You are on page 1of 23

ARTIKEL PAPARAN CAIRAN EJAKULAT MENCIT (Mus Musculus) JANTAN TERHADAP PEMBENTUKAN ANTIBODI ANTI SPERMA (ABAS) MENCIT

(Mus Musculus) BETINA STRAIN JEPANG

TESIS

OLEH : NURHAYATI BP. 07 212 014

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2012

PAPARAN CAIRAN EJAKULAT MENCIT (Mus Musculus) JANTAN TERHADAP PEMBENTUKAN ANTIBODI ANTI SPERMA (ABAS) MENCIT (Mus Musculus) BETINA STRAIN JEPANG

Nurhayati Abstract
FLUID EXPOSURE EJACULATE MICE (Mus Musculus) ESTABLISHMENT OF MALE SPERM ANTIBODY ANTISPERM (ASA) MICE (Mus Musculus) FEMALE JAPANESE STRAIN Antisperm antibodies are antibodies directed against sperm. In normal conditions the immune system develops antibodies to help protect our immune system against disease. However, in the case of anti-sperm antibodies and directs the body to develop antibodies specific to the sperm that is the wrong approach and can cause negative side effects on health status and sperm can cause infertility in men. Antibodies to intrinsic sperm generated during maturation in the testis and sperm antigen capsule that arise during the epididymis and plasma when mixed with cement associated with infertility that can not be explained why (Unexplained infertility). This is an experimental research laboratories with the design of post test only control group design. Variable to check is the umbrella body weight of mice, the number of fetuses, fetal weight, macroscopic observations. This study uses a mouse (mus musculus) is 25 male mice and 25 of female mice (25 pairs). The procedure of this research work by mating 25 pairs of mice, and female mice and male mice were separated, left for 15 minutes and taken cairat secret cervix of female mice to see the presence of antibodies using the method antisperma Antiglobullin Mixed Reaction Test (MAR test) and for damage spermatozoa cell membranes by using by using the method Hipoosmotik Swelling test (HOS Test) The results obtained from 25 female mice that have been exposed to a fluid ejaculate, 11 tail (44%) of them had anti-sperm antibodies, characterized by the occurrence of clotting in the spermatozoa, spermatozoa with clumping form of 4 samples (36.3%) is, head-head type. On examination of the cell membrane damage in spermatozoa get 4 samples (36.3%) suffered damage to the cell membrane is marked with a straight tail spermatozoa. From the research results can be concluded that exposure to ejaculate fluid can cause the immune repon of the formation of anti-sperm antibodies, but this is the case specifically for the individual, in which not all individuals may have antibodies antisperma. Key Words: Antibodies Antisperma, Mating, MAR Test, HOS Test

PENDAHULUAN Infertilitas merupakan masalah global dalam sudut pandang dari kesehatan reproduksi. Insiden infertilitas beragam dan terbagi menurut penyebab infertilitas itu sendiri. Hampir 15% dari seluruh pasangan usia subur di Indonesia merupakan pasangan Infertil (Bansal.K, 2004). Menurut World Health Organization (1984), Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan setelah menikah selam 12 bulan atau lebih, dengan melakukan hubungan seksual secara teratur dan tanpa menggunakan alat kontrasepsi. WHO memperkirakan sekitar 8 -10 % pasangan usia subur mengalami masalah kesuburan, kalau dihitung sekitar 50 -80 juta orang. Penduduk Indonesia 220 juta jiwa tahun 2000, 30 juta diantaranya adalah pasangan usia subur. Dari pasangan usia subur tersebut, sekitar 10 -15 % atau 3 4,5 juta pasangan mengalami masalah dalam kesuburan (Sarwono, 2008). Fertilitas yaitu kemampuan seorang isteri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya, maka pasangan infertil haruslah dilihat sebagai satu kesatuan. Penyebab infertilitaspun harus dilihat pada kedua belah pihak yaitu isteri dan suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus dilihat sebagai satu kesatuan adalah adanya faktor imunologi yang memegang peranan dalam fertilitas suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan faktor semen, sperma, cairan serviks dan reaksi imunologi istri terhadap semen maupun sperma suami. Termasuk juga sebagai faktor imunologi adanya autoantibodi (Sumapraja, 1985). Belakangan diketahui bahwa salah satu penyebab infertilitas yang tidak diketahui tersebut adalah faktor imunologis, diantaranya faktor spermatozoa sebagai autoantigen. (Lyzar et al., 1998). Sifat keantigenan spermatozoa pertama kali ditemukan oleh Landerjner tahun 1899, yang mengatakan bahwa spermatozoa dapat bersifat antigen bila di paparkan

pada species yang berbeda. Kemudian dia juga menemukan bahwa sperma bahkan dapat bersifat antigenik walaupun dipaparkan pada species yang sama. Beberapa penelitian telah dilakukan terutama dinegara maju untuk mengetahui hubungan faktor imunologi ini dengan fungsi reproduksi suatu pasangan. Diantara penelitian ini yaitu menemukan antigen pada sperma, cara-cara identifikasi antigen / antibodi dalam tubuh dan penatalaksanaan apa yang memungkinkan diberikan pada pasangan infertil dengan faktor imunologi ini. Terjadinya infertilitas pada suatu pasangan yang mempunyai antibodi antisperma secara teoritis dikarenakan tingginya kadar antibodi antisperma pada cairan vagina, serviks, uterus atau tuba. Walaupun antibodi antisperma terdapat dalam serum seseorang, belum tentu orang tersebut mempunyai antibodi antisperma yang tinggi kadarnya dalam cairan genitalianya. Penemuan antibodi antisperma juga memberikan suatu ide bagi beberapa ilmuwan untuk mengembangkan suatu vaksin kontrasepsi berdasarkan antigen sperma. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa seorang wanita tidak bisa atau sukar menjadi hamil setelah kehidupan seksual normal yang cukup lama. Diantara factor - faktor tersebut yaitu faktor organik / fisiologik, faktor ketidakseimbangan jiwa dan kecemasan berlebihan. Dimic dkk di Yugoslavia, mendapatkan 554 kasus (81,6%) dari 678 kasus pasangan infertil disebabkan oleh kelainan organik, dan 124 kasus (18,4%) disebabkan oleh faktor psikologik. Ingerslev dalam penelitiannya mengelompokkan penyebab infertilitas menjadi 5 kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin, suami, kombinasi, dan tidak diketahui (Unexplained Infertility) (Moghisi, 1980). Antibodi antisperma tersebut dapat ditemukan pada darah, plasma semen, cairan serviks,cairan tuba fallopii dan permukaan sperma itu sendiri, yang bersifat spesifik (Mazumdar, 1998; Lewis et al, 1998).

Menurut Burnett, antigen jaringan yang telah ada dalam tubuh sebelum sistem imunologik berfungsi dikenal sebagai self antigen, sedangkan antigen jaringan yang timbul setelah sistem imunologik berfungsi sebagai non self antigen. Spermatozoa dapat sistem imunologik berfungsi,

digolongkan self antigen karena diproduksi jauh setelah

sehingga ia dianggap sebagai antigen asing. Antigen tersebut dapat berasal dari spermatozoa sendiri, atau dari plasma semen. Spermatozoa dapat kehilangan daya fertilitasnya tanpa harus kehilangan daya motilitasnya. Spermatozoa yang memiliki kerusakan dindingnya masih dapat menunjukkan gerakan normal meskipun tidak mampu membuahi sel telur. Spermatozoa dibungkus oleh ekor yang berfungsi sebagai pelindung spematozoa terhadap perubahan lingkungan, disamping sebagai unsur transport dari dalam sel keluar sel atau sebaliknya. Apabila ekor spermatozoa mengalami kerusakan maka proses tersebut tidak dapat berlangsung secara normal sehingga akan menurunkan kualitas spermatozoa. Untuk menguji keutuhan ekor spermatozoa dapat dilakukan uji Hipoosmotic Swelling Test (HOS Test). Menurut Jeyendran et al (1994) kemampuan seprmatozoa membengkak dalam larutan hipoosmotic menunjukkan membran tersebut berfungsi. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang paparan cairan ejakulat terhadap terbentuknya Antibody Anti Sperm (ASA) spermatozoa. Adapun tujuan pada penelitian ini adalah Untuk mengetahui paparan cairan dan kerusakan ekor

ejakulat terhadap terbentuknya antibodi anti sperma pada mencit betina dan mengetahui adanya kerusakan membran sel spermatozoa yang ditandai dengan perubahan pada ekor spermatozoa

METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratoris dengan menggunakan rancangan penelitian post test only control group design yaitu rancangan yang digunakan untuk mengetahui paparan cairan ejakulat terhadap terbentuknya antibodi anti sperma pada mencit betina dan mengetahui adanya kerusakan membran sel spermatozoa yang ditandai dengan perubahan pada ekor spermatozoa . Penelitian dilakukan diLaboratorium Farmasi Universitas Andalas Padang. Dengan waktu penelitian yang akan dilakukan selama 3 bulan. Populasi penelitian ini adalah 25 ekor mencit (Mus musculus) betina strain Jepang dan 25 ekor mencit (Mus musculus) jantan strain Jepang (25 pasang mencit) yang di dapatkan dari unit pemeliharaan hewan percobaan Laboraturium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang, Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusif yaitu jenis kelamin betina dan jantan, umur 2-3 bulan berat badan 250-300 gram, kriteria eklusif adalah tikus sakit. Variabel independen dalam penelitian ini adalah paparan cairan ejakulat mencit jantan dan variabel dependen adalah terbentuknya antibodi antisperma.. Cara Penentuan fase Estrus pada mencit betina ditandai dengan mencit percobaan tampak gelisah adanya kemerahan, kebengkakan dan alat kelamin luar yang hangat, pada fase estrus ini dilakukan pengawinan dengan tikus jantan, jika ditemukan sumbat vagina berarti tikus telah mengalami proses perkawinan Proses penelitian di mulai dari mempersiapkan kandang he dengan wan perlakuan, memodifikasi ruang dari bahan kayu bingkai dengan kawat ukuran 30x30x25cm. Setelah itu masukkan 1 pasang mencit ke dalam kandang, amati sampai terjadi perkawinan. Lakukan pemeriksaan MAR Test untuk mengetahui kejadian antibodi antisperma yang ditandai dengan

adanya penggumpalan spermatozoa setelah terpapar dengan lendir serviks dan untuk mengetahui kerusakan membran sel spermatozoa lakukan dengan metode HOS Tes.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Antibodi Antisperma Dengan Uji MAR Test Tabel 5.1 : Rata Rata Presentase Terjadinya Penggumpalan Spermatozoa Dengan Uji MAR Test Pada Kelompok Perlakuan Penggumpalan Spermatozoa Ada Tidak ada Total D sampel a ri Tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa dari 25 pasang mencit perlakuan, di dapatkan spermatozoa mencit jantan yang mengalami penggumpalan (aglutinasi) setelah terpapar dengan cairan serviks mencit betina sebanyak 11 ekor (44%) dan 14 ekor tidak mengalami penggumpalan pada spermatozoanya (56%). Penggumpalan Spermatozoa yang terjadi merupakan reaksi dari cairan serviks setelah diberikan cairan MAR test dengan IgA, berdasarkan nomenklatur dari pemeriksaan dengan menggunakan MAR test penggumpalan diartikan sebagai telah terbentuknya antibodi anti sperma pada cairan serviks tersebut, dengan kata lain mencit betina mengalami intoleransi imun terhadap spermatozoa mencit jantan. Penggumpalan spermatozoa tersebut dapat dilihat pada gambar 5.2. di bawah ini : Jumlah Sampel Persentase (%) 44 56 100 Antibodi Antisperma (ASA) Positif Negatif

11 14 25

TIDAK TERJADI PENGGUMPALAN

P E N G G U M PA LA N

Gambar 5.2 : Penggumpalan Spermatozoa Yang Terbentuk Pada Cairan Serviks Mencit Betina Dengan Uji MAR Test dengan Pembesaran 400 X (40X objektif dan 10 X okuler) Berdasarkan gambar 5.2 diatas dapat dilihat adanya penggumpalan spermatozoa pada cairan servik. Pada gambar juga nampak adanya spermatozoa yang tidak mengalami penggumpalan setelah terpapar dengan cairan serviks, walaupun demikian berdasarkan nomenklatur dari tehnik pendeteksian antibodi anti sperma (ASA) dengan Uji MAR test, apabila ditemukan satu titik penggumpalan spermatozoa maka itu sudah menandakan adanya antibodi anti sperma. Sebagai kontrol pada perbandingan penggunaan Uji MAR test, dapat dilihat pada Gambar 5.3. di bawah ini, tidak nampak adanya penggumpalan spermatozoa pada sampel yang tidak memakai Uji MAR test.

Gambar 5.3 : Gambaran Bentuk Spermatozoa Pada Kelompok Kontrol Yang Tidak Dilakukan MAR Test Dengan Pembesaran 400 X (40X objektif dan 10 X okuler) Pada gambar 5.3 diatas, tidak ditemukan adanya penggumpalan spermatozoa, tetapi ini belum menentukan tidak adanya anti bodi antisperma, walaupun Spermatozoa nampak normal. Untuk mendeteksinya diperlukan pemeriksaan dengan beberapa metode salah satunya dengan menggunakan uji MAR Test.

1.2.

Bentuk Penggumpalan Spermatozoa Pada Kelompok Perlakuan Penggumpalan Spermatozoa memiliki beberapa bentuk, yaitu headhead, head-tail, tail-tail, mixed tail. Dari 11 sampel yang positif Antibodi Antisperma dilakukan pengamatan terhadap bentuk penggumpalan yang terjadi. Peneliti membagi isotip antibodi anti spermatozoa menjadi 3 yaitu IgA, IgG dan IgM, pada seminal plasma lebih banyak ditemukan IgA dan IgM yang menyebabkan autoaglutinasi head-head sedangkan IgG menyebabkan 9

autoaglitasi tail-tail. Antibodi anti sperma dapat menyebabkan reaksi membran spermatozoa dengan cairan serviks dan dapat juga mencegah fertilisasi dengan menghambat spermatozoa melintasi zona pellusida. Presentase bentuk penggumpalan dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.2 : Rata - Rata Presentase Bentuk Penggumpalan Spermatozoa Mencit Jantan (Mus Musculus) yang Sudah Terpapar dengan Cairan Serviks Mencit Betina (Mus Musculus) dengan Menggunakan MAR Test Bentuk Penggumpalan Spermatozoa Head-head Head-tail Tail-tail Mixed type Total Sampel Jumlah Sampel 4 2 2 3 11 Persentase (%) 36,3 18,2 18,2 27,3 100

Dari tabel 5.2. dapat dilihat bahwa dari 11 kejadian penggumpalan, ditemukan 4 sampel dengan penggumpalan head-head (36,3%). Untuk lebih jelasnya, Gambar 5.4. dan 5.5. di bawah ini akan memberikan gambaran dari bentuk penggumpalan spermatozoa.

Kepala spermatozoa

Ekor spermatozoa

Gambar 5.4 : Bentuk Penggumpalan Spermatozoa (Head Head) Yang Ditemukan Setelah Menggunakan Metode MAR Test Dengan Pembesaran 400 X (40X objektif dan 10 X okuler) 10

TIDAK TERJADI PENGGUMPALAN

P E N G G U M PA LA N

Gambar 5.5 :

Bentuk Penggumpalan Spermatozoa (Head Tail) Yang Ditemukan Setelah Menggunakan Metode MAR Test Dengan Pembesaran 400 X (40X objektif dan 10 X okuler)

Hasil yang di dapatkan penelitian ini merupakan persentase yang cukup besar untuk kejadian Antibodi Antisperma pada mencit betina. Walaupun masih ada kemungkinan terjadinya fertilisasi (kehamilan) karena spermatozoa yang tidak mengalami penggumpalan (aglutinasi) masih dapat bergerak untuk membuahi sel telur, tetapi presentase keberhasilan terjadinya fertilisasi berkurang dengan terbentuknya antibodi anti sperma tersebut. Penggumpalan pada spermatozoa menunjukkan adanya antibodi antisperma pada mencit betina, karena pada saat spermatozoa terpapar dengan cairan servik, maka antigen yang ada pada spermatozoa akan memicu terbentuknya anti bodi pada cairan seviks tersebut. Antibodi anti sperma adalah antibodi terhadap sperma di dalam tubuh, dapat terjadi pada wanita ataupun pria. Spermatozoa merupakan antigen atau benda asing bagi wanita sama seperti benda asing lainnya. Pada wanita, Antibodi anti sperma 11

(ASA) mulai terbetuk ketika mulai terpapar oleh sperma dari pria, melalui hubungan seksual baik secara normal atau cara lainnya. Terjadinya ASA merupakan salah satu faktor penyebab infertilitas pada wanita (Indra G. Mansur, 2010). Sperma bersifat antigenic ketika masuk ke dalam tubuh wanita, ketika antigen berada di saluran reproduksi, reaksi penolakan / respon pertama dilakukan oleh sel-sel phagosit dari sistem imun innate. Makrophag dan sel-sel dendrite - like berada di saluran reproduksi. Biasanya sangat sedikit neutrofil yang hadir pada saluran reproduksi saat tidak terjadinya infeksi, sel-sel ini dapat terlihat pada basal epitel endometrium uterus, terutama pada saat mendekati estrus (Bischof, et al, 1994). Pada wanita yang sudah terpapar dengan spermatozoa baik melalui hubungan seksual secara normal atau cara lainnya akan menyebabkan timbulnya respon imun dari tubuh wanita terhadap spermatozoa dan responnya dapat dikatakan normal

apabila tercapai imunotolerans pada kadar tertentu dan respon dianggap tidak normal apabila imunotolerans mencapai pada kadar yang lebih tinggi sehingga menyebabkan infertilitas. Wanita atau mencit betina yang sudah dikatakan memmpunyai respon imun abnormal terhadap spermatozoa dengan terbentuknya antibodi anti sperma melebihi batas toleransi tubuh. Pada pria atau mencit jantan respon imun lokal secara spesifik terhadap

spermatozoa ditemukan pada seminal plasma yang dapat mempengaruhi motilitas secara langsung dan bersifat spermisid apabila reaksinya dijumpai pada jaringan tubuh seperti serum darah dan cairan tubuh. Salah satu respon imun spesifik tubuh terhadap spermatozoa adalah pembentukan antibodi antisperma oleh sel B.

12

Studi Antibodi Antisperma pada pria infertil yang dilakukan oleh Santoso dkk, tahun 1994 mengatakan bahwa adanya antibodi antisperma merupakan salah satu penyebab infertilitas pria. Untuk mengetahui prevalensi adanya antibodi antisperma pada pria pasangan infertil, maka dilakukan penelitian pada 776 sampel sperma pria infertil. Deteksi dilakukan dengan metode uji Mixed Antiglobulin Reaction Test (MAR) langsung pada sampel sperma. hasil uji positif menunjukkan bahwa pada 35 sampel terdapat lebih dari 40 persen spermatozoa motil dengan partikel melekat. Jadi prevalensi infertilitas imunologik pada penelitian ini adalah 4,5 persen dari pria pasangan infertil. Antigen merupakan zat kimia yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang terbentuknya antibodi. Antigen memiliki struktur tiga dimensi dengan dua atau lebih determinant site. Determinant site merupakan bagian dari antigen yang dapat melekat pada bagian sisi pengikatan pada antibodi. Antigen dapat berupa protein, sel bakteri, atau zat kimia yang dikeluarkan oleh suatu mikroorganisme.

Masing-masing antigen mempunyai bentuk molekuler khusus dan merangsang sel-sel B tertentu untuk mensekresi antibodi yang berinteraksi secara spesifik dengan antigen tersebut (Campbell, et al, 2004). Interaksi antigen antibodi merupakan interaksi kimiawi yang dapat dianalogikan dengan interaksi enzim dengan substratnya. Spesifitas kerja antibodi mirip dengan enzim (Sadewa, 2008). Reaksi antibodi ini dikarakteristikkan oleh proses yang disebut aglutinasi (penggumpalan sel). Ini berarti antibodi melekat pada antigen dan menjadikannya sangat lengket. Ketika sel, virus, parasit dan bakteri digumpalkan, mereka melekat satu sama lain dan menggumpal, yang menjadikan tugas pembuangan mereka lebih mudah. Ini lebih seperti memborgol kriminal menjadi satu.

13

Reaksi antibodi yang terdapat pada cairan serviks terhadap antigen yang masuk yaitu spermatozoa merrupakan suatu hal yang sering terjadi sehingga spermatozoa tidak bisa mencapai tuba dan fertilisasi tidak terjadi. Untuk mengatasi adanya antibodi anti sperma perlu dilakukan terapi dan pengobatan, agar spermatozoa tidak dianggap sebagai antigen yang harus di tolak oleh tubuh wanita.

1.3.

Uji

Membran Sel

Spermatozoa dengan Metode HOS Test dengan

Mengamati Keadaan Ekor Spermatozoa Penggumpalan spermatozoa merupakan tanda bahwa terbentuknya Antibodi Antisperma pada Spermatozoa. Untuk melihat kerusakan membran sel spermatozoa, maka dilakukan Uji HOS test terhadap cairan semen mencit jantan, dimana setelah diberikan cairan Hypoosmotic, apabila terdapat ekor spermatozoa melengkung (membengkak) itu menandakan bahwa membran selnya masih utuh tetapi apabila ekornya lurus, menandakan bahwa membran selnya sudah rusak. Presentase kejadian kerusakan ekor spermatozoa dapat dilihat pada tabel 5.3. di bawah ini. Tabel 5.3 : Rata Rata Presentase Hasil Uji HOS Test Terhadap Ekor Spermatozoa Mencit Jantan (Mus Musculus) Kategori Ekor Membengkok Ekor Lurus Parameter 40 % > 40 % Jumlah Sampel 7 4 Persentase (%) 63,7 36,3 Hasil Negatif Positif

Total

11

100

14

Dari tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa dari 11 sampel yang positif ASA, di temukan 4 sampel dengan mengalami kerusakan ekor spermatozoa yang ditandai dengan ekor spermatozoa lurus (36,3%). Pemeriksaan Hypoosmotic Swelling Test (HOS) Tes, dilakukan kepada sampel yang positif spermatozoanya mengalami Antibodi Antisperma yang ditandai dengan penggumpalan yang terjadi. Hasil HOS tes dapat dilhat berdasarkan keadaan ekor dari spermatozoa, melengkung atau lurus, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.6. dan 5.7. di bawah ini :

Gambar 5.6 : Kerusakan Ekor Spermatozoa Yang Ditandai Dengan Bentuk Ekor Spermatozoa Yang Lurus Menandakan terjadinya Kerusakan Membran Sel Spermatozoa yang Diamati Dengan Pembesaran 400 X (40X objektif dan 10 X okuler)

15

Gambar 5.7 : Bentuk Ekor Spermatozoa Yang Melengkung Menandakan Bahwa Membran Sel Spermatozoanya Masih Utuh yang Diamati Dengan Pembesaran 400 X (40X objektif dan 10 X okuler) Dari hasil pengamatan dengan menggunakan metoda HOS test terhadap 11 sampel perlakuan didapatkan presentase kerusakan ekor spermatozoa sebanyak 40% pada 10 lapangan pandang kaca objek yang diamati, maka dinyatakan bahwa membran sel spermatozoanya positif mengalami kerusakan, yang ditandai dengan ekor

spermatozoa yang lurus. Dengan terjadinya aliran cairan hypoosmotic ke dalam spermatozoa dan ekor sudah tidak dapat mempertahankan keseimbangan osmotik, yang ditandai dengan lurusnya ekor spermatozoa. Hal ini berarti menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara antibodi dengan kerusakan ekor spermatozoa Untuk melihat hubungan kehadiran antibodi dengan kerusakan membran ini, juga sudah pernah dilakukaan oleh Dr. Arjatmo (1990) menelusuri sel-sel yang rusak. Dilakukannya dengan Hypoosmotic Swelling Test (HOS tes). Kalau dalam sperma terkandung antibodi antisperma, nilai tes HOS rendah. Nilai normal tes HOS, 60%. Artinya, angka 1 - 40% menandakan kerusakan membran masih alamiah. Makin rendah nilai tes HOS, makin besar kerusakan ekor sperma terjadi. Dengan cara itu,

16

Arjatmo sampai pada kesimpulan bahwa antibodi antisperma dapat merusak ekor sperma. Spermatozoa dibungkus oleh ekor yang berfungsi sebagai pelindung spematozoa terhadap perubahan lingkungan, disamping sebagai unsur transport dari dalam sel keluar sel atau sebaliknya. Apabila membran sel spermatozoa mengalami kerusakan maka proses tersebut tidak dapat berlangsung secara normal sehingga akan menurunkan kualitas spermatozoa. Untuk menguji keutuhan ekor spermatozoa dapat dilakukan uji Hipoosmotic Swelling Test (HOST Test). Menurut Jeyendran et al (1994), kemampuan seprmatozoa membengkak dalam larutan hipoosmotic

menunjukkan membran tersebut berfungsi. Suatu membran semipermiable apabila dibatasi oleh larutan yang berbeda tekanan osmotiknya, maka air akan mengalir melintasi membran tersebut dari larutan hipoosmotik ke larutan hiperosmotik, sehingga banyaknya air pada larutan

hiperosmotik bertambah dan tekanan osmotiknya mengecil, sedang banyaknya air pada larutan hipoosmotik berkurang dan tekanan osmotiknya membesar. Keadaan ini terus berlangsung sampai besarnya tekanan osmotik antara kedua larutan tersebut sebanding. Penggunaan teori osmosis untuk menentukan fertilitas spermatozoa sudah dimulai tahun 1963 oleh Drevius. Drevius menyatakan bahwa ekor spermatozoa akan membengkok dan melingkar seperti spiral bila spermatozoa tersebut berada di dalam cairan hipoosmotik. Menurut peneliti yang sama, pembengkokan ini adalah akibat gangguan kontraksi relaksasi ekor oleh karena adanya aliran ion / bahan yang berat molekulnya dari ekor ke medium hipoosmotik tersebut.

17

Uji HOS test adalah hukum osmosis. Bila spermatozoa terpapar pada medium hipoosmotik antara larutan di dalam dan di luar spermatozoa, sehingga spermatozoa bengkak. Kebengkakan ini berupa pembengkokan yang mudah dilihat. Peristiwa pada spermatozoa ini dapat terjadi karena membran selnya bersifat semi permiable dan berfungsi normal. Jadi spermatozoa yang terpapar pada medium hipoosmotik dan memperlihatkan pembengkokan ekor adalah normal. spermatozoa yang

Menurut Casper et al (1996), HOS test dikembangkan untuk melihat

kemampuan membran spermatozoa sebagai sarana transport. Sperma dalam larutan hipoosmotik, apabila membran berfungsi dengan baik maka akan terjadi pembengkakan pada ekor yang ditandai dengan pembengkokan ekor.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian tentang paparan cairan ejakulat terhadap terbentunya antibodi antisperma pada mencit betina, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Didapatkan hasil dari 25 pasang mencit perlakuan, 11 ekor mencit betina mengalami penggumpalan (44%) dan 14 ekor mencit betina tidak mengalami penggumpalan (56%). 2. Didapatkan hasil bahwa dari 11 kejadian penggumpalan, ditemukan 4 bentuk penggumpalan yaitu head-head (36,3%) 3. Didapatkan dari 11 sampel yang positif ASA, di temukan 4 sampel dengan kerusakan ekor yang positif yang ditandai dengan ekor spermatozoa lurus (36,3%).

18

SARAN Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan di atas maka di sarankan: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang antibodi anti sperma dengan melakukan pre test pada hewan perlakuan terhadap kejadian antibodi anti sperma. 2. Perlu adanya kontrol sebagai pembanding pada penelitian Antibodi antisperma dan test validitas terhadap zat yang akan digunakan. 3. Untuk pemeriksaan HOS Test, diperlukan adanya pengamatan spermatozoa setelah diberi larutan HOS guna menilai apakah ada kematian atau kerusakan spermatozoa sebelum metode tersebut dilakukan. 4. Untuk pengamatan hasil penelitian diharapkan lebih teliti dengan

menggunakan mikroskop yang terbaru dengan pembesaran yang sesuai.

DAFTAR PUSTAKA Alexander NJ, Anderson DJ. Immunology of semen. Fertil Steril 1987 Almahdy, 1993. Dalam : Yatim, W Reproduksi dan Embriologi Edisi II, Tarsito, Bandung Amori, G. (1996). Revisi 2007.Mus musculus. 2007 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2007. Bansal,K. Practical Appoarch to Infertility Management. Jaypee Brothers, New Delhi, 2004 Bischof, et all, 1994. Human Infertility, diakses dari Http.www.andrology.com Campbell, et all, 2002. Dalam : Yatim, W Reproduksi dan Embriologi Edisi II, Tarsito, Bandung Jones WR.1980. Immunologic infertility-fact or fiction Fertil steril

19

Guyton, 1997. Jurnal of Infertility : Animal For Laboratory, diakses dari Http.www. wikipedia.co.id Hanafiah MJ. Faktor serviks dan imunologi. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual infertilitas. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985 Kresno SB, dkk., 1996. Diagnosis Dan Prosedur Laboratorium. Ed 3. Jakarta : Balai penerbit FKUI, Manson at all, 1982. Teratology Test Methode For Laboratory Animals, Ravent Pres. New York Mazumdar S, Levine AS.1998, Antisperm antibodies: ertiology, pathogenesis, diagnosis, and treatment. Fertil Steril Mahmoud A. and Comhaire1.F, 2000. In Journal of Human Reproduction, The European Society of Human Reproduction and Embryology

Moghissi KS, 1980, Sacco AG, Borin K. Immunologic infertility. Am J Obstetri Gynecology Prawirohardjo.S.2008. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta Rugh, 1968. Dalam Yatim, W. Reproduksi dan Embriologi Edisi II, Tarsito, Bandung Sadewa, 2008. Faktor uterus. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual Infertilitas. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Sagi, 1990. Dalam : Duenhoelter JH. Ginekologi Greenhill. Edisi 10. Jakarta : EGC Santoso,Imam, dkk. 1994. Infertility dalam Deteksi dan Patogenesis, Universitas Airlangga Stern JE, Dixon PM, Manganiello PD, Johnsen TB. 1992. Antisperm antibodies in women: variability in antibody levels in serum, mucus, and peritoneal fluid. Fertil Steril Snow K, Ball GD.1992. Characterization of human sperm antigens and antisperm antibodies in infertile patients. Fertil Steril Sumapraja S.1991. Infertilitas. Dalam : Prawiroharjo S. Ilmu kandungan. Cetakan kelima. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prwirohardjo

20

Sumapraja S. Pemeriksaan pasangan infertil. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual infertilitas. Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Winkjosastro H, 1997. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta YBPSP Yatim, W. Reproduksi dan Embriologi Edisi II, Tarsito, BandunG.

UCAPAN TERIMA KASIH Dalam penyelesaian proposal tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : banyak kepada : 1. Ibu Prof. Dr. dr. Eriyati Darwin, PA (K). Selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran dan masukan dengan penuh perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. 2. Ibu Dra. Arni Amir, MS. Selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran dan masukan dengan penuh perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Prof. dr. Fadil Oenzil, PhD.SpGK. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Universitas Andalas Padang yang telah banyak memberikan motivasi dan memfasilitasi peneliti selama penyusunan tesis ini. 4. Bapak Dr. dr. Masrul, MSc. SpGK. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran beserta staf pengajar di Program Studi Ilmu Biomedik Universitas Andalas. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Novirman Djamarun, MSc. Selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Andalas

21

6. Bapak Kepala Laboratorium Farmasi UNAND yang telah memberikan izin dan bantuan untuk penyelesaian Tesis ini. 7. Bapak dan Ibu dosen yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis yang sangat berguna dalam penyusunan tesis ini. 8. Teristimewa buat Suami, orang tua, putri tercinta, teman - teman yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa untuk penulis. 9. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyusun hasil penelitian ini Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan Tesis ini dimasa yang akan datang.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Umur Status Agama Kewarganegaraan Alamat Nurhayati, S.ST,M.Biomed Lubuk Alung, 22 Mai 1981 Perempuan 30 tahun Menikah Islam Indonesia Jln. Kapeh panji No. 13 Bukittinggi 1. SDN No. 015 Lubuk Alung tahun 1994 2. SLTP No. 05 Lubuk Alung tahun 1997 3. SPK DepKes Padang tahun 2000 4. Akademi Kebidanan Depkes Bukittinggi tahun 2003 22

Pendidikan Formal

5. DIV Bidan Pendidik Universitas Padjajaran Bandung tahun 2005 6. S2 Biomedik Program Pasca Sarjana tahun 2012 1. AKBID Prima Nusantara Bukittinggi tahun 2003-2007 2. STIKes Fort De Kock Bukittinggi tahun 2007sekarang

Instansi Tempat Bekerja

23

You might also like