Professional Documents
Culture Documents
= 25 Balita/bulan
Perhitungan per bulan bermanfaat untuk pemantauan dalam
pencapaian target penderita pneumonia Balita.
c. Target
Target penemuan penderita pneumonia Balita adalah jumlah
penderita pneumonia Balita yang harus ditemukan/dicapai di suatu
wilayah dalam 1 tahun sesuai dengan kebijakan yang berlaku setiap
tahun secara nasional.
Contoh:
Kebijakan tahun 2011 target penemuan penderita pneumonia Balita =
70%
Maka Puskesmas Melati:
Jumlah (minimal) penderita pneumonia Balita yang harus dicapai
adalah
70% x 300 penderita pneumonia Balita = 210 Balita/tahun
= 17-18 Balita/bulan
Bila Puskesmas Melati dalam setahun menemukan 180 penderita maka
pencapaian target penemuan adalah:
= 60%
Berarti Puskesmas Melati tidak mencapai target 70%, oleh karena itu
perlu dianalisis penyebab permasalahannya sehingga dapat diketahui
pemecahan masalah dan dapat ditindaklanjuti untuk tahun berikutnya.
d. Tatalaksana pneumonia Balita
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan
Pengendalian ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada Balita
didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan
WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi
Indonesia.
32
Bagan 2. Tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas
umur < 2 Bulan
Setelah penderita pneumonia Balita ditemukan dilakukan
tatalaksana sebagai
berikut:
1) Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: kotrimoksazol,
amoksisilin selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan
seperti parasetamol, salbutamol
2) Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu penderita 2
hari setelah mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan.
3) Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat berat.
Bagan 3. Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2
Bulan - < 5 Tahun
33
3. Ketersediaan Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
pengendalian ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku dan menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian kewenangan
antara pusat dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau
contoh logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk pelayanan
kesehatan. Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban memenuhi
kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik yang dibutuhkan antara lain:
a. Obat
1) Tablet Kotrimoksazol 480 mg
2) Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml
3) Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml
4) Tablet Parasetamol 500 mg
5) Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml.
Pola penghitungan jumlah obat yang diperlukan dalam satu tahun
di suatu daerah didasarkan pada rumus berikut :
Obat-obat tersebut di atas merupakan obat yang umum digunakan
di Puskesmas untuk berbagai penyakit sehingga dalam penyediaannya
dilakukan secara terpadu dengan program lain dan proporsi sesuai
kebutuhan. Jika memungkinkan dapat disediakan antibiotik
intramuskular: Ampisilin dan Gentamisin.
34
Untuk menghindari kelebihan obat maka perhitungan kebutuhan
obat berdasarkan hasil cakupan tahun sebelumnya dengan tambahan
10% sebagai buffer stock.
Contoh penghitungan kebutuhan obat:
Target cakupan tahun 2011 = 70%
Pencapaian cakupan tahun 2010 = 30%
Perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita = 300 Balita/tahun
Kebutuhan tablet Kotrimoksazol 480 mg setahun
= hasil cakupan tahun sebelumnya x perkiraan pneumonia balita x 6
tablet + 10% bufferstock
= (30% x 300 x 6 tablet ) + 10% (30% x 300 x 6 tablet )
= 540 tablet + 54 tablet = 594 tablet
b. Alat
1) Acute Respiratory Infection Soundtimer
Digunakan untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit. Alat
ini memiliki masa pakai maksimal 2 tahun (10.000 kali pemakaian).
Jumlah yang diperlukan minimal:
a) Puskesmas
3 buah di tiap Puskesmas
1 buah di tiap Pustu
1 buah di tiap bidan desa, Poskesdes, Polindes, Ponkesdes
b) Kabupaten
1 buah di dinas kesehatan kabupaten/kota
1 buah di rumah sakit umum di ibukota kabupaten/kota
c) Provinsi
1 buah di dinas kesehatan provinsi
1 buah di rumah sakit umum di ibukota provinsi.
2) Oksigen konsentrator
Untuk memproduksi oksigen dari udara bebas. Alat ini
diperuntukkan khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang
35
menyelenggarakan rawat inap dan unit gawat darurat yang
mempunyai sumber daya energi (listrik/ generator).
3) Oksimeter denyut (Pulseoxymetry)
Sebagai alat pengukur saturasi oksigen dalam darah diperuntukan
bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki oksigen
konsentrator.
c. Pedoman
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas
masing-masing minimal memiliki 1 set buku pedoman Pengendalian
ISPA, yang terdiri dari:
1) Pedoman Pengendalian ISPA
2) Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita
3) Pedoman Autopsi Verbal
4) Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza
5) Pedoman Respon Nasional menghadapi Pandemi Influenza
d. Media KIE (Elektronik dan Cetak)
1) DVD Tatalaksana pneumonia Balita.
Media ini berisi cara-cara bagaimana memeriksa anak yang
menderita batuk, bagaimana menghitung frekuensi napas anak dalam
satu menit dan melihat tanda penderita Pneumonia berat berupa
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chestindrawing).
3) TV spot dan Radio Spot tentang pneumonia Balita.
4) Poster, Lefleat, Lembar Balik, Kit Advokasi dan Kit Pemberdayaan
Masyarakat.
e. Media pencatatan dan pelaporan
1) Stempel ISPA
Merupakan alat bantu untuk pencatatan penderita pneumonia Balita
sebagai status penderita.
2) Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel).
3) Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)
36
Pemantauan logistik dilaksanakan sampai di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama (dengan menggunakan formulir supervisi) yang
dilakukan oleh petugas pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Di semua
tingkat pemantauan dilakukan sesuai dengan ketentuan pengelolaan barang
milik pemerintah (UU No.19 tahun 2003 tentang badan usaha milik
negara). Penilaian kecukupan logistik dapat dilihat dari indikator logistik
pengendalian ISPA.
4. Supervisi
Supervisi dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pengendalian
ISPA berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan/ditetapkan dalam
pedoman baik di provinsi, kabupaten/kota, Puskesmas dan rumah sakit
menggunakan instrumen supervisi (terlampir). Supervisi dilakukan secara
berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota, Puskesmas yang:
pencapaian cakupan rendah
pencapaian cakupan tinggi namun meragukan
kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik
a. Pelaksana supervisi:
1) petugas pusat,
2) petugas provinsi,
3) petugas kabupaten/kota,
4) petugas Puskesmas.
b. Alat:
Formulir(checklist) untuk supervisi mencakup aspek manajemen
program (pencapaian target, pelatihan, logistik) dan aspek tatalaksana.
c. Keluaran
Keluaran dari kegiatan supervisi dan bimbingan teknis pengendalian
ISPA adalah :
1) data umum wilayah
2) data pencapaian target program
3) data pelatihan
37
4) data logistik
5) identifikasi masalah
6) cara pemecahan masalah
7) langkah tindak lanjut, dan
8) laporan supervisi dan bimbingan teknis.
5. Pencatatan dan Pelaporan
Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data
dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat.
Data dasar atau informasi tersebut diperoleh dari :
a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan
hingga ke pusat setiap bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia
tidak hanya bersumber dari Puskesmas saja tetapi dari semua
fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah.
b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur
dari lokasi sentinel setiap bulan.
c. Laporan kasus influenza pada saat pandemi
Disamping pencatatatan dan pelaporan tersebut di atas, untuk
memperkuat data dasar diperlukan referensi hasil survei dan penelitian dari
berbagai lembaga mengenai pneumonia.
Data yang telah terkumpul baik dari institusi sendiri maupun dari
institusi luar selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis. Pengolahan
dan analisis data dilaksanakan baik oleh Puskesmas, kabupaten/kota
maupun provinsi. Di tingkat Puskemas pengolahan dan analisis data
diarahkan untuk tujuan tindakan koreksi secara langsung dan perencanaan
operasional tahunan. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota diarahkan untuk
tujuan bantuan tindakan dan penentuan kebijakan pengendalian serta
perencanaan tahunan/5 tahunan di wilayah kerjanya masing-masing.
Melalui dukungan data dan informasi ISPA yang akurat
menghasilkan kajian dan evaluasi program yang tajam sehingga tindakan
koreksi yang tepat dan perencanaan tahunan dan menengah (5 tahunan)
dapat dilakukan. Kecenderungan atau potensi masalah yang mungkin
38
timbul dapat diantisipasi dengan baik khususnya dalam pengendalian
Pneumonia.
Data dan kajian perlu disajikan dan disebarluaskan/diseminasi dan
diumpan balikan kepada pengelola program dan pemangku kepentingan
terkait di dalam jejaring.
Diseminasi di tingkat Puskesmas dilakukan pada forum pertemuan
rutin, lokakarya mini Puskesmas, rapat koordinasi kecamatan dan
sebagainya.
Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, diseminasi dilakukan pada
forum pertemuan teknis di dinas kesehatan, rapat koordinasi di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, forum dengar pendapat serta diskusi dengan
DPRD dan sebagainya, serta dituangkan dalam bentuk buletin, laporan
tahunan ataupun laporan khusus.
Dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA di Indonesia diagnosis tidak
dianggap sama dengan klasifikasi tatalaksana sehingga timbul kerancuan
dalam pencatatan dan pelaporan. Oleh karena itu dalam klasifikasi Bukan
Pneumonia tercakup berbagai diagnosis ISPA (non Pneumonia) seperti:
common cold/ selesma, faringitis, Tonsilitis, Otitis, dsb. Dengan perkataan
lain Batuk Bukan Pneumonia merupakan kelompok diagnosis.
6. Kemitraan dan Jejaring
a. Kemitraan
Kemitraan merupakan faktor penting untuk menunjang
keberhasilan program pembangunan. Kemitraan dalam program
Pengendalian ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat, lintas program, lintas sektor terkait dan pengambil
keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan
kemitraan diharapkan dapat lebih ditingkatkan, sehingga pendekatan
pelaksanaan pengendalian ISPA khususnya Pneumonia dapat terlaksana
secara terpadu dan komprehensif. Intervensi pengendalian ISPA tidak
hanya tertuju pada penderita saja tetapi terhadap faktor risiko
39
(lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh
melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten.
Kegiatan kemitraan meliputi pertemuan berkala dengan:
1) lintas program dan sektor terkait,
2) organisasi kemasyarakatan,
3) lembaga swadaya masyarakat,
4) tokoh masyarakat,
5) tokoh agama,
6) perguruan tinggi,
7) organisasi profesi kesehatan,
8) sektor swasta
b. Jejaring
Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan
peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku kepentingan.
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring antara lain
pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan, dukungan,
membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian pneumonia di
semua tingkat.
Jejaring dapat dibangun dengan berbagai pemangku kepentingan
sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik sektor
pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga/organisasi non
pemerintah, dll. Jejaring dapat dibangun melalui pertemuan atau
pembuatan kesepahaman (MOU). Untuk menjaga kesinambungan
jejaring, maka komunikasi perlu secara intensif melalui pertemuan-
pertemuan berkala dengan mitra terkait.
7. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Aspek pelatihan merupakan bagian penting dari Pengendalian ISPA
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya dalam
penatalaksanaan kasus dan manajemen program. Ada beberapa jenis
pelatihan untuk tenaga kesehatan, yaitu :
40
a. Pelatihan pelatih (TOT)
TOT Tatalaksana Pneumonia Balita, Manajemen Pengendalian ISPA
dan Pandemi Influenza.
Tujuan:
Tersedianya tenaga fasilitator/pelatih pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota dalam pengendalian ISPA
Sasaran:
1) Pengelola ISPA Pusat
2) Pengelola ISPA Provinsi
3) Pengelola ISPA Kabupaten/Kota
b. Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan
1) Tatalaksana ISPA
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu mempraktekkan tatalaksana
penderita Pneumonia sesuai standar di tempat kerjanya masing-
masing.
Sasaran:
a) Paramedis Puskesmas, Polindes dan Bidan desa
b) Dokter Puskesmas
c) Dokter Rumah Sakit
d) Paramedis Rumah Sakit
e) Pengelola Program ISPA kabupaten dan provinsi
Materi:
a) Buku/modul Tatalaksana PneumoniaBalita
b) Bagan Tatalaksana Penderita Batuk dan Kesukaran Bernapas
Pada Balita
c) DVD Tatalaksana Pneumonia Balita
Penyelenggaraan:
a) Jumlah peserta optimal30 orang per kelas
b) Rasio fasilitator termasuk MOT dengan peserta diupayakan 1:5
Lama pelatihan: 4 hari
41
2) Pelatihan Manajemen Program Pengendalian ISPA
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan manajemen
program Pengendalian ISPA secara efektif sesuai kebijakan program
Pengendalian ISPA Nasional dan situasi spesifik setempat.
Sasaran:
a. Pengelola program ISPA provinsi
b. Pengelola program ISPA kabupaten/kota
c. Pengelola program ISPA Puskesmas
Materi:
Pedoman/modul Pelatihan Manajemen Pengendalian ISPA terbitan
Kementerian Kesehatan.
Penyelenggaraan:
Jumlah peserta maksimal 30 orang per kelas
Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5
Lama Pelatihan: 4 hari
3) Pelatihan Promosi Pengendalian Pneumonia Balita
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu mengembangkan promosi
penanggulangan
Pneumonia melalui advokasi, bina suasana dan penggerakan
masyarakat.
Sasaran :
a) Pengelola program ISPA provinsi, kabupaten/kota
b) Pengelola program Promosi Kesehatan provinsi, kabupaten/kota
Materi :
Buku Pedoman/modul Promosi Pengendalian Pneumonia Balita.
Penyelenggaraan:
a) Jumlah peserta maksimal 30 orang per kelas
b) Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5
Lama pelatihan: 4 hari
42
c. Pelatihan Autopsi Verbal
Tujuan:
Petugas kesehatan mampu mengumpulkan gejala-gejala pada Balita
menjelang kematian melalui metode wawancara yang dilakukan antara
1-3 bulan setelah kematian dan mampu membuat klasifikasi penyakit
yang diderita anak umur <5 tahun menjelang kematiannya.
Sasaran:
c) Pengelola ISPA dan surveilans provinsi, kabupaten/kota dan
Puskesmas.
d) Tenaga kesehatan (keperawatan dan kebidanan) Puskesmas, Pustu
dan Polindes.
e) Pengelola program ISPA Puskesmas.
Materi:
1) Modul pelatihan Autopsi Verbal kematian Balita
2) Formulir wawancara
Penyelenggaraan:
1) Jumlah peserta diupayakan maksimal 30 orang per kelas
2) Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 8-10
Lama pelatihan: 4 hari
d. Pelatihan Pengendalian ISPA Bagi Tenaga non Kesehatan
Keberhasilan Pengendalian ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita
sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat baik untuk
menggerakkan masyarakat dalam berperan untuk melaksanakan
program (kader, TOMA, TOGA dan sebagainya) maupun dalam
menggerakkan masyarakat untuk memanfaatkan sarana dan pelayanan
kesehatan.
Dalam mengembangkan dan meningkatkan peranan masyarakat dalam
Pengendalian ISPA dilaksanakan pelatihan Pengendalian ISPA bagi
tenaga non petugas kesehatan.
43
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan kegiatan promosi
pengendalian Pneumonia Balita melalui penyampaian informasi
Pneumonia yang benar kepada orang tua/pengasuh Balita dan
masyarakat umum.
Sasaran:
1) Kader
2) TP PKK desa dan kecamatan
3) TOMA
4) TOGA
Materi:
Buku pemberdayaan kader
Penyelenggaraan:
1) Jumlah peserta diupayakan maksimal 30 orang per kelas
2) Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 10
Lama pelatihan: 1 hari
8. Pengembangan Program
a. Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza
Kegiatan meliputi:
1) Penyusunan pedoman
2) Pertemuan lintas program dan lintas sektor
3) Latihan (exercise) seperti desktop/tabletop, simulasi lapangan
b. Sentinel Surveilans Pneumonia
Kegiatan di Puskesmas dan RS sentinel meliputi:
1) Penemuan dan tatalaksana pneumonia semua golongan umur.
2) Pengumpulan data pneumonia untuk semua golongan umur.
3) Pelaporan dari Puskesmas dan RS sentinel langsung ke Subdit P
ISPA dengan tembusan ke kab/kota dan propinsi.
4) Pengolahan dan analisis data dilakukan di semua jenjang.
5) Umpan balik dari Pusat ke Puskesmas dan RS sentinel dan tembusan
ke kab/kota dan propinsi.
44
6) Pembinaan/monitoring kegiatan pelaksanaan sentinel.
c. Kajian/pemetaan
1) Pengetahuan, sikap dan perilaku (KAP) yang terkait pneumonia.
2) Kesakitan (termasuk faktor risiko) dan kematian.
3) Pengendalian pneumonia di fasilitas kesehatan.
4) Penggunaan dan pemeliharaan logistik ISPA
5) Terapi oksigen dalam tatalaksana kasus pneumonia
9. Autopsi Verbal (Av)
Autopsi verbal Balita merupakan kegiatan meminta keterangan atau
informasi tentang berbagai kejadian yang berkaitan dengan kesakitan
dan/atau tindakan yang dilakukan pada Balita sebelum yang bersangkutan
meninggal dunia, guna mencari penyebab kematian serta faktor
determinan yang sangat esensial dalam pengelolaan kesehatan masyarakat.
Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara kepada ibu atau pengasuh
Balita yang dianggap paling tahu terhadap keadaan anak menjelang
meninggal. Petugas yang akan melaksanakan AV adalah petugas yang
sudah mengikuti pelatihan Autopsi Verbal Kematian Pneumonia Balita.
Peran aktif petugas ISPA/Puskemas sangat penting dalam memantau
kematian Balita di wiliyah kerja Puskesmas, baik yang datang maupun
tidak datang ke sarana pelayanan kesehatan setempat. Dari hasil AV akan
didapat data kematian Balita berdasarkan waktu, tempat dan orang sebagai
sumber informasi manajemen dalam menentukan intervensi yang efisien
dan efektif.
Data kematian Balita bermanfaat sebagai:
a. Alat monitoring dan intervensi program kesehatan yang dilaksanakan.
b. Bahan perencanaan penganggaran dan kegiatan kesehatan.
c. Audit kasus kematian untuk upaya pembinaan.
d. Audit manajemen kasus dan kesehatan masyarakat
e. Penentu prioritas program
f. Data sasaran program menurut umur.
45
10. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA dan kesiapsiagaan
menghadapi pandemi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses
pelaksanaan sudah sesuai dengan jalur yang ditetapkan sebelumnya.
Apabila terdapat ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan
dengan segera. Monitoring hendaknya dilaksanakan secara berkala
(mingguan, bulanan, triwulan).
Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output
yang diperlukan untuk koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6
bulan, tahunan dan lima tahunan. Keberhasilan pelaksanaan seluruh
kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan bagi perencanaan
tahun/periode berikutnya.
a. Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam Pengendalian ISPA
Beberapa komponen yang dapat dipantau/evaluasi adalah:
1) Sumber Daya Manusia
a) Tenaga Puskesmas terlatih dalam manajemen program dan
teknis
b) Tenaga pengelola Pengendalian ISPA terlatih di kabupaten/kota
dan provinsi
2) Sarana dan Prasarana
a) RS Rujukan (FB/AI, Influenza Pandemi) yang memiliki ruang
isolasi, ruang rawat
b) intensif/ ICU dan ambulans sebagai penilaian core capacity
penanggulangan pandemi influenza.
c) Ketersediaan alat komunikasi baik untuk rutin maupun insidentil
(KLB).
3) Logistik
a) Obat:
Ketersediaan antibiotik
Ketersediaan antiviral (oseltamivir)
Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)
46
b) Alat:
Tersedianya ARI sound timer
Oksigen konsentrator
Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium,
Puskesmas dan lapangan
c) Pedoman (ketersedian dan kondisi sesuai standar)
d) Media KIE dan media audio visual
e) Tersedianya formulir pencatatan dan pelaporan
b. Indikator masukan
1) Sumber Daya Manusia
a) Tenaga fasilitas pelayanan kesehatan yang terlatih dalam
manajemen program dan teknis pengendalian ISPA.
Proporsi Puskesmas dengan Tenaga Terlatih
Pembilang (a):
Jumlah Puskesmas dengan tenaga terlatih yang ada di suatu
wilayah tertentu.
Penyebut (b):
Jumlah seluruh Puskesmas yang ada di wilayah tersebut
Cara perhitungan:
x 100%
b) Tenaga pengelola Pengendalian ISPA terlatih di kabupaten/kota
dan provinsi
2) Sarana dan Prasarana
a) Jumlah RS Rujukan (FB/AI, Influenza Pandemi) yang memiliki
ruang isolasi, ruang rawat intensif/ICU dan ambulans.
b) Tersedianya Alat komunikasi
3) Logistik
a) Tersedianya alat: sound timer dan oksigen konsentrator
Proporsi Puskesmas yang memiliki Alat Bantu Hitung
Napas atau Sound Timer
Pembilang (a):
Jumlah Puskesmas yang memiliki sound timer di suatu
wilayah tertentu.
47
Penyebut (b) :
Jumlah semua Puskesmas yang ada di wilayah tersebut.
Cara perhitungan:
x 100%
b) Ketersediaan antibiotik
c) Ketersediaan antiviral (oseltamivir)
d) Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)
e) Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium, Puskesmas
dan lapangan.
f) Ketersediaan pedoman
g) Media KIE dan media audio visual
c. Indikator luaran (Evaluasi)
1) Cakupan tatalaksana Pneumonia Balita
Pembilang (a):
Jumlah kasus Pneumonia Balita yang ditatalaksana di suatu
wilayah kerja Puskesmas dalam 1 tahun.
Penyebut (b):
Perkiraan jumlah penemuan PneumoniaBalita di wilayah kerja
Puskesmas tersebut dalam 1 tahun (10% dari jumlah Balita).
Cara penghitungan:
x 100%
2) Jumlah Kasus dan CFR di rumah sakit
3) Cakupan profilaksis massal pada penanggulangan episenter
pandemi
d. Indikator Kinerja Pengendalian ISPA
1) Jumlah propinsi sentinel mencapai 33 provinsi (66 Puskesmas dan
66 RS) tahun 2014.
2) Rencana Kontinjensi Penanggulangan Episenter Pandemi
Influenza: 33 provinsi tahun 2014.
3) Kelengkapan laporan: 100%
4) Ketepatan laporan: 80%
48
O. Ukuran Epidemiologi ISPA yang Dapat Dipakai
1. Ukuran Morbiditas
a. Insiden
Insiden adalah gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu
penyakit yang ditemukan pada suatu waktu tertentu di dalam kelompok
masyarakat.
1) Insidence rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu jangka waktu tertentu(umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan
jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru tersebut pada
pertengahan jangka waktu yang bersangkutan.
Insidence rate =
2) Attack Rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu saat dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin
terkena penyakit tersebut pada saat yang sama.
Attack Rate =
b. Prevalen
Prevalen adalah gambaran tentang frekuensi penderita lama dan baru
yang ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu di sekelompok
masyarakat tertentu.
Poin prevalen rate: Jumlah penderita lama dan baru suatu penyakit
pada suatu saat dibagi dengan jumlah penduduk pada saat itu.
Poin prevalen rate =
2. Ukuran Mortalitas
a. IMR (Infant Mortality Rate) =
/1000
49
b. PMR (Perinatal Mortality Rate) =
/ 1000
c. NMR (Neonatal Mortality Rate) =
/ 1000
50
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis
sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan ISPA
bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri.
2. ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14
hari.
3. Pada umumnya ISPA termasuk ke dalam penyakit menular yang
ditularkan melalui udara.
4. Tanda dan gejala penyakit ISPA pada anak bermacam-macam seperti
batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit
telinga.
5. Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Sedangkan diagnosis ISPA
oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah,
biakan cairan pleura.
6. Transmisi penyakit ISPA dapat melalui udara dan melalui kontak
langsung/tidak langsung dari benda yang telah dicemari jasad renik (hand to
hand transmission).
7. Riwayat alamiah ISPA dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa.
Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan
sebelumnya memang sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat
meninggal akibat pneumonia.
51
8. Pengobatan ISPA oleh virus belum ditemukan sedangkan pengobatan bagi
ISPA bakterial adalah pengobatan secara rasional dengan mendapatkan
antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman penyebab.
9. Penyakit ISPA di Indonesia sepanjang 2007 sampai 2011 mengalami tren
kenaikan.
10. Faktor yang berpengaruh terhadap ISPA antara lain:
a. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
b. Faktor umur
c. Faktor Jenis Kelamin
d. Faktor Vitamin
e. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)
f. Status Imunisasi
g. Status Sosioekonomi
h. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
i. Faktor Pencemaran Udara Dalam Lingkungan
j. Ventilasi
k. Kepadatan Hunian
11. Cara pencegahan ISPA berdasarkan level of prevention:
a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
1) Penyuluhan
2) Imunisasi
3) Usaha di bidang gizi
4) Program KIA Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)
b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya
pengobatan dan diagnosis sedini mungkin.
c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Memperhatikan apabila timbul gejala pneumonia dan supaya
tidak bertambah parah maka membawa anak pada petugas kesehatan
dan pemberian perawatan yang spesifik di rumah dengan
memperhatikan asupan gizi dan lebih sering memberikan ASI.
52
12. Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok
usia dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua dan merupakan salah satu
masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju.
13. Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian
pada kelompok bayi dan balita. Dilihat dari pengamatan epidemiologi
dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung lebih
besar daripada di desa. Proporsi kematian akibat ISPA di Indonesia
cenderung meningkat.
14. Tujuan P3M ISPA secara umum adalah untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian karena pneumonia.
11. Strategi yang diterapakan dalam P3M ISPA adalah Membangun
komitmen, Penguatan jejaring internal dan eksternal, Penemuan kasus
pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif, Peningkatan mutu
pelayanan, Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini
pneumonia, Pelaksanaan Autopsi Verbal Balita di masyarakat, Penguatan
kesiapsiagaan dan respon pandemi, Pencatatan dan pelaporan secara
bertahap, Monitoring dan pembinaan teknis secara berjenjang, terstandar
dan berkala serta Evaluasi program secara berkala.
B. Saran
ISPA merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang siapa saja.
Oleh karena itu dalam rangka menghindari ISPA, upaya inti seperti perbaikan
kualitas lingkungan sangat perlu dilakukan. Selain itu, hal-hal lain yang
terkait upaya pencegahan ISPA juga perlu dilakukan agar proteksi terhadap
penularan ISPA semakin baik.
53
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. 2002. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit
Mutiara
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
http://125.160.76.194/bidang/yanmed/farmasi/Pharmaceutical/ISPA.pdf
(Diakses: 13 April 2013)
DepKes RI. 1991. Bimbingan Ketrampilan Dalam Penatalaksanaan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak. Jakarta
DepKes RI. 1992. Direktorat Jendral PPM & PLP. Pedoman
Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ispa). Jakarta
DepKes RI. 2000. Pedoman Pemberantasan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta
DepKes RI. 2001. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Jakarta
DepKes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta
IGN Ranuh, (1997). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. .
Surabaya : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada
Anak Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta : Pustaka Obor Populer
Mukono. 1997. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap
Gangguan Pernapasan. Jakarta
Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan
Penanggulangannya. Fakultas Kesehatan Masyrakat Universitas Sumatera
Utara. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-rasmaliah9.pdf (Diakses:
13 April 2013)
54
S Djaja, (2001). Determinan Prilaku Pencarian Pengobatan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. . - : Buletin Penelitian
Kesehatan
WHO (2007). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas
pelayanan kesehatan. WHO Interim Guidelines. Available from:
http://www.who.int/csr/resources/publications/csrpublications/en/index7.ht
ml (Diakses: 12 April 2013)
WHO (2008). Pengenalan dini, pelaporan, dan manajemen
pencegahan dan pengendalian infeksi ISPA yang berpotensi menimbulkan
kekhawatiran.
WHO. 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil
Negara Berkembang. Jakarta : EGC.
WHO. 2008. Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Available from:
http://www.who.int/csr/resource/publication/AMpandemicbahasa.pdf.
(Diakses: 13 April 2013)