You are on page 1of 12

Subhan Aristiadi R

240210110021

VI. PEMBAHASAN
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh,
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1992). Protein adalah
senyawa organik kompleks yang mengandung asam amino yang terikat satu sama
lain melalui ikatan peptida. Protein mengandung atom karbon, oksigen, nitrogen,
dan sulfur. Kandungan protein dalam bahan pangan bervariasi, baik dalam jumlah
maupun jenisnya. Bahan pangan hewani, leguminose, dan serealia umumnya
mengandung protein yang tinggi (Kusnandar, 2010). Meskipun kandungan protein
dalam jaringan tanaman kurang dari 1 % dari berat bahan segar, namun
mempunyai peranan penting yaitu sebagai unsur struktural membran sel dan
sebagai biokatalisator (Tranggono, 1990).
Protein merupakan salah satu makromolekul yang penting dalam bahan
pangan. Oleh karena itu, disamping perlu memahami struktur protein dan
peranannya dalam produk pangan, baik sebagai sumber gizi maupun karena sifat
fungsionalnya, maka perlu diketahui juga bagaimana cara penetapan (analisisnya).
Analisis protein penting untuk keperluan pelabelan gizi, mengetahui sifat
fungsional dan penentuan sifat biologis protein. Analisis protein juga perlu
dilakukan untuk mengetahui kandungan total protein dari suatu bahan pangan,
jumlah protein tertentu dalam suatu campuran, kandungan protein hasil dari suatu
isolasi dan purifikasi protein, kandungan non-protein nitrogen, komposisi asam
amino dan nilai gizi protein (Andarwulan, 2011).
Analisis protein cukup kompleks disebabkan terdapat komponen-
komponen pangan lain yang memiliki sifat fisika-kimia yang mirip yang dapat
memengaruhi pengukuran. Sebagai gambaran, nitrogen bukan hanya terdapat
pada protein, tetapi juga pada komponen non-protein, seperti asam amino bebas,
peptida berukuran kecil, asam nukleat, fosfolipid, gula amin, porfirin, dan
beberapa vitamin, alkaloid, asam urat, urea, dan ion amonium. Dengan demikian,
total nitrogen organik dari bahan pangan bukan hanya berasal dari protein, tetapi
juga ada sebagian kecil dari komponen-komponen non-protein yang mengandung
nitrogen yang ikut terukur. Tergantung pada metode analisis yang digunakan,
Subhan Aristiadi R
240210110021

komponen pangan lainnya, seperti lipid dan karbohidrat, dapat memengaruhi hasil
analisis pangan (Andarwulan, 2011).
Terdapat banyak metode analisis penetapan protein yang telah
dikembangkan. Prinsip dasar dari penetapan protein ini berbeda-beda. Ada
penetapan protein yang berdasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total, ikatan
peptide, asam amino aromatik, kapasitas pengikatan zat warna, sifat absorpsi sinar
ultraviolet oleh protein dan sifat light scattering. Di dalam memilih metode
analisis mana yang akan digunakan, perlu mempertimbangkan jenis contoh yang
akan dianalisis, tujuan analisis, faktor sensitivitas, akurasi, ketelitian, kecepatan
dan biaya analisis. Disamping itu, terdapat prosedur analisis untuk penetapan sifat
fungsional protein, seperti mengukur kemampuan protein dalam mengikat air,
membentuk gel, mengikat lemak sebagai emulsifier, membentuk buih, dan
sebagainya (Andarwulan, 2011).
Kadar protein bahan dan produk pangan dapat ditentukan dengan berbagai
jenis metode analisis. Diantara metode analisis protein yang sering digunakan
adalah metode Kjeldahl, metode Biuret, metode Lowry, metode pengikatan zat
warna dan metode titrasi formol (Andarwulan, 2011).
Pada praktikum kali ini dilakukannya penetapan kadar protein dengan
menggunakan metode Kjeldahl dan metode Biuret.
6.1 Penentuan Kadar Protein Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl yang telah dikembangkan untuk menganalisis contoh
protein dengan kandungan protein sangat kecil (mikrogram). Cara Kjeldahl
digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara
tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar nitrogennya.
Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah
kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka
penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang
ada. Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah penelitian
dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung
unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Untuk senyawa-senyawa protein
tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya, maka angka yang lebih tepat
dapat dipakai (Sudarmadji, 2010). Oleh karena itu, untuk mengubah dari kadar
Subhan Aristiadi R
240210110021

nitrogen ke dalam kadar protein, digunakan angka konversi sebesar 100/16 atau
6,25. Namun demikian, untuk beberapa jenis bahan pangan faktor konversi yang
digunakan berbeda (tabel 5.1).
Tabel 6.1.1 Faktor yang Digunakan untuk Konversi Nitrogen menjadi Protein
Jenis pangan
X (% N dalam
protein)
Faktor konversi F
(100/X)
Campuran 16,00 6,25
Daging 16,00 6,25
Maizena 16,00 6,25
Roti, gandum, makaroni, bakmi 16,00 6,25
Susu dan produk susu 15,66 6,38
Tepung 17,54 5,70
Telur 14,97 6,68
Gelatin 18,02 5,55
Kedelai 17,51 5,71
Beras 16,81 5,95
Kacang tanah 18,32 5,46
(Sumber : Andarwulan, 2011)
Dalam penetapan protein metode Kjeldahl, contoh yang akan dianalisis
harus dihancurkan (destruksi) dahulu secara sempurna sehingga seluruh karbon
dan hidrogen teroksidasi dan nitrogen diubah menjadi amonium sulfat. Proses
penghancuran ini dilakukan dengan menambahkan asam kuat pekat (asam sulfat)
ke dalam contoh dan proses pemanasan pada suhu tinggi sehingga dihasilkan
larutan berwarna jernih yang mengandung amonium sulfat. Untuk mempercepat
proses penghancuran ini, ditambahkan juga katalisator. Selanjutnya didistilasi,
distilat ditampung ke dalam beaker yang berisi larutan asam borat. Ion borat ini
kemudian dititrasi dengan menggunakan asam standar. Hasil yang diperoleh
merupakan kandungan protein kasar. Dalam analisis juga diperlukan contoh
blanko yang akan digunakan sebagai faktor koreksi dalam perhitungan kadar
protein (Andarwulan, 2011). Prosedur Kjeldahl dapat dibagi menjadi 3 tahapan,
yaitu :

Subhan Aristiadi R
240210110021


1. Tahap penghancuran (destruksi)
2. Netralisasi dan distilasi
3. Titrasi
Pada praktikum kali ini sampel yang akan ditentukan kadar proteinnya
adalah Beras kacang merah, beras kacang hijau, kopi arabika, kornet dan susu
UHT. Pertama hal yang harus dilakukan pada praktikum kali ini yaitu fasa
destruksi. Pada fasa destruksi ini timbang sampel sebanyak 0,1 gram, kemudian
masukkan dalam labu Kjeldahl. Tambahkan 0,9 gram K
2
SO
4
, 0,4 g HgO, dan 2 ml
H
2
SO
4
, didihkan sampai cairan menjadi jernih. Penambahan asam sulfat pekat ini
untuk memanaskan sampel sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya.
Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO
2
dan H
2
O, sedangkan
nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH
4
)
2
SO
4
. Tahap ini sangat penting,
karena akan membebaskan nitrogen dari contoh. Penambahan HgO yaitu agar
proses penghancuran ini berjalan sempurna dan berjalan cepat, sedangkan
penambahan K
2
SO
4
sebagai katalisator dapat menaikkan titik didih asam sulfat,
sehingga destruksi berjalan cepat. Setiap 1 gram K
2
SO
4
dapat menaikkan titik
didih 3 C. Suhu destruksi berkisar antara 370 - 410 C. Reaksi yang terjadi
selama proses destruksi adalah sebagai berikut :
HgO + H
2
SO
4
HgSO
4
+ H
2
O
2HgSO
4
Hg
2
SO
4
+ SO
2
+ 2O
n

Hg
2
SO
4
+ 2H
2
SO
4
2HgSO
4
+ 2H
2
O + SO
2

(CHON) + O
n
+ H
2
SO
4
CO
2
+ H
2
O + (NH
4
)
2
SO
4

Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi berwarna hijau
bening. Agar analisa lebih tepat, maka pada tahap destruksi ini dilakukan pula
perlakuan blanko yaitu untuk koreksi adanya senyawa N yang berasal dari
reagensia yang digunakan.

Subhan Aristiadi R
240210110021


Gambar 6.1.2 Rangkaian alat untuk proses destruksi pada penetapan protein
metode Kjeldahl
(Sumber : Andarwulan, 2011)
Setelah dilakukannya destruksi, lalu dilakukannya netralisasi dan destilasi.
Pertama bilas dengan akuades untuk memastikan bahwa tidak ada larutan hasil
destruksi yang tertinggal, masukkan dalam alat destilasi. Pada alat destilasi
dibawah kondensor kemudian dipasang erlenmeyer yang berisi 15 ml larutan
H
3
BO
3
3% dan 3 tetes indikator metil merah. Tambahkan 10 ml NaOH ke dalam
alat destilasi, lalu dilakukan distilasi sehingga tertampung dalam alat kira-kira 150
ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah tertampung sekitar 150 ml, dilakukannya uji
lakmus. Apabila warna tidak berubah, maka proses destilasi telah selesai. Pada
tahap destilasi, penambahan NaOH digunakan menetralkan asam sulfat. Dengan
adanya larutan NaOH ini , maka ammonium sulfat dipecah menjadi gas amoniak
(NH
3
). Melalui proses destilasi, gas amoniak ini kemudian akan menguap dan
ditangkap oleh asam borat (H
3
BO
3
) membentuk NH
4
H
2
BO
3
.
Reaksi yang terjadi selama proses netralisasi dan destilasi adalah sebagai berikut :
(NH
4
)
2
SO
4
+ 2 NaOH Na
2
SO
4
+ 2 H
2
O + 2 NH
3

2 NH
3
+ 2 H
3
BO
3
2 NH
4
H
2
BO
3

Tahap selanjutnya dilakukannya titrasi dengan menggunakan HCl 0,01 N
hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda bening sehingga asam borat
terlepas kembali dan terbentuk amonium klorida. Jumlah asam klorida yang
digunakan untuk titrasi setara dengan jumlah gas NH
3
yang dibebaskan dari
proses distilasi. Dengan prinsip stokiometri, maka akan diperoleh kesetaraan 1
mol HCL = 1 mol N = 14 g N. Reaksi yang terjadi selama proses titrasi sebagai
berikut :
Subhan Aristiadi R
240210110021

2 NH
4
H
2
BO
3
+ 2 HCl 2 NH
4
Cl + 2 H
3
BO
3

Penggabungan tahap reaksi selama proses distilasi dan titrasi, persamaan
tersebut dapat disederhanakan menjadi :
2 NH
3
+ 2 HCl 2 NH
4
Cl
Penetapan yang sama juga dilakukan untuk blanko yang akan digunakan
sebagai faktor koreksi dalam perhitungan. Perhitungan yang digunakan adalah
sebagai berikut :

()
( )



Keterangan : N HCl = 0,02 N
Ar N = 14,007
( )

Keterangan : faktor konversi = 100/ (% N dalam protein contoh). Faktor konversi
tergantung dari jenis contoh dan dapat menggunakan informasi pada
tabel 6.1.
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai
berikut. Data di atas menunjukkan bahwa yang memiliki kadar protein paling
besar pada kopi arabika (kelompok 8)sebesar 13,44% sedangkan yang paling kecil
pada susu UHT (kelompok 5) sebesar 2,93%. Kacang-kacangan mempunyai
kandungan protein 2,9 8,2 % dari berat bahan segarnya dan sebagian besar
protein ini dalam bentuk simpanan, sehingga hasil pengamatan untuk beras
kacang merah dan hijau sudah sesuai dengan literature. Kedelai seringkali
mempunyai kandungan protein lebih dari 40 % atas dasar berat bahan keringnya.
Menurut literatur kadar protein yang paling besar berbeda dengan hasil percobaan.
Kadar protein yang paling besar yaitu pada kacang kedelai.
Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa terjadi variasi antara kadar
protein sampel hasil perhitungan pada praktikum ada yang tidak terlalu jauh
berbeda, namun ada juga yang tidak sesuai dengan literatur. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi yaitu jenis sampel yang digunakan memungkinkan berbeda
Subhan Aristiadi R
240210110021

dengan sampel yang digunakan oleh Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI).
Angka yang dihasilkan dari pengamatan dengan literatur sangat berbeda
kontaminasi dari bahan lain pada peralatan dimana peralatan tersebut mengandung
N sehingga total N yang di analisis bukan dari sampel saja tapi juga dari
kontaminan serta ketidaktelitian praktikan yang membuat hasil akhirnya menjadi
berbeda. Hasil akhir titrasi yang terlalu pekat atau melebihi volume merupakan
salah satu faktor berbedanya hasil dengan literatur. Selain itu pada metode
Kjeldhal nitrogen yang dihitung merupakan nitrogen total pada bahan sehingga
sumber nitrogen yang bukan berasal dari protein juga ikut terhitung. Kadar protein
yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini disebut sebagai kadar protein kasar
(crude protein) karena terikut senyawaan N bukan protein, misalnya urea, asam
nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin
(Sudarmadji dkk., 1996). Hal tersebut merupakan salah satu kekurangan dari
metode Kjeldhal. Kelebihan metode Kjeldhal adalah bisa diterapkan pada semua
bahan pangan, relatif sederhana, dan murah.
Kelebihan dari metode Kjeldahl ini dapat digunakan untuk analisis protein
semua jenis bahan pangan. Prosedur penetapannya tidak membutuhkan biaya
mahal dan hasilnya cukup akurat. Salah satu kelemahan dari metode Kjeldahl
adalah metode ini mengukur bukan hanya nitrogen pada protein, tetapi juga
nitrogen dalam protein menjadi sangat penting untuk digunakan sebagai faktor
konversi dalam perhitungan.
6.2 Penentuan Kadar Protein Metode Biuret
Metode Biuret merupakan salah satu cara yang terbaik untuk menentukan
kadar protein suatu larutan. Dalam larutan basa, Cu2+ akan membentuk kompleks
dengan ikatan peptida suatu protein, sehingga menghasilkan warna ungu yang
dapat didentifikasi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.
Absorbansi ini berbanding langsung dengan kosentrasi protein dan tidak
tergantung jenis protein karena seluruh protein pada dasarnya mempunyai jumlah
ikatan peptida yang sama persatuan berat.
Sebelum praktikum dilakukan sebaiknya dilakukan dulu preparasi sampel.
Sampel yang digunakan pada praktikum kali ini seharusnya berbentuk cair,
apabila padat maka harus diberi beberapa perlakuan terlebih dahulu. Sampel harus
Subhan Aristiadi R
240210110021

diblender dan dihancurkan, lalu ditambahkan air lalu saring dan disentrifuge
supernatant (soluble protein), perhatikan faktor pengencerannya. Jika cairan sudah
berupa larutan protein maka persiapan selanjutnya cukup dengan pengenceran
secukupnya.
Namun apabila campuran masih keruh, maka harus ditambahkan 1 ml
TCA 10%, TCA berfungsi untuk menghilangkan zat-zat pengotor yang dapat
mengganggu reaksi, terutama fenol atau gula. Setelah itu disentifuge dan TCA
dapat mendenaturasi protein yang mengendap. Lalu tambahkan 2 ml etil eter yang
berfungsi untuk menghilangkan sisa-sisa TCA yang ada pada endapan protein.
Setelah itu disentrifuge kembali dan dilakukan prosedur selanjutnya untuk
melakukan penentuan kadar protein dengan menggunakan pereaksi biuret.
Pada praktikum kali ini sampel yang digunakan adalah telur puyuh, telur
bebek, susu steril, susu pasteurisasi, sari kacang hijau, telur ayam kampung, telur
ayam negeri, susu UHT, yoghurt, dan sari kacang kedelai. Setelah itu
ditambahkan 6 ml pereaksi biuret. Setelah itu gojok-gojok dan diamkan pada suhu
kamar selama 10 menit (warna ungu), lalu ukur absorbansinya pada 540 nm.
Hitung kadar protein dalam sampel dengan kurva standar. Setelah itu masukkan
kembali sampel albumin 0,5 ml kedalam 6 tabung reaksi yang masing-masing
ditambahkan larautan protein standar atau BSA sebanyak 0,1 ml, 0,2 ml, 0,4 ml,
0,6 ml, 0,8 ml dan 1 ml. Pemilihan standard protein merupakan penentu
keberhasilan analisis kuantitatif. Bovine Serum Albumin (BSA) adalah protein
yang umum digunakan sebagai standard dalam penetapan kadar protein. BSA
banyak dipilih karena tingkat kemurniannya yang tinggi dan harganya relatif
murah. Selain keenam tabung reaksi tersebut juga harus dibuat blanko, yaitu
tabung reaksi yang hanya berisi larutan protein standar/ BSA dan air yang
berfungsi sebagai standar. Blanko berwarna biru muda dan semakin banyak
jumlah yang dimasukkan kedalam sampel, maka warna larutan akan semakin
menjadi tua. Setelah itu masing-masing tabung reaksi dimasukkan air sebanyak
4 ml dan 6 ml pereaksi biuret, lalu campur merata. Setelah itu simpan tabung
reaksi pada suhu kamar selama 30 menit, seharusnya lebih baik disimpan pada
suhu 37 C agar reaksi yang terjadi bisa lebih cepat. Pada perlakuan ini terjadi
reaksi albumin dengan perekasi biuret membentuk senyawa kompleks yang
Subhan Aristiadi R
240210110021

berwarna ungu. Reaksi yang terjadi adalah ikatan peptida pada protein berekasi
dengan Cu2+ dalam alkalinitas untuk membentuk warna ungu dengan absorbansi
maximum =540 nm asam amino dan ion-ion Cu
2+
dari senyawa kompleks
berwarna biru. Metode ini tepat untuk produk tepung-tepungan, gandum, darah,
dan anggur. Berikut ini adalah reaksinya:
Protein + (CuSO4
+
+NaOH 20 %) biru lembayung/ungu.
Setelah terbentuk warna ungu sempurna ukur absorbansinya 540 nm dan
buat kurva. Namun pada metode ini ada hal-hal yang mengganggu percobaan ini
diantaranya adalah adanya urea (mengandung gugus -CO-NH-) dan gula preduksi
yang bereaksi dengan Cu
2+.

Metode penentuan kadar protein dengan menggunakan pereaksi biuret
hampir sama dengan penentuan kadar protein dengan metode lowry, sama-sama
menggunakan CuSO4 hanya saja reagennya berbeda. Pada lowry harus
ditambahkan asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat yang akan direduksi
oleh tiroksin dan triptofan yang membentuk warna biru dengan absorbansi 650
nm. Namun lowry mempunyai kelamahan yang sangat fatal. Kelemahannya
terletak pada tiroksin dan triptofan yang menjadi dasar untuk menentukan
kandungan protein pada makanan, namun pada dasarnya triptofan dan tiroksin
bisa tidak sesuai dengan kadungan protein yang ada pada beberapa jenis produk
pangan dan mengacaukan hasil akhir.
Dari hasil juga bisa diketahui bahwa nilai a yang didapat sebesar 0,0218,
nilai b adalah 0,0013 sehingga di dapat nilai y = 00,0218 x + 0,0013. Jika nilai r
yang didapat adalah satu atau mendekati satu maka nilai yang didapat sudah
cukup akurat. Dari literatur yang ada, nilai protein yang terkandung dalam
albumin putih telur adalah sebanyak 10 12 %.







Subhan Aristiadi R
240210110021

VII. KESIMPULAN
Dalam praktikum kali ini dapat diambil beberapa kesimpulan
Faktor yang menyebabkan ketidaktepatan hasil pengamatan dengan
literatur adalah kontaminasi dari bahan lain pada peralatan dimana yang
mengandung N, hasil akhir titrasi yang terlalu pekat atau melebihi volume,
dan berbagai kesalahan praktikan lainnya.
Kelebihan dari metode Kjeldahl ini dapat digunakan untuk analisis protein
semua jenis bahan pangan. Prosedur penetapannya tidak membutuhkan
biaya mahal dan hasilnya cukup akurat.
Kelemahan dari metode Kjeldahl adalah metode ini mengukur bukan
hanya nitrogen pada protein, tetapi juga nitrogen dalam protein menjadi
sangat penting untuk digunakan sebagai faktor konversi dalam
perhitungan.
Metode penentuan kadar protein dengan menggunakan pereaksi biuret
hampir sama dengan penentuan kadar protein dengan metode lowry, sama-
sama menggunakan CuSO4 hanya saja reagennya berbeda.
Dalam larutan basa, Cu
2+
akan membentuk kompleks dengan ikatan
peptida suatu protein, sehingga menghasilkan warna ungu yang dapat
didentifikasi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.
Reaksi yang terjadi adalah ikatan peptida pada protein berekasi dengan
Cu
2+
dalam alkalinitas untuk membentuk warna ungu dengan absorbansi
maximum =540 nm asam amino dan ion-ion Cu
2+
dari senyawa kompleks
berwarna biru.









Subhan Aristiadi R
240210110021

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, Nuri. 2011. Analisis Pangan. Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta.

Buckle KA et.al. 2007. Ilmu Pangan. Purnomo H, Adiono, penerjemah.
Terjemahan dari Food Science. Jakarta: UI Press.

Dennison, C., 2002, A Guide to Protein Isolation, Kluwer Academic Publishers,
New York.

K. Mahmud, Mien dkk. 2008. Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI).
Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Kusnandar, Feri. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Penerbit : Dian Rakyat,
Jakarta.

Poedjiadi, Anna & Titin Supriyatin. 2006. Dasar-Dasar Biokimia edisi revisi. UI
Press:Jakarta
Romanoff, Romanoff. 1963. The Avian Eds. NY: John Wiley&Sons.

Sudarmaji, Bambang Haryono, & Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian.Liberty:Yogyakarta

Sudarmadji, Slamet. 2010. Analis Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit :
Liberty, Jakarta.

Tranggono, Setiaji B., Suhardi, Sudarmanto, Y. Marsono, Agnes Murdianti, Indah
S.U., dan Suparmo. Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan
gizi, UGM.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit : PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Subhan Aristiadi R
240210110021

You might also like