah tarbiyah salah satu gerakan yang juga turut berpartisipasi dalam menstimulasi berkembangnya jilbabisasi di kampus-kampus umum. Wajarlah jikalau saat ini kita bisa menyatakan bahwa; Jamaah tarbiyah sangat mendominasi sektor kampus. Sebagaimana kita ketahui, kampus adalah wadah formal

pembentukan aktor intelektual di berbagai macam bidang keilmuan. Oleh karena itu, Jamaah tarbiyah sudah mampu melembaga dan mampu mengembangkan ekspansi dakwahnya di tingkat kampus secara progresif- yang menjadi PR terpenting selanjutnya adalah; menjadikan fungsi kampus sebagai organ prioritas pembentukan tradisi intelektual muslim itu sendiri. Sebagaimana yang sama-sama kita pahami d tulisan part-1 dan part-1 bagian 1 yang telah aku kemukakan, mungkin prihal itulah yang saat ini menjadi permasalahan f undamental Jamaah tarbiyah kampus terlebih UGM- yang harus segera ditemukan berbagai macam resolusinya. Sebab, Jamaah tarbiyah sudah mendapatkan kepercayaan untuk mendominasi berbagai macam lembaga kampus, tinggalah kita bersama-sama mempertanggung jawabkan kepercayaan tersebut untuk menghadirkan karya terbaik bagi agama dan bangsa ini di masa mendatang. Tinjauan visioner sebuah lembaga yang dipercayakan kita pada saat ini adalah suatu hal yang penting untuk ditinjau lebih dalam. Sebab, karya-karya terbaik dari setiap individu dan lembaga yang dipercayakan kepada kita saat ini bukan hanya karya tersebut diciptakan untuk kebermafaatan hari ini atau hanya dirasakan selama satu tahun kepengurusan- melainkan juga harus menjadi wadah pemupuk karya permanen yang akan menjawab berbagai macam tantangan-tantangan masa depan bangsa Indonesia dan kebangkitan agama ini. Maksudnya adalah; setelah jihad jamaah tarbiyah melakukan Islamisasi lembaga dengan agenda jilbabisasi, pemakmuran masjid, dan mentoring-, yang menjadi jihad terbesar Jamaah tarbiyah adalah melakukan super visi untuk dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan, ketidak berdaulatan masyarakat Indonesia terhadap sumber daya yang dimilikinya sendiri, dan kesejahteraan Indonesia adalah tanggung jawab terbesar kita kedepan. Sebab, ketika kita mengusai sektor kampus, sektor kampuslah yang memiliki tanggung jawab terbesar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Karena adalah wadah pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat itu sendiri. Selanjutnya adalah; sudikah kiranya ketika zionisme, Amerika, Israel, Syiah, maupun sekutunya sedang bangkit mengembangkan visinya untuk menguasai Indonesia baik di sektor ekonomi, politik, pendidikan, sumber daya alam- kita hanya berdiam diri dan tak pernah berpikir keras untuk menyelesaikannya? Karena sebagaimana kita ketahui, hari ini banyak diantara berbagai macam kampus dimana didalamnya juga terdapat aktivitas Jamaah tarbiyah kampusruang-ruang diskusi tentang ke-Indonesia-an sudah mulai sepi dari aktivisme mahasiswa sendiri, ketika apatisme pengabdian untuk kebangkitan Indonesia sudah mulai hilang ditenga-tengah kita, kepada siapakah kita harus bersua? Salah satunya adalah; membangun kesadaran aktivis dakwah kampus untuk menjadikan perihal ini sebagai jihad terbesar itu sendiri. Mohon maaf kiranya jikalau berbagai macam tulisanku begitu menyanyat hati, bahkan cenderung sangat provokatif dan membuat diantara kita mungkin tak kuasa. Begitu pun diri ini, pahit rasanya untuk mengungkapkan berbagai macam permasalahan dan dinamika Jamaah tarbiyah itu sendiri. Jiwa terasa begitu tidak tenang, batin terasa begitu tak karuan, tidur terasa tidak nyaman, namun bagaimana pun juga aku harus tega terhadap semua ini. Tega untuk mengungkapkan hal yang begitu pahit untuk diungkapkan, tega untuk menguatkan hati bahwa perihal ini harus disadari oleh setiap kita. Sudikah kiranya melihat umat Muslim berdiam ketika diluar sana, mereka menyerang kita sekuat tenaga tanpa pernah kita sadari? Sudikah kiranya batin ini, ketika saudara-saudara muslim kita di Timur Tengah seperti; Mesir, Syria, Sudan, dan negara-negara lainnya sedang ditimpa berbagai macam konflik yang melumpuhkan kehidupan negeri mereka? Konflik tersebut

bukanlah suatu hal yang alamiah antara kubu opisisi dan rezim pemerintahan dalam memperebutkan kekuasaan, melainkan terdapat skenario politik yang dilakukan oleh Amerika (alibi Dewan Keamanan PPB) untuk menguasai ladang minyak Timur Tengah itu sendiri.[4] Saat ini Ikhwanul Muslimin dan Hamas -yang selama ini menjadi stimulus Jamaah tarbiyah sedang mengalami permasalahan yang begitu pelik dinegerinya. Gerakan-gerakan tersebut tengah dianiaya, dilumpuhkan, dan dimatikan dengan seketika. Tinggalah ada satu stimulus gerakan lagi yang hingga hari ini terus mengepakkan sayapnya secara bebas, begitu besar, mayoritas berasal dari aktivis kampus, dan menggawangi berbagai macam kelambagaan strategis; ialah Jamaah tarbiyah itu sendiri. Henry Kissinger salah seorang aktor intelektual yang mempengaruhi berbagai macam kebijakan imprealisme Amerika menyatakan; agar kita mampu menguasai dunia, yang saat ini dibutuhkan adalah menguasai energi dan menguasai sektor pangan. Dan kini, setelah Amerika usai melancarkan misi-nya menguasai sektor minyak Timur Tengah, yang akan dikuasai selanjutnya adalah Asia Tenggara. Perihal itu dibuktikan dengan rancangan strategis Amerika itu sendiri. Pada tahun 2025 Amerika berencana menaruh 50% Militer angkatan daratnya yang memiliki pangkalan Militer di daerah Darwin Australia. Setting kapitalisme melalui Asean Economic Forum, dinamika Konfrensi Internasional WTO di Nusa Dua Bali menunjukkan langkah-langkah Amerika yang berambisi untuk menguasai sektor pangan Asia Tenggara, terlebih lagi Indonesia. Mengapa di Darwin? Mudah untuk ditebak, karena Darwin adalah daerah yang berdekatan dengan Papua yang berdekatan langsung dengan sentral strategis Freeport itu sendiri. Nurani mana yang ingin mendiamkan bangsanya dijajah? Aku rasa,diantara kita tidak ada yang menginginkan perihal tersebut terjadi. Oleh karena itu, ketika saat ini Jamaah tarbiyah memegang peranan penting dalam aktivisme mahasiswa, penting kiranya untuk menghidupkan kembali kesadaran kita dimasa depan. Jamaah tarbiyah harus bangkit dan mengokohkan dirinya sebagai identitas perjuangan yang mampu menjawab berbagai macam tantangan di masa mendatang. Dan dari perihal inilah, sekiranya kita harus bersungguh-sungguh dalam merang masa depan Indonesia maupun agama ini kedepannya. Dari perihal inilah sekiranya kita tidak boleh kalah dengan Serikat Jesuit maupun Zionisme dan sekutunya yang telah merancang lebih dahulu kemana nasib bangsa dan agama ini dipertaruhkan. Untuk membaca nasib bangsa ini di tahun 2025, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah cara kita bersungguh-sungguh untuk memulainya dari sekarang. Ketika Serikat Jesuit menggalakkan anggotanya untuk menjadi pembelajar selama 12 tahun, kita harus jauh lebih daripada itu. Setidaknya, ketakutan inilah yang menjadi penggerak diri ini untuk bersungguhsungguh dalam belajar, dan perihal ini pula-lah yang sekiranya aku menginginkan saudarasaudaraku di dalam Jamaah ini hadir sebagai bagian dari aktivisme pembelajar dan perjuangan itu sendiri. Memang semua ini pahit, namun perihal inilah yang setidaknya menjadi pengharapan diri ini untuk sebuah kebaikan dakwah di masa mendatang. Mohon maaf jikalau berbagai macam kritik ini begitu meyakitkan, namun yakinlah bahwa hasil dari berbagai macam pemikiran ini hadir karena sebuah cinta dan kasih sayang yang mendasarinya, untuk kehidupanku, kehidupanmu, dan kehidupan seluruh umat manusia yang lebih baik. Tulisan ini belum usai, masih akan ada pembahasan fundamental lainnya yang akan di ulas di kemudian hari. Nuun.. Wal Qolami Wa maa Yasturuun..

[1] http://www.atmi.ac.id/index.php/jesuitwall-116 Diunduh tanggal 19 September 2013 [2] http://www.sesawi.net/2012/02/14/jumlah-anggota-sj-provinsi-indonesia-terbanyak-seasia-pasifik/ diunduh tanggal 19 september 2013 [3] Untuk keterangan lebih lanjut, baca:http://prompang.blogspot.com/2010/05/refleksi-seorang-teman.html silahkan

[4] Perihal ini aku tuliskan karena sejatinya peristiwa yang terjadi di Timur Tengah tidak jauh berbeda dari sejarah-sejarah sebelumnya. Sofwan Al Banna, dalam bukunya yang berjudulMembentangkan Ketakutan: Jejak Berdarah Perang Global melawan Terorismemengungkapkan bahwa; di masa perang dingin, Timur Tengah adala arena perebutan pengaruh yang penting antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keduanya menggerayangi kawasan vital karena kandungan minyak dan lokasinya yang strategis tersebut dengan mendukung kelompok yang mau beraliansi dengan mereka, sekaligus saling menyabotasi kelompok yang didukung oleh rivalnya. Suatu ketika, hubungan antara Amerika dan Irak berjarak ketika pada masa kekuasaan Jenderal Abdul Karim Qasim dikesankan bahwa Irak sedang berdekatan dengan komunis. Pergantian rezim ke rezim terus berganti. Ketika memasuki tahun 1979 Saddam Husein melakukan kudeta terhadap rezim yang saat itu jauh dari kaki tangan Amerika. Semenjak tahun itulah, ketika keberhasilan Saddam Husein mengkudeta rezim dan mengukuhkan dirinya sebagai presiden Irak, kedekatan antara Irak dan Amerika semakin dekat. Namun hubungan tersebut tidak berlangsung lama. Irak merasa dikhianati oleh Amerika Serikat karena telah membantu Kuwait tahun 1990-an. Ketika itu Irak semakin tidak kooperatif terhadap Amerika. Amerika pun menunjukkan Iyad Allawi untuk menjatuhkan rezim tersebut pada tahun 2003. Pasca peristiwa 11 September 2001, Amerika menggalakkan Perang Global Melawan Terorisme yang salah satunya adalah upaya masuknya militer AS ke Irak (menjadikan Saddam Husein sebagai ikon terorisme) dan daerah-daerah sumberdaya alam strategis lainnya atas nama keamanan global. Ketika militer AS datang ke Irak, yang pertama kali invansi oleh militer tersebut adalah ladang-ladang minyak. Bahkan Todd Pittman menekankan; Perang Global Melawan Terorisme di Afrika pun ditengarai hanya alasan untuk mendapatkan akses pada sumber-sumber minyak benua itu, yang pada pertengahan tahun 2000-an merupakan 15 persen dari suplai minyak Amerika Serikat dan diperkirakan akan mencapai 25% pada tahun 2015 nanti. Perihal ini tak jauh berbeda dengan kondisi Timur Tengah saat ini.

Kita Takkan Diam! (Bayyanat untuk Jama'ah Tarbiyah UGM Part 1 bagian Terakhir)
January 20, 2014 at 7:25am

Hari-hari Kebangkitan! Sebelum membahas part-1bagian 4 lebih jauh. Sudah sepatutnya, kiranya aku mengingatkan bahwa; ketikateman-teman membaca bagian ini namun belum membaca bagian 1, 2, dan 3, makasaya sangat menekankan mohon dengan sangat untuk membaca terlebih dahulubagian-bagian sebelumnya. Begitu pun untuk yang baru membaca bagian 1, maka adakewajiban untuk membaca bagian-bagian selanjutnya hingga selesai. Penekanan

terhadappembacaan secara keseluruhan sangat penting karena perihal ini denganberbagai macam penafsiran dan prasangka yang berkembang kedepannya. Musuh bukanlah Kritik

berkaitan

SemogaAllah memberkahi kita semua. Di dalam tulisan bagian terakhir ini, sudahsepatutnya aku mohon maaf sebesar-besarnya kepada segenap pembaca dan segenapkader Jamaah tarbiyah yang jika dalam penulisan berbagai macam gagasan kaliini dipenuhi dengan berbagai macam perihal yang menjadi kontroversi dan penuhdengan praduga. Bagiku, itu adalah suatu hal yang wajar karena bagaimana punjuga pastilah setiap umat manusia tak ada yang sempurna. Yang sepatutnya kitalakukan adalah berusaha sebaik mungkin untuk mencapai kesempurnaan itu sendiridengan sebaik mungkin. Untuk mencapai itu semua, tentu terdapat berbagai macamevaluasi dan instrospeksi yang harus dihadirkan, harus mampu menghadapiberbagai macam rintangan yang menghadang. Meski pun patut kita sadari, bahwadengan berusaha sebaik mungkin pun pastilah ia tidak akan menggapai kesempurnaanitu sendiri, sebab yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir setiapkekurangan yang ada dalam diri kita. Meski pun begitu, yang patut kita sadariadalah; bahwa setiap kekurangan dari kita pun tidak bisa diselesaikan olehseorang diri, melainkan butuh orang lain yang mampu melengkapi kesempurnaan danmampu menutupi setiap kekurangan dari individu kita sendiri. Karena perihalitulah sejatinya ukhuwwah. Begitupun dengan tulisan ini, pastilah terdapat berbagai macam kekurangan danberbagai macam gagasan yang perlu dikritisi ulang. Sebab sejatinya, kita semuamenyadari bahwatidak ada gading yang takretak. Maafkan diri ini jikalau belum bisa menjadi contoh ideal seorangkader, maafkan jiwa ini jikalau belum bisa menjadi saudara yang bisa membahagiakanteman-teman dan belum bisa menjalin ukhuwwahdengang baik dan justeru terlalu sering bersikap kritis terhadap satu samalain. Namun yakinlah, bahwa ketika tulisan ini dipergulirkan, sesungguhnyatulisan ini pun menjadi bagian dari kritik terhadap diriku sendiri yang hinggahari ini belum mampu memberikan karya terbaik untuk agama dan bangsa ini. Meskipun dengan bahasa yang begitu kritis dan sarkas, yakinlah bahwa jalan inidiambil hanya semata-mata karena cinta yang hadir untuk melihat kembali jamaah tarbiyah yang telah membawakumengenal Islam lebih jauh. Karena di jamaahinilah, sesungguhnya aku begitu mengerti betapa pentingnya arti sebuahperjuangan.[1] Perihalini pula-lah, sekiranya kita pahami bahwa di dalam Jamiyah Islamiyah pun terdapat kekurangannya masing-masing yangmungkin hanya bisa ditutupi kekurangan tersebut olehJamiyah Islamiyah yang lainnya. Perihal ini juga terjadi dalam setiap mazhab baik imam hanafiyah, , maupun imamsyafiI memiliki kelebihan dan kekurangannya satu sama lain. Yang palingterpenting dari setiap mazhab itu adalah saling menutupi kekurangan satu samalain. Perihal ini pula-lah yang menjadi inspirasi terhadap Hasan Al-Banna untukmengumpulkan berbagaimacam mazhab kala itu untuk mendirikan Ikhwanul Musliminitu sendiri. IkhwanulMuslimin memiliki spirit persaudaraan muslim yang berpacu pada kokohnya Aqidah Islamiyah tidak mengenal apa punlatar belakangnya, siapa pun mazhab dan golongannya, sebab yang menjadi spiritbagi Ikhwanul Muslimin adalah persatuan umat untuk menggapai kemenanganIslam itu sendiri. Oleh karena itu, sangat wajar jikalau kita melihat model gerakan Ikhwanul Muslimincenderung lebih akomodatif terhadap berbagaimacam mazhab, namun tetap

berpegangteguh terhadap prinsip gerakan itu sendiri. Perihal ini juga tak jauh berbedadengan spirit Jamaah tarbiyah pada umumnya. Sudah semestinya, dari penjelasan diatas patut dipahami bahwa bagaimana pun juga,jamaah tarbiyah pun memiliki berbagai macam kekurangan dan kelebihan yangpatut saling ditutupi kekurangan tersebut satu sama lain dari gerakan yanglainnya. Bagaimana pun juga, sebuah gerakan yang terbaik adalah gerakan yangmampu membangun solideritas dan mendistribusikan berbagai macam kekuatan terhadap gerakan yang lainnya. Maksudnyaadalah; patut disadari bahwa kekuatan terbesar Jamaah tarbiyah saat ini adalahdibidang politik-kenegaraan, Muhammadiyah dibidang sosial-kemasyarakatan,Nahdhatul Ulama dibidang kulturkeagamaan dan tradisi keilmuan, Salafi dibidang Aqidah, Jamaah Tablighdibidang pengemasan dakwah terhadap kaum marjinal, Hizbut Tahrir dibidangaksidemonstrasi, dll. Dari perihal ini, muncul sebuah harapan baru tentangbagaimana Jamaah tarbiyah mampu mengakomodir berbagai macam golongan untuksaling menutupi berbagai macam kekurangan satu sama lain dimulai dari apa yangada disekitar kita saat ini. Caranya adalah; membangun ikatan persaudaraan satusama lain dan pahamilah, bahwa hakikat ukhuwah adalah ketika kita salingmemahami perbedaan satu sama lain, namun esensi terhadap perjuangan terhadapkemenangan Islam adalah sama. Ketikaberbicara di tingkat kampus, mungkin saat ini ada pertanyaan yang muncul dalambenak kita; bagaimana cara membangun itu semua sedangkan terkadang justerumereka memusuhi kita? Sebagaimana yang kita lihat pada momentum Pemira tahunini, ketika gerakan Ekstra Kampus seperti IMM, PMII, HMI DIPO, dan dariberbagai macam kalangan lainnya justeru menjadikan KAMMI sebagai common enemy, bukankah jalan dakwah inimemang berat? Dalamhal ini, ada beberapa hal yang patut kita sadari bersama bahwa; mungkin carapendekatan kita terhadap mereka mengalami permasalahan. Semisal, kita hanyabertemu dan berkomunikasi intens dengan mereka ketika hanya pada saat mendekatiPemira, penentuan posisi kabinet, atau pun hanya ketika memiliki kepentingantertentu. Kalau perihal ini yang selalu terjadi, maka dapat kita pahami bahwa;Pemira adalah arena kompetisi politik-kekuasaan dimana setiap orang mencobamemenangkan kekuasaan demi mencapai kepentingan politik masingmasing. Mungkin,selama ini kita selalu berkomunikasi kepada mereka hanya melalui mechanistic approach (pendekatan kerja)yang hanya bertemu pada permasalahan kompetisi kinerja dan kelembagaan semata,namun mungkin kita lupa untuk mendekati mereka melaluihumanistic approach (pendekatan humanis) yang mempertemukan merekabukan hanya ketika berlembaga, melainkan juga membangun ikatan persaudaraan disetiap keseharian kita. Bagaimana pun juga, manusia memiliki sisi-sisi humanisdimana setiap individu kita ingin diketahui perasaan setiap individu,eksistansi kelebihan setiap individu yang tidak akan pernah kita ketahui ketikaberada dalam pendekatan kerja, atau hanya bertemu mereka pada kerja-kerjakelembagaan semata, melainkan kita akan mengetahuinya ketika kita menjadibagian dari teman sejati mereka yang mampu bertemu mereka disetiap keseharianmereka.[2] Ituartinya, kita tidak hanya bertemu mereka ketika pada kegiatan politik seperti pada saat mendekati Pemira semata,melainkan kita harus mendekati mereka disetiap keseharian kita. Denganbegitulah, kepercayaan terhadap identitas kita sebagai aktivis dakwah pundihargai oleh setiap kalangan. Ketika ini yang kita lakukan, inshaaAllah kita akan mampu membangunkekuatan Islam dengan berbagai macam gerakan muslim lainnya yang bertemu diberbagai macam bidang

kegiatan kehidupan, semisal; bidang kegiatan sosial,bidang kegiatan tradisi keilmuan, bidang kajian ke-Islam-an, bahkan hinggabidang kebudayaan, dll.[3] Perihalini pula-lah yang coba kita ikhtiar-kandi Gerakan Indonesia Berdaulat! (GIB) yang didalamnya terdapat berbagai-macamkalangan baik yang berasal dari kanan mentok, hingga kiri mentok- inshaaAllah terdapat didalamnya.Kesadaran yang ditanam dalam gerakan ini adalah membangun kekuatan politikbersama dalam bidang kedaulatan, bukan untuk mendominasi atau pun untukmempolitisir kepentingan golongan tertentu. Mungkin,pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah; bagaimana ketika diantara kitasaling mengkritisi? Jika perihal mengkritisi sesuatu sesuai dengan fakta yangberkembang meski terkadang cara mengkritisinya belum tepat- yang harus kitakedepankan adalah sifatkhusnudzhonitu sendiri. Salim A. Fillah mengungkapkan; pada dasarnya, musuh yang menyamarlebih menyenangkan daripada teman sejati. Maksudnya adalah, sebagaimana kaumzionisme saat ini, cara mengelabui umat Islam tidak selamanya dilakukan dengancara kekerasan, melainkan bagaimana melenakan umat Islam melalui fashion, food, film, gamedsb. Begitupun diri ini, jikalau diri ini membiarkan saudara-saudaraku terlena dengan apayang mungkin menjadi jurang penjerumus masa depan, maka tak ubahnyalah akumenjadi bagian dari kalangan zionis? Sahabat sejati adalah sahabat yang selalumeningatkan dan menjauhi sahabatnya dari lubang kenestapaan. Sudikah kiranyakau jadi sahabat sejatiku? Sebuahkata bijak mengungkapkan; semua orang berhak menjadi dai dan menyebarkan kebenaran. Sebab, kebenaran yangditutup-tutupi akan menimbulkan kejahatan yang lebih besar. Begitu pun diriini, meski mungkin cara dan sikapku dalam mengungkapkan perihal ini memilikiberbagai macam perdebatan, namun setidaknya yakinlah bahwa hati ini tak inginmelihat saudaranya mengalami pelemahan dalam gerakan akibat kita terlalu puasatau pun permisif dengan apa yang ada dalam diri kita saat ini. Semogadengan inilah, Allah membangkitkan kembali semangat kita dalam bergerak. Mungkinkah Murobbi? Sebelum membahas perihal lebih jauh, patut sekiranya aku sangat meminta maaf jikalautulisan part 1 bagian 2 yang membahas tentang permasalahan halaqoh maupunmurobbibegitu mendalam dan bahkan terkesan sarkastis. Namun, yang patut dipahamibahwa; ada kekhawatiran yang tinggi jika realita tersebut berkembangditengah-tengah kita. Mungkin, kita pun sangat sulit untuk mengembalikankeemasan Islam di Madinah dan Makkah seperti dahulu kala, yang hidup dalamtradisi keilmuan yang begitu tinggi dan terukur dalam menentukan siapa yanglayak menjadi murobbi. Meski pun begitu, bukan berarti kitaharus menyerah dengan kondisi yang ada dan berdiam terhadap dinamika realitayang berkembang. Yang harus kita lakukan saat ini dan ini pun menjadiinstrospeksi keras bagi diri ini- adalah upaya untuk melakukan perbaikan itusendiri. M. Faudhil Adhim menyatakan; saat ini kebanyakan dari kita adalahorang-orang yang baru hanya semangat ghiroh-nya,namun sangat lemah dalam ghiroh ber-tholabulilmi. Semoga, apa yang diungkapkan olehUstadz Faudhil Adhim menjadi sebuah batu loncatan untuk kita bergerak lebihbaik. Ibnu Khaldun yang menyatakan; peradaban merupakan produk dari akumulasitiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berpikir yang menghasilkansains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politikdan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[4]

Dalampandangan Ibnu Khaldun, faktor terpenting dari hancurnya suatu peradaban adalahrusaknya sumber daya manusia, baik secara moral maupun secara intelektual.Merosotnya moral penguasa akan mengakibatkan menurunnya kegiatan keilmuan dankepedulian masyarakat terhadap kepentingan ilmu itu sendiri. Sebagaimanakita ketahui, memang pada dasarnya mentor di tingkat kampus pun masih tergolongminim. Selain itu, karena memang kebutuhan yang mendesak untuk merespon ribuanorang yang ingin mengaji, maka syarat seseorang untuk menjadi mentor pundipermudah. Bagiku, sebenarnya perihal tersebut bisa disiasati dengan beberapacara. Mentoring keilmuan. Sebagaimanayang kita pahami, bahwa pada saat ini konsep halaqohdi tingkat kampus sudah sesuai dengan setiap klastermasing-masing. Namun mungkin, dalam hal ini penekanan untuk menjadi ahli dibidang keilmuannya masing-masing belum begitu ditekankan. Maksudnya adalah; alangkah lebih baiknya jikalau kitamemahami bahwa kapasitas keagamaan kita belum mencapai standar tertentusemisal; tahsin dan tahfidz Al-Quran secara baik dan benar, munguasai ilmu Islam yang sangatmendasar- bisa disiyasati bahwa fungsi murobbiyang kala itu terdesak karena kebutuhan lebih menekankan kepadamurobbi-nya untuk meng-upgrade setiap mutarobbi pada penekanan akademik dantradisi keilmuan di bidangnya sesuai dengan paradigma pendidikan Islam. Misal; murobbi yang berada di kluster agrosangat menekankan mutarobbi-nya untuk menjadi ahli di bidang agro. Fungsi halaqoh juga harus mampu menelaahpermasalahan di bidangnya, lalu mencari solusi dan di-upgrade untuk menjawabtantangan-tantangan di masa depan. Semisal; permasalahan agro saat ini adalahketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras dan gandum. Sebagaimana kitaketahui, saat ini dengan impor beras telah menyebabkan banyaknya petani yanggulung tikar. Terlebih lagi gandum, Indonesia 100% impor gandum yangmenghabiskan subsidi negara mencapai sekitar 16 triliun hampir sama dengananggaran Kementerian Pertanian tahun 2013telah merugikan negara itu sendiri.Dari contoh permasalahan inilah; bagaimana dalam halaqoh mampu mencari solusi dan mampu mengarahkan mutarobbi menyelesaikanpermasalahan-permasalahan tersebut di masa mendatang dengan cara mengarahkansetiap mutarobbi untuk menjadi ahli di bidang pangan itu sendiri. Cita-cita dankeinginan setiap mutarobbi harus diketahui oleh setiap peserta halaqoh, dan fungsi murobbi dalam halini adalah menjadi control socialuntukmengarahkan setiap mutarobbinyafokus terhadap pencapaian cita-citanya yang dibutuhkan demi menyelesaikanpermasalahan umat. Perihal tersebut bisa dilakukan dengan cara menambahkanmutabaah yaumiah yang diintegrasikan dengan mutabaah keilmuan yang selaludipantau setiap kali halaqoh. Hal iniberkaitan dengan; belajar setiap hari di luar kuliah kampus selama tiga jam,penguasaan materi akademik, dan penguasaan ilmu-ilmu alat.[5] Ibnu Khaldun menyatakan bahwa subtansimaju mundurnya peradaban ditentukan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan.Namun ilmu pengetahuan tidak akan hidup jika tidak ada komunitas aktif yangmengembangkannya. Ketika Jamaah tarbiyahingin menggapaidaulah Islamiyah,maka yang harus ditekankan adalah pengembangan komunitas kecil yang aktif dalam pengembangan keilmuandan pergerakan. Dari komunitas kecil yang konsisten dan berkembang akanmelahirkan peradaban yang besar dengan menjamahnya komunitas aktif yang besarpula. Dari komunitas itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagaimacam kegiatan kehidupan yang akan menciptakan sistem kemasyarakatan. KotaMadinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Cairo, dll adalah kota yang terlahirdari suatu komunitas kecil aktif yang kemudian menciptakan sistemkemasyarakatan hingga berujung pada penciptaan suatu Negara.

Mungkin yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah; bagaimanadengan pengembangan ilmu Islam-nya? Salim A. Fillah menyatakan; ketika kitasecara sadar berada dalam keadaan yang mungkin belum mumpuni dalam kapasitaske-ilmu-an Islam, yang harus dilakukan adalah bagaimana menggiring setiap mutarobbi untuk terlibat aktif dalammajelis-majelis ilmu Islam bersama para asatidz.Misal; halaqoh bisa diarahkan setiap mutarobbi untuk merutinkan pengajianbersama ustadz secara ter-manage. Di sisi lain; murobbi juga harus terus-menerus mendalami ilmuke-Islam-an itu sendiri dengan sungguh-sungguh.[6] Pada dasarnya, masih begitu banyak perihal yang aku ingin bahas dalam tulisan ini.Namun, mungkin akan ada pembahasan lebih jauh yang akan aku tuliskan dikemudian hari. Pada dasarnya, ada beberapa solusi yang sekiranya tidak dapat diungkapkan dalam tulisan ini yang ingin sekali aku bersillaturrahim dengansahabat-sahabatku di dalam jamaah tarbiyah untuk membahas perihal ini lebihjauh. Setidaknya, inilah bagian dari ikhtiarku untuk menjawab segala tantangan yang menghadang kita di depan. Apakah rela kita dijajah kembali dan tetap bertekuk lutut dihadapan zionis dan sekutunya? Apakah kita masih rela melihat tukang becak yang sebegitu tua terus mendayungkan becaknya demi sesuap nasi? Sedangkan kita yang hari ini menjadi bagian dari kaum intelektual hanya bisa berdiam dan menjadi penonton terhadap segala macam kedholiman. Aku rasa, disinilah esensi kita untuk bangkit dan bergerak kembali. Semoga dengan inilah, Jamaahtarbiyah bisa bangkit dan mampu menjadi kekuatan baru bagi umat muslim saatini. Amiin ya Robb.. Wallahu Alam Bii Showaab.. [1]Betapa tidak, aku tidak pernah mengerti tentang apa nasibku hari ini jika akutidak mengenal Jamaah tarbiyah kala itu. Allah memberikan kasih-Nya kepadakuuntuk tidak akan pernah aku sia-siakan. Aku adalah salah seorang pernahmengalami Drop Out secara halus dari Madrasah Tsanawiyah-ku dulu lantaranbegitu sering membolos tanpa alasan dan berbuat begitu onar di sekolah. Padamasa itu pula, meski aku tidak pernah menggunakan ganja, namun aku pernahmenjadi bagian dari kehidupan orang-orang yang memakai ganja itu sendiri.Ketika memasuki Madrasah Aliyah Al-Hikmah, disanalah pertama kali akuberkenalan dengan Jamaah tarbiyah. Darisanalah aku begitu sadar, betapakehadiran Islam sungguh aku butuhkan. Aku dibina dengan keikhlasan dan kasihsayang sebagaimana yang pernah aku tuliskan tentang berbagai macam pengalamanyang pernah aku dapatkan di KAPMI dan Al-Hikmah. Di KAPMI-lah, tempat pertamakali aku mengenal bagaimana aku dibina olehnya dalam memperjuangkan apa yangbisa kita perjuangkan kala itu. Dalam hal ini, aku sungguh berterima kasihkepada kakakku, Fahmi Irhamsyah yang telah mengantarkanku untuk memiliki hidupyang lebih bermakna. [2]Perihal ini dapat dibuktikan dengan sejauh mana kita mendekati mereka padaruang yang bersifat kultural. Semisal;intensitas mengunjungi kost-kost-san mereka, makan bareng dengan mereka, tidurbareng, nonton film bareng, belajar bareng, hingga akhirnya mereka mempercayaikita dan menjadikan kita bagian dari kehidupan mereka. Sehingga mereka tidaksungkan untuk menyampaikan berbagaimacam unek-uneknya kepada kita. Perihalini pula sebagaimana yang kita dapatkan antara kita dengan sesama kadertarbiyah itu sendiri dalam membangun ukhuwah dan sebagaimana pertama kali kitamendekati Jamaah tarbiyah itu sendiri. Dalam hal ini, aku sangat berterimakasih kepada kerebatku Zaki Arrobi, Gani Rahardjo, Mas Hafidz Arfandi, MasBhima Yudhistira, dan Fadhli Azami, dkk meski pun kita berbeda dalam carapandang dan berbeda dalam gerakan, namun mereka adalah orang yang menginspirasikuselama ini.

[3]Perihal ini adalah cara untuk bagaimana kita membangun kesatuan umat denganberbagai macam gerakan lain, baik dengan Muhammadiyah yang bisa salingmembangun supporting system dalamsosial kemasyarakatan, Nahdhatul Ulama yang bisa membangun supporting system dalam bidangpengembangan kultur kebudayaan dan tradisi Islam, Salafi yang bisa membangun supporting system dalam bidangpengembangan Aqidah-Tauhid di setiap masyarakat. [4]Ibn Khaldun, Abd al-RahmAn Ibn Muhammad, TheMuqaddimah: an Introduction to History, Penerjemah Franz Rosenthal, 3jilid, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978,hal.54-57. Dalam Hamid Fahmy Zarkasyi. PeradabanIslam: Makna dan Strategi Pembangunannya.(Ponorogo: Center for Islamic andOccidental Studies, 2010) hal. 16 [5]Memang perihal ini sangatlah ideal. Dan saat ini, aku pun belum menjadi murobbi yang membidangi hal tersebut.Dan perihal inilah yang menjadi PR terbesar bagiku. Meski pun begitu, benihuntuk menciptakan hal seperti ini sudah mulai tumbuh, oleh karena itu akusedang melakukan eksperimen terhadap beberapa orang untuk mampu mengawaliperihal tersebut di bidang kedaulatan dan pemikiran Islam. Ada komitmen bagidiri ini untuk menjadi ahli di bidang keilmuanku semisal sosiologi, kepenulisan,dan pemikiran- oleh karena itu saya sudah membangun komitmen belajar selama 5jam diluar dari proses belajar-mengajar kampus. Dan perihal ini sedang akutekankan di Gerakan Indonesia Berdaulat (GIB) untuk menggagas kedaulatan itusendiri. Mengapa aku bersi-kukuh dengan GIB? Karena dari para pemikir politikIslam dari Ibnu Taymiyah hingga Fazlur Rahman sangat kedaulatan dalam Islam.Kedaulatan adalah kata yang diambil dari bahasa Arab dari kata Daulah__DaulahIslamiyah. Maksudnya adalah; ketika kita ingin mencapai Daulah Islamiyah, makayang harus kita lakukan adalah mendaulatkan negeri ini terlebih dahulu baikterhadap sumberdaya alam dan kesejahteraan bagi masyarakat. Sebab, kedaulatanadalah dakwah dan jihad terbesar yang harus menunjukkan bahwa identitas kitasebagai seorang muslim harus mampu menggapai kedaualatan demi kesejahteraanumat, disanalah kita akan mampu menginisiasi Daulah Islamiyah yangsesungguhnya. Oleh karena itu, wajarlah jikalau GIB tidak mengambil peran dalamperebutan kekuasaan BEM KM. Karena bagi kami, ada permasalahan yang lebih besaruntuk kita perjuangkan. Dan hal ini pula yang aku lakukan dari permasalahanyang paling kecil, untuk tidak memakan roti, mie yang seluruhnya menggunakangandum. Perihal ini dalam rangka mengurangi gandum sedikit demi sedikitterhadap kita demi keutuhan pangan lokal. Selain itu juga berkomitmen untuktidak membeli kebutuhan pribadi di Indomaret, Alfamaret, Circel Q, Seven Elevendan sekutunya yang telah mematikan pasar rakyat. Begitu pun untuk tidak membeliproduk-produk Coca Cola Company, Unilever, dll. Perihal ini juga yang menjadipesan dari Syeikh Ahmad Yasin dalam surat yang ditulisnya untuk umat. Perihalini akan dibahas lebih lanjut dikemudian hari. [6]Padadasarnya, perihal inilah yang sangat ditekankan oleh setiap kader di awalawalterbentuknya Jamaah tarbiyah. Namun,sebagaimana Salim A. Fillah juga mengakui; semangat seperti ini sudah sedikitdemi sedikit hilang. Di sisi lain, akujuga melihat beberapa kader masih adayang sulit sholat subuh di Masjid dan masih sering tidur setelah sholat subuhtanpa suatu alasan tertentu. Sebagaimana kita ketahui, waktu-waktu tersebutadalah waktu yang begitu penting untuk beraktifitas dan adanya keberkahan didalamnya. Ini pantauanku terhadap beberapa mentor, harus lebih semangat lagiberkaitan dengan hal ini.

You might also like