Professional Documents
Culture Documents
Tanggapan
1. Rasul berangkat dari Madinah pada hari Sabtu 26 Dzulqa’dah 10 H. / 22
Februari 632 M. Bulan Dzulqa’dah dan Dzulhijjah adalah genap 30 hari
karena tahun kabisat sehingga menurut penanggalan Hijriyah 30 hari
sedangkan menurut kalender masehi bulan Februari tahun 632 adalah 29
hari.
2. Rasul Wuquf di Arofah pada hari Jum’at tanggal 9 Dzulhijjah 10 H / 6
Maret 632 H.
3. Wuquf artinya berdiam diri, sehingga tidak ada khutbah wuquf. Maka
khutbah tersebut adalah khutbah Jum’at karena bertepatan dengan hari
Jum’at yang diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at. Adapun rangkaian
pelaksanaannya yang berbeda dengan Jum’at biasa menunjukkan bahwa
khusus ketika wuquf pada hari Jum’at pelaksanaan jum’at adalah seperti
itu.
4. Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Hazm berkata : “Dan tidak ada
perselisihan bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW (pada hari Arafah itu)
khutbah lalu shalat dua raka’at, dan ini adalah sifat shalat Jum’at.”
Keterangan Ibnu Hazm ini cukup beralasan, dan cocok dengan
kenyataan, tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lainnya sehubungan
dengan masalah ini. (KHE. Abdurrahman:73)
5. Penyebutan shalat tersebut dengan dzuhur karena dilaksanakan pada
waktu dzuhur adapun sifatnya adalah sifat shalat jum’at yang didahului
dengan khutbah. Seperti halnya Rasul pernah menyebut shalat magrib
sebagai Isya ul Awwal.
6. Tidak disebutkannya Rasul shalat Jum’at dalam perjalanannya, tidak
berarti tidak melaksanakan Jum’at, seperti juga tidak disebutkan makan
dan minumnya, tidak berarti beliau berpuasa kan ?! Kita bisa mengatkan
tidak ada karena kita tahu akan tidak adanya, bukan karena tidak
disebutkan. (Al-‘ilmu Bi ‘Adamihi)
7. Jika mau konsisten pada hadits tersebut secara tekstual, maka
seharusnya shalat dzuhur bagi musafir pada hari Jum’at harus seperti
yang dilakukan oleh Rasul, yaitu khutbah, adzan, shalat dua raka’at
dzuhur dan ashar dijama qosor.
8. Hadits Riwayat Al-Bukhari tentang Ibnu Umar dimuat dalam Kitab Al-
Maghazi (peperangan). Matan hadits tersebut jika difahami ibnu Umar
tidak Jum’at bertentangan dengan riwayat Muslim tentang ancaman bagi
yang meninggalkan Jum’at tanpa udzur yang diriwayatkan pula dari Ibnu
Umar. Maka jika digabungkan (thoriqatul jam’i) bisa jadi Ibnu Umar tidak
shalat Jum’at di tempat tinggalnya, seperti juga tidak disebutkan dalam
hadits tersebut bahwa Ibnu Umar shalat dzuhur.
9. A. Hassan dalam “Soal-Jawab” nya mencabut pendapatnya bahwa
musafir termasuk yang dibolehkan meninggalkan jum’at. (A.Q,
menyatakan : Pendapat ini sudah dicabut, Soal Jawab II:455)
Kesimpulan:
Juli ‘07
s.NooR
564. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nabi menetap (di Mekah-5/95) selama sembilan belas hari
dengan mengqashar (dalam satu riwayat: shalat dua rakaat). Oleh sebab itu, jika kami
bepergian selama sembilan belas hari,[1] kami mengerjakan shalat qashar saja. Tetapi, jika
lebih dari waktu itu, maka kami menyempurnakan shalat kami."
565. Anas r.a. berkata, "Kami keluar bersama Nabi dari Madinah ke Mekah. Maka, beliau
shalat dua rakaat dua rakaat[2] sehingga kami pulang ke Madinah." Aku (perawi) bertanya
(kepada Anas), "Anda tinggal di Mekah berapa lama?" Ia menjawab, "Kami tinggal di
sana selama sepuluh hari (dengan mengqashar shalat 5/95)."
566. Abdullah bin Umar berkata, "Saya shalat dua rakaat di Mina bersama Nabi, Abu
Bakar, Umar, dan Utsman pada permulaan pemerintahannya (dalam satu riwayat:
kekhalifahannya 2/173), kemudian ia menyempurnakannya (empat rakaat)."
567. Haritsah bin Wahbin berkata, "Nabi shalat dua rakaat bersama kami (sedangkan
kami adalah paling banyak bertempat di sana, dan 2/173) tunduk mengikuti apa yang di
Mina."
568. Abdur Rahman bin Yazid berkata, "Utsman bin Affan r.a. pernah shalat bersama
kami di Mina empat rakaat. Kemudian hal itu diberitakan kepada Abdullah bin Mas'ud,
lalu ia mengucapkan istirja' (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun). Kemudian ia
berkata, 'Saya shalat dua rakaat bersama Rasulullah di Mina, saya shalat dua rakaat
bersama Abu Bakar ash-Shiddiq di Mina, dan saya shalat dua rakaat bersama Umar
ibnul-Khaththab di Mina, (kemudian kamu bersimpang jalan 2/173). Maka, betapa
beruntungnya aku, dari empat empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima."
Bab Ke-3: Berapa Lama Nabi Bermukim dalam Hajinya?
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari
hadits Ibnu Abbas yang tersebut pada '25 AL-HAJJ/23-BAB'.")
Bab Ke-4: Berapa Jauhnya Jarak Bepergian untuk Dapat Mengqashar Shalat?
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. mengqashar shalat dan berbuka puasa dalam bepergian
sejauh empat burud, yakni enam belas farsakh.[4]
569. Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Janganlah seorang wanita
bepergian sampai tiga hari, melainkan disertai oleh mahramnya."
570. Abu Hurairah r.a. berkata, "Nabi bersabda, 'Tidak halal bagi seorang wanita yang
beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian perjalanan sehari semalam tanpa
disertai mahram.'"[5]
Bab Ke-5: Mengqashar Shalat Apabila Telah Keluar dari Tempat Tinggalnya
Ali r.a. keluar dari rumah dan menqashar shalat, padahal dia masih dapat melihat rumah-
rumah (di kampung). Maka ketika pulang, dikatakan kepadanya, "Ini kan kota Kufah?"[6]
Jawabnya, 'Tidak, sehingga kita memasukinya.'"[7]
571. Anas r.a. berkata, "Aku shalat Zhuhur bersama Nabi di Madinah empat rakaat dan di
Dzulhulaifah dua rakaat"
572. Aisyah r.a. berkata, "Shalat itu pada pertama kalinya difardhukan adalah dua rakaat.
Kemudian untuk shalat pada waktu bepergian ditetapkan apa adanya (yakni dua rakaat).
Sedangkan, untuk shalat yang tidak sedang bepergian dijadikan sempurna." Zuhri
berkata, "Aku bertanya kepada 'Urwah, 'Mengapa Aisyah menyempurnakan shalatnya
(yakni pada waktu bepergian tetap mengerjakan empat rakaat)?'" Urwah berkata, 'Beliau
itu mentakwilkan sebagaimana halnya Utsman juga mentakwilkannya.'"[8]
573. Salim dari Abdullah bin Umar r.a. berkata, "Saya melihat Nabi apabila tergesa-gesa
hendak bepergian, beliau akhirkan shalat magrib, sehingga beliau jama' dengan Isya."
Salim berkata, "Abdullah mengerjakan begitu apabila tergesa-gesa dalam bepergian."
Al-Laits menambahkan[9] bahwa Salim berkata, "Ibnu Umar r.a. pernah menjama' antara
magrib dan isya di Muzdalifah."[10]
Salim berkata, "Ibnu Umar mengakhirkan shalat magrib (di jalan menuju Mekah 2/205),
dan ia dimintai tolong atas istrinya Shafiyah binti Abi Ubaid. (Dan dalam satu riwayat:
sampai informasi kepadanya tentang Shafiyah bin Abi Ubaid bahwa ia sakit keras, lalu
Ibnu Umar segera berjalan), maka aku berkata kepadanya, 'Shalatlah.' Ia menjawab,
'Berangkatlah.' Aku berkata lagi, 'Shalatlah.' Ia menjawab, 'Berangkatlah.' Kemudian ia
berangkat hingga mencapai dua atau tiga mil, lantas dia turun sesudah tenggelamnya
mega merah. Lalu, mengerjakan shalat magrib dan isya dengan jama'. Kemudian berkata,
'Demikianlah aku melihat Rasulullah apabila tergesa-gesa dalam bepergian.' Abdullah
berkata, 'Saya melihat Nabi apabila tergesa-gesa (dalam bepergian 2/39), beliau
mengakhirkan shalat magrib. Kemudian beliau shalat tiga rakaat, lalu salam. Beliau diam
sejenak sampai beliau tunaikan shalat isya dua rakaat, kemudian salam. Beliau tidak
melakukan shalat sunnah di antara keduanya dan tidak pula sesudah shalat isya itu,
sehingga beliau bangun di tengah malam.'"
574. Jabir bin Abdullah r.a. berkata, "Nabi shalat sunnah sedangkan beliau berkendaraan
dengan tidak menghadap kiblat." (Dan dari jalan lain dari Jabir, "Aku melihat Nabi pada
waktu Perang Anmar melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dengan menghadap
ke arah timur 5/55). Maka, apabila beliau hendak melakukan shalat wajib, beliau turun,
lalu menghadap kiblat."
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu
Umar yang akan disebutkan pada nomor 578.")
575. Amir bin Rabi'ah berkata, "Aku melihat Rasulullah dan beliau berada di atas
kendaraan mengerjakan shalat pada malam hari (2/38).[11] Beliau memberikan isyarat
dengan kepalanya dengan menghadap ke arah mana saja kendaraannya menghadap.
Beliau tidak pernah melakukannya pada shalat wajib."
Salim berkata,[12] "Abdullah biasa melakukan shalat malam di atas kendaraannya ketika
sedang bepergian dengan tidak menghiraukan ke mana wajahnya menghadap. Ibnu Umar
berkata, 'Rasulullah pernah shalat malam di atas kendaraan dengan menghadap ke arah
mana saja, dan melakukan shalat witir di atasnya. Hanya saja beliau tidak melakukan
shalat wajib di atasnya.'"
Bab Ke-10: Shalat Tathawwu' di Atas Keledai
576. Anas bin Sirin berkata, "Kami menemui Anas bin Malik ketika datang dari Syam,
lalu kami berjumpa dengannya di desa Ainut Tamar.[13] Aku melihat nya shalat di atas
keledai. Wajahnya di sebelah kiri kiblat, kemudian aku berkata, 'Aku melihat engkau
shalat tanpa menghadap kiblat?' Ia berkata, 'Seandainya saya tidak melihat Nabi
melakukannya, niscaya saya tidak melakukan yang tadi saya lakukan.'"
Bab Ke-11: Orang yang Tidak Melakukan Shalat Sunnah Sesudah dan Sebelum
Shalat Wajib di Dalam Bepergian
577. Anas r.a. berkata, "Saya menemani Nabi, maka beliau tidak pernah menambah dari
dua rakaat di dalam bepergian. Demikian pula yang saya alami bersama Abu Bakar,
Umar, dan Utsman radhiyallahu anhum, padahal Allah berfirman, 'Sesungguhnya pada
diri Rasulullah terdapat contoh yang baik bagi kamu sekalian.'"
Bab Ke-12: Orang yang Shalat Tathawwu' dalam Bepergian, Tetapi Bukan Shalat
Rawatib Sehabis Shalat Fardhu Ataupun Sebelumnya
578. Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah saw. shalat sunnah (dalam bepergian
2/37) di atas punggung kendaraannya dan menghadapkan mukanya ke arah mana pun
kendaraannya itu menuju. Beliau memberikan isyarat dengan kepala (setiap berpindah
dari satu rukun ke rukun lain) dan berwitir di atas kendaraan. Cara demikian itu juga di
lakukan oleh Abdullah bin Umar.
Bab Ke-13: Menjama' Shalat dalam Bepergian Antara Magrib dan Isya
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah menjama' antara shalat zhuhur dan ashar apabila
berada di dalam perjalanan (bepergian), dan menjama' antara magrib dan isya."[15]
Anas bin Malik r.a. berkata, "Rasulullah menjama' antara shalat magrib dan isya di dalam
bepergian."[16]
Bab Ke-14: Apakah Berazan dan Beriqamah Jika Menjama' Antara Shalat Magrib
dan Isya
Anas r.a mengatakan bahwa Rasulullah saw. menjama' antara kedua shalat ini, yakni
magrib dan isya dalam bepergian.
Bab Ke-15: Mengakhirkan Shalat Zhuhur Sampai Waktu Ashar Apabila Bepergian
Sebelum Matahari Condong ke Barat
Dalam bab ini terdapat riwayat Ibnu Abbas dari Nabi saw.[17]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas
yang tercantum dalam bab sesudahnya.")
Bab Ke-16: Apabila Bepergian Setelah Matahari Condong ke Barat, Beliau Shalat
Zhuhur Dulu Lalu Menaiki Kendaraannya
579. Anas bin Malik r.a. berkata, "Apabila Nabi berangkat sebelum matahari condong ke
barat (sebelum zhuhur), maka diundurnya shalat zhuhur hingga waktu ashar,[18] kemudian
dijamanya keduanya. Apabila matahari telah condong sebelum berangkat, beliau shalat
zhuhur lebih dahulu, sesudah itu baru beliau menaiki kendaraannya."
580. Imran bin Hushain, orang yang terkena penyakit wasir, berkata, "Aku bertanya
kepada Rasulullah perihal orang yang shalat dengan duduk. Beliau bersabda, 'Jika (dan
dalam satu riwayat: orang yang 2/41) shalat dengan berdiri, maka itulah yang paling
utama. Orang yang shalat dengan duduk, maka pahala nya seperdua pahala shalat dengan
berdiri. Dan orang yang shalat dengan berbaring, maka pahalanya seperdua orang yang
shalat dengan duduk"' (Dan dalam satu riwayat dari Imran bin Hushain, katanya, "Saya
terkena penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada Nabi tentang cara shalat. Kemudian
beliau menjawab, 'Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak dapat, shalatlah dengan duduk
Dan, jika tidak dapat, shalatlah dengan berbaring.")
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits
Imran tersebut di muka.")
Bab Ke-19: Orang yang Tidak Berkuasa Duduk, Maka Boleh Shalat di Atas
Lambungnya (Sambil Berbaring)
Atha' berkata, "Kalau ia tidak mampu berpindah menghadap kiblat, ia boleh melakukan
shalat ke mana saja wajahnya menghadap."[19]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits
Imran tadi.")
Bab Ke-20: Jika Shalat dengan Duduk Lalu Sehat Kembali atau Merasakan Ada
Keringanan pada Tubuhnya (Yakni Penyakitnya Berkurang), Maka Ia
Menyempurnakan Shalat yang Masih Tersisa (Dengan Berdiri)
Al-Hasan berkata, "Kalau si sakit mau, boleh ia shalat dua rakaat sambil berdiri, dan yang
dua rakaat sambil duduk."[20]
581. Aisyah r.a. berkata, "Saya tidak pernah melihat Nabi shalat malam dengan duduk
sampai beliau tua. Maka, beliau membaca dengan duduk, sampai apabila beliau hendak
ruku, maka beliau berdiri. Lalu, beliau membaca sekitar 30 ayat atau 40 ayat, kemudian
ruku dan sujud. Beliau lakukan hal serupa pada rakaat yang kedua. Apabila telah selesai,
beliau memandang(ku). (Dan dalam satu riwayat: beliau melakukan shalat dua rakaat
2/52). Jika saya bangun, beliau bercakap-cakap denganku. Dan, jika saya tidur, beliau
berbaring (atas lambung kanannya 2/50) hingga dikumandangkan azan untuk shalat."
Saya bertanya kepada Sufyan, "Sebagian orang meriwayatkannya sebagai dua rakaat
fajar?" Sufyan menjawab, "Memang begitu."
Catatan Kaki:
[1] Yakni, apabila kami bepergian ke suatu negeri, bukan untuk pindah dan menetap di sana. Permulaan
hadits ini menunjukkan makna tersebut.
[2] Kecuali shalat magrib, dan pengecualian ini tidak disebutkan karena sudah jelas.
[3] Imam Bukhari mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan dalam bab ini.
[4] Di-maushul-kan oleh Ibnul Mundzir dengan sanad sahih dari Atha' bin Abi Rabah dari Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas r.a.
[5] Yaitu lelaki yang haram menikah dengannya, baik karena hubungan nasab maupun bukan.
[6] Yakni shalatlah dengan sempurna (bukan qashar). Ali menjawab, "Tidak, sehingga kita memasukinya."
Yakni, kita masih boleh menqashar sehingga kita memasuki kota Kufah (tempat tinggal kita). Karena,
selama kita belum memasukinya, berarti masih dihukumi musafir. Demikian keterangan al-Hafizh, dan
inilah yang benar.
[7] Di-mauhsul-kan oleh Hakim dan Baihaqi dari jalan Wiqa' bin Iyas, dari Ali bin Rabi'ah dari Ali r.a. Dan
Wiqa' ini lemah haditsnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh dalam at-Taqrib.
[9] Di-maushul-kan oleh al-Ismaili dengan panjang. Diriwayatkan dari al-Laits kisah permintaan tolong
oleh Abu Dawud dan Ahmad dari jalan Nafi' darinya yang hampir sama redaksinya dengan itu, dan
dimaushulkan oleh penyusun (Imam Bukhari) dari jalan lain dari Ibnu Umar.
[10] Apa yang disebutkan sesudah Hilal bukanlah kelengkapan hadits mu'allaq itu sebagaimana
pemahaman spontan. Tetapi, ia hanyalah kesempurnaan hadits yang maushul.
[11] yakni shalat sunnah. Ini termasuk bab memutlakkan sebagian atas keseluruhan (yakni mengucapkan
sesuatu secara mutlak atau umum, tetapi yang dimaksud adalah sesuatu yang tertentu - penj.)
[12] Di-maushul-kan oleh al-Ismaili. Imam Bukhari memaushulkannya secara ringkas sebagaimana yang
akan disebutkan pada hadits berikutnya.
[14] Di-maushul-kan oleh Muslim dalam kisah tertidur dari shalat Shubuh (hingga lewat waktu) dari hadits
Abu Qatadah (2/138 dan 138-139).
[15] Hadits ini diriwayatkan secara mu'allaq oleh Imam Bukhari, tetapi dimaushulkan oleh Baihaqi.
[16] Hadits ini juga diriwayatkan oleh penyusun (Imam Bukhari) secara mu'allaq, tetapi diriwayatkannya
secara maushul pada bab sesudahnya.
[17] Menunjuk kepada haditsnya yang tersebut pada nomor 113 di muka, dan Anda pun sudah mengetahui
siapa yang me-maushul-kannya.
[18] Yakni dijamanya antara keduanya pada awal waktu ashar sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam
riwayat Muslim (2/151).
[19] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad sahih dari Atha'.
[20] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan di-maushul-kan oleh Tirmidzi dengan lafal lain.
Secara bahasa, safar berarti melakukan perjalanan, lawan dari muqim yang berarti
menetap atau tinggal di suatu tempat.Sedangkan secara istilah, safar adalah: aktifitas
seseorang keluar dari daerahnya dengan maksud ke tempat lain yang ditempuh dalam
jarak tertentu. Jadi seseorang disebut musafir jika memenuhi tiga syarat, yaitu: Niat,
keluar dari daerahnya dan memenuhi jarak tertentu. Jika seseorang keluar dari daerahnya
tetapi tidak berniat safar maka tidak dianggap musafir. Begitu juga sebaliknya jika
seorang berniat musafir tetapi tidak keluar dari daerahnya maka tidak dianggap musafir.
Begitu juga jarak yang ditempuh menentukan apakah seseorang dianggap musafir atau
belum, karena kata safar biasanya digunakan untuk perjalanan jauh.
Mengqashar shalat adalah mengurangi shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat, yaitu pada
shalat zhuhur, Ashar dan 'Isya. Dalil Shalat Qashar Allah SWT berfirman:
ّ ن َكَفُروا ِإ
ن َ ُ; اّلِذي1605 #&ك
ُ ن َيْفِتَن
ْ خْفُتْم َأ
ِ ن
ْ لِة ِإ
َصّ ن ال
َ صُروا ِم
ُ ن َتْق
ْ ح َأ
ٌ جَنا
ُ عَلْيُكْم
َ سَ ض َفَلْي
ِ لْر َْ ضَرْبُتْم ِفي ا
َ َوِإَذا
(101)عُدّوا ُمِبيًنا َ ن َكاُنوا َلُكْم
َ ;1610 #&اْلَكاِفِر
Artinya:"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS an-Nisaa' 101). Rasulullah
SAW bersabda:
.<ضْرَ ح َ لةُ اْل
َص َ ت ْ سفِر َوُأِتّم
ّ لُة ال
َص
َ تْ ِ; َفُأِقّر1606 #&ي ْ صلُة َرْكَعَت ّ ت الِ ض
َ >َأّول َما ُفِر:ت ْ شَة َقاَل
َ عاِئ
َ نْع َ
Dari 'Aisyah ra berkata : "Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan
bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak
safar)"(Muttafaqun 'alaihi)
، ثم هاجر النبي صلى ال عليه وسلم ففرضت أربعا،فرضت الصلة ركعتين:عن عائشة رضي ال عنها قالت
.وتركت صلة السفر على الول
Dari 'Aisyah ra berkata:" Diwajibkan shalat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka
diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan shalat safar seperti semula (2 rakaat)" (HR Bukhari)
" إل المغرب فإنها وتر النهار وصلة الفجر لطول قراءتهما
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : "Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah
shalat witir di siang hari dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat
tersebut" JARAK QASHAR Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan
:mengqashar dan menjama' jika telah memenuhi jarak tertentu. Rasulullah SAW bersabda
كان رسول ال صلى ال عليه وسلم إذا: سألت أنس بن مالك عن قصر الصلة؟ فقال:عن يحيى بن يزيد الهنائي؛ قال
مسيرة ثلثة أميال أو ثلثة فراسخ صلى ركعتين،خرج
Artinya: Dari Yahya bin Yazid al-Hana'i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik
tentang jarak shalat Qashar ? "Anas menjawab:" Adalah Rasulullah SAW jika keluar
menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat" (HR Muslim)
'يا أهل مكة ل تقصروا الصلة في أدنى من أربعة برد من: قال رسول ال صلى ال عليه وسلم:عن ابن عباس قال
.'مكة إلى عسفان
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda:" Wahai penduduk Mekkah
janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke 'Asfaan" (HR at-
Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf)
' ولبن أبي شيبة من وجه آخر صحيح عنه قال ' تقصر الصلة في مسيرة يوم وليلة
Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:" Qashar shalat dalam jarak perjalanan
sehari semalam"
شَر
َعَ سّتَة
ِ يَ ن ِفي َأْرَبَعِة ُبُرٍد َوِه
ِ ;1575 #&طَر ِ ; َوُيْف1616 #&صَران ُ عْنُهْم َيْق
َ لُّ ي ا
َض
ِ س َرٍ عّبا
َ ن ُ عَمَر َواْب ُ نُ ن اْب
َ َوَكا
" خاً ََفْرس
Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar shalat dan buka puasa pada
perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh". Ibnu Abbas menjelaskan jarak
minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 M
sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu
Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat
adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan
unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah 4 burd atau 16 farsakh atau
88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik,
imam asy-Syafi'i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi. Kesimpulan: Jarak
dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama' shalat, menurut jumhur ulama; yaitu
pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16 farsakh atau sekitar
88, 656 km.
SYARAT SHALAT QASHAR:
-Niat Safar
-Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km).
-Keluar dari kota tempat tinggalnya.
-Safar yang dilakukan bukan safar maksiat
Jika seseorang musafir hendak masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal
disana maka dia dapat melakukan qashar dan jama' shalat. Menurut pendapat imam
Malik dan Asy-Syafi'i adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga
jika sudah melewati 4 hari ia harus melakukan shalat yang sempurna. Adapaun musafir
yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam
keadaan safar.
Berkata Ibnul Qoyyim:" Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat".
Disebutkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari:" Rasulullah SAW melaksanakan shalat
di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua
rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna".