You are on page 1of 11

DI SUSUN OLEH :

ANWAR FAUZI

0943050003

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 45 JAKARTA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Memahami dan mengamalkan Alquran dengan merujuk pada konteks perilaku Rasulullah
sebagai teladan yang sempurna, merupakan bagian dari upaya setiap muslim yang ingin
mengaktualisasikan iman dan takwanya secara nyata. Merasakan kebahagiaan tiada tara bagi
seorang muslim untuk meneladani sikap dan perilaku Rasulullah saw. SIFAT singkatan dari
shiddiq, istiqamah,fathanah,amanah, dan tabliq. Tentu saja akhlak beliau tidak dapat dibatasi
pada lima kata tersebut karena beliau adalah bentuk hidup dari aktualisasi Alquran yang sangat
multidimensi dan sangat luas batasannya.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Khusus

Sebagai tugas karya tulis mata kuliah pendidikan agama islam.

1.2.2 Tujuan Umum

Sebagai acuan atau panduan agar sebagai manusia yang beragama dapat memiliki sikap dan sifat
yang terpuji sebagai cerminan dari akhlak-akhlak mulia Rasulullah.

BAB II

PEMBAHASAN

3. 1 AKIDAH SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN AKHLAK

Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah akidah yang benar terhadap alam
dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari akidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu, jika
seseorang berakidah dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu
pula sebaliknya, jika akidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak benar.
Akidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga
lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui Sang Penciptanya dengan benar, niscaya ia
akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin
menjauh atau bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun yang dapat menyempurnakan akidah yang benar terhadap Allah adalah berakidah
dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para
Rasul dan percaya kepada Rasul-rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan amanah
dalam menyampaikan risalah Tuhan Mereka.

Keyakinan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, dan para Rasul-rasul-Nya berserta syariat
yang mereka bawa tidak akan dapat mencapai kesempurnaan kecuali jika disertai dengan
keyakinan akan adanya hari Ahkir dan kejadian-kejadian yang menggiringnya seperti hari
kebangkitan, pengmpulan, perhitungan amal dan pembalasan bagi yang taat serta yang durhak
dengan masuk surga atau masuk neraka.

Di samping itu, akidah yang benar kepada Allah harus diikuti pula dengan akidah atau
kepercayaan yang benar terhadap kekuatan jahat dan setan. Merekalah yang mendorong manusia
untuk durhaka kepada Tuhannya. Mereka menghiasi manusia dengan kebatilan dan syahwat.
Merekalah yang merusak hubungan baik yang telah terjalin di antara sesamanya. Demikianlah
tugas –tugas setan sesuai dengan yang telah digariskan Allah dalam penciptaannya, agar dia
dapat memberikan pahala kepada orang-orang yang tidak mengikuti setan dan menyiksa orang
yang menaatinya. Dan semua ini berlaku setelah Allah memerpingatkan umat manusia dan
mengancam siapa saja yang mematuhinya setan tersebut. Pendidikan akhlak yang bersumber dari
kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang harus diikuti oleh manusia. Mereka harus
mempraktikannya dalam kehidupan mereka, karena hanya inilah yang akan mengantarkan
mereka mendapatkan ridha Allah dan akan membawa mereka mendapatkan balasan kebaikan
dari Allah.

Ketidakberesan dan adanya keresahan yang selalu menghiasi kehidupan manusia timbul
sebagai akibat dari penyelewengan terhadap akhlak –akhlak yang telah diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Penyelewengan ini tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada kesalahan dalam
berakidah, baik kepada Allah. Malikat, rasul, kitab-kitab-Nya maupun hari Akhir.
Untuk menjaga kebenaran pendidikan akhlak dan agar seseorang selalu dijalan Allah yang lurus,
yaitu jalan yang sesuai dengan apa yang telah digariskan-Nya, maka akidah harus dijadikan dasar
pendidikan akhlak manusia.

3.2 DEFINISI AKHLAK

1. Menurut Imam Abu Hamid Al-Gazali

Kata al-khalq ‘Fisik’ dan al-khuluq ‘akhlak’ adalah dua kata yang sering dipakai
bersaman. Seperti redaksi bahasa arab ini, fulaan husnu al-khalq wa al-khuluq yang artinya “si
fulan baik lahirnya juga batinnya”. Sehingga yang dimaksud dengan kata “al-khalaq” adalah
bentuk lahirnya. Sedangkan al-khuluq adalah bentuk batinnya.

Hal ini karena manusia tersusun dari fisik yang dapat dilihat dengan mata kepala, dan
dari ruh yang dapat ditangkap dengan batin. Masing-masing dari keduanya memiliki bentuk dan
gambaran, ada yang buruk ada pula yang baik. Dan ruh yang ditangkap oleh mata batin itu lebih
tinggi nilainya dari fisik yang ditangkap dengan penglihatan mata. Yang dimaksud dengan ruh
dan jiwa di sini adalah sama.

Kata al-khuluq merupakan suatu sifat yang terpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir
perubahan-perubahan dengan mudah tanbpa memikirkan dan merenung terlebih dahulu.
Jika sifat yang tertanam itu darinya terlahir perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut rasio
dan syariat, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Sedangkan jika yang terlahir adalah
perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang buruk.
Al-khuluq adalah suatu sifat jiwa dan gambaran batinnya. Dan sebagaimana halnya keindahan
bentuk lahir manusia secara mutlak tak dapat terwujud hanya dengan keindahan dua mata,
dengan tanpa hidung, mulut dan pipi. Sebaliknya, semua unsur tadi harus indah sehingga
terwujudlah keindahan lahir manusia itu. Demikian juga, dalam batin manusia ada empat rukun
yang harus terpenuhi seluruhnya sehingga terwujudlah keindahan khuluq “akhlak”. Jika keempat
rukun itu terpenuhi, indah dan saling bersesuaian, maka terwujudlah keindahan akhlak itu.
Keempat rukun itu antara lain:

1)Kekuatan ilmu

2)Kekuatan marah

3)Kekuatan syahwat

4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi

1) Kekuatan Ilmu

Keindahan dan kebaikannya adalah dengan membentuknya hingga menjadi mudah


mengetahui perbedaan antara juur dan dusta dalam ucapan, antara kebenaran dan kebatilan
dalam beraqidah, dan antara keindahan dan keburukan dalam perbuatan.
Jika kekuatan ini telah baik, maka lahirlah buak hikmah, dan hikmah itu sendiri adalah puncak
akhlak yang baik. Seperti difirmankan Allah SWT.,
“…..Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak ….” (Al-Baqarah: 269).

2) Kekuatan marah

Keindahannya adalah jika mengeluarkan marah itu dan penahannya sesuai tuntutan
hikmah.

3) Kekuatan syahwat

Keindahan dan kebaikannya adalah jika ia berada di bawah perintah hikmah. Maksudnya
perintah akal dan syariat.

4) Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi

Adalah kekuatan dalam mengendalikan syahwat dan kemarahan di bawah perintah akal
dan syariat.

Perumpamaan akal adalah seperti seorang pemberi nasihat dan pemberi petunjuk
Kekuatan keadilan adalah kemampuan, dan perumpamaannya adalah seperti pihak yang menjadi
pelaksana dan pelaku bagi perintah akal.

Dan kemarahan adalah tempat yang padanya dilaksanakan perintah tadi itu.
Perumpamaannya adalah seperti anjing pemburu, yang perlu dilatih, sehingga gerak-geriknya
sesuai dengan perintah, bukan sesuai dengan dorongan syahwat dirinya. Sementara
perumpamaan syahwat adalah seperti kuda yang ditunggangi untuk mencari hewan buruan, yang
terkadang jinak dan menuruti perintah, dan terkadang pula binal.

Siapa yang dapat mewujudkan kesimbangan unsur-unsur tadi, ia pun menjadi sosok yang
berakhlak baiks secara mutlak. Sementara orang yang hanya dapat mewujudkan keseimbangan
sebagian unsur itu saja, maka ia menjadi orang yang berakhlak baik jika dilihat pada segi yang
baik itu saja, seperti orang yang sebagian wajahnya indah, sementara sebagian lainnya buruk.
Keindahan kekuatan kemarahan dan keseimbangannya digambarkan dengan keberanian
Keindahan kekuatan syahwat dan keseimbangannya digambarkan dengan sifat iffah menjaga
kesucian diri

Jika kekuatan marah seseorang cenderung ke arah bertambah maka ia dinamakan dengan
tahwwur ‘sembrono’. Sedangkan, jika cenderung melemah dan berkurang maka dinamakan
pengecut. Jika kekuatan syahwat cenderung bertambah maka ia dinamakan serakah, sedangkan
jika cenderung melemah dan berkurang dinamakan statis.
Yang terpuji adalah sikap seimbang yang merupakan keutamaan, sedangkan dua sikap
yang cenderung bertambah dan melemah adalah dua hal yang tercela. Sedangkan keadilan, jika
ia terluput maka ia tak mempunyai dua sisi ekstrem, berlebihan atau kurang, tapi ia mempunyai
satu lawan dan antonimnya, yaitu kezaliman.

Sementara hikmah, tindakan menguranginya ketika menggunakannya dalam perkara-


perkara yang tidak baik dinamakan kebusukan dan kerendahan. Sementara tindakan berlebihan
padanya dinamakan kedunguan. Maka sikap pertengahannyalah yang dinamakan dengan
hikmah. Dengan demikian, pokok-pokok utama akhlak ada empat, yaitu: Hikmah, keberanian,
iffah, menjaga kesucian diri, dan keadilan.

Hikmah adalah kondisi kekuatan kemarahan yang tunduk kepada akal, dalam maju dan
mundurnya. Kesucian diri adalah melatih kekuatan syahwat dengan kendali akal dan syariat.
Keadilan adalah kondisi jiwa dan kekuatannya memimpin kemarahan dan syahwat, dan
membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan tuntutan hikmah, juga memegang kendalinya
dalam melepas dan menahannya, sesuai dengan tuntutan kebaikan. Dari keseimbangan pokok-
pokok tersebut, terwujudlah seluruh akhlak yang mulia.

2. Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif al-Jurjani

Al-Jurjani mendefinisikan akhlak dalam bukunya, at-Ta’rifat sebagai berikut:


“Khlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merennung. Jika sifat
tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat, dengan mudah, maka
sifat tersebut dinamakan dengan akhlak baik. Sedangkan jika darinya terlahir pebuatan-perbuatan
buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk” kemudian Al-Jurjani kembali berkata
“Kami katakan akhlak itu sebagai suatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, karena orang yang
mengeluarkan derma jarang-jarang dan kadang-kadang saja, maka akhlaknya tidak dinamakan
sebagai seorang dermawan, selama sifat tersebut tak tertanam kuat dalam dirinya.
Demikian juga orang yang berusaha diam ketika marah, dengan sulit orang yang akhlaknya
dermawan, tapi ia tidak mengeluarkan derma. Dan hal itu terjadi kemungkinan karena ia tidak
punya uang atau karena ada halangan.

Sementara bisa saja ada orang yang akhlaknya bakhil, tapi ia mengeluarkan derma,
karena ada suatu motif tertentu yang mendorongnya atau karena ingin pamer Dari pemaparan
tadi tampak bahwa ketika mendefinisikan akhlak, al-Jurjani tidak berbeda dengan definisi Al-
Ghazali. Hal itu menunjukan bahwa kedua orang ini mengambil ilmu dari sumber yang sama,
dan keduanya juga tidak melupakan Hadits yang menyifati akhlak yang baik atau indah bahwa
akhlak adalah apa yang dinilai oleh akal dan syariat.

3. Menurut Ahmad bin Musthafa (Thasy Kubra Zaadah)

Ia seorang ulama ensiklopedia – mendefinisikan akhlah sebgai berikut; “Akhlak adalah


ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya
keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu; kekuatan berfikir, kekuatan marah, kekuatan syahwat.
Dan masing-masing kekuatan itu mempunyai posisi pertengahan di antara dua keburukan, yakni
sebagai berikut:

Hikmah, merupakan kesempurnaan kekuatan berfikir, dan posisi pertengahan antara dua
keburukan, yaitu: kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya Hikmah, dan
yang kedua adalah berlebihan.

Keberanian. Adalah kesempurnaan kekuatan amarah dan posisi pertengahan antara dua
keburukan, yaitu kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya keberanian dan
yang kedua adalah berlebihan keberanian. Iffah adalah kesempurnaan kekuatan sahwat dan
posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu kestatisan dan berbuat hina. Yang pertama,
adalah kurangnya sifat tersebut, sedangkan yang kedua adalah berlebihnya sifat tersebut.
Ketiga sifat ini, yaitu Hikmah, keberanian dan iffah, masing-masing mempunyai cabang, dan
masing-masing cabang tersebut merupakan tersebut merupakan posisi pertengahan anatara dua
keburukan. Sedangkan sebaik perkara adalah pertengahnnya. Dan dalam ilmu akhlak disebutkan
penjelasan detail tentang hal-hal ini.

Kemudian cara pengobatannya adalah dengan menjaga diri untuk tidak keluar posisi dari
posisi pertengahan, dan terus berada di posisi pertengahan itu Topik ilmu ini adalah insting –
insting diri, yang membuatnya berada di posisi petengahan antara sikap mengurangi dan
berlebihan
Para ahli Hikmah berkata kepada Iskandar, “Tuan raja, hendaknya anda bersikap pertengahan
dalam segala perkara. Karena berlebihan adalah keburukan sedangkan mengurangi adalah
kelemahan”

Manfaat ilmu ini adalah agar manusia sedapat mungkin menjadi sosok yang sempurna
dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga di dunia ia berbahagia dan di akherat menjadi sosok
yang terpuji
4. Menurut Muhammad bin Ali al-Faaruqi at-Tahanawi

Ia berkata, “Akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat alami, agama, dan harga diri
Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat
yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawalai berfikir panjang, merenung
dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan
seorang yang asalnya pemaaf, maka ia bukan akhlak. Demikian juga, sifat kuat yang justru
melahirkan perbuatan-perbuatan kejiwaan dengan sulit dan berfikir panjang, seperti orang bakhil.
Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin di pandang orang. Jika demikian maka tidaklah
dapat dinamakan akhlak.

Segala tindakan mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu seperti Qudrat


‘kemampuan’ berbeda dengan dudrat, yaitu ia tidak wajib ada bersama makhluk ketika ia
mengerjakan sesuatu seperti wajibnya hal itu menurut para ulama Asy’ari dalam masalah Qudrat
Kemudian at-Tahanawi berkata,

“Akhlah terbagi atas hal sebagai berikut Keutamaan, yang merupakan dasar bagi apa
yang sempurna Kehinaan, yang merupakan dasar bagi apa yang kurang. Dan selain keduanya
yang menjadi dasar bagi selain kedua hal itu”

Penjelasannya adalah bahwa jiwa yang mampu berbicara, ketika berkaitan enggan fisik
dan Pengendalian atas fisik, serta memerlukan tiga kekuatan. Pertama, kekuatan yang mampu
memikirkan apa yang dibutuhkan dalam membuat perencanaan dan aturan. Yang dinamakan
dengan kekuatan akal, kekuatan berbicara, insting, dan jiwa yang tenang dan dikatakan pula
sebagai kekuatan yang menjadi dasar untuk memahami hakikat-hakikat, keinginan untuk
memperhatikan akibat-akibat setiap perbuatan, dan membedakan antara yang mendatangkan
manfaat dan mengasilkan kerusakan. Kedua, kekuatan yang mendorong seseorang untuk
mendapatkan apa yang memberi manfaat bagi fisiknya dan cocok dengannya, seprti makanan,
minuman dan lainnya, dan hal itu dinamakan dengan kekuatan syahwat, unsur hewani dan nafsu
amarah. Ketiga, kekuatan yang dapat menghindari seseorang dari sesuatu yang dapat merusak
dan membuat pedih tubuhnya, dan hal itu dikatakan pula sebagai dasar untuk maju dalam
keadaan sulit, dan pendorong untuk berkuasa dan meningkatkan derajat diri. Kekuatan ini
dinamakan dengan kekuatan amarah dan ganas, serta nafsu lawwanah.

Kemudian ia berkata bahwa dari keseimbangan kondisi kekuatan instingtif lahirlah


Hikmah, Hikmah itu adalah suatu keadaan kekuatan akal praktis yang berada pada posisi
pertengahan antara berfikir terlalu mengkhayal kondisi berlebih dari kekuatan ini, yaitu ketika
seseorang menggunakan kekuatan pemikiran untuk memikirkan apa yang tak seharusnya
dipikirkan, seperti perkara-perkara yang mustasyaabihat ‘samat’ dan bentuk yang tak seharusnya
sperti menyalahi syariat. Dan antara kebodohan dan kedunguan yang merupakan kondisi
kekurangan Hikmah, yaitu ketika seseorang mematikan kekuatan berfikirnya secara sengaja. Dan
berhenti dari mendapatkan ilmu-ilmu yang bermanfaat.

Keseimbangan kekuatan syahwat melahirkan sifat iffah menjaga kesucian diri iffah itu
sendiri adalah kekuatan syahwat yang moderat antara bertindak berlebihan dan melanggar etika
sifat kurangnya berarti jatuh dalam terus mengikuti dorongan merasakan kelezatan apa yang ia
senangi, dengan kesatisan sifat lebihnya iffah yang merupakan kondisi vakum dari usaha
mendapatkan kelezatan sesuai dengan kadara yang diperbolehkan akal dan syariat. Dalam sifat
iffah tersebut nafsu syahwat tunduk terhadap kekuatan Pikiran. Kesimbangan kekuatan marah
melahirkan keberanian. Keberanian itu adalah suatu kondisi kekuatan marah, yang bersifat
moderat antara tindakan sembrono yang merupakan kondisi berani yang berlebihan yaitu maju
untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan sifat pengecut, sikap khawatir atas
apa yang tak seharusnya dikhawatirkan, dan ia adalah kondisi kurang berani.
Dalam kekuatan keberanian ini, sifat buas menjadi tunduk kepada kekuatan berfikir, sehingga
maju dan mundurnya kekuatan ini sesuai dengan pertimbangan pemikiran, tanpa mengalami
kebingungan ketika menghadapi masalah-masalah besar, dan karena itu perbuatannya menjadi
indah dan kesabarannya menjadi terpuji.

Jika keutamaan yang tiga itu bercampur, maka terjadilah dari percampuran itu kondisi
yang sama, yaitu keadilan. Karena hal ini, maka keadilan digambarakan sebagai sikap tengah
atau moderat, dan itulah yang dimaksud dengan Sabda Rasulullah sawa ini
“Paling baik perkara adalah yang pertengahan”. Kemudian at-Tahanawi meneruskan
perkataannya, dan ia pun berbicara tentang akhlah yang agung, ia berkata bahwa akhlak agung
bagi para shalihin adalah berpaling daru dua semesta, dan menghadap hanya kepada Allah
semata secara total.

Al-Wasithi berkata bahwa akhlak yang agung adalah tidak memusuhi dan tidak dimusuhi
Athaa berkata bahwa akhlak yang agung adalah melepaskan pilihan dan penolakannya atas
segala kesulitan dan cobaan yang diturunkan Allah SWT. Akhlak yang agung bagi Nabi SAW
adalah yang disinyalir dalam firman Allah SWT
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam:4)
dans sesuai yang dikatakan oleh Aisyah r.a bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an,
yang bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan telah tertanam kuat dalam diri, sehingga beliau
menjalaninya tanpa kesulitan.

BAB III
KESIMPULAN

Para ulama Islam yang menulis tentang akhlak itu menjelaskan bahkan menkankan pa
yang diperhatikan oleh para penulis barat, yaitu bahwa akhlak yang baik adalah apa yang dinilai
baik oleh akal dan syariat. Sedangkan akal saja tak cukup untuk menilai baik dan buruknya suatu
perbuatan. Oleh karena itu, Allah mengutus para Rasul dan menurunkan pertimbangan (Kitab
Suci) bersama mereka yang memperlakukan manusia dengan penuh keadilan
Demikianlah, ukuran akhlak yang baik jika sesuai dengan syariat Allah. Berhak mendapatkan
ridha-Nya dan dalam memegang akhlak yang baik ini sambil memperhatikan pribadi, keluarga,
dan masyarakat, sehingga di dalamnya terdapat kebaikan dunia dan akherat
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Rohim, Abdullah. 2008. Aqidah sebagai pendidikan ahklak. Cirebon : STAIN

Anwar, Junaidi. 2004. Agama islam lentera kehidupan. Jakarta : yudistira

Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan ruhaniah. Jakarta : gema insani pers

You might also like