You are on page 1of 72

RANGKUMAN MODUL 4 BLOK 14

HEMATEMESIS MELENA Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran feses yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas (Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993). Warna darah, tergantung: Lamanya hubungan antara atau kontak antara darah dengan asam lambung Besar kecilnya perdarahan, Sehingga dapat berwarna seperti kopi, kemerah-merahan dan bergumpalgumpal. Hematemisis Terjadi bila perdarahan dibagian Melena proksimal Dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemisis.

jejunum (Tondobala, 1987) atau di atas ligamen

Treitz /pada jungsi denojejunal (Hudak & Gallo, Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 501996) 100 mL, baru dijumpai keadaan melena. Perdarahan saluran cerna memiliki arti klinis yang penting, batasan untuk perdarahan saluran cerna dibedakan menjadi dua yaitu yang berasal dari upper ligamentum treitz maupun yang berasal dari bagian lower ligamentum treitz. Pada modul sebelumnya, makalah kelompok kami membahas mengenai hematoscezia yang sebagian besar kasusnya ditemukan akibat adanya saluran cerna dibagian bawah. Pada modul kali ini,kelompok kami akan membahas mengenai Hematemesis dan melena. Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran feses yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas .Warna darah yang dikeluarkan saat terjadinya proses tersebut , tergantung kepada Lamanya hubungan antara atau kontak antara darah dengan asam lambung serta besar kecilnya perdarahan, Sehingga dapat berwarna seperti kopi, kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal. Berbagai penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas,diantaranya: Kelainan esophagus: varises, esophagitis, keganasan semisal pada kanker

esophagus,Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung & duodenum,Penyakit darah: leukemia, DIC, purpura trombositopenia,Penyakit sistemik lainnya: uremia, gagal ginjal Pemakaian obat yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alcohol Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah karena pecahnya varises esophagus, dengan rata-rata 76,9% seluruh perdarahan saluran cerna bagian atas,19,2%gastritis erosive,1 %tukak peptic, 0,6% dari kanker lambung dan 2,6%dari penyebab lainnya (SMF penyakit dalam RSU.Dr Sutomo,Surabaya)

PENYEBAB PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS Kelainan esophagus: varises, esophagitis, keganasan Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung & duodenum, keganasan, dll Penyakit darah: leukemia, DIC, purpura trombositopenia, dll. Penyakit sistemik lainnya: uremia, dll 1

Pemakaian obat yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dll Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah karena pecahnya

varises esophagus, dengan rata-rata 45-50% seluruh perdarahan saluran cerna bagian atas (Hilmy, 1971: 58%; Soemomarto, 1981: 60%; Abdurrahman: 50%; Hernomo, 1981: 44,8%; dan Ali: 57,43% seperti dikutip Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993)

PATOFISIOLOGI Tergantung dari etiologi penyebab perdarahan. Satu contoh diantaranya pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya teklanan dalam vena ini, maka vena tsb menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah (disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan , penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.

PENDEKATAN KLINIS Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesis dan pemeriksaan jasmani yang tepat akan membantu kita dalam memberikan data yang akurat dan penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Sejak kapan terjadinya perdarahan,berapa lama darah yang keluar,apakah ada riwayat perdarahan sebelumnya,penggunaan obat-obatan anti inflamasi non steroid dan antikoagulan,kebiasaan minum alcohol ,mencari tahu tentang penyakit sistemik yang diderita oleh pasien. Pada pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan :stigmata penyakit hati kronik,suhu badan dan adanya perdarahan ditempat lainnya, tanda2 kulit dan mukosa yang biasanya ditemui pada kasus sistemik tertentu pada sindrom Peutz-Jegher

Kelengkapan Pemeriksaan Pemeriksaan yang perlu diperhatikan antara lain, Elektrokardiogram terutama pada pasien yang berusia diatas 40 tahun,BUN dan kreatinin serum,kadar elektrolit (Na,K,Cl)perubahan elektrolit bisa saja terjadi karena perdarahan,transfuse,kumbah lambung, dilakukan pemeriksaan lainnya yang sekiranya cukup perlu untuk dilakukan. 2

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kolaboratif Intervensi awal mencakup 4 langkah: (a) kaji keparahan perdarahan, (b) gantikan cairan dan produk darah untuk mnengatasi shock, (c) tegakan diagnosa penyebab perdarahan dan (d) rencanakan danlaksanakan perawatan definitif. a. Resusitasi Cairan dan Produk Darah: Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar Lakukan penggantian cairan intravena: RL atau Normal saline Kaji terus tanda-tanda vital saat cairan diganti Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan penggantian darah selain cairan. Untuk itu periksa gol darah dan cross-match Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi orghan vital, seperti: dopamin, epineprin dan norefineprin untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan perawatan definitif. b. Mendiagnosa Penyebab Perdarahan Dilakukan dengan endoskopi pleksibel Pemasangan selang nasogastrik utuk mengkaji tingkat perdarahan (tetapi kontroversial) Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum. Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti. Angiografi (jika tidak terkaji dengan endoskofi)

c. Perawatan Definitif (1) Terapi Endoskofi Skleroterapi, menggunakan pensklerosis: natrium morrhuate atau natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel menyebabkan nekrosis dan akhirnya mengakibatkan sklerosis pembuluh yang berdarah. Endoskopi tamponade termal mencakup probe pemanas, fotokoagulasi laser dan elektrokoagulasi.

(2) Bilas Lambung Dilakukan selama periode perdarahan akut (kontroversial, karena mengganggu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain meyakini lambung dapat membantu membersihkan darah dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama endoskofi) Jika dinstruksikan bilas lambung maka 1000-2000 ml air atau normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dengan menggunakan NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan spuit atau dipasang suction sampai sekresi lambung jernih. Bilas lambung pakai es tidak dianjurkan mengakibatkan perdarahan Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung obat dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana metabolisme terjadi,

sehingga reaksi sistemik dapat dicegah. Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan. Pasien berresiko mengalami apsirasi lambung karena pemasangan NGT dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila posisi tsb kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral kananmemudahkan mengalirnya isi lambung melewati pilorus. (3) Pemberian Pitresin Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena. Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan Dosis 0,2-0,6 unit permenit. Karena vasokontsriktor maka harus diinfuskan melalui aliran pusat. Hati-hati karena dapat terjadi hipersensitif Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.

(4) Mengurangi Asam Lambung Turunkan keasaman sekresi lambung, dengan obat histamin (H2) antagonistik, contoh: simetidin (tagamet), ranitidin hidrokloride (zantac) dan famotidin (pepcid) Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam selama hampir 5 jam. Ranitidin iv: 50 mg dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam. Simetidin iv: 300 mg dicairkan dalam dosis intermiten 300 mg dicairkan dalam 50 mg D5W setiap 6 jam atau sebagai infus intravena kontinu 50 mg/jam. Hasil terbaik dicapai jika pH lambung 4 dapat dipertahankan. Antasid juga biasanya diberikan

(5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi Pemberian vitamin K dalam bentuk fitonadion (aquaMephyton) 10 mg im atau iv dengan lambat untuk mengembalikan masa protrombin menjadi normal. Dapat pula diberikan plasma segar beku.

(6) Balon Tamponade Terdapat bermacam balon tamponade antara lain Tube Sangstaken-Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk mengontrol perdaraghan GI bagian atas karena varises esophagus. Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen: (1) balon gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 mL udara, (2) balon esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer) dan lumen yang ke (3) untuk mengaspirasi isi lambung. Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-Nachlas terdiri hanya satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan 500-600 mL udara. Terdapat beberapa lubang/bagian yang terbuka baik pada bagian esophagus maupun lambung untuk mengaspirasi sekresi dan darah.

Tube/slenag Sangstaken-Blakemore setelah dipasang didalam lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml Kemudian selang ditarik perlahan sampai balon lambung pas terkait pada kardia lambung. Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan radiografi), balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-200 mL udara. Kemudian selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi. Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan dengan tekanan 250 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer) dan dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis, ulserasi atau perforasi esopagus.

Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah observasi konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang.

(7) Asuhan Keperawatan Pasien dipertahankan istirahat sempurna, karena gerakan seperti batuk, mengejan meningkatkan tekanan intra abdomen (tib) shg dapat terjadi perdarahan lenjut. Bagian kepala tempat tidur tetap ditinggikan untuk mengurangi aliran darah ke sistem porta dan mencegah refluk ke dalam esopagus. Karena pasien tdk dapat menelan saliva harus sering di suction dari esopagus bagian atas Nasoparing harus sering sisuction karena peningkatan sekresi akiat iritasi oleh selang NGT harus diirigasi setiap 2 jam untuk memastikan kepatenannya dan menjaga agar lambung tetap kosong. Lubang hidung harus sering diperiksa, dibersihkan dan diberi pelumas untuk mencegah area penekanan yang disebabkan selang. Jangan membiarkan darah berada dalam lambung karena akan masuk ke intestin dan bereaksi dengan bakteri menghasilkan amonia, yang akan diserap ke dalam aliran darah. Sementara kemapuan hepar untuk merubah amonia menjadi urea rusak, dan dapat terjadi intoksikasi amonia. (8) Terapi Pembedahan Reseksi lambung (antrektomi) Gastrektomi Gastroentrostomi Vagotomi

Billroth I : prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan anastomosis lambung pada duodenum. Billroth II : meliputi vagotomi, reseksi antrum dan anastomosis lambung pada jejunum Operasi dekompresi hiertensi porta

Penatalaksanaan 2.1. Pengkajian a. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium 5

Anamnesis: perlu ditanyakan tentang: Riwayat penyakit dahulku: hepatitis, penyakit hati menahun, alkohlisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenikdan penyakit darah seperti leuikemia, dll. Pada perdarahan karena pecahnya varises esophgaus, tidak ditemukan keluhan nyeri atau pedih di daerah epigastrium Tanda-gejala hemel timbul mendadak Tanyakan prakiraan jumlah darah: misalnya satu gelas, dua gelas atau lainnya.

Pemeriksaan Fisik: Keadaan umum Kesadaran Nadi, tekanan darah Tanda-tanda anemia Gejala hipovolemia Tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hati: spider nevi, ginekomasti, eritema palmaris, capit medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.

Laboratorium: Hitung darah lengkap: penurunan Hb, Ht, peningkatan leukosit Elektrolit: penurunan kalium serum; peningkatan natrium, glukosa serum dan laktat. Profil hematologi: perpanjangan masa protrombin, tromboplastin Gas darah arteri: alkalosis respiratori, hipoksemia.

b. Pemeriksaan Radiologis Dilakukan dengan pemeriksaan esopagogram untuk daerah esopagus dan double contrast untuk lambung dan duodenum. Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

c. Pemeriksaan Endoskopi Untuk menentukan asal dan sumber perdarahan Keuntungan lain: dapat diambil foto, aspirasi cairan dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik Dilakukan sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

2.1. Diagnosa 1. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktorfaktor resiko aspirasi. 3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena 4. Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian ataupun kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial atau ketidakmampuan yang permanen.

2.2. Intervensi Diagnosa Defisit volume Tujuan cairan Pasien akan tetap stabil secara dengan hemodinamik darah akut, Intervensi Pantau vs setiap jam Pantau nilai-nilai hemodinamik Ukur output urine tiap jam Ukur I dan O dan kaji keseimbangan Berikan cairan pengganti dan produk darah sesuai instruksi. Pantau adanya reaksi yang merugikan terhadap

berhubungan kehilangan

penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

komponen terapi. Tirang baring total, baringkan pasien terlentang dg kaki ditinggikan untuk meningkatkan preload jika pasien mengalami hipotensi. Jika terjadi normotensi tempatkan tinggi bagian kepala tempat tidur pada 45 derajat untuk mencegah aspirasi isi lambung. Pantau Hb dan Ht Pantau elektrolit Periksa feses terhadap darah untuk 72 jam setelah masa akut. Kerusakan pertukaran gas Pasien akan mempertahankan berhubungan dengan oksigenasi dan pertukran gas penurunan kapasitas angkut yang adekuat oksigen dan faktor-faktor Pasien tidak akan mengalami resiko aspirasi. infeksi nosokomial Pantau SaO2 dengan menggunakan oksimetri atau ABGs Pantau bunyi nafas dan gejala-gejala pulmoner Gunakan instruksi Resiko tinggi terhadap Pantau suhu tubuh Pantau adanya distensi abdomen Baringkan pasien pada bagian kepala tempat tidur yang ditinggikan jika segalanya memungkinkan 7 infeksi berhubungan dengan aliran intravena suplemen O2 sesuai

Pertahankan fungsi dan patensi NGT dengan tepat Atasi segera mual Pertahankan intravena. Ukur suhu tubuh setiap jam Pantau sistem intravena terhadap patensi, infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi kestabilan selang

Ganti letak intravena setiap 48-72 jam dan jika perlu Ganti larutan intravena sedikitnya tiap 24 jam Letak insersi setiap shift Gunakan mengganti tehnik balutan aseptik dan saat selang.

Pertahankan balutan bersih dan steril Ukur sel darah putih

IKTERUS Defnisi Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning, terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti aorta dan sklera. Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin pada proses (hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Ikterus merupakan akumulasi abnormal pigmen bilirubin didalam darah yang menyebabkan air seni berwarna gelap, warna tinja menjadi pucat dan perubahan warna kulit menjadi kekuningan. Ikterus paling mudah dilihat pada sclera mata karena wlastin pada sclera mengikat bilirubin. Ikterus dapat dilihat jika kadar bilirubin mencapai 2,5 mg%. Terlihat atau tidaknya ikterus tergantung dari pigmentasi dan warna kulit seseorang. Selain itu, ikterus harus dibedakan dengan keratonemia yaitu warna kulit kekuningan akibat asupan buah-buahan berwarna kuning dan mengandung lipokrom (wortel jeruk, papaya) yang berlebihan. Pada keratonemia, warna kuning terutama tampak pada telapak tangan dan kaki disamping kulit lainnya. Sclera pada keratonemia juga tidak kuning. Delapan puluh lima persen bilirubin berasal dari pemecahan sel-sel darah merah, sedangkan 15% lainnya berasal dari pemecahan enzim yang mengandung heme, sitokrom, mioglobin, dan sel darah merah yang belum masak. 8

Dalam keadaan normal, bilirubin dibersihkan dengan cepat dan efisien dari peredaran darah oleh selsel hati. Transport bilirubin oleh darah ke dalam empedu berlangsung melalui empat tingkat yaitu : 1) uptake bilirubin dari darah dilakukan oleh suatu protein pembawa, 2) pengikatan intarseluler, 3) bilirubin diikat dengan ligandin dalam sel hati, dan 4) konjugasi. Bilirubin diikat asam glukoronat dengan bantuan enzim UDP glukoronil transferase untuk membentuk monoglukoronida dan kemudian menjadi diglukoronida. Konjugasi harus dilakukan supaya bilirubin dapat diekskresi melalui membrane kanalikuler ke dalam empedu. Sintesa enzim UDP glukoronil transferase dikode oleh kompleks gen UGP1. Mutasi pada

kompleks gen ini akan menimbulkan penyakit herediter dengan gangguan konjugasi tergantung dari lokasi mutasi. Bilirubin monoglukorida dan diglukorida diekskresi melalui membrane plasma kanalikuler ke dalam kanalikuli bilier dengan perantaraan suatu protein yang dinamakan MRP2 (Multi Drug Resistance Associated 2). Mutasi gen yang mengkode MRP2 menyebabkan Sindrom Dubin Johnson.

Klasifikasi 1. Ikterus pre-hepatik Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau intravaskular hemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik menyebabkan terjadinya pembentukan bilirubin yang berlebih. Hemolisis dapat disebabkan oleh parasit darah, contoh: Babesia sp., dan Anaplasma sp. Menurut Price dan Wilson (2002), bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan berwarna kuning pucat. Contoh kasus pada anjing adalah kejadian Leptospirosis oleh infeksi Leptospira grippotyphosa. 2. Ikterus hepatik Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002). Ikterus. 3. Ikterus Post-Hepatik Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya penurunan sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal, tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat. Faktor penyebab gangguan sekresi bilirubin dapat berupa faktor fungsional maupun obstruksi duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis.

Etiologi Adanya peningkatan level bilirubin dalam plasma (hiperbilirubinemia) dapat terjadi akibat 6 gangguan utama : 1. Produksi bilirubin unconjugated yang berlebihan karena haemoglobin. 9

2. Gangguan up-take bilirubin unconjugated oleh sel hati yang tidak sempurna. 3. Konjugasi dari bilirubin unconjugated yang tidak sempurna oleh sel hati. 4. Eksresi bilirubin conjugated oleh sel hati yang tidak sempurna. 5. Obstruksi aliran empedu dalam hati sering karena peradangan yang menyebabkan pembengkakan sel. 6. Obstruksi aliran empedu diluar hati karena adanya sumbatan atau tekanan pada duktus empedu

Ikterus/jaundice dapat terjadi akibat tidak sempurnanya level metabolisme bilirubin, produksi berlebihan, terganggunya penghantaran pada sel hati, tidak sempurna up take, gangguan konjugasi, tidak sempurnanya eksresi kedalam canalikuli atau obstruksi drainase pada duodenum. Ikterus/jaundice pada dasarnya diklasifikasikan sebagai hemolitik, hepatoseluler atau obstruksi (cholestasis), walaupun kadang terjadi tumpang tindih terutama antara tipe hepatoseluler dan obstuksi. Test yang sering digunakan untuk mengukur level bilirubin adalah reaksi Van Den Berg yang menggunakan suatu larutan beralkohol pada test bilirubin total (conjugated, unconjugated) dan yang menggunakan larutan berair hanya untuk mengukur bilirubin conjugated. Selisih antara keduanya merupakan level bilirubin unconjugated. Kelainan Metabolik Bilirubin yang Menyebabkan Hiperbilirubinemia Tak Terkonjugasi Peningkatan produksi bilirubin. Hiperbilirubinemia karena hemolisis murni biasanya ringan dan kadar bilirubin total tidak lebih dari 4 mg%. Jika kadar bilirubin melebihi dari itu, umumnya disebabkan gangguan fungsi hati. Hemolisis yang berkepanjangan dapat menyebabkan batu bilirubin dalam system saluran empedu. Eritropoesis yang tidak sempurna, saat maturasi sel-sel darah merah sebagian hemoglobin dapat lepas dan sebagaian sel darah dihancurkan dalam sumsum tulang. Hal ini misalnya terjdai pada talasemia mayor dan anemia megalo blastik karena kekurangan vitamin B12 atau folat, dan penyebab lain seperti infark jaringan atau hematoma luas sehingga terjadi pemecahan hemoglobin diluar pembuluh darah karena penumpukan eritrosit. 10

Penurunan klirens bilirubin. Contohnya pada sindrom Gilbert dimana terjadi gangguan uptake bilirubin serta gangguan konjugasi. Gangguan uptake bilirubin dpat disebabkan oleh obat-obatan tertentu, misalnya asam plavaspidik, novobiosin dan zat kontras kolesistografi. Sedangkan gangguan konjugasi didapat bisa terjadi pada hepatitis berat atau sirosis, obat-obatan seperti novobiosin, kloramfenikol, dan gentamisin. Gangguan konjugasi genetic. Selain pada sindrom Gilbert, dapat terjadi juga pada sindrom CiglerNajjar. Sindrom ini timbul pada masa bayi akibat defisiensi enzim glukoronil transferase. Ada 2 tipe sindrom Cigler-Najjar yaitu CN-I dan CN-II. CN-I terjadi karena defisiensi total enzim glukoronil transferase, sedangkan CN-II terjadi karena defisiensi parsial enzim tersebut. CN-I ditandai dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi berta dengan kadar bilirubin > 20 mg% yang mulai timbul pada bayi baru lahir dan menetap seumur hidup. Sebelum ada fototerapi, penderita umumnya meninggal akibat enselopati bilirubin (Kern ikterus). Pada CN-II kadar bilirubin lebih rendah, umumnya < 20 mg% dan prognosisnya lebih baik. Kelainan Metabolik Bilirubin yang Menyebabkan Hiperbilirubinemia Terkonjugasi Gangguan fungsi klirens bilirubin yang bersifat familial. Terjadi pada sindrom Dubin Johnson yang biasanya baru diketahui pada usia remaja atau dewasa. Sindrom ini ditandai dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan dengan bilirubin total 2-5 mg%. Hiperbilirubinemia ini bisa lebih tinggi > 5 mg% jika ada penyakit lain, pemakaian kontrasepsi oral dan kehamilan. Sindrom Dubin Johnson disebabkan oleh gangguan ekspresi gen MRP2 yang merupakan suatu transporter membrane kanalikuler. Gambaran dari sindrom ini adalah adanya penumpukan pigmen hitam pada lisososm jaringan hati sehingga pada biopsy hati didapatkan jaringan berwarna hitam. Salah satu sifat yang dipakai sebagai diagnostic adalah perubahan proporsi kroproporfirin dalam urin. Sindrom Rotor sangat mirip dengan sindrom Dubin Johnson, tetapi tidak ada pigmentasi jaringan hati. Perbedaan lain adalah pada kolesistografi oral sindrom Rotor terlihat kandung empedu, sedangakan pada sindrom Dubin Johnson tidak terlihat kandung empedu. Benign Reccurent Intrahepatic Cholestasis (BRIC), ditandai dengan ikterus serta pruritus yang terjadi berulang kali. Tiap serangan dapat disertai malaise ringan, dan peningkatan transaminase, diikuti kenaikan fosfatase alkali dan bilirubin terkonjugasi. BRIC disebabkan oleh mutasi gen FIC1.

Penyebab peningkatan level bilirubin plasma (hiperbilirubinemia) : 1. Bilirubin unconjugated dapat terjadi pada : a. Haemolysis akut parah b. Penyerapan haematom besar atau haemoragi internal sangat besar c. Transfusi RBC yang disimpan Haemolysis akut parah dapat terjadi karena pelepasan sejumlah besar Hb yang cepat kedalam plasma yang merupakan gambaran dari haemolysis intravaskular. Sejumlah besar bilirubin (unconjugated) dibentuk secara besar-besaran melebihi kapasitas hati untuk konjugasinya. Peningkatan bilirubin unconjugated plasma dapat sebagai akibat peningkatan produksi pigment (haemolisin atau erytropoiesis tidak efektif) atau gangguan up take hati atau konjugasi dari bilirubin. Pada ikterus haemolitik hiperbilirubinemia awlnya secara karakteristik ditandai oleh jumlah besar bilirubin unconjugated. 3 4 hari setelah kerisis haemolitik, 11

konsentrasi bilirubin conjugated pada plasma dapat sama atau lebih tinggi dari pada bilirubin unconjugated ( total bilirubin dapat tetap tinggi walaupun kurang dibandingkan selama krisis haemolitik). Hal ini dapat terjadi karena konjugasi telah berlangsung tetapi kapasitas sel hati untuk eksresi bilirubin conjugated melebihi dan/ atau sel hati rusak disebabkan karena kekurangan RBC. Oleh karena itu pada stadium tertentu dari ikterus haemolitik, konsentrasi relatif dari bilirubin unconjugated dan conjugated dapat tumpang tindih dengan yang diamati pada penyakit hepatoseluler dan obstruksi empedu. Diduga peningkatan bilirubin conjugated pada ikterus haemolitik lanjut disebabkan oleh karena sistem eksresi hati yang sebelumnya normal, oleh adanya anemic anoksia sehingga up take dan eksresi bilirubin hepatoseluler secara relatif tetap normal, kurangnya eksresi dapat menyebabkan regurgitasi dari hepatisit kedalam darah. Kemungkinan produksi bilirubin conjugated yang berlebih dalam hepatoseluler karena adanya penebalan empedu sehingga mengakibatkan destruksi empedu intrahepatik dan regurgitasi dari bilirubin conjugated kedalam darah. Jika hemolisis terjadi secaraa intavaskular dan cukup cepat, plasma dapat merah karena adanya peningkatan jumlah Hb bebas. Secara normal protein plasma mengikat 3 Hb sirkulasi yang bebas dan mencegah masuk ke urine dengan cepat, haemolisis besar-besaran dan semua plasma protein dapat jenuh dengan Hb. Haemoglobin yang tidak diikat akan difiltrasi oleh glomerulus dan muncul dalam urine sehingga urine tampak merah. Anemic anoxia dapat menyebabkan jerusakan memberan hepatoseluler dan meningkatkan akktivitas ALT dalam serum. Diduga obstuksi empedu disebabkan adanya penebalan empedu yang menyebabkanpeningkatan alkalin pospatase (AP) dalam serum. Beberapa kejadian dari hemolisis intravaskuler yang terjadi secara primer: o o o o o o o Kasus tertentu dari anemia haemolitik autoimun. DIC dan torsio splenik. Tipe tertentu dari keracunan, mis: obat oksidan atau venom ular. Lisis fisik penyuntikan iv larutan hipotonis (tertama air), panas mis: kebakaran paarah dan radiasi. Transfusi darah yang tidak cocok. Haemobartonelosis. Babesiosis (menyebabkan ikterus praehepatik, karena dapat menyebabkan hemolisis sehingga dapat terjadi hiperbilirubinemia) Penyerapan haematom besar atau menyertai haemoragi internal sangat hebat. Penyebab perdarahan usus seperti ini kemungkinan keracunan oleh rodenticida anti coagulan. Makrofag jaringan memfagosit RBC dan menurunkan Hb menjadi bilirubin unconjugated yang kemudian dirubah dalam hati. Ikterus terutama terjadi pada hewan yang sangat muda. Baik haemolosis parah maupun haemoragi besar-besaran dapat mengakibatkan anemia regeneratif, mis: PCV rendah dan reticulositosis. Transfusi RBC yang disimpan, hiperbilirubinemia terjadi jika darah dikoleksi lebih dari 3 minggu sebelun ditangani, RBC tua ini secara cepat dipisahkan dan dibentuk sejuimlah besar bilirubin unconjugated. 2. Bilirubin unconjugated dan bilirubin conjugated hampir sama dapat terjadi pada : a. Hilangnya fungsi hepatoseluler setelah hati rusak, pada umumnya ini dapat terjadi karena kelainan hati kronis atau kerusakan ringan (mis, hepatitis active chronis) antara 20% dan 60% dari bilirubin conjugated. 12

b. Obstruksi saluran empedu, biasanya intrahepatik (hiperbilirubinemia regurgitasi) dengan obstruksi dari bilirubin. Pada umumnya bilirubin conjugated lebih dominan. c. Setelah hemolisis akut parah (hematom besar atau hemoragi internal sangat besar). Jika level bilirubin conjugated tinggi, penyebab dari hemolisis tersebut seperti pada hemolisis akut parah biasanya bilirubin conjugated kurang dari 50% total. Penyakit hepatoseluler dan obstruksi saluran empedu (intrahepatik dan post hepatik) dapat mengakibatkan peningkatan bilirubin conjugated dan unconjugated dalam plasma dengan level bilirubin conjugated yang lebih menonjol sebelumnya. Pada ikterus hepatik dimana kerusakan terjadi dalam hati itu sendiri, peradangan mengakibatkan fungsi sel terganggu sehingga hati tidak dapat mengambil bilirubin bebes secepat biasanya. Selain itu kerusakan sel hati yang membengkak akan menekan termasuk canaliculi kecil yang membewa empedu dari sel hati ke ductus empedu. Bilirubin conjugated yang tidak dapat meninggalkan sel hati melalui rute normal akan masuk sinusoid darah dan berakhir pada sirkulasi umum. Sehingga baik bilirubin conjugated maupun unconjugated muncul dalam sirkulasi, level urobilinogen dan bilirubin muncul dalam urine. 3. Sebagian besar bilirubin conjugated. a. Hilangnya fungsi hepatoseluler (umum), biasanya dapat terjadi karena toxic pada keracunan atau obat ( fosfor, senyawa fenolik, alfatoksin, parakuat, thalium, paracetakol/acetaminopen terutama pada kucing, dan larutan organik, mis chloroform dan CCl4). Banyak dari obat lain yang dapat menyebabkan kerusakan hati dengan kebocoran enzim dan /atau fungsi hati tetapi tanpa hiperbilirubinemia yang nyata. b. Penyakit infeksius: infeksi primer penting adalah Canin adenovirus-1, Leptospira dan hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan peradangan akut. o Infeksius canine hepatitis (infeksi adenovirus-1 sistemik pada anjing), hiperbilirubinemia, ikterus dan bilirubinuria kurang umum dari yang diharapkan akibat nekrosa centrolobuler kurang mencampuri dengan pengaliran empedu dari pada nekrosis perifer, namun 35% kasus parah memperlihatkan ikterus. o Leptosrirosis menyebabkan ikterus prehepatik dan hepatik karena leptospira dapat menyebabkan hemolisis yang ekstraseluler dan intraseluler selain itu leptospira menyerang hepatosit yang mengakibatkan fungsi hati terganggu sehingga terjadi hiperbilirubinemia dan juga menyebabkan pengaktifitas enzim pada hati. c. Parasit. Cacing hati dapat menyebabkan obstruksi empedu dan hepatitis pada kucing.

Patomekanimse Kurang lebih 80 - 85 % bilirubin berasal dari penghancuran eritrosit tua. Sisanya 15 - 20 % bilirubin berasal dari penghancuran eritrosit muda karena proses eritropoesis yang inefektif di sumsum tulang, hasil metabolisme proein yang mengandung heme lain seperti sitokrom P-450 hepatik, katalase, peroksidase, mioglobin otot dan enzim yang mengandung heme dengan distribusi luas.

13

(Gambar.3) Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat mekanisme ini : (i) Produksi yang berlebihan (ii) Penurunan ambilan hepatic (iii) Penurunan konjugasi hepatic (iv) Penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik)

1. Produksi berlebihan Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin tak terkonjugasi meningkat dalam darah. Karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : Hemoglobin abnormal (cickle sel hemoglobin), Kelainan eritrosit (sferositosis heriditer),anemia Antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi) dan obat-obatan. 2. Penurunan ambilan hepatik Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini. 3. Penurunan konjugasi hepatik Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I dan Sindroma Crigler Najjar II. 4. Penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali 14

bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : reaksi obat, hepatitis alkoholik serta perlemakan hati oleh alkohol. ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, Ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.

Diagnosis Dalam anamnesa perlu ditanya adanya keluhan ikterus, misalnya warna air tinja dan air seni, adanya keluhan gatal, mual, muntah serta nyeri perut. Anamnesa keluarga penting untuk mencari iketrus yang bersifat familial. Perlu ditanyakan kemungkinan adanya ikterus yang terjadi berulang kali dan hubungannya dengan stress, infeksi, kehamilan, serta obat-obatan tertentu. Pemeriksaan fisik difokuskan pada penyakit hati disamping ikterus, misalnya bekas garukan, eritema Palmaris, ginekomastia, atrofi testis, edema tungkai dan asites. Pemeriksaan laboratorium dimulai dari yang paling sederhana yaitu pemeriksaan air seni dan bilirubin serum. Bila bilirubinuria negative dan bilirubin serum normal perlu dicurigai adanya karotenemia. Bila bilirubinuria positif berarti terjadi peningkatan bilirubin direk. Bila bilirubinuria negative dengan bilirubin direk normal dan bilirubin total meningkat, maka terjadi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Kemungkinan penyebabnya adalah hemolisis, hematoma luas atau sindrom Gilbert. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan AST dan ALT sebagai parameter nekroinflamasi serta fosfatase alkali dan GGT sebagai parameter kolestasis. Darah lengkap diperiksa untuk deteksi kemungkinan hemolisis. Untuk mendapatkan diagnosis yang lebih pasti, perlu pemeriksaan penanda virus hepatitis A, B, C atau D jika ada. Bila diagnosis masih belum bisa ditegakkan, perlu pemeriksaan laboratorium untuk parameter autoimun yaitu ANA tes, anti-LKM, dan SMA untuk deteksi sirosis bilier primer atau hepatitis autoimun. Bila diagnosis belum tegak, USG atau CT scan dapat membedakan kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik. Selanjutnya bila diperlukan dapat dilakukan biopsy untuk penderita kolestasis intrahepatik dan kolangiografi (ERCP, PTC) untuk kolestasis ekstrahepatik.

15

Algoritme Ikterus pada penderita dewasa

HEPATITIS VIRUS AKUT Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari 5 jenis virus yaitu : 1. Virus hepatitis A (HAV) 2. Virus hepatitis B (HBV) 3. Virus hepatitis C (HCV) 4. Virus hepatitis D (HDV) 5. Virus hepatitis E (HEV) Jenis virus lain yang ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia merupaka virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molekular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam perjalanan penyakitnya. Gambaran klinik hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi asimtomatik tanpa kuning sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu : 1. Fase inkubasi Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini tegantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini. 16

2. Fase prodromal (pra ikterik) Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious (membahayakan) ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Serum sickness dapat muncul pada hepatitis B akut di awal infeksi. Demam derajat rendah umumnya terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis. 3. Fase ikterus Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata. 4. Fase konvalesen (penyembuhan) Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu dan 16 minggu untuk hepatitis B. Pada 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya < 1% yang menjadi fulminan.

Agen Penyebab Hepatitis Virus Secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 2 : 1. Transmisi secara enterik Terdiri dari virus hepatitis A (HAV) dan virus hepatitis E (HEV) : Virus tanpa selubung Tahan terhadap caiaran empedu Ditemukan di tinja Tidak dihubungkan dengan penyakit hati kronik Tidak terjadi viremia yang berkepanjangan atau kondisi karier intestinal Kemungkinan munculnya jenis hepatitis virus enterik baru dapat terjadi. Virus hepatitis A (HAV) Digolongkan dalam picornavirus, subklasifikasi sebagai hepatovirus Diameter 27-28 nm dengan bentuk kubus simetrik Untai tunggal (single stranted), molekul RNA linier; 7,5 kb Pada manusia terdiri atas satu serotipe, tiga atau lebih genotipe Mengandung lokasi netralisasi imunodominan tunggal Mengandung tiga atau empat polipeptida virion di kapsomer Replikasi di sitoplasma hepatosit yang terinfeksi, tidak terdapat bukti yang nyata adanya replikasi di usus 17

Menyebar pada primata non manusia dan galur sel manusia Virus hepatitis E (HEV) Kemungkinan diklasifikasikan pada famili yang berbeda yaitu pada virus yang menyerupai hepatitis E Diameter 27-4 nm Molekul RNA linier; 7,2 kb Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frames) mengkode protein struktural dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi HEV (RNA replicase, helicase, cystein protease, methyltransferase) Pada manusia hanya terdiri atas satu serotipe, empat sampai lima genotipe utama Lokasi netralisasi imunodominan pada protein struktural dikodekan oleh ORF kedua Dapat menyebar pada sel embrio diploid paru Replikasi hanya terjadi pada hepatosit

2. Transmisi melalui darah Terdiri atas hepatitis B (HBV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis C (HDV) : Virus dengan selubung (envelope) Rusak bila terpajan cairan empedu / detergen Tidak terdapat dalam tinja Dihubungankan dengan penyakit hati kronik Dihubungkan dengan viremia yang persisten Virus hepatitis B (HBV) Virus DNA hepatotropik, Hepadnaviridae Terdiri atas 6 genotipe (A sampai H), terkait dengan derajat beratnya dan respon terhadap terapi 42 nm partikel sferis dengan : Inti nukleokapsid, densitas elektron, diameter 27 nm Selubung liar lipoprotein dengan ketebalan 7 nm

Inti HBV mengandung ds DNA partial (3,2 kb) dan : Protein polimerase DNA dengan aktivitas reverse transcriptase Antigen hepatitis B core (HbcAg), merupakan protein struktural Antigen hepatitis B e (HbeAg), protein non struktural yang berkorelasi secara tidak sempurna dengan replikasi aktif HBV Selubung lipoprotein H V mengandung : Antigen permukaan hepatitis B (HbsAg), dengan tiga selubung protein: utama, besar dan menengah Lipid minor dn komponen karbohidrat HbsAg dalam bentuk partikel non infeksius dengan bentuk sferis 22 nm atau tubular

18

Satu serotipe utama merupakan konsekuensi kemampuan proof reading yang terbatas dari reverse transcriptase atau munculnya resistensi. Hal tersebut meliputi : HbeAg negatif mutasi precore/core Mutasi yang diinduksi oleh vaksin HBV Mutasi YMDD oleh karena lamivudin

Hati merupakan tempat utama replikasi di samping tempat lainnya Virus hepatitis D (HDV) Virus RNA tidak lengkap, memerlukan bantuan dari HBV untuk ekspresinya, patogenesitas tapi tidak untuk replikasi Hanya dikenal satu serotipe dengan tiga genotipe Partikel sferis 5-27 nm, diselubungi oleh lapisan lipoprotein HBV (HbsAg) 19 nm struktur mirip inti Mengandung suatu antigen nuclear phosphoprotein (HDV antigen) Mengikat RNA Terdiri dari 2 isoforms: yg lebih besar mengandung 214 asam amino Antigen HDV yang lebih kecil mengangkut RNA ke dalam inti, merupakan hal essensial untuk replikasi Antigen HDV yang lebih besar : menghambat replikasi HDV RNA dan berperan pada perakitan HDV RNA HDV merupakan untai tunggal, covalently close dan sirkular Mengandung kurang dari 1680 nukleotida, merupakan genom RNA terkecil diantara virus binatang Replikasi hanya pada hepatosit Virus hepatitis C (HCV) Selubung, glikoprotein, virus RNA untai tunggal Partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm Termasuk klasifikasi flaviviridae, genus hepacivirus Genome HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar residu 3000 asam amino 1/3 bagian dari poliprotein terdiri atas protein struktural Protein selubung dapat menimbulkan antibodi netralisasi Regio hipervariabel terletak di E2 Sisa 2/3 dari proliprotein terdiri atas protein nonstruktural (dinamakan NS2, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5B) terlihat dalam replikasi HCV Hanya ada satu serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak genotipe dengan distribusi yang bervariasi di seluruh dunia

Epidemiologi dan Faktor Risiko Virus hepatitis A (HAV) Masa inkubasi 15-50 hari (rata-rata 30 hari) Distribusi di seluruh dunia; endemitas tinggi di negara berkembang 19

HAV dieksresi di tinja oleh orang yang terinfeksi selama 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan penyakit Viremia muncul singkat (tidak lebih dari 3 minggu), kadang-kadang sampai 90 hari pada infeksi yang membandel atau infeksi yang kambuh Ekskresi feses yang memanjang (bulanan) dilaporkan pada neonatus yang terinfeksi Transmisi enterik (fekal-oral) predominan di antara anggota keluarga. KLB dihubungkan dengan sumber umum yang digunakan bersama, makanan terkontaminasi, dan air Faktor risiko lain, meliputi paparan pada: Pusat perawata sehari untuk bayi atau balita Institusi untuk developmentally disadvantage Bepergian ke negara berkembang Perilaku seks oral-anal Pemakaian bersama pada IVDU

Tak terbukti adanya penularan maternal-neonatal Prevalensi berkolerasi dengan standar sanitasi dan rumah tinggal ukuran besar Transmisi melalui transfusi darah sangat jarang

Virus hepatitis E (HEV) Masa inkubasi rata-rata 40 hari Distribusi luas, dalam bnetuk epidemi dan endemi HEV RNA terdapat di serum dan tinja selama fase akut Hepatitis sporadik sering pada dewasa muda di negara sedang berkembang Penyakit epidemi dengan sumber penularan melalui air Intrafmilial, kasus sekunder jarang Dilaporkan adanya maternal-neonatal Di negara maju sering berasal dari orang yang kembali pulang setelah melakukan perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik Viremia yang memanjang atau pengeluaran di tinja merupakan kondisi yang tidak sering dijumpai Zoonosis: babi dan binatang lain

Virus hepatitis B (HBV) Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari) Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati Distribusi di deluruh dunia: prevalensi karier di USA < 1%, di asia 5-15% HBV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan tubuh lain Cara transmisi - Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah 20

- Transmisi seksual - Penetrasi jaringan (perkutan) tau per mukosa : tertusuk jarum, penggunaan ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur dan silet, tato, akunputur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama - Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant - Tak ada bukti penyebaran fekal-oral Virus hepatitis D (HDV) Masa inkubasi diperkirakan 4-7 minggu Endemis di mediterania, semenanjung balkan, bagian eropa bekas rusia Insidensi berkurang dengan adanya peningkatan vaksin Viremia singkat (infeksi akut) atau memanjang (infeksi kronik) Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan risiko infeksi HBV (koinfeksi atau superinfeksi) a. IVDU b. Homoseksual atau biseksual c. Resipien donor darah d. Pasangan seksual Cara penularan: a. Melalui darah b. Transmisi seksual c. Penyebaran maternal-neonatal Virus hepatitis C (HCV) Masa inkubasi 15-160 hari (puncak pada sekitar 50 hari) Viremia yang berkepanjangan dan infeksi yang persisten umum dijumpai (55%-85%). Distribusi geografik luas. Infeksi yang menetap dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis, kanker hati. Prevalensi serologi infeksi lampau/ infeksi yang berlangsung berkisar 1,8% di USA, sedangkan di Italia dan Jepang dapat mencapai 20% Cara transmisi: a. Darah (predominan) : IVDU dan penetrasi jaringan, resepien produk darah b. Transmisi seksual : efisiensi rendah, frekuensi rendah c. Maternal-neonatal : efisiensi rendah, frekuensi rendah d. Tak terdapat bukti transmisi fekal-oral

Patofisiologi 1. Sistem imun bertanggungjawab untuk terjadinya kerusakan sel hati a. Melibatkan respons CD8 dan CD4 sel T b. Produksi sitokin di hati dan sistemik

21

2. Efek sitopatik langsung dari virus. Pada pasien imunosupresi dengan replikasi tingi, akan tetapi tidak ada bukti langsung.

Gambaran Klinik Pada infeksi yang sembuh spontan : 1. Spektrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut 2. Sindrom klinis yang mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal yang non spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti: a. Malaise, anoreksia, mual dan muntah b. Gejala flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala, dan mialgia 3. Awitan gejala cenderung munculmendadak pada HAV dan HEV, pada virus yang lain secara insidious 4. Demam jarang ditemukan kecuali pada infeksi HAV 5. Immune complex mediated, serum sickness like syndrome dapat ditemukan pada kurang dari 10% pasien dengan infeksi HBV, jarang pada infeksi virus lain 6. Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap 7. Ikerus dapat didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus meningkat 8. Pemeriksaan fisis menunjukkan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati 9. Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien Gagal hati akut (Acute Liver Failure) 1. Perubahan status mental (ensefalopati): letargi, mengantuk, koma, perubahan pola tidur, perubahan kepribadian 2. Edema serebral (biasanya tanpa edema papil) 3. Koagulopati (pemanjangan masa protrombin) 4. Gagal organ multipel, ARDS, aritmia jantung, sindroma hepatorenal, asidosis metabolik, sepsis, perdarahan gastrointestinal, hipotensi 5. Asites, dapat anasarka 6. Case fatality rate 60% 7. Pemeriksaan fisis serial memperlihatkan hati yang mengecil 8. Frekuensi tinggi mencapai 10%-20% pada perempuan hamil semester ketiga dengan hepatitis E Hepatitis dengan kolestasis 1. Kuning sangat menonjol dan menetap selama beberapa bulan sebelum terjadinya perbaikan yang komplit 2. Pruritus menonjol 3. Pada beberapa pasien terjadi anoreksia dan diare yang persisten 4. Prognosis baik pada pasien dengan resolusi yang komplit 5. Paling sering terjadi pada infeksi HAV 22

Hepatitis relaps 1. Kemunculan kembali gejala dan abnormalitas tes hati setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah perbaikan atau kesembuhan 2. Paling sering terjadi pada infeksi HAV, IgM anti HAV tetap positif dan dijumpai HAV di tinja 3. Dapat dijumpai artritis. Vaskulitis dan krioglobulinemia 4. Prognosis baik pada yang telah sembuh sempurna walaupun setelah kambuh yang berulang (terutama dijumpai pada anak)

Laboratorium Pada infeksi yang sembuh spontan : Gambaran biokimia yang utama adalah peningkatan konsentrasi serum alanin dan aspartat aminotransferase Konsentrasi puncak bervariasi dari 500 sampai 5000 U/L Konsentrasi serum bilirubin jarang melebihi 10 mg/dl, kecuali pada hepatitis dengan kolestasis Konsentrasi serum fosfatase alkali normal atau hanya meningkat sedikit Masa protrombin normal atau meningkat antara 1- detik Konsentrasi serum albumin normal atau menurun ringan Hapusan darah tepi normal atau leukopenia ringan dengan atau tanpa limfositosis ringan

Gagal hati akut (Acute Liver Failure) Koagulopati yang berat Lekositosis, hiponatremia n hipokalemia umum dijumpai Hipoglikemia Elevasi nyata dari serum bilirubin dan transaminase, tetapi aminotransferase akan kembali normal meskipun penyakit progresif Hepatitis dengan kolestasis Konsentrasi bilirubin serum dapat melebihi 20 mg/dl Konsentrasi serum aminotransferase dapat kembali normal meskipun kolestasis masih menetap Konsentrasi fosfatase alkali serum meningkat secara bervariasi

Hepatitis relaps Meningkatnya kembali konsentrasi aminotransferase dan bilirubin yang sudah normal dalam masa penyembuhan Konsentrasi puncak dapat melebihi konsentrasi pada saat infeksi awal

Diagnosis Secara Serologis 1. Transmisi infeksi secara enterik

a. HAV
IgM anti HAV dapat dideteksi selama fase akut dan -6 bulan setelahnya Anti HAV yang positif tanpa IgM anti HAV mengindikasikan infeksi lampau 23

b. HEV
Belum tersedia pemeriksaan serologi komersial yang telah disetujui FDA IgM dan IgG anti HEV baru dapat dideteksi oleh pemeriksaan untuk riset IgG anti HEV dapat tetap terdeteksi selama 20 bulan

2. Transmisi infeksi melalui darah a. HBV Diagnosis serologis telah tersedia dengan mendeteksi keberadaan dari IgM antibodi terhadap antigen core hepatitis (IgM anti HBc dan HBs Ag) b. HDV Pasien HbsAg positif dengan : o Anti HDV dan atau HDV RNA sirkulasi (pemeriksaan belum mendapat persetujuan) o IgM anti HDV dapat muncul sementara Koinfeksi HBV/HDV o HbsAg positif o IgM anti HBc positif o Anti HDV dan atau HDV RNA c. HCV Diagnosis serologis o Deteksi anti HCV HCV RNA o Petanda yang paling awal muncul pada infeksi akut hepatitis C o Muncul setelah beberaapa minggu infeksi o Ditemukan pada infeksi kronik HCV Superinfeksi HDV Titer anti HDV akan menurun sampai tak terdeteksi dengan adanya perbaikan infeksi HbeAg dan HBV DNA IgG anti HBc Antibodi terhadap HbsAg (anti HBs)

Pengobatan Pada infeksi yang sembuh spontan : Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan dehidrasi Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat o Tidak ada rekomendasi diet khusus o Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan makanan yang paling baik ditoleransi o Menghindari konsumsi alkohol selama fase akut Aktivitas fisis yang berlaabihan dan berkepanjangan harus dihindari Pembatasan aktivitas sehari-hari tergantung dari derajat kelelahan dan malaise 24

Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A, E, D. Pemberian interferon- alfa pada hepatitis C akut dapatbmenurunkan risiko kejadian infeksi kronik. Peran lamivudin dan adefovir pada hepatitis B akut masih belum jelas. Kortikosteroid tidak bermanfaat.

Obat-obat yang tidak perlu harus dihentikan

Gagal hati akut (Acute Liver Failure) Perawatan di RS o Segera setelah diagnosis ditegakkan o Penanganan tebaik dapat dilakukan pada RS yang menyediakan program transplantasi hati Belum ada terapi yang terbukti efektif Tujuan o Sementara menunggu perbaikan infeksi spontan dan perbaikan fungsi hati dilakukan monitoring kontinu dan terapi suportif o Pengenalan dini dan terapi terhadap komplikasi yang mengancam nyawa o Mempertahankan fungsi vital o Persiapan transplantasi bila tidak terdapat perbaikan Angka survival mencapai 65%-75% bila dilakukan transplantasi dini

Hepatitis dengan kolestasis Perjalanan penyakit dapat dipersingkat dengan mpemberian jangka pendek prednison atau asam ursodioksikolat. Hasil penelitian masih belum tersedia. Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin

Hepatitis relaps Penanganan serupa dengan hepatitis yang sudah sembuh spontan.

Pencegahan Pencegahan Terhadap infeksi hepatitis dengan penularan Secara enterik HAV Imonoprofilaksis sebelum paparan a. Vaksis HAV yang dilemahkan Efektifitas tinggi ( angka proteksi 94-100%) Sangat imunogenik (hampir 100% pada objek sehat) Antibody protektif terbentuk dalam 15 hari pada 85-90%subjek Aman, toleransi baik Efektifitas proteksi selama 20-50 tahun Efek samping utama adalah nyeri ditempat penyuntikan b. Dosis dan jadwal vaksin HAV >19 tahun , 2 dosis of HAVRIX (1440 unit Elisa) dengan interval 6-12 bulan. Anak > 2 tahun , dosis HAVRIX (460) unit Elisa c. Indikasi Vaksin Pengunjung ke resiko tinggi 25

Homoseksual dan biseksual IVDU Anak dan dewasa muda pada daerah yang pernah mengalami kejadian luar biasa luas Anak pada daerah dimana angka kejadian HAV lebih tinggi dari angka nasional Pasien yang rentan dengan penyakit hati kronik Pekerja laboratorium yang menangani HAV Pramusaji Pekerja pada bagian pembuangan air. Imunoprofilaks pasca paparan a. Keberhasilan vaksin HAV pada pasca paparan belum jelas b. Keberhasilan imunoglobulin sudah nyata akan tetapi tidak sempurna. c. Dosis dan jadwal pemberian imunoglobulin : HEV Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien hepatitis E dapat bersifat proteksi, akan tetapi efektifitas dari imunoglobulin yang mengandung anti HEV masih belum jelas. Pengembangan imunoglobulin titer tinggi sedang dilakukan Vaksin HEV sedang dalam penelitian klinis pada daerah endemik Dosis 0,02 ml/kg suntikan pada daerah deltoid sesegera mungkin pasca paparan Toleransi baik, nyeri pada daerah suntikan Indikasi : kontak erat dan kotak dalam rumah tangga dengan infeksi HAV akut

HBV Pencegahan pada infeksi yang ditularkan melalui darah Dasar utama Imunoprofilaksis adalah pemberian vaksin hepatitis B sebelum paparan Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan a. Vaksin rekombinan ragi Mengandung HbsAg sebagai imunogen Sangat imunogenik, menginduksi konsentrasi proteksi anti HbsAg pada >95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit tiga dosis. Efektivitas besar 85-95% dalam mencegah infeksi hepatitis B. Efek samping utama : Nyeri sementara pada tempat suntikan pada 10-25% dan deman ringan singkat pada <tiga % Booster tidak direkomedasikan walaupun setelah 15 tahun imunisasi awal Booster hanya untuk individu dengan imunokompromais jika titer dibawah 10 mU/ml Peran Imunoterapipada pasien hepatitis B kronik sedang dalam penelitian b. Dosis dan jadwal vaksinasi HBV. Pemberian IM dosis dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis ank (1/2 dosis dewasa), diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian. c. Indikasi Imunisasi universal untuk bayi baru lahir Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun ( bila belum divaksinasi) 26

Grup resiko tinggi : 1)pasangan dan anggota keluarga yang kontak dengan karier hepattis B . 2) pekerja kesehatan dan pekerja yang terpapar darah, tiga) IVDU, 4) homoseksual dan biseksual pria, 5)indivisu dengan banyak pasang seksual, 6) resipien transfusi darah, 7)pasien hemodialisis, 8)sesama narapidana, 9)individu dengan penyakit hati yang sudah ada misal : hepatitis C kronik. Imunoprofilaksis pasca paparan dengan vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIG) Indikasi a. Kontak seksual dengan individu yang terinfeksi hepatitis akut : 1)dosis 0,04-0,07 mL/kg HBIG sesegara mungkin setelah paparan, 2) vaksin HBV pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada deltoid sisi yang lain, tiga) vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian b. Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HbsAg positif : 1) mL HBIG diberkan dalam waktu 12 jam setelah lahir dibagian anterolateral otot paha atas, 2) vaksin HBV dengan dosis 5-10 ug, diberikan dalam waktu 12 jam pada sisi lain diulang pada 1 dan 6 bulan c. Efektifitas perlindungan melampaui 95%

Vaksin kombinasi untuk perlindungan dari hepatitis A dan B Vaksin kombinasi ( twinrix-glaxoSmithkline) mengandung 20 ug protein HbsAg (engerix) dan lebih 720 unit elisa hepatitis A virus yang dilemahkan ( Havrix) memberikan proteksi ganda degan pemberian suntikan kali berjarak 0,1 dan 6 bulan. Diindikasikan untuk individu dengan resiko baik terhadap infeksi HAV maupun HBV.

HEPATITIS B KRONIK Pada saat ini definisi hepatitis B kronik adalah adanya persistensi virus hepatitis B lebih dari 6 bulan, sehingga pemakaian istilah carrier sehat tidak dianjurkan lagi.

Patogenesis persistensi Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, oartikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun nonspesifik karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB- MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sydah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHb-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHb yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada didalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya 27

ALT atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas IFN dan TNF alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti HBS, anti HBC dab anti Hbe. Fungsi anti HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHb bukan disebabkan gangguan produksi anti HBs. Buktinya pada pasien hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi dengn pemeriksaan biasa karena anti HBs bersembunyi di dalam kompleks Hbsag. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat yang menetap. Proses elimin nasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus dan faktor pejamu. Faktor virus antara lain : Terjadinya immunotolerasnsi terhadap produk VHB Hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi Terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HbeAg Integrasi genom VHB dalam genom sel hati.

Faktor pejamu antara lain : Faktor genetik Kurangnya produksi IFN Adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid Kelainan fungsi limfosit Respon antidiotipe Faktor kelainan atau hormonal Salah satu contoh peran imunnotoleransi terhadap produk VHB dalam persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi HVB pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu yang HbsAg dan HbEAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunnotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi VHb dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg. Tidak adanya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.

PERJALANAN PENYAKIT HATI 99% individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HbsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis B kronik, sedangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang berbeda, tergantung dari konsentrasi VHB dan respon imun tubuh.Interaksi antara VHB dengan respon imun tubuh terhadap VHB sangat besar perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati. Ada 3 fase dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik 28

1.

Fase imunnotoleransi Pada masa-anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti Hbe negatif, titer HBV DNA tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase imunnotoleransi. Pada fase imunnotolerasnsi sangat jarang terjadi serokonversi HbeAg secara spontan dan terapi untuk menginduksi serokonversi HbeAg tersebut biasanya tidak efektif.

2.

Fase imunnoclearance Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Pada fase ini tubuh akan berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunnoaktif serokonversi HbeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel ahti yang berarti. Pada keadaan ini titer HbsAg rendah dengan HbeAg yangf menjadi negatiff dan anti Hbe yang menjadi positif secara spontan serta konsentrasi ALT yang normal yang menandai terjadinya fase nonreplikatis. Sekitar 20-305 pasien hepatitis B kronik dalam fase residual dapatg mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan

3.

Fase residual Pada waktu terjadi serokonversi HbeAg positif mrnjadi anti Hbe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang berulangulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang justru resiko untuk terjadi HCC mungkin meningkat. Sebagai contoh, onata melaporklan dari 500 pasien HCC, 53 orang (11%) menunjukkan HbsAg positif. Dari jumlah ini ,46 (87%) anti Hbe positif dan 305 HbeAg positif. Diduga integrasi genom VHB kedalam genom sel hati merupakan proses yang penting dalam karsinogenesis. Karena itu, terapi antivirus harus diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis tapi disamping itu juga sedini mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang dapat berkembang menjadi KHS.

HbeAg pada pasien hepatitis kronik Parameter untuk mengukur replikasi VHB yang biasa dipakai adalah HbeAg dan anti Hbe serta konsentrasi DNA VHB. Belakangan ini banyak dipakai metode PCR kuantitatif. PCR mempunyai kepekaan hingga 10-100 kopi/ml sedangkan metode lain memiliki kepekaan sampai 105-106 copy per mL. Pada fase replikatif nilai HBV DNA lebih besar dari 105 copy/ ml. Dengan demikian bila DNA VHB tidak bisa dideteksi dengan metode non PCR maka infeksi VHB dianggap sudah tidak aktif. Dalam keadaan normal pada fase replikatif didapatkan titer HbsAg yang sangat tinggi, HbeAg positif dan anti Hbe negatif serta konsentrasi HBV DNA tinggi. Pada sekelompok pasien dengan HbeAg negatif dan bahkan anti Hbe positif 29

dapat pula dijumpai HBV DNA yang masih tinggi dengan tanda-tanda aktivitas penyakit.Pada kelompok pasien tersebut didapatkan mutasi pada daerah precore dari genom VHB yang menyebabkan HbeAg tidak bisa diproduksi. Berdasarkan status HbeAg, hepatitis B kronik dikelompokkan menjadi Hepatitis B kronik HbeAg positif dan Hepatitis B kronik HbeAg negatif Hepatitis B kronik HbeAg nagatif sering ditandai dengan perjalanan penyakit yang berfluktuasi dan jarang mengalami remisi spontan. Karena itu pasien dengan Hbe negatif dan konsentrasi HBV DNA tinggi merupakan indikasi terapi antivirus. Pada pasien dengan infeksi VHB mutan precore mungkin masih ada sisa-sisa VHB tipe liar yang belum mengalami mutasi

Gambaran klinis Secara sederhana manifestasi klinis hepatitis B kronis dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1. Hepatitis B kronik yang masih aktif. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit hati

kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran peradangan yang aktif. 2. Carrier VHb inaktif. Pada pasien ini tidak didapatkan keluhan. Pada pemeriksaan histologik terdapat kronik Hbe negatif dengan pasien

kelainan jaringan yang minimal. Sering sulit membedakan hepatitis B

carrier VHB inaktif karena pemeriksaan kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin.Pemeriksaan biopsi untuk pasien hepatitis B kronik sangat penting terutama untuk pasien HbeAg positif dengan konsentrasi ALT 2xnilai normal.

Gambaran histopatologik hepatitis B kronik Untuk menilai derajat keparahan hepatitis serta untuk menentukan prognosis, dahulu gambaran histopatologik hepatitis B kronik dibagi menjadi : 1. Hepatitis kronik persisten adalah infiltrasi sel-sel mononukleir pada daerah portal dengan sedikit sering tampak pada carrier

fibrosis, imiting plate masih utuh tidak ada piecemal nekrosis. Gambaran ini asimp\tomatik 2.

Hepatitis kronik aktif adalah adanya infiltrat radang yang menonjol, yang terutama terdiri dari limfosit dan sel plasma yang terdapat didaerah portal. Infiltrasi peradangan ini masuk kedalam lobulus hati dan menimbulkan erosi limiting plate. Gambaran ini sering tampak pada carrie

asimptomatis 3. Hepatitis kronik Lobular sering dinamakan hepatitis akut berkepanjangan. Gambaran histologik

mirip Hepatitis akut tetap timbul lebih dari 3 bulan. Didapatkan gambaran tetapi timbul lebih dari 3 bulan.

Penatalaksaan Tujuan Mencegah atau menghentikan progresi jejas ulur hati Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu : 1. Kelompok imunnomodulasi -IFN -Tumosin alfa 1 30

-Vaksinasiterapi 2. Kelompok terapi antivirus - Lamivudin Adefovir Divipoksil

Terapi dengan imunnomodulator Interferon alfa IFN adalah salah satu piliha untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik dengan HbeAg positif , belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan IFN dalam menurunkan replikasi virus telah banyak dilaporkan dari berbagai penelitian yang menggunakan follow up jangka panjang. Khasiat IFN pada hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh khasiat imunnomodulator. Penelitian menunjukkan bahwa pasien sering didapatkan penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu akibatnya terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel-sel hepatosit yang terkena infeksi VHB. Beberapa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN : 1. Konsentrasi ALT yang tinggi - Konsentrasi DNA VHB yang rendah - Timbulnya flare up selama terapi - IgM anti HBe yang positif 2. Efek samping IFN - Gejala seperti flu - Tanda-tanda supresi sumsum tulang - Flare up - Depresi - Rambut rontok - BB turun - Gangguan fungsi tiroid Dosis IFN yang dianjurkan untuk Hepatitis B kronik dengan HbeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa terapi IFN sebaiknya diberikan selama 12 bulan.

Kontraindikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat depresi di waktu yang lalu dan adanya penyakit jantung berat.

PEG interferon Serokonversi HbeAg pada kelompon PEG IFN pada masing-masing dosis adalah 27-33,37% dan pada kelompok IFN biasa sekitar 25%. 1. Penggunaan steroid sebelum terapi IFN. Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa steroid IFN saja, tetapi hal 31

withdrawl yang diikuti dengan pemberian IFN lebih efektif dibandingkan dengan

itu tidak terbukti dalam penelitian skala besar. Karena itu steroid withdrawl yang diikuti dengan IFN tidak dianjurkan secar rutin. 2. Timosin alfa 1. Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi baik sebagi sediaan parenteral maupun

oral. Timosin alfa ! merangsang fungsi limfosit. Pemberian Timosin Alfa 1 pada pasien hepatitis B kronik dapat menurunkan replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi atau menghilangkan DNA VHB.

Keunggulannya adalah tidak memiliki efek samping dan jika dipadu dengan IFN akan meningkatkan efektifitas IFN. 3. Vaksinasi terapi. Salah satu dasar vaksinasi terapi untuk hepatitis B adalah adalah yang

penggunaan vaksin yang menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sitotoksik

bersifat HLA restricted diharapkan sel T tersebut mampu menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Salah satu strategi penggunaan vaksin yang mengandung protein pre S. Strategi kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang spesifik untuk sel limfosit T sitotoksik. Strategi ketiga adalah vaksin DNA

Terapi Antivirus 1. Lamivudin Lamivudin menghambat produksi VHB varu dan mencegah terjadinya infeksi heaptosit sehat yang belum terenfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena sel-sel yang telah terdeksi DNA VHB ada dalam keadaan cnonvalent closed circular. Jika Lamivudin diberikan dalam dosis 100 mg/hari, Lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalm 1 minggu. Khasiat Lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih panjang. Sayangnya strategi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya resistensi yang biasa disebut mutan YMDD. Mutan tersebut akan meningkat 20% tiap tahun bila terapi bisanya muncul setelah terapi selama 6 bulan dan terdapat kecendrungan peningkatan dengan berjalannya waktu. Mutan YMDD mengalami replikasi yang lebih lambat dibandingkan dengan VHB tipe liar dan karena itu konsentrasi DNA VHB pada pasien dengan infeksi mutan masih lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi sebelum terapi Lamivudin pada pasien anak-anak. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian Lamivudin dengan dosis 3 mg/kgbb tiap hari selama 52 minggu menunjukkan bahwa serokooonversi HbsAg pada kelompok yang mendapatkan Lamivudin lebih besar dibandingkan dengan kelompok plasebo. Lamivudin pada pasien sirosis dengan HBV DNA positif Penelitian menunjukkan bahwa Lamivudin dapat dipakai pada pasien sirosis dekompensata dengan HBV DNA yang positif. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan penyakit hati dan penurunan CTP yang disertai dengan penurunan kebutuhan transplantasi hati pada pasien-pasien sirosis ysng mendapatkan terapi sedikitnya selama 6 bulan.

Keuntungan dan kerugian lamivudin Keuntungan utama dari Lamivudin adalah keamanan , toleransi pasien dan harganya yang relatif murah. Kerugiannya adalah sering timbul kekebalan 32

Kekambuhan setelah pemberian Lamivudin Sekitar 16% pasien hepatitis B kronik yang mendapatkan pengobatan Lamivudin dalam jangka lama mengalami kenaikan konsentrasi ALT 8-24 minggu setelah lamivudin dihentikan. Keadaan ini disebabkan karena terjadinya reinfeksi sejumlah besar sel-sel hati yang sehat akibat dihentikannya lamivudin yang diikuti dengan respon imu yang mirip hepatitis B akut.

2.

Adefovir dipivoksil Walaupun adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggal primer namun karena ada alasan

ekonomik dan efek samping adefovir, maka pada saat ini adefovir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap Lamivudin. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/hari. Salah satu hambatan utama dalam pemakaian adefovir adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpsi pada dosis 30 mg/lebih Keuntungan dan kerugian adefovir Keuntungannya adalah jarang terjadi resistensi. Kerugiannya adalahga yang lebih mahal dan masih kurangnyadata mengenai khasiat dan keamanan dalam jangka yang sangat panjang.

3.

Analog nukleosid yang lain Berbagai macam analog nukleosid yang dapat dipakai pada hepatitis B kronik adalah Famviclovir

dan emtericitabin

Indikasi terapi antivirus Terapi antivirus dianjurkan untuk pasien hepatitis B kronik dengan ALT 2x normal tertinggi dengan HBV DNA positif. Untuk ALT < 2 x nilai normal tertinggi tidak perlu terapi antivirus

IFN atau analog nukleosid Untuk ALT 2-5 kali nilai tertinggi dapat diberikan Lamivudin 100 mg tiap hari atau IFN 5 MU 3 x seminggu. Untuk ALT 5 x nilai normal tertinggi dapat diberikan lamivudin 100 mg tiap hari. Pemakaian IFN tidak dianjurkan.

Lama terapi antivirus Dalam keadaan biasa IFN diberikan samapi 6 bulan sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi HbeAg

Kriteria respon antivirus Respon biokimiawi adalah penurunan konsentrasi ALT menjadi normal Respon virologik , negatifnya DNA VHB dengan metode non PCR (< 105 kopi /ml) dan hilangnya HbeAg pada psien yangsebelum terapi HbeAg positif Respon histologis menurunnya indeks aktivitas histologik sedikitnya 2 poin dibandingkan biopsi hati sebelum terapi. Respon komplit adanya respon biokimiawi dan virologik yang disertai negatifnya HbsAg 33

Waktu pengukuran respon antivirus Selama terapi ALT , HbeAg dan HBV DNA 9non PCR) diperiksa tiap 1-3 bulan. Setelah terapi ALT , HbeAg dan DNA VHB diperiksa 3-6 bulan.

Analog nukleosid dan transplantasi hati Pada pasien infeksi VHB yang perlu dilakukan transplantasi hati sangat sulit untuk melakukan eradikasi VHB sebelum transplantasi. Bila pasien tersebut dilakukan transplantasi maka angka kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi sangat tinggi karena pasca tranplantasi mendapat terapi imunosupresif yang kuat. Dengan adanya terapi anti virus spesifik yang dapat menghambat progresi penyakit hati setelah transplantasi, maka kini transplantasi tetap diberikan kepada pasien infeksi VHB. Penelitian menunjukkan bahwa dengan menggabungkan Hepatitis B imunoglobulin dengan Lamivudin kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi dapat ditekan sampai < 10%.

HEPATITIS C VHC adalah virus RNA yang digolongkan dalam Flavivirus bersam-sama dengan virus hepatitis G. Virus ini umumnya masuk kedalam darah melalui transfuse atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung terpapar denga sirkulasi darah. Target utama VHC adalah sel-sel dan mungkin juga sel limfosit B melalui reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD 8 yang terdapat pada sel-sel hati maupun limfosit sel B atau reseptor LDL.

Patogenesis Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati VHC masih sulit dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologi dan apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotaksik atau tidak, terus berlangsung. Reaksi cytotocic T-cell (CTL) spesifik kuat diperlukan terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon iflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL. Reaksi inflamasi yang dilibatkna melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF alfa, TGF 1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel khas ini sebelumnya dalam keadaan tenang kemudian berpoliferasi dan menjadi aktif 34

menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus-menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati. Pada gambaran histopatologik pasien hepatitis C kronik dapat ditemukan proses inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati(fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan. Gambaran yang agak khas untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC. Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam menentukan prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologis dapat dilakukan scoring untuk inflamasi dan fibrosis di hati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli patologi. Saat ini system scoring yang mempunyai variasi intra dan interobserver yang baik di antaranya adalah METAVIR dan ISHAK.

Karakteristik Klinis dan Perjalanan Penyakit Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 3-26 minggu) setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian , infeksi akut sangat sukar dikenal karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi VHC. Dari beberapa laporan yang berhasil mengidentifikasi pasien dengan infeksi hepatitis c akut, didapatkan adanya gejala malaise, mual-mual, ikterus seperti halnya hepatitis akut akibat infeksi virus-virus hepatitis lainnya. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT meninggi sampai beberapa kali di atas batas atas nilai normalnya tetapi umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L. Umumnya, berdasarkan gejala klinis dan laborato dibedakan antara infeksi oleh virus hepatitis A,B, maupun C Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya VHC setelah terjadinya hepatitis kronik sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C. Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisis maupun laboratorik kecuali bila sudah terjadi sirosishati. Pada pasien dimana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan diantara pasien dengan peningkatan ALT , hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat. Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor risiko yaitu: asupan alkohol, koinfeksi dengan virus hepatitis B atau Human Immunodeficiency virus(HIV) , jenis kelamin laki-laki dan usia tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati dengan frekuensi 1:4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun hal ini sangat jarang terjadi. 35 rik saja tidak dapat

Ko-infeksi VHC dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh, terutama infeksi oleh VHC genotipe 1. Adanya ko-infeksi VHC dan HIV juga menyulitkan terapi dengan obat-obatan anti retrovirus karena memperbesar proporsi pasien yang menderita gangguan fungsi hati dibandingkan dengan mereka yang tidak terdapat ko-infeksi VHC-HIV. Di Indonesia permasalahan ko-infeksi VHC dan HIV banyak ditemukan pada pengguna narkotika suntik yang menggunakan alat suntik bergantian. Lebih dari 80% pengguna narkotika suntuk terinfeksi oleh VHC. Pada populasi ini juga ditemukan semakin tingginya proporsi kejadian hepatotoksik penggunaan obat antiretroviral (ALT >5 kali nilai normal) pada mereka dengan ko-infeksi VHC-HIV dibandingkan dengan mereka yang hanya menderita infeksi HIV saja. Proporsi hepatotoksik juga semakin meningkat bila terdapat ko-infeksi VHC-HIV dan VHB yang juga tidak jarang ditemukan pada pengguna narkotika di Indonesia. Ko-infeksi VHC dengan virus hepatitis B (VHB) juga memperburuk perjalanan penyakit pasien. Dilaporkan kejadian penyakit sirosis hati lebih banyak ditemukan pada penderita yang menderita infeksi ko-in eksi VHB-VHB dibandingkan dengan mereka yang hanya terinfeksi VHB saja atau VHB saja. Selain itu risiko terjadinya kanker hati meningkat menjadi amat tinggi pada mereka yang menderita ko-infeksi ini dibandingkan hanya terinfeksi salah satu virus tersebut saja. Superinfeksi oleh virus hepatitis A (VHA) pada pasien yang telah terinfeksi VHC dilaporkan dapat menjadi hepatitis akut yang berat maupun hepatitis fulminan. Untuk itu pasien VHC yang belum pernah terinfeksi VHA dianjurkan untuk vaksinasi terhadap infeksi VHA. Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstrahepatik, antara lain: krioglobulinemia dengan komplikasi-komplikasinya(glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura atau artralgia) porpyria, cutanea tarda, sicca syndrome, atau lichen planus.

Diagnostik Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibody yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus ini menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat menghilang infeksi VHC pada infeksi akut, namun antibody terhadap VHC masih terus bertahan bertahun-tahun *18-20 tahun). Detekso antibody terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik enzyme immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini adalah antigen C-100 dan beberapa antigen nonstruktural sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari VHC . Dikenal bebrapa generasi pemeriksaan antibody VHC ini dimana antigen yang digunakan semakin banyak sehingga saat ini generasi III

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Antibodi terhadap VHC dapat dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan sensitivitas mencapai 99% . negative palsu dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi system kekebalan tubuh seperti pada pasien HIV , gagal ginjal atau pada kriglobunemia. Immunoblot assay dulu digunakan untuk tes konfirmasi pada mereka dengan anti-HCV positif dengan EIA. Saat ini dengan tingkat sensitivitas dan spesifitas EIA yang sudah sedemikian tinggi, tes konfirmasi ini tidak lagi digunakan. 36

Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun hati relative sangat kecil sehinnga diperlukan teknik amplifikasi agar dapat terdeteksi. Teknik PCR dimana gen VHC digandakan oleh enzim polymerase digunakan sejak ditemukannya virus ini dan saat ini umumnya digunkan untuk menentukan adanya VHC maupun menentukan jumlah virus dalam serum. Teknik ini juga dipakai dalam menentukan adanya VHC maupun menentukan jumlah virus dalam serum. Untuk menentukan genotype VHC selain dengan teknik PCR, juga digunakan teknik hibridisasi atau dengan melakukan sequencing gen VHC. Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC dilakukan pada penapiasan darah umtuk transfuse darah menggunakan deteksi anti VHC dengan EIA maupun dengan cara immunokromatografi, namun masih terdapat kasus-kasus pasien yang terinfeksi oleh VHC walaupun deteksi anti VHC sudah dinyatakan negative. Teknik deteksi nukleotida lebih sensitive daripada deteksi anti VHC karena itu dunia saat ini telah dikembangkan teknik menggunakan real-time PCR yang dapat mendeteksi RBA VHC dalam jumlah yang sangat kecil. Selain itu, teknologi menggunakan teknik TMA juga telah dikembangkan untuk meningkatkan sensitivitas deteksi HVC. Teknik-teknik yang sangat sensitive ini berguna untuk deteksi infeksi VHC di kalangan pasien maupun di kalangan masyarakat umum untuk transfuse darah.

Penatalaksaan Untuk penatalaksanaan infeksi VHC beberapa badan peneliti hati di dunia seperti American Association for Study of the Liver Disease(AASLD), European Association for Study of The Liver (APASL) serta Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) sudah mengeluarkan panduan penatalaksanaan. Pasien biasannya diketahui terinfeksi VHC setelah adanya pemeriksaan anti HVC yang positif. Untuk mengetahui adanya infeksi sebenarnya, pemeriksaan RNA VHC perlu dilakukan dimana sekaligus diketahui jumlah virus di dalam darah serta genotype VHC. Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Hal ini mungkin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Menurut panduan penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai normal. Hal ini mungkin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT di atas batas normal biasanya sudah menunjukan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan biopsy hati. Bila nilai ALT normal, harus diketahui terlebih dahulu apakah nilai normal ini menetap atau berfluktuasi merupakan indikasi untuk melakukan terapi namun bila ALT tetap normal, biopsy hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis yang sudah terjadi. Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati(F0) atau hanya merupakan fibrosis hati ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun menderita infeksi VHC. Nilai fibrosis hati pada tingkat menengah atau tinggi, sudah merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati, maka pemberian interferon harus berhatihati karena dapat menimbulkan penurunan fungsi hati secara bermakna.

37

Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribarvin. Umumnya disepakati bila genotype VHC adalah genotype 1 dan 4, maka terapi perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu. Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahu, Hb< 10 g/dL, Lekosit darah < 2500/uL, trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjal juga tidak diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi. Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethyln glycol (PEG) atau dikenal dengan peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kg BB/kali (untuk PegInterferon 12 KD) atau 180 ug (untuk PEG-Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000 mg setiap hari, dan >70 kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian. Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin perlu dilakukan pemeriksaan RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC resisten terhadap pengobatan dengan interferon yang tidak bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan dengan interferon dan tidak memerlukan pemeriksaan RNA VHC 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA VHC kualitatif. Bila RNA VHC tetap negative, maka pasien dianggap mempunyai respon virologik yang menetap dan RNA VHC positive, pasien dianggap kambuh. Meraka yang tergolong kambuh dapat diberikan Interferon dan Ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar atau sebelumnya bila menggunakan interferon konvensional, Peg_Interferon mungkin akan bermanfaat . Efek samping pemggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan dan sejenisnya), depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan. Keberhasilan dengan menggunakan interferon dan ribavirin untuk eradikasi VHC lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa hal. Pada pasien dengan genotype 1 hanya 40% pasien yang berhasil dieradikasi sedangkan dengan genotype lain, tingkat keberhasilan mencapai 70%.

SIROSIS HATI Pendahuluan Sirosis hati (Liver Cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit hati. Istilah sirosis di perkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826. Di ambil dari bahasa yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna orange dan dipakai untuk menunjukan warna orange atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak saat otopsi. Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai fibrosis. 38

(Gambar.12)

Fibrosis adalah penumpukan berlebihan matriks ekstraselular (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversible. Namun pada sebagian besar pasien sirosis, proses fibosis biasanya reversible. WHO membei batasan histologi sirosis sebagai proses kelainan hati yang bersifat difus, ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk nodul-nodul yang abnormal. Progresivitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun. Namun pada psien hepatitis C, perjalanan hepatitis kroniknya dapat berlangsung selama 40 tahun sebelum mengalami perubahan ke arah sirosis. Hubungan antara kelainan histologi dan gambaran klinik sering tidak sesuai. Beberapa pasien dengan sirosis sering tanpa keluhan sama sekali dan dapat hidup normal seperti kebanyakan orang. Sementara yang lain dapat mengalami banyak kelainan berat dengan gejala-gejala penyakit hati lanjut dan mempunyai keterbatasan untuk hidup lebih lama (limiting chance for survival). Beberapa gejala yang timbul dapat bervariasi mulai dari penurunan fungsi sintetik hati (koagulopati), penurunan kemampuan hati untuk detoksifikasi (ensefalopati hepatic) sampai hipertensi portal (perdarahan varises).

Epidemiologi Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per tahun di Amerika serikat. Sirosis merupakan penyebab keamtian utama yang ke-9 di AS, dan bertanggungjawab terhadap 1,2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien yang meninggal pada dekade keempat atau kelima kehidupan mereka akibat penyakit ini. Setiap tahun ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan karena gagal hati fulminan (fulminan hepatic failure). FHF dapat disebabkan hepatitis virus (virus hepatitis A dan B), Obat (asetaminofen), toksin (jamur Amanita phalloides atau jamur yellow death-cap), hepatitis autoimun, penyakit Wilson dan berbagai macam penyebab lain yang jarang ditemukan. Kasus kriptogenik merupakan 1/3 penyebab hepatitis fulminan. Pasien FHF mempunyai mortalitas sebesar 50-80%, kecuali bila ditolong dengan transplantasi hati. Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di indonesia. Namun dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintahan indonesia,hanya berdasarkan gejala klinis saja. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan 39

pria:wanita adalah 2:1 dan usia rata-rata 44 tahun. Rentang usia 13-88 tahun dengan kelompok terbanyak antara 40-50 tahun. Klasifikasi Klasifikasi morfologi Klasifikasi ini jarang dipakai karena sering tumpang tindih satu sama lain. 1. Sirosis mikronoduler : o o o o o Nodul : berbentuk Uniform, diameter <3 mm Penyebab : alkoholisme, hemokromatosis, obstruksi bilier, obstruksi vena hepatica, pintasan jejunoilial, sirosis pada anak India (Indian childhood cirrhosis). Sirosis mikronodular sering berkembang menjadi sirosis makronodular.

2. Sirosis makronoduler : Nodul : Bentuk nodul bervariasi, diameter > 3mm Penyebab : hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, defidiensi alpa 1antitripsin, sirosis bilier primer.

3. Sirosis Campuran : Kombinasi antara sirosis mikronodular dan sirosis makronodular.

Klasifikasi Etiologi Klasifikasi ini lebih terpilih, dan paling banyak dipakai dalam klinik. Dengan mengabungkan data klinis biokimia, histologi, dan epidemiologi, penyebab sirosis sebagian besar dapat ditentukan. Pada masa lalu penyakit hati alkohol merupakan penyebab sirosis yang paling menonjol di AS. Akhir-akhir ini hepatitis C mulai meningkat jumlahnya sebagai penyebab utama hepatitis kronik maupun sirosis secara nasional. Di indonesia, banyak penelitian menunjukan bahwa hepatitis B dan C merupakan penyebab sirosis yang lebih menonjol dibanding penyakit hati alkoholik. Banyak kasus sirosis kriptogenik ternyata disebabkan penyakit perlemakan hati non-alkoholik (nonalkoholik fatty liver disease) NAFLD. Bila kasus-kasus sirosis kriptogenik diteliti, ternyata banyak pasien menunjukan satu atau lebih faktor resiko klasik NAFLD seperti obesitas, DM, dan hipertrigliseridemia. Diduga steatosis berkurang pada beberapa hati penderita, sementara fibrosis hatinya justru berkembang dengan progresive. Ini yang membuat diagnosis histologi dari NAFLD menjadi sulit. Klasifikasi secara etiologis dan morfologis yaitu : 1. Alkoholik 2. kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis) 3. biliaris 4. kardiak 5. metabolik, keturunan, dan Obat.

Patofisiologi, Patologi dan Patogenesis Patofisiologi Fibrosis Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular 40

matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab terjadinya manifestasi klinis.

Manifestasi Klinis Gejala-gejala klinis Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah,lemas,selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, BB menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi,testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi gagal hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan dmeam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna sepeti teh pekat, muntah darah atau dengan melena serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung,agitasi,sampai koma. Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang tersebut di bawah ini : 1. Kegagalan Prekim hati 2. Hipertensi portal 3. Asites 4. Ensefalophati hepatitis Keluhan dari sirosis hati dapat berupa : a. Merasa kemampuan jasmani menurun b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap d. Pembesaran perut dan kaki bengkak e. Perdarahan saluran cerna bagian atas 41

f.

Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (HepaticEnchephalopathy

g. Perasaan gatal yang hebat Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan parenkim hati yang masing-masing memperlihatkan gejala klinis berupa : 1. Kegagalan sirosis hati a. edema b. ikterus c. koma d. spider nevi e. alopesia pectoralis f. ginekomastia

g. kerusakan hati h. asites i. j. rambut pubis rontok eritema palmaris

k. atropi testis l. kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan)

2. Hipertensi portal a. varises oesophagus b. spleenomegali c. perubahan sum-sum tulang d. caput meduse e. asites f. collateral veinhemorrhoid

g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)

Temuan Klinis Temuan klinis sirosis meliputi : o Spider angioma-spiderangiomata (atau spider telangiektasi) : adalah suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vene-vena kecil. Tanda sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan resiko estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil.

(Gambar.13)

42

Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipotenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artriris reumatoid, hipertiroidosme dan keganasan hematologi.

(Gambar.14) o Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemuakan pada kondisi hipolabuminemia yang lain seperti sindrome nefrotik. o o Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri. Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien DM, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juaga mengkonsumsi alkohol. o Ginekomastia secara histologi berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae pada pria, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selai tiu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada pria, sehingga pria tersebut mengalami perubahan ke aarah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause. o o o o o o Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Hepatomegali. Ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini kaibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta. Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Forta hepatikum, bau nafas yang khas pada psien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh. Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.

Tanda- tanda lain yang menyertai di antaranya: Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar Batu pada vesika felea akibat hemolisis Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrat lemak,fibrosis, dan edema.

43

Diagnosis Satu-satunya tes diagnosis sirosis hati yang paling akurat adalah biopsi hati. Namun biopsi hati dapat menimbukan komplikasi serius, meskipun sangat jarang. Karena itu tindakan ini hanya dicadangkan untuk yang tipe penyakit hatinya atau ada tidaknya sirosis masih meragukan. Diagnosis kemungkinan sirosis dapat dibuat berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium rutin. Bila diagnosis sirosis dapat ditegakkan, pemeriksaan lain dikerjakan untukmenentukan beratnya sirosis, serta ada tidaknya komplikasi. Pemeriksaan lain juga dapat dibuat untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan sirosis. Beberapa pemeriksaan berikur dapat dipakai untuk diagnosis sirosis dan evaluasinya. Anamnesis Perlu ditanyakan konsumsi alkohol jangka panjang, penggunaan narkotik suntikan, juga adanya penyakit hati menahun. Pasien dengan hepatitis virus B atau C mempunyai kemungkinan tertinggi untuk mengidap sirosis.

Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisis, kita dapat menemukan adanya hepatmegali dan splenomegali dan terasa keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Pada palpasi, hati teraba lebih keras dan berbentuk lebih irregular daripada hati normal. Spider telangiectasis, terutama pada pasien dengan sirosis alkoholik. Spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun juga dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai penyakit hati. Selain itu pada pemeriksaan fisik tubuh pasien tampak kuning atau ikterus. Untuk memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave.

(Gambar.15)

Pemeriksaan Laboratorium Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, Fungsi hati kita dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, serum albumin, prothrombin time, dan bilirubin. Peningkatan abnormal enzim transaminase (AST dan ALT), pada pemeriksaan rutin dapat menjadi salah satu tanda adanya peradangan atau kerusakan hati akibat berbagai penyebab, termasuk sirosis. Sirosis lanjut dapat disertai penurunan kadar albumin dan faktor-faktor pembeku darah. Peningkatan jumlah zat besi dalam darah dijumpai pada pasien hemokromatosis, suatu penyakit hati genetik, yang dapat menjurus ke sirosis. Autoantibodi (antinuclear antibody = ASMA dan antimtochondrial antibody = AMA) kadang-kadang dapat ditemukan pada darah pasien hepatitis autoimun atau sirosis bilier primer.

44

Pemeriksaan Endoskopi Varises esofagus dapat ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan endoskopi. Sesuai dengan konsensus Baveno IV, bila pada pemeriksaan endoskopi pasien sirosis tidak ditemukan varises, dianjurkan pemriksaan endoskopi ulang dalam dua tahun. Bila ditemukan varises kecil, endoskopi ulang dilakukan dalam satu tahun. Sebaiknya bila ditemukan varises besar, harus secepatnya dikerjakan terapi prevensi untuk mencegah perdarahan pertama.

Pemeriksaan CT scan (CAT) atau MRI dan USG Dapat dipakai untuk evaluasi kemungkinan penyakit hati. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan hepatomegali, nodul dalam hati, splenomegali dan cairan dalam abdomen, yang dapat menunjukan sirosis hati. Kanker hati dapat ditemukan dengan permeriksaan CT scan, MRI maupun USG abdomen. Kanker hati sering timbul pada pasien sirosis. Fungsi asites : bila terdapat penumpuksn cairan dalam perut, dapat dilakukan fungsi cairan asites. Denagn pemeriksaan khusus dapat di pastikan penyebab asites, apakah akibat sirosis atau akibat penyakit lain.

Komplikasi 1. Edema dan Asites Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan, pada awalnya akan mengumpul dalam jaringan di bawa kulit di sekitar tumit dan kaki, karena efek gravitasi pada waktu berdiri atau duduk. Penumpukan cairan ini disebut edema atau sembab pitting (pitting edema). Pembengkakan ini menjadi lebih berat pada sore hari setelah berdiri atau duduk dan berkurang pada malam hari sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur. Denagn makin beratnya sirosis dan semakin banyak garam dan air yang di retensi, air akhirnya mengumpul dalam rongga abdomen antara dinding perut dan organ dalam perut. Penimbunan cairan ini disebut asites yang berakibat pembesaran perut. Keluhan rasa tidak enak dalam perut dan peningkatan berat badan. Untuk membedakan penyebab asites, dilakukan pemeriksaan SAAG (serum ascites albumin gradien) bila nilainya > 1,1 gr %. Penyebabnya adalah penyakit non-peitoneal (hipertensi

portal,hipoalbuminemia,asites,tumor ovarium). Sebaliknya bila nilai <1,1 gram% disebabkan penyakit peritoneum atau eksudat (keganasan, peritonitis, karena TBC, jamur, amuba, atau benda asing peritonium). Asites juga dibagi dalam 4 tingkatan asites yaitu: o o o o Tingkat 1 : hanya dapat di deteksi dengan pemeriksaan seksama. Tingkat 2 : deteksi lebih mudah tapi biasanya jumlah hanya sedikit. Tingkat 3 : tampak jelas tetapi tidak terasa keras Tingkat 4 : bila asites mulai terasa keras.

2. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan kuman. Dalam keadaan normal, rongga perut hanya mengandung sedikit cairan, sehingga mampu menghambat infeksi dan memusnahkan bakteri yang masuk ke dalam rongga perut (biasanya dari usus), atau mengarahkan 45

bakteri ke vena porta atau hati, di mana mereka akan dibunuh semua. Pada sirosis, cairan yang mengumpul dalam perut tidak mampu lagi untuk menghambat invasi bakteri secara normal. Selain itu, lebih banyak bakteri yang mampu mendapatkan jalannya sendiri dari usus ke asites. Karena itu infeksi dalam perut dan asites ini disebut sebagai peritonitis bakteri spontan (spontaneous bacterial peritonitis) atau SBP. SBP merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien. Beberapa pasien SBP ada yang tidak mempunyai keluhan sama sekali, namun sebagian lain mengeluh demam, menggigil, nyeri abdomen. Rasa tidak enak di perut, diare, dan asites yangf memburuk. 3. Perdarahan varises esofagus Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini meningkatkan tekanan dalam vena porta. Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan peningkatan tekanan vena porta ni, vena-vena di bagian bawah esofagus dan bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises esofagus dan lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya, dan makin besar kemungkina pasien menderita varises. 4. Ensefopati hepatik Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh bakter-bakteri normal usus. Dalam proses penceranaan in, beberapa bahan akan terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagina akan terserap kembali ke dalam tubuh. Beberapa di antaranya, misalnya amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam keadaan normal, bahan-bahan toksik dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke dalam hati untuk didetoksifikasi. Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan darah. Sebagai tambahan, beberapa bagian darah dalam vena porta tidak dapat masuk ke dalam hati, tetapi langsung masuk ke vena yang lain (bypass). Akibatnya bahan-bahan toksik dalam darah tidak dapat masuk ke hati sehingga terjadi akumulasi bahan di dalam darah. Bila bahan-bahan toksik ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan terganggu.kondisi ini disebut ensefalopati hepatik. Tidur lebih banyak siang hari dibanding malam merupakan tanda awal mudah tersinggung, tidak mampu konsentrasi atau menghitung, kehilangan memori, bingung, dan penurunan kesadaran secara bertahap. Akhirnya ensefalopati hepatik yang berat dapat timbul kematian. Bahan-bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat sensitif terhadap obat-obatan yang normalnya disaring dan didetoksifikasi dalam hati. Dosis beberapa obat tersebut harus dikurangi untuk menghindari efek toksik yang meningkat pada sirosis, terutama obat golongan sedatif dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-obat lain yang tidak di detoksifiksi atau dieliminasi lewat hati, namun lewat ginjal. Ada 3 tipe enselopati hepatik berdasarkan penyakit yang mendasari : Tipe A : akibat gagal hati akut Tipe B : akibat pintasan porto sistemik tanpa sirosis Tipe C : akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa pintasan porto-sistemik. 5. Sindroma Hepatorenal Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindrome heptorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena terdapatnya penurunan fungsi ginjal namun ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan 46

perubahan aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresive untuk membersihkan bahan-bahan toksik dari darah dan kegagalan memproduksi urin dalam jumlah adekuat, meskipun fungsi lain ginjal yang penting, misalnya retensi garam, tidak terganggu. Bila fungsi hati membaik atau dilakukan tranplantasi hati pasien sindroma hepatorenal, ginjal akan bekerja normal lagi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa penurunan fungsi ginjal disebabkan akumulasi bahan-bahan toksik dalam darah akibat hati yang tidak berfungsi. Ada dua tipe sindroma hepatorenal : Tipe 1 : penurunan fungsi terjadi dalam beberapa bulan Tipe 2 : penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam waktu satu sampai dua 6. Sindroma Hepatopulmoner Meskipun jarang, pasien sirosis lanjut, dapat berkembang menjadi sindroma hepatopulmoner. Pasien-pasien ini mengalami kesulitan bernafas akibat sejumlah hormon tertentu terlepas pada sirosis yang lanjut karena fungsi paru abnormal. Masalah dasar paru adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah kecil dalam paru yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam paru. Aliran darah lewat paru mengalami pintasan sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari dalam alveoli. Akibatnya adalah pasien mengalami perasaan sesak nafas atau nafas pendek, terutama saat latihan. 7. Hipersplenisme Limfa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel darah merah,leukosit, dan trombosit yang sudah tua. Darah dari limfa bergabung dengan aliran darah Dari usus masuk ke dalam vena porta. Akibat peningkatan tekanan vena porta karena sirosis, terjadi peningkatan blockade aliran darah dari limpa. Akibatnya terjadi aliran darah kembali ke dalam limpa, dan limpa membesar. Terjadilah splenomegali. Kadang-kadang limpa dapat membengkak hebat, sehingga menimbulkan nyeri perut. Dengan pembesaran limpa, terjadi peningkatan filtrasi terhadap sel-sel darah, sehingga jumlahnya menurun, dan terjadilah anemia, lekopenia, dan trambositopenia. Anemia menyebabkan perasaan lemah, lekopenia menyebabkan peka terhadap infeksi, dan trombositopenia menyebabkan ganggguan pembekuan darah, dan menimbulkan perdarahan yang memanjang. 8. Kanker Hati Sirosis, apapun penyebabknya, dapat menimbulkan kanker hati primer. Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati. Kanker hati sekunder merupakan kanker hati dari tempat lain yang menyebar ke hati (metastasis ke hati). minggu.

(Gambar.16) Keluhan yang tersering adalah nyeri perut, pembengkakan dan perbesaran hepar, penurunan berat badan, dan demam. Sebagai tambahan kanker hati dapat memproduksi dan melepaskan sejumlah bahan yang menimbulkan berbagai kelainan : eritrositosis, hipoglikemia, hiperkalsemia. 47

Pengobatan Pengobatan spesifik dapat diberikan untuk berbagai kelainan hepar sebagai usaha mengurangi keluhan dan mencegah sirosis hepar. Beberapa contoh, misalnya prednisolonazatioprin untuk hepatitis autoimun, interferon, dan antiviral yang lain untuk hepatitis B dan C, flebotomi untuk hemokrematosis, ursodeoxycholic acid (UDCA) untuk sirosis bilier primer, dan zenk serta penisilamin untuk penyakit Wilson. Semua pengobatan ini tidak efektif bila hepatitis kronik sudah menjadi sirosis. Sekali sirosis timbul, pengobatan ditujukan untuk komplikasi yang mungkin telah timbul. Pengobatan sirosis antara lain: mencegah kerusakan hati lebih lanjut, mengobati komplikasi, mencegah kanker hati atau deteksi sedini mungkin, dan transplantasi hepar.

Mencegah kerusakan hati lebih lanjut Konsumsi diet seimbang dan multivitamin setiap hari. Pasien PBC dengan gangguan penyerapan vitamin larut lemak membutuhkan tambahan vitamin D, dan K. hindari obat (termasuk alcohol) yang merusak hati. Semua pasien sirosis harus menghindari alcohol. Sebagian besar pasien sirosis alkoholik mengalami perbaikan fungsi hati dengan menghindari alcohol, begitu juga pasien hepatitis B dan C, mengalami perbaikan hati dan penurunan progresivitas kea rah sirosis dengan menhindari alcohol. Hindari obat NSAID, karena dapat mengakibatkan pemunduran fungsi ginjal dan hati. Eradikasi virus hepatitis B dan C dengan obat antiviral, namun harus diingat tidak semua pasien sirosis akibat hepatitis virus kronik, merupakan kandidat untuk pengobatan dengan antiviral. Beberapa pasien mengalami kemunduran faal hati dan efek samping yang berat selama pengobatan. Flebotomi pada pasien hemokromatosis, bertujuan menurunkan kadar zat besi dalam darah dan mencegah kerusakan hati lebih lanjut. Pada penyakit Wilson, dapat digunakan obat-obatan yang dapat meningkatkan ekskresi tembaga dalam urin,menurunkan tembaga dalam tubuh, dan mencegah kerusakan hati lebih lanjut. System imun dapat ditekan dengan obat-obatan seperti prednisone dan azatioprin, pasien PBC dapat diobatai dengan preparat asam empedu, seperti UDCA. Penting untuk dicatat, meskipun manfaatnya jelas, pengobatan UDCA hanya untuk menghambat progresifitas penyakit, tetapi tidak mengobati. Obat-obat lain, seperti kolkisin dan metotreksat juga bermanfaat mnegurai keluhan. Imunisasi pasien sirosis terhadap infeksi hepatitis A dan B, berguna untuk mencegah terjadinya kemunduran faal hati yang serius. Pada saat ini belum ditemukan vaksin hepatitis C.

Tatalaksana Komplikasi Sirosis Hati Asites dan edema Untuk mengurani edema dan asites, pasien disarankan mengurangi konsumsi garam dan air. Jumlah dien garam yang diajurkan sekitas 2 gr/hari, dan cairan sekitar 1L/hari. Kombinasi diuretic spironolakton dan furosemide dapat menurunkan dan menghilangkan asites dan edema. Bila pemakian diuretic tidak berhasil (asites refrakter) dapat dilakukan parasentesis abdomen untuk mengambil cairan asites, bila cairannya sangat banyak, sehingga menggganggu pernapasan, dan distensi abdomen menimbulkan nyeri parasentesis dapat dilakukan dalam jumlah lebi 5 liter (large volume paracentesis). Pengobatan lain adalah TIPS (transjugular intravenous portosystemic shunting), atau transplantasi hati. 48

Perdarahan varises Bila varises timbul dibagianm distal esophagus dan proksimal lambung, pasien sirosis beresiko mengalami perdarahan serius akibat pecahnya varises. Sekali varises mengalami perdarahan, dia bertendensi perdarahan ulang dan setiap kali berdarah, pasien beresiko meninggal. Karena itu, pengobatan ditujukan untuk pencegahan perdarah pertama maupun ulang. Untuk tujuan tersebut, ada beberapa cara pengobatan yang dianjurkan, termasuk pemberian obat dan prosedur untuk menurunkan tekanan vena porta, maupun prosedur untuk merusak atau mengeradikasi varises. Propanolol dan nadolol, merupakan obat penyekat reseptor beta non-selektif, efektif menurunkan tekanan darah porta, dan dapat dipakai untuk mencegah perdarahan pertama maupun perdarahan ulang varises pasien sirosis. Oktreotid (sandostatin) dan somatostatin, terbukti menurunkan tekanan darah porta, dan telah dipakai untuk pengobatan perdarahan varises. Endoskopi terapetik, baik skleroterapi maupun ligasi endoskopik. Kedua efektif untuk menimbulkan obliterasi varises, baik untuk menghentikan perdarahan varises aktif maupun untuk mencegah perdarah ulang. Penelitian menunjukkan ligasi terbukti lebih efektif disbanding skleroterapi, karena efek samping lebih sedikit. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt, adalah prosedur non bedah untuk menurunkan tekanan darah porta. Biasanya dikerjakan oleh dokter spesialis radiologi. TIPS terutama berguna untuk pasien yang gagal dalam pengobatan dengan beta bloker, skleroterapi, maupun ligasi varises. TIPS juga bermanfaat untuk pengobatan asites refrakter, mencegah perdarahan varises, sementara menunggu transplantasi hati. Efek samping yng tersering adalah ensefalopati hepatic.

Ensefalopati hepatik Pasien dengan tnda-tanda ensefalopati harus disarankan diet rendah protein dan laktulosa oral. Untuk mendapatkan efek laktolosa, dosisnya harus sedemikian sehingga pasien BAB 2-3 kali sehari. Bila keluhan menetap, dapat diberika antibiotic oral, seperti neomisin atau metronodazol. [pada pasien yang ensefalopatinya semakin jelas, harus segera dilakukan tindakan: 1) singkirkan penyebab ensefalopati, 2) perbaiki atau singkirkan faktor pencetus, 3) segera lakukan pengobatan empiris yang dapat berlangsung lama (klisma, diit rendah atau tanpa protein, laktulosa, antibiotic, bromokriptin, preparat zenk, dan atau ornitin aspartat. Bila ensefalopati masih tetap ada atau timbul berulang dapat dipertimbangkan transplantasi hati.

Hipersplenisme Hipersplenisme biasanya hanya menimbulkan anemia, lekopenia, trombositopenia ringan tanapa butuh pengobatan. Namun bila anemia sangat berat, dapat diberikan transfuse atau pengobatan dengan eritropoetin atau epoetin (eprex, epomax), suatu hormone perangsang produksi sel darah merah, granulocyte -colony stimulating factor (filgrastin atau neupogen). Sampai saat ini belum ada obat yang diakui secara resmi dapat meningkatkan jumlah trombosit. Sebagai tindakan pencegahan, pasien trombositopenia seyogyanya tidak menggunakan aspirin atau NSAID lain, karena menganggu fungsi trombosit. Bila trombosit yang sangat rendah ini di ikuti perdarahan yang berarti, dianjurkan transfusi trombosit. Splenektomi sebaiknya 49

dihindarkan, karena risiko perdarahan massif selama operasi dan resiko anestesi pada penyakit hati yang lanjut.

Peritonotis bakteri spontan Pasien dengan dugaan peritonitis bakteri spontan dianjurkan untuk di parasentesis. SBP merupakan infeksi yang serius. Kelinan ini sering timbul pada pasien serosis lanjut dengan system imun atau kekebalan yang rendah. Dengan pemberian antibiotic yang baik (sefotaksim 3x2 gr iv selama lima hari), dan deteksi serta pengobatan dini, prognosis biasanya baik. Antibiotic lain bila trjadi resistensi: amoksisilin, klavulanat, dan flurokuinolon. Pada beberapa pasien pemberian antibiotic oral (siprofloksasin, norfloksasin, dan trimetroprim-sulfametoksazol) selama beberapa hari, dapat digunakan unuk mencegah SBP. Tetapi ada beberapa pasien beresiko tinggi SBP, sehingga butuh pencegahan, antara lain: pasien yang masuk rumah sakit dengan perdarahan varises beresiko tinggi SBP. Karena itu antibiotic harus diberikan sedini mungkin. Pasien cdengan episode SBP berulang dan pasien dengan kadar protein cairan asitesnya rendah.

Pencegahan dan deteksi dini kanker hati Beberapa jenis penyakit hati yang menyebabkan sirosis, mempunyai hubungan yang tinggi dengan kanker hati, misalnya hepatitis B dan C. dilakukan skrining minimal setahun atau setiap enam bulan dengan USG hati dan pemeriksaan AFP.

Transplantasi hati Sirosis merupakan proses yang irreversible. Banyak fungsi hati pasien sirosis akan menurun secara perlahanlahan apapun pengobatnnya. Demikian pula komplikasi akan terus bertambah, sehingga pengobatan menjadi lebih sulit. Karen itu, bila sirosis telah semakin berlannjut, transplantasi hati tampaknya akan menjadi satusatunya pilihan pengobatan. Dengan kemajuan pembedahan transplantasi dan pengobatan untuk mencegah infeksi dan penolakkan terhadap hati donor, ketahanan hidup setelah transplantasi semakin baik. Rat-rata 80% pasien dengan trnasplantasi hati dapat hidup Selama 5 tahun. Tidak semua pasien sirosis merupakan kandidat transplantasi hati, selain itu, jumlah donor yang semakin terbatas, waktu menunggu semakin lama, menyebabkan pemilihan kandidat harus lebih ketat. Karena itu, usaha mencegah prograsivitas penyakit hati dan pencegahan serta pengobatan terhadap komplikasi sirosis, menjadi lebih penting.

Pengobatan Tambahan Defisiensi zink sering ditemukan pada pasien sirosis. Pengobatan dengan zinc sulfat dalam dosis 220 mg 2x per hari per orall , dapat memperbaiki keluhan dyspepsia dan merangasang nafsu makan pasien. Selain itu, zinc efektif untuk mengobati kram otot dan sebagai tambahan obat ensefalopati. Pruritus merupakan keluhan yang sering ditemukan, baik pada penyakit hati kolestatik. Meskipun peningkatan kadar asam empedu serum dahulu dianggap sebagai penyebab. Rasa gatal yang ringan dapat diperbaiki dengan pemberian antihistamin. Kolestiramin merupakan obat utama pruritus pada penyakit hati. Pemberian harus hati-hati untuk menghindari pemakaian anion organic binder ini bersama dengan obat yang lain dan untuk menghindari absorbs obat bersamaan. 50

Obat lain yang mungkin dapat menghilangkan pruritus, termasuk asam ursodeoksikolik, ammonium laktat 12% skin cream, naltrekson, rifampin, gabapentin, dan ondansetron. Pasien serosis dapat mengalami osteoporosis. Karena itu pemberian kalsium dan vitamin D sanngat penting, terutama pada pasien kolestasis kronik, PBC, dan pasien hepatitis autoimun yang mendapat kortikosteroid. Ditemukannya penurunan mineralisasi tulang pada pemeriksaan densitometry tulang dapat dipakai sebagai petunjuk untuk pengobatan segera dengan aminobisfosfonat. Banyak pasien mengeluh nafsu makan menurun, yang mungkin disebabkan efek langsung penekanan asites terhadap saluran cerna. Karena itu perawatan pasien harus termasuk asupan diit yang adekuat mengandung cukup kalori dan protein. Penambahna nutrisi dalam bentuk suplemen cairan atau bubuk, sangat membantu perbaikan gizi pasien. Jarang sekali pasien mengalami intoleransi terhadap protein ayam, ikan, sayuran, dan suplemen nutrisi. Pemberian diit rendah protein atas dasar perasaan takut akan terjadinya ensefalopati hepatic, akan menyebabkan pasien kurang gizi atau mengalami penurunan berat badan yang drastic. Latihan teratur, termasuk jalan dan berenang, seyogyanya dianjurkan pada pasien sirosis. Harapannya dia tidak terjerumus dalam lingkaran setan inaktivitas dan atrofi otot. Pasien yang tidak mampu melakukan apapun sering mendapat manfaat dari program latihan normal yang disupervisi ahli terapi fisik. Pasien dengan penyakit hati kronik hatus divaksinasi untuk mencegah penyakit hepatitis A. pencegahan lain termasuk terhadap hepatitis B, pneumoccocci, dan influenza.

Obat Hepatotoksik Pada Pasien Sirosis Setiap pemberian pengobatan baru dapat menimbulkan bahaya tambahan akibat efek bahan kimia terhadap hati. Tidak diragukan lagi, pasien penyakit hati dapat mengalami kemunduran akibat pengaruh obat terhadap hati. Beberapa obat yang sering menimbulkan gangguan hati antara lain NSAID, isoniasid, asam valproat, eritromisin, amoksisilin-klavulanat, ketokonazol, dan klorpromazin. Pemakaian NSAID dapat memicu perdarahan saluran cerna. Pasien sirosis dekompensata juga beresiko mengalami insufisiensi ginjal-imbasNSAID, diduga karena hambatan prostaglandin dan memburuknya aliran darah ginjal. Obat-obatan nefrotoksik lain seperti antibiotic aminoglikosid juga harus dihindarkan.

Prognosis Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi sirosis. Pasien sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama, bila tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata. Diperkirakan harapan hidup sepuluh tahhun pasien sirosis kompensata sekitar 47%. Sebaliknya pasien sirosis dekompensata mempunyai harapan hidup 16% dalam waktu lima tahun. Index hati (table 2) dapat dipakai sebagai petunjuk menilai prognosis pasien sirosis hati dengan hematemesis melena yang mendapat pengobatan medik. Dari hasil penelitian sebelumnya, pasien gagal hati ringan, angka kematian antara 0-16%, sementara yang gagal hati sedang samapai berat, angka kematian antara 18-40%. Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan tindakan bedah, penilaian prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penelitian skor menurut Child-Turcotte-Pough (skor CTP) (tabel3). Sementara untuk penelitian 51

pasien sirosis yang direncanakan transplantasi hati menggunakan skor MELD (Model for End-stage Liver disease) atau PELD (Pediactric End-stage Liver Disease) (tabel 4).

HIPERTENSI PORTAL Pendahuluan Sistem portal adalah semua sistem vena yang mengalirkan darah menuju hati yang berasal dari saluran cerna di rongga abdomen, limpa, dan kantong empedu. Vena portal masuk kehati melalui porta hepatic, yang membagi menjadi 2 bagian yang masing-masing membagi menuju tiap lobus. Vena porta merupakan penyatuan dari vena mesentrika superior dan lienalis. Vena portal terletak di anterior kaput pancreas setinggi vertebra lumbal 2, sedikit sebelah kanan garis tengah, memanjang 5,5-8 cm dari porta hepatic. Didalam hati vena portal membentuk cabang yang mengaliri hati yang berjalan seiring dengan arteri hepatica. Vena mesentrika superior merupakan muarar dari aliran darah vena yang berasal dari intestinal, kolon dan kaput pancreas dab kadang dari lambung melalui vena gastroepiploika kanan. Sedangakan vena lienalis merupakan muara 5-15 cabang dari vena di hilus limpa., dan dari beberapa vena gastrika breves yang bermuara di sepanjang vena lienalis yang terletak diekor dan 52

badan pancreas. Vena menampung darah dari caput pancreas dan vena gastroepiploika kiri yang bermuara didekat limpa, dan darah dari mesentrika inferior yang berasal dari kolon kiri dan rectum. Vena mesentrika biasanya bermuara dibagian sepertiga tengah. Kecepatan aliran vena portal mencapai 1000-12000 ml/menit dan memasok 72% kebutuhan oksigen total. Perbedaan kandungan oksigen total anterior-portal dalam keadaan puasa sebesar 1,9 volume persen. Perbedaan ini akan meningkat saat proses digesti berlangsung. Dalam keadaan normal tekanan vena portal berkisar 7 mmHg.

Sirkulasi Kolateral Apabila terdapat sumbatan aliran pada sistem portal, baik sumbatan intra maupun ekstra hepatik akan tampak sirkulasi kolateral. Sirkulasi kolateral merupakan konsekuensi atas terjadinya sumbatan, sebagai upaya konsekuensi mengalihkan aliran portal kedalam vena hepatik.

Obstruksi intra-hepatik (sirosis); Pada keadaan normal seluruh aliran vena portal akan diteruskan ke vena hepatika, namun pada keadaan sirosis hanya 13%. Sisanya akan masuk kealiran kolateral. Terdapat 4 kelompok aliran kolateral. 1. Kelompok I Didaerah pertemuan aliran protektif dengan epitel absorbtif: didaerah kardia dari lambung, ditempat anastomis antara vena gastrika kiri, gastrika superior dan vena gastrika breves dari sistem portal dengan vena intertorakalis, diafragama-esofageal dan azygos minor dari sistem kaval. Keadaan ini akan menghasilkan varises didaerah lapisan submukosa esofagus bagian bawah dan fundus lambung. Di anus, pada antomoses vena hemorrhoid superior dari sitem portal dengan vena hemorrhoid media dan inferior dari sistem kaval. 2. Kelompok II Di ligamen falciparum, melalui vena umbilicalis, peningggalan umbilikus janin. 3. Kelompok III Bila terjadi kontak antara organ abdomen dengan jaringan retro-peritoneal atau perlekatan pada dinding abdomen. Kolateral ini melibatkan vena dari hati menuju diafragma, vena di ligamen spleno-renal dan omentum, vena lumbalis dan vena dalam jaringan parut akibat laparotomi sebelumnya. 4. Kelompok IV Aliran vena portal menuju vena renalis sinistra. Aliran ini memungkinkan melewati vena lienalis, atau vena diafragmatika, pankreatika, adrenalis sinistra dan vena gastrika. Darah dari kolateral gasto-esofagal, retroperitoneal dan sistem vena dari abdomen mencapai vena cava superior malalui sistem azygos atau hemiazygos. Sebagian kecil masuk ke vena cava inferior. Kolateral dapat pula menuju vena pulmo.

Obstruksi ekstra-hepatik; Obstruksi vena portal ekstra hepatik membentuk kolateral tambahan, memintas obstruksi dan mengalir menuju hati, masuk dalam vena portal diporta hepatis. Keadaan ini melibatkan vena hilus, vena komitens, vena portal dan arteri hepatika, vena di ligamen penyangga hati dan diafragma dan vena omentum. 53

Akibat terjadinya kolateral pasokan darah kehati oleh aliran portal terputus, maka ia lebih bergantung pada aliran arteri hepatika. Akibatnya hati akan tampak mengkerut dan kehilangan kemapuan beregenerasi dikarenakan karena kehilangan faktor hepatotropik, termasuk insulin dan glukagon, yang berasal dari pankreas.

Patofisiologi Hipertensi Portal Tinggi rendahnya hipertensi portal ditentukan oleh interaksi antara aliran portal dan tahanan vaskuler yang menghambatnya. Ini mengacu pada hukum Ohm sebagai berikut: Tingginya tekanan diantara kedua titik (P2P1) berbanding lurus dengan aliran darah (Q) dan tahanan vaskuler (R). P1-P2 = Q x R Tidak seperi tekanan dan kecepatan aliran yang dapat dihitung secara langsung, tahanan vaskuler tidak dapat dihitung secara langsung. Namun tahanan dapat diketahui dengan hukum Poiseuille:

R 8. .L .r 4

= koefisien viskositas
L= panjang pembuluh R= diameter pembuluh Bila tahanan dimasukkan dalam hukum Ohm, maka;

P1 P 2 Q.8..L .r 4
Resistensi intrahepatik Dalam keadaan normal resistensi intrahepatik akan berkurang jika terjadi peningkatan aliran darah, mekanisme kompensasi ini berguna untuk mempertahankan tekanan portal dalam normal. Pada sirosis, terjadi peningkatan resistensi intrahepatik sebagai konsekuensi perubahan fungsi dan anatomi. Pertama karena terjadi distorsi dari arsitektur vaskuler hati karena fibrosis, jaringan parut dan pemebentukan nodul sirotik. Keadaan ini juga akan menyumbang terjadinya peningkatan resistensi. Semula hanya ditekankan bahwa faktor anatomi yang menyebabkan obstruksi mekanikal, namun ada juga faktor tonus vaskular pada sirosis hepatis yang turut berperan sebagai faktor reversibel. Terjadi peningkatan resistensi karena vasokonstriksi aktif beberapa tipe sel hati sebagai respon terhadap beberapa agonis. Keadaan ini merupakan faktor reversibel yang menyebabkan peningkatan resistensi intrahepatik sebesar 40%. Peningkatan tonus vaskuler disebabkan oleh ketidak seimbangan faktor produksi vasokonstriktor (endotelin, norepinephrin, angiotensi II, dll) dan faktor vasodilator (Nitrit oxide dan prostaglandin) .

Kolateral

54

Pembentukan kolateral dipicu oleh peningkatan tekanan portal, yang melibatkan pembuluh yang ada sebelumnya yang menghubungkan portal dengan sirkulasi sistemi, akibat peran dari endotel vaskular, Vasculer Endothelial Growth Factor (VEGF) dan kemungkinan faktor lainnya.

Sirkulasi hiperdinamik Dasar dari gangguan hemodinamik pada hipertensi portal adalah resistensi aliran portal, baik dari intrahepatik maupun karena sumabatan vena portal. Untuk memepertahankan tekanan portal karena penurunan munculnya kolateral, terjadi sirkulasi hiperdinamik yaitu peningkatan aliran darah pada sistem portal. Hal ini diperoleh dari mekanisme peningkatan curah jantung dan vasodilator splangnik.

Vasodilator Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan dilatasi pemebuluh darah perifer: meningkatkan konsentrasi vasodilator sirkulasi, meningkatkan produksi vasodilator lokal oleh endotel, dan menurunnya respon terhadap vasokonstriktor. Penyebab peningkatan konsentrasi vasodilator dalam sirkulasi darah adalah peningkatan produksi, penurunan katabolisme karena gangguan fungsi hati atau karena pintasan portosistemik. Peningkatan kadar glucagon dalam sirkulasi darah telah didokumentasikan pada binatang percobaan dan manusia dengan hipertensi portal.kadar glucagon dan insulin meningkat. Dibuktikan pula terjadi peningkatan sekresi glucagon oleh isolasi sel pancreas setelah dirangsang glukosa dan arginin disbanding kelompok control. Peningkatan kadar glucagon dalam vena portal dan vena kava inferior ditemukan pada penderita pasca operasi portosistemik pada penderita sindrom Budd-Chiari dan sedkit meningkat tidak bermakna pada penderita sirosis. Peningkatan ini tidak berkaitan dengan peningkatan tekanan portal tetapi secara bermakna berhubungan dengan penurunan resistensi pembuluh splangnikus. Penemuan diatas diperkuat dengan percobaan pada tikus percobaan yang telah diligasi partial vena portalnya dan diberi somatostatin.terjadi penurunan kadar glucagon, penurunan tekanan portal dan aliran darah secara bermakna. Hal ini terjadi karena efek vasokontriksi dari splangnikus. Pemberian glucagon dan somatostatin pada tikus percobaan tersebut menghilangkan efek dari somatostatin, hal inimenujukkan bahwa efek hemodinamik somatostatin. Agaknya dihambat oleh sekresi glucagon.

55

Endotel penghasil vasodilator Nitric oxide dan prostaglandine hasil produksi endotel diketahui mempunyai kontribusi dalam perkembangan vasodilatasi sistemik dan splangnikus. Bahwa pada gangguan hemodinamik yang teramati pada pembuluh mesenteric memeperlihatkan vasodilatasi karena hiporespon terhadap yaitu vena intrinsic, vena perforate dan vena eksentrik. Vena perforate merupakan vena yang menghubungkan vena ekstrinsik dengan vena intrinsik. Pada vena perforate ditemukan katup yang berfungsi untuk mencegah aliran dari vena ekstrinsik menuju pleksus intrinsik. Muskularis mukosa proksimal dari esofagogastric junction penderita hipertensi portal digantikan oleh varises submukosa yang berhubungan dengan permukaan epitel melalui pembuluh subepitel atau intaepitel yang disebut red color sign pada pemeriksaan endoskopi. Sebagian besar suplai darah pada varises esophagus berasal dari cabang kiri vena gastrika. Sedang cabang posterior mengalir kedalam sistem azygos, dimana cabang anterior berhubungan dengan varises didaerah tepat dibawah esofasigastric junction dan berlanjut sebagai vena besar tortuous di esophagus bagian bawah. Pendarahn varises gastroesofageal merupakan penyulit utama portal hipetensi, karena merupakan penyebab kematian utama pada penderita sirosis dan penyebab kematian pada penderita transplantasi hati. Pendarahan varises mrupakan hasil akhir dari suatu proses yang berawal dari peninggian tekanan porta, diikuti pembentukan dan dilatasi progresif dari varises dan berakhir dengan rupture dan pendarahan. Pembentukan varises memerlukan waktu yang lambat. Insiden varises pada penderita sirosis hati terkompensasi sebesar 40%, sedang pada sirosis dengan asites sebesar 60%. Diperkirakan varises insiden baru sebesar 5% pertahun. Dalam kurun wakru follow up selama 6 tahun. Pertumbuhan pertahun dari varises kecil menjadi besar sebesar 10-15%. Varises rupture merupakan 60-70% penyebab pendarahan saluran cerna pada hipertensi portal. Mortalitas 6 minggu berkisar 30% hampir 60% diantaranya dengan sebab kematian 56

pendarahan yang tidak terkontrol. Ancaman pendarahn ukang tetap tinggi pada minggu ke dua dan suatu episode pendarahan dan mulai menurun dalam 4 minggu berikutnya. Setelah melewati minggu ke enam resiko pendarahn kembali seperti semula. Penderita yang tetap hidup setelah pendarahan pertama masih beresiko memeproleh pendarah ulang dalam kurun waktu 1-2 tahun sebesar 63%.

Varises gaster Varises gaster banyak dijumpai pada prehepatik hipertensi portal. Sarin menggelompokkan varises gaster sebagai gastric oesophageal varices (GOV) sebagai lanjutan dari varises esophagus. Bila berada di curvature minor disebut GOV1 dan bila menuju fundus disebut GOV2. Kelompok lainnya disebut isolated gastric varices (IGV), bila tidak berhubungan dengan varises esophagus. Disebut IGV1 bila berada di fundus dan IGV2 bila ditempat lain didalam lambung. Prevalensi varises gaster menurut klasifikasi seperti yang dilaporkan Sarin: IGV1 74%, IGV2 16%, GOV1 8% dan GOV2 2%. 5% sampai 10% pendarahan saluran cerna bagian atas penderita sirosis hati disebabkan oleh varises gaster. Kematian yang terjadi setelah pendarahan pertama varises gaster sebesar 20%.

Gastropati hipertensi portal Perubahan mukosa yang berhubungan dengan hipertensi portal disebut sebagai hipertensi portal gastropati (PHG). Gambaran yang sering ditemukan adalah pola mosaic dan cherry red spot. Pola mosaic terdiri dari eritema multiple yang dipisahkan dengan garis jarring putih yang tebal. Keadaan ini disebut PHG ringan. Cherry red spot bulat, sedikit menonjol diatas permukaan mukosa yang hiperemis. Kondisi ini seperti dikenal sebagai PHG berat. Insiden pendarahan pertahun pada PHG ringan 5% sedang pada PHG berat 15%. Manifestasi pendarahan bisa berupa lemena. Angka kematian yang terjadi berkisar 5% setiap episode pendarahan.

DIAGNOSIS Diagnosis hipertensi portal sering baru dibuat setelah terjadi pendarahn saluran cerna bagian atas akibat varises esophagus pecah. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas merupakan pemriksaan yang sangat penting untuk menetapkan ada tidaknya varises esophagus. Selain itu oleh karena sebagian besar hipertensi portal disebabkan oleh penyakit hati menahun, maka beberapa cara diagnosis berikut dapat dipakai untuk membantu menbuat diagnosis : gambaran klinis dan laboratories, pemriksaan non invasif : foto barium saluran cerna bagian atas, Ultrasonografi dengan atau tanpa Doppler, Computed Tomography (CT scan), Magnetic resonance imaging (MRI) dan Radionucleid angiography. Pemeriksaan invasif : Arterial portography, Splenoportography dan Transhepatic venography dan biopsy hati. Pemeriksaan pencitraan sangat bermanfaat dalam awal pengelolaan pasien hipertensi portal. Seringkali pada pemeriksaan USG ditemukannya suatu pelebaran vena portal, kolateral portosistemik, asites, atau splenomegali. Thrombus pada vena portal harus dicari bila ditemukan suatu hipertensi portal. Pemeriksaan ultrasosnografi Doppler, scan computedtomografi (CT) dan magnetic resonance imaging (MBI) dapat menggantikan pemeriksaan infasif venografi portal. Pengukuran tekanan portal sendiri dapat dikerjakan dengan cara tidak langsung dengan mengukur gradient tekanan vena hepatica hepatic vena 57

pressure gradient (HVPG), yang merupakan perbedaan antara tekanan wedge vena hepatica wedge hepatic vena pressure (WHPV) dengan tekanan free vena hepatica free hepatic vein pressure (FHVP). Ketiga tekanan hepatica ini dapat diukur dengan cara kateterisasi vena hepatica. Pengukuran tekanan portal juga dapat dikerjakan dengan cara langsung dengan teknik pungsi splenik pada saat mengerjakan pemeriksaan splenoportografi atau lewat pungsi varises esophagus melalui endoskopi.

Endoskopi Pada pemriksaan endoskopi salutran serna bagian atas selain menetapkan ada tidaknya varises pentin pula menetapkan besar dan ukuran, panjang, lokais, ada tidaknya pendarahan, atau tanda bekas pendarahan varises seperti RCS atau RWM. Varises bagian distal biasanya lebih besar daripada bagian proksimal dan biasnya berakhir di daerah 24 cm dari ginggiva. Plamer dan Brick mengusulkan klasifikasi varises ringan, sedang dan berat. Klasifikasi ini didasarkan atas penilaian bentuk, warna, tekanan dan panjang varises. Ringan bila diameter < 3mm, sedang bila diameter 3-6 mm dan berat bila diameter > 6mm. Sedangkan menurut Baker : grade 0 : apabila tidak tampak nyata adanya varises grade +1 : apabila terdapat atau atau lebih varies berdiameter < 4mm dengan panjang < 4 cm\ grade + 2 : bila ditemukan varises multiple dengan panjang 4-10 cm grade +3 : bila ditemukan varises multiple dengan panjang > 10 cm Klasifikasi Omed didasarkan adanaya pengamatan : 1. Besar Varises : penonjolan dinding lumen minimal, penonjolan kedalam lumen mencapai lumen esophagus dalam relaksasi maksimal. Penonjolan melebihi separuh lumen. 2. Bentuk : sederhana yaitu penonjolan varises berwarna kebiruan dan berkelok dengan atau tanpa kelainan mukosa, tebendung congested yaitu penonjolan varises berwarna merah tua disertai tanda pembengkakan mukosa dan tanda pendarahn, varises berdarah, yaitu varises yang sedang berdarah segar karena robekan permukaan varises, dan varises dengan tanda bekas pendarahan, yaitu bekuan darah, pigmen darah di permukaan varises. Red color sign sebagai faktor resiko utama peradarahan varises, namun menurut klasifikasinya : red wale markings, yaitu dilatasi vena yag berjalan diatas permukaan varises, bintik merah kecil berdiameter kurang lebih 2 mm yang berada di permukaan varises (cherry red spots), hematom berukuran kurang lebih 4 mm (hematocystic spots) dan waran kemerahan yang tersebar di permukaan varises (difusse redness). Ukuran dan bentuk varises : F1 bila varises kecil lurus; F2 bila varises besar dan berkelok-kelok dan F3 varises bebentuk coil yang mencapai lebih dari 1/3 lumen esophagus. Lokasi varises esophagus diperkenalkan sebagai sepertiga bawah (Li), sepertiga tengah (Lm) dan sepertiga atas (Ls). Hal lain yang di tambahkan adlah ada tidaknya esofagitis yang dilaporkan sebgai positif (E+) atau negative. Manfaat klasifikasi varises sebagai faktor resiko yang dipergunakan untuk meramalkan dengan tepat kemungkinan terjadinya perdarahan varises esophagus.

58

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN Pencegahan perdarahan varises merupakan tujuan utama pengelolaan sirosis, berdasar data yang menunjukkan peningkatan mortalitas karena perdarahan aktif dan menurunnya survival secara progresif sesuai dengan indeks perdarahan.

Medikamentosa Tekanan portal sebanding dengan inflow vena portal dan berbanding terbalik tonus arteriol mesenterika. Obat penyekat nonselektif akan menyekat reseptor adrenergic yang bekerja sebagai vasodilator, sehingga kerja dari penyekat tersebut tidak bertentangan dengan -adrenergik yang bekerja sebagai vasokontriktor di arteriole mesenterika. Pada dosis yang besar akan mengakibatkan penurunan kardiak output yang berdampak pada penurunan aliran arteri mesenterika. Kedua efek ini yang diharap dapat menurunkan tekanan vena portal. Dengan kata lain prinsip efek hemodinamik dari obat tersebut menurunkan tekanan gradient vena hepatica karena penurunan tekanan wedge vena hepatica. Propanolol dan nadolol merupakan obat yang banyak diteliti sebagai obat penyekat nonselektif untuk pengobatan hipertensi portal. Pemberian secara oral maupun intravena dapat menurunkan tekanan gradient vena hepatica sebesar 9-31%. Tetapi meningkatnya resistensi vena kolateral dan atau meningkatnya aliran arteri hepatica dapat menyebabkan kegagalan menurunkan tekanan portal mencapai 50%. Beberapa laporan meta analisa memperlihatkan terjadinya resiko penurunan dari 25% pada kelompok control menjadi 15% pada kelompok yang memperoleh pengobatan penyekat dengan median follow up 2 tahun. Obat ini berefek pada penderita dengan varises sedang/besar (diameter > 5mm) baik dengan asites atau tanpa asites, dan dengan fungsi hati yang baik maupun buruk. Manfaat lain yang diperoleh dengan pemakaian penyekat nonselektif adalah penurunan angka kematian dari 27% menjadi 23%. Belum didapatkan bukti yang mendukung manfaat pencegahan dengan obat ini untuk varises kecil. Pengobatan pemeliharaan harus dipertahankan karena bila pengobatan dihentikan maka resiko terjadinya perdarahan akan kembali seperti kelompok yang tidak memperoleh pengobatan. Lebih kurang terdapat 15-20% penderita yang tidak dapat diobati dengan penyekat -adrenergic karena mempunyai kontraindikasi mutlak atau relative. Pada kelompok ini dianjurkan diberikan isosorbide mononitrate (ISMN), meski penurunan tekanan portal kurang efektif. Ligasi varises adalah satu pilihan alternative yang efektif sebagai profilaksis pertama, namun hal ini terbatas pada varises besar yang intoleran atau memiliki kontraindikasi terhadap penyekat adrenergic. Karena penyekat -adrenergic merupakan obat yang efektif untuk mencegah perdarah varises, semua penderita sirosis harus dideteksi adanya varises esophagus pada saat pertama diagnosis dibuat. Beberapa studi memperlihatkan bahwa pemeriksaan non invasive (kadar trombosit yang turun, pelebaran vena portal dan atau pembesaran limpa pada pemeriksaan USG) berhubungan dengan risiko perdarahan varises, sehingga penemuan hal tersebut cukup akurat untuk menghindarkan dari pemeriksaan endoskopi. Pada penderita yang tidak ditemukan varises pada pemeriksaan endoskopi, pemeriksaan ulang harus dikerjakan dengan tenggang waktu 2-3 tahun. Sedang pada penderita dengan varises kecil yang ditemukan pada saat endoskopi pertama dilakukan harus diulang pemeriksaan endoskopi 1-2 tahun mendatang untuk mengamati perkembangan varisesnya. Table 4 dan algoritme (Gambar 18) berikut memperlihatkan pencegahan pertama perdarahan varises esophagus. 59

Pengobatan alternative Skleroterapi endoskopi dengan etanol, sodium morhuate, polidocanol, atau sodium tetradecyl sulfate telah banyak dipergunakan secara ekstensif, dan multiple banding ligasi varises saat ini telah banyak dikerjakan. Pengobatan ini efektif dalam mengeradikasi varises esophagus. Namun, ligasi saat ini menjadi pilihan yang menyenangkan karena mempunyai efektifitas yang sama dengan skleroterapi dalam mengeradikasi varises dan mempunyai sedikit komplikasi. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa skleroterapi tidak efektif sebagai profilaksis pertama pedarahan varises esophagus. Lebih lanjut dilaporkan suatu studi acak yang besar, dengan kelompok control segera dihentikan secara premature dengan alas an meningkatnya angka kematian setelah skleroterapi. Penelitian saat ini yang membandingkan terapi propanolol terhadap ligasi varises sebagai pencegah primer perdarahan varises memperlihatkan bahwa rerata perdarahan actuarial 43% dengan propanolol dan 15% dengan ligasi. Meski pada studi ini diperlihatkan bahwa angka perdarahan yang terjadi pada kelompok propanolol lebih tinggi dari yang diperkirakan. Namun demikian ligasi merupakan prosedur yang telah diterima sebagai pilihan pengobatan pada kelompok sirosis yang beresiko tinggi mendapat perdarahan dan mempunyai kontraindikasi atau intoleransi terhadap pengobatan. 60

TATALAKSANA PERDARAHAN AKUT VARISES ESOFAGUS Tatalaksana umum Pada penderita sirosis dengan komplikasi memerlukan perawatan yang intensif dan analisa medic yang cermat. Khususnya resusitasi yang efektif, diagnosis yang akurat, dan pengobatan yang segera dapat posisi normal harus tetap dippertahankan untuk mencegah terjadinya hipovolemia yang berkepanjangan untuk menghindari terjadinya komplikasi gagal ginjal dan infeksi. Namun over transfuse juga harus dihindarkan untuk mencegah resiko peningkatan tekanan portal kembali, yang berakibat meningkatnya resiko perburukan control perdarahan. Sangat penting memberikan quinolon atau antibiotika bespektrum luas untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri dan juga menurunkan mortalitas. Hal penting lainnya adalah mempertahankan fungsi ginjal. Pemberian terlipresin bersama albumin dapat memperbaiki sindrom hepatorenal.

Obat lini pertama Pemberian terlipresin 2 mg tiap 4 jam untuk sampai 48 jam. Obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung atau pembuluh darah yang berat. Setelah perdarahan terkontrol selama 24 jam dosis obat dapat diturunkan separuhnya dan dosis pemeliharaan selama 5 hari untuk mencegah terjadinya early rebleeding. Efek samping ditemukan pada 25% kasus berupa kram perut, diare, bradikardi dan hipertensi. Efek samping uyang berat yang memerlukan penghentian obat ditemukan pada 2-4 % penderita. Somatostatin yang diberikan secara intravena dalam infuse yang kontinyu dengan dosis 250 ig/jam setelah suntikan bolus intravena 250 ig. Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pada kelompok resiko tinggi (dengan bleeding aktif saat endoskopi) memerlukan dosis yang lebih besar (500 ig/jam dan bolus ulangan pada jam pertama sebesar 250 ig pengobatan). Kemungkinan pemberian somatostatin perlu dipertahankan sebagai dosis pemeliharaan selama 5 hari. Efek samping somatostatin biasanya ringan. Paling sering adalah bradikardia, hiperglikemia, diare dan kejang perut. Keberhasilan terlipresin maupun somatostatin 5 hari mencapai angka 70%.

Terapi endoskopi Skleroterapi emergensi varises esophagus dapat menghentikan perdarahan pada 80-90% dari penderita. Diperlukan kemampuan yang tinggi dari endoskopis. Komplikasi yang terjadi sebesar 10-20% dengan mortalitas 2%. Studi acak dengan control memperlihatkan bahwa skleroterapi emergensi tidak superior terhadap terapi medikamentosa untuk mencapai keberhasilan dalam 5 hari. Ligasi mungkin sedikit lebih baik daripada skleroterapi. Data terakhir memperlihatkan bahwa hasil terbaik diperoleh dari kombinasi pengobatan yaitu pemberian segera obat vasoaktif dengan skleroterapi atau ligasi. Sukses 5 hari mencapai angka 80%. Skleroterapi varises esophagus secara meyakinkan menurunkan angka resiko perdarahan dan kematian. Varises rekuren terjadi 40% pasien dalam tahun pertama dari saat eradikasi. Kasus ini memerlukan tindakan ulangan. Efek samping yang serius seperti disfagia, stenosis esophagus, perdarahan dari ulkus esophagus tercatat pada 14% kasus perdarahan ulang. Ligasi telah dibuktikan superior daripada skleroterapi dan lebih jarang ditemukan komplikasi dan lebih ringan komplikasi yang terjadi. Namun demikian ligasi 61

tidak memperbaiki survival yang dicapai skleroterapi, dan masih berhubungan dengan tingginya kejadian perdarahan ulang.

Balon tamponade Pemasangan balon tamponade akan menghentikan perdarahan varixses melalui mekanisme kompresi langsung pada varises. Keberhasilan menghentikan perdarahan dengan metode ini mencapai angka 80-90%. Namun sayangnya perdarahan ulang akan terjadi pada sebagian besar penderita pada saat balon dikempeskan. Komplikasi sering terjadi dan angka kematian mencapai 6-20%. Kematian disebabkan oleh pneumonia aspirasi, rupture esophagus, obstruksi jalan napas. Karena hal tersebut di atas maka tindakan pemasangan balon harus dikerjakan di tangan ahli yang berpengalaman, dan dikerjakan di ICU untuk menunggu pengobatan yang infinitive. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) Bila TIPS dipergunakan untuk mengatasi perdarahan akut varises akan menghentikan hamper sebagian besar penderita. Tindakan ini merupakan tindakan penyelamat pada kegagalan pengobatan atau tindakan endoskopi. Keuntungan terbesar TIPS pada perdarahan varises refrakter yang terjadi 5-10% pasien. Hamper seluruhnya perdarahan yang terjadi dapat diatasi. Namun pada penderita dengan penyakit hati lanjut dan gagal multiorgan pada saat TIPS dikerjakan mempunyai angka mortalitas 30 hari mencapai 100%.

Pencegahan perdarahan ulang Medikamentosa Banyak studi acak dengan kelompok control memperlihatkan manfaat penyekat non selektif dalam mencegah terjadinya perdarahan ulang. Angka perdarahan ulang turun dari 63% pada kontrolmenjadi 42% pada penderita yang mendapat terapi. Angka kematian yang terjadi juga menurun secara bermakna pada kelompok terapi. Kombinasi obat antara propanolol atau nadolol dengan isosorbide mononitrate (IMN) telah diperkenalkan menyusul keberhasilan IMN meningkatkan penurunan tekanan portal pada pemberian penyekat beta non selektif. Keberhasilan kombinasi IMN dengan propanolol atau nadolol lebih baik daripada skleroterapi dan sekurang-kurangnya sama dengan ligasi varises. Dibanding dengan TIPS, terapi kombinasi kurang efektif untuk mencegah perdarahan berulang, namun lebih kurang angka kejadian ensefalopati hepatic, biaya murah dan mortalitasnya sama.

Pemantauan respons pengobatan medikamentosa Resiko terjadinya perdarahan ulang hamper mendekati nol apabila tekanan gradient vena hepatica (HVPG) turun < 12 mmHg, atau yang terpantau turun secara dramatic >20% dari nilai basal meski nilai target 12 mmHg tidak tercapai. Masih belum jelas pada kasus yang tidak berhasil dengan pengobatan medikamentosa. Tampaknya terapi tambahan ligasi diperlukan sebagai tambahan obat medikamentosa.

62

KARSINOMA HEPATOSELULER DEFINISI Kanker hati (hepatocellular carcinoma) adalah suatu kanker yang timbul dari hati. Ia juga dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Hati terbentuk dari tipe-tipe sel yang berbeda (contohnya, pembuluh-pembuluh empedu, pembuluh- pembuluh darah, dan sel-sel penyimpan lemak). Bagaimanapun, sel-sel hati (hepatocytes) membentuk sampai 80% dari jaringan hati. Jadi, mayoritas dari kanker- kanker hati primer (lebih dari 90 sampai 95%) timbul dari sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular (hepatocellular cancer) atau Karsinoma (carcinoma). Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang berasal dari sel-sel hati. Hepatoma merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan. Tumor ini merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel parenkim atau epitel saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya(5).

EPIDEMIOLOGI Kanker hati adalah kanker kelima yang paling umum di dunia. Suatu kanker yang mematikan, kanker hati akan membunuh hampir semua pasien-pasien yang menderitanya dalam waktu satu tahun. Pada tahun 1990, organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa ada kira-kira 430,000 kasus-kasus baru dari kanker hati diseluruh dunia, dan suatu jumlah yang serupa dari pasien-pasien yang meninggal sebagai suatu akibat dari penyakit ini. Sekitar tiga per empat kasus-kasus kanker hati ditemukan di Asia Tenggara (China, Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Japan). Kanker hati juga adalah sangat umum di Afrika Sub-Sahara (Mozambique dan Afrika Selatan). Frekwensi kanker hati di Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara adalah lebih besar dari 20 kasuskasus per 100,000 populasi. Berlawanan dengannya, frekwensi kanker hati di Amerika Utara dan Eropa Barat adalah jauh lebih rendah, kurang dari lima per 100,000 populasi. Bagaimanapun, frekwensi kanker hati diantara pribumi Alaska sebanding dengan yang dapat ditemui pada Asia Tenggara. Lebih jauh, data terakhir menunjukan bahwa frekwensi kanker hati di Amerika secara keseluruhannya meningkat. Peningkatan ini disebabkan terutama oleh hepatitis C kronis, suatu infeksi hati yang menyebabkan kanker hati(4). Di Amerika frekwensi kanker hati yang paling tinggi terjadi pada imigran- imigran dari negaranegara Asia, dimana kanker hati adalah umum. Frekwensi kanker hati diantara orang-orang kulit putih (Caucasians) adalah yang paling rendah, sedangkan diantara orang-orang Amerika keturunan Afrika dan Hispanics, ia ada diantaranya. Frekwensi kanker hati adalah tinggi diantara orang-orang Asia karena kanker hati dihubungkan sangat dekat dengan infeksi hepatitis B kronis. Ini terutama begitu pada individu-individu yang telah terinfeksi dengan hepatitis B kronis untuk kebanyakan dari hidup-hidupnya.

FAKTOR RISIKO a. Infeksi Hepatitis B Peran infeksi virus hepatitis B (HBV) dalam menyebabkan kanker hati telah ditegakkan dengan baik. Beberapa bukti menunjukkan hubungan yang kuat. Seperti dicatat lebih awal, frekwensi kanker hati berhubungan dengan (berkorelasi dengan) frekwensi infeksi virus hepatitis B kronis. Sebagai tambahan, 63

pasien-pasien dengan virus hepatitis B yang berada pada risiko yang paling tinggi untuk kanker hati adalah pria-pria dengan sirosis, virus hepatitis B dan riwayat kanker hati keluarga. Mungkin bukti yang paling meyakinkan, bagaimanapun, datang dari suatu studi prospektif yang dilakukan pada tahun 1970 di Taiwan yang melibatkan pegawai-pegawai pemerintah pria yang berumur lebih dari 40 tahun. Pada studi-studi ini, penyelidik-penyelidik menemukan bahwa risiko mengembangkan kanker hati adalah 200 kali lebih tinggi diantara pegawai-pegawai yang mempunyai virus hepatitis B kronis dibandingkan dengan pegawai-pegawai tanpa virus hepatitis B kronis. Pada pasien-pasien dengan keduanya virus hepatitis B kronis dan kanker hati, material genetik dari virus hepatitis B seringkali ditemukan menjadi bagian dari material genetik sel-sel kanker. Diperkirakan, oleh karenanya, bahwa daerah-daerah tertentu dari genom virus hepatitis B (kode genetik) masuk ke material genetik dari sel-sel hati. Material genetik virus hepatitis B ini mungkin kemudian mengacaukan/mengganggu material genetik yang normal dalam sel-sel hati, dengan demikian menyebabkan sel-sel hati menjadi bersifat kanker(4). b. Infeksi Hepatitis C Infeksi virus hepatitis C (HCV) juga dihubungkan dengan perkembangan kanker hati. Di Jepang, virus hepatitis C hadir pada sampai dengan 75% dari kasus-kasus kanker hati. Seperti dengan virus hepatitis B, kebanyakan dari pasien-pasien virus hepatitis C dengan kanker hati mempunyai sirosis yang berkaitan dengannya. Pada beberapa studi-studi retrospektif-retrospektif (melihat kebelakang dan kedepan dalam waktu) dari sejarah alami hepatitis C, waktu rata-rata untuk mengembangkan kanker hati setelah paparan pada virus hepatitis C adalah kira-kira 28 tahun. Kanker hati terjadi kira-kira 8 sampai 10 tahun setelah perkembangan sirosis pada pasien-pasien ini dengan hepatitis C. Beberapa studi-studi prospektif Eropa melaporkan bahwa kejadian tahunan kanker hati pada pasien-pasien virus hepatitis C yang ber-sirosis berkisar dari 1.4 sampai 2.5% per tahun. Pada pasien-pasien cirus hepatitis C, faktor-faktor risiko mengembangkan kanker hati termasuk kehadiran sirosis, umur yang lebih tua, jenis kelamin laki, kenaikkan tingkat dasar alpha-fetoprotein (suatu penanda tumor darah), penggunaan alkohol, dan infeksi berbarengan dengan virus hepatitis B. Beberapa studi-studi yang lebih awal menyarankan bahwa genotype 1b (suatu genotype yang umum di Amerika) virus hepatitis C mungkin adalah suatu faktor risiko, namun studi-studi yang lebih akhir ini tidak mendukung penemuan ini. Caranya virus hepatitis C menyebabkan kanker hati tidak dimengerti dengan baik. Tidak seperti virus hepatitis B, material genetik virus hepatitis C tidak dimasukkan secara langsung kedalam material genetik sel-sel hati. Diketahui, bagaimanapun, bahwa sirosis dari segala penyebab adalah suatu faktor risiko mengembangkan kanker hati. Telah diargumentasikan, oleh karenanya, bahwa virus hepatitis C, yang menyebabkan sirosis hati, adalah suatu penyebab yang tidak langsung dari kanker hati. Pada sisi lain, ada beberapa individu-individu yang terinfeksi virus hepatitis C kronis yang menderita kanker hati tanpa sirosis. Jadi, telah disarankan bahwa protein inti (pusat) dari virus hepatitis C adalah tertuduh pada pengembangan kanker hati. Protein inti sendiri (suatu bagian dari virus hepatitis C) diperkirakan menghalangi proses alami kematian sel atau mengganggu fungsi dari suatu gen (gen p53) 64

penekan tumor yang normal. Akibat dari aksi-aksi ini adalah bahwa sel-sel hati terus berlanjut hidup dan reproduksi tanpa pengendalian-pengendalian normal, yang adalah apa yang terjadi pada kanker. c. Alkohol Sirosis yang disebabkan oleh konsumsi alkohol yang kronis adalah hubungan yang paling umum dari kanker hati di dunia (negara-negara) yang telah berkembang. Tatacara yang biasa adalah suatu individu dengan sirosis akhoholik yang telah menghentikan minum untuk waktu 10 tahun, dan kemudian mengembangkan kanker hati. Itu agaknya tidak umum untuk pecandu minuman alkohol yang minum secara aktif untuk mengembangkan kanker hati. Yang terjadi adalah bahwa ketika minum alkohol dihentikan, sel-sel hati mencoba untuk sembuh dengan regenerasi/reproduksi. Adalah selama regenerasi yang aktif ini bahwa suatu perubahan genetik (mutasi) yang menghasilkan kanker dapat terjadi, yang menerangkan kejadian kanker hati setelah minum alkohol dihentikan. Pasien-pasien yang minum secara aktif adalah lebih mungkin untuk meninggal dari komplikasikomplikasi yang tidak berhubungan dengan kanker dari penyakit hati alkoholik (contohnya gagal hati). Tentu saja, pasien-pasien dengan sirosis alkoholik yang meninggal dari kanker hati adalah kira-kira 10 tahun lebih tua daripada pasien-pasien yang meninggal dari penyebab- penyebab yang bukan kanker. Akhirnya, seperti dicatat diatas, alkohol menambah pada risiko mengembangkan kanker hati pada pasien-pasien dengan infeksi-infeksi virus hepatitis C atau virus hepatitis B yang kronis. d. Aflatoxin B1 Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi membentuk kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang disebut Aspergillus flavus, yang ditemukan dalam makanan yang telah tersimpan dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini ditemukan pada makanan seperti kacang-kacang tanah, beras, kacang-kacang kedelai, jagung, dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan pada perkembangan kanker hati di China Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia diperkirakan menyebabkan kanker dengan menghasilkan perubahan-perubahan (mutasi-mutasi) pada gen p53. Mutasi-mutasi ini bekerja dengan mengganggu fungsi-fungsi penekan tumor yang penting dari gen. e. Obat-Obat Terlarang, Obat-Obatan, dan Kimia-Kimia Tidak ada obat-obat yang menyebabkan kanker hati, namun hormon- hormon wanita (estrogens) dan steroid-steroid pembentuk protein (anabolic) dihubungkan dengan pengembangan hepatic adenomas. Ini adalah tumor- tumor hati yang ramah/jinak yang mungkin mempunyai potensi untuk menjadi ganas (bersifat kanker). Jadi, pada beberapa individu-individu, hepatic adenoma dapat berkembang menjadi kanker. Kimia-kimia tertentu dikaitkan dengan tipe-tipe lain dari kanker yang ditemukan pada hati. Contohnya,thorotrast, suatu agen kontras yang dahulu digunakan untuk pencitraan (imaging), menyebabkan suatu kanker dari pembuluh-pembuluh darah dalam hati yang disebut hepatic angiosarcoma. Juga, vinyl chloride, suatu senyawa yang digunakan dalam industri plastik, dapat menyebabkan hepatic angiosarcomas yang tampak beberapa tahun setelah paparan. f.. Sirosis Individu-individu dengan kebanyakan tipe-tipe sirosis hati berada pada risiko yang meningkat mengembangkan kanker hati. Sebagai tambahan pada kondisi-kondisi yang digambarkan diatas (hepatitis B, hepatitis C, alkohol, dan hemochromatosis), kekurangan alpha 1 anti-trypsin, suatu kondisi yang 65

diturunkan/diwariskan yang dapat menyebabkanemp hysem a dan sirosis, mungkin menjurus pada kanker hati. Kanker hati juga dihubungkan sangat erat dengantyrosinemia keturunan, suatu kelainan biokimia pada masa kanak- kanak yang berakibat pada sirosis dini. Penyebab-penyebab tertentu dari sirosis lebih jarang dikaitkan dengan kanker hati daripada penyebab-penyebab lainnya. Contohnya, kanker hati jarang terlihat dengan sirosis pada penyakit Wilson (metabolisme tembaga yang abnormal) atau primary sclerosing cholangitis (luka parut dan penyempitan pembuluh-pembuluh empedu yang kronis). Begitu juga biasanya diperkirakan bahwa kanker hati adalah jarang ditemukan pada primary biliary cirrhosis (PBC). Studi-studi akhir ini, bagaimanapun, menunjukan bahwa frekwensi kanker hati pada PBC adalah sebanding dengan yang pada bentuk- bentuk lain sirosis.

GEJALA KLINIS Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, dan banyak tanpa keluhan. Lebih dari 75% tidak memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang besar sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa. Keluhan utama yang sering adalah keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun ada rasa bengkak di perut kanan atas dan nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan rasa lemas. Keluhan lain terjadinya perut membesar karenaascit es (penimbunan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-lain(6).

DIAGNOSIS Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan majupesat, maka berkembang pula cara-cara diagnosis dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini. Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 95%1,4,8 dan pendekatan laboratoriumalphaf etoprotein yang akurasinya 60 70%(7). Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu: 1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. 2. AFP(Alpha fetoprotein ) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml 3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging(MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya KHS. 4. Peri toneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS. 5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS. Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.

STADIUM PENYAKIT Stadium I : Satu fokal tumor berdiametes < 3cm yang terbatas hanya pada salah satu segment tetapi 66

bukan di segment I hati

Stadium II

: Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segement I atau multi-fokal

terbatas pada lobus kanan/kiri Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atas ke lobus kanan segment V

dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (billiary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati. Stadium IV : Multi-fokal ataudiffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hatiatau tumor

dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati(intra hepaticvaskuler) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati(extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).

PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Alphafetoprotein SensitivitasAlphaf etoprotein (AFP) untuk mendiagnosa KHS 60% 70%, artinya hanya pada 60% 70% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% 40% penderita nilai AFP nya normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai AFP yang tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada sirrhosis hati dan hepatitis kronik, kanker testis, dan terratoma. b. AJH (aspirasi jarum halus) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh seorang ahli radiologi dengan menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scann fluoroscopy sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT scann mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor. c. Gambaran Radiologi Pesatnya kemajuan teknologi dan komputer membawa serta juga kemajuan dalam bidang radiologi baik peralatannya maupun teknologinya dan memaksa dokter spesialis radiologi untuk mengikutitraining danworkshop baik di dalam ataupun di luar negeri sehingga dengan demikian menghantarkan radiologi berada di barisan depan dalam penanggulangan penyakit kanker hati ini dan membuktikan pula dirinya berperan sangat penting untuk mendeteksi kanker hati. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan(nodule ) satu buah, dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul 67

Dengan peralatan radiologi yang baik dan ditangani oleh dokter spesialis radiologi yang berpengalaman sudah terjamin dapat mendeteksi tumor dengan diameter kurang dari 1 cm dan dapatlah menjawab semua pertanyaan seputar kanker ini antara lain berapa banyaknodule yang dijumpai, berapasegment hati- kah yang terkena, bagaimana aliran darah ke kanker yang dilihat itu apakah sangat banyak (lebih ganas), apakah sedang (tidak begitu ganas) atau hanya sedikit (kurang ganas), yang penting lagi apakah ada sel tumor ganas ini yang sudah berada di dalam aliran darah vena porta, apakah sudah ada sirrhosis hati, dan apakah kanker ini sudah berpindah keluar dari hati (metastase) ke organ-organ tubuh lainnya. Kesemua jawaban inilah yang menentukan stadium kankernya, apakah pasien ini menderita kanker hati stadium dini atau stadium lanjut dan juga menentukan tingkat keganasan kankernya sehingga dengan demikian dapatlah ditaksir apakah penderita dapat disembuhkan sehingga bisa hidup lama ataukah sudah memang tak tertolong lagi dan tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi dari 6 bulan.Radiologi mempunyai banyak peralatanan sepertiUltrasonography (USG), Color Doppler Flow Imaging Ultrasonography, Computerized Tomography Scann(CT Scann), Magnetic Resonance Imaging(MRI), Angiography, Scintigraphydan Positron Emission Tomography (PET) yang menggunakan radio isotop. Pemilihan alat mana saja yang akan digunakan apakah dengan satu alat sudah cukup atau memang perlu digunakan beberapa alat yang dipilih dari sederetan alat-alat ini dapat disesuaikan dengan kondisi penderita. i. Ultrasonography (USG) Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna keabuan dan texture merata(homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan(nodule ) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman campur keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau lebih atau banyak sekali dan merata pada seluruh hati, ataukah satu nodule yang besar dan berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2 cm 3 cm saja. Tapi bila USGconv entional ini dilengkapi dengan perangkat lunakharmonik system bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%. Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan kanker namun tak dapat melihat adanya pembuluh darah baru(neovascular ). Neo-vascular merupakan ciri khas kanker yaitu pembuluh darah yang terbentuk sejalan dengan pertumbuhan kanker yang gunanya untuk menghantarkan makanan dan oksigen ke kanker itu. Semakin banyak neo-vascular ini semakin ganas kankernya. Walaupun USG color sudah dapat memberikan warna dan mampu memperlihatkan pembuluh darah di sekelilingnodule tetapi belum dapat memastikan keberadaan neovascular sehingga dengan demikian akurasi diagnostik hanya sedikit bertambah menjadi berkisar 60% 70%. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, kini sudah ada alat USG yang lebih canggih dan lebih lengkap lagi yaitu Color Doppler Flow Imaging (CDFI) yaituUSG yang selain mampu melihat pembuluh darah di sekitar kanker juga mampu pula memperlihatkan kecepatan dan arah aliran darah di dalam pembuluh darah itu, sehingga dapat ditentukan resistensi index dan pulsatily index yang dengan demikian sudah dapat memastikan apakah pembuluh darah yang mengelilinginodule itu adalah benar neovascularisasi dan berapa banyak adanya. Dengan dapat dipastikan keberadaanneo- vascu larisasi ini maka akurasi diagnosa kanker meningkat jadi 80%.Neo-vascularisasi yang baru terbentuk yang memang ada tapi belum terlihat dengan teknik CDFI ini masih bisa dilihat dengan cara diberikan suntikan zat kontras pada penderita 68

sewaktu dilakukan pemeriksaan CDFI USG, zat kontras itu mampu menembus masuk ke dalamneo- vascu larisasi yang menyusup di dalam nodule. Dengan demikian akurasi diagnosa meningkat menjadi 90% dan lebih-lebih lagi dapat mendeteksi kanker berukuran lebih kecil dari 1 cm. Dengan Color Doppler Flow Imaging USG ini juga memungkinkan kita melihat apakah ada portal vein tumor thrombosis yaitu sel-sel kanker (tumor thrombus) yang lepas dan masuk ke dalam vena Porta. Penting sekali memastikan keberadaan tumor thrombus di dalam vena porta ini karenathro m b u s ini dapat menyumbat aliran darah. Pada keadaan normal semua makanan yang telah dicernakan oleh usus akan dihantarkan ke hati oleh vena porta ini. Bila vena ini tersumbat oleh tumor thrombus maka hati tidak menerima nutrisi lagi dengan kata lain hati tak dapat makanan lagi sehingga sel-sel hati akan mati(necrosis ) secara perlahan tetapi pasti dan ini sangat membahayakan penderita karena dapat terjadi gagal hati (liver failure). Tumor thrombus ini bisa ukurannya besar sehingga menutup seluruh lumen vena porta, bisa kecil, dan hanya menutup sebahagian lumen saja sehingga masih bisa ada aliran darah di dalam vena porta ini. Dari hasil USG ini sudah bisa diarahkan dengan tepat tindakan pengobatan apa yang paling sesuai dan bermanfaat untuk penderita apakah akan dilakukan operasi membuang sebahagian hati (reseksi hepatektomi partial) atau tidak, apakah bisa di-embolisasi atau tidak ataukah hanya dilakukan infuse kemoterapi intra- arterial saja. Tapi bila sudah jelas terdapat tumor thrombus di dalam vena porta dan sudah pula menyumbat vena ini, maka tindakan operatif dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan satusatunya cara untuk menyelamatkan penderita adalah dengan cara transplantasi hati(liver transplantation). ii.CT Scan Di samping USG diperlukan CT scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CT scann yang saat ini teknologinya berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan teknik hellical CT scann,multisl ice yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan. Lebih canggih lagi sekarang CT scann sudah dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya. iii.Angiografy Dicadangkan hanya untuk penderita kanker hati-nya yang dari hasil pemeriksaan USG dan CT scann diperkirakan masih ada tindakan terapi bedah atau non-bedah masih yang mungkin dilakukan untuk menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai denganukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT angiography yang dapat memperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi membuang kanker hati itu tahu menentukan di mana harus dibuat batas sayatannya(14). iv.MRI (Magnetic Resonance Imaging) Bila CT scann mengunakan sinar X maka MRI ini menggunakan gelombang magnet tanpa adanya Sinar X. CT angiography menggunakan zatcontrast yaitu zat yang diperlukan untuk melihat pembuluh darah. 69

Tanpa zat ini pembuluh darah tak dapat dilihat. Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CT scann yang meragukan atau pada penderita yang ada risiko bahaya radiasi sinar X dan pada penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian zatcontrast sehingga pemeriksaanCT angiography tak memungkinkan padahal diperlukan gambar peta pembuluh darah. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic Resonance Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta pembuluh darah kanker hati ini. Sayangnya ongkospemeriksaan dengan MRI dan MRA ini mahal, sehingga selalu CT scan yang merupakan pilihan pertama. v.PET (Positron Emission Tomography) Salah satu teknologi terkini peralatan kedokteran radiologi adalah Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihatmetastase (penyebaran).

PENGOBATAN Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran kanker, lokasi kanker di bahagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal(soliter) atau banyak(mu ltip le), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknyametastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati(12). Tahap tindakan pengobatan terbagi tiga, yaitu tindakan bedah hati digabung dengan tindakan radiologi dan tindakan non-bedah dan tindakantransplan tasi (pencangkokan) hati. 1. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat. Radiologilah satu satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukanCT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi. Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh 70

darah(feeding artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampuan hidup(viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang. Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami racun(chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila selsel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan oleh dokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuansupportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringankanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang biak. Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui pembuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%. 2. Tindakan Non-bedah Hati Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium lanjut. Tindakan non-bedah dilakukan oleh dokter ahli radiologi. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah: a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE) Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datangnya bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru(neovascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini disumbat (diembolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke selsel kanker akan terhenti dan sel- sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka selsel kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan. Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%. b. Infus Sitostatika Intra-arterial. 71

Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini. Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil). Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infuse sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen ballon catheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelahballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaanballon mengembang selama 10 30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidupyang kesemuanya ini bersifatpalliatif (membantu) bukankurati f (menyembuhkan) keseluruhannya. 3. Tindakan Transplantasi Hati Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien.

72

You might also like