You are on page 1of 14

Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software

http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

ANALISIS AGROEKOSISTEM “TALUN”


DI DESA SUKAMUKTI, KECAMATAN TANJUNG MEDAR,
KABUPATEN SUMEDANG

Oleh:
J. YANTO
Copyright 2008@www.bumilestari.blogspot.com

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Talun merupakan salah satu komponen yang umum ditemukan pada agroekosistem
di Jawa Barat. Talun adalah suatu tata guna lahan, dimana vegetasi yang menutupinya
didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan/tanaman berumur panjang (perennial)
(Soemarwoto dan Soemarwoto, 1984; Christanty 1996). Talun telah lama dikenal oleh
masyarakat pedesaan dan mempunyai beragam fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi.
Namun demikian, kondisi talun di beberapa daerah di Jawa Barat dewasa ini,
misalnya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum bagian hulu, terus menyusut karena
dikonversi menjadi lahan pertanian lain dan pemukiman. Menyusutnya luas talun ini
diindikasikan oleh jumlah pemilik dan luas rata-rata kepemilikan talun yang berkurang
(Parikesit dkk., 2004). Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi agroekosistem secara
keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya konservasinya melalui revitalisasi
fungsi talun (Parikesit, 2001).
Mengingat hal tersebut di atas, dan berbagai fungsi yang dimiliki talun, penelitian
tentang talun perlu dilakukan di berbagai daerah dalam upaya pelestarian sumber daya
alam. Penelitian tentang talun telah dilakukan di beberapa daerah, terutama di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Citarum Jawa Barat (Soemarwoto, 1979, 1984, 1985; Iskandar dkk.,
1981; Widagda dkk., 1984; Christanty, 1996; Parikesit, 1997, 1998, 2001; Ariefianto,
2002). Akan tetapi, penelitian tentang talun atau agroekosistem lainnya masih jarang
dilakukan di Desa Sukamukti, Kabupaten Sumedang.
Talun di Desa Sukamukti tersebar pada ketinggian 500-650 m di atas permukaan
laut, dengan jumlah pemilik mencapai 273 orang. Talun tersebut diperkirakan memiliki
peran yang penting bagi masyarakat setempat, karena selain pemanfaatan hasil talun untuk
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

kebutuhan sehari-hari dan penjualan kayunya, juga masih ditemukan pemanfaatan untuk
pembuatan gula aren, dimana hal ini sudah jarang ditemukan di tempat lain. Kesemua hal
tersebut di atas menjadikan daerah ini cukup menarik untuk diteliti.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini adalah bagaimanakah keadaan
struktur vegetasi talun di Desa Sukamukti Kabupaten Sumedang, dan bagaimana sistem
kepemilikan agroekosistem talun dibandingkan dengan agroekosistem lainnya di lokasi
tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur vegetasi talun dan
sistem kepemilikan agroekosistem talun di Desa Sukamukti Kabupaten Sumedang.
1.4. Batasan Wilayah Penelitian
Batasan wilayah penelitian/studi ini adalah Desa Sukamukti, Kecamatan Tanjung
Medar, Kabupaten Sumedang.
1.5. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting mengenai
aspek floristik dan struktur vegetasi talun serta sistem kepemilikan agroekosistem talun.
Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu informasi yang
mendasar bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati pada ekosistem binaan.
1.6. Metodologi Penelitian
Metode penelitian utama yang digunakan dalam analisis agroekosistem di Desa
Sukamukti ini adalah pendekatan deskriptif analitis secara kualitatif dengan teknik RRA
(Rapid Rural Appraisal/PPS = Pemahaman Pedesaan Dengan Cepat). Wawancara
dilakukan secara terstruktur dengan responden yang dipilih secara acak. Selain
wawancara, analisis agroekosistem dilakukan dengan pengamatan dan pengukuran
langsung serta analisis data sekunder. Pengambilan data dilakukan pada Tahun 2002.

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1. Agroekosistem
Studi mengenai agroekosistem banyak dilakukan oleh para ahli baru-baru ini.
Altier (1990) mengemukakan dua hal utama yang dapat diambil dari studi ini. Pertama,
sebagai perubahan yang tidak dapat dihindari dengan adanya modernisasi agrikultur yang
terjadi di dunia ketiga, pengetahuan tentang pola pertanian tradisional dan praktek
pengelolaannya serta prinsip ekologi yang melatarbelakanginya, berangsur-angsur telah
hilang.

1
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Kedua, prinsip ekologi yang didapat dari studi agroekosistem tradisional, dapat
digunakan untuk merancang agroekosistem yang baru, lebih baik, dan berkelanjutan pada
negara industri, dan hal tersebut dapat memperbaiki banyak kekurangan pada agrikultur
modern (Altieri, 1987 dalam Altier, 1990). Kebanyakan agroekosistem tradisional
didasarkan pada pengolahan keanekaan tanaman, memungkinkan petani untuk
memaksimalkan keamanan panen dengan tingkat teknologi rendah.
Agroekosistem menurut Karyono (2000) adalah sistem ekologis hasil rekayasa
manusia untuk menghasilkan makanan, serat, atau produk agrikultur lainnya. Dalam
agroekosistem ini, peranan manusia sangat dominan karena sistem ini merupakan hasil
rekayasa manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu,
agroekosistem dapat dikatakan sebagai suatu kesatuan dari sistem pertanian, sosial,
ekonomi, dan ekologi, yang dibatasi oleh faktor biofisik dan sosial ekonomi (Conway,
1987 dalam Parikesit, dkk., 1998).
Agroekosistem seringkali kompleks secara struktur, tetapi kompleksitasnya timbul
terutama dikarenakan interaksi antara proses ekologi dan sosial ekonomi. Faktor fisik yang
mempengaruhi struktur floristik agroekosistem antara lain adalah ketinggian tempat dari
permukaan laut, edafik, iklim, dan topografi. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi kendala
atau pendorong bagi manusia di dalam mengembangkan suatu sistem pertanian berikut
komoditi yang ada di dalamnya.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor sosial ekonomi dan
budaya yang mempengaruhi struktur floristik suatu agroekosistem adalah luas
kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan latar belakang budaya
pemiliknya serta dinamika dalam pola, sistem, dan luas komponen agroekositem lainnya
(Parikesit dkk., 1998).
Praktek agrikultur dengan intensitas rendah seperti perladangan berpindah,
pekarangan tradisional, talun, rotasi lahan, menyisakan banyak proses ekosistem alami dan
komposisi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Sistem dengan intensitas tinggi,
termasuk perkebunan modern yang seragam dan peternakan besar, mungkin merubah
ekosistem secara keseluruhan sehingga sedikit sekali biota dan keistimewaan bentang
alam sebelumnya yang tersisa (Karyono, 2000).

2.2. Talun
Talun adalah salah satu sistem agroforestry yang khas, ditanami dengan campuran
tanaman tahunan/kayu (perennial) dan tanaman musiman (annual), dimana strukturnya
menyerupai hutan, secara umum ditemui di luar pemukiman dan hanya sedikit yang
berada di dalam pemukiman (Soemarwoto dan Soemarwoto, 1984). Widagda dkk. (1984)
mendefinisikan talun sebagai sistem tradisional yang mempunyai aneka fungsi selain
fungsi produksi, dimana dalam sistem ini terdapat kombinasi tanaman pertanian semusim

2
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

dengan pepohonan. Talun umumnya mempunyai batas-batas kepemilikan yang jelas dan
ditemukan di sekitar daerah pemukiman.
Talun di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, biasa disebut dengan istilah lokal
lainnya seperti Kebon Tatangkalan, dan Bojong (Parikesit dkk., 1997, 1998). Jika suatu
talun didominasi oleh satu jenis tanaman, maka talun tersebut akan diberi nama sesuai
dengan jenis tanaman yang mendominasi tersebut, seperti contohnya Kebon Awi, karena
jenis tanaman yang mendominasi adalah Awi atau Bambu (Bambusa sp). Kebon Jengjen,
karena yang dominan di talun tersebut adalah jenis tanaman Albasiah (Albizzia sp). Talun
juga memiliki struktur yang mirip dengan hutan, sehingga sering juga disebut sebagai
mimicking forest.
Secara garis besar, talun dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu talun permanen
dan talun tidak permanen (talun-kebun) (Soemarwoto dan Soemarwoto, 1984). Pada talun
permanen, tidak ditemukan adanya pergiliran tanaman dan pohon-pohonnya rapat dengan
kanopi menutupi area, sehingga cahaya yang tembus sedikit dan hanya sedikit tanaman
toleran yang ditanam, seperti Kunyit (Curcuma domestica), dan Jahe (Zingiber officinale).
Bahkan pada Talun Bambu, hampir tidak mempunyai tumbuhan bawah karena kanopinya
yang rapat. Pada talun yang pohonnya jarang, cahaya bisa banyak tembus, sehingga
tanaman musiman tumbuh dan rumputpun dapat ditemukan, talun seperti itu disebut juga
“Kebun Campuran”.
Pada talun tidak permanen, ditemukan adanya pergiliran tanaman, biasanya terdiri
dari tiga fase, yaitu kebun, kebun campuran, dan talun (Widagda, 1984), sehingga disebut
dengan sistem talun-kebun. Setiap fase mempunyai struktur vertikal dan fungsi yang
berbeda-beda. Kebun biasanya ditanami campuran tanaman musiman dan memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Setelah dua tahun, bibit pohon mulai ditanam dan tumbuh sehingga
ruang untuk tanaman musiman berkurang. Kebun mulai berubah menjadi kebun
campuran, dimana tanaman musiman bercampur dengan pohon tahunan yang masih muda,
nilai ekonomi fase ini tidak setinggi fase sebelumnya, tetapi memiliki nilai biofisik yang
tinggi seperti konservasi tanah dan air. Setelah memanen tanaman musiman, lahan
biasanya dibiarkan 2-3 tahun sehingga didominasi oleh pohon tahunan, dan masuklah pada
fase talun, dimana talun ini memiliki nilai ekonomi dan biofisik.
Perkembangan talun dari sudut komposisi dan pola struktur vegetasi, banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor biofisik dan sosial ekonomi, baik secara lokal maupun
daerah (Parikesit, 2001). Penampilan kompleks vegetasi talun memungkinkannya
mempunyai berbagai fungsi, baik fungsi ekologi maupun fungsi sosial ekonomi.
Menurut Soemarwoto dkk. (1979), fungsi talun dapat dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu
(1) produksi subsisten, (2) produksi komersil, (3) sumber daya nutfah dan konservasi
tanah, dan (4) fungsi sosial.

3
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

2.3. Struktur Vegetasi Talun


Vegetasi merupakan penutupan massa tumbuhan pada suatu daerah tertentu
dengan luas yang bervariasi; dapat berupa sejumlah pohon-pohonan, semak, dan herba
yang secara bersama-sama menutupi suatu wilayah yang luas. Dansereau (1857) dalam
Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) menyatakan struktur vegetasi sebagai suatu
organisasi dalam ruang dari individu yang membentuk tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan, dan menyatakan bahwa elemen utama dari struktur adalah bentuk
pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan.
Sedangkan struktur vegetasi talun dapat diartikan sebagai susunan tanaman yang
mengisi lahan, baik ke arah horizontal maupun ke arah vertikal. Susunan tanaman ke arah
horizontal dapat dikemukakan dalam bentuk susunan jenis tanaman atau jumlah
individunya, sedangkan susunan tanaman ke arah vertikal dapat dinyatakan dalam
stratifikasi tinggi, klasifikasi diameter batang atau besarnya tajuk tanaman yang mengisi
ruang lahan (Karyono, 1981 dalam Sirie, 1985).
Sebagai salah satu komponen agroekosistem, komposisi dan struktur talun serta
fungsi tumbuhan yang ditemukan di dalamnya dipengaruhi oleh berbagai faktor biofisik,
sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat (Soemarwoto dan Soemarwoto, 1984;
Karyono, 1990; Parikesit, 1997, 1998). Adanya berbagai faktor tersebut dan intensitas
pengelolaan lahan oleh pemiliknya memungkinkan struktur vegetasi talun berbeda-beda
pada setiap daerah (Parikesit dkk., 1997).
Struktur multi strata dan bermacam-macamnya komposisi spesies pada talun
sangat penting bagi berbagai organisme dalam menggunakan talun tersebut sebagai
habitatnya, terutama pada suatu daerah yang cukup jauh dari hutan (Parikesit, 2001).
Talun memiliki keanekaan burung tertinggi dibandingkan dengan tipe tata guna lahan
lainnya (pekarangan, sawah, dan kebun), begitu pula dengan keanekaan serangganya
(Erawan dkk., 1997). Beberapa jenis burung yang umum ditemukan di talun antara lain
adalah Cabe-cabe (Dicaeum trochileum), Prinjak (Orthotomus ruficeps), Pacikrak (Prinia
familiaris), Burung Jantung (Nectarinia jugularis), dan Kutilang (Pycnonotus aurigaster)
(Iskandar, 2001).
Dapat terjadinya keanekaan fauna yang tinggi tersebut diyakini akibat struktur
kompleks vegetasi talun. Pengubahan/konversi talun dapat menyebabkan perubahan besar
pada keseluruhan struktur penutupan vegetasi, termasuk komposisi spesies. Pengubahan
atau penyederhanaan talun ini juga memiliki pengaruh penting pada kondisi iklim mikro,
yang pada gilirannya akan mempengaruhi keseluruhan kondisi biotik (Parikesit, 2001).

4
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

BAB III ANALISIS AGROEKOSISTEM TALUN


3.1. Gambaran Umum Desa Sukamukti
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukamukti, Kecamatan Tanjung Medar,
Kabupaten Sumedang yang terletak pada koordinat 107051’00”T – 107052’15”T dan
06045’02”S – 06046’30”S, dan mempunyai jarak kurang lebih 30 km dari Pusat Kota
Sumedang. Desa ini memiliki luas 326 hektar dengan kisaran ketinggian antara 450 – 660
m di atas permukaan laut dengan topografi berbukit-bukit. Suhu harian rata-rata berkisar
antara 270 – 30 0C.
Jumlah Kepala Keluarga (KK) di desa ini adalah sebanyak 778 KK dengan jumlah
jiwa sebanyak 2461 jiwa (Sensus Tahun 2001), yang terbagi dalam 2 Dusun dan 5 Rukun
Warga (RW). Wilayah administratif berbatasan langsung dengan 5 desa, di sebelah utara
dengan Desa Kertamukti, sebelah selatan dengan Desa Tanjung Wangi dan Wargaluyu,
sebelah Timur dengan Desa Sukamantri, dan di sebelah barat terdapat Desa Cikaramas
(Profil Desa Sukamukti, 2001).
Tipe tataguna lahan yang umum ditemukan di Desa Sukamukti adalah sawah,
kebun, pekarangan dan talun. Luas tipe tataguna lahan berupa daratan (kebun, talun dan
pekarangan) lebih luas daripada perairan (sawah dan kolam ikan). Sawah tersebar di
berbagai lahan datar atau kaki bukit yang jaraknya cukup dekat dengan pemukiman,
sedangkan kebun cenderung terkonsentrasi di beberapa bukit yang oleh Penduduk
Sukamukti disebut lahan “Pangangonan”, hal ini dikarenakan lahan (beberapa bukit)
tersebut merupakan lahan milik negara yang oleh Pemerintah Desa Sukamukti disewakan
kepada penduduk dengan harga murah, sedangkan nama “Pangangonan” didapat dari
sejarah lahan tersebut yang dulunya merupakan tempat penggembalaan ternak.
Keberadaan pekarangan secara umum tidak terlalu mencolok secara estetika,
dikarenakan tanaman yang mengisinya kebanyakan beberapa tanaman buah-buahan,
bumbu masakan, obat-obatan, dan tanaman pagar, hanya sedikit tanaman hias yang
ditanam. Sedangkan untuk keberadaan talun, selain tersebar di beberapa bukit yang bukan
lahan “Pangangonan”, talun di desa ini juga ditemukan di dalam daerah pemukiman, yang
seringkali disebut dengan nama “Talun Lembur” oleh penduduk setempat. “Talun
Lembur” ini terdapat pada Blok V Gombong.
Secara umum, daerah sebaran talun di Desa Sukamukti dapat dikelompokkan
dalam 5 (lima) kelompok atau blok utama, yaitu Blok I Cidilem, Blok II Manglid, Blok III
Pasir Kananga, Blok IV Bakung, dan Blok V Gombong. Selain blok-blok tersebut,
terdapat juga sebaran sejumlah kecil talun di Blok Pasir Waru, Blok Ceger, dan Blok
Tarajumas. Penyebutan terhadap nama blok-blok di atas merupakan penamaan yang
umum digunakan dan dipakai oleh penduduk dan Pemerintah Desa Sukamukti untuk
menyebut daerah tersebut.

5
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Blok I Cidilem merupakan blok yang paling luas daerah cakupannya, dikarenakan
blok ini dulunya merupakan gabungan dari beberapa blok. Apabila dibandingkan luas
lahan talunnya, maka Blok I Cidilem kurang lebih sebanding dengan total luas lahan talun
di 4 blok utama lainnya. Sedangkan Blok III Pasir Kananga merupakan blok yang paling
kecil luas talunnya diantara 5 blok utama. Letak blok utama talun beserta posisi 75 sampel
plot talun dapat dilihat pada Lampiran.

3.2. Dinamika Talun di Desa Sukamukti

Talun secara sederhana diartikan oleh Penduduk Sukamukti sebagai sebidang


tanah yang banyak ditanami tanaman kayu/tahunan, yang tanahnya jarang digarap lagi
terutama bila tanaman kayunya itu sudah besar-besar. Keberadaan talun ini merupakan
warisan turun temurun dan diyakini telah berada sebelum tahun 1900.
Perubahan kepemilikan lahan talun pernah terjadi cukup signifikan pada tahun
1930-an dan sekitar tahun 1983. Hal ini dikarenakan adanya pembelian puluhan hektar
lahan talun penduduk oleh orang yang berasal dari Sumedang (pusat kota) pada tahun
1930-an, sehingga otomatis lahan talun di Desa Sukamukti yang dimiliki oleh orang
tersebut diperkirakan mencapai 30 % dari luas total lahan talun pada waktu itu. Lahan
talun tersebut kemudian disewakan murah pada penduduk dengan kewajiban memelihara
tanaman sirih (Piper betle L) yang sengaja ditanam, dan didirikan pula beberapa pabrik
pengolahan minyak sirih. Dengan demikian terjadi pula perubahan komposisi dan struktur
tumbuhan di talun, dimana tumbuhan kayu dibatasi pertumbuhannya dengan sering
dilakukan pemangkasan dan penebangan karena dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan
sirih.
Pada tahun 1983, kepemilikan 30 % lahan talun tersebut kembali kepada penduduk
lokal karena dijual kembalinya lahan tersebut, sehingga komposisi dan struktur tumbuhan
di talun kembali lebih kompleks, karena tiap pemilik lahan talun mempunyai wewenang
dan ide masing-masing yang beragam dalam menentukan jenis tumbuhan yang akan
ditanamnya. Akan tetapi, keberadaan talun yang didominasi pohon kelapa (Cocos nucifera
L), dimana sebelum tahun 1930-an banyak terdapat, sekarang sudah langka.
Seperti halnya di daerah lain, talun di Desa Sukamukti juga mengalami siklus atau
rotasi tertentu, secara garis besar terbagi dalam tiga bagian, pertama fase KEBUN yang
diawali dengan dibukanya lahan talun, kemudian ditanami dengan berbagai tanaman
semusim seperti bawang, kacang tanah, kacang merah, pisang, singkong, dan lain-lain.
Karena biasanya pembukaan talun tidak menebang seluruh tanaman, jadi masih tersisa
tunggul pohonnya, maka setelah kurang lebih 1 - 2 tahun mulai terlihat pertumbuhan
tunggul pohon yang bersaing dengan tanaman semusim, selain itu tumbuh pula berbagai
tanaman tahunan lainnya baik yang tumbuh sendiri maupun ditanam, sehingga masuklah
pada fase KEBUN CAMPURAN yang apabila lahan dibiarkan maka akan terbentuk fase

6
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

selanjutnya, yaitu TALUN. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah
ini.

Gambar 3.1. Siklus Talun di Desa Sukamukti Kabupaten Sumedang


TALUN
dibuka
3- 6 thn KEBUN

KEBUN CAMPURAN KEBUN


Tanaman Semusim
Pisang, Singkong, ubi, dll 1-2 thn
Tanaman Tahunan
Dapat sengaja ditanam,
Albasiah, Sobsi, Surian, Tisuk, tumbuh sendiri, atau tumbuh
Aren, Bambu, Nangka, dll dari bekas pemangkasan

Tidak seperti halnya talun di DAS Citarum hulu, talun di Desa Sukamukti
sepertinya tidak mengalami konversi yang berarti ke tipe tataguna lahan binaan lainnya
berupa pekarangan atau sawah, sehingga keberadaannya dapat bertahan lama.

3.3. Struktur Vegetasi Talun di Desa Sukamukti


Berdasarkan stratifikasi, Strata I, IV, dan V ditemukan pada setiap plot talun,
sedangkan Strata III ditemukan pada 97 % plot dan Strata II hanya ditemukan pada 67 %
plot talun. Adanya perbedaan tinggi tumbuhan yang mengisi ruang suatu talun,
menciptakan penampakan talun terdiri dari beberapa strata/lapisan tajuk tumbuhan yang
berlapis-lapis.
Pada kategori pohon-tiang terdapat jumlah jenis dan jumlah individu yang paling
banyak. Besarnya persentase kategori pohon-tiang dan pancang dengan perbedaan yang
mencolok bila dibandingkan dengan kategori semai, menandakan bahwa talun di tempat
penelitian merupakan talun yang mulai memasuki umur cukup tua (3 - 4 tahun), dimana
semai atau anakan pohon mulai sulit tumbuh dikarenakan ruang yang tersedia telah
banyak terpakai oleh pohon berukuran besar, terutama yang termasuk kategori pohon-
tiang.
Sebanyak 146 jenis tumbuhan ditemukan di tempat penelitian, yang terbagi dalam
57 suku. Dari jumlah tersebut, sebanyak 75 jenis termasuk pohon, 66 jenis termasuk
tumbuhan bawah (semak, herba dan rumput), dan sebanyak 4 jenis termasuk bambu serta
1 jenis Pisang.

7
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Suku Poaceae (Gramineae) dengan 17 jenis tumbuhan dan Asteraceae


(Compositae) dengan 14 jenis tumbuhan, merupakan suku yang memiliki jumlah jenis
tumbuhan yang paling banyak ditemukan di tempat penelitian. Suku lain yang memiliki
jumlah jenis tumbuhan yang banyak diantaranya adalah Suku Euphorbiaceae (9 jenis),
Meliaceae (7 jenis), Mimosaceae (7 jenis), Sterculiaceae (6 jenis), Anacardiaceae (5 jenis),
dan Verbenaceae (5 jenis).
Keanekaan jenis tumbuhan yang cukup tinggi pada talun merupakan hasil
gabungan dari berbagai faktor alami dan faktor manusia. Pengelolaan talun yang tidak
dilakukan dengan intensif dapat menjadi salah satu faktor manusia yang menyebabkan
tingginya keanekaan tumbuhan pada talun. Hal ini bisa terjadi karena dengan jarangnya
pengelolaan talun (misalnya berupa pembersihan lantai talun dari berbagai tanaman
pengganggu, penanaman rutin pohon, dan sebagainya) maka memberikan kesempatan
pada berbagai tanaman liar, terutama yang termasuk pada tumbuhan bawah, untuk tumbuh
di talun.
Lebih dari 60 % jenis pohon pada talun di Desa Sukamukti ini merupakan pohon
yang berfungsi sebagai produksi kayu, beberapa diantaranya termasuk kayu “kelas 1”
yang dapat dijual dengan harga cukup mahal (misalnya Jati/Tectona grandis L.f., dan
Mahoni/Swietenia mahagonii (L.) Jacq.). Sebanyak + 30 % merupakan pohon yang
berfungsi sebagai produksi buah-buahan/biji-bijian, sedangkan sisanya merupakan pohon
yang dapat digunakan sebagai kayu bakar, pohon yang mempunyai berbagai fungsi
(misalnya Kawung/Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.), dan bahkan pohon yang tidak
mempunyai fungsi pemanfaatan khusus, sehingga pada akhirnya dimanfaatkan sebagai
kayu bakar, pagar, atau untuk membangun kandang ternak.

3.4. Sistem Kepemilikan (Properties) Agroekosistem Talun di Desa Sukamukti


Sistem pemilikan yang utama dalam agroekosistem adalah produktivitas
(productivity), stabilitas (stability), ekuitabilitas sosial (equitability), dan sustainabilitas
(sustainability). Sistem kepemilikan agroekosistem talun dan agroekosistem lainnya di
Desa Sukamukti dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1. Sistem Kepemilikan Agroekosistem di Desa Sukamukti
No Tipe Agroekosistem Produktivitas Stabilitas Ekuitabilitas Sustainabilitas
1 Talun Medium Tinggi Tinggi Tinggi
2 Sawah Tinggi Medium Rendah Rendah
3 Kebun Palawija Tinggi Rendah Rendah Rendah
4 Pekarangan Rendah Tinggi Tinggi Tinggi

8
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Produktivitas
Produktivitas dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat produksi atau keluaran
berupa barang atau jasa, misalnya produktivitas padi/ha/tahun. Hasil talun di Desa
Sukamukti digunakan bukan hanya untuk keperluan subsisten semata, tetapi seringkali
dijual. Apabila hasil talun tersebut dijual, umumnya dijual kepada bandar dengan
frekuensi penjualan yang tidak tentu tergantung kondisi talun yang dimiliki. Hasil
penjualan produksi talun yang dihasilkan dalam 1 tahun sebagian besar (dinyatakan oleh
44 % responden) lebih dari Rp 400.000,00, sedangkan sebanyak 31 % berkisar antara Rp
200.000,00 – 400.000,00, dan hanya sebanyak 25 % yang hasil penjualannya < Rp
200.000,00 (Data tahun 2004; 1 US Dollar = + Rp 8.000,00).
Apabila hasil yang diperoleh dari talun dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
dari usaha lain (misalnya sawah dan kebun palawija), maka 51 % responden menyatakan
bahwa hasil yang diperoleh dari talun lebih rendah daripada hasil dari usaha lain tersebut,
dan yang menyatakan lebih tinggi adalah sebesar 21 %. Hal ini menandakan bahwa
kontribusi talun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan usaha lain tersebut.
Produktivitas talun tergolong dalam kategori sedang atau medium, dan lebih
rendah dari sawah atau kebun palawija yang termasuk kategori tinggi/high. Sedangkan
pekarangan termasuk pada kategori rendah atau low dalam hal produktivitasnya, karena
pekarangan di Desa Sukamukti ini hanya untuk tujuan subsisten.

Stabilitas
Stabilitas diartikan sebagai tingkat produksi yang dapat dipertahankan dalam
kondisi konstan normal, meskipun kondisi lingkungan berubah. Suatu sistem dapat
dikatakan memiliki kestabilan tinggi apabila hanya sedikit saja mengalami fluktuasi ketika
sistem usaha tani tersebut mengalami gangguan. Sebaliknya, sistem itu dikatakan memiliki
kestabilan rendah apabila fluktuasi yang dialami sistem usaha tani tersebut besar.
Sistem talun di Desa Sukamukti memiliki stabilitas tinggi dibandingkan sawah dan
kebun palawija. Hal ini dikarenakan talun kurang terpengaruh fluktuasi harga asupan-
asupan atau keluaran-keluaran. Hasil talun beraneka ragam sehingga bila harga salah satu
komoditas talun jatuh di pasar, harga komoditas lainnya bisa tetap tinggi. Dengan
demikian harga keluaran talun kurang terpengaruh fluktuasi harga pasar.
Demikian pula dalam hal terjadinya fluktuasi harga asupan-asupan di pasar tidak
akan banyak mempengaruhi talun, karena talun tidak memerlukan banyak asupan yang
harus dibeli dari pasar (benih, pupuk kimia, obat-obatan), berbeda dengan sawah dan
palawija yang lebih tergantung dari asupan dan keluaran dari pasar. Sistem kebun palawija
memiliki stabilitas paling rendah dibandingkan yang lain, karena sering terjadi fluktuasi
harga keluaran yang ekstrim. Adapun sistem pekarangan memiliki stabilitas tinggi.

9
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Ekuitabilitas
Ekuitabilitas sosial digunakan untuk menggambarkan bagaimana hasil-hasil
pertanian dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Contoh apabila suatu sistem usaha
tani dapat dikatakan memiliki suatu ekuitabilitas atau pemerataan sosial yang tinggi
apabila penduduknya memperoleh manfaat pendapatan, pangan, dan lain-lain yang cukup
merata dari sumber daya yang ada. Indikatornya antara lain rata-rata keluarga petani
memiliki akses lahan yang luasnya tidak terlalu berbeda atau senjang.
Sistem talun dan pekarangan di desa Sukamukti memiliki ekuitabilitas tinggi
karena tidak terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas kepemilikan lahan, selain itu
masih terdapat fungsi sosial yang dimiliki talun terutama dalam hal penyedia kayu bakar,
dimana bukan hanya pemilik talun yang boleh mengambil kayu bakar melainkan setiap
orang boleh mengambil ranting atau cabang yang jatuh di talun untuk dijadikan kayu
bakar. Sedangkan sawah dan kebun palawija memiliki ekuitabilitas yang rendah, karena
terjadi kesenjangan yang cukup tinggi dalam produksi antara pemilik yang bermodal
tinggi atau berlahan luas dengan petani yang bermodal kecil atau berlahan sempit.

Sustainabilitas
Istilah sustainabilitas merujuk ke kemampuan suatu sistem usaha tani dalam
mempertahankan produktivitasnya, kendati sistem usaha tani tersebut banyak mengalami
tekanan atau gangguan besar. Tekanan diartikan suatu keadaan yang sifatnya dapat teratur,
kejadiannya secara kadang-kadang tetapi berkelanjutan, relatif kecil atau ringan, dan
kondisinya dapat diramalkan. Gangguan adalah sesuatu yang tidak teratur, tidak datang
secara terus menerus, dan keadaannya relatif besar. Gangguan datangnya tidak dapat
diramalkan. Misalnya terjadi gempa bumi atau badai. Suatu sistem usaha tani dikatakan
memiliki tingkat keberlanjutan rendah apabila sistem usaha tani tersebut mengalami
penurunan keambrukan yang tiba-tiba (Conway, 1986 dalam Iskandar, 2006).
Untuk menganalisis sustainabilitas tiap-tiap agroekosistem perlu dilakukan analisis
secara menyeluruh menyangkut aspek ekologi (misal: erosi, kesuburan lahan, pencemaran
lingkungan), ekonomi (misal: modal, pasar) dan sosial (misal: ekuitabilitas sosial).
Dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial tersebut, sistem talun dan
pekarangan memiliki sustainabilitas yang tinggi, sedangkan sistem sawah dan kebun
palawija memiliki sustainabilitas yang rendah.
Sustainabilitas yang rendah pada sawah dan kebun palawija, misalnya dapat dilihat
ketika sistem pertanian ini mendapat serangan hama (wereng, tikus, dan lain-lain) atau
gangguan berupa angin besar, maka sistem pertanian ini akan mudah ambruk.

10
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

BAB IV PENUTUP
Keberadaan talun di Desa Sukamukti Kecamatan Tanjung Medar Kabupaten
Sumedang merupakan warisan turun temurun dan diyakini telah berada sebelum tahun
1900. Sebagai salah satu komponen agroekosistem, komposisi dan struktur talun serta
fungsi tumbuhan yang ditemukan di dalamnya dipengaruhi oleh berbagai faktor biofisik,
sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Adanya berbagai faktor tersebut dan
intensitas pengelolaan lahan oleh pemiliknya memungkinkan struktur vegetasi talun
berbeda-beda pada setiap daerah (Parikesit dkk., 1997). Perbedaan struktur vegetasi talun
tersebut dapat mencerminkan karakteristik khas suatu daerah. Artinya, komposisi struktur
vegetasi talun seringkali bersifat site specific.
Sistem kepemilikan agroekosistem talun di Desa Sukamukti adalah memiliki
stabilitas, ekuitabilitas dan sustainabilitas yang tinggi walaupun produktivitasnya medium.
Agroekosistem lain di Desa Sukamukti yang memiliki stabilitas, ekuitabilitas dan
sustainabilitas yang tinggi adalah pekarangan, tetapi dengan produktivitas rendah. Adapun
agroekosistem yang memiliki produktivitas tinggi adalah kebun palawija dan sawah, akan
tetapi diperkirakan ekuitabilitas dan sustainabilitasnya rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Altier, M.A. 1990. Why Study Traditional Agriculture?. In Carroll, C.R., J.H.
Vandermeer, P.M. Rosset (eds) Agro Ecology. McGraw Hill, Inc. USA.

Ariefianto, M. 2002. Distribusi Jenis Tumbuhan Pada Kebon Tatangkalan Dalam


Hubungannya Dengan Beberapa Faktor Fisik dan Sosial di DAS Citarum Bagian
Hulu, Kabupaten Bandung. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNPAD. Bandung.

Christanty, L., D. Mailly, J.P. Kimmins. 1996. “Without Bamboo, The Land Dies”:
Biomass, Litterfall, and Soil Organic Matter Dynamics of a Javanese Bamboo-
Talun-Kebun System. Forest Ecology and Management 87. pp 75-88.

Erawan, T.S., N. Djuangsih, M. Muchtar, H. Setiana, L.S. Istanti. 1997. Community


Structure and Diversity of Fauna in Upper Citarum River Basin, West Java,
Indonesia. In : Dove, M.R., and P.E. Sajise (eds) The Conditions of Biodiversity
Maintenance in Asia. East-West Center. Program on Environment. Honolulu,
Hawaii. pp 73-11.

Iskandar, J., H. Isnawan, H.Y. Hadikusumah, O. Soemarwoto. 1981. Talun Kebun


System: a Traditional agroforestry System. Paper dipresentasikan pada Seminar on
Agroforestry and Mitigation of Shifting Cultivation. Jakarta.

11
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Iskandar, J. 2006. Metodologi Memahami Petani dan Pertanian. Jurnal Analisis Sosial
Vol 11 No 1 April 2006.

Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya, dan Lingkungan : Kajian Ekologi Manusia.


Humaniora Utama Press. Bandung.

Karyono. 1990. Homegardens in Java : Their Structure and Function. In K. Launder and
M. Brazil (eds). Tropical Homegardens. The United Nation University. Tokyo.

Karyono. 2000. Conflict Between Agricultural Development and Biological Diversity.


Bionatura 2 (2) : 53-59. Lembaga Penelitian Unpad. Bandung.

Mueller-Dombois, D., and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology.
John Wiley & Sons, Inc. USA.

Parikesit, Djuniwati, H.Y. Hadikusumah. 1997. Spatial Structure and Floristic Diversity
of Man-made Ecosystems in Upper Citarum River Basin, In : Dove, M.R., and P.E.
Sajise (eds) The Conditions of Biodiversity Maintenance in Asia. East-West Center.
Program on Environment. Honolulu, Hawaii. pp 17-43.

Parikesit, J. Kusmoro, M. Nurzaman. 1998. Variabilitas Jenis Tanaman Budidaya dan


Tumbuhan Non Budidaya Pada Ekosistem Binaan (Studi Kasus di Desa
Wangisagara, Kec. Majalaya, Kab. Bandung). Laporan Penelitian. Lembaga
Penelitian Unpad. Bandung

Parikesit. 2001. Kebon Tatangkalan : The Multi-Layered Agroforestry in The Changing


Agricultural Landscape of The Upper Citarum Watershed, West Java, Indonesia.
Ekologi dan Pembangunan No. 5/April 2001. PPSDAL-LP Unpad. Bandung. pp
29-39.

Parikesit, K. Takeuchi, A. Tsunekawa, O.S. Abdoellah. 2004. Kebon Tatangkalan : A


Disappearing Multi-Layered Agroforestry in The Upper Citarum Watershed,
Indonesia. Agroforestry System (in Prep).

Sirie, M. Syarif. 1985. Struktur dan Peranan Kebun-Talun di Daerah Tampung Waduk
Saguling. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNPAD. Bandung.

Soemarwoto, O., L. Christanty, Hanky, H.Y. Hadikusumah, J. Iskandar, Hadyana,


Priyono. 1979. The Talun-Kebun System: A Shifting Cultivation in Man-made
Forest. Institute of Ecology. Bandung.

Soemarwoto, O., dan I. Soemarwoto, 1984. The Javanese Rural Ecosystem. In : Rambo,
T.A., P.E. Sajise (eds) An Introduction to Human Ecology Research on Agricultural
System in Southeast Asia. University of The Philippines at Los Banos.

Soemarwoto, O., L. Christanty, H. Isnawan, H.Y. Hadikusumah, J. Iskandar, Hadiyana,


Priyono. 1985. The Talun-Kebun: A Man-made Forest Fitted to Family Needs.
Food Nutrition Bulletin 7 (3) : 48-51.

12
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Widagda, L.C., O.S. Abdoellah, G. Marten, J. Iskandar. 1984. Traditional Agroforestry in


West Java: The Pekarangan (homegarden) and Kebun-Talun (Perennial-annual
Rotation) Cropping System. East West Center. Honolulu.

Yanto, J. 2004. Studi Struktur Vegetasi Talun di Desa Sukamukti Kecamatan Tanjung
Medar Kabupaten Sumedang. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNPAD. Bandung.

13

You might also like