You are on page 1of 3

Soeprapto dan Hoegeng: Pahlawan Antikorupsi

Selasa, 10 November 2009 00:01 WIB

PEMUTARAN penyadapan percakapan Anggodo di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa hari


lalu memunculkan nama pejabat tinggi Kejaksaan Agung dan kepolisian. Rekaman dalam
persidangan terbuka yang ditayangkan televisi ke seluruh Tanah Air mencederai
citra kedua instansi penegak hukum tersebut. Masyarakat bertanya apakah tidak ada
jaksa dan polisi yang profesional sekaligus amanah?

Apabila ditengok sejarah penegakan hukum yang dilakukan kedua instansi ini,
terbukti bahwa tidak semua aparat itu busuk. Kita menyaksikan tokoh jaksa dan
polisi yang patut diteladani dan juga layak diangkat sebagai pahlawan nasional.

Pada 10 November, biasanya pemerintah mengumumkan nama pahlawan nasional yang


baru. Penetapan pahlawan itu seyogianya disesuaikan dengan nilai-nilai yang ingin
disemai dan dikembangkan pemerintah dalam masyarakat. Ketika program penegakan
hukum dan HAM (termasuk pemberantasan korupsi) digalakkan secara nasional, sungguh
tepat bila dalam pengangkatan pahlawan nasional sekarang ini juga terdapat
pendekar hukum dan HAM. Jaksa Agung Soeprapto dan Jenderal Polisi Hoegeng adalah
dua figur yang memenuhi syarat untuk itu.

Soeprapto
Raden Soeprapto lahir di Kediri, 27 Maret 1897. Ayahnya juru tulis pada asisten
residen Trenggalek, kemudian asisten wedana di Nganjuk. Karena itu, dia dapat
menempuh pendidikan yang lumayan. Dia bersekolah di HIS (Hollands Inlandse School)
dan ELS (Europese Lagere School). Setelah lulus dari ELS, Soeprapto memilih
Rechtsschool di Koningsplein Zuid 10 (sekarang Merdeka Selatan) Jakarta. Selepas
dari Rechtsschool, Soeprapto memilih langsung bekerja. Sebagai anak paling tua,
dia merasa punya tanggung jawab untuk dapat segera membantu orang tua.

Soeprapto adalah seorang jaksa/hakim karier. Sejak 31 Mei 1917, dia menjadi staf
Ketua Pengadilan Negeri Tulungagung setelah bertugas di Surabaya, Semarang, Demak,
Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar, Mataram (Lombok), Cirebon,
dan Salatiga. Ketika Jepang menyerbu Maret 1942, Soeprapto menjabat Kepala
Pengadilan Pekalongan hingga agresi militer Belanda pertama pada 1947. Karena
memilih sikap nonkooperatif, dia mengungsi ke wilayah Republik di Yogyakarta.
Sebelum dilantik sebagai jaksa agung, 28 Desember 1950, dia menjadi hakim anggota
Mahkamah Agung. Soeprapto wafat 2 Desember 1964.

Meski berada di bawah Menteri Kehakiman, Jaksa Agung Soeprapto tidak takut
menyidangkan mantan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo. Pada 2 Januari 1956,
Djody divonis satu tahun penjara potong masa tahanan karena terbukti menerima suap
Rp40.000. Soeprapto bukan kader partai dan tidak takut mengadili petinggi partai.
Bukan hanya tokoh nasionalis seperti Roeslan Abdulgani yang diperiksa, melainkan
juga tokoh Islam seperti KH Masykur (mantan menteri agama dalam kasus dugaan
korupsi kain kafan dari Jepang) dan Kasman Singodimejo (kasus penghasutan di depan
umum).

Dari golongan kiri kasus DN Aidit (pencemaran nama baik Bung Hatta) dan Sidik
Kertapati (dugaan makar). Dari partai sosialis mantan menteri ekonomi Sumitro
Djojohadikusumo diperiksa karena kasus pencemaran nama baik. Dari etnik Tionghoa,
yaitu Lie Kiat Teng (mantan menteri kesehatan) dan Ong Eng Die (mantan menteri
keuangan), keduanya dalam kasus dugaan penyalahgunaan jabatan.

Tokoh daerah yang diadili adalah Sultan Hamid Algadrie II (dalam kasus makar yang
melibatkan Westerling). Wartawan senior yang ketika itu pernah diperiksa
pengadilan adalah Asa Bafagih, Mochtar Lubis, BM Diah, dan Naibaho (Pemred Harian
Rakyat). Orang asing yang diadili adalah Schmidt dan Jungschlager.
Pemeriksaan atas sejumlah pejabat tinggi dan pengadilan terhadap bekas pejabat
teras dan pengusaha kakap yang berkongkalikong dengan pejabat ada sekitar 30
kasus, membuat dia tidak disukai politisi. Pakar Indonesia dari Washington
University, almarhum Daniel Lev, mengakui, "Pak Prapto itu memang luar biasa. Ia
sangat jujur dalam menjalankan tugas."

Dia juga keras dalam mendidik anak-anak. Putrinya, Sylvia, pernah diberi dua
gelang emas besar oleh seorang warga Pakistan di halaman rumahnya. Soeprapto
marah. Dia menyuruh putrinya mengembalikan pemberian itu.

Hoegeng
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah bercanda, "Di negeri ini ada dua polisi
yang tidak bisa disuap yakni 'polisi tidur' dan Hoegeng." Bukan untuk kalangan
polisi saja, melainkan masyarakat umum pun dapat belajar dari kisah kehidupan
Jenderal Polisi Hoegeng.

Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Nama pemberian ayahnya adalah Iman
Santoso, tetapi waktu kecil ia sering dipanggil bugel (gemuk), lama kelamaan
menjadi bugeng, dan akhirnya berubah jadi hugeng. Setelah dewasa bahkan sampai
tua, ia tetap kurus.

Ayahnya, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan; bertiga


dengan Ating Natadikusumah, kepala polisi dan Soeprapto ketua pengadilan mereka
menjadi trio penegak hukum yang jujur dan profesional. Ketiga orang inilah yang
memberikan andil bagi penumbuhan sikap menghormati hukum bagi Hoegeng kecil,
bahkan karena kekaguman kepada Pak Ating--yang gagah, suka menolong orang, dan
banyak teman, Hoegeng pun bercita-cita menjadi polisi.

Setelah lulus PTIK 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur. Penugasannya yang
kedua sebagai kepala reskrim di Sumatra Utara yang menjadi batu ujian bagi seorang
polisi karena daerah ini terkenal dengan penyelundupan. Hoegeng disambut secara
unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. Ia
menolak dan lebih memilih tinggal di hotel sebelum dapat rumah dinas. Karena ia
masih ngotot, rumah dinas itu kemudian juga dipenuhi perabot oleh tukang suap itu.
Akibat kesal, ia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi
dan karena tidak dipenuhi akhirnya perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh
Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Maka gemparlah Kota Medan
karena ada seorang kepala polisi yang tidak mempan disogok.

Setelah sukses bertugas di Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta. Untuk sementara ia


dan istri menginap di garasi rumah mertuanya di Menteng. Kemudian ia ditugasi
sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum diangkat, ia menutup usaha kembang
istrinya di Jalan Cikini karena khawatir orang-orang yang berurusan dengan
imigrasi sengaja memborong bunga untuk mendapatkan fasilitas tertentu.

Selepas dari sini atas usul dari Sultan Hamengku Buwono IX, Hoegeng diangkat
menjadi menteri iuran negara dalam Kabinet Seratus Menteri Juni 1965. Pada 1966 ia
kembali ke kepolisian sebagai deputi operasi dan pada 1968 menjadi panglima
angkatan kepolisian. Dalam jabatan ini terjadi beberapa kasus yang menarik
perhatian publik seperti Sum Kuning, tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad, dan
penyelundupan Robby Tjahyadi. Keuletan menuntaskan kasus besar itu menyebabkan
Hoegeng suatu saat berhadapan dengan lingkaran dekat Presiden. Hoegeng tetap
konsisten. Akibatnya ia diberhentikan oleh Presiden Soeharto walaupun masa
jabatannya sebetulnya belum berakhir. Sebelumnya Hoegeng juga merintis pemakaian
helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini
terasa bahwa instruksi itu memang bermanfaat.
Hoegeng ditawari jabatan duta besar di sebuah negara Eropa, tetapi ia menolak.
Alumnus PTIK 1952 ini lebih senang jadi orang bebas. Ia tampil dengan grup musik
Hawaian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu. Tetapi musik barat
dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai 'kepribadian nasional' oleh
Menteri Penerangan Ali Moertopo sehingga ia tidak boleh tampil lagi. Kemudian
Hoegeng bergabung dengan rekan-rekannya yang kritis dalam Petisi 50. Ia tetap
sederhana. Ketika rapat kelompok ini di rumah Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng
naik bajaj.

Apa yang mendorong Hogeng menjadi tokoh yang bersih dan antikorupsi? Barangkali
pendiriannya yang ditanamkan oleh ayahnya bahwa 'yang penting dalam kehidupan
manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang
mencemarkan'. Ayahnya seorang birokrat yang sampai akhir hayatnya tidak sempat
punya tanah dan rumah pribadi. Mantan Jaksa Agung Soeprapto dan Jenderal Polisi
Hoegeng layak diangkat menjadi pahlawan nasional.

Oleh Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI

You might also like