You are on page 1of 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KRISIS TIROID

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Disusun oleh: 1. Dwi Agustin 2. Rosy Azizah Rizki NIM. P07120111009 NIM. P07120111032

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN 2014

BAB I TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering berhubungan dengan stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah keadaan krisis terburuk dari status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat terjadi jika tidak segera tertangani (Hudak & Gallo, 1996). Krisis tiroid merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih sistem organ (Bakta & Suastika, 1999).

B. Etiologi Keadaan yang dapat menyebabkan krisis tiroid adalah: 1. Operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon tiroidnya 2. Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid 3. Pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen 4. Infeksi 5. Stroke 6. Trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme sebelumnya. 7. Penyakit Grave, Toxic multinodular, dan Solitary toxic adenoma 8. Tiroiditis 9. Penyakit troboblastik 10. Ambilan hormon tiroid secara berlebihan 11. Pemakaian yodium yang berlebihan 12. Kanker pituitari 13. Obat-obatan seperti Amiodarone

Ada tiga mekanisme fisiologis yang diketahui dapat menyebabkan krisis tiroid: 1. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah besar 2. Hiperaktivitas adrenergik 3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan (Hudak & Gallo, 1996).

Factor pencetus krisis hingga kini belum jelas namun diduga dapat berupa free- hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 paska transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Dan factor resikonya dapat berupa surgical crisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crisis (stress apapun, fisik maupun psikologis, infeksi dan sebagainya) (Sudoyo, dkk, 2007).

C. Patofisiologi

G3 organik kelenjar tiroid

G3 Fungsi Hipotalamus /hipofisis

Produksi TSH meningkat

Produksi hormone tiroid meningkat

Metabolisme tubuh meningkat

Peningkatan aktv SSP

Peningkatan rangsangan SSP

Proses glikogenesis meningkat

Aktifitas GI meningkat

Produksi kalor meningkat

Kebutuhan cairan meningkat

Perub konduksi listrik jantung

Peningkatan aktivitas SSP

Proses pembakaran lemak meningkat

Nafsu makan meningkat

Peningkatan suhu tubuh

Defisit volume cairan

Beban kerja jantung naik


Aritmia, takikardi

Disfungsi SSP
Penurunan berat badan

Agitasi, kejang, koma

penurunan curah jantung

Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior. Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid. Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis. Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid

meningkatkan

kepadatan

reseptor

beta-adrenergik

sehingga

menamnah

efek

katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis. Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin. D. Manifestasi klinis Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tanda-tanda pada orang dengan krisis tiroid berupa: 1. Takikardia (lebih dari 130x/menit) 2. Suhu tubuh lebih dari 37,70C 3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan (Diaphoresis, Kelemahan, Eksoftalmus, Amenore) 4. Penurunan berat badan, diare, nyeri abdomen (system gastrointestinal) 5. Psikosis, somnolen, koma (neurologi) 6. Edema, nyeri dada, dispnea, palpitasi (kardiovaskular).

Menurut Hudak dan Gallo (1996), manifestasi klinis hipertiroidisme adalah berkeringat banyak, intoleransi terhadap panas, gugup, tremor, palpitasi, hiperkinesis, dan peningkatan bising usus. Kondisi umum dari tanda gejala ini trutama disertai deman lebih dari 100 F, takikardi yang tidak sesuai dengan keadaan demam, dan disfungsi Sistem Saraf Pusat (SSP), merupakan tanda dari tiroid storm. Abnormalitas sistem saraf pusat termasuk agitasi, kejang, atau koma.

E. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan medis Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu menangani faktor pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang berlebihan,

menghambat pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo, 1996). Penatalaksanaan medis krisis tiroid meliputi: a. Koreksi hipertiroidisme 1) Menghambat sintesis hormon tiroid Obat yang dipilih adalah propiltiourasil (PTU)atau metimazol. PTU lebih banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. PTU diberikan lewat selang NGT dengan dosis awal 600-1000 mg kemudian diikuti 200-250 mg tiap 4 jam. Metimazol diberikan dengan dosis 20 mg tiap 4 jam, bisa diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100mg. 2) Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan dosis 5 tetes tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes perhari dengan dosis terbagi 4. 3) Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan kortikosteroid. 4) Menurunkan kadar hormon secara langsung Dengan plasmafaresis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi tukar, dan charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila dengan pengobatan konvensional tidak berhasil. 5) Terapi definitif Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau total). b. Menormalkan dekompensasi homeostasis 1) Terapi suportif a) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan intravena b) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen c) Multivitamin, terutama vitamin B d) Obat aritmia, gagal jantung kongstif e) Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan f) Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan kadar T3 dan T4) g) Glukokortikoid h) Sedasi jika perlu 2) Obat antiadrenergik Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan guatidin. Reserpin dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi, diganti dengan Beta bloker. Beta bloker yang paling banyak digunakan adalah propanolol.

Penggunaan propanolol ini tidak ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi mengatasi gejala yang terjadi dengan tujuan memulihkan fungsi jantung dengan cara menurunkan gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan dari terapi adalah untuk menurunkan konsumsi oksigen

miokardium, penurunan frekuensi jantung, dan meningkatkan curah jantung. c. Pengobatan faktor pencetus Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama mencari fokus infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine, dan sputum, juga foto dada (Bakta & Suastika, 1999).

2. Penatalaksanaan keperawatan Tujuan penatalaksanaan keperawatan mencakup, mengenali efek dari krisis yang timbul, memantau hasil klinis secara tepat, dan memberikan perawatan suportif untuk pasien dan yang keluarga. dapat Intervensi menyebabkan keperawatan dekompensasi berfokus sistem pada organ,

hipermetabolisme

keseimbangan cairan dan elektrolit, dan memburuknya status neurologis. Ini termasuk penurunan stimulasi eksternal yang tidak perlu, penurunan konsumsi oksigen secara keseluruhan dengan memberikan tingkat aktivitas yang sesuai, pemantauan kriteria hasil. Setelah periode krisis, intervensi diarahkan pada penyuluhan pasien dan keluarga dan pencegahan proses memburuknya penyakit (Hudak &Gallo, 1996).

F. Pemeriksaan penunjang Menurut Smeltzer dan Bare(2002) terdapat beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah pada kelenjar tiroid. 1. Test T4 serum Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan tekhnik radioimunoassay atau pengikatan kompetitif nilai normal berada diantara 4,5 dan 11,5 g/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan terjadi peningkatan pada krisis tiroid. 2. Test T3 serum Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3 total dalam serum dengan batas normal adalah 70 hingga 220 g/dl ( 1,15 hingga 3,10 nmol/L) dan meningkat pada krisis tiroid. 3. Test T3 Ambilan Resin

Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar TBG tidak jenuh. Tujuannnya adalah untuk menentukan jumlah hormon tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Nilai Ambilan Resin T3 normal adal 25% hingga 35% ( fraksi ambilan relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah ditempati oleh hormone tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi peningkatan. 4. Test TSH ( Thyroid Stimulating Hormone ) Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar tiroid sendiri dengan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau hipothalamus. 5. Test Thyrotropin_Releasing Hormone Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis dan akan sangat berguna apabila hasil test T3 serta T4 tidak dapat dianalisa. Test ini sudah jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena spesifisitas dan sensitifitasnya meningkat. 6. Tiroglobulin Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam serum dngan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaan radioimunnoassay. Pemeriksaan ini diperlukan untuk tindak lanjut dan penanganan penderita karsinoma tiroid, serta penyakit tiroid metastatik.

Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan jelas oleh perawat. Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid terdapat dalam triad 1). Menghebatnya tanda tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun 3). Hipertermi. Apabila terdapat tiroid maka dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis kritis tiroid dari Burch Wartofsky. Skor menekankan 3 gejala pokok hipertermia, takikardi dan disfungsi susunan saraf.

G. Komplikasi Meski tanpa adanya penyakit arteri koroner, krisis tiroid yang tidak diobati dapat menyebabkan angina pektoris dan infark miokardium, gagal jantung kongestif, kolaps kardiovaskuler, koma, dan kematian (Hudak&Gallo, 1996).

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian Tanda dan gejala krisis tiroid adalah bervariasi dan nonspesifik. Tanda klinik yang dapat dilihat dari peningkatan metabolism adalah demam, takikardi, tremor, delirium, stupor, coma, dan hiperpireksia. 1. B1 (Breathing) Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen sebagai bentuk kompensasi peningkatan laju metabolisme yang ditandai dengan takipnea. 2. B2 (Blood) Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung, denyut nadi dan cardiac output. Ini

mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen dan nutrisi. Peningkatan produksi panas membuat dilatasi pembuluh darah sehingga pada pasien didapatkan palpitasi, takikardia, dan peningkatan tekanan darah. Pada auskultasi jantung terdengar mur-mur sistolik pada area pulmonal dan aorta. Dan dapat terjadi disritmia,atrial fibrilasi,dan atrial flutter. Serta krisis tiroid dapat menyebabkan angina pectoris dan gagal jantung. 3. B3 (Brain) Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi iritabel, penurunan perhatian, agitasi, takut. Pasien juga dapat mengalami delirium, kejang, stupor, apatis, depresi dan bisa menyebabkan koma. 4. B4 (Bladder) Perubahan pola berkemih ( poliuria, nocturia). 5. B5 (Bowel) Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan kehilangan berat badan. Krisis tiroid juga dapat meningkatkan peningkatan motilitas usus sehingga pasien dapat mengalami diare, nyeri perut, mual, dan muntah. 6. B6 (Bone) Degradasi protein dalam musculoskeletal menyebabkan kelelahan, kelemahan, dan kehilangan berat badan.

B. Diagnosis Keperawatan dan Perencanaan NO 1 DIAGNOSIS KEPERAWATAN Defisit volume cairan berhubungan dengan status hipermetabolik Setelah PERENCANAAN TUJUAN diberi keperawatan, cairan tubuh seimbang dengan kriteria: stabil (TD 100-120/60-90 mmHg, 100x/menit, 22x/menit,
O

INTERVENSI bunyi jantung) tiap 1 jam

RASIONAL dispnea, atau hipotensi dapat mengindikasikan kekurangan volume cairan

asuhan 1. Kaji status volume cairan (TD, suhu, 1. Takikardia,

a. Tanda-tanda vital tetap 2. Kaji turgor kulit dan membrane 2. Turgor kulit tidak elastis dan dan mukosa mulut setiap 8 jam membran mukosa kering dapat menjadi gejala kurang cairan.

N: R S:

60-

16- 3. Ukur asupan dan haluaran setiap 1 3. Haluaran urin yang rendah sampai 4 jam. Catat dan laporkan mengindikasikan hipovolemi. 36-37,5 perubahan yang signifikan termasuk urine. 4. Berikan cairan IV sesuai instruksi. 4. Cairan dapat 5. Kaji semua data intravena yang cukup menormalkan

C)

b. Warna kulit dan suhu dalam batas normal c. Balance seimbang d. Turgor kulit elastis dan membrane lembab mukosa cairan

dekompensasi homeostasis laboratorium, 5. Nilai elektrolit abnormal dapat menjadi tanda kekurangan cairan dan elektrolit 6. Berikan instruksi beta adrenergik sesuai 6. Beta adrenergik gejala dapat yang menurunkan laporkan nilai elektrolit abnormal

dimediasi katekolamin sehingga memulihkan fungsi jantung 2 Hipertermia berhubungan dengan status hipermetabolik Setelah diberi tidak asuhan 1. Pantau Tanda Vital (Suhu ) Tiap 1 terjadi jam 1. Menilai peningkatan dan keperawatan, penurunan suhu tubuh

hipertermi dengan kriteria: a. Suhu dalam


O

2. Anjurkan banyak minum bila tidak ada kontraindikasi 3. Beri kompres hangat

2. Hidrasi

yang

cukup

dapat

batas

menurunkan suhu tubuh 3. Kompres pembuluh hangat darah mendilatasi sehingga

normal 36-37,5 C b. Tidak ada konvulsi c. kulit tidak memerah d. tidak ada takikardi

mengurangi panas 4. Gunakan pakaian tipis dan 4. Pakaian tipis dan menyerap keringat metabolisme menurunkan panas 5. Pertahankan cairan intravena sesuai progam 5. Cairan intravena cairan memenuhi sehingga menurunkan sehingga

menyerap keringat

kebutuhan

menurunkan panas 6. Berikan antipiretik sesuai program 6. Antipiretik produksi menghambat prostaglandin di

hipotalamus anterior sehingga menurunkan suhu 3 Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipertiroidisme Setelah jaringan diberi serebral asuhan 1. Kaji status neurologi tiap jam perfusi efektif, 2. Lakukan kesadaran tindakan pencegahan terhadap kejang 3. Kaji adanya kelemahan, patensi jalan napas, keamanan, jika tingkat 1. Menskrining perubahan tingkat kesadaran neurologis 2. Kejang merupakan tanda terhadap jalan nafas, perburukan 3. Ketidakpatenan dan status keperawatan, dengan kriteria: a. Tingkat M:6, V:5) b. Klien tidak mengalami meningkat (GCS: E:4,

perubahan status neurologi kelemahan, bisa terjadi karena

cedera c. Jalan napas paten

kesadaran pasien menurun 4. Lakukan tindakan pengamanan untuk mencegah cedera

peningkatan status neurologi 4. Cedera pasien rawan dengan terjadi pada perubahan

status neurulogi 4 Penurunan berhubungan curah dengan jantung gagal Setelah penurunan diberi tidak curah asuhan 1. Pantau tekanan darah tiap jam terjadi jantung, 1. Hipotensi umum atau ortostatik dapat terjadi sebagai akibat dari vasodilatasi berlebihan 2. Periksa kemungkinan adanya nyeri dada atau angina yang dikeluhkan pasien. 3. Auskultasi suara nafas. Perhatikan adanya suara yang tidak normal (seperti krekels) 4. Observasi tanda dan gejala haus yang kering, produksi hebat, nadi mukosa lemah, urine membran penurunan dan 2. Merupakan volume sirkulasi tanda adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh otot jantung atau iskemia. 3. S1 dan murmur yang menonjol berhubungan jantung dengan curah pada meningkat perifer dan yang penurunan keperawatan, dengan kriteria: a. Nadi perifer dapat teraba normal (60-100x/menit, kuat) b. TD:100-120/8090x.menit, RR: 1620x/menit, S:36-37,50C c. Capilary reffil <2 detik d. Status mental baik e. Palpitasi berkurang

jantung, status hipermetabolik

keadaan hipermetabolik 4. Dehidrasi yang cepat dapat terjadi yang akan menurunkan volume sirkulasi dan menurunkan curah jantung 5. Diberikan untuk mengendalikan pengaruh gugup serta tirotoksikosis obat pilihan terhadap takikardi, tremor dan

hipotensi,pengisian kapiler lambat 5. Kolaborasi : berikan obat sesuai dengan indikasi : Penyekat beta seperti: nadolol propranolol, atenolol,

pertama pada krisis tiroid akut. Menurunkan frekuensi/ kerja jantung oleh daerah reseptor penyekat beta adrenergic dan konversi dari T3 dan T4.

DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I.M. dan Suastika, I.K. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC Dongoes Marilynn, E.1993.Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC. Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Editor: Irawati Setiawan. Jakarta :EGC. Hariawan, Hamdan. 2013 . Askep Krisis Tiroid. http://hamdan-hariawanfkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-88249-askep%20endokrinaskep%20krisis%20tiroid.html. Diunduh tanggal 26 Februari 2014. Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC. Price Sylvia, A.1994. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: EGC. Nanda International. 2007. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC. Rumahorbo, H. 1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: EGC. Smeltzer dan Bare.2002.Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : EGC

You might also like