SAKIT DAERAH MADANI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERIODE JANUARI-APRIL 2014 SKRIPSI FAHRUL G 701 10 003 PROGRAM STUDI FARMASI JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TADULAKO MEI 2014 RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP JIWA RUMAH SAKIT DAERAH MADANI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERIODE JANUARI-APRIL 2014 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Farmasi pada Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tadulako FAHRUL G 701 10 003 PROGRAM STUDI FARMASI JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TADULAKO MEI 2014 ii PERSETUJUAN PEMBIMBING Judul : Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014 Nama : Fahrul Stambuk : G 701 10 003 Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan. Palu, Mei 2014 Pembimbing I Alwiyah Mukaddas, S.Farm., M.Si., Apt NIP. 19800418 200501 2 002 Pembimbing II Ingrid Faustine, S.Si., M.Sc., Apt Mengetahui, Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tadulako Dr. Abd. Rahman Razak, S.Si., M.Si., Apt NIP. 19711020 199903 1 002 iii PENGESAHAN DEWAN PENGUJI Judul : Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014 Nama : Fahrul Stambuk : G 701 10 003 Disetujui Tanggal : DEWAN PENGUJI Ketua : Alwiyah Mukaddas, S. Farm., M.Si., Apt. Sekretaris : Ingrid Faustine, S.Si., M.Sc., Apt. Penguji 1 : Yuliet, S.Si., M.Si., Apt. Penguji 2 : Indriani, S.Far., M.Sc., Apt. Penguji 3 : Arsa Wahyu Nugrahani, S. Farm., M.Sc., Apt. Penguji 4 : Muhamad Rinaldhi Tandah, S.Farm., M.Sc., Apt. Penguji 5 : Ririen Hardani, S.Farm., M.Si., Apt. Mengetahui Dekan FMIPA Universitas Tadulako Drs. H. Abdullah, MT NIP. 196202171991031002 iv P E R N Y A T A A N Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Palu, Mei 2014 Penulis, Fahrul G 701 10 003 v ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antipsikotik meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat frekuensi pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014. Metode yang digunakan adalah deskriptif yang dikerjakan secara prospektif dengan mengumpulkan data primer dengan melakukan observasi, wawancara dan data sekunder dari rekam medik pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014. Analisa data dilakukan secara deskriptif kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan atau memberikan gambaran karakteristik setiap variabel penelitian meliputi : Karakteristik pasien, karakteristik klinis dan rasionalitas penggunaan obat. Hasil rasionalitas pengobatan yang didapatkan adalah sebagai berikut : tepat indikasi 100%, tepat obat 90,4%, tepat pasien 87,8%; tepat dosis 81,6% dan tepat frekuensi pemberian antipsikotik 90,4%. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari- April 2014 belum dapat dikatakan rasional. Kata kunci : Rasionalitas, antipsikotik, skizofrenia vi ABSTRACT This research is aimed to find out rationality of antipsychotic usage includes right indication, drug, patient, dosage, and frequency in Schizophrenia at Patient Department in Madani Mental Hospital of Central Sulawesi from January-April 2014. This research is a descriptive study, prospectively done by collecting primary data which is observing, interviewing and secondary data from the schizophrenia patient medical record. Data analysis is done by descriptive quantitative to provide an overview of the characteristic each study variables include : patient characteristic, clinical characteristic, and rational use of drug. The results obtained rationality treatment was as follows : 100% precise indications, 90,4% right drug, 87,8 right patient, 81,6% right dosage and 90,4% appropriate frequency of antipsychotic usage. Antipsychotic usage in schizophrenia at Patient Department in Madani Mental Hospital of Central Sulawesi January-April 2014 cannot be stated as rational yet. Key words : Rationality, antipsychotic, schizophrenia vii KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat-Nya terutama nikmat waktu dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi ini yang berjudul Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya serta umat islam yang selalu istiqomah hingga akhir zaman. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan dorongan yang tulus ikhlas dari berbagai pihak, untuk itu dengan kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan setinggi-tingginya, teristimewa kepada Ibundaku Fatmawati, S.Pd dan Ayahandaku Tamin, A.Ma, Adik-adikku tersayang (Ahmad Rifaldi dan Salsa Nur Fadilah) serta keluarga besarku untuk semua cinta, kasih sayang, pengorbanan serta doanya kepada penulis. Kepada Ibu Alwiyah Mukaddas, S.Farm., M.Si., Apt selaku pembimbing I sekaligus dosen wali dan Ibu Ingrid Faustine, S.Si., M.Sc., Apt selaku pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan motivasi yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini, serta arahan selama penulis menempuh bangku perkuliahan di Program Studi Farmasi. viii Terima kasih dan penghargaan yang sama penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Basir, S.E., M.S., Rektor Universitas Tadulako. 2. Bapak Drs. H. Abdullah, MT., Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako. 3. Bapak/Ibu Wakil Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako. 4. Bapak Syariful Anam, S.Si., M.Si., Apt dan Ibu Yuliet, S.Si., M.Si., Apt., Koordinator dan Sekretaris Program Studi Farmasi FMIPA UNTAD. 5. Ibu Yuliet, S.Si., M.Si., Apt, Bapak Ihwan, S.Si., M.Kes., Apt, Ibu Arsa Wahyu Nugrahani, S.Farm., M.Sc., Apt, Bapak Muhamad Rinaldhi Tandah, S.Farm., M.Sc., Apt, Ibu Ririen Hardani, S.Farm., M.Si., Apt dan Ibu Indriani, S.Far., M.Sc, Apt selaku dosen pembahas yang telah memberikan saran dan pemikiran yang berharga dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu dosen program studi Farmasi FMIPA UNTAD yang telah banyak membantu dan membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan selama perkuliahan. 7. Seluruh staf akademik di Fakultas MIPA UNTAD yang telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis selama kuliah. 8. Ibu dr. Isharwati., M.Kes selaku direktur RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah, yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian. ix 9. Ibu dr. Eka, Ibu dr. Desi selaku dokter jiwa, Ibu Ni Ketut Suharyani, Amd., Kep., Bapak Losaende, L., Amd., Kep., Bapak Umar Mansyur., Amd., Kep., Bapak Nursid Hadi, Amd., Kep selaku kepala ruangan inap jiwa tempat penulis meneliti, bapak Malvin dan Ibu Rina selaku staf diklat RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah yang telah memberikan kesempatan bimbingan dan bantuan kepada penulis selama penelitian. 10. Kesayanganku Arum Maulidiyah serta Oryza Sativa, Andika dan Panji yang selama ini dalam suka duka telah banyak memberikan bantuan semangat dan dukungan kepada penulis. 11. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Farmasi angkatan 2010 (POT10) yang tidak dapat saya tuliskan satu-persatu. Kalian adalah teman-teman terbaikku. Terima kasih atas semua kebaikan dan bantuan kalian Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semoga segala bantuan dan bimbingan dari semua pihak senantiasa mendapat ridho Allah SWT. Amin. Palu, Mei 2014 Penulis x DAFTAR ISI SAMPUL HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI .......................................... iii HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................ v ABSTRACT ...................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi DAFTAR SIMBOL/ISTILAH .......................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 5 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 5 1.5 Batasan Masalah ................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 7 2.1 Skizofrenia ............................................................................ 7 2.2 Antipsikotik .......................................................................... 24 2.3 Rasionalitas Penggunaan Obat ............................................. 35 BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 38 3.1 Desain Penelitian .................................................................. 38 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 38 3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ............ 38 3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...................... 40 3.5 Teknik Pengumpulan Data ................................................... 43 3.6 Analisa Data ......................................................................... 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 45 4.1 Hasil Penelitian ..................................................................... 45 4.2 Pembahasan .......................................................................... 50 xi BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 79 5.1 Kesimpulan ........................................................................... 79 5.2 Saran ..................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 81 LAMPIRAN ...................................................................................................... 86 RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... 114 xii DAFTAR TABEL Tabel Halaman 2.1 Efek samping Farmakologik Antipsikotik .................................................... 33 4.1 Distribusi jenis kelamin pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 45 4.2 Distribusi usia pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014.................... 45 4.3 Distribusi suku/etnis pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 46 4.4 Distribusi status perkawinan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ........... 46 4.5 Distribusi jenjang pendidikan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 46 4.6 Distribusi pekerjaan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ........... 47 4.7 Distribusi gejala pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ........... 47 4.8 Distribusi tipe-tipe skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014.................... 47 4.9 Distribusi jenis antipsikotik yang digunakan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014......................................................................................... 48 4.10 Distribusi lama rawat inap pasien infeksi saluran kemih yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014......................................................................................... 48 4.11 Distribusi tepat indikasi pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 49 xiii 4.12 Distribusi tepat obat pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 49 4.13 Distribusi tepat pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 49 4.14 Distribusi tepat dosis pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 49 4.15 Distribusi tepat frekuensi pemberian antipsikotik pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014............................................................................ 50 4.16 Kontraindikasi Obat Antipsikotik ................................................................. 72 xiv DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1 Patofisiologis skizofrenia.............................................................................. 8 2.2 Skema diagnosis skizofrenia ........................................................................ 17 2.3 Algoritma antipsikotik ................................................................................. 34 4.1 Distribusi jenis kelamin pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 50 4.2 Distribusi usia pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ................... 52 4.3 Distribusi suku/etnis pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 53 4.4 Distribusi status perkawinan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 54 4.5 Distribusi jenjang penididikan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014....... 55 4.6 Distribusi pekerjaan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ................... 57 4.7 Distribusi gejala pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ................... 58 4.8 Tipe-tipe skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014............................................... 60 4.9 Distribusi jenis antipsikotik pasien skizofrenia rawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ................... 61 4.10 Distribusi lama rawat inap pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014........... 64 xv 4.11 Distribusi tepat indikasi pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014........... 66 4.12 Distribusi tepat obat pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ................... 67 4.13 Distribusi tepat pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014................................. 71 4.14 Distribusi tepat dosis antipsikotik pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014............................................................................................................... 72 4.15 Distribusi tepat frekuensi pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ........................................................................... 76 xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Data pasien skizofrenia rawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari April 2014 .................................... 86 Lampiran 2 Standar pelayanan medik RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah...... 93 Lampiran 3 Dosis dan frekuensi penggunaan antipsikotik peroral .......................... 95 Lampiran 4 Algoritma tatalaksana terpai skizofrenia tanpa riwayat ....................... 96 Lampiran 5 Algoritma tatalaksana terpai skizofrenia dengan riwayat ..................... 97 Lampiran 6 Hasil analisa data .................................................................................. 98 Lampiran 7 Surat izin penelitian penelitian ............................................................. 111 Lampiran 8 Surat keterangan telah melaksanakan penelitian .................................. 112 Lampiran 9 Dokumentasi ......................................................................................... 113 xvii DAFTAR SIMBOL/ISTILAH AGK : antipsikotik generasi kedua AGP : antipsikotik generasi pertama AP : antipsikoik APG-I : antipsikotik generasi I APG-II : antipsikotik generasi II CSS : cairan serebrospinal CT-scan : computed tomography scanning d : kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir DDA : dopamine depleting agent DNA : deoxyribonucleic acid DRA : dopamine reseptor antagonist DSM : diagnostic and statistic manual of mental disorders ECT : elctro convulsive therapy EEG : electroencephalography GABA : gamma aminobutyric acid GEP : gejala ekstapiramidal Hb : hemoglobin HT : hidroksitriptamin LED : laju endap darah n : besar sampel minimum xviii N : populasi yang diketahui PDD : pervasive developmental disorder PDSKJI : perhimpinan dokter spesialis kedokteran jiwa PET : positron emission tompgraphi PIF : prolactine inhibiting factor RSD : rumah sakit daerah RSK : rumah sakit khusus SDA : serotonin dopamine antagonist VIP : very important person WHO : world health organization 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran. Gangguan tersebut dapat berupa disorganisasi (kekacauan) isi pikiran, yang ditandai antara lain oleh adanya gejala gangguan pemahaman (delusi/waham), dan gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai gangguan terhadap daya nilai realitas berupa perilaku aneh (bizzare). Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun akan menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah skizofrenia (Agus, 2005). Pada saat ini penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang, pola asuh anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita. Selain itu, dampak modernisasi dimana tidak semua orang siap untuk menghadapi perubahan dan kemajuan teknologi baru (Maramis, 2004) 2 Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Penyakit ini menyerang 4 sampai 7 dari 1000 orang (Saha et al, 2005). Skizofrenia biasanya menyerang pasien dewasa yang berusia 15-35 tahun. Diperkirakan terdapat 50 juta penderita di dunia, 50% dari penderita tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat pengobatan tepat tersebut terjadi di negara berkembang (WHO, 2011). Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat (skizofrenia) sebesar 4,6. Sulawesi Tengah menempati peringkat pertama dari provinsi lain yang berada di Sulawesi dengan penderita skizofrenia sebesar 5,3 yang kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Sulawesi Selatan 3,2, Sulawesi Tenggara 2,5, Sulawesi Utara 2,4, Gorontalo 2,4, dan Sulawesi Barat 1 (RISKESDAS, 2008). Salah satu penanganan skizofrenia dengan menggunakan pengobatan antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif mengobati skizofrenia (Irwan dkk, 2008). Hasil penelitian pola penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia menunjukkan bahwa jenis antipsikotik yang digunakan adalah klorpromazin, haloperidol, trifluoperazin, risperidon dan klozapin. Pada terapi tunggal antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah risperidon (21,1%) dan terapi kombinasi antipsikotik yang banyak digunakan adalah kombinasi haloperidol dan klorpromazin (23,2%). Pada kategori pengobatan terdiri dari pengobatan antipsikotik tipikal, pengobatan antipsikotik atipikal dan kombinasi antipsikotik tipikal-atipikal. Pengobatan dengan 3 menggunakan antipsikotik tipikal merupakan pengobatan terbanyak yang digunakan dengan persentase sebesar 41,5% (Jarut dkk., 2013). Hasil penelitian evaluasi penggunaan obat pada pasien skizofrenia adalah tepat indikasi sebanyak 100%, tepat pasien 100%, tepat obat 93,39%, dan tepat dosis 99,06% (Setyaningsih, 2011). Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal seperti haloperidol dan klorpromazin adalah memblokade dopamin pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists). Dengan adanya mekanisme kerja tersebut maka penggunaan antipsikotik tipikal mempunyai potensi yang besar untuk menimbulkan efek samping diantaranya berupa gejala ekstrapiramidal (GEP) (Maslim, 2003). Gejala ekstrapiramidal ini dapat berupa parkinsonisme (hipokinesia, kekakuan anggota tubuh, tremor tangan dan keluar air liur berlebihan, gejala rabbit syndrome), akathisia, dystonia akut, dyskinesia tardive, (BPOM RI, 2008). Rumah Sakit Daerah Madani merupakan satu-satunya Rumah Sakit milik pemerintah di Provinsi Sulawesi Tengah sebagai rujukan untuk pasien gangguan kejiwaan. Laporan dari unit rekam medik RSD Madani kasus pasien skizofrenia rawat inap termasuk pasien terbanyak di rumah sakit tersebut dengan kejadian pada tahun 2010 jumlah kasus sebanyak 326 dari 506 pasien gangguan jiwa, 2011 jumlah kasus sebanyak 347 pasien dari 560 pasien gangguan jiwa, 2012 4 jumlah kasus sebanyak 365 pasien dari 427 pasien gangguan jiwa dan 2013 jumlah kasus sebanyak 375 pasien dari 662 pasien gangguan jiwa. Data di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien skizofrenia di Provinsi Sulawesi Tengah setiap tahun. Hal tersebut seharusnya mendapat perhatian yang lebih, baik dari keluarga, masyarakat, perawat, dokter, farmasis maupun tenaga kesehatan lainnya di rumah sakit karena dampaknya yang luas dan berjangka waktu lama, baik terhadap kualitas hidup atau beban bagi pasien, keluarga, masyarakat maupun negara. Penggunaan obat yang rasional merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif. Dalam upaya meningkatkan pemakaian obat secara rasional, diperlukan peningkatan secara bersama-sama dalam seluruh proses terapi yang mencakup penegakkan diagnosis, pemilihan kelas terapi dan jenis obat, pemberian obat ke pasien, penentuan dosis, cara dan pemberian, harga obat, pemberian informasi yang sesuai dan kewaspadaan efek samping. Berdasarkan berbagai hal tersebut penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat frekuensi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : bagaimana rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien 5 skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat frekuensi? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat frekuensi. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Aspek Pendidikan Penelitian ini diharapkan sebagai sumber berbagai konsep teori yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan pemahaman, penalaran, dan pengalaman peneliti terkait dengan masalah rasionalitas pengobatan. 1.4.2 Aspek pengembangan penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan langkah awal untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia. 6 1.4.3 Aspek Pelayanan Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumber data mengenai penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia, khususnya di wilayah kerja RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah. 1.5 Batasan Masalah Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa (ruang manggis, ruang salak, ruang srikaya, ruang langsat) RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat frekuensi. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1 Definisi Istilah schizophrenia diperkenalkan oleh Bleuler (psikiater dari Swiss). Kata schizophrenia berasal dari bahasa Yunani, yaitu skhizo (split/membelah) dan phren (mind/pikiran). Schizophrenia berarti terbelah atau terpisahnya emosi dengan pikiran. Hal ini jelas terlihat bahwa penderita gangguan schizophrenia pada umumnya ditandai penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted) (First et al, 2004). Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi; gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, efek yang datar; serta terganggunya relasi personal (Arif, 2006). Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan 8 kendala sosial, emosional dan kognitif (pengenalan, pengetahuan, daya membedakan) (Tjay dkk, 2007). 2.1.2 Patofisiologis Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di korteks prefontalis, dan pada pasien yang didominasi gejala negatif juga terdapat penurunan jumlah neuron (penurunan jumlah substansia grisea). Selain itu, migrasi neuron yang abnormal selama perkembangan otak secara patofisiologis sangat bermakna. Gambar 2.1 Patofisiologis skizofrenia (Silbernagl, 2007) 8 kendala sosial, emosional dan kognitif (pengenalan, pengetahuan, daya membedakan) (Tjay dkk, 2007). 2.1.2 Patofisiologis Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di korteks prefontalis, dan pada pasien yang didominasi gejala negatif juga terdapat penurunan jumlah neuron (penurunan jumlah substansia grisea). Selain itu, migrasi neuron yang abnormal selama perkembangan otak secara patofisiologis sangat bermakna. Gambar 2.1 Patofisiologis skizofrenia (Silbernagl, 2007) 8 kendala sosial, emosional dan kognitif (pengenalan, pengetahuan, daya membedakan) (Tjay dkk, 2007). 2.1.2 Patofisiologis Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di korteks prefontalis, dan pada pasien yang didominasi gejala negatif juga terdapat penurunan jumlah neuron (penurunan jumlah substansia grisea). Selain itu, migrasi neuron yang abnormal selama perkembangan otak secara patofisiologis sangat bermakna. Gambar 2.1 Patofisiologis skizofrenia (Silbernagl, 2007) 9 Atrofi penonjolan dendrit mengandung sinaps glutamatergik, sehingga transmisi glutamatergiknya terganggu. Selain itu, pada area yang terkena, pembentukan GABA dan/atau jumlah neuron GABAergik tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel piramidal menjadi berkurang. Makna patofisiologis yang khusus dikaitkan dengan dopamin; availibilitas dopamin atau agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia, dan penghambat reseptor dopamin-D 2 telah sukses digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia. Di sisi lain, penurunan reseptor D 2 yang ditemukan di korteks prefontalis, dan penurunan reseptor D 1 dan D 2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia, seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan dopamin yang meningkatkan dan hal ini tidak memiliki efek patogenetik (Silbernagl, 2007). 2.1.3 Etiologi Menurut Amir (2013), belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai skizofrenia. Ada beberapa hasil penelitian yang dilaporkan saat ini : 1. Biologi Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada penderita skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat pada sub populasi pasien. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral yang stabil yang kadang- 10 kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit; atropi bilateral lobus temporal medial dan lebih spesifik yaitu girus parahipokampus, hipokampus dan amiglada; disorientasi spasial sel pyramid hipokampus dan penurunan volume korteks prefrontal dorsolateral. Beberapa penelitian melaporkan bahwa semua perubahan ini tampaknya statis dan telah dibawa sejak lahir, dan beberapa perjalanan progresif. Lokasinya menunjukkan gangguan perilaku yang ditemui pada skizofrenia; misalnya, gangguan hipokampus dikaitkan dengan impermen memori dan atropi lobus frontalis dihubungkan dengan gejala negatif skizofrenia. Penemuan lain yaitu adanya antibodi sitomegalovirus dalam cairan serebrospinal (CSS), limposit atipikal tipe P (terstimulasi), gangguan fungsi hemister kiri, gangguan transmisi dan pengurangan ukuran korpus kalosum, pengecilan serebri, penurunan aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal (dilihat dengan PET), kelainan EEG, EPP300 auditorik (dengan QEEG), sulit memusatkan perhatian, dan perlambatan waktu reaksi, serta berkurangnya kemampuan menanamkan benda. Pada individu yang berkembang menjadi skizofrenia terdapat peningkatan insiden komplikasi persalinan, lebih besar kecenderungan lahir pada akhir musim dingin atau awal musim panas, dan terdapat gangguan neurologi minor. Kemaknaan penemuan-penemuan ini belum diketahui. Bagaimanapun, ini 11 menunjukkan adanya dasar biologik dan heterogenitas skizofrenia. 2. Biokimia Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak yaitu adanya gangguan neurotransmiter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin sentral (hipotesis dopamin). Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama : a) Efektivitas obat-obat neuroleptik (misalnya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja memblok reseptor dopamin pasca sinaps (tipe D 2 ). b) Terjadinya psikosis akibat pengguanaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar dibedakan, secara klinik, dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin melepaskan dopamin sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia. c) Adanya peningkatan jumlah reseptor D 2 di nukleus kaudatus, nukleus akumben, dan putamen pada skizofrenia. Penelitian reseptor D 1 , D 5 dan D 4 , saat ini tidak banyak memberikan hasil. Teori lain yaitu peningkatan serotonin di susunan saraf pusat (terutama 5-HT 2A ) dan kelebihan neurotramsmiter di forebrain limbik (terjadi pada beberapa penderita skizofrenia). Setelah pemberian obat yang bersifat antagonis terhadap neurotransmitter tersebut terjadi perbaikan klinis skizofrenia. 12 3. Genetika Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara signifikan, kompleks dan poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia adalah gangguan bersifat keluarga (misalnya; terdapat dalam keluarga). Semakin dekat hubungan kekerabatan semakin tinggi risiko. Pada penelitian anak kembar, kembar monozigot mempunya risiko 4-6 kali lebih sering menjadi sakit bila dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada penelitian adopsi, waktu lahir, oleh keluarga normal, peningkatan angka sakitnya sama dengan bila anak-anak tersebut diasuh sendiri oleh orang tuanya yang skizofrenia. Frekuensi kejadian gangguan nonpsikotik meningkat pada keluarga skizofrenia dan secara genetik dikaitkan dengan gangguan kepribadian ambang dan skizotipal (gangguan spektrum skizofrenia), gangguan obsesif kompulsif, dan kemungkinan dihubungkan dengan gangguan kepribadian paranoid dan antisosial. 4. Faktor Keluarga Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang pulang kerumah sering relaps pada tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan di residensial. Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal bersama keluarga 13 yang hostilitas, memperlihatkan kecemasan berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, terlalu ikut campur, sangat pengeritik (ekspresi emosi tinggi). Pasien skizofrenia sering tidak dibebaskan oleh keluarganya. Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang aneh pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar- samar atau tidak jelas dan sedikit tak logis. Pada tahun 1959, Betson menggambarkan suatu karakteristik ikatan ganda yaitu pasien sering diminta oleh anggota keluarga untuk merespon pesan yang bentuknya kontradiksi sehingga membingungkan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa pola komunikasi keluarga tersebut mungkin disebabkan oleh dampak memiliki anak skizofrenia. 2.1.4 Manifestasi klinis Menurut Ade (2012), gambaran secara klinis terjadinya skizofrenia pada setiap orang berbeda-beda, bahkan pada satu individu pun akan bervariasi seiring bejalan waktu. Para peneliti dan komonitas medis telah menyetujui bahwa terdapat 3 fase/tahapan yang berbeda dalam perjalan penyakit skizofrenia, yaitu : 1. Fase akut Pada fase tersebut, penderitanya mengalami gejala-gejala mayor yang bisa dilihat jelas. Pertolongan medis berupa pemberian antipsikotik dibutuhkan penderita. Gejala-gejala tersebut bisa saja 14 terjadi dengan sangat perlahan atau mungkin tiba-tiba. Gejala yang dialami penderita pada episode mayor diantaranya yaitu penderita tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan yang ada di lingkungannya, halusinasi, delusi, asosiasi longgar, cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar, ambivalen, tidak mau bekerja sama dan menyukai hal-hal yang membuat konflik disekitarnya, tidak mau merawat diri serta gangguan nafsu makan dan tidur (Dipiro et al, 2009). 2. Fase stabilisasi Penderita mengalami penurunan gejala setelah fase akut, ditandai dengan berkurangnya gejala-gejala klinis. 3. Fase stabil Pada fase yang biasa disebut juga fase kronis atau rumatan ini, gejala-gejala klinis yang terjadi pada episode akut sudah mampu dikelola dengan baik, namun masih ada kesulitan untuk berfungsi seperti semula dan berisiko kambuh pada episode akut dan stabilisasi. 2.1.5 Gejala-Gejala skizofrenia Menurut Hawaris (2007), gejala skizofrenia dibagi menjadi 2, yaitu gejala positif dan negatif antara lain : 15 1. Gejala Positif skizofrenia a) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional. Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. b) Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan. Misalnya penderita mendengar bisikan-bisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber dari bisikan itu. c) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya. d) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. e) Merasa dirinya Orang Besar, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya. f) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. g) Menyimpan rasa permusuhan 2. Gejala negatif skizofrenia a) Alam perasaan tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi. b) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun. 16 c) Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam. d) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial. e) Sulit dalam berfikir abstrak. f) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif dan serba malas. 2.1.6 Diagnosis Menurut Arif (2006), paling tidak terdapat enam kriteria diagnostik skizofrenia menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders (DSM) IV text revision sebagai berikut : 1. Jika terdapat dua atau lebih gejala psikotik secara terus menerus minimal dalam waktu 6 bulan, dengan sedikitnya 1 bulan penderita menunjukkan gejala tersebut secara intens. Gejala-gejala yang dimaksud seperti: a) Delusi b) Halusinasi c) Pembicaraan kacau d) Tingkah laku kacau atau katatonik e) Gejala negatif (pendataran afek atau tidak ada kemauan) 2. Disfungsi sosial 3. Durasi paling tidak selama 6 bulan. Periode 6 bulan ini mencakup paling tidak 1 bulan dimana gejala-gejala muncul. 4. Tidak termasuk gangguan skizoefektif dan gangguan mood. 5. Tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis. 17 6. Hubungan dengan Pervasive Developmental Disorder (PDD). Bila ada riwayat gangguan austistik atau gangguan PDD lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila ada halusinasi atau delusi yang menonjol, selama paling tidak 1 bulan. Gambar 2.2 Skema diagnosis skizofrenia (Mansjoer dkk, 1999) 2.1.7 Tipe-tipe Skizofrenia Menurut Arif (2006), ada beberapa tipe skizofrenia; masing- masing memiliki kekhasan tersendiri dalam gejala-gejala yang diperlihatkan dan tampaknya memiliki penyakit yang berbeda-beda antara lain : GEJALA PSIKOTIK 1. Waham 3. Inkoherensi 2. Halusinasi 4. Katatonia TANDA ORGANIK 1. Penurunan kesadaran patologik 2. Disorientasi 3. Gangguan daya ingat 4. Gangguan fungsi intelektual GANGGUAN MENTAL ORGANIK atau GANGGUAN JIWA AKIBAT PENYAKIT UMUM PSIKOTIK FUNGSIONAL (gangguan psikotik) 1. > 6 bulan 3. Deteriorasi 2. Onset < 45 tahun skizofrenia nonskizofrenia Ya Tidak Tidak Ya 18 1. Skizofrenia Tipe Paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afek yang relatif masih terjaga. Wahamnya biasanya adalah waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain misalnya waham kecemburuan, keagamaan mungkin juga muncul. Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid: a) Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau sering mengalami halusinasi auditorik. b) Tidak ada ciri berikut yang mencolok: bicara kacau, motorik kacau atau katatonik, afek yang tak sesuai atau datar. 2. Skizofrenia Tipe hebefrenik (disorganized) Ciri utama disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak berkaitan dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku misalnya: kurangnya orientasi pada tujuan dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari- hari. Kriteria diagnostik skizofrenia tipe disorganized : a) Gejala ini cukup menonjol: Pembicaraan kacau, tingkah laku kacau. b) Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik. 19 3. Skizofrenia Tipe katatonik Ciri utama pada skizofrenia tipe katatonik adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidak-bergerakan motorik, aktivitas motor yang berlebihan, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi, gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain. Kriteria diagnostik skizofrenia tipe katatonik : a) Aktivitas motor yang berlebihan (yang tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulasi eksternal). b) Negativism yang ekstrim (tanpa motivasi yang jelas, bersikap sangat menolak pada segala instruksi atau mempertahankan postur yang kaku untuk menolak dipindahkan) atau sama sekali diam. c) Gerakan-gerakan yang khas dan tidak terkendali. 4. Skizofrenia Tipe Tak Terici (undifferentiated) Pasien mempunyai halusinasi, waham dan gejala-gejala psikosis aktif yang menonjol (misalnya; kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tetapi tidak digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual dan depresi pasca skizofrenia (Amir, 2013). 5. Skizofrenia Tipe residual Diagnosa skizofrenia tipe residual diberikan bilamana pernah ada paling tidak satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran 20 klinis saat ini tanpa gejala positif yang menonjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya gejala negatif atau gejala positif yang lebih halus. Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik, asosiasi melonggar atau pikiran tak logis) (Amir, 2013). 6. Depresi Pasca skizofrenia Suatu episode depresi yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya. Gejala-gejala yang menetap tersebut dapat berupa gejala positif atau negatif (biasanya lebih sering gejala negatif) (Amir, 2013). 7. Skizofrenia simpleks Skizofrenia simpleks adalah suatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinkan karena bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan, progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan disertai dengan perubahan- perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan, yang 21 bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara sosial (Amir, 2013) 8. Skizofrenia lainnya Skizofrenia lainnya termasuk skizofrenia senestopatik, gangguan skzofreniform YTT, skizofrenia siklik, skizofrenia laten, gangguan lir-skizofrenia akut (Amir, 2013). 9. Skizofrenia Tipe Yang Tidak Tergolongkan/YTT (unspecified) Skizofrenia jenis ini gejalanya sulit untuk digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu. 2.1.8 Terapi skizofrenia Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) (2012), penatalaksanaan skizofrenia dapat berupa farmakoterapi, psikoterapi dan terapi lainnya yang dibagi dalam beberapa fase yaitu : 1. Fase Akut a) Farmakoterapi Pada fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah. Pada langkah pertama yaitu berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan. Kemudian keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien 22 berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan. b) Psikoedukasi Tujuan intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresos lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman, toleran perlu dilakukan. c) Terapi lainnya ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada skizofrenia katatonik dan skizofrenia refrakter. 2. Fase Stabilisasi a) Farmakoterapi Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol, meminimalisir risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). 23 Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama kurang 8-10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotik jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu. b) Psikoedukasi Tujuan intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan keluarganya dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini. 3. Fase Rumatan a) Farmakoterapi Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan terapi diberikan lima tahun bahkan seumur hidup. b) Psikoedukasi Tujuan intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan 24 terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya. 2.2 Antipsikotik 2.2.1 Definisi Antipsikotik (major tranquillizers) adalah obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal (Tjay dkk, 2007). Antipsikotik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat (skizofrenia). Obat antipsikotik memiliki 4 ciri terpenting. Pertama berefek antipsikotis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis. Ciri kedua yaitu dosis besar obat antipsikosis tidak menyebabkan koma yang dalam dan anesthesia. Ciri yang ketiga yaitu dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversible dan ireversible. Ciri terakhir yaitu tidak memiliki kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan (Anonim, 2007). 25 2.2.2 Penggolongan Antipsikotik Menurut Tjay dkk (2007), Antipsikotik (AP) biasanya dibagi dalam dua kelompok besar yakni: 1. Antipsikotik typis atau klasik, terutama efektif mengatasi gejala positif; pada umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut : a) Derivat-fenotiazin : klorpromazin, levomepromazin dan triflupromazin, thioridazin dan periciazin, perfenazin dan flufenazin, perazin, trifluoperazin dan thietilperazin. Semua fenotiazin mempunyai struktur yang sama yaitu tiga cincin. Perbedaan terletak pada rantai samping atom nitrogen cincin tengah. Fenotiazine terdiri dari tiga jenis, berdasarkan substitusi pada posisi sepuluh. Substitusi ini memberikan pengaruh penting terhadap karakteristik farmakologi fenotiazine. Substitusi pada rantai alifatik, seperti klorpromazin, menyebabkan turunnya potensi antipsikotik (AP). Obat ini cenderung menyebabkan sedasi, hipotensi, dan efek antikolinergik pada dosis terapeutiknya. Klorpromazin mempunya atom klorpromarin pada posisi dua. Apabila atom klorine dibuang, akan dihasilkan promazin yaitu AP lemah. Mensubstitusi piperidin pada posisi sepuluh dapat menghasilkan kelompok AP seperti tioridazin. Obat ini mempunyai potensi dan profil efek samping yang sama dengan 26 fenotiazine alifatik. Flufenazin dan trifluoperazin merupakan AP dengan kelompok piperazin yang disubstitusi pada posisi sepuluh. Piperazin memiliki efek otonom dan antikolinergik lebih rendah dan tetapi memiliki afinitas yang tinggi terhadap dopamin (D 2 ) sehingga efek samping ekstrapiramidalnya (EPS) lebih tinggi. Beberapa fenotiazin piperazin diesterifikasi pada kelompok hidroksil bebas dengan etanoat dan asam dekanoat sehingga terbentuk AP depo antipsikotik generasi I (APG-I) jangka panjang (Amir, 2013). Klorpromazin dan thioridazin: menghambat 1 adrenoreseptor lebih kuat dari reseptor dopamin D 2 . Kedua obat ini juga menghambat reseptor serotonin 5-HT2 dengan kuat. Tetapi afinitas untuk reseptor D 1 seperti diukur dengan penggeseran ligan D 1 yang selektif, relatif lemah (Katzung, 1998). Klorpromazin khasiat antipsikotiknya lemah dan juga digunakan untuk mengobati sedu yang tak henti-henti, dosis pada psikosis oral, i.m atau i.v. 3 dd 25 mg selama 3-4 hari, bila perlu dinaikkan sampai 1 g. Sedangkan thioridazin memiliki khasiat antipsikotis dan sedatif yang baik, sehingga sering digunakan pada pasien yang sukar tidur, dosis oral 2-4 dd 25-27 mg maksimal 800 mg sehari (Tjay dkk, 2007). 27 Levomepromazin : khasiat antipsikotiknya sama dengan klorpromazin dengan dosis pada nyeri hebat i.m 12,5-25 mg, oral 4-6 dd 12,5-50 mg. Trifluoperazin yang kurang lebih sama dengan periciazin memiliki antipsikotik agak ringan dan efek antiadrenergik dan seretonin kuat dengan dosis oral permulaan 5 mg sehari, dinaikkan setiap 2-3 hari dengan 5 mg sampai maksimal 90 mg (Tjay dkk, 2007) Perfenazin : bekerja terutama pada reseptor D 2 , efek pada reseptor 5-HT 2 dan 1 ada tetapi pada reseptor D 1 dapat dikesampingkan (Katzung, 1998). b) Derivat-thioxanthen : klorprotixen dan zuklopentixol Tioxantine mempunyai persamaan struktur cincin tiga dengan fenotiazine tetapi nitrogen pada posisi sepuluh disubstitusi dengan atom karbon. Klorprotixin merupakan tioxantin alifatik potensi rendah dengan profil efek samping sama dengan khlorpromazine (Amir, 2013). c) Derivat-butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon dan droperidol. Butirofenon mempunyai cincin piperidine yang melekat pada kelompok amino tersier. Haloperidol merupakan antipsikotik yang termasuk kelompok ini. Haloperidol dan 28 butirofenon lain bersifat D 2 antagonis yang sangat poten. Efek terhadap sistem otonom dan efek antikolinergiknya sangat minimal. Haloperidol merupakan piperidine yang paling sering digunakan (Amir, 2013). Haloperidol merupakan obat yang digunakan untuk skizofrenia dan pada berbagai macam gerakan spontan dari otot kecil yang diperkirakan akibat hiperaktivitas sistem dopamin di otak. Bromperidol berkhasiat khusus terhadap halusinasi dan pikiran khayal sedangkan droperidol digunakan sebagai antipsikotikum pada keadaan gelisah akut dengan dosis i.m/i.v 5-10 mg (Tjay dkk, 2007) d) Derivat-butilpiperidin : pimozida, fluspirilen dan penfluridol Difenilbutil piperidine sama strukturnya dengan butirofenon (Amir, 2013). Pimozida memiliki khasiat antipsikotik kuat dan panjang. Efek terapi baru nyata sesudah beberapa waktu, tetapi bertahan agak lama. Obat ini tidak layak diberikan pada keadaan eksitasi dan kegelisahan akut, yang memerlukan sedasi langsung, lagi pula efek sedasinya lebih ringan dibandingkan obat lain. Pimozida khusus digunakan pada psikosis kronis jangka panjang (Tjay dkk, 2007). 2. Antipsikotik atypis (sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin dan quetiapin) bekerja efektif melawan gejala negatif, yang praktis 29 kebal terhadap obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda. Klozapin merupakan antipsikotik generasi kedua yang efek samping ekstrapiramidalnya dapat diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi pertama, semua antipsikotik generasi II (APG-II) mempunyai rasio blokade serotonin (5 hidroksitriptamin) (5-HT) tipe 2 (5-HT2) terhadap resptor dopamin tipe 2 (D2) lebih tinggi. Ia lebih banyak bekerja pada sistem dopamin mesolimbik dari pada striatum (Amir, 2013). Klozapin : bekerja dengan menghambat reseptor-D 2 agak ringan dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek antipsikotisnya kuat, yang bisa dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin, antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah relatif tinggi. Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari reseptor-D 2 , -D 4 , dan -5HT 2 . Blokade reseptor- muskarinik dan D 4 diduga mengurangi GEP, sedangkan blokade 5HT 2 meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian blokade D 2 , tetapi mengurangi risiko gejala ektrapiramidal (Tjay dkk, 2007). 30 Risperidon merupakan antagonis kuat baik terhadap serotonin (terutama 5-HT2) dan reseptor D 2 . Risperidon juga mempunyai afinitas kuat terhadap a 1 dan a 2 tetapi afinitas terhadap -reseptor dan muskarinik rendah. Walaupun dikatakan ia merupakan antagonis D 2 kuat, kekuatannya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan haloperidol. Akibatnya, efek samping ekstrapiramidalnya lebih rendah bila dibandingkan dengan haloperidol. Aktivitasnya melawan gejala negatif dikaitkan dengan aktivitasnya terhadap 5HT2 yang juga tinggi (Amir, 2013). 2.2.3 Efek samping Menurut Tjay dkk (2007), sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotik dan yang paling sering adalah : 1. Gejala ekstrapiramidal (GEP), yang berhubungan dengan daya antidopaminnya dan bersifat lebih ringan pada senyawa butirofenon, butilpiperidin dan obat atypis. GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai: a) Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia (daya gerak berkurang, berjalan langkah demi langkah) dan kekauan anggota tubuh, kadang-kadang tremor tangan dan keluar liur berlebihan. Gejala lainnya rabbit-syndrome (mulut membuat gerakan mengunyah, mirip kelinci), yang dapat muncul setelah beberapa minggu atau bulan. Terutama pada 31 dosis tinggi dan lebih jarang pada obat dengan kerja antikolinergis. b) Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala miring, gangguan menelan, sukar bicara dan kejang rahang. Guna menghindarkannya dosis harus dinaikkan dengan perlahan atau diberikan antikolinergika sebagai profilaksis. c) Akathisia, yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa menggerakan kaki, tangan atau tubuh. Ketiga GEP di atas dapat dikurangi dengan menurunkan dosis dan dapat diobati dengan antikolinergika. d) Dyskinesia tarda, yakni gerakan abnormal tak sengaja, khususnya otot-otot muka dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi permanen. e) Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan sistem saraf otonom (takikardia, berkeringat, fluktasi tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini tak tergantung pada dosis, terutama terjadi pada pria muda dalam waktu 2 minggu dengan insiden 1%. Diagnosanya sukar, tetapi bila tidak ditangani bisa berakhir fatal. 2. Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin, yang identik dengan PIF (Prolactine Inhibiting Factor). Sekresi 32 prolaktin tidak dirintangi lagi, kadarnya meningkat dan produksi air susu bertambah banyak. 3. Sedasi, yang berhubungan dengan khasiat antihistamin, khusunya klorpromazin, thioridazin dan klozapin. Efek sampingnya ringan pada zat-zat difenilbutilamin. 4. Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor 1 -adrenergis, misalnya klorpromazin, thioridazin dan klozapin. 5. Efek antikolinergis akibat blokade reseptor muskarin, yang bercirikan antara lain mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih dan takikardia, terutama pada lansia. Efeknya khusus kuat pada klorpromazin, thioridazin dan klozapin. 6. Efek antiserotonin akibat blokade reseptor-5HT, yang berupa stimulasi nafsu makan dengan akibat naiknya berat badan dan hiperglikemia. 7. Gejala penarikan dapat timbul, meskipun obat-obat ini tidak berdaya adiktif. Bila penggunaannya dihentikan mendadak dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia dan rasa takut. Efek ini terutama pada obat-obat dengan kerja antikolinergis. Oleh karena itu penghentiannya selalu perlu secara berangsur. Efek samping yang irreversible : tardive dyskinesia (gerak, dimana tidur akan berulang involunter pada lidah, wajah, mulut/rangka, dan anggota gerak, di mana waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang dan 33 pasien lanjut usia. Bila terjadi, obat antipsikosis harus dihentikan perlahan-lahan, biasa dicoba pemberian obat 2,5 mg/hari Dopamine Depleting Agent (DDA). Obat pengganti antipsikosis yang paling baik adalah klozapin 50-100 mg/hari. Pada pemakaian obat jangka panjang secara periodik harus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat (Mansjoer dkk, 1999). Kontraindikasi untuk obat ini adalah penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol dan gangguan kesadaran (Maslim, 1997). Tabel 2.1 Efek Samping Farmakologik Antipsikosis Sistem organ yang dipengaruhi Manifestasi Mekanisme Sistem saraf otonom Gangguan penglihatan, mulut kering, sulit berkemih, konstipasi Hipotensi ortostatik, impotensi, gangguan ejakulasi Hambatan reseptor muskarinik Hambatan reseptor adrenergik Susunan saraf pusat Sindrom Parkinson, akatisia distonia, Diskinesia tardif Kejang Toksik Hambatan reseptor dopamin Supersensitivitas reseptor dopamin Hambatan reseptor muskarinik Sistem Endokrin Amenorea, galaktorea, infertilitas, impotensi Hambatan reseptor dopamin yang menyebabkan hiperprolaktinemia Sistem lain Peningkatan berat badan Kemungkinan hambatan reseptor H1 dan 5-HT2 Sumber: Anonim, 2007 34 Pemilihan antipsikotik sebaiknya mempertimbangkan tanda-tanda klinis dari penderita, profil khasiat dan efek samping dari obat-obat yang akan digunakan. Tiap-tiap tahap dapat dilewati tergantung pada gambaran klinis atau riwayat kegagalan pemberian antipsikotik. Episode pertama atau belum pernah mendapat terapi AGP sebelumnya Respon sebagian atau tidak ada Respon sebagian atau tidak ada Respon sebagian atau tidak ada Respon sebagian atau tidak ada Respon sebagian atau tidak ada Tidak ada respon Gambar 2.3 Algoritma antipsikotik (Dipiro et al, 2011) Tahap 1 Pemberian AGK tunggal (ARIPIPRAZOLE, OLANZAPINE, QUETIAPINE, RISPERIDONE, atau ZIPRASIDONE) Tahap 2 Pemberian AGK tunggal (selain AGK yang diberikan pada tahap 1) Tahap 2A Pemberian AGP tunggal (selain AGK yang diberikan pada tahap 1) Tahap 3 CLOZAPINE Tahap 4 CLOZAPINE + (AGP, AGK atau Tahap 5 Coba terapa dengan agen tunggal AGP atau AGK (selain AGK yang diberikan pada tahap 1,2 atau 2A) Tahap 6 Terapai kombinasi, yaitu: AGK+AGP, kombinasi AGK, (AGP atau AGK)+ECT, (AGP atau AGK+agen lain (misal mood stabilizer) AGP, antipsikotik generasi pertama AGK, antipsikotik generasi kedua ECT, terapi electrokonvulsif Nilai dari kegagalan terapi clozapine tidak ditentukan Dilporkan tidak ada kontrol pada penelitian dengan penggunaan terapi kombinasi jangka panjang untuk terapi skizofrenia 35 2.3 Penggunaan Obat yang Rasional Menurut Swandari (2012), penggunaan obat yang rasional merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif. Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. 1. Tepat Diagnosis Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. 2. Tepat indikasi Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa dokter. Misalnya pasien skizofrenia hanya akan diberikan obat antipsikotik. 3. Tepat pemilihan obat Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal mungkin. 36 4. Tepat pasien Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. 5. Tepat dosis Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu. 6. Tepat cara dan lama pemberian Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat. Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. 37 7. Tepat harga Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. 8. Tepat informasi Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. 9. Waspada efek samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental observasional yang dikerjakan secara prospektif dan hasil penelitian disajikan secara deskriptif. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah. 3.2.2 Waktu penelitian Waktu penelitian berlangsung pada periode Januari-April 2014. 3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014. 39 3.3.2 Sampel Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Untuk menghitung ukuran minimal sampel dapat diketahui dari populasi yang diketahui jumlahnya pada tahun 2013 yang kemudian dibagi dengan 4 sehingga didapatkan jumlah sampel selama 3 bulan. Rumusnya adalah sebagai berikut: n = ( ) Keterangan: N = Besar Populasi n = Besar sampel d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan, pada penelitian ini digunakan 0,05. (Notoatmodjo, 2005) Telah dilakukan studi pendahuluan dan jumlah populasi yang diketahui pada tahun 2013 adalah 375. Maka: n = ( , ) = , = 193,54 194 Sehingga jumlah sampel selama 3 bulan yaitu: Jumlah sampel minimal = = = 48,5 49 40 1. Kriteria Inklusi a) Pasien yang terdiagnosis skizofrenia tanpa penyakit penyerta b) Pasien dengan usia 18 tahun c) Pasien yang menjalani rawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah 2. Kriteria eksklusi a) Pasien pulang paksa, lari, pindah rumah sakit, dirujuk ke tempat lain. b) Pasien yang menjalani rawat inap jiwa di ruangan mangga (observasi), apel (VIP), dan anggur (skizofrenia dengan penyakit penyerta). c) Pasien meninggal 3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.4.1 Variabel Penelitian Variabel penelitian ini adalah rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat frekuensi. 41 3.4.2 Definisi Operasional 1. Antipsikotik adalah obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan normal. 2. Rasionalitas merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif dinilai berdasarkan tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis dan tepat frekuensi. 3. Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Kategori : a. Laki-laki b. Perempuan Skala : nominal 4. Usia adalah selisih waktu kelahiran dengan waktu masuk rumah sakit. Sampel penelitian yang digunakan pasien usia 18 tahun. Kategori : a. 18-25 tahun c. 46-65 tahun b. 26-45 tahun d. >65 tahun Skala : ordinal 5. Lama rawat inap adalah selisih antara waktu masuk rumah sakit dan waktu pulang. Kategori : a. < 28 hari b. > 28 hari Skala : ordinal 42 6. Tepat indikasi adalah pemberian obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa dokter. Kategori : a. Ya b. Tidak Skala : nominal 7. Tepat obat adalah pemilihan obat antipsikotik yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi, jenis dan kombinasi obat yang sesuai dengan diagnosis pada pasien skizofrenia Kategori : a. Ya b. Tidak Skala : nominal 8. Tepat pasien adalah kesesuaian pemilihan obat antipsikotik yang diberikan pada pasien skizofrenia yang tidak kontraindikasi dengan kondisi pasien seperti riwayat alergi dan kondisi khusus lainnya. Kategori : a. Ya b. Tidak Skala : nominal 9. Tepat dosis adalah dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat antipsikotik. Kategori : a. Ya b. Tidak Skala : nominal 10. Tepat frekuensi adalah jumlah pemberian obat dalam sehari yang harus sesuai indikasi obat antipsikotik dan penyakit skizofrenia. Kategori : a. Ya b. Tidak Skala : nominal 43 3.5 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan 2 cara, yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melakukan observasi dan wawancara, dimana peneliti terlibat secara langsung dalam mengamati keadaan pasien. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mencatat isi rekam medik meliputi : 1. Identitas pasien (nomor rekam medis, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, usia, alamat, suku, status perkawinan, jenjang pendidikan, pekerjaan) 2. Data klinik (gejala, diagnosis, jenis antipsikotik yang digunakan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal keluar rumah sakit, cara keluar) 3. Obat (nama obat, dosis, frekuensi) 3.6 Analisa Data Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif (frekuensi) bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian yaitu : 1. Karakteristik pasien skizofrenia a. Jenis kelamin b. Usia c. Suku/etnis d. Status perkawinan e. Jenjang pendidikan f. Pekerjaan 44 2. Karakteristik klinis skizofrenia a. Gejala b. Diagnosis c. Jenis antipsikotik yang digunakan d. Lama rawat inap e. Keadaan pulang 3. Rasionalitas penggunaan antipsikotik a. Tepat indikasi b. Tepat obat c. Tepat pasien d. Tepat dosis e. Tepat frekuensi 45 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah selama kurun waktu 3 bulan (Januari-April 2014) diperoleh jumlah pasien sebanyak 74 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. a. Karakteristik Pasien 1. Jenis kelamin Tabel 4.1 Distribusi jenis kelamin pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Jenis kelamin Jumlah pasien Persentase (%) Laki-laki 59 79,7 Perempuan 15 20,3 Total 74 100 2. Usia Tabel 4.2 Distribusi usia pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari- April 2014 Usia (tahun) Laki-laki Usia (tahun) Perempuan N % N % 18-25 14 23,7 18-25 2 13,3 26-45 39 66,1 26-45 11 67,6 46-65 6 10,2 46-65 2 13,3 >65 0 0 >65 0 0 Total 59 100 Total 15 100 46 3. Suku/etnis Tabel 4.3 Distribusi suku/etnis pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Suku/etnis Jumlah pasien Persentase (%) Kaili 22 29,7 Pamona 7 9,5 Mori 2 2,7 Tomini 5 6,8 Bungku 3 4,1 Dampelas 1 1,4 Lainnya 21 28,4 Tanpa Keterangan 12 16,4 Total 74 100 4. Status perkawinan Tabel 4.4 Distribusi status perkawinan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Status Perkawinan Jumlah pasien Persentase (%) Kawin 10 13,5 Tidak/Belum Kawin 53 71,6 Duda/Janda 11 14,9 Total 74 100 5. Jenjang pendidikan Tabel 4.5 Distribusi jenjang pendidikan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Jenjang Pendidikan Jumlah pasien Persentase (%) Tidak Sekolah 10 13,5 SD 21 28,4 SMP 19 25,7 SMA 20 27 Akademi 1 1,4 Sarjana 3 4,1 Total 74 100 47 6. Pekerjaan Tabel 4.6 Distribusi pekerjaan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Pekerjaan Jumlah pasien Persentase (%) PNS 2 2,7 Tani/Nelayan 14 18,9 Wiraswasta 4 5,4 Buruh 1 1,4 Pelajar/Mahasiswa 2 2,7 Tidak Bekerja 51 68,9 Total 74 100 b. Karakteristik klinis skizofrenia 1. Gejala Tabel 4.7 Distribusi gejala pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari- April 2014 Gejala Jumlah Persentase (%) Gejala Positif Waham 18 16.2 Halusinasi 51 45.9 Inkoherensi 11 9.9 Gejala Negatif Afek Datar 19 17.1 Alogia 9 8.1 Isolasi sosial 3 2.7 Total 100 2. Tipe-tipe skizofrenia Tabel 4.8 Distribusi tipe-tipe skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari- April 2014 Diagnosa Jumlah pasien Persentase (%) Skizofrenia Paranoid 30 40,5 Skizofrenia Hebefrenik 3 4,1 Skizofrenia Tak Terinci 20 27,0 Skizofrenia Residual 4 5,4 Skizofrenia YTT 17 23,0 Total 74 100 YTT: Yang Tak Tergolongkan 48 3. Jenis antipsikotik yang digunakan Tabel 4.9 Distribusi jenis antipsikotik yang digunakan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Jenis Antipsikotik Jumlah Persentase (%) Tipikal Klorpromazin 37 27,2 Trifluoperazin 10 7,4 Haloperidol 59 43,4 Atipikal Klozapin 26 19,1 Olanzapin 1 0,7 Risperidon 3 2,2 Total 136 100 4. Lama rawat inap Tabel 4.10 Distribusi lama rawat inap pasien infeksi saluran kemih yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Lama Rawat Inap Jumlah pasien Persentase (%) < 28 hari 22 29,7 > 28 hari 30 40,5 Total 52 70,3 5. Keadaan pulang Keadaan pulang pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 adalah seluruh pasien skizofrenia pulang 52 orang (70,3%) sembuh parsial dengan tetap berobat jalan dan pasien skizofrenia belum pulang 22 orang (29,7%) masih dirawat inap. Beberapa pasien sudah memenuhi kriteria pulang tapi masih dirawat inap karena belum adanya keluarga yang menjemput. Namun, jika jangka waktu yang cukup lama keluarga tidak datang, pasien diantar kerumahnya oleh pihak rumah sakit 49 c. Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik 1. Tepat indikasi Tabel 4.11 Distribusi tepat indikasi pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Tepat Indikasi Jumlah Persentase (%) Ya 74 100 Tidak 0 0 Total 74 100 2. Tepat obat Tabel 4.12 Distribusi tepat obat pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Tepat Obat Jumlah Persentase (%) Ya 123 90,4 Tidak 13 9,6 Total 136 100 3. Tepat pasien Tabel 4.13 Distribusi tepat pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Tepat Pasien Jumlah Persentase (%) Ya 65 87,8 Tidak 9 12,2 Total 74 100 4. Tepat dosis Tabel 4.14 Distribusi tepat dosis pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Tepat Dosis Jumlah Persentase (%) Ya 111 81,6 Tidak 25 18,4 Total 136 100 50 5. Tepat frekuensi Tabel 4.15 Distribusi tepat frekuensi pemberian antipsikotik pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 TFPA Jumlah Persentase (%) Ya 123 90,4 Tidak 13 9,6 Total 136 100 TFPA : Tepat Frekuensi Pemberian Antipsikotik 4.2 Pembahasan 1. Karakteristik Pasien a. Jenis kelamin Gambar 4.1 Distribusi jenis kelamin pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Gambar 4.1 di atas menunjukkan perbedaan distribusi pasien skizofrenia laki-laki dan perempuan pada hasil penelitian ini cukup signifikan. Pasien laki berjumlah 59 orang (79,7%), sedangkan pasien perempuan hanya berjumlah 15 orang (20,3%). Penelitian lain 79.7% 20.3% Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 51 menunjukan yaitu 66,9% pasien laki-laki dan 33,1% pasien perempuan dari total 142 pasien menderita skizofrenia (Jarut dkk, 2013). Berdasarkan wawancara peneliti dengan perawat rawat inap pasien skizofrenia di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah, jenis kelamin laki-laki penderita skizofrenia adalah yang paling banyak dirawat inap dibanding dengan perempuan karena laki-laki biasanya memiliki agresifitas sangat tinggi sehingga sulit ditangani jika hanya dirawat di rumah, sedangkan agresifitas pada perempuan penderita skizofrenia masih dapat ditangani oleh keluarga di rumah sehingga cenderung dirawat di rumah. Prognosis atau perjalanan penyakit pada laki-laki lebih buruk dibandingkan pada penderita perempuan sehingga cepat terlihat. Penyebabnya dapat karena faktor genetik, lingkungan atau pengaruh dari dalam diri sendiri. Hal ini juga sesuai dengan literatur bahwa laki-laki mempunyai onset skizofrenia lebih awal dari pada wanita dan mengalami pubertas lebih lambat karena suatu tingkat kematangan fungsi otak berpengaruh dalam tingkat kerentanan seseorang dalam jiwanya (Kaplan et al, 1997; Byrne et al, 2003; Lehman et al, 2004). 52 b. Usia Gambar 4.2 Distribusi usia pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Gambar 4.2 di atas menunjukkan distribusi usia pasien skizofrenia berdasarkan jenis kelamin, usia yang terbanyak pada pasien berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan adalah yang berusia antara 26-45 tahun yaitu 66,1% dan 73,3%. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa skizofrenia pada laki-laki biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun (Irmansyah, 2005). Lebih kurang 90% dari pasien skizofrenia dalam pengobatan berumur antara 15-25 tahun. Hal ini disebabkan pada usia muda terdapat faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional, sedangkan pada usia tua lebih banyak 23.7% 13.3% 66.1% 73.3% 10.2% 2% 0% 0% Laki-laki Perempuan Usia(tahun) 17-25 26-45 45-65 >65 53 dipengaruhi oleh faktor biologik (Kaplan et al, 1997). Oleh karena itu, skizofrenia yang muncul pada usia muda dapat mengurangi kualitas hidup penderitanya. Hal ini tidak berarti usia pada penelitian ini mempengaruhi skizofrenia karena usia pasien diambil ketika pasien masuk rumah sakit sehingga peneliti tidak mengetahui sejak kapan sebenarnya pasien mulai menderita skizofrenia. c. Suku/etnis Gambar 4.3 Distribusi suku/etnis pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Gambar 4.3 menunjukkan suku terbanyak pasien skizofrenia adalah suku Kaili yaitu 29,70%. Hal ini disebabkan karena jumlah responden pada saat penelitian yang paling banyak dirawat inap adalah suku Kaili. Menurut Anonim (2011) bahwa suku Kaili mendominasi daerah di Sulawesi Tengah, sehingga kemungkinan penderita 29.70% 9.50% 2.70% 6.80% 4.10% 1.40% 28.40% 16.40% Suku/etnis 54 skizofrenia bersuku kaili lebih banyak berobat dibandingkan dengan suku lain. Penelitian Sinaga (2009) di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan menunjukkan suku yang terbanyak menderita skizofrenia adalah suku yang jumlahnya terbanyak di daerah tersebut yaitu suku Batak (59,07%). Suku lainnya merupakan terbanyak kedua yaitu 28,40%. Suku lainnya merupakan suku yang berasal dari luar Sulawesi Tengah. Hal ini sesuai dengan Kaplan et al (2010) disebutkan bahwa para imigran baru memiliki stress lebih besar karena harus beradaptasi dengan kultur sekitarnya. Namun pada penelitian ini, tidak diketahui sejak kapan suku lainnya yang berasal dari luar Sulawesi Tengah tinggal menetap di daerah Sulawesi Tengah dan bukan berarti menjelaskan bahwa ada keterkaitan faktor suku dengan terjadinya penyakit skizofrenia. d. Status perkawinan Gambar 4.4 Distribusi status perkawinan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 13.5% 71.6% 14.9% Status perkawinan kawin tidak/belum kawin duda/junda 55 Gambar 4.4 menunjukkan status perkawinan pasien skizofrenia yang terbanyak adalah status tidak/belum kawin yaitu 71,6%. Penelitian lain di RSK Alianyang Pontianak menunjukkan pasien 69,11% belum kawin, jumlah tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan pasien dengan status kawin, janda dan duda (Sira, 2011). Hal ini sesuai dengan literatur bahwa skizofrenia lebih banyak dijumpai pada orang yang tidak kawin (Kaplan et al, 2010). Gangguan jiwa skizofreenia biasanya mulai muncul pada masa remaja atau belum menikah, sehingga pasien kemungkinan tidak akan menikah dengan kondisi sakit dan perlu pengobatan karena skizofrenia bersifat kronis dan dibutuhkan pengobatan sehingga didapatkan kehidupan sosial pasien dan kemampuannya membangun relasi dengan baik (misalnya untuk menikah) cenderung terganggu (David, 2004; Sira, 2011). e. Jenjang Pendidikan Gambar 4.5 Distribusi jenjang pendidikan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 13.50% 28.40% 25.7% 27.7% 1.4% 4.1% Tidak Sekolah SD SMP SMA Akademik Sarjana Jenjang pendidikan 56 Gambar 4.5 menunjukkan jenjang pendidikan pasien skizofrenia yang terbanyak yaitu pendidikan SD 28,4%. Jenjang pendidikan yang terbanyak setelah itu adalah SMA 27,7%. Hal ini berkaitan dengan onset dari skizofrenia, usia pertama kali terkena skizofrenia antara 15-25 dan 25-35 tahun (Kaplan et al, 2010). Oleh karena itu, pada usia tersebut pasien yang terkena skizofrenia tidak dapat mendapat pendidikan yang lebih tinggi lagi karena kesulitan untuk mengikuti pendidikan formal. Berdasarkan latar belakang yang didapatkan dari data sekunder menunjukkan pasien yang paling banyak adalah yang berekonomi lemah, sehingga kemungkinan banyak juga pasien yang tidak melanjutkan pendidikan setelah tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tidak hanya karena menderita skizofrenia, pengaruh lainnya seperti kondisi sosial dan ekonomi juga dapat menyebabkan pasien tidak bersekolah. Hal ini tidak berarti bahwa jenjang pendidikan mempengaruhi kasus skizofrenia. Tingginya pasien skizofrenia dengan jenjang pendidikan Sekolah Dasar karena responden yang diambil pada pasien skizofrenia yang dirawat inap di Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah pada periode Januari-April 2014 lebih banyak dengan pendidikan Sekolah Dasar. 57 f. Pekerjaan Gambar 4.6 Distribusi pekerjaan pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Gambar 4.6 di atas menunjukkan distribusi pekerjaan pasien yang terbanyak adalah tidak bekerja yaitu 62,2%. Penelitian lain di RSK Alianyang Pontianak menunjukkan distribusi pasien skizofrenia yang tidak bekerja adalah yang terbanyak yaitu 85,09% (Sari, 2011). Selain motivasi diri yang kurang karena adanya gejala negatif yang mendasarinya, stigmatisasi dan diskriminasi pada penyandang gangguan jiwa menghalangi mereka untuk berintegrasi ke dalam masyarakat, karena sering mendapatkan ejekan, serta isolasi sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, faktor ini membatasi hak berpendapat dan hak memperoleh pekerjaaan (Perkins et al, 2002; Saperstein et al, 2011). 2.7% 25.7% 5.4% 1.4% 2.7% 62.2% PNS tani/nelayan wiraswasta Buruh Pelajar/mahasiswa tidak bekerja Pekerjaan 58 2. Karakteristik Klinis a. Gejala Gambar 4.7 Distribusi gejala pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Gambar 4.7 di atas menunjukkan distribusi gejala skizofrenia yang paling banyak adalah gejala positif (72,3%). Penelitian lain di RSJ Mahoni Medan tahun 2009 gejala yang paling banyak adalah gejala positif (63,71%) (Sinaga, 2011). Gangguan skizofrenia ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan kacau (inkoherensi), halusinasi, waham, gangguan kognitif dan persepsi. Gejala-gejala negatif seperti menurunnya minat dan dorongan, berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan (alogia), afek yang datar serta terganggu relasi personal (isolasi sosial). Gejala positif berarti bertambahnya kemunculan suatu tingkah laku dalam kadar 16.8% 44.5% 10.9% 16.8% 7.6% 3.4% Gejala Skizofrenia waham halusinasi inkoherensi afek tumpul alogia isolasi sosial negatif = 27.7% positif = 72.3% 59 yang berlebihan dan menunjukkan penyimpangan dari fungsi psikosis normal (Arif, 2006). Menurut Hawari (2007) gejala positif skizofrenia merupakan gambaran gangguan jiwa skizofrenia yang mencolok dan amat mengganggu lingkungan atau keluarga dan merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa penderita berobat. Halusinasi merupakan gejala positif yang paling banyak ditemukan di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari- April 2014 yaitu 44,5%. Menurut Maramis (2004) gangguan jiwa berat adalah skizofrenia. Dari seluruh pasien skizofrenia, gejala yang mendominasi adalah halusinasi. Halusinasi yaitu persepsi sensorik yang salah di mana tidak terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya dengan wujud penginderaan yang keliru (Arif, 2006). Halusinasi juga merupakan salah satu gejala psikotik yang merupakan kriteria diagnostik skizofrenia sehingga gejala ini mendominasi dari gejala lainnya. Afek tumpul merupakan gejala negatif yang banyak ditemukan di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari- April 2014 yaitu 16,8%. Afek tumpul atau alam perasaan yang datar merupakan gambaran alam perasaan yang dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi (Hawari, 2007). 60 b. Tipe-tipe skizofrenia Gambar 4.8 Tipe-tipe skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Menurut Arif (2006), ada beberapa tipe skizofrenia yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri dalam gejala-gejala yang diperlihatkan antara lain skizofrenia tipe paranoid, skizofrenia tipe hebefrenik, skizofrenia tipe katatonik, skizofrenia tipe tak terinci, skizofrenia tipe residual, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia tipe simpleks, skizofrenia tipe lainnya dan skizofrenia yang tak tergolongkan. Gambar 4.8 menunjukan tipe skizofrenia terbanyak adalah tipe paranoid yaitu 39,3%. Penelitian lain di RSK Alianyang Pontianak tahun 2009 menunjukan tipe paranoid merupakan tipe terbanyak yang diderita pasien skizofrenia yaitu 79,67% (Sira, 2011). Menurut Arif (2006) ciri utama skizofrenia tipe paranoid adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks 39.2% 4.1% 27% 6.8% 23% paraniod hebefrenik tak terinci residual Yang Tak Tergolongkan Tipe skizofrenia 61 terdapatnya fungsi kognitif dan afek yang relatif masih terjaga. Hal ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya yang menyatakan bahwa gejala halusinasi paling banyak ditemukan yang merupakan salah satu ciri yang mendominasi tipe paranoid. c. Jenis antipsikotik Gambar 4.9 Distribusi jenis antipsikotik pasien skizofrenia rawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Obat antipsikotik (neuroleptik) merupakan terapi utama pada pasien skizofrenia. Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu dopamine reseptor antagonist (DRA) atau antipsikotik generasi I (APG-I) biasa juga disebut tipikal. dan serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotik generasi II (APG-II) biasa juga disebut atipikal (Amir, 2013). Obat antipsikotik yang banyak digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia adalah 27.2% 7.4% 43.4% 19.1% 0.7% 2.2% Jenis antipsikotik klorpromazin trifluoperazin haloperidol klozapin olanzapin risperidon Tipikal = 78% Atipikal = 22% 62 DRA karena beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmiter dopamin yang berlebihan di bagian- bagian tertentu di otak. Tomografi emisi positron (PET) pada penderita skizofrenia menunjukkan kepadatan reseptor dopamin di otak. Availabilitas dopamin atau agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia. Sehingga DRA digunakan untuk menghambat aktivitas dopamin untuk menurunkan gejala- gejala skizofrenia tersebut (Arif, 2006; Silbernagl, 2007; Katzung, 2012; Amir, 2013). Jenis antipsikotik yang banyak digunakan di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 adalah tipikal yaitu 78% dan paling sedikit adalah jenis atipikal yaitu 22% (Gambar 4.9). Hal ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya karena antipsikotik tipikal digunakan untuk mengobati gejala positif yang merupakan gejala yang mendominasi pasien skizofrenia. Penelitian ini gejala positif mendominasi (72,3%) sehingga penggunaan antipsikotik tipikal juga paling tinggi (78%). Antipsikotik tipikal yang banyak digunakan adalah haloperidol yaitu 43,4% (Gambar 4.9). Haloperidol merupakan antipsikotik yang bersifat D 2 antagonis yang sangat poten. Efek terhadap sistem otonom dan efek antikolinergiknya sangat minimal. Efek hipotensifnya sangat 63 rendah dibanding dengan klorpromazin. Haloperidol merupakan golongan butirofenon yang paling sering digunakan. Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis. Obat ini digunakan pada skizofrenia dan berbagai macam gerakan spontan dari otot kecil yang diperkirakan akibat hiperaktivitas sistem dopamin di otak. (Anonim, 2007; Tjay dkk, 2007; Amir, 2013). Klorpromazin merupakan antipsikotik tipikal yang paling banyak digunakan kedua yaitu 27,2% (Gambar 4.9). Penggunaan klorpromazin lebih sedikit dibandingkan dengan haloperidol. Selain memiliki efek samping hipotensi yang tinggi dari pada haloperidol, klorpromazin juga memiliki efek samping sedatif kuat yang digunakan terhadap sindrom psikosis dengan gejala gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan dan perilaku. Sedangkan haloperidol yang efek samping sedatif lemah digunakan terhadap sindrom positif dengan gejala dominan antara lain halusinasi, waham, apatis, menarik diri, hipoaktif kehilangan minat dan inisiatif dan perasaan tumpul (Maslim, 2003; Dipiro et al, 2011). 64 d. Lama rawat inap Gambar 4.10 Distribusi lama rawat inap pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Lama rawat inap pasien < 28 hari 30%, > 28 hari 40% (Gambar 4.10). Berdasarkan standar pelayanan medik RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah, rawat inap perlu bagi pasien skizofrenia jika membahayakan diri sendiri atau lingkungannya dan lama perawatan pasien skizofrenia adalah minimal 4 minggu (28 hari). Hasil penelitian menunjukkan pasien yang menjalani rawat inap > 28 hari paling dominan hal ini dikarenakan pengobatan skizofrenia membutuhkan waktu yang lama. Pengobatan biasanya dimulai dari terapi inisial dalam waktu 1- 3 minggu, terapi pengawasan selama lebih kurang 8-10 minggu dan terapi pemeliharan diberikan sampai 2 tahun, bila kronis terapi diberikan 5 tahun bahkan seumur hidup bila dijumpai riwayat agresifitas berlebih (Amir, 2013). Namun terdapat 30% 40% 30% Lama rawat inap < 28 hari > 28 hari belum pulang 65 pula 30% pasien yang menjani rawat inap < 28 hari karena menurut salah satu dokter spesialis jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah pasien boleh berobat jalan jika selama perawatan pasien sudah memenuhi kriteria pasien pulang yaitu tenang, kooperatif, perawatan diri cukup, minum obat teratur, makan dan minum teratur. e. Keadaan pulang Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa semua pasien yang pulang sembuh parsial sehingga masih perlu berobat jalan. Hal ini disebabkan karena gejala skizofrenia dapat kambuh apabila putus obat secara tiba-tiba. Terapi pengobatan skizofrenia juga membutuhkan waktu yang lama sehingga berobat jalan berguna untuk meminimalisir pelayanan medis di rumah sakit dan pemulihan dapat dilakukan sendiri di rumah dengan bantuan keluaga dan mengontrol kesehatan pasien ke rumah sakit secara rutin. 3. Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik a. Tepat indikasi Ketepatan indikasi disesuaikan dengan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien. Pemilihan obat mengacu pada penegakkan diagnosis. Jika diagnosis yang ditegakkan tidak sesuai maka obat yang digunakan juga tidak akan memberikan efek yang diinginkan. 66 Gambar 4.11 Distribusi tepat indikasi pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Hasil penelitian menunjukan semua pasien skizofrenia mendapatkan terapi antipsikotik. Hal tersebut menunjukkan semua pasien 100% tepat indikasi (Gambar 4.12). Penelitian lain di RSJ Dr. RM. Soedjarwadi Propinsi Jawa Tengah Tahun 2009 menunjukan bahwa 100 % tepat indikasi (Setyaningsih, 2011). b. Tepat obat Pemilihan antipsikotik sebaiknya mempertimbangkan tanda- tanda klinis dari pasien, profil khasiat dan efek samping dari obat-obat yang digunakan. 100% Tepat Indikasi Ya Tidak 67 Gambar 4.12 Distribusi tepat obat pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Hasil penelitian menunjukkan pemilihan jenis, golongan dan kombinasi antipsikotik pada pasien skizofrenia yang tepat obat sebesar 90,4% dan yang tidak tepat obat sebesar 9,6% dari 136 antipsikotik (Gambar 4.12). Penelitian lain di RSJ Dr. RM. Soedjarwadi Propinsi Jawa Tengah Tahun 2009 menunjukan bahwa 93,39% tepat obat dan 7,61% tidak tepat obat (Setyaningsih, 2011). Pasien yang mendapat episode pertama atau belum pernah mendapat terapi dengan APG-I sebelumnya dapat dibedakan menjadi enam tahap. Tiap-tiap tahap dapat dilewati tergantung pada gambaran klinis atau riwayat kegagalan pemberian antipsikotik. Pertama, pemberian APG-II tunggal yaitu aripriprazol, olanzapin, quetiapin, risperidon atau ziprasidon. Kedua, pemberian APG-II tunggal selain yang diberikan pada tahap pertama. Jika respon 90.4% 9.6% Tepat Obat Ya Tidak 68 sebagian atau tidak ada dapat diberikan APG-I atau APG-II tunggal selain APG-II pada langkah pertama dan kedua atau langsung ke tahap tiga yaitu pemberian klozapin. Keempat, diberikan klozapin dengan APG-I, APG-II atau langsung ke tahap lima yaitu dengan mencoba terapi dengan agen tunggal APG-I atau APG-II selain yang diberikan pada tahap satu dan dua. Tahap enam merupakan tahap terakhir yaitu terapi kombinasi APG-II dengan APG-I, kombinasi APG-I atau APG-II dengan terapi elektrokonvulsif (ECT), kombinasi APG-I atau APG-II dengan agen lain misalnya mood stabilizer. Algoritma pemberian antipsikotik pada pasien dengan riwayat penggunaan antipsikotik atau mendapat episode kedua dan seterusnya sama seperti pemberian antispikotik pada pasien dengan episode pertama. Namun pada tahap terakhir, jika tidak ada respon atau menolak pemberian klozapin dapat diberikan kombinasi tipikal (Dipiro et al, 2011). Penelitian pada 136 antipsikotik terdapat yang tidak tepat obat sebesar 9,6%. Hal ini terjadi karena pasien dengan episode pertama diberi APG-I yaitu masing-masing diberi haloperidol, trifluoperazin dan kombinasi haloperidol dengan klorpromazin sebanyak 3 pasien. Hal ini tidak sesuai dengan algoritma pengobatan dimana firstline pada pengobatan episode pertama adalah APG-II. Selain itu, pasien 69 yang kesekian kalinya masuk rumah sakit dengan gejala positif dan negatif tetapi hanya diberikan terapi trifluoperazin sebanyak 1 pasien. Trifluoperazin merupakan APG-I yang hanya efektif terhadap gejala positif. Penggunaan kombinasi klorpromazin dengan trifluoperazin pada 4 pasien juga dianggap tidak tepat. Pemberian kombinasi ini dianggap polifarmasi karena keduanya merupakan golongan fenotiazin. Pemberian obat antipsikotik dalam satu golongan umumnya memiliki efek yang sama misalnya pada potensi antipsikotiknya, efek sampingnya seperti efek sedatif, efek ekstrapiramidal dan efek hipotensif. Kombinasi tersebut selain tidak memberikan keuntungan justru akan meningkatkan risiko efek samping yang dapat membahayakan pasien. Klorpromazin dan trifluoperazin adalah golongan fenotiazin. Klorpromazin bekerja dengan menghambat dopamin, muskarinik, 1- adrenergik dan reseptor histamin yang dapat menyebabkan efek samping seperti mulut kering, konstipasi, sinus takikardia dan hipotensi ortostatik. Obat ini memiliki efek sedasi dan berguna untuk pasien beringas (violent) tanpa menyebabkan kehilangan kesadaran. Trifluoperazin memiliki efek otonom dan antikolinergik lebih rendah tetapi memiliki afinitas terhadap D 2 sehingga efek samping ekstrapiramidalnya lebih tinggi. Klorpromazin dan trifluoperazin sama-sama berguna mengobati skizofrenia dan psikosis lain, mania, 70 terapi tambahan jangka pendek pada ansietas berat, agitasi psikomotor, eksitasi dan perilaku kekerasan, impuls yang berbahaya, antiemetik dan penggunaan prabedah (ISFI, 2008; Anonim, 2008; Amir, 2013). Klozapin, olanzapin dan risperidon merupakan APG-II yang selain berafinitas terhadap reseptor dopamin D 2 , juga terhadap reseptor serotonin 5-HT2 sehingga efektif terhadap gejala positif maupun gejala negatif. Klozapin afinitasnya terhadap dopamin D 2 rendah sedangkan terhadap 5-HT2 tinggi. Klozapin berguna untuk skizofrenia pada pasien yang tidak bereaksi atau intoleran terhadap obat-obat APG-I. Olanzapin secara spesifik memblok 5-HT2 dan reseptor dopamin D 2 . Bila dibandingkan dengan klozapin, olanzapin memblok dopamin D 2 lebih besar, sehingga dosis tinggi dapat meningkatkan kadar prolaktin dan efek samping ekstrapiramidal. Olanzapin berguna untuk skizofrenia, kombinasi terapi mania dan mencegah kambuhnya kelainan bipolar. Risperidon merupakan antagonis kuat baik terhadap serotonin (5-HT2) dan reseptor dopamin D 2 . Walaupun dikatakan antagonis dopamin D 2 kuat, kekuatannya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan haloperidol. Akibatnya, efek samping ekstrapiramidalnya lebih rendah bila dibandingkan dengan haloperidol. Aktivitasnya melawan gejala negatif dikaitkan dengan aktivitasnya terhadap 5-HT2 yang juga tinggi. Risperidon 71 diindikasikan untuk pengobatan skizofrenia akut dan kronik (Maslim, 2003; Dipiro et al, 2011; Amir, 2013). Pemilihan obat antipsikotik dipengaruhi oleh tingkat sedasi yang diinginkan dan kerentanan pasien terhadap efek samping ekstrapiramidal. Bagaimanapun perbedaan antara obat antipsikotik merupakan hal yang tidak begitu penting dibanding respon pasien terhadap obat. Selain medikasi antipsikotik dari pengobatan skizofrenia, intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis seperti dukungan keluarga dan terapi spiritual. c. Tepat pasien Gambar 4.13 Distribusi tepat pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Gambar 4.13 menunjukan distribusi tepat pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotik didapatkan hasil tepat pasien 87.8% 12.2% Tepat Pasien Ya Tidak 72 sebesar 87,7% dan tidak tepat sebesar 12,2%. Tepat pasien jika penggunaan obat antipsikotik sesuai dengan kondisi fisiologi dan patofisiologi pasien atau tidak adanya kontraindikasi dengan pasien dan tidak terdapat riwayat alergi. Tabel 4.16 Kontraindikasi Obat Antipsikotik (Anonim, 2008) Nama Obat Kontraindikasi Haloperidol, Klorpromazin, Trifluoperazin Koma karena depresan SSP, depresi sumsum tulang, hindari pada feokromositoma, gangguan hati dan ginjal berat Klozapin, Risperidon, Olanzapin Kelainan jantung berat, penyakit hati aktif, kerusakan ginjal berat, riwayat neutropenia atau agranulositosis, kelainan sumsumng tulang, ileus paralitik, psikosis alkoholik dan psikosis toksik, riwayat kolaps sirkulasi, keracunan obat, epilepsi tidak terkontrol, kehamilan dan menyusui. Hasil penelitian didapatkan 12,2% pasien tidak tepat pasien, karena 1 pasien yang mempunyai riwayat alkoholik diberikan terapi klozapin yang kontraindikasi dengan riwayat tersebut. Selain itu, tidak ditemukannya lagi riwayat penyakit lain pada semua pasien yang diteliti. Menurut salah satu dokter di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah jika ditemukan riwayat dan penyakit fisik yang berat pasien di tempatkan di ruang tersendiri yang merupakan tempat rawat inap pasien skizofrenia dengan gangguan lainnya. Sehingga mempermudah dokter untuk lebih berhati-hati dalam memberikan terapi antipsikotik. 73 Sebelum pasien dirawat di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah, biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu. Namun, di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah hanya sebagian pasien yang melakukan pemeriksaan laboratorium. Menurut Maharani (2004) pada prinsipnya obat antipsikotik cukup aman. Sehingga pada situasi gawat darurat dapat diberikan obat kecuali klozapin, tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan hematologi dan kimia darah. Pemeriksaan hematologi yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan hemoglobin (Hb), leukosit, laju endap darah (LED), hematokrit dan trombosit. Sedangkan pemeriksaan kimia darah yang dilakukan berupa gula darah sewaktu, kolesterol total, trigliserida, asam urat, kreatinin, urea, SGOT dan SGPT. Pemeriksaan laboratorium tersebut dilakukan pada pasien skizofrenia terkait untuk melihat ada tidaknya penyakit penyerta dan keadaan normal organ-organ tubuh khususnya hati dan ginjal. Hati dan ginjal merupakan jalur metabolisme utama sebagian besar obat antipsikotik (ISFI, 2008), sehingga apa bila terjadi kelainan pada organ tersebut, proses pengobatan dengan antipsikotik dapat disesuaikan. 74 d. Tepat Dosis Gambar 4.14 Distribusi tepat dosis antipsikotik pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 Gambar 4.14 menunjukan distribusi tepat dosis antipsikotik pada pasien skizofrenia, dari hasil penelitian didapatkan tepat dosis sebesar 81,6% dan tidak tepat sebesar 18,4% dari 136 antipsikotik. Tepat dosis adalah dosis yang berada dalam area terapi obat antipsikotik dan kesesuaian dosis tersebut berdasarkan kondisi pasien khususnya pasien lanjut usia. Hasil penelitian ini diperoleh dosis yang tidak tepat diberikan pada pasien lanjut usia karena dosis awal yang diberikan sama dengan dosis untuk pasien dewasa. Pemberian dosis obat antipsikotik pada pasien lanjut usia setengah dosis dewasa (Anonim, 2008). Pasien usia lanjut membutuhkan dosis antipsikotik lebih rendah karena beberapa alasan antara lain penurunan klirens 81.6% 18.4% Tepat Dosis Ya Tidak 75 ginjal, penurunan cardiac output, penurunan fungsi liver, penurunan P450 dan lebih sensitif untuk gejala ekstrapiramidal (Amir, 2013). Penggunaan obat antipsikotik pada pasien geriatri memerlukan perhatian khusus. Hal tersebut dikarenakan banyak hal-hal tertentu yang sangat mempengaruhi pemberian antipsikotik kepada pasien geriatri. Diantaranya adalah kondisi medis umum pasien, efek samping yang mungkin timbul dan farmakodinamik serta farmakokinetik dari obat yang digunakan (Andri, 2009). Menurut Maharani (2004) dosis obat antipsikotik pada pasien skizofrenia dimulai dengan dosis yang rendah lalu perlahan-lahan dinaikkan, dapat juga langsung diberi dosis tinggi tergantung pada keadaan pasien dan kemungkinan terjadi efek samping. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit boleh diberikan dosis tinggi karena pengawasannya lebih baik (Maramis, 2004). Apabila dosis kurang dari dosis terapeutiknya kemungkinan efek yang diinginkan tidak muncul. Pada pengobatan skizofrenia jika efek yang diinginkan tidak muncul maka gejala-gejala tidak dapat ditekan sehingga pengobatan akan percuma karena tujuan dan sasaran terapi tidak akan tercapai. Apabila terjadi pemberian dosis antipsikotik berlebih, pada penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan 76 kerusakan pada organ hati dan ginjal serta menambah risiko efek samping obat (Maharani, 2004). e. Tepat Frekuensi Gambar 4.15 Distribusi tepat frekuensi pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari- April 2014 Gambar 4.15 menunjukan distribusi ketepatan frekuensi pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia, dari hasil penelitian didapatkan tepat frekuensi pemberian antipsikotik sebesar 90,4% dan tidak tepat sebesar 9,6% dari 136 antipsikotik. Penentuan frekuensi pemberian obat dengan fungsi organ normal dapat ditentukan dengan melihat nilai waktu paruh (t 1 2 ) obat. Waktu paruh haloperidol 12 jam, sehingga cukup diberikan 2 kali sehari. Klorpromazin dapat diberikan dosis awal 30-75 mg 3 kali sehari namun untuk dosis pemeliharaan diberikan 100 mg 2 kali sehari. Klozapin hanya tersedia dalam bentuk 90.4% 9.6% Tepat Frekuensi Ya Tidak 77 preparat oral, konsentrasi plasma puncak dicapai setelah 2 jam pemberian oral. Waktu paruh eliminasi adalah 12 jam (antara 10-16 jam). Sehingga klozapin cukup diberikan 2 kali sehari agar dapat mempertahankan kadar obat dalam plasma. Kadar puncak plasma dicapai 5 jam pemberian olanzapin. Waktu paruh 31 jam (rata-rata 21- 24 jam) dengan satu kali dosis (Dipiro et al, 2011; Amir, 2013). Antipsikotik sering diberikan dalam dosis harian yang terbagi dan titrasi hingga mencapai dosis efektif. Jika dosis harian efektif pasien telah diketahui, obat dapat diberikan tidak terlalu sering. Dosis sekali sehari, biasanya pada malam hari, dapat bermanfaat bagi kebanyakan pasien selama menjalani terapi rumatan jangka panjang. Penyederhanaan jadwal dosis akan meningkatkan kepatuhan pasien. Kebanyakan antipsikotik sangat larut lemak dan terikat protein (klorpromazin 92-97%; haloperidol 90%). Antipsikotik merupakan lipofilik sehingga terkumpul dalam kompartenen lipid tubuh dan afinitasnya terhadap beberapa reseptor neurotransmiter disusunan saraf pusat sangat tinggi, durasi kerja klinisnya lebih lama dari yang diperkirakan berdasarkan waktu paruh plasmanya. Oleh karena itu, reseptor dopamin D 2 di otak pun lebih lama ditempati. Metabolit klorpromazin diekskresikan dalam urin berminggu-minggu sesudah dosis terakhir pemberian klorpromazin menahun. Serupa dengan hal ini, relaps sempurna mungkin tidak akan tercapai sebelum 6 minggu 78 atau lebih pasca pemutusan sebagian antipsikotik (Solimando, 2003; Katzung, 2012). Frekuensi pemberian obat merupakan penentu dalam memaksimalkan proses terapi obat, karena menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu. 77 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pasien skizofrenia yang dirawat inap jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 diteliti dengan melihat kerasionalan pemberian antipsikotik terhadapnya. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014 belum dapat dikatakan rasional, karena kriteria pengobatan rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat frekuensi belum tepat 100%. Hasil rasionalitas pengobatan adalah sebagai berikut : tepat indikasi 100%; tepat obat 90,4%; tepat pasien 87,8%; tepat dosis 81,6%; dan tepat frekuensi pemberian antipsikotik 90,4%. 5.2 Saran a. Bagi institusi rumah sakit Diharapkan untuk dapat lebih meningkatkan pelayanan dan ketepatan terapi antipsikotik secara rasional terhadap pasien skizofrenia dan merevisi standar pelayanan medik rumah sakit yang lebih lebih up to date karena dampaknya yang luas dan berjangka waktu lama, baik terhadap kualitas hidup atau beban bagi pasien, keluarga dan masyarakat. 80 b. Bagi klinisi Diharapkan untuk dokter dapat memperhatikan dan mengevaluasi terapi antipsikotik yang diberikan pada pasien skizofrenia khususnya pasien lansia sesuai dengan standar. Untuk perawat diharapkan melengkapi status pasien khususnya bobot badan pasien karena bobot badan dapat mempengaruhi ketepatan pengobatan. c. Bagi peneliti lain Perlu diadakan penelitian lebih lanjut penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia rawat inap yang berada di ruang observasi dan di ruang gangguan skizofrenia dengan penyakit penyerta agar dapat diketahui kerasionalitas kepada seluruh pasien. 81 DAFTAR PUSTAKA Ade, S., 2012, Buku Pedoman Bagi Pendamping:Pendamping Keluarga dengan Anggotanya Mengalami Gangguan Jiwa, Departemen Keperawatan Jiwa, Yogyakarta. Agus, D., 2005, Difungsi Kognitif pada Skizofrenia. Majalah Psikiatri, Jakarta. Amir, N., 2013, Buku Ajar Psikiatri: Skizofrenia. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Andri., 2009, Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita Usia Lanjut. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. Anonim., 2007, Farmakologi dan Terapi, Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Jakarta _______., 2011, http://sultengprov.go.id/profil-sulteng/sekilas-sulteng/65-tentang- propinsi-sulawesi-tengah (diakses 3 April 2014) _______., 2011, http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/ (diakses 8 Desember 2013). Arif, I. M., 2006, Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien, Penerbit Refika Aditama, Bandung. BPOM RI., 2008, IONI: Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Byrne, M., Agerbo, E., Ewald, H., Eaton, W.W., Mortensen., P.B., 2003, Parental Age and Risk of Schizophrenia. Arch Gen Psychiatry David, A., 2004, Buku Saku Psikiatri. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2009, Pharmacotherapy Handbook, Seventh Edition, 799-813, McGraw-Hill Medical, New York. 82 Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2011, Pharmacotheraphy A Pathophysiologic Approach 8th, McGraw-Hill Medical, New York. First, M.B., Tasman, A., 2004, DSM-IV-TR Mental Disorders Diagnosis. Schizophrenia: Etiology and Treatment (640-700). Wiley, London. Hawaris, D., 2007, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia, Edisi 2, Balai Penerbitan, Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia., 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta. Irmansyah, M., 2005, Skizofrenia Bisa Mengenai Siapa Saja. Majalah Kesehatan Jiwa No. 3, Jakarta. Irwan M., Fajriansyah A., Sinuhadji B., Indrayana M. 2008, Penatalaksanaan Skizofrenia. Fakultas Kedokteran Riau, Riau. Jarut, M.Y., Fatimawali., Wiyono, W.I., 2013, Tinjauan Penggunaan Antipsikotik pada Pengobatan Skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado Periode Januari 2013-Maret 2013, Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 2 No. 03, Manado. Kaplan, H.I., Sadock B.J., 1997, Sinopsis psikiatri Edisi ke-7, Terjemahan. Binarupa Aksara, Jakarta. _____________________., 2010, Sinopsis psikiatri Jilid 1. Binarupa Aksara, Jakarta. Katzung, B., 1998, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakrata. __________., 2012, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakrata. Lehman, A.F., Lieberman, A.F., Dixon, L.B., 2004, Practice Guideline for The Treatment of Patients with Schizophrenia (2 nd ed).. American Psychiatric Association, Arlington. Maharani, F.R.L., 2004, Kajian Penggunaan Obat Antipsikosis pada Pasien Skizofrenia di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Januari-Desember 2003. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 83 Mansjoer A., Triyani K., Savitri R., Wardhani W.I., Setiowulan W., 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Asculapius, Jakarta. Maramis, W.F., 2004, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press, Surabaya. Maslim, R., 1997, Diagnosis Gangguan Jiwa, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta. _________., 2003, Panduan Praktis Penggunaan Klinis dan Kebijakan Obat Psikotropik (Psychotropic Medication), Edisi 3. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta. Notoatmodjo, S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta. PDSKJI., 2012, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter/Spesialis Kedokteran Jiwa. Perkins, R., Rinaldhi, M., 2002, Unemployment rates among patients with long-term mental health problems. Psychiatric bulletin. Riset Kesehatan Dasar., 2008, Laporan Nasional 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. Saha, S., Chant, D., Welham, J., McGrath., 2005, A Systematic Review of the Prevalence of Schizophrenia. PloS Med 2(5): e141. Santoso., Wiria., 1995, Psikotropik, Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Saperstein, A.M., Fiszdon J.M., Bell, M.D., 2011, Intrinsic motivation as a predictor of work outcome after vocational rehabilitation in schizophrenia J Nerv Ment Dis:199:672 Setyaningsih, T., 2011, Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. RM Soedjarwadi Povinsi Jawa Tengah Tahun 2009. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Silbernagl, S., 2007, Teks & Atlas Berwarna: Patofisiologi, Fakultas Kedokteran EGC, Jakarta 84 Sinaga, B.R., 2007, Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Sinaga, Y.M., 2011, Karakteristik Penderita Skizofrenia yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan. Sira, I., 2011, Karakteristik Skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Alianyang Pontianak Periode 1 Januari 31 Desember 2009. Naskah Publikasi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Pontianak. Solimando, D.A., 2003, Drug Information Handbook for Oncology featuring A Complete Guide to Combination Chemotherapy Regimens 3 rd Edition. Lexi- Comp, Inc Sugiyono., 2007, Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. Swandari, S., 2012, Penggunaan Obat Rasional (POR) Melalui 8 Tepat dan 1 Waspada, Balai Besar Pelatihan Kesehatan, Jakarta. Tjay H,T., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting, Edisi 6, Departemen Kesehatan RI, PT Gramedia, Jakarta. Yusuf., Prodjosudjadi., 2001, Hematologi: Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 85 LAMPIRAN 86 LAMPIRAN 1 Data Pasien Skizofrenia Rawat Inap Jiwa di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014 No no RM JK U (th) Diagnosis G LRI (H) KP Terapi Rute Ds (mg) F (x dd) Rasionalitas TI TO TP TD TF 1 000081 P 15 Skizofrenia paranoid 1, 2,4 36 SP Klozapin PO 25 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 25 2 Y Y Y 2 000006 P 48 Skizofrenia paranoid 2 35 SP Haloperidol PO 5 3 Y Y Y T Y Klozapin PO 50 2 Y T Y 3 015247 P 28 Skizofrenia paranoid 2 26 SP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 4 012992 P 28 Skizofrenia YTT 2 43 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 5 017726 P 32 Skizofrenia YTT 2 44 SP Triflupperazin PO 5 2 Y Y Y Y Y Klozapin PO 25 2 Y Y Y 6 012165 P 37 Skizofrenia paranoid 2 35 SP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 7 030206 (PB) P 31 Skizofrenia paranoid 1 23 SP Klozapin PO 50 1 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 8 030089 P 45 Skizofrenia residual 2, 4 34 SP Trifluoperazin PO 2.5 2 Y T T T T 9 025801 P 17 Skizofrenia tak terinci 3,4 17 SP Klorpromazin PO 100 2 Y T T T T Trifluoperazin PO 5 2 T T T 10 006730 P 34 Skizofrenia Hebefrenik 2,4 34 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y 11 010527 L 35 Skizofrenia tak terinci 4,5 16 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 12 000498 L 30 Skizofrenia Hibefrenik 3,6 10 SP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y RM : Rekem medik, PB; Pasien Baru, JK : Jenis Kelamin, L : Laki-laki, P : Perempuan, U : Umur, th : tahun, YTT: Yang Tak Tergolongkan, G: Gejala (1 : waham, 2 : halusinasi, 3 : inkoherensi , 4: afek tumpul , 5 : alogia, 6 : isolasi sosial), LRI : Lama Rawat Inap, H : hari, KP : Keadaan Pulang, SP :Sembuh Parsial, BP : Belum Pulang, PO: Per Oral, Ds : dosis, mg : miligram, F : Frekuensi, TI:Tepat Indikasi, TO:Tepat Obat; TP: Tepat Pasien, TD: Tepat Dosis, TF:Tepat Frekuensi, Y:Ya, T:Tidak. 87 No no RM JK U (th) Diagnosis G LRI (H) KP Terapi Rute Ds (g) F (x dd) Rasionalitas TI TO TP TD TF 13 029541 L 21 Skizofrenia tak terinci 4 62 SP Haloperidol PO 2.5 2 Y Y Y Y Y Klozapin PO 50 2 Y Y Y 14 030018 (PB) L 37 Skizofrenia YTT 2 33 SP Klozapin PO 50 2 Y Y Y Y Y 15 025151 L 31 Skizofrenia paranoid 1 11 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 16 000117 L 30 Skizofrenia paranoid 1,2 12 SP Haloperidol PO 2.5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 17 022665 L 28 Skizofrenia paranoid 1,2 47 SP Klorpromazin PO 100 3 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 18 022316 L 34 Skizofrenia tak terinci 4 61 SP Klozapin PO 25 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 19 000309 L 12 Skizofrenia paranoid 2 12 SP Haloperidol PO 5 3 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 20 019692 L 28 Skizofrenia YTT 3 34 SP Klozapin PO 50 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 3 Y Y Y 21 019692 L 27 Skizofrenia paranoid 1,2,6 13 SP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 22 023556 L 19 Skizofrenia paranoid 2,3,4 67 SP Klozapin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 23 000210 L 34 Skizofrenia tak terinci 1,2 31 SP Klozapin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 24 029672 L 48 Skizofrenia YTT 2 12 SP Klorpromazin PO 100 1 Y Y Y T Y Haloperidol PO 5 2 Y T Y RM : Rekem medik, PB; Pasien Baru, JK : Jenis Kelamin, L : Laki-laki, P : Perempuan, U : Umur, th : tahun, YTT: Yang Tak Tergolongkan, G: Gejala (1 : waham, 2 : halusinasi, 3 : inkoherensi , 4: afek tumpul , 5 : alogia, 6 : isolasi sosial), LRI : Lama Rawat Inap, H : hari, KP : Keadaan Pulang, SP :Sembuh Parsial, BP : Belum Pulang, PO: Per Oral, Ds : dosis, mg : miligram, F : Frekuensi, TI:Tepat Indikasi, TO:Tepat Obat; TP: Tepat Pasien, TD: Tepat Dosis, TF:Tepat Frekuensi, Y:Ya, T:Tidak. 88 No no RM JK U (th) Diagnosis G LRI (H) KP Terapi Rute Ds (mg) F (x dd) Rasionalitas TI TO TP TD TF 25 021450 L 24 Skizofrenia YTT 2 9 SP Klorpromazin PO 100 1 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 26 029642 L 28 Skizofrenia YTT 2,3 18 SP Klorpromazin PO 5 3 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 100 2 Y Y Y 27 000290 L 39 Skizofrenia paranoid 2,5 19 SP Risperidon PO 2 2 Y Y Y Y Y Klozapin PO 25 2 Y Y Y 28 029785 L 25 Skizofreni paranoid 1,3 12 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 29 030620 (PB) L 42 Skizofrenia paranoid 1 7 SP Haloperidol PO 5 2 Y T T T T Klorpromazin PO 100 2 T T T 30 028521 (PB) L 26 Skizofrenia tak terinci 4 95 SP Haloperidol PO 2.5 2 Y T T T T 31 026810 L 29 Skizofrenia tak terinci 2,3,5 7 SP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 32 022747 L 18 Skizofrenia YTT 2 19 SP Klozapin PO 50 2 Y Y T Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 33 027748 L 27 Skizofrenia tak terinci 2 127 SP Haloperidol PO 2.5 2 Y Y Y Y Y 34 028430 L 33 Skizofrenia paranoid 2 101 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y 35 010035 L 52 Skizofrenia paranoid 2 35 SP Klozapin PO 25 1 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 3 Y Y Y 36 006168 L 27 Skizofrenia paranoid 2 27 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y RM : Rekem medik, PB; Pasien Baru, JK : Jenis Kelamin, L : Laki-laki, P : Perempuan, U : Umur, th : tahun, YTT: Yang Tak Tergolongkan, G: Gejala (1 : waham, 2 : halusinasi, 3 : inkoherensi , 4: afek tumpul , 5 : alogia, 6 : isolasi sosial), LRI : Lama Rawat Inap, H : hari, KP : Keadaan Pulang, SP :Sembuh Parsial, BP : Belum Pulang, PO: Per Oral, Ds : dosis, mg : miligram, F : Frekuensi, TI:Tepat Indikasi, TO:Tepat Obat; TP: Tepat Pasien, TD: Tepat Dosis, TF:Tepat Frekuensi, Y:Ya, T:Tidak. 89 No no RM JK U (th) Diagnosis G LRI (H) KP Terapi Rute Ds (mg) F (x dd) Rasionalitas TI TO TP TD TF 37 018191 L 20 Skizofrenia tak terinci 6 106 SP Risperidon PO 2 2 Y Y Y Y Y 38 000476 L 40 Skizofrenia residual 3 44 SP Klorpromazin PO 100 1 Y T T T T Trifluoperazin PO 5 2 T T T 39 019160 L 34 Skizofrenia paranoid 2,5 19 SP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 40 029779 L 56 Skizofrenia YTT 2 43 SP Klozapin PO 25 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y T Y 41 010100 L 63 Skizofrenia YTT 4 23 SP Haloperidol PO 5 1 Y Y Y T Y Klozapin PO 50 2 Y T Y 42 005229 P 49 Skizofrenia tak terinci 2 60 SP Trifluoperazin PO 5 3 Y Y Y T Y Klozapin PO 25 2 Y Y Y 43 030386 P 45 Skizofrenia tak terinci 1,2,3 29 SP Trifluoperazin PO 5 3 Y Y Y Y Y Klozapin PO 25 2 Y Y Y 44 007770 P 28 Skizofrenia tak terinci 2,5 - BP Klorpromazin PO 100 1 Y T T T T trifluoperazin PO 5 2 T T T 45 000177 P 37 Skizofrenia residual 2,4 - BP Haloperidol PO 5 3 Y Y Y Y Y Klozapin PO 50 2 Y Y Y 46 028440 (PB) P 25 Skizofrenia tak terinci 2,4 - BP Risperidon PO 2 2 Y Y Y Y Y 47 020100 L 49 Skizofrenia paranoid 1,2 13 SP Klorpromazin PO 100 1 Y Y Y T Y Haloperidol PO 5 2 Y T Y 48 000503 L 23 Skizofrenia tak terinci 4 - BP Haloperidol PO 2.5 3 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y RM : Rekem medik, PB; Pasien Baru, JK : Jenis Kelamin, L : Laki-laki, P : Perempuan, U : Umur, th : tahun, YTT: Yang Tak Tergolongkan, G: Gejala (1 : waham, 2 : halusinasi, 3 : inkoherensi , 4: afek tumpul , 5 : alogia, 6 : isolasi sosial), LRI : Lama Rawat Inap, H : hari, KP : Keadaan Pulang, SP :Sembuh Parsial, BP : Belum Pulang, PO: Per Oral, Ds : dosis, mg : miligram, F : Frekuensi, TI:Tepat Indikasi, TO:Tepat Obat; TP: Tepat Pasien, TD: Tepat Dosis, TF:Tepat Frekuensi, Y:Ya, T:Tidak. 90 No no RM JK U (th) Diagnosis G LRI (H) KP Terapi Rute Ds (mg) F (x dd) Rasionalitas TI TO TP TD TF 49 030658 (PB) L 41 Skizofrenia paranoid 1,2,4,6 - BP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klozapin PO 50 1 Y Y Y 50 030383 L 34 Skizofrenia residual 2 - BP Haloperidol PO 5 3 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 51 019160 L 26 Skizofrenia tak terinci 4 - BP Klozapin PO 50 2 Y Y Y Y Y 52 023678 L 28 Skizofrenia YTT 2 19 SP Klozapin PO 50 1 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 53 024154 L 19 Skizofrenia paranoid 1,2 11 SP Klozapin PO 50 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 54 027189 L 34 Skizofrenia YTT 2,4 11 SP Klorpromazin PO 100 3 Y T T T T Trifuoperazin PO 5 2 T T T 55 000402 L 26 Skizofrenia paranoid 2,4 - BP Haloperidol PO 5 3 Y Y Y Y Y Klozapin PO 50 1 Y Y Y 56 025785 L 28 Skizofrenia residual 2,4 136 SP Haloperidol PO 2.5 2 Y Y Y Y Y klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 57 003916 L 35 Skizofrenia paranoid 1,5 - BP Haloperidol PO 2 3 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 58 001397 L 41 Skizofrenia YTT 2 - BP Haloperidol PO 5 1 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 59 012019 L 29 Skizofrenia tak terinci 2 - BP Klorpromazin PO 100 1 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 60 001157 L 28 Skizofrenia tak terinci 2 - BP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y RM : Rekem medik, PB; Pasien Baru, JK : Jenis Kelamin, L : Laki-laki, P : Perempuan, U : Umur, th : tahun, YTT: Yang Tak Tergolongkan, G: Gejala (1 : waham, 2 : halusinasi, 3 : inkoherensi , 4: afek tumpul , 5 : alogia, 6 : isolasi sosial), LRI : Lama Rawat Inap, H : hari, KP : Keadaan Pulang, SP :Sembuh Parsial, BP : Belum Pulang, PO: Per Oral, Ds : dosis, mg : miligram, F : Frekuensi, TI:Tepat Indikasi, TO:Tepat Obat; TP: Tepat Pasien, TD: Tepat Dosis, TF:Tepat Frekuensi, Y:Ya, T:Tidak. 91 No no RM JK U (th) Diagnosis G LRI (H) KP Terapi Rute Ds (mg) F (x dd) Rasionalitas TI TO TP TD TF 61 030384 (PB) L 24 Skizofrenia YTT 2,5 - BP Trifluoperazin PO 5 2 Y T T T T 62 028395 L 32 Skizofrenia paranoid 1,3 - BP Klorpromazin PO 100 1 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 63 028100 L 31 Skizofrenia tak terinci 2,5 - BP Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 2 Y Y Y 64 015961 L 20 Skizofrenia paranoid 2 181 SP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 65 028844 L 32 Skizofrenia tak terinci 1,3 - BP Haloperidol PO 2.5 3 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 66 001233 L 39 Skizofrenia hebefrenik 2,3 - BP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 67 000184 L 37 Skizofrenia paranoid 2 - BP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 68 020233 L 23 Skizofrenia tak terinci 2,4 23 SP Trifluoperazin PO 5 3 Y Y Y Y Y 69 030263 (PB) L 19 Skizofrenia paranoid 1,2,4 - BP Klozapin PO 25 2 Y Y Y Y Y 70 020932 L 30 Skizofrenia YTT 1,2,3 - BP Haloperidol PO 5 3 Y Y Y Y Y Klorpromazin PO 100 2 Y Y Y 71 030406 L 28 Skizofrenia paranoid 2 - BP Klozapin PO 50 2 Y Y Y Y Y Haloperidol PO 5 1 Y Y Y 72 014301 L 54 Skizofrenia paranoid 1 12 BP Olanzapin PO 10 1 Y Y Y T Y Haloperidol PO 5 1 Y T Y RM : Rekem medik, PB; Pasien Baru, JK : Jenis Kelamin, L : Laki-laki, P : Perempuan, U : Umur, th : tahun, YTT: Yang Tak Tergolongkan, G: Gejala (1 : waham, 2 : halusinasi, 3 : inkoherensi , 4: afek tumpul , 5 : alogia, 6 : isolasi sosial), LRI : Lama Rawat Inap, H : hari, KP : Keadaan Pulang, SP :Sembuh Parsial, BP : Belum Pulang, PO: Per Oral, Ds : dosis, mg : miligram, F : Frekuensi, TI:Tepat Indikasi, TO:Tepat Obat; TP: Tepat Pasien, TD: Tepat Dosis, TF:Tepat Frekuensi, Y:Ya, T:Tidak. 92 No no RM JK U (th) Diagnosis G LRI (H) KP Terapi Rute Ds (mg) F (x dd) Rasionalitas TI TO TP TD TF 73 014386 L 18 Skizofrenia YTT 1,4,5 48 BP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klozapin PO 50 1 Y Y Y 74 029164 L 21 Skizofrenia paranoid 2,5 36 BP Haloperidol PO 5 2 Y Y Y Y Y Klozapin PO 100 1 Y Y Y RM : Rekem medik, PB; Pasien Baru, JK : Jenis Kelamin, L : Laki-laki, P : Perempuan, U : Umur, th : tahun, YTT: Yang Tak Tergolongkan, G: Gejala (1 : waham, 2 : halusinasi, 3 : inkoherensi , 4: afek tumpul , 5 : alogia, 6 : isolasi sosial), LRI : Lama Rawat Inap, H : hari, KP : Keadaan Pulang, SP :Sembuh Parsial, BP : Belum Pulang, PO: Per Oral, Ds : dosis, mg : miligram, F : Frekuensi, TI:Tepat Indikasi, TO:Tepat Obat; TP: Tepat Pasien, TD: Tepat Dosis, TF:Tepat Frekuensi, Y:Ya, T:Tidak. 93 LAMPIRAN 2 Standar Pelayanan Medik RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah 93 LAMPIRAN 2 Standar Pelayanan Medik RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah 93 LAMPIRAN 2 Standar Pelayanan Medik RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah 94 94 94 95 LAMPIRAN 3 Dosis dan Frekuensi Penggunaan Antipsikotik Per Oral Nama Generik Dosis Terapeutik Efektif Minimum (mg) Rentang Dosis Yang Sering Digunakan (mg/Hari) Dosis Maksimum Menurut Pabrik (mg/Hari) Frekuensi Antipsikotik Tipikal (Antipsikotik Generasi Pertama) Chlorpromazine 100 100-1000 2000 2-4 x 1 Haloperidol 2 2-60 100 2-3 x 1 Trifluoperazine 5 5-60 80 2-3 x 1 Antipsikotik Atipikal (Antipsikotik Generasi Kedua) Klozapin 50 50-500 900 1-2 x 1 Olanzapin 5 10-30 30 1 x 1 Risperidone 4 4-16 16 1-2 x 1 Catatan : Antipsikotik sering diberikan dalam dosis harian yang terbagi dan titrasi hingga mencapai dosis efektif. Sehingga dosis sekali sehari dapat diberikan jika dosis tersebut sudah efektif bagi pasien. Sumber: Anonim, 2007; Dipiro et al, 2011; Katzung, 2012 96 LAMPIRAN 4 Algoritma Tatalaksana Terapi Skizofrenia Tanpa Riwayat Episode pertama atau belum pernah mendapat terapi AGP sebelumnya Sumber: Dipiro et al, 2011 Tahap 1 Pemberian AGK tunggal (ARIPIPRAZOLE, OLANZAPINE, QUETIAPINE, RISPERIDONE, atau ZIPRASIDONE) Tahap 2 Pemberian AGK tunggal (selain AGK yang diberikan pada tahap 1) Tahap 2A Pemberian AGP tunggal (selain AGK yang diberikan pada tahap 1) Tahap 3 CLOZAPINE Tahap 4 CLOZAPINE + (AGP, AGK atau Tahap 5 Coba terapa dengan agen tunggal AGP atau AGK (selain AGK yang diberikan pada tahap 1,2 atau 2A) Tahap 6 Terapai kombinasi, yaitu: AGK+AGP, kombinasi AGK, (AGP atau AGK)+ECT, (AGP atau AGK+agen lain (misal mood stabilizer) AGP, antipsikotik generasi pertama AGK, antipsikotik generasi kedua ECT, terapi electrokonvulsif Nilai dari kegagalan terapi clozapine tidak ditentukan Dilporkan tidak ada kontrol pada penelitian dengan penggunaan terapi kombinasi jangka panjang untuk terapi skizofrenia 97 LAMPIRAN 5 Algoritma Tatalaksana Terapi Skizofrenia Dengan Riwayat Tidak ada riwayat kegagalan terapi AP Ada riwayat kegagalan terapi AP Olanzapin atau Quetiapin atau Risperidon Olanzapin atau Quetiapin atau Risperidon Tidak ada respon Gunakan yang lain Gunakan yang lain Haloperidol dekonat atau Fluphenazin decanoat Tidak patuh Tidak patuh Gunakan yang lain Gunakan yang lain Gunakan yang lain Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon Gunakan AP lain KLOZAPIN Klozapin + obat pendukung (AP tipikal/atipikal, mood stabilizer, ECT, antidepresan Kombinasi atipikal+tipikal, atau kombinasi tipikal, atau kombinasi atipikal, atau tipikal + ECT Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon atau menolak klozapin Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon Respon parsial respon 98 LAMPIRAN 6 Hasil Analisa Data a. Jenis Kelamin Statistics jenis kelamin N Valid 74 Missing 0 jenis kelamin Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid laki-laki 59 79.7 79.7 79.7 perempuan 15 20.3 20.3 100.0 Total 74 100.0 100.0 99 b. Umur Statistics klasifikasi umur N Valid 74 Missing 0 klasifikasi umur Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid 17-25 16 21.6 21.6 21.6 26-45 50 67.6 67.6 89.2 46-65 8 10.8 10.8 100.0 Total 74 100.0 100.0 100 c. Suku/etnis Statistics Suku/Etnis N Valid 74 Missing 0 Suku/Etnis Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid kaili 22 29.7 29.7 29.7 pamona 7 9.5 9.5 39.2 mori 2 2.7 2.7 41.9 tomini 5 6.8 6.8 48.6 bungku 3 4.1 4.1 52.7 dampelas 1 1.4 1.4 54.1 lainnya 22 29.7 29.7 83.8 tanpa keterangan 12 16.2 16.2 100.0 Total 74 100.0 100.0 101 d. Status perkawinan Statistics Status Perkawinan N Valid 74 Missing 0 Status Perkawinan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid kawin 10 13.5 13.5 13.5 tidak/belum kawin 53 71.6 71.6 85.1 duda/janda 11 14.9 14.9 100.0 Total 74 100.0 100.0 e. f. g. 102 e. Jenjang pendidikan Statistics Jenjang Pendidikan N Valid 74 Missing 0 Jenjang Pendidikan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Tidak Sekolah 10 13.5 13.5 13.5 SD 21 28.4 28.4 41.9 SMP 19 25.7 25.7 67.6 SMA 20 27.0 27.0 94.6 Akademi 1 1.4 1.4 95.9 Sarjana 3 4.1 4.1 100.0 Total 74 100.0 100.0 103 f. Pekerjaan Statistics Pekerjaan N Valid 74 Missing 0 Pekerjaan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid PNS 2 2.7 2.7 2.7 Tani/Nelayan 19 25.7 25.7 28.4 Wiraswasta 4 5.4 5.4 33.8 Buruh 1 1.4 1.4 35.1 Pelajar/Mahasiswa 2 2.7 2.7 37.8 Tidak Bekerja 46 62.2 62.2 100.0 Total 74 100.0 100.0 104 g. Tipe-tipe skizofrenia Statistics tipe skizofrenia N Valid 74 Missing 0 tipe skizofrenia Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid skizofrenia paranoid 29 39.2 39.2 39.2 skizofrenia hebefrenik 3 4.1 4.1 43.2 skizofrenia tak terinci 20 27.0 27.0 70.3 skizofrenia residual 5 6.8 6.8 77.0 skizofrenia YTT 17 23.0 23.0 100.0 Total 74 100.0 100.0 105 h. Lama Rawat Inap Statistics Lama Rawat Inap N Valid 52 Missing 22 Lama Rawat Inap Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid < 28 hari 22 29.7 42.3 42.3 > 28 hari 30 40.5 57.7 100.0 Total 52 70.3 100.0 Missing System 22 29.7 Total 74 100.0 106 i. Tepat Indikasi Statistics Tepat Indikasi N Valid 74 Missing 0 Tepat Indikasi Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Ya 74 100.0 100.0 100.0 107 j. Tepat Obat Statistics Tepat Obat N Valid 136 Missing 0 TepatObat Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Ya 123 90.4 90.4 90.4 Tidak 13 9.6 9.6 100.0 Total 136 100.0 100.0 108 k. Tepat Pasien Statistics Tepat Pasien N Valid 74 Missing 0 Tepat Pasien Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Ya 65 87.8 87.8 87.8 Tidak 9 12.2 12.2 100.0 Total 74 100.0 100.0 109 l. Tepat Dosis Statistics Tepat Dosis N Valid 136 Missing 0 Tepat Dosis Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Ya 111 81.6 81.6 81.6 Tidak 25 18.4 18.4 100.0 Total 136 100.0 100.0 110 m. Tepat Frekuensi Statistics Tepat Frekuensi N Valid 136 Missing 0 Tepat Frekuensi Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Ya 123 90.4 90.4 90.4 Tidak 13 9.6 9.6 100.0 Total 136 100.0 100.0 111 LAMPIRAN 7 Surat Izin Penelitian 111 LAMPIRAN 7 Surat Izin Penelitian 111 LAMPIRAN 7 Surat Izin Penelitian 112 LAMPIRAN 8 Surat Keterangan Telah Melaksanakan penelitian 112 LAMPIRAN 8 Surat Keterangan Telah Melaksanakan penelitian 112 LAMPIRAN 8 Surat Keterangan Telah Melaksanakan penelitian 113 LAMPIRAN 9 Dokumentasi Gambar pengambilan data sekunder (rekam medik) Gambar pengambilan data primer (wawancara) pada pasien skizofrenia Gambar pengambilan data primer (wawancara) pada tenaga medis rawat inap jiwa Gambar pasien skizofrenia diberikan obat antipsikotik 114 RIWAYAT HIDUP Fahrul lahir di Biromaru tanggal 20 Agustus 1992. Anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Tamin, A.Ma dan Ibu Fatmawati, S.Pd yang bertempat tinggal di Jalan Lasoso No. 50 Desa Lolu Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Pendidikan Sekolah Dasar di tempuh di SD Negeri Inpres Lolu dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan selanjutnya adalah Sekolah Menengah Pertama, ditempuh di SMP Negeri 1 Biromaru dan lulus pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMA Negeri 3 Palu dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010, melalui jalur Seleksi Lokal Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SLMPTN) melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Universitas Tadulako Palu dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Program Studi Farmasi. Selama menjalankan studi pernah menjadi anggota bidang pengembangan olahraga dan seni Himpunan Mahasiswa Farmasi (HIMAFAR) FMIPA UNTAD periode 2011-2012, wakil ketua Himpunan Mahasiswa Farmasi (HIMAFAR) FMIPA Universitas Tadulako periode 2012-2013, dewan pengawas UKOF Science Sports (S 2 ) FMIPA Universitas Tadulako (2012- 2013), dewan penasehat Himpunan Mahasiswa Farmasi (HIMAFAR) FMIPA Universitas Tadulako (2013-2014) dan pengurus Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FMIPA Universitas Tadulako (2013-2014).