You are on page 1of 53

BAB I PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan / syok. Kedua penyakit ini dapat timbul bersamaan walaupun disebabkan oleh penyebab yang berbeda. Daya tahan tubuh sangat berperan penting dalam usaha untuk melawan bakteri ataupun virus yang akan menyerang.

BAB II PEMBAHASAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN


Nama Umur Jenis Kelamin Status Perkawinan Suku Bangsa Agama Alamat Masuk RS : Tn. F : 16 tahun : Laki-laki : Belum Kawin : Jawa : Islam : Jl. Manunggal IX Cawang, Kramat Jati : 16 September 2013

B. ANAMNESIS
Diambil dari Tanggal : Autoanamnesis dan alloanamnesis : 16 September 2013

Keluhan Utama Demam naik turun selama 4 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang Os datang ke IGD RSUD Budhi Asih, diantar oleh ibunya pada tanggal 16 September 2013 dengan keluhan demam naik turun selama 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya, demam muncul tidak terlalu tinggi. Namun, makin hari makin meninggi, terutama pada saat sore hari. Keluhan batuk dan pilek disangkal. Keluhan menggigil dan berkeringat banyak juga disangkal. Os juga mengeluh adanya rasa mual tanpa muntah, yang disertai dengan nyeri pada ulu hati dan nyeri pada perut sebelah kanan atas. Seluruh badan terasa pegal dan dan merasa pusing apabila berdiri

lama. Os mengeluh napsu makan yang berkurang dan lemas. BAK normal dan belum pernah BAB selama demam. Keluhan timbul perdarahan (mimisan, gusi berdarah, BAK berdarah) disangkal. Menurut ibu os, keluhan seperti ini baru pertama kali dialami oleh os.

Riwayat Penyakit Dahulu Sehari sebelum datang ke UGD (15 September 2013) , Os melakukan pemeriksaan Tes Widal dan didapatkan hasil positif Thyphoid Fever.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol disangkal. Os memiliki kebiasaan suka jajan sembarangan.

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama seperti os. Riwayat Diabetes mellitus (-), Riwayat Hipertensi (-).

Riwayat Pengobatan Riwayat Lingkungan Disekitar rumah os banyak yang menderita demam berdarah.

D. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum Kesadaran Keadaan umum Tekanan darah Nadi Suhu Pernafasan Keadaan gizi : Compos mentis : Tampak sakit sedang : 110/70mmhg : 100 x/menit : 39,0 oC : 21 x/menit : Baik

Sianosis Edema umum Cara berjalan Mobilitas

: (-) : (-) : Tidak dinilai : Tidak terbatas

Kulit Warna Jaringan parut Pertumbuhan rambut : Kuning Kecoklatan : (-) : Normal Pigmentasi : (-)

Pembuluh darah abdomen: (-) Suhu raba Keringat Umum Setempat Lapisan lemak Eflorensensi : Hangat : (-) : (-) : Cukup Lembab/kering : Lembab Turgor Ikterus Edema : baik : (-) : (-)

: Tidak terdapat kelainan yang berarti

Kelenjar Getah Bening Submandibula Leher Supraklavikula Axilla Pangkal Paha : Tidak ada pembesaran : Tidak ada pembesaran : Tidak ada pembesaran : Tidak ada pembesaran : Tidak ada pembesaran

Kepala Ekspresi wajah Simetris muka Rambut : Wajar : Simetris : Tebal, hitam, tidak mudah dicabut

Mata Exophthalmus Kelopak : (-/-) : Normal Enopthalmus Lensa : (-/-) : Jernih

Konjungtiva Sklera Nistagmus

: Anemis (-/) : Ikterik (-/-) : (-/-)

Visus Gerakan mata

: Tidak diperiksa : Normal

Telinga Tuli Selaput pendengaran Lubang Penyumbatan Serumen Perdarahan Cairan : (-) : Tidak diperiksa : Normal : (-) : Tidak diperiksa : (-) : (-)

Mulut Bibir Tonsil Langit-langit Bau pernafasan Gigi geligi Trismus Faring Lidah : Tidak kering : T1-T1 : Normal :: Caries (+) : (-) : Tidak hiperemis :Tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Tremor (-)

Leher Tekanan vena jugularis (JVP) Kelenjar Tiroid, Kelenjar limfe : JVP 5 2 cm H2O : Tidak teraba pembesaran

Dada Bentuk : Simetris

Pembuluh darah Buah dada

: Tidak ada pelebaran : Normal

Thoraks Paru Inspeksi : Hemithorak kanan = kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis Palpasi Perkusi Auskultasi : Vokal fremitus kanan = kiri : Sonor pada kedua hemithoraks : Suara nafas vesikuler. Ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi


: Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba :


Batas jantung kanan atas ICS IV linea parasternal dextra Batas jantung kiri atas ICS II + 1 cm lateral linea parasternal sinistra

Batas jantung kanan bawah ICS IV linea parasternal dextra Batas jantung kiri bawah ICS V 1 cm lateral linea midclavicularis sinistra

Auskultasi

: BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : Perut terlihat datar : Bising usus (+) normal : Timpani, shifting dullness (-) : Nyeri tekan pada epigastrium. Hepar teraba + 2 jari dibawah arcus costae dextra, dengan konsistensi kenyal, tepi tajam, permukaan licin, nyeri tekan (+). Lien tidak teraba. Defans muskular (-) Alat Kelamin

Dbn

Anggota Gerak Extremitas atas dextra-sinistra Tonus otot Massa Sendi Gerakan Kekuatan Edema : +/+ : -/: Normal : +/+ : 5/5 : -/-

Extremitas bawah dextra-sinistra Luka Varises Tonus otot Massa Sendi Gerakan Kekuatan Edema : -/: -/: +/+ : -/: Normal : +/+ : 5/5 : -/-

Refleks Tidak diperiksa

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM Tanggal Pemeriksaan 16-09-2013 Hematologi Hematologi Rutin Leukosit 4.1 ribu/uL 4.5-12.5 Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin Hematokrit Trombosit

15.3 g/dL 47 % 111 ribu/uL

12.8-16.8 40-52 140-392

17-09-2013

Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit 3.5 ribu/uL 15.9 g/dL 48 % 68 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392

Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit Kimia Klinik Hati ALT/SGPT 18-09-2013 Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit Hematologi Hematologi Rutin 3.1 ribu/uL 16.8 g/dL 52 % 40 ribu/Ul 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392 21 mU/dl < 26 2.4 ribu/uL 15.7 g/dL 48 % 51 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392

Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit

2.9 ribu/uL 16.5 g/dL 51 % 28 ribu/uL

4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392

19-09-2013

Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit 3.7 ribu/uL 14.8 g/dL 46 % 36 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392 3.8 ribu/uL 17.9 g/dL 55 % 36 ribu/Ul 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392

20-09-2013

Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit 4.1 ribu/uL 15.7 g/dL 48 % 26 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392 3.6 ribu/uL 16.5 g/dL 51 % 26 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392

21-09-2013

Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit 3.4 ribu/uL 15.1 g/dL 47 % 73 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392 3.4 ribu/uL 14.3 g/dL 43 % 45 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392

22-09-2013

Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit 3.9 ribu/Ul 14.7 g/dL 44 % 114 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392 3.2 ribu/uL 14,7 g/dL 45 % 79 ribu/uL 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52 140-392

23-09-2013

Hematologi Hematologi Rutin Leukosit Hemoglobin Hematokrit 5.0 ribu/Ul 15.6 g/dL 46 % 4.5-12.5 12.8-16.8 40-52

10

Trombosit

144 ribu/uL

140-392

F. RESUME Os datang dengan keluhan demam naik turun selama 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya, demam muncul tidak terlalu tinggi. Namun, makin hari makin meninggi, terutama pada saat sore hari. Os juga mengeluh adanya rasa mual tanpa muntah, yang disertai dengan nyeri pada ulu hati dan nyeri perut sebelah kanan atas. Seluruh badan terasa pegal dan dan merasa pusing apabila berdiri lama. Os mengeluh napsu makan yang berkurang dan lemas. Belum pernah BAB selama demam. Menurut ibu os, keluhan seperti ini baru pertama kali dialami oleh os dan 1 hari sebelum masuk RS, os melakukan pemeriksaan Tes Widal, didapatkan hasil positif. Os memiliki kebiasaan jajan sembarangan dan disekitar rumah os, banyak tetangga yang menderita demam berdarah. Pada hasil pemeriksaan didapatkan : Kesadaran : Compos Mentis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Tanda Vital : Tekanan darah Nadi Suhu Pernafasan Pada pemeriksaan fisik, didapatkan : Lidah yang tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak : 110/70mmhg : 100 x/menit : 39,0 oC : 21 x/menit

lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Juga nyeri tekan epigastrium serta hepar teraba + 2 jari dibawah arcus costae dextra, dengan konsistensi kenyal, tepi tajam, permukaan licin, nyeri tekan (+). Sedangkan untuk hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan :

16 September 2013 Leu 4.1 ribu/Ul Trom 111 ribu/uL

17 September 2013 Leu 3.5 ribu/uL Trom 68 ribu/uL

18 September 2013 Leu 3.1 ribu/Ul Trom 40 ribu/uL

19 September 2013 Leu 3.8 ribu/uL Hb 17.9 g/dL

11

Ht 55 % Leu 2.4 ribu/uL Trom 51 ribu/uL SGPT 21 mU/dl Leu 2.9 ribu/uL Trom 28 ribu/uL Leu 3.7 ribu/uL Trom 36 ribu/uL 20 September 2013 Leu 3.6 ribu/Ul Trom 26 ribu/uL 21 September 2013 Leu 3.4 ribu/Ul Trom 45 ribu/uL 22 September 2013 Leu 3.2 ribu/Ul Trom 79 ribu/uL 23 September 2013 Leu 5.0 ribu/uL Trom 144 ribu/uL Trom 36 ribu/uL

Leu 4.1 ribu/uL Trom 26 ribu/Ul

Leu 3.4 ribu/uL Trom 73 ribu/uL

Leu 3.9 ribu/uL Trom 114 ribu/uL

G. DAFTAR MASALAH No. 1. Daftar Masalah Demam naik turun selama 4 hari dan cenderung meningkat pada malam hari 2. 3. Konstipasi selama demam Ditemukannya lidah yang kotor dibagian tengah dan hiperemis dibagian pinggir pada pemeriksaan fisik 4. 5. Nyeri tekan epigastrium (pada palpasi abdomen) Teraba hepar + jari dibawah arcus costae (pada palpasi abdomen) 6. 7. 8. 9. Nyeri tekan hepar pada palpasi abdomen Terdapat leukopenia Terdapat trombositopenia Terdapat peningkatan hematokrit (19 September 2013) 10. Rumple leed (+)

12

H. DIAGNOSIS KERJA
Thypoid Fever DHF derajat 1

I.PEMERIKSAAN PENUNJANG ANJURAN TAMBAHAN - Tes TUBEX - Anti IgG dengue - Anti IgM dengue

J.PENATALAKSANAAN
- IVFD Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2 X 1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr - Inj. Rantin 2 X 1 - Paracetamol 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

K. PROGNOSIS Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

FOLLOW UP Tanggal 16-09-13 S


- Demam hari ke 4 - Lemas - Mual - Nyeri ulu

O TD : 120/70 S : 37,5O C P : 24x/m N : 84 x/m

A
- Trombositopeni - Leukositopeni - Typhoid fever - Suspect DHF

P
- Asering/ 8 jam - PCT 3 X 500 mg - Rantin 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

hari ke 4 hati
Mimisan (-)

Abd : supel, BU (+),

NTE (+)

13

- Gusi berdarah Ext : ptekie (-)

(-)

17-09-13

- Demam hari TD : 110/70 ke 5

- Trombositopeni - Leukositopeni - Typhoid fever - DHF hari ke 5

- Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2X1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr

S : 39O C

- Nafsu makan P : 16x/m berkurang - Lemas - BAB terakhir 5 hari yang lalu - Pusing - Seluruh

N : 80 x/m

Abd : supel, BU (+),

- Inj. Rantin 2 X 1 - PCT 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

NTE (+)

badan terasa Rumple leed pegal - Nyeri ulu hati - Mimisan (-) - Gusi berdarah (-)

(+)

14

18-09-13

- Nyeri hati nyeri kanan - Nafsu makan

ulu TD : 110/70 dan S : 36,6O C perut P : 18x/m N : 86 x/m

- Trombositopeni - Leukositopeni - Typhoid fever - DHF hari ke 6

- Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2X1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr

Abd : supel, BU (+),

- Inj. Rantin 2 X 1 - PCT 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

berkurang
- BAB

NTE (+), 6 yang teraba pembesar an hepar + 2 jari dibawah arcus costae

terakhir hari lalu


- Mimisan (-)

- Gusi berdarah (-)

19-09-13

- Nyeri ulu

TD : 110/70 S : 36,6O C P : 18x/m N : 88 x/m

- Trombositopeni - Leukositopeni - Typhoid fever - DHF hari ke 7

- Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2X1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr

hati dan nyeri perut kanan

berkurang
- BAB 1x pagi ini

Abd : supel, BU (+),

- Inj. Rantin 2 X 1 - PCT 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

- Nafsu makan berkurang

NTE (+), teraba pembesar an hepar + 2 jari dibawah arcus costae

15

20-09-13

- Nafsu makan mulai ada

TD : 120/80 S : 36,6O C P : 16 x/m N : 82 x/m

- Trombositopeni - Leukositopeni - Typhoid fever - DHF hari ke 8 (perbaikan)

- Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2X1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr - Inj. Rantin 2 X 1 - PCT 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

21-09-13

TD : 110/70 S : 37O C P : 16 x/m N : 86 x/m

- Trombositopeni - Leukositopeni - Typhoid fever - DHF hari ke 9 (perbaikan)

- Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2X1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr - Inj. Rantin 2 X 1 - PCT 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

16

22-09-13

TD : 120/70 S : 36,6O C P : 16 x/m N : 86 x/m

- Trombositopeni - Leukositopeni - Typhoid fever - DHF hari ke 10 (perbaikan)

- Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2X1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr - Inj. Rantin 2 X 1 - PCT 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

23-09-13

TD : 120/80 S : 37,1O C P : 16 x/m N : 86 x/m

- Typhoid fever - DHF hari ke 11 (perbaikan)

- Asering/ 6 jam - Inj. Cendantron 2X1 - Inj. Ceftriaxon 2 X 1 gr - Inj. Rantin 2 X 1 - PCT 3 X 1 - Dehaf 3 X 1

BAB III THYPOID FEVER


III.1 Definisi Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1 III.2 Epidemiologi Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data

17

World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3 Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).1 Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1 III.3 Etiologi Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da

18

dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 3.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

III.4 Patogenesis Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer

19

Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik. Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4 Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi selsel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan

20

limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.1,4

Bagan 3.1. Patofisiologi Demam Tifoid

21

III.5 Manifestasi klinik Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5 Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejalagejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih. Gangguan saluran pencernaan Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tandatanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen. Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadangkadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.

22

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5 III.6 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : 1. Pemeriksaan darah tepi Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6

2. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji

23

(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : a) Uji Widal Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu; 1. 2. 3. Aglutinin O (dari tubuh kuman) Aglutinin H (flagel kuman) Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi

24

masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif. Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan penderita dan faktor teknis. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu 1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid. 2. Gangguan pembentukan antibodi. 3. Saat pengambilan darah. 4. Daerah endemik atau non endemik. 5. Riwayat vaksinasi. 6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

Faktor teknik, yaitu 1. Akibat aglutinin silang. 2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. 3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah: Negatif Palsu Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah. Positif Palsu Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX

25

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang. 6 Ada 4 interpretasi hasil : Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut: Immunodominan yang kuat Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B. Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat. Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain. Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX : Mendeteksi infeksi akut Salmonella

26

Muncul pada hari ke 3 demam Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa TyphidotM ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

27

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.6

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6

e) Pemeriksaan dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20 Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai

28

prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

29

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.5,6 Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 4. Pemeriksaan kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya

30

dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6 III.7 Diagnosis Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5

31

III.8 Diagnosis Banding Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1 III.9 Penatalaksanaan 9.1 Non Medika Mentosa a) Tirah baring Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5 b) Nutrisi Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. c) Cairan Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. d) Kompres air hangat Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

32

keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7 9.2 Medika Mentosa a) Simptomatik Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin. b) Antibiotik Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier. Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

33

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol. Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari. Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi antibiotika metronidazol. III.10 Komplikasi Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4 1. Komplikasi pada usus halus a) Perdarahan usus Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda tanda renjatan. b) Perforasi usus Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak. harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan

34

c) Peritonitis Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan. 2. Komplikasi diluar usus halus a) Bronkitis dan bronkopneumonia Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema. b) Kolesistitis Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier. c) Typhoid ensefalopati Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena. d) Meningitis Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg. e) Miokarditis Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi. f) Infeksi saluran kemih Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,

35

sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. g) Karier kronik Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier

temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama. III.11 Pencegahan Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

Cuci tangan. Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak. Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran

36

tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.

Pilih makanan yang masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan. Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur. Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

Hindari memegang makanan. Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

Gunakan barang pribadi yang terpisah. Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan

37

perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2 Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan) Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine) Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

III.12 Prognosis Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya

38

komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

BAB IV DENGUE HEMORRAGIC FEVER


IV. 1 Definisi Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit ) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan / syok. IV. 2 Etiologi Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang di kenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotype.(3) Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Adapun 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-4, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. DEN-3 yang terbanyak ditemukan di Indonesia dan merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinis yang berat.4,6 Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus. Pada Artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (stegomyia) dan Toxorhynchites.8 Cara penularannya infeksi virus dengue ini ada tiga factor yang memegang peranan, yaitu manusia,virus, dan vector perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation priod) sebelum dapat menularkan kembali kepada manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya ( transovarian transmission ), namun peranannya dalam penularan

39

virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation priod) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul.10 IV. 3 Epidemiologi Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi terutama di Asia Timur dan Selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus. Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang di laporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda.10 Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus aedes (terutama A.aegypti dan A.albopictus). Peningkatan kasus berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih. Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1. Vektor : Perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain. 2. Pejamu: Dengan terdapatnya penderita yang terjangkit virus dengue dilingkungan/keluarga, mobilisasi/peningkatan sarana transformasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin. 3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.8 Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara bulan September sampai februari dengan mencapai puncaknya pada bulan januari.9 IV.4 Patogenesis Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih diperdebatkan. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah Hipotesis immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary hetelogous dengue infection). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah:

40

a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel target virus ini adalah sel monosit terutama dan sel makrofag sebagai tempat replikasi. b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan IL-10. c) Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody. d) Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.8,10

Untuk lebih jelas dapat di lihat pada gambar di bawah ini.

Gambar IV.1 : imunopatogenesis demam berdarah dengue

41

Hipotesis the secondary heterologous infection yang di rumuskan oleh Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue.10

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus

Anamnestic antibody response

Kompleks virus-antibodi

Aktivasi komplemen

Anafilatiksin (C3a,C5a)

Permeabilitas Kapiler meningkat Ht meningkat >30% pada kasus Syok 24-48jam Hipovolemia Perembesan Plasma Natrium menurun Cairan dalam rongga serosa

Syok

Anoksia

Asidosis

Meninggal

Selain mengaktivasi system komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan menaktivitasi system koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Agregrasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlengketan kompleks antigen anti bodi pada membrane trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine di phosphate) sehingga trombosit melekat satu sama lain yang akan menyebabkan penghancuran oleh RES(reticulo endothelial system).10 IV. 5 Manifestasi Klinis

42

Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas. Pada umumnya pasien mengalami demam dengan suhu tubuh 39-40 oC, bersifat bifasik (menyurupai Pelana kuda) , fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis pada hari ke-3 selama 2-3 hari.Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat.8,10

Gambar IV.2 Grafik fase demam dengue.10

Sesudah masa tunas / inkubasi selama 3-15 hari orang yang tertular dapat mengalami / menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini, yaitu : Bentuk abortif , penderita tidak merasakan suatu gejala apapun. Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari, nyeri-nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan dibawah kulit. Dengue Haemorrhagic fever (DBD), gejalanya sama dengan dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung, mulut, dubur, dsb. Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan syok / presyok pada bentuk ini sering terjadi kematian. IV. 6 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.

43

Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu : Uji serologi:deteksi antibodi IgG dan IgM, uji HI Isolasi virus Deteksi RNA/DNA dengan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR). Deteksi antigen (pemeriksaan NS-I) Lebih Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%

Pemeriksaan Dengue NSl Antigen adalah pemeriksaan baru terhadap antigen non struktural-I dengue (NSl) yang dapat mendeteksi infeksi virus dengue dengan lebih awal bahkan pada hari pertama onset demam. -Pemeriksaan NS-I perlu dilakukan apalagi pada pasien yang megalami gejala Demam/klinis lain < 3 hari, dikarenakanEarly detection sangatlah penting untuk menentukan pengobatan

(terapisupportif) yang tepat (cegah Resistensi antibiotik), serta pemantauanpasien dengan segera. - Tanpa meninggalkan pemeriksaan Dengue serologi karena pemeriksaaan NS1 bersifat komplementer (saling menunjang), terkhususapabila didapatkan hasil Ns1 (-) dan gejala infeksi tetap muncul. - Penggunaan Dengue IgG / IgM juga diperlukan bagi dokter penganut paham "infeksi sekunder dapat menyebabkan infeksi yang lebih berat dan memerlukan penanganan yang berbeda dengan infeksi primer" - Dengan adanya Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%. Dengan demikian pomakaian pemeriksaan ini akan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis infeksi dengue.12

Pemeriksaan radiologis Pada foto thorak didapati efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan).8 VI. 7 Diagnosis Prodromal yang tidak khas seperti ; nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan Kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis :

44

Demam tinggi mendadak,tanpa sebab yang jelas, atau riwayat demam akut, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik (plana kuda). Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut : Uji torniquet positif. Ptekie, ekimosis, purpura. Perdarahan mukosa (epitaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan tempat lain. Hematemesis atau melena.

Pembesaran hati Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,kaki dan tangan dingin,kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

Kriteria Labiratoris : Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/ul ). Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut : Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Menurut manifestasi kliniknya DBD sangat bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi 4 derajat : Derajat I Derajat II Derajat III : Demam disertai uji tourniquet positif. : Demam + uji tourniquet positif disertai manifestasi perdarahan (seperti : Epistaksis, perdarahan gusi ) : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan

nadi menyempit (<20 mmhg), hipotensi, sianosis, disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah. Derajat IV terukur. : Syok berat (profound syok), nadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak

45

VI.8 Diagnosis Banding Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tipoid, influenza, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), chikungunya dan leptospirosis. VI.9 Penatalaksanaan Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok. Seorang yang tersangka menderita DBD dilakukan pemeriksaan haemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila : Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, lekosit dan trombosit tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat. Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan dirawat.

46

keluhan DBD (kriteria WHO 1997)

Hb,Ht, Trombosit Normal

Hb,Ht Normal Trombosit 100.00150.000

Hb,Ht Normal Trombosit < 100.000

Hb,Ht Meningkat Trombosit N/Turun

Observasi rawat jalan, Periksa Hb,Ht,Leuk osit,trombos it /24 jam

Observasi rawat jalan, Periksa Hb,Ht,Leuk osit,trombos it /24 jam

Rawat

Rawat

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat. Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut : 1500 + (20 x( BB-20) ml Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam : Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap, tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam. Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka Pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%.

47

Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa : 1500 + ( 20 x ( BB 20))

Contoh : BB 55 kg Jumlah cairan perhari : 1500 + (20 x 35) = 2200 ml/hari 2200 : 24 = 91,6 Tetes makro = 91,6 :3 = 30,5 tts/mnt 32 tts/mnt

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%.

48

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD dewasa. Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna (henatemesis dan melena atau hematokesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.

Protokol 5. Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.

49

Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian pada sindrom syok dengue sepilih kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan

pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.8

Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini : 1. Tampak perbaikan secara klinis 2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis) 4. Hematokrit stabil 5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl 6. Tiga hari setelah syok teratasi 7. Nafsu makan membaik VI.10 Prognosis Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD/DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak.11

50

BAB V PENUTUP

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal. Demam tifoid memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni dan diatesis hemoragik.

Untuk dapat mencegah penularan dari bakteri Salmonella Typhi, kebersihan diri sendiri maupun lingkungan sangat diperlukan. Begitu juga dalam pencegahan virus Dengue, diantaranya dengan membasmi sarang-sarang nyamuk. Daya tahan tubuh yang kuat diperlukan guna mencegah terjadinya penyakit yang dapat disebabkan baik virus maupun bakteri.

51

DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45. 2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari

http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Di ketahui.html. 22 Januari 2012. 3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43. 4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000. 5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20. 6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10. 7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari

http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No 01_08_2012.pdf. 22 Januari 2012. 8.


Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Buku ajar Ilmu penyakit dalam, Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FK-UI, jakarta, 2006, ed.4, (III) 17091713

9.

Sumarno S, Soedarmo P,Garna H,Rezeki S,Satari H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri tropis, IDAI, jakarta 2008,ed.2, 155-179

10. Rejeki S, Adinegoro S (DBD) Demam Berdarah Dengue, Tatalaksana Demam Berdarah
Dengue Di Indonesia. Jakarta.2004

11. Mansjoer A,Triyanti K, Savitri R,Wardhani W,Setiowulan W, Kapita selekta FKUI,


Jakarta,(I),428-433

52

12. Berliandelima,
ml

Info

terbaru

Pemeriksaan

Laboratorium

terhadap

Dengue,

availableat:http://www.mailarchive.com/dokter_umum@yahoogroups.com/msg06092.ht

53

You might also like