You are on page 1of 2

TRAGEDI 1965 BERAWAL DARI TAHUN 1948

Oleh Asvi Warman Adam Menurut Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya dari segi jumlah korban yang cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Warisan kebencian itu yang masih tersisa dalam buku Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948 yang disunting Fadli Zon dan diluncurkan awal September 2005 di hotel Ambhara Jakarta bersamaan dengan diskusi yang digelar oleh Ridwan Saidi cs tentang peristiwa 1948 dan 1965. Mengenai korban dari pihak santri bahkan para kiai tahun 1948 sudah sering disebut dalam buku pelajaran sejarah. Tetapi korban dari pihak kiri juga banyak sebagai-mana oleh Roeslan Abdulgani (Casperr Schuuring, Roeslan Abdulgani, Tokoh Segala Zaman, 2002). Roeslan menyaksikan pengadilan tidak resmi yang dilakukan oleh tentara. Beberapa orang dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi di depan mata Roeslan. Malamnya menurut Roeslan ia menangis keras. Demikian pula mantan Perdana Menteri Amir Syaridudin ditembak mati bersama beberapa tokoh kiri lainnya lainnya tanpa melalui pengadilan. begitu tega memakan anak-anaknya sendiri. Di luar dua pandangan dari kutub ekstrem yakni kalangan militer ("Peristiwa Madiun 1948 adalah pengkhianatan PKI") dan kelompok kiri ("Peristiwa Madiun 1948 adalah provokasi Hatta"), sudah muncul suara lain yang lebih jernih seperti Hersri Setiawan. Hersri sastrawan Lekra yang sempat bermukim di negeri Belanda, mempertanyakan apakah peristiwa Madiun itu "coup d'etat" atau "coup de ville", upaya perebutan kekuasaan secara nasional atau hanya perlawanan pada tingkat kota/daerah ? (Negara Madiun ?, terbit 2002 dan dicetak ulang dengan revisi tahun 2003). Sudah diterjemahkan tulisan David Charles Anderson yang menyoal apakah peristiwa Madiun itu lebih tepat dilihat sebagai persoalan intern tentara (2003). Skripsi yang bagus dari Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberon-takan Madiun 1948 (terbit 1997) juga membahas persoalan ini. Arsip Rusia mengenai aspek ini sudah dimanfaatkan oleh Larissa Efimova dalam artikelnya "Who gave instructions to Indonesian Communist Leader Muso in 1948". Madiun 1948 tidak ada hubungan dengan Moscow. Yang menarik adalah sebuah disertasi yang sedang ditulis oleh mahasiswa Indonesia pada School of Politics, University of Nottingham, Inggris yang mencoba melihat tragedi 1965 itu sebagai pertentangan kelas. Kelas priyayi (diwakili oleh tentara) bersekutu dengan santri dalam perseteruan melawan dan menghancurkan kelas abangan (komunis). Sebagian komandan tentara yang membasmi G30S/1965 adalah juga prajurit yang sudah berperan sama tahun 1948. Keterlibatan Banser NU dalam pengganyangan G30S/1965 antara lain karena tahun 1948 kerabat mereka termasuk korban. Dimensi geografis Bila sebelumnya tragedi 1965 seakan hanya berlangsung di pulau Jawa, maka kini sudah mulai terbit buku-buku tentang dampak peristiwa tersebut di daerah. Pembantaian di Bali tahun 1965 disinggung dalam buku I Ngurah Setiawan (Bali, Narasi dalam Kuasa, 2005). Dua artikel mengenai masalah 1965 di Nusa Tenggara Timur yang masing-masing ditulis Paul Webb dan Steven Farram diterjemahkan dan disatukan dalam sebuah buku "Di-PKI-Kan, Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur". Dampak tragedi 1965 terhadap perempuan di Sumatera Barat ditulis oleh Yenny Narni, dosen sejarah Universitas Andalas Padang. Pembantaian di daerah Painan dilaporkan oleh Bakry Ilyas (alm). Sudah ada artikel lepas mengenai peristiwa 1965 di Sumatera Selatan antara lain ditulis seorang eksil di Swedia. Pengalaman seorang tapol di Sumatera Utara sudah terbit tetapi laporan secara menyeluruh mengenai daerah ini tampaknya belum dikerjakan. Sudah bermunculan pula buku-buku yang ditulis oleh kelompok eksil Eropa seperti biografi Umar Said (Pengalaman Hidup Saya) tiga buku yang ditulis oleh Koesni Sulang di antaranya tentang Restoran Indonesia di Paris. Bagaimana melawan rezim diktator

Orde Baru dengan masakan, ini kisah unik. Biografi tokoh perempuan Fransisca Fanggidaej ditulis oleh Hersri Setiawan berdasarkan wawancara di negeri Belanda. Aspek keluarga Sudah terbit beberapa buku tentang Aidit dan keluarganya. Budi Kurniawan dan Yani Adriansyah menulis tentang pengalaman pahit saudara, anak dan keponakan DN Aidit (Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit). Tesis Peter Edman pada sebuah universitas di Australia telah diterjemahkan menjadi Komunisme ala Aidit, Kisah PKI di bawah kepemimpinan DN Aidit 1950-1965. Tentunya akan menarik bila dapat diterbitkan dalam bahasa Indonesia, disertasi sejarawan Perancis Jacques Leclerc tentang dialektika antara desa dengan kota seperti dianalisis melalui pidato-pidato Aidit. Selain Asahan Alham Aidit yang menulis novel berlatar perang Vietnam, Sobron Aiditlah yang paling produktif menulis. Terakhir bukunya berjudul Catatan Spiritual di balik sosok Sobron Aidit. Sobron yang waktu kecil khatam Quran itu kemudian beralih beragama ke Kristen Protestan pada usia lanjut. Ia mengatakan bahwa Tuhannya tetap yang dulu, tetapi yang berganti hanya ritual. Cita-citanya kini adalah membeli sebuah gereja, karena anggota Perki (Persatuan Kristen Indonesia) di Almere, Belanda melakukan misa dengan menyewa tempat. Aspek agama ini sebetulnya dibahas oleh Hersri Setiawan dalam kisah tentang pulau Buru. Ada di antara tapol di kamp kerja paksa itu yang berganti agama karena alasan praktis, misalnya demi dapat libur dalam seminggu. Namun di antara korban 1965 ada pula penganut Islam yang taat seperti Haji Ahmadi Mustahal dan Hasan Raid (keduanya telah menulis memoar). Kalangan keluarga korban peristiwa 1965 sudah mulai ada yang berani bersuara dan mengakui jatidiri mereka seperti peragawati terkenal Okky Asokawati dan Dr Ikrar Nusa Bhakti. Walaupun ada pula yang sampai akhir hayatnya masih membantah seperti Alm Cacuk Sudaryanto (Belajar Tanpa Henti, ditulis bersama Bondan Winarno). buku Jangan Menoleh Ke Belakang, Okky menceritakan bahwa ayahnya adalah AKBP Anwas Tanuamijaya yang namanya tercantum sebagai wakil ketua Dewan Revolusi yang kemudian ditahan belasan tahun di penjara Cipinang, Nirbaya dan Salemba. Untuk menghidupi keluarga, ibunya terpaksa bekerja memberi les piano dan bahasa Inggris. Karena tidak memiliki kendaraan pribadi, setiap minggu dengan bergelantungan di atas bus mereka sekeluarga pergi menyenguk sang ayah di penjara. Makin banyak terbit karya sastra dengan tema atau latar belakang tragedi 1965, demikian pula film dokumenter tentang peristiwa ini. Yang ditunggu tentunya pandangan pemerintah atau "buku putih" tentang peristiwa 1965 setelah 40 tahun berlalu. Tahun 2004 Presiden Megawati telah meminta kepada Mendiknas Malik Fadjar untuk menulis ulang sejarah 1965. Maka disusunlah sebuah tim yang diketuai Prof Taufik Abdullah untuk menulis buku tersebut dengan beranggotakan 25 penulis. Tanggal 12-13 April 2005 telah dibahas hasil penelitian itu dalam sebuah lokakarya di Jakarta. Namun naskah yang ada masih jauh dari harapan dan sulit diprediksi kapan bisa terbit. Yang lebih dekat tentulah buku dokter Ribka Ciptaning yang akan diluncurkan tanggal 1 Oktober 2005 dengan pembicara kunci KH Abdurrachman Wahid dan Ali Sadikin. Sebelumnya Ciptaning menulis buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" (2002). Apa judul buku barunya ? Tunggu sajalah, pasti mengagetkan. (Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI)

You might also like