You are on page 1of 35

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PADA PASIEN

DECOMPENSATIO CORDIS (GAGAL JANTUNG)



DISUSUN OLEH :
1. SANTI RAHAYU
2. WAHYU ROBBY PRATAMA
3. ROPI KURNIAWAN
4. RISKA INDARYANTI
5. M. JULIAN
6. DEDI PRIYO WIBOWO


KELOMPOK 1








PRODI D III KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
(STIKes) MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2013
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. memiliki peran yang
sangat penting dalam perkembangan peserta didik. Salah satu media yang dapat
mengasah dan mengembangkan pemikiran peserta didik dalam pelajaran adalah
makalah. Makalah ini merupakan suatu sumbangan pemikiran dari penulis untuk
dapat digunakan oleh pembaca.
Makalah ini disusun berdasarkan data-data yang diperoleh penulis dan
pendapat dari penulis. Penulis menyusun makalah ini dengan bahasa yang mudah
ditangkap oleh pembaca.


Pringsewu, Oktober 2013


Kelompok 1







iii

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
C. Metode Penulisan ............................................................................. 3
D. Sistematika Penulisan ....................................................................... 3
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian ......................................................................................... 4
B. Anatomi dan Fisiologi Jantung ........................................................ 5
C. Jenis-Jenis Gagal Jantung................................................................. 8
D. Etiologi ............................................................................................. 11
E. Patofisiologi ..................................................................................... 12
F. Manifestasi Klinis ............................................................................ 13
G. Komplikasi14
H. Pemeriksaan Penunjang.................................................................... 14
I. Faktor Resiko ................................................................................... 14
J. Pencegahan ....................................................................................... 15
K. Penatalaksanaan ............................................................................... 16
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian ........................................................................................ 18
B. Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 20
C. Perencanaan ...................................................................................... 21
D. Implementasi .................................................................................... 27
E. Evaluasi ............................................................................................ 28
BAB IVPENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... 30
B. Saran ................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dekompensasi kordis (DK) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu keadaan
dimana jantung tidak dapat mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang
ditandai oleh adanya suatu sindroma klinis berupa dispnu (sesak nafaS), fatik
(saat istirahat atau aktivitas), dilatasi vena dan edema, yang diakibatkan oleh
adanya kelainan struktur atau fungsi jantung.

Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat. Dimana jenis
penyakit gagal jantung yang paling tinggi prevalensinya adalah Congestive
Heart Failure (CHF). Di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000
penduduk yang berusia 25 tahun. Sedang pada anakanak yang menderita
kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90% sebelum
umur 1 tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 15 tahun.

Perlu diketahui, bahwa dekompensasi kordis pada bayi dan anak memiliki
segi tersendiri dibandingkan pada orang dewasa, yaitu :
1. Sebagian besar penyebab gagal jantung pada bayi dan anak dapat diobati
(potentially curable).
2. Dalam mengatasi gagal jantung tidak hanya berhenti sampai gejalanya
hilang, melainkan harus diteruskan sampai ditemukan penyebab dasarnya.
3. Setelah ditemukan penyebabnya, bila masih dapat diperbaiki maka harus
segera dilakukan perbaikan.
4. Lebih mudah diatasi dan mempunyai prognosis yang lebih baik daripada
gagal jantung pada orang dewasa.

Sementara itu, menurut Aulia Sani, penyakit gagal jantung meningkat dari
tahun ke tahun. Berdasarkan data di RS Jantung Harapan Kita, peningkatan
kasus dari penyakit gagal jantung ini pada tahun 1997 adalah 248 kasus,
kemudian melaju dengan pesat hingga mencapai puncak pada tahun 2000
2

dengan 532 kasus. Karena itulah, penanganan sedini mungkin sangat
dibutuhkan untuk mencapai angka mortalitas yang minimal terutama pada
bayi dan anak-anak.

Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah
tinggi, tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus),
kegemukan, dan stres. Akibat lanjut jika penyakit jantung tidak ditangani
maka akan mengakibatkan gagal jantung, kerusakan otot jantung hingga 40%
dan kematian.

Menurut data yang diperoleh penulis hingga sekarang penyakit jantung
merupakan pembunuh nomor satu (Sampurno,1993). WHO menyebutkan
rasio penderita gagal jantung di dunia adalah satu sampai lima orang setiap
1000 penduduk. Penderita penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan
mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di Nusantara
(www.depkes.go.id).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan dengan
masalah penyakit jantung.

2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang pengkajian dengan masalah penyakit
jantung.
b. Memperoleh gambaran tentang masalah dan diagnosa keperawatan
dengan masalah penyakit jantung.
c. Memperoleh gambaran tentang rencana keperawatan dengan masalah
penyakit jantung.
d. Melakukan tindakan keperawatan serta evaluasi proses tindakan
keperawatan dengan masalah penyakit jantung.
3

e. Melakukan evaluasi hasil yang dibahas melalui catatan perkembangan
dengan masalah penyakit jantung.
f. Memperoleh gambaran tentang faktor penunjang dan faktor
penghambat dalam penerapan asuhan keperawatan dengan masalah
penyakit jantung.

C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ilmiah ini penulis menggunakan metode deskriptif
yaitu metode ilmiah untuk menggambarkan hasil pengamatan secara
sistematis.

D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar penyakit.
Bab III : Tinjauan kasus yang merupakan asuhan keperawatan mencakup
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi,
dan evaluasi.
Bab IV : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.












4

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Pengertian
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk
mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr.
Ahmad ramali.1994)

Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi
pompa jantung (Tabrani, 1998; Price, 1995).

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan
(Carleton,P.F dan M.M. ODonnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).

Gagal jantung kongestif adalah keadaan yang mana terjadi bendungan
sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya
(Carleton,P.F dan M.M. ODonnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997).

Menurut Braunwald, gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis
adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.

Definisi alternatif menurut Packer, gagal jantung kongestif merupakan suatu
sindrom klinis yang rumit yang ditandai dengan adanya abnormalitas fungsi
ventrikel kiri dan kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan
intoleransi kemampuan kerja fisis (effort intolerance), retensi cairan, dan
memendeknya umur hidup (reduced longevity). Termasuk di dalam kedua
batasan tersebut adalah suatu spektrum fisiologi-klinis yang luas, mulai dari
5

cepat menurunnya daya pompa jantung (misalnya pada infark jantung yang
luas, takiaritmia atau bradikardia yang mendadak), sampai pada keadaan-
keadaan di mana proses terjadinya kelainan fungsi ini berjalan secara
bertahap tetapi progresif {misalnya pada pasien dengan kelainan jantung yang
berupa pressure atau. volume overload dan hal ini terjadi akibat penyakit pada
jantung itu sendiri, seperti hipertensi, kelainan katup aorta atau mitral dll).

Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung
tidak lagi mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, padahal
aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.

B. Anatomi dan Fisiologi Jantung
1. Anatomi Jantung
Beban Awal
Beban awal adalah derajat peregangan serabut miokardium pada akhir
pengisian ventrikel atau diastolik. Meningkatnya beban awal sampai titik
tertentu memperbanyak tumpang tindih antara filament-filamen aktin dan
miosin, sehingga kekuatan kontraksi dan curah jantung meningkat.
Hubungan ini dinyatakan dengan Hukum Starling, yaitu peregangan
serabut-serabut miokardium selama diastol akan meningkatkan kekuatan
kontraksi pada sistol (Carleton,P.F dan M.M. ODonnell, 1995).

Beban awal dapat meningkat dengan bertambahnya volume diastolik
ventrikel, misalnya karena retensi cairan, sedangkan penurunan beban
awal dapat terjadi pada diuresis. Secara fisiologis, peningkatan volume
akan meningkatkan tekanan pada akhir diastol untuk menghasilkan
perbaikan pada fungsi ventrikel dan curah jantung, namun pada ventrikel
yang gagal, penambahan volume ventrikel tidak selalu disertai perbaikan
fungsi ventrikel. Peningkatan tekanan yang berlebihan dapat
mengakibatkan bendungan paru atau sistemik, edema akibat transudasi
cairan dan mengurangi peningkatan lebih lanjut dari volume dan tekanan.
6

Perubahan dalam volume intrakardia dan perubahan akhir pada tekanan
bergantung pada kelenturan daya regang ruang-ruang jantung. Ruang
jantung yang sangat besar, daya regangnya dapat menampung perubahan
volume yang relative besar tanpa peningkatan tekanan yang bermakna.
Sebaliknya, pada ruang ventrikel yang gagal, yang kurang lentur,
penambahan volume yang kecil dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan yang bermakna dan dapat berlanjut menjadi pembendungan dan
edema ( Carleton,P.F dan M.M. ODonnell, 1995 ).

Kontraktilitas
Kontraktilitas menunjukkan perubahan-perubahan dalam kekuatan
kontraksi atau keadaan inotropik yang terjadi bukan karena perubahan-
perubahan dalam panjang serabut. Pemberian obat-obat inotropik positif
seperti katekolamin atau digoksin, akan meningkatkan kontraktilitas,
sedangkan hipoksia dan asidosis akan menekan kontraktilitas. Pada gagal
jantung terjadi depresi dari kontraktilitas miokardium ( Carleton,P.F dan
M.M. ODonnell, 1995 ).

Beban Akhir
Beban akhir adalah besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus
dicapai untuk mengejeksikan darah sewaktu sistolik. Menurut Hukum
Laplace , ada tiga variabel yang mempengaruhi tegangan dinding yaitu
ukuran atau radius intraventrikel, tekanan sistolik ventrikel dan tebal
dinding. Vasokonstriksi arteri yang meningkatkan tahanan terhadap ejeksi
ventrikel dapat meningkatkan tekanan sistolik ventrikel, sedangkan
retensi cairan dapat meningkatkan radius intraventrikel. Pemberian
vasodilator dan hipertrofi ventrikel sebagai konsekuensi lain dari gagal
jantung dapat mengurangi beban akhir ( Carleton,P.F dan M.M.
ODonnell, 1995 ).



7

2. Fisiologi Jantung
Fisiologi otot jantung
Terdiri dari tiga tipe otot jantung yang utama yaitu otot atrium, otot
ventrikel, dan serat otot khusus pengantar rangsangan, sebagai pencetus
rangsangan. Tipe otot atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang
sama seperti otot rangka dengan kontraksi otot yang lebih lama.
Sedangkan serat khusus penghantar dan pencetus rangsangan berkontraksi
dengan lemah sekali sebab serat-serat ini hanya mengandung sedikit serat
kontraktif malahan serat ini menghambat irama dan berbagai kecepatan
konduksi sehingga serat ini bekerja sebagai suatu sistem pencetus
rangsangan bagi jantung.

Fungsi umum otot jantung
Sifat Ritmisitas/otomatis
Otot jantung secara potensial dapat berkontraksi tanpa adanya rangsangan
dari luar. Jantung dapat membentuk rangsangan (impuls) sendiri. Pada
keadaan fisiologis, sel-sel miokardium memiliki daya kontraktilitas yang
tinggi.

Mengikuti hukum gagal atau tuntas
Bila impuls yang dilepas mencapai ambang rangsang otot jantung maka
seluruh jantung akan berkontraksi maksimal, sebab susunan otot jantung
merupakan suatu sinsitium sehingga impuls jantung segara dapat
mencapai semua bagian jantung. Jantung selalu berkontraksi dengan
kekuatan yang sama. Kekuatan berkontraksi dapat berubah-ubah
bergantung pada faktor tertentu, misalnya serat otot jantung, suhu, dan
hormon tertentu.

Tidak dapat berkontraksi tetanik
Refraktor absolut pada otot jantung berlangsung sampai sepertiga masa
relaksasi jantung, merupakan upaya tubuh untuk melindungi diri.

8

Kekuatan kontraksi dipengaruhi panjang awal otot
Bila seberkas otot rangka diregang kemudian dirangsang secara
maksimal, otot tersebut akan berkontraksi dengan kekuatan tertentu. Serat
otot jantung akan bertambah panjang bila volume diastoliknya bertambah.
Bila peningkatan diastolik melampaui batas tertentu kekuatan kontraksi
akan menurun kembali.

C. Jenis-Jenis Gagal Jantung
Manifestasi klinis gagal Jantung sangat beragam dan bergantung pada banyak
faktor antara lain etiologi kelainan Jantung, umur pasien, berat atau
ringannya, terjadinya secara mendadak atau berlangsung perlahan dan
menahun, ventrikel mana yang menjadi pencetus (bahkan pada fase siklus
Jantung mana terjadinya proses ini), serta faktor-faktor lain yang
mempercepat terjadi gagal Jantung.
1. Gagal Jantung Backward & Forward
Hipotesis backward failure pertama kali diajukan oleh James Hope pada
tahun 1832: apabila ventrikel gagal untuk memompakan darah, maka
darah akan terbendung dan tekanan di atrium serta vena-vena di
belakangnya akan naik. Hipotesis forward failure diajukan oleh
Mackenzie, 80 tahun setelah hipotesis backward failure. Menurut teori ini
manifestasi gagal Jantung timbul akibat berkurangnya aliran darah
(cardiac output) ke sistem arterial, sehingga terjadi pengurangan perfusi
pada organ-organ yang vital dengan segala akibatnya.

Kedua hipotesis tersebut saling melengkapi, serta menjadi dasar
patofisiologi gagal Jantung : Kalau ventrikel gagal mengosongkan darah
maka menurut hipotesis backward failure :
a. Isi dan tekanan (volume dan pressure) pada akhirfase diastolik (end-
diastolicpressure) meninggi.
b. Isi dan tekanan akan meninggi pada atrium di belakang ventrikel yang
gagal.
9

c. Atrium ini akan bekerja lebih keras (sesuai dengan hukum Frank
Starling).
d. Tekanan pada vena dan kapiler di belakang ventrikel yang gagal akan
meninggi.
e. Terjadi transudasi pada jaringan interstitial (baik pulmonal maupun
sistemik)

Akibat berkurangnya curah Jantung serta aliran darah pada jaringan/organ
yang menyebabkan menurunnya perfusi (terutama pada ginjal dengan
melalui mekanisme yang rumit), yang akan mengakibatkan retensi garam
dan cairan serta memperberat ekstravasasi cairan yang sudah terjadi.
Selanjutnya terjadi gejala-gejala gagal Jantung kongestif sebagai akibat
bendungan pada jaringan dan organ.

Kedua jenis kegagalan ini jarang bisa dibedakan secara tegas, karena
kalau gagal Jantung kongestif, pada kenyataannya, kedua mekanisme ini
berperan, kecuali pada gagal jantung yang terjadinya secara mendadak.
Contoh forward failure : gagal ventrikel kanan akut yang terjadi akibat
emboli paru yang masif, karena terjadinya peninggian isi dan tekanan
pada ventrikel kanan serta tekanan pada atrium kanan dan pembuluh
darah balik sistemik, tetapi pasien sudah meninggal sebelum terjadi
ekstravasasi cairan yang menimbulkan kongesti pada vena-vena sistemik.
Baik backward maupun forward failure dapat terjadi pada infark jantung
yang luas. Forward failure terjadi akibat berkurangnya output ventrikel
kiri dan renjatan kardiogenik dan yang akan menimbulkan manifestasi
berkurangnya perfusi jaringan/organ. Sedangkan backward failure terjadi
karena adanya output yang tidak sama (inequal) antara kedua ventrikel,
yang meskipun bersifat sementara berakibat terjadinya edema paru yang
akut.

Hipotesis backward dan forward failure yang klasik ini meskipun banyak
celah kelemahannya ditinjau dengan perkembangan konsep patofisiologi
10

gagal jantung saat ini, masih tetap dapat menjadi pegangan untuk
menjelaskan patogenesis gagal jantung terutama bagi para edukator.

2. Gagal Jantung Right-Sided dan Left-Sided
Penjabaran backward failure adalah adanya cairan bendungan di belakang
ventrikel yang gagal merupakan petanda gagal jantung pada sisi mana
yang terkena. Adanya kongesti pulmonal pada infark ventrikel kiri,
hipertensi dan kelainan-kelainan pada katup aorta serta mitral
menunjukkan gagal jantung kiri (left heart failure).

Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama, cairan yang terbendung
akan berakumulasi secara sistemik : di kaki, asites, hepatomegali, efusi
pleura dll, dan menjadikan gambaran klinisnya sebagai gagal jantung
kanan (right heart failure).

3. Gagal Jantung Low-Output dan High-Output
Gagal Jantung golongan ini menunjukkan bagaimana keadaan curah
Jantung (tinggi atau rendahnya) sebagai penyebab terjadinya manifestasi
klinis gagal Jantung. Curah Jantung yang rendah pada penyakit jantung
apa pun (bawaan, hipertensi, katup, koroner, kardiomiopati) dapat
menimbulkan low-output failure. Sedangkan pada penyakit-penyakit
dengan curah jantung yang tinggi misalnya pada tirotoksikosis, beri-beri,
Pagets, anemia dan fistula arteri-vena, gagal jantung yang terjadi
dinamakan high-output failure.

4. Gagal Jantung Akut dan Menahun
Manifestasi klinis gagal jantung di sini hanya menunjukkan saat atau
lamanya gagal jantung terjadi atau berlangsung. Apabila terjadi
mendadak, misalnya pada infark jantung akut yang luas, dinamakan gagal
jantung akut (biasanya sebagai gagal jantung kiri akut). Sedangkan pada
penyakit-penyakit jantung katup, kardiomiopati atau gagal jantung akibat
infark jantung lama, terjadinya gagal jantung secara perlahan atau karena
11

gagal jantungnya bertahan lama dengan pengobatan yang diberikan,
dinamakan gagal jantung menahun.

5. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Secara implisit definisi gagal jantung adalah apabila gagal jantung yang
terjadi sebagai akibat abnormalitas fungsi sistolik, yaitu ketidak mampuan
mengeluarkan darah dari ventrikel, dinamakan sebagai gagal jantung
sistolik. Jenis gagal jantung ini adalah yang paling klasik dan paling
dikenal sehari-hari, penyebabnya adalah gangguan kemampuan inotropik
miokard. Sedangkan apabila abnor-malitas kerja jantung pada fase
diastolik, yaitu kemampuan pengisian darah pada ventrikel (terutama
ventrikel kiri), misalnya pada iskemia jantung yang mendadak, hipertrofi
konsentrik ventrikel kiri dan kardiomiopati restriktif, gagal jantung yang
terjadi dinamakan gagal jantung diastolik. Petanda yang paling nyata pada
gagal jantung di sini adalah : fungsi sistolik ventrikel biasanya normal
(terutama dengan pengukuran ejection fraction misalnya dengan
pemeriksaan ekokardiografi).

D. Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis
adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan
beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir
meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomyopati.

Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisisan ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan
pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade
jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi
adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan
12

penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi
protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).

E. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
curah sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon
terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat :
1. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik.
2. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin
aldosteron, dan
3. Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk
mempertahankan curah jantung.

Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya
tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka
kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif. Menurunnya curah
sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik
kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik merangang
pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan medulla
adrenal. Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung. Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk
menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan
mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti
kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.

Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa :
1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus.
2. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus.
13

3. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I.
4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
5. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
6. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.

Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan
jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium; tergantung dari jenis beban
hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung,sarkomer dapat bertambah
secara parallel atau serial. Respon miokardium terhadap beban volume,
seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya
tebal dinding.

F. Manifestasi Klinis
Dampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau
sistem pulmonal antara lain :
1. Lelah
2. Angina
3. Cemas
4. Oliguri. Penurunan aktifitas GI
5. Kulit dingin dan pucat

Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balikdari ventrikel kiri, antara
lain :
1. Dyppnea
2. Batuk
3. Orthopea
4. Reles paru
5. Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru.


14

Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :
1. Edema perifer
2. Distensi vena leher
3. Hati membesar
4. Peningkatan central venous pressure (CPV)

G. Komplikasi
Komplikasi dari decompensatio cordis adalah:
1. Syok kardiogenik.
2. Episode tromboemboli.
3. Efusi dan tamporiade pericardium

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial
akut, dan guna mengkaji kompensaai sepperti hipertropi ventrikel
2. Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau
nekrotik pada penyakit jantung kotoner
3. Film X-ray thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan
pembesaran jantung
4. esho-cardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri
polmonal.utuk menyajikan data tentang fungsi jantung

I. Faktor Resiko
1. Kebiasaan merokok
Yaitu bahwa rokok mengandung nikotin dan zat beracun yang berbahaya
dan dapat merusak fungsi jantung. Nikotin pada rokok dapat
meningkatkan faktor resiko kerusakan pembuluh darah dengan
mengendapnya kolesterol pada pembuluh darah jantung koroner, sehingga
jantung bekerja lebih keras.



15

2. Hipertensi
Yaitu meningkatnya tekanan darah sistolik karena pembuluh darah tidak
elastis serta naiknya tekanan diastolic akibat penyempitan pembuluh
darah tersebut, aliran darah pada pembuluh koroner juga naik.
3. Obesitas
Yaitu penumpukan lemak tubuh, sehingga menyebabkan kerja jantung
tida normal dan menyebabkan kelainan.
4. Kolesterol tinggi
Yaitu mengendapnya kolesterol dalam pembuluh darah jantung koroner
menyebabkan kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh
menjadi lebih berat.
5. Diabetes Mellitus
Karena kadar glukosa yang berlebih bisa menimbulkan penyakit yang
agak berat dan bersifat herediter.
6. Ketegangan jiwa/stress
Stres terjadi bias meningkatkan aliran darah dan penyempitan pada
pembuluh darah koroner.
7. Keturunan
8. Kurang makan sayur dan buah

J. Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi hal yang diutamakan,
terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
1. Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard.
2. Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark
ulangan.
3. Pengobatan hipertensi yang agresif.
4. Koreksi kelainan kongenital serta penyakit katup jantung.
5. Memerlukan pembahasan khusus.
6. Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari.

16

K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya
untuk menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita
yang potentially curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi
menjadi :
1. Non medikamentosa.
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat,
dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi
benarbenar dengan tirah baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen
yang relatif meningkat.

Sering tampak gejalagejala jantung jauh berkurang hanya dengan
istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan rendah
garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan gizi
kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan
sebanyak 80100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.

2. Medikamentosa
Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral
maupun parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan
gagal jantung. Sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik).
ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil
dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta
dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-
inhibitor tersebut diberikan.

Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau
SVT lainnya) dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah
kekuatan dan kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum
memberikan hasil yang memuaskan. Aldosteron antagonis dipakai untuk
memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada
17

beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan
pemberian jenis obat ini.

Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N
atriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat
Bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun
pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai alat
pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-
iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun
mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih
terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat
ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih
memerlukan penelitian lanjut.

3. Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
a. Revaskularisasi (perkutan, bedah).
b. Operasi katup mitral.
c. Aneurismektomi.
d. Kardiomioplasti.
e. External cardiac support.
f. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.
g. Implantable cardioverter defibrillators (ICD).
h. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
i. Ultrafiltrasi, hemodialisis.







18

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Aktivitas dan Istirahat
o Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan
berdebar.
Mengeluh sulit tidur (keringat malam hari).
o Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja,
takpineu, dispneu.
2. Sirkulasi
o Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi,
kongenital: kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung
dan palpitasi, serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat
anemia, riwayat shock hipovolema.
o Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan
yang keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.
3. Integritas Ego
o Tanda: Menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar.
Takut akan kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna,
kepribadian neurotik.
4. Makanan / Cairan
o Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan
diuretik.
o Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan
bising terdengar krakela dan mengi.
5. Neurosensoris
o Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing
o Tanda: Kelemahan
6. Pernafasan
o Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.
19

o Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak
darah, gelisah.
7. Keamanan
o Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi
o Tanda: Kelemahan tubuh
8. Penyuluhan / pembelajaran
o Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.
o Tanda: Menunjukan kurang informasi.

Menurut Brunner & Suddarth, 2002:
Fokus pengkajian keperawatan untuk pasien gagal jantung ditujukan untuk
mengobservasi adanya tanda-tanda dan gejala kelebihan cairan paru dan tanda
serta gejala sistemis Semua tanda yang mengarah kesana harus dicatatt dan
dilaporkan.

Pernapasan. Paru harus diauskultasi dengan interval sesering mungkin untuk
menentukan ada atau tidak adanya krekel dan wheezing. Krekel terjadi oleh
gerakan udara melalui cairan, dan menunjukkan terjadinya kongesti paru.
Frekuensi dan dalamnya pernapasan juga harus dicatat.

Jantung. Jantung diauskultasi mengenai adanya bunyi jantung S3 atau S4.
Adanya tanda tersebut berarti bahwa pompa mulai mengalami kegagalan, dan
pada setiap denyutan, darah yang tersisa didalam ventrikel makin banyak.
Frekuensi dan irama juga harus dicatat. Frekuensi yang terlalu cepat
menunjukkan bahwa ventrikel memerlukan waktu yang lebih banyak untuk
pengisian, serta terdapat stagnasi darah yang terjadi di atria dan pada akhirnya
juga di paru.

Penginderaan/Tingkat Kesadaran. Bila volume darah dan cairan dalam
pembuluh darah meningkat, maka darah yang beredar menjadi lebih encer
dan kapasitas transpor oksigen menjadi berkurang. Otak tidak dapat
bertoleransi terhadap kekurangan oksigen dan pasien mengalami konfusi.
20

Perifer. Bagian bawah tubuh pasien harus dikaji akan adanya edema. Bila
pasien duduk tegak, maka yang diperiksa adalah kaki dan tungkai bawah; bila
pasien berbaring telentang, yang dikaji adalah sakrum dan punggung untuk
melihat adanya edema. Jari dan tangan kadang juga bisa mengalami edema.
Pada kasus khusus gagal jantung, pasien dapat mengalami edema periorbital,
dimana kelopak mata tertutup karena bengkak.

Hati diperiksa juga akan adanya hepatojugular refluks (HIR). Pasien diminta
bernapas secara normal pada saat dilakukan penekanan pada hati selama 30
sampai 60 detik. Bila distensi vena leher meningkat lebih dari 1 cm,, maka tes
ini positif menunjukkan adanya peningkatan tekanan vena.

Distensi Vena Juguler. JVD Juga harus dikaji. Ini dilakukan dengan
mengangkat pasien dengan sudut sampai 45. Jarak antara sudut Louis dan
tingginya distensi vena juguler ditentukan. (Sudut Louis adalah hubungan
antara korpus sternum dengan manubrium). Jarak yang lebih dari 3 cm
dikatakan tidak normal. Ingat bahwa ini hanya perkiraan dan bukan
pengukuran pasti.

Haluaran Urin. Pasien bisa mengalami oliguria (berkurangnya haluaran urin
kurang dari 100 dan 400 ml/24 jam) atau anuria (haluaran urin kurang dari
100 ml/24 jam). Maka penting sekali mengukur haluaran sesering mungkin
untuk membuat dasar pengukuran efektivitas diuretik. Masukan dan haluaran
harus dicatat dengan baik dan pasien ditimbang setiap hari, pada saat yang
sama dan pada timbangan yang sama.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa Utama:
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan dispnu akibat
turunnya curah jantung.
b. Kecemasan berhubungan dengan kesulitan napas dan kegelisahan
akibat oksigenasi yang tidak adekuat.
21

c. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan stasis vena.
d. Potensial kurang pengetahuan mengenai program perawatan diri
berhubungan dengan tidak bisa menerima perubahan gaya hidup yang
dianjurkan.

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.
b. Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri,
peningkatan atrium dan kongesti vena.

C. Perencanaan
Perencanaan menurut Brunner & Suddarth, 2002:
Tujuan. Tujuan utama mencakup bertambahnya istirahat, penghilangan
kecemasan, pencapaian perfusi jaringan yang normal, pemahaman mengenai
program perawatan diri dan tidak terjadi komplikasi.

Diagnosa Keperawatan 1) :
Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil

Tujuan :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal,
PO2 80-100 mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 3 1,2

Tindakan:
o Kaji kerja pernafasan (frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya)
o Berikan tambahan O2 6 lt/mnt
o Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA)
o Koreksi kesimbangan asam basa
o Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi
fowler)
22

o Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam
o Lakukan balance cairan
o Batasi intake cairan
o Evaluasi kongesti paru lewat radiografi
o Kolaborasi :

-0-0
2-1-0

Rasional
O Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas.
o Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.
o Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak
adekuat tidaknya proses pertukaran gas.
o Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan.
o Meningkatkan ekpansi paru
o Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga
berdampak pada timbulnya hipoksia.
o Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi
timbulnya odem sehingga dapat mecegah ganggun pertukaran gas.
o Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.

Diagnosa Keperawatan 2) :
Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan
atrium dan kongesti vena.

Tujuan :
Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60),
Frekwensi jantung normal.
Tindakan
o Pertahankan pasien untuk tirah baring
o Ukur parameter hemodinamik
23

o Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.
o Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4
o Periksa BGA dan saO2
o Pertahankan akses IV
o Batasi Natrium dan air
o Kolaborasi :

0-0

Rasional
o Mengurangi beban jantung
o Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui
PCWP, CVP sebagai indikator peningkatan beban kerja jantung.
o Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat
mempengaruhi curah jantung.
o Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole.
Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer.
o Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.
o Mencegah peningkatan beban jantung
o Meningkatkan perfusi ke jaringan
o Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat
menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung.

Intervensi Keperawatan menurut Brunner & Suddarth, 2002:
Bertambahnya Istirahat. Pasien perlu sekali beristirahat baik secara fisik
maupun emosional. Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan
tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring
juga merangsang diuresis karena berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal.
Istirahat juga mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen.
Frekuensi jantung menurun, yang akan memperpanjang periode diastole
pemulihan sehingga memperbaiki efisiensi kontraksi jantung.
24

Posisi. Kepala tempat tidur harus dinaikkan 20 sampai 30 cm (8-10 inci) atau
pasien didudukkan di kursi. Pada posisi ini aliran balik vena ke jantung
(preload) dan paru berkurang, kongesti paru berkurang, dan penekanan hepar
ke diafragma menjadi minimal. Lengan bawah harus disokong dengan bantal
untuk mengurangi kelelahan otot bahu akibat berat lengan yang menarik
secara terus-menerus.

Pasien yang dapat bernapas hanya pada posisi tegak (ortopnu) dapat
didudukkan di sisi tempat tidur dengan kedua kaki disokong kursi, kepala dan
lengan diletakkan di meja tempat tidur dan vertebra lumbosakral disokong
dengan bantal.

Bila terdapat kongesti paru, maka lebih baik pasien didudukkan di kursi
karena posisi ini dapat memperbaiki perpindahan cairan dari paru. Edema
yang biasanya terdapat di bagian bawah tubuh, berpindah ke daerah sakral
ketika pasien dibaringkan di tempat tidur.

Penghilangan Kecemasan. Karena pasien yang mengalami gagal jantung
mengalami kesulitan mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka
mereka cenderung gelisah dan cemas karena sulit bernapas. Gejala ini
cenderung memburuk pada malam hari.

Menaikkan kepala tempat tidur dan membiarkan lampu menyala di malam
hari sering sangat membantu. Kehadiran anggota keluarga cukup memberi
rasa aman pada kebanyakan pasien. Oksigen dapat diberikan selama stadium
akut untuk mengurangi kerja pernapasan dan untuk meningkatkan
kenyamanan pasien. Morfm dengan dosis kecil dapat diberikan untuk dispnu
yang berat dan hipnotis juga dapat diberikan untuk membantu pasien tidur.
o Pada pasien dengan kongesti hepatik, hati tidak mampu melakukan proses
detoksifikasi racun obat-obatan dalam jangka waktu yang normal. Oleh
sebab itu obat-obat harus diberikan secara hati-hati.
25

o Hipoksia serebral yang disertai retensi nitrogen merupakan masalah pada
gagal jantung dan dapat menyebabkan pasien bereaksi negatif terhadap
penenang dan hipnotik, ditandai dengan adanya konfusi dan peningkatan
rasa cemas.
o Hindari penggunaan ikatan karena dapat menjerat, yang menyebabkan
kerja jantung meningkat.

Pasien yang tidak dapat tidur di tempat tidur di malam hari dapat duduk
dengan nyaman di kursi. Posisi ini menyebabkan sirkulasi serebral maupun
sistemik membaik, sehingga kualitas tidur menjadi lebih baik.

Menghindari Stres. Pasien yang sangat cemas tidak akan mampu beristirahat
dengan cukup. Stres emosional mengakibatkan vasokonstriksi, tekanan arteri
meningkat, dan denyut jantung cepat. Memberikan kenyamanan fisik dan
menghindari situasi yang cenderung menyebabkan kecemasan dan agitasi
dapat membantu pasien untuk rileks. Istirahat dilanjutkan beberapa hari
hingga beberapa minggu sampai gagal jantung dapat dikontrol.

Memperbaiki Perfusi Jaringan Normal. Penurunan perfusi jaringan yang
terjadi pada gagal jantung adalah akibat tingkat sirkulasi oksigen yang tidak
adekuat dan stagnasi darah di jaringan perifer. Latihan harian ringan dapat
memperbaiki aliran darah ke jaringan perifer. Oksigenasi yang adekuat dan
diuresis yang sesuai juga dapat memperbaiki perfusi jaringan. Diuresis yang
efektif dapat mengurangi pengenceran darah, sehingga meningkatkan
kapasitas pengangkutan oksigen dalam sistem vaskuler. Istirahat yang
memadai sangat penting untuk memperbaiki perfusi jaringan yang adekuat.

o Bahaya yang dapat timbul pada tirah baring, adalah dekubitus (terutama
pada pasien edema), flebotrombosis, dan emboli pulmoner. Perubahan posisi,
napas dalam, kaus kaki elastik, dan latihan tungkai semuanya dapat
memperbaiki tonus otot, sehingga membantu aliran balik vena ke jantung.

26

Penyuluhon Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Setelah gagal
jantung dapat terkontrol, pasien dibimbing untuk secara bertahap kembali ke
gaya hidup dan aktivitas sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan
hidup sehari-hari harus direncanakan untuk meminimalkan periode apnu dan
kelelahan. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan hubungan
interpersonal biasanya harus dilakukan. Setiap aktivitas yang menimbulkan
gejala harus dihindari atau dilakukan adaptasi. Pasien dibantu untuk
mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara untuk
menyelesaikannya.

Biasanya pasien sering kembali ke klinik dan rumah sakit akibat kekambuhan
episode gagal jantung. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan masalah
psikologis, sosiologis dan finansial tetapi beban fisiologis pasien akan
menjadi lebih serius. Organ tubuh tentunya akan rusak. Serangan berulang
dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, pembesaran limpa dan
ginjal, dan bahkan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen selama episode
akut.

Memberikan penyuluhan kepada pasien dan melibatkan pasien dalam
implementasi program terapi akan memperbaiki kerjasama dan kepatuhan.
Kebanyakan kekambuhan gagal jantung terjadi karena pasien tidak mematuhi
terapi yang dianjurkan, seperti tidak mampu melaksanakan terapi pengobatan
dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut
medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan dan tidak dapat mengenali
gejala kekambuhan.

Pasien harus dubantu untuk memahami bahwa gagal jantung dapat dikontrol.
Menyusun jadwal tindak lanjut medis secara teratur, menjaga berat badan
yang stabil, membatasi asupan natrium, pencagahan infeksi, menghindari
bahan berbahaya seperti kopi, tembakau, dan menghindari latihan yang tidak
teratur dan berat semuanya membantu mencegah awitan gagal jantung. Pada
pasien denga penyakit kattup jantung, maka pembedahan untuk memperbaiki
27

defek pada saat yang tepat dapat mempertahankan jantung dan mencegah
kegagalan.

Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek :
mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi
kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor
pencetus dan penyakit yang mendasari.

Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi
aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet
rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi
stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban
awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat,
atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obat vasodilator,
seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan
obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng dan
Sitompul, 2003).

D. Implementasi
Implementasi ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan
yang telah disusun / ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pasien secara optimal dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu
sendiri ataupun perawat secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan
anggota tim kesehatan lainnya seperti ahli gizi dan fisioterapis. Perawat
memilih intervensi keperawatan yang akan diberikan kepada pasien. Berikut
ini metode dan langkah persiapan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan
yang dapat dilakukan oleh perawat :
1. Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan
2. Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan
3. Menyiapkan lingkungan terapeutik
4. Membantu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
28

5. Memberikan asuhan keperawatan langsung
6. Mengkonsulkan dan memberi penyuluhan pada klien dan keluarganya.

Implementasi membutuhkan perawat untuk mengkaji kembali keadaan klien,
menelaah, dan memodifikasi rencana keperawatn yang sudah ada,
mengidentifikasi area dimana bantuan dibutuhkan untuk
mengimplementasikan, mengkomunikasikan intervensi keperawatan.

Implementasi dari asuhan keperawatan juga membutuhkan pengetahuan
tambahan keterampilan dan personal. Setelah implementasi, perawat
menuliskan dalam catatan klien deskripsi singkat dari pengkajian
keperawatan, Prosedur spesifik dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan atau juga perawat bisa mendelegasikan implementasi pada
tenaga kesehatan lain termasuk memastikan bahwa orang yang didelegasikan
terampil dalam tugas dan dapat menjelaskan tugas sesuai dengan standar
keperawatan.

E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Evaluasi merupakan proses yang dilakuakn untuk menilai pencapaian tujuan
atau menilai respon klien terhadap tindakan leperawatan seberapa jauh tujuan
keperawatan telah terpenuhi.

Pada umumnya evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi kuantitatif dan
evaluasi kualitatif. Dalam evalusi kuantitatif yang dinilai adalah kuatitas atau
jumlah kegiatan keperawatan yang telah ditentukan sedangkan evaluasi
kualitatif difokoskan pada masalah satu dari tiga dimensi struktur atau
sumber, dimensi proses dan dimensi hasil tindakan yang dilakukan.

Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data keperawatan pasien.
2. Menafsirkan (menginterpretasikan) perkembangan pasien.
29

3. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan
tindakan dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar
normal yang berlaku.

Hasil yang diharapkan:
1. Mengalami penurunan kelelahan dan dispnea.
a. Mampu beristirahat secara adekuat baik fisik maupun emosional.
b. Berada pada posisi yang tepat yang dapat mengurangi kelelahan dan
dispnu.
c. Mematuhi aturan pengobatan.
2. Mengalami penurunan kecemasan.
a. Menghindari situasi yang menimbulkan stress.
b. Tidur nyenyak di malam hari.
c. Melaporkan penurunan stres dan kecemasan.
3. Mencapai perfusi jaringan yang normal.
a. Mampu beristirahat dengan cukup.
b. Melakukan aktivitas yang memperbaiki aliran balik vena; latihan
harian sedang; rentang gerak ekstremitas aktif bila tidak bisa berjalan
atau harus berbaring dalam waktu lama, mengenakan kaus kaki
penyokong.
c. Kulit hangat dan kering dengan warna normal.
d. Tidak memperlihatkan edema perifer.
4. Mematuhi aturan perawatan diri.







30

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui, bahwa penyakit dekompensasi
kordis masih merupakan masalah yang memiliki tingkat mortalitas yang
tinggi terutama pada bayi dan anak, jika tidak ditangani dengan baik.

Gagal jantung adalah kelainan patofisiologik yang mana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan
akibat dari meningkatnya beban awal atau beban akhir atau menurunnya
kontraktilitas miokard.

Penanganan dari gagal jantung memerlukan perhitungan serta pertimbangan
yang tepat agar tidak memperburuk keadaan jantung dari penderita. Selain itu
edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan sangatlah penting terutama
bagi orang tua dan keluarga pasien agar dapat membantu memaksimalkan
proses penyembuhan dan menurunkan angka mortalitas. Istirahat serta
rehabilitasi, pola diet, kontrol asupan garam, air, monitor berat badan adalah
caracara yang praktis untuk menghambat progresifitas dari penyakit ini.
Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
memerlukan perhatian khusus. Konseling mengenai obat, baik khasiat
maupun efek samping.

Transplantasi jantung sebagai alternatif lain memberikan tingkat kesembuhan
yang cukup tinggi, 84% bertahan hidup sampai lima tahun dan 70% bertahan
sampai 10 tahun. Hanya kendalanya pada fasilitas yang rumit dan biaya
transplantasi yang mahal. Negara-negara tertentu saja yang dapat melakukan
transplantasi seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia.


31

B. Saran
Saran sesuai dengan masalah yang telah disimpulkan oleh penulis, pada akhir
makalah penulis memberikan saran bahwa untuk penaggulangan penyakit
decompensatio cordis, masyarakat harus mengurangi kebiasaan merokok,
pengurangan makanan berkolesterol tinggi, makanan berlebih yang
menyebabkan obesitas, perbanyak makan sayur dan buah, kurangi stress dan
lainnya yang telah tertulis dalam makalah guna memperkecil resiko
decompensatio cordis.
























32

DAFTAR PUSTAKA

Gofir Abdul. 2003. Diagnosa dan Terapi kedokteran. Salemba Medika: Jakarta
Suyono Selamet. 2001. Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi ketiga.Balai Penerbit
FKUI: Jakarta
Dianec Buughman. 1997. Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Baker WF. 1989. Clinical of disseminated intravascular coagulation syndrome.
Balai Penerbit FKUI: Jakarta
http://yulidwitratiwi.wordpress.com/2010/01/19/asuhan-keperawatan-pada
decompensatio-cordis/
http://askep-asuhankeperawatan.blogspot.com/2009/07/askep-decompensasi-
cordis.html

You might also like