Suplemen UKL-UPL ini membahas kajian lebih lanjut terhadap dampak rencana pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove, biota laut, dan sistem drainase di sekitarnya. Dokumen ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh PMU-USDRP Morowali untuk melengkapi analisis dampak lingkungan proyek semula dan memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Suplemen UKL-UPL ini membahas kajian lebih lanjut terhadap dampak rencana pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove, biota laut, dan sistem drainase di sekitarnya. Dokumen ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh PMU-USDRP Morowali untuk melengkapi analisis dampak lingkungan proyek semula dan memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Suplemen UKL-UPL ini membahas kajian lebih lanjut terhadap dampak rencana pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove, biota laut, dan sistem drainase di sekitarnya. Dokumen ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh PMU-USDRP Morowali untuk melengkapi analisis dampak lingkungan proyek semula dan memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
TPI BUNGKU TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan rahmat-Nya sehingga penyusunan suplemen UKL-UPL dampak pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove ini dapat selesai sebagaimana harapan kita bersama. Kami menyadari bahwa dalam penyajian suplemen UKL-UPL ini masih perlu penyempurnaan yang paripurna sehingga resiko dampak yang ditimbulkan dari rencana pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove dapat diperkecil dan tertangani dengan baik dan benar. Olehnya itu kami sangat membutuhkan saran dan masukan yang konstruktif serta penyempurnaan atas kemungkiinan adanya kekeliruan dalam penulisan suplemen ini dari berbagai pihak, bagi rampungnya dokumen suplemen UKL-UPL TPI Bungku yang komprehensif. Kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan suplemen ini khususnya Tim Kerja Penyusunan Suplemen UKL-UPL TPI Bungku saya mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas upaya dan dedikasi kita sekalian dalam menyelesaikan suplemen ini. Harapan kami, laporan ini akan sangat bermanfaat bagi Tim Kerja, PMU dan PIU-USDRP Morowali dalam proses pemantauan dan pengelolaan lingkungan baik pra-konstruksi, konstruksi dan pasca-konstruksi pembangunan TPI Bungku.
Tim Penyusun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana kegiatan pembangunan TPI Bungku selain akan memberikan manfaat positif secara ekonomi bagi masyarakat nelayan dan Pemda Morowali, juga perlu memperhatikan aspek kelayakan lingkungan mengingat lokasinya yang berada di kawasan perkotaan dan masih ditumbuhi tanaman bakau (mangrove). Keberadaan mangrove memiliki nilai ekologi, ekonomi dan sosial sangat penting bagi ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Untuk itu perlu dikelola dan dilindungi keberadaannya mengacu kepada UU No.5 Tahun 1990, UU No,27 Tahun 2007, RAMSAR Convention, dan ketentuan Bank Dunia mengenai sumber daya alami (Natural Habitat) (lihat di OP.04. Natural Habitat di www.worldbank.org). Dokumen UKL-UPL belum secara komprehensif mengkaji dampak pembangunan TPI Bungku terhadap keberadaan ekosistem mangrove, satwa langka, biota laut dan sebaran terumbu karang di sekitar lokasi TPI, dan timbulnya abrasi pantai. Selain itu kajian prasarana lingkungan seperti pembuatan sistem saluran pembuangan limbah dan saluran drainase juga belum dilakukan secara komprehensif. Olehnya itu diperlukan suplemen UKL-UPL untuk melengkapi kajian yang belum termuat di dalam dokumen UKL- UPL, sehingga kemungkinan terjadinya berbagai dampak negatif dengan adanya pembangunan TPI Bungku dapat terkelola dengan baik dan benar. Berdasarkan hasil kunjungan lapangan yang dilakukan pada misi supervisi Bank Dunia, rencana lokasi pembangunan TPI Bungku sudah pada tahap kegiatan pematangan lahan dan hasil koordinasi dengan SKPD terkait lokasi tersebut berada pada Area Penggunaan Lain (APL) sesuai dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Morowali SK.Menhut No.575 tahun 1999. 1.2. Landasan Hukum 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (pasal 8 jo pasal 27 Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok Pokok Kesehatan 3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 43) 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun 5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan/atau Pengrusakan Laut (pasal 8) 6. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2000 tentang Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah 7. Undang-undang Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 8. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir 9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 10. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa 11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara 13. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Kebauan. 14. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Penentuan Kerusakan Mangrove 15. Surat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 47 Tahun 2001, Tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang. 16. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2009 (masih dalam tahap pembahasan di daerah) 17. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Morowali Tahun 2003 - 2013 18. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bungku Tahun 2006 - 2016 19. RAMSAR Convention of Wetland Tahun 1971 20. Ketentuan Bank Dunia tentang Natural Habitat (op. 4.04 Natural Habitat) untuk kajian dan pengelolaan mangrove, biota laut, terumbu karang, dan satwa langka. 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dan Tujuan penyusunan Suplemen UKL-UPL untuk masing-masing kajian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Melakukan kajian tentang keberadaan ekosistem mangrove dan satwa langka lainnya di lokasi TPI Bungku. 2. Melakukan kajian tentang keberadaan biota laut dan sebaran terumbu karang/padang lamun di sekitar lokasi TPI Bungku. 3. Melakukan kajian tentang sistem drainase dan sistem pembuangan limbah di sekitar lokasi TPI Bungku. 4. Melakukan kajian dampak pada tahapan pra-konstruksi, konstruksi dan pasca- konstruksi pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove, biota laut, satwa langka, terumbu karang/padang lamun, abrasi pantai dan sistem drainase serta pembuangan limbah. 1.4. Kegunaan Studi 1. Sebagai pedoman dalam pengelolaan lingkungan pembangunan TPI Bungku secara berkelanjutan dan berjangka panjang bagi keberadaan ekosistem mangrove, satwa langka, terumbu karang, padang lamun dan sistem pembuangan limbah serta saluran drainase TPI Bungku. 2. Untuk memenuhi dan menyempurnakan rekomendasi dokumen UKL-UPL TPI Bungku 1.5. Wilayah Studi 1.5.1. Batas wilayah Administratif Wilayah study berada di Wialayh Administrasi Pemerintahan Kelurahan Matano, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Batas Wilayah lokasi TPI Menempati areal sisi barat laut Dermaga Bungku (eksisting) seluas 10.997 M 2 , Dengan batas-batas areal lokasi sebagai berikut : Sebelah Utara : Permukiman penduduk Sebelah Timur : Perairan Teluk Tolo Sebelah Selatan : Dermaga Bungku dan Permukiman penduduk Sebelah Barat : Pasar Tradisional Bungku dan Permukiman penduduk Jarak lokasi TPI Dengan Kota Bungku sekitar 0,5 Km, waktu tempuh ke ke lokasi 5 Menit dari Kota Bungku dan Pusat pemerintahan/Kantor Bupati 10 Menit. Jarak lokasi Areal lokasi Pembangunan TPI dari tepi pantai/Garis pantai 150 M 1.5.2. Kondisi Area Sesuai dengan kajian Tim Kerja yang dibentuk berdasarkan SK. PMU, untuk Suplemen UKL/UPL menunjukkan bahwa status wilayah study ; 1) Sesuai dengan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan SK, Menteri Kehutanan No. 575 Tahun 1999 areal lokasi yang dimaksud Adalah status Areal Penggunaan Lain (APL). 2) Sesuai dengan Peta Hutan dan Perairan Kabupaten Morowali areal lokasi yang dimaksud adalah status Areal Penggunaan Lain (APL). 3) Sesuai dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK).tahun 2003- 2013 Areal yang dimaksud adalah wilayah peruntukan Kawasan perdagangan dan Industri 4) Sesuai dengan Peta Detil Tata Ruang Kota Bungku adalah 2006-2016 kawasan Pengembangan Perdagangan dan indutri, Permukiman penduduk. Maka berdasarkan hal-hal tersebut diatas hasil kajian ini menunjukkan bahwa Areal lokasi pembangunan TPI Bungku Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah bukan Areal Kawasan Hutan atau Kawasan Konservasi yang dilindungi.
1.6. Identitas dan Susunan Tim Penyusun Sesuai Surat Keputusan Ketua PMU-USDRP Morowali Nomor 188.45/84/PMU- USDRP/V/2011 tentang Pembentukan Tim Kerja Penyusunan Suplemen Dokumen UKL-UPL TPI Bungku yang susunan keanggotaannya adalah sebagai berikut : 1. KOORDINATOR : Drs. YULIZAR Nip. 19570310 199103 1 003 (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali) 2. ANGGOTA : I KADEK WISNUADA,S.Hut Nip.197412052002121004 (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali) RAMLAN, ST, M.Si. Nip. (Dinas Kelautan dan Perikanan Morowali) ANWAR SAIMU, ST Nip. 19740115 200110 1 006 (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali) HENGKY F. PADANG, ST Nip. (Dinas Pekerjaan Umum Daerah Morowali) ARIFUDIN, SE Nip. 19730210 200701 1 023 (Bappeda Kabupaten Morowali) Peta-peta yang diperlukan terdiri dari ; Peta Kawasan Hutan dan Perairan (APL) Kab.Morowali, Rencana Tata Ruang Wilayah Kab.Morowali (terlampir) BAB II RENCANA KEGIATAN 2.1. Rencana Kegiatan Tahap Pra-Konstruksi Pada tahap pra-konstruksi akan dilakukan kegiatan sosialisasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku sehingga rencana kegiatan/usaha pada tahapan ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting secara spesifik terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) dan komponen lingkungan biologi yang terdiri vegetasi mangrove, terumbu karang, biota laut dan satwa langka. Pada tahapan ini hanya menimbulkan dampak terhadap komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya yang meliputi keresahan pedagang, perubahan sikap dan presepsi masyarakat atas rencana pembangunan TPI. 2.2. Rencana Kegiatan Tahap Konstruksi Ditahapan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku terdiri dari : 1. Pembangunan dan pengoperasian base camp 2. Pembukaan dan pematangan lahan 3. Konstruksi fisik TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya yang terdiri dari : a. Pembangunan mushollah b. Pembangunan tempat wudhu dan kamar mandi/wc c. Pembangunan kantor pengelola d. Pembangunan gedung cold storage e. Pembangunan gedung TPI f. Pembangunan gudang TPI g. Pembangunan lantai penjemuran h. Pembangunan warung dan toko i. Pembangunan kamar mandi/wc umum j. Pembangunan rumah genset k. Pembangunan tower air l. Pembangunan stasiun pompa bahan bakar m. Pembangunan jalan lingkungan n. Pembangunan sistem drainase tertutup o. Pembangunan IPAL p. Pembangunan kolam/dermaga q. Pembangunan kanal r. Pembangunan pagar TPI s. Pembangunan taman dan landscape TPI 4. Mobilisasi material dan alat berat 5. Penerimaan tenaga kerja dan terbukanya kesempatan kerja 6. Penanaman kembali mangrove/revegetasi Rencana kegiatan/usaha pada tahapan ini menimbulkan dampak besar dan penting secara spesifik terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) akibat terjadinya perubahan bentang alam di pesisir pantai yang dilalui alat berat serta material pengerukan jalur kanal dan kolam. Sedangkan komponen lingkungan biologi yang terganggu terdiri dari vegetasi mangrove, terumbu karang, biota laut dan satwa langka, akibat dari aktifitas mobilisasi material dan alat berat serta aktifitas pembangunan sarana dan prasarana fisik TPI. Terhadap komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya terjadi keresahan pedagang, perubahan sikap dan presepsi masyarakat. Untuk komponen kesehatan lingkungan dan masyarakat terjadinya gangguan kesehatan masyarakat sekitar dan keselamatan kerja seluruh komponen yang terlibat dalam proses konstruksi TPI. 2.3. Rencana Kegiatan Tahap Pasca-Konstruksi Rencana kegiatan pada tahapan pasca-konstruksi adalah meliputi : 1. Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku 2. Kegiatan operasional dan pemeliharaan IPAL TPI Modern Bungku 3. Kegiatan operasional dan pemeliharaan rumah genset TPI Modern Bungku 4. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana TPI Modern Bungku 5. Kegiatan operasional dan pemeliharaan jalan ruas di sekitar TPI Modern Bungku 6. Kegiatan penerimaan tenaga kerja oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku 7. Kegiatan penyediaan barang kebutuhan kapal penangkap ikan yang beroperasi di TPI Modern Bungku 8. Kegiatan pembayaran kewajiban pelaku TPI Modern Bungku Rencana kegiatan/usaha pada tahapan ini menimbulkan dampak besar dan penting secara spesifik terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) akibat terjadinya perubahan bentang alam daerah pesisir pantai yang menjadi kanal TPI Bungku. Terganggunya komponen lingkungan biologi yang terdiri dari vegetasi mangrove, terumbu karang, biota laut dan satwa langka akibat dari aktifitas kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana TPI Bungku. Sedangkan terganggunya komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya meliputi keresahan pencari kerja, perubahan sikap dan presepsi masyarakat, kewajiban para pelaku/pengguna fasilitas TPI, ketersediaan barang kebutuhan kapal penangkap ikan dan kurang sempurnanya penanganan operasional serta pemeliharaan sarpras TPI. Terhadap komponen kesehatan lingkungan dan masyarakat meliputi terjadinya penurunan nilai estetika akibat penyebaran dan penumpukan sampah secara serampangan yang mengganggu kenyamanan dan kerapian lingkungan. BAB III RONA LINGKUNGAN Rona lingkungan meiputi : komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia, lingkungan biologi, komponen sosial ekonomi dan budaya serta komponen kesehatan lingkungan dan masyarakat 3.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia 3.1.1. Iklim Menurut data Stasiun Meteorologi BMG Poso Tahun 1996-2006. Khusus data hari hujan dan curah hujan di lokasi TPI diperoleh Stasiun Pengamatan PPL Kecamatan Bungku Tengah Tahun 2005 sebagai berikut : a. Curah Hujan Dan Tipe Iklim Hari hujan tercatat hari hujan rata-rata setiap bulan 11 hari dengan curah hujan sebesar 135 mm. Hari hujan tertinggi bulan Mei, Juli dan Agustus yaitu 15 hari dan hari hujan terendah bulan Maret dan September yaitu 15 hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Mei yaitu sebesar 311 mm dan curah hujan terendah pada bulan Desember yaitu sebesar 31 mm. Menurut klasifikasi iklim Koppen (dalam Schmitt dan Forguson, 1951) lokasi studi tergolong pada tipe iklim Af (hujan tropik basah) yang dicirikan oleh curah hujan bulanan terkering >60 mm dan suhu rata-rata bulanan >18C, areal studi masuk klasifikasi iklim tipe A yang dicirikan oleh 0-1 bulan kering, dengan curah hujan <100 mm/bln, memiliki nilai Q sebesar 14%. Menurut klasifikasi Oldeman termasuk tipe iklim C1 dengan 5-6 bulan basah berturut-turut, dengan curah hujan >200 mm/bln, areal studi mempunyai pola curah hujan yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan relatif kering yang jelas. b. Temperatur Udara Temperatur udara di areal studi relatif tinggi dengan ketinggian tempat 0-50 m dpl. Suhu udara rata-rata bulanan 25,50C, rata-rata suhu udara maksimum berkisar 29,3-31,90C dan rata-rata suhu udara minimum berkisar 22,6-23,30C. Suhu maksimum mencapai 32,70C terjadi pada bulan Maret dan Nopember dan suhu minimum sebesar 22,60C terjadi pada bulan Januari. c. Kelembaban Dan Lama Penyinaran Matahari Kelembaban udara relatif pada areal studi, relatif tinggi yang polanya hampir merata sepanjang tahun. Kelembaban udara relatif rata-rata tahunan 85,3%, tertinggi 93% pada bulan Juni dan terendah 80% yang terjadi pada bulan Agustus. Lama penyinaran matahari penuh dihitung selama 12 jam, yaitu dari jam 06.00-18.00 yang setara dengan 100%. Lama penyinaran matahari rata-rata bulanan adalah 80,5%, penyinaran matahari tertinggi 89,4% terjadi pada bulan Februari dan terendah 75,3% pada bulan Juli. d. Arah Dan Kecepatan Angin Kecepatan angin bulanan pada lokasi studi rata-rata 5,5 knot, dengan kecepatan maksimum 7,3 knot dan minimum 4,6 knot. Arah angin terbanyak adalah arah Tenggara yang terjadi selama 7 bulan dari bulan Mei sampai bulan November, disusul arah Barat yang terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Desember, Maret dan April dan arah Utara terjadi selama 2 bulan yaitu pada bulan Januari dan Februari. 3.1.2. Morfologi Dan Bentuk Wilayah a. Morfologi Daerah Studi Daerah Bungku dan sebahagian besar wilayah di bagian Timur Kabupaten Morowali memiliki morfologi yang relatif homogen, yaitu berupa dataran rendah dengan topografi datar hingga hampir rata dengan ketinggian 0 9 m dari permukaan laut. Daerah yang menempati bagian Barat memiliki topografi rendah/landai (kemiringan 215%). b. Fisiografi Dan Bentuk Wilayah Daerah Bungku merupakan daerah dengan ketinggian dominan 3,1 m dari permukaan laut dan kemiringan lereng 215% yang cenderung datar dan landai yang memungkinkan untuk pengembangan kota. Namun sebagian lagi mempunyai bentuk morfologi yang berbukit dan bergelombang, yang terletak pada ketinggian 59 m dari permukaan laut dengan kemiringan 1540%. Morfologi bergelombang ini merupakan daerah pergunungan dan lebih diprioritaskan sebagai kawasan konservasi. Gambaran mengenai morfologi lokasi studi dapat dilihat pada Peta Topografi dalam Gambar 1. 3.1.3. Geologi Dan Batuan Induk Formasi geologi yang terdapat di daerah Bungku sebagai pembentuk struktur batuan di wilayah Bungku antara lain dari : Kompleks Ultramafik (Ku) berumur Kapur berupa batuan harzburgit, herzolit, wehrlit, websterit, serpentinit, dunit, diabas dan gabro. Kelompok batuan ini dijumpai di sebelah barat, memanjang utara-selatan. Formasi Matano (Km) yang juga berumur Kapur berupa blok batuan di sebelah barat- barat laut Bungku, terdiri dari kalsilutit, napal dan serpih dengan sisipan rijang radiolaria. Formasi Salodik (Tems) berumur Eosen-Miosen Tengah yang tersusun oleh kalsilutit, batugamping pasiran, napal, batupasir dan sisipan rijang. Kelompok batuan ini menempati bagian tengah dan mendominasi batuan di daerah Bungku dan sekitarnya. Formasi Pandua (Tmpp) berumur Miosen Akhir Pliosen, yang terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung dan menempati daerah Bungku dan menyebar ke selatan sepanjang pantai Bungku, juga di bagian selatan berupa blok batuan terpisah, juga di daerah pantai. Dari hasil pengamatan lapangan, fisiografi wilayah Bungku secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yakni Dataran Rendah dan Perbukitan. a. Dataran Rendah Dari aspek morfogenetik bentuk lahan dataran rendah di daerah Bungku dan sekitarnya disusun oleh batuan dari Formasi Pandua berupa konglomerat dan batuan sedimen klastik halus. Resistensi rendah dengan proses denudasi yang kuat membentuk wilayah pedataran dekat pantai. Pembentukannya sangat kuat dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa pelapukan dan erosi yang kuat. b. Perbukitan Bahan induk kelompok perbukitan adalah batuan dari Kompleks Ultramafik, Formasi Matano, Formasi Salodik dan Formasi Pandua dengan tingkat resistensi batuan yang lebih kuat serta proses endogen kuat yang membentuk fisiografi akibat tektonisme. Proses endogen dan eksogen mengubah bentuk awal menjadi perbukitan yaitu melalui proses pengangkatan, erosi, gradasi, deposisi dan pergerakan massa, sehingga terbentuk morfologi perbukitan dengan amplitude kurang dari 200 m dibanding daerah sekitarnya dan membentuk bukit-bukit kecil dengan pola acak. Variasinya ke dalam bentuk lahan ditentukan oleh kemiringan lereng. Bentuk-bentuk lahan yang tergolong kedalam kelompok perbukitan di daerah Bungku adalah perbukitan pola acak berlereng 8-15%, berlereng 15-25%, berlereng25-40% dan lebih dari 40%. Penyebaran formasi geologi yang melingkupi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku. 3.1.4. Hidrooseanografi a. Topografi Dasar Laut (Bathimetri) Batimetri di perairan Teluk Tolo pantai sekitar lokasi studi berkisar antara 510 m. Dari peta batimetri Dinas Hidrooseonografi TNI Angkatan Laut, topografi dasar laut di perairan Teluk Tolo mempunyai kedalaman diatas 20 m sehingga cukup aman untuk dilayari dan beroperasinya kapal penumpang maupun barang. Walaupun demikian, di perairan dekat lokasi rencana usaha atau kegiatan masih perlu diwaspadai adanya karang-karang dangkal yang mempunyai kedalaman 3,0 LWS. b. Pasang Surut Jenis pasang surut yang dijumpai merupakan pasang surut campuran yang bahkan cenderung ganda, yang terjadi dua kali sehari. Menurut Triatmojo, jenis pasang surut yang ada adalah pasang surut condong harian ganda. Kisaran pasang surut maksimal dan minimal terukur 90 cm. Dari hasil perhitungan bilangan Formzahl (F), diperoleh bahwa nilai F di perairan ini antara 0,80-1,082. Hasil ini menunjukkan bahwa tipe pasang surut diperairan sekitar Teluk Tolo adalah campuran cenderung harian ganda (semi diurnal). Kisaran pasang surut antara muka air tertinggi dan muka air terendah adalah sebesar 90 cm. c. Arus Pola arus Laut Teluk Tolo di beberapa lokasi perairan Kabupaten Morowali adalah berupa arus susur, pengalihan massa air yang menuju pantai dan momentum selama penjalaran menimbulkan arus di kawasan depat pantai. Pada beberapa kawasan yang dilintasi memiliki kecepatan antara 0,02 s/d 0,1 m/detik. Pola pergerakan arus yang terjadi pada umumnya dominan arah Utara dan Baratlaut menuju ke Selatan dan Baratdaya. Pada musim Timur kecepatan arus menurun karena arah angin yang bertiup dari arah Tenggara dan Selatan, sehingga arus oleh angin yang berasal dari Laut Jawa akan dibelokkan ke arah inner zone perairan Teluk Tolo. Pada musim barat arus dari Teluk Tolo bertemu dengan arus yang bergerak dari Laut Jawa sehingga terjadi arus putar di sekitar perairan Teluk Tolo bagian Selatan (Lemsaa, 2000). d. Angin Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, diketahui bahwa musim peralihan yakni dari Timur ke Barat menunjukkan bahwa arah datangnya angin dominan dari Utara dengan persentase 26,6% diikuti dari Baratlaut, Barat dan Tenggara sebanyak 20% dan dari Timur 13,3%. Hal itu disebabkan pola angin yang mengalami perubahan dari musim Timur yang didominasi oleh angin dari Timur menuju musim Barat. Secara keseluruhan tiap tahun angin yang bertiup lebih didominasi dari Barat, Baratlaut dan Utara, dibanding dari Timur, Timurlaut, Tenggara, apalagi dari Selatan yang hampir tidak menunjukkan adanya angin. e. Gelombang Laut Prosentase gelombang di Teluk Tolo didominasi dari arah Barat dibanding dari arah lainnya. Dinamika ombak tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap gelombang ke arah pantai. Menurut Triatmojo,1999 di daerah pantai sering terjadi refraksi gelombang yang disebabkan oleh perubahan kedalaman laut dan keberadaan tanjung. Frekuensi kejadian gelombang musim barat dominan dari Timur (2,6- 10,4%) dan Utara (4,7-7,9%) dengan tinggi gelombang signifikan (Hs) dominan antara 0-0,5 meter. Selama musim timur, gelombang juga dominan dari Utara dengan frekuesi kejadian 3,8-6,6% dan dari Timur dengan frekuensi kejadian 3,7-7%. Frekuensi kejadian gelombang selama musim barat lebih besar dibandingkan dengan musim timur, namun demikian ternyata kondisi "calm" lebih dominan lagi yaitu dengan frekuensi kejadian 77,7-87,3%. 3.1.5. Hidrologi a. Air Permukaan Sumber air permukaan di daerah Bungku Tengah yang melingkupi lokasi studi berasal dari aliran air sungai yang melintasi wilayah Kecamatan ini dengan sungai utama yaitu Sungai Matauso. Sungai ini mengalir dari Barat atau dari perbukitan ke arah Timur dan akhirnya bermuara di Teluk Tolo dengan panjang sungai 18 Km. Selain itu juga terdapat beberapa sungai lainnya yang merupakan salah satu potensi yang dimiliki Kecamatan Bungku Tengah dan dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk pengelolaan air bersih dan untuk pengairan/irigasi sawah penduduk. Sumber air baku yang berasal dari air permukaan Sungai Matauso mempunyai daya dukung debit air yang semakin menurun terutama di musim kemarau. Kapasitas air baku yang dapat diambil melalui intake yang terpasang di sungai tersebut sangat bervariasi tergantung dari kondisi iklim. Disamping itu juga terdapat penggunaan air yang besumber dari air tanah dangkal (sumur terbuka). b. Air Tanah Dalam Selain air permukaan, sumber air lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Bungku Tengah secara keseluruhan adalah air tanah dalam. Data tentang air tanah dalam terutama tentang kemampuan produksi serta kualitas airnya yang layak untuk dikembangkan, hanya dapat diketahui melalui penelitian terhadap kondisi geografis dan hidrogeologis wilayah bersangkutan. Dari informasi Hidrologi diketahui bahwa kondisi air tanah di wilayah Kecamatan Bungku Tengah adalah sebagai berikut : Daerah sekitar pantai, kondisi air tanahnya tidak layak konsumsi (air tanah asin). Daerah bagian atas yang dibatasi oleh rute Jalan Poros Palu Kendari, kondisi air tanahnya cukup layak untuk dikembangkan dan dikonsumsi terutama di kawasan yang memiliki kawasan lahan hijau (hutan). Sumber air tanah tersebut dapat berupa sumur terbuka, atau mata air seperti yang dijumpai di Desa Bungi. Daerah bagian atas yang telah dimanfaatkan secara maksimal sebagai lahan perumahan dapat memperoleh air tanah dengan menggunakan sumur bor dengan kedalaman yang bervariasi tergantung ketinggian permukaan tanah dan kondisi vegetasi sekitarnya. 3.1.6. Kualitas Air a. Sifat Fisika Air i.) Warna, Kebauan Dan Rasa Hasil pengamatan dan analisis pada 3 (tiga) lokasi pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, menunjukkan baik warna, kebauan dan rasa air secara organoleptif memberikan gambaran yang baik, masing- masing terlihat jernih, tidak berbau dan tidak berasa (normal). Lokasi studi masih bersih dari benda-benda terapung, walaupun ada benda terapung masih merupakan benda- benda alami yang berasal dari perairan itu sendiri dan tidak bersifat berbahaya dengan jumlah yang sedikit. Hasil analisis kebauan memenuhi baku mutu air laut untuk perairan pelabuhan berdasarkan Lampiran I Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, yaitu alami atau tidak berbau. Hasil analisis bau pada air tanah/sumur dangkal di lokasi rencana pembangunan TPI Modern Bungku atau di lokasi sekitar dermaga Bungku eksisting masing-masing adalah tidak berbau atau alami, memenuhi persyaratan kualitas air minum berdasarkan Lampiran 1 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 907/MENKES/SK/VII/2002, Tentang Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air Minum, yaitu alami atau tidak berbau. Analisa warna pada air tanah/sumur masing-masing di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 50 Pt-Co. Analisa rasa pada air tanah/sumur masing-masing adalah tidak berasa, memenuhi bawah baku mutu yaitu tidak berasa. ii.) Zat Padat Tersuspensi (TSS) TSS dapat terdiri dari partikel organik, anorganik atau campurannya. Tingginya nilai TSS dalam suatu perairan dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di perairan tersebut, terutama jenis Benthos dan Ikan. Hasil pengukuran TSS air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1 terukur 13 mg/l, stasiun 2 terukur 12 mg/l dan pada stasiun 3 terukur 10 mg/l, masih di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 80 mg/l. iii.) Zat Padat Terlarut (TDS) Hasil pengukuran TDS pada pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 368 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 625 mg/l. Kadar TDS untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1500 mg/l. iv.) Kekeruhan Kekeruhan air umumnya dipengaruhi oleh nilai padatan tersuspensi, semakin tinggi kandungan padatan tersuspensi semakin tinggi pula kekeruhan dan semakin rendah tingkat kecerahan perairan. Hasil analisa kekeruhan pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 3 NTU dan pada stasiun 2 terukur 3,5 NTU, masih di bawah baku mutu yang ditetapkan, yaitu 25 NTU. v.) Kecerahan Hasil pengukuran kecerahan air Laut Teluk Tolo pada ke-tiga stasiun pengambilan sampel adalah terlihat dasar, masing-masing memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 22 m. vi.) Lapisan Minyak Hasil pengukuran lapisan minyak pada air Laut Teluk Tolo dari 3 stasiun pengambilan sampel terukur negatif/nihil, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu nihil. vii.) Suhu Suhu merupakan indikator yang penting untuk menentukan efek selanjutnya terhadap nilai parameter air lainnya, seperti mempercepat terjadinya rekasi kimia, reduksi kelarutan gas- gas dalam air atau dapat memperbesar bau atau rasa. Suhu alami untuk perairan tropis yang layak untuk kehidupan organisme berkisar antara 25-32C. Hasil pengukuran suhu udara di lokasi studi berkisar antara 2635C dengan rata-rata 29C sedangkan hasil pengukuran suhu air Laut Teluk Tolo secara langsung di lapangan pada stasiun 1, 2 dan 3 terukur 29C, memenuhi mutu yang ditetapkan yaitu 28-32C. Hal ini menunjukkan suhu air di lokasi studi tergolong baik dan berada di dalam kisaran suhu air normal yang umumnya terdapat di wilayah perairan. Hasil pengukuran suhu air tanah/sumur pada stasiun 1 dan 2 terukur 27C, juga memenuhi di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 26-32C. b. Sifat Kimia Air Dari hasil analisa parameter kualitas kimia air yang terdapat di lokasi rencana usaha, secara umum diketahui kondisi perairan di lokasi studi masih dalam keadaan baik, masih memiliki kadar yang jauh di bawah standar nilai baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Parameter kualitas kimia tersebut meliputi : i.) Derajat Keasaman Derajat keasaman (pH) air dapat memberikan gambaran tentang keseimbangan asam dan basa yang secara mutlak ditentukan oleh besarnya konsentrasi ion hidrogen (H+) yang dalam perairan. Perairan laut umumnya mempunyai pH berkisar antara 6,5-9,0. Derajat keasaman sangat penting dalam menentukan nilai guna perairan untuk kehidupan organisme dan keperluan lainnya, umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktifitas fotosintesa, suhu dan adanya anion kation. Berubahnya nilai pH menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat di dalam air. Ikan dan biota akuatik lainnya masih dapat mentoleransi lingkungan perairan yang mempunyai nilai pH antara 4,011,0 (Jones, 1964 dan Swingle, 1968). Derajat keasaman (pH) yang ideal untuk kehidupan akuatik adalah berkisar 6,58,5 (NTAC, 1964 dan Swingle, 1968). Hasil pengukuran pH air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1 terukur 7,6 dan pada stasiun 2 dan 3 terukur 7,5 untuk ke-tiga lokasi pengambilan sampel pH memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 7-8,5. Hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi perairan tersebut tergolong baik atau netral. Hasil pengukuran pH air tanah/sumur pada stasiun 1 terukur 7,5 dan pada stasiun 2 terukur 7,0 untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 6,5-9,0. ii.) Salinitas Hasil pengukuran salinitas air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing terukur 29o/oo, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu alami. iii.) Amoniak Total (NH3-N) Amoniak total merupakan salah satu bentuk senyawa Nitrogen yang dijumpai dalam badan air sebagai senyawa tereduksi, dalam air senyawa ini dapat berada dalam bentuk senyawa NH3 atau NH4. Amoniak merupakan hasil utama penguraian protein dalam keadaan an-aerobik dan bersifat toksik terhadap organisme perairan, kandungan amoniak yang meningkat dapat disebabkan oleh adanya kegiatan rumah tangga, pertanian dan industri. Beberapa literatur menganjurkan bahwa kandungan amoniak sebaiknya tidak melebihi 1,5 mg/l. Analisis amoniak total (NH3-N) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 3 dan 3 terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,3 mg/l. iv.) Logam Berat Terlarut Logam-logam berat dalam air laut secara alami umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah, kecenderungan adanya logam berat dalam jumlah yang melampaui batas terutama berasal dari kegiatan ontroposentris (manusia) berupa limbah industri yang masuk ke perairan laut. Hasil pengukuran logam berat terlarut pada perairan Laut Teluk Tolo maupun pada air tanah/sumur di sekitar lokasi studi untuk semua parameter yang dianalisis menunjukkan bahwa ; Air raksa (Hg), Arsen (As); Nikel (Ni); Kadmium (Cd); Khromium VI (Cr 6+); Seng (Zn); Tembaga (Cu); Besi (Fe), Mangan (Mn), Selenium (Se) dan Timbal (Pb) memenuhi baku mutu yang ditetapkan dan memberikan gambaran bahwa kondisi perairan tersebut tergolong baik. Air raksa (Hg) pada ke-3 stasiun pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo terukur <0,0005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,003 mg/l. Air raksa (Hg) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,0005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,001 mg/l. Kadar Besi (Fe) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,08 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 0,075 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel kadar besi di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/l. Kadar Mangan (Mn) pada air tanah/sumur stasiun 1 dan 2 terukur 0,10 mg/l, untuk ke-2 lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar Mangan di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,5 mg/l. Arsen (As) pada 2 stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,05 mg/l). Kadmium (Cd) pada 3 stasiun pengambilan sampel air Laut terukur <0,0005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,01 mg/l). Kadmium (Cd) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,005 mg/l). Khromium VI (Cr6+) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,05mg/l). Selenium (Se) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,002 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,01 mg/l). Seng (Zn) pada air Laut Teluk Tolo stasiun 1 terukur 0,0272 mg/l, stasiun 2 terukur 0,0386 mg/l dan stasiun 3 terukur 0,0175 mg/l. Hasil pengukuran Zn dari ke-3 stasiun pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,1 mg/l. Kadar Seng (Zn) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,04 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 0,80 mg/l, untuk ke-2 stasiun pengambilan sampel kadar seng di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 15 mg/l. Tembaga (Cu) pada ke-3 stasiun pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo terukur <0,0005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,05 mg/l. Timbal (Pb) pada ke-3 stasiun pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo terukur <0,005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,05 mg/l. Timbal (Pb) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,05 mg/l. v.) Fenol Analisa parameter fenol pada air Laut Teluk Tolo untuk ke-2 stasiun pengambilan sampel terukur <0,001 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,002 mg/l. vi.) Minyak Dan Lemak Parameter minyak dan lemak air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1 terukur <0,2 mg/l, pada stasiun 2 dan 3 terukur <0,1 mg/l, untuk ke-tiga stasiun kadar minyak dan lemak di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 5,0 mg/l. vii.) Nitrit (NO2-N) Nitrit merupakan senyawa nitrogen yang kurang stabil dan umumnya dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil dalam badan air. Senyawa ini mudah berubah menjadi amoniak atau nitrat atau gas nitrogen. Tingginya konsentrasi nitrit dalam air dapat berasal dari daerah estuaria maupun dari limbah domestik yang masuk ke badan air. Analisis kadar N- Nitrit (NO2-N) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur <0,002 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 0,21 mg/l, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 1,0 mg/l. viii.) Nitrat (NO3-N) Analisis kadar N-Nitrat (NO3-N) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,1 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 0,5 mg/l, untuk kedua lokasi pengambilan sampel air tanah/sumur ini kadar Nitrat di bawah baku mutu yang ditetapkan (10 mg/l). ix.) Fluorida (F) Analisa Fluorida (F) pada pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,07 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 0,02 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar Fluorida di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1,5 mg/l. x.) Sianida (CN) Hasil pengukuran kadar Sianida (CN) pada air tanah/sumur stasiun 1 dan 2 masing- masing terukur <0,005 mg/l, masih di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,1 mg/l. xi.) Sulfida (H 2 S) Analisa Sulfida (H 2 S) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3 masingmasing terukur <0,002 mg/l, memenuhi batas baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,03 mg/l. xii.) Sulfat (SO 4 ) Analisa Sulfat (SO 4 ) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur <0,3 mg/l, pada stasiun 2 terukur 35,6 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar Sulfat di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 400 mg/l. xiii.) Kesadahan Total (CaCO 3 ) Hasil analisa Kesadahan total (CaCO 3 ) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 224,7 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 118,2 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 500 mg/l. xiv.) Khlorida (Cl) Hasil analisa kadar Khlorida (Cl) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 3,8 mg/l, pada stasiun 2 terukur 25,4 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar Khlorida di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 600 mg/l. xv.) Nilai Permanganat (KMnO 4 ) Hasil analisa kadar zat organik nilai permanganate (KMnO 4 ) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,7 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 2,5 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 10 mg/l. xvi.) Surfactan Anion/Deterjen (MBAS) Analisa surfactan anion/deterjen (MBAS) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/l. Analisa MBAS pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,07 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 0,12 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,5 mg/l. c. Mikrobiologi Dari hasil analisa parameter coliform total yang dilakukan, secara umum diketahui kondisi mikrobiologi perairan di lokasi studi masih dalam keadaan baik. Pada air Laut Teluk Tolo, pada stasiun 1, 2 dan 3 coliform total terukur 0 MPN/100 ml, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu nihil. Parameter total koliform pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 43 MPN/100 ml dan pada stasiun 2 terukur 8 MPN/100 ml, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 50 MPN/100 ml. 3.1.7. Kualitas Udara Ambien Dan Tingkat Kebauan Hasil pengujian beberapa parameter kualitas udara ambien dari dua lokasi pengambilan sampel udara, untuk semua parameter ternyata belum melewati ambang batas baku mutu udara ambien Nasional berdasarkan lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Hasil pengukuran untuk parameter Sulfur Dioksida (SO 2 ) pada stasiun 1 terukur 6,96 ug/Nm 3 dan stasiun 2 terukur 10,25 ug/m 3 masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 365 ug/Nm 3 . Parameter Karbon Monoksida (CO) pada stasiun 1 terukur 1.205 ug/m3 dan stasiun 2 terukur 1.374 ug/m 3 , masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 10.000 ug/m 3 . Nitrogen Dioksida (NO 2 ) pada stasiun 1 terukur 10,86 ug/m 3 dan stasiun 2 terukur 12,70 ug/Nm3 masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 150 ug/Nm 3 . Oksidan (O 3 ) pada stasiun 1 terukur 96,05 ug/Nm 3 dan stasiun 2 terukur 102,78 ug/Nm 3 untuk kedua lokasi pengukuran masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 235 ug/Nm 3 . Kadar debu pada stasiun 1 terukur 50 ug/Nm3 dan stasiun 2 terukur 52 ug/Nm3 untuk kedua lokasi pengukuran masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 230 ug/Nm3. Kadar Timbal (Pb) pada stasiun 1 dan 2 masing-masing terukur <0,03 ug/Nm3 masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 2 ug/Nm 3 . Dari hasil pengujian terhadap beberapa parameter tingkat kebauan berdasarkan lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Kebauan. Hasil pengukuran untuk parameter Amonia (NH 3 ) pada stasiun 1 terukur 0,0165 ppm dan pada stasiun 2 terukur 0,0092 ppm, untuk ke-dua lokasi pengukuran masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 2 ppm. Hasil pengukuran untuk parameter Hidrogen Sulfida (H2S) pada stasiun 1 terukur kecil dari 0,00084 ppm dan stasiun 2 terukur kecil dari 0,00077 ppm, untuk ke-dua lokasi pengukuran masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 0,02 ppm. 3.1.8. Kebisingan Kondisi rona awal intensitas kebisingan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik di lingkungan rencana pembangunan TPI Modern Bungku maupun di pinggir jalan di belakang lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan masih cukup nyaman, terutama karena sedikitnya sumber kebisingan berupa aktifitas operasional dermaga dan transportasi darat sekitar dermaga masih tergolong sedikit. Hasil terukur 50 db(A), pengukuran tersebut masih dibawah baku mutu tingkat kebisingan untuk peruntukan kawasan khusus pelabuhan laut berdasarkan lampiran I Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.48 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat Kebisingan, yaitu sebesar 70 db(A). 3.1.9. Ruang, Tanah Dan Lahan a. Jenis Tanah Areal sekitar rencana usaha atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku yang melingkupi lokasi studi, memiliki 2 grup fisiografi, yaitu : Aluvial (A) dan Dataran (P). Dari grup Aluvial (A) menurunkan 1 satuan lahan (Au 1.3.) sedangkan grup dataran (P) menurunkan 2 satuan lahan (Pq 2.1. dan Pq 3.1.). b. Sifat Tanah Tanah yang terdapat di lokasi penelitian termasuk Inceptisol (USDA Soil Taxonomy, 1975). Kesetaraannya menurut sistem klasifikasi Pusat Penelitian Tanah (1980) adalah Gleisol. Drainase tanah terhambat, permukaan air tanah dangkal, kedalaman efektif dangkal dan permukaan tanah relatif datar. Tanah berkembang dari bahan endapan kuarter baru (bahan aluvial) yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada tanah lapisan atas bertekstur liat berpasir sampai liat, berwarna hitam (10YR2/1), berstruktur lemah, remah sampai pejal, agak lekat dan agak plastis. Lapisan bawah bertekstur liat, berwarna abu-abu hitam (10YR3/1), agak lekat dan agak plastis. Reaksi tanah netral sampai agak masam. Kandungan C-organik sedang sampai agak tinggi. Nitrogen terdapat dalam jumlah rendah demikian pula nilai bandingan C/N tergolong rendah. Posfat dan kalium umumnya sedang. Kationkation umumnya terdapat dalam jumlah rendah. Kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation tergolong sedang sampai tinggi. c. Tata Guna Lahan Penggunaan lahan secara keseluruhan di Kecamatan Bungku Tengah didominasi oleh hutan areal penggunaan lain, areal sementara tidak diusahakan dan pengembalaan/padang rumput. Hutan yang dimaksud adalah berupa areal hutan sekunder yang didominasi pohon-pohon dengan tinggi 5-10 m dan diameter kurang dari 50 cm, dengan penutupan lahan yang tidak terlalu rapat, sebahagian besar bercampur dengan tumbuhan bawah, perdu dan belukar yang cukup rapat. Areal hutan sekunder ini menyebar di sebelah Timur yang menempati areal perbukitan wilayah kecamatan ini. Tanaman utama di kawasan ini adalah berupa kayu hutan dari kelompok Dipterocarpaceae. Padang rumput didominasi oleh alang-alang dengan semak dan perdu tumbuhan rendah. Areal perkebunan umumnya ditanami jambu mete, kelapa, kopi, kemiri, cengkeh, tembakau, kakao, pala dan tanaman perkebunan dataran rendah lain. Penggunaan lain adalah mencakup beberapa penggunaan lahan yang terdiri dari lahan yang dimanfaatkan untuk perkarangan/pemukiman, tegalan/kebun, ladang/huma, kolam/tambak dan lainnya. d. Tata Ruang Wilayah Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Morowali tahun 2003-2013 yang telah tertuang Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Morowali, jenis penggunaan lahan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku adalah berupa kawasan pelabuhan dan pemukiman, pengembangan kawasan ini diarahkan menjadi kawasan pemukiman yang memiliki kegiatan utama bagi pengembangan kelautan dan perikanan. Dengan demikian kawasan ini akan dikembangkan menjadi lokasi pemukiman, sarana dan prasarana sosial, budaya dan ekonomi termasuk di dalamnya infrastruktur lingkungan yang mencakup sistem jaringan jalan listrik, telekomunikasi, air minum, drainase dan limbah serta persampahan. Berdasarkan fungsi kawasan, skala pelayanan dan pertimbangan potensi sumberdaya dalam kaitan dengan nilai strategis yang dimiliki wilayah Kecamatan Bungku Tengah masuk ke dalam Kawasan Andalan Bungku dan sekitarnya dengan pusat kawasan di Bungku. Kawasan ini diarahkan sebagai pusat pengembangan kelautan dan perikanan, palawija dan hortikultura. e. Pola Pemanfaatan Lahan Daerah Kelurahan Matano - Bungku maupun wilayah Kecamatan Bungku Tengah yang melingkupi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana umumnya wilayah pada sebahagian besar bagian Timur wilayah Kabupaten Morowali memiliki morfologi yang relatif homogen, yakni berupa dataran rendah dengan topografi datar hingga hampir rata. Kawasan yang dimaksud dimanfaatan penduduk sebagai areal pertanian khususnya sebagai areal persawahan, tanaman pangan dan perikanan darat. Selain jenis pemanfaatan tersebut, wilayah barat dimanfaatkan pula sebagai lokasi pemukiman dengan kapadatan yang bervariasi. Secara garis besar, sebaran pemukiman di Kabupaten Morowali membentuk pola linier dan pola grid. Pola linier (linear pattern) tersebar di sepanjang pantai Timur Pulau Sulawesi mengikuti ruas jalan utama, yakni Jalan Poros Palu-Kendari, sedangkan pola grid/gridion terbentuk beberapa pusat pemukiman di ibukota Kecamatan atau Kabupaten. Beberapa Kelurahan yang merupakan wilayah Kecamatan ini, diantaranya adalah : Kelurahan Matano, Kelurahan Marsaoleh, Kelurahan Bungi, Kelurahan Lamberea, Kelurahan Tofoiso, Kelurahan Mendui dan Desa Matansala. 3.1.10. Hubungan Lokasi Kegiatan Dengan Kegiatan Lain Yang Terkait a. Kegiatan Permukiman Penduduk Kegiatan pemukiman penduduk yang terdapat di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan adalah pemukiman penduduk yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Matano, Kelurahan Marsaoleh, Kelurahan Bungi, Desa Matansala, Desa Bahoruru, Desa Ipi dan Desa Bente Kecamatan Bungku Pusat Perdagangan (pasar tradisionil) dan Terminal berada di sebelah Barat Laut lokasi TPI Modern Bungku dengan jarak 200m. Demikian pula pemukiman tersebar menempati pantai Timur Pulau Sulawesi di sisi kanan dan kiri lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dan di seberang Jalan Bungi Lokasi TPI dan Jalan Poros Palu Bungku sebagai jalan utama untuk menuju lokasi TPI Modern Bungku. Perumahan penduduk di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan berbentuk permanen dan semi semi permanen. Di lokasi perumahan penduduk juga terdapat warung untuk kebutuhan sehari-hari. Mengingat jarak lokasi perumahan penduduk ke lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan relatif dekat, jika sampah domestik tidak ditangani dengan benar dapat mencemari lingkungan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Hal ini akan memberikan dampak penurunan kualitas udara, selanjutnya akan mengganggu kehidupan masyarakat. Selain itu, sampah juga merupakan salah satu tempat berkembang biaknya vektor penular penyakit, sehingga akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. b. Perairan Teluk Tolo Rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku berbatasan secara langsung dengan perairan Teluk Tolo, membatasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang menempati pantai Timur Pulau Sulawesi. Di sepanjang pantai juga dimanfaatan oleh masyarakat nelayan dan penduduk di pulau-pulau kecil di sekitar wilayah Kabupaten Morowali untuk menuju ke wilayah Bungku atau melabuhkan perahu/kapal kecil berikut hasil tangkapannya untuk dipasarkan di TPI Modern Bungku. Intensitas perahu yang berlabuh di disepanjang pantai ini terbatas pada perahu dan kapal-kapal nelayan tradisional. Bentang pantai di perairan Teluk Tolo di sekitar lokasi studi dan gususan pulau-pulau kecil lebih dominan ditumbuhi oleh ekosistem mangrove dengan kondisi yang masih baik. Disamping itu baik di Utara dan Selatan berdekatan dengan gugusan pulau- pulau kecil terdapat ekosistem terumbu karang dan padang lamun dengan kondisi yang masih sangat baik. c. Kegiatan Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Areal kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan terdapat di Utara dan Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku, yaitu pada perairan Teluk Tolo dengan jarak sekitar 400 m dari lokasi pelabuhan. Informasi dari para nelayan wilayah utara di permukiman penduduk Desa Salonsa, Emea, Moahino dan Karaupa (Kecamatan Wita Ponda), Desa Pebotoa, Bahonsuai, Parilangke dan Wata (Kecamatan Bumi Raya), Desa Ambunu, Umpanga, Larobenu, Wosu, Bahoea Reko-Reko (Kecamatan Bungku Barat), Desa Lanona, Bahomoleo, Bahomohoni, Bente, Ipi, Bahoruru, Matansala, Kelurahan Matano, Marsaoleh, Tofoiso, Desa Tofuti, Bahontobungku, Puungkoilu, Lahuafu, Unsongi, Nambo, Koburu, Geresa dan Kolono (Kecamatan Bungku Tengah), serta informasi pada nelayan wilayah selatan di permukiman penduduk Desa Bete-bete, Kurisa, Lailiya, Bahodopi dan Siumbatu (Kecamatan Bahodopi) yang merupakan permukiman penduduk nelayan terdekat dengan lokasi kegiatan, diketahui bahwa penangkapan ikan hanya dilakukan pada areal sejaul 3 mil dan umumnya berada di areal perairan laut yang berhadapan dengan vegetasi mangrove di sekitar gugusan pulau-pulau kecil di arah timur lokasi studi terutama pada perairan yang merupakan habitat dari terumbu karang dan cukup jauh dari perairan yang dijadikan sebagai alur pelayaran. d. Kegiatan Transportasi Umum Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku akan dilengkapi dengan keberadaan aksesibilitas berupa pembangunan jalan yang menghubungkan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan ruas Jalan Lintas Timur Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu Kendari dengan persimpangan di Desa Bungi (Ruas Jalan Bungku Palu), sepanjang 516 Km memanjang dari lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan ke arah Utara. Sampai dengan saat penyusunan UKL dan UPL ini dilakukan pelaksanaan pembangunan ruas jalan ini sudah memasuki tahap penyelesaian. e. Kegiatan Dermaga Bungku Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku adalah menempati areal di sisi Utara Dermaga Bungku. Dermaga Bungku melayani kapal-kapal kecil sebagai pintu masuk ke daerah Bungku, juga merupakan pelabuhan dari kapal-kapal penangkap ikan milik penduduk sekitar. 3.1.11. Transportasi Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dilewati oleh ruas jalan Poros Palu Kendari, merupakan jalan lintas Sulawesi (Jalan Nasional) yang menyusuri bagian Timur Sulawesi Tengah yang menghubungkan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dengan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, yang terdapat 516 Km di barat laut lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, berupa jalan aspal dengan aksesibilitas yang cukup baik. Dari ruas jalan Poros Palu Kendari sedang dibangun jalan akses ke lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku (Ruas Jalan Bungi - Matano). a. Volume Lalulintas Harian Rata-rata (LHR) Volume arus lalulintas kendaraan pada ruas jalan Poros Palu Kendari di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dihitung dari hasil pencacahan setiap kendaraan yang melewati lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Pencacahan dilakukan setiap interval waktu 15 menit pada jam sibuk pagi, siang dan sore hari. Kendaraan yang dicacah dibedakan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : 1.) Kendaraan berat (Truck berat dan ringan), 2.) Bis, 3.) Kendaraan ringan (Sedan, mikrobus, pick-up dan Mikrotruck) dan 4.) Sepeda motor. Volume arus lalu lintas sangat terkait dengan aktifitas yang dilakukan oleh penduduk di sekitar ruas jalan, hal ini terlihat dari hasil perhitungan yang telah dilakukan. Volume arus lalu lintas pada pagi hari lebih ramai dibanding dengan volume arus lalu lintas pada siang dan sore hari. Pada pagi hari tercatat jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan baik dari arah Palu (Utara) maupun yang datang dari arah Kendari (Selatan) mencapai 167,5 SMP (Satuan Mobil Penumpang) per jam. Volume ini berkurang pada siang hari menjadi 1.298 SMP per jam dan kembali menurun pada sore hari yang menjadi 240,5 SMP per jam. Sesuai dengan informasi dan hasil pengamatan terhadap kehidupan masyarakat di lokasi studi, besarnya volume lalulintas di pagi hari berhubungan dengan aktifitas atau keseharian masyarakat, yaitu pada pagi hari merupakan waktu untuk berangkat menuju tempat kerja/kantor, sekolah dan kegiatan lainnya, yang umumnya banyak terdapat di arah Kota Palu (Utara). Pada pagi hari volume arus lalulintas lebih besar dari arah Kota Kendari (Selatan) dan Sore hari adalah sebaliknya disebabkan oleh adanya kecenderungan kegiatan masyarakat yang bekerja di beberapa perusahaan industri, yang tinggal atau menetap di arah Kota Kendari dan melakukan aktifitas di arah Kota Palu. Sebahagian besar penggunaan ruas jalan Poros Palu Kendari pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, didominasi oleh kendaraan sepeda motor, masing- masing terhitung pada pagi hari 87%, siang dan sore hari 85%. b. Tingkat Pelayanan Jalan atau Volume per Capacity Ratio (VCR) Tingkat Pelayanan Jalan (VCR) merupakan nilai dari lintas harian rata-rata dibagi dengan kapasitas jalannya, makin tinggi nilai VCR berarti makin padat lalu lintas jalannya dan makin kurang nyaman, dimana kecepatan kendaraan yang lewat pada jalan tersebut menjadi makin pelan untuk berkendara secara nyaman. Dari hasil pengukuran tingkat pelayanan jalan dan kecepatan optimum lalulintas pada ruas jalan Poros Palu - Kendari diketahui : Volume lalulintas adalah sebesar 167,5 240,5 SMP per jam dengan kapasitas jalan adalah sebesar 750 SMP/jam dapat dicari nilai VCR untuk ruas jalan ini, yaitu sebesar 47,86% - 68,71% dan kecepatan optimun kendaraan adalah 41,29 62,14 Km/jam. Kondisi ini menunjukkan tingkat kepadatan jalan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku tergolong rendah sampai sedang karena VCR jalan masih dibawah 75%. Ruas jalan Poros Palu Kendari yang melewati lokasi kegiatan adalah berupa jalan aspal dengan kondisi yang cukup baik, dengan lebar median 6 m dan bahu jalan di kanan dan kiri jalan 1 sampai 2 m. Jalan Provinsi ini didesign untuk pelayanan 750 SMP per jam. Rata-rata kecepatan perjalanan kendaraan yang melewati ruas jalan ini mencapai 70 Km/jam. c. Kecepatan Kendaraan Optimum (Nyaman) Kecepatan optimum merupakan kecepatan kendaraan yang dianggap nyaman pada tingkat LHR tertentu sesuai dengan kapasitas disain jalan yang direncanakan. Makin rendah LHR lalulintas dan makin besar kapasitas jalannya, maka makin tinggi kecepatan kendaraan yang dapat dikendarai dengan nyaman pada kondisi jalan tersebut. Dari data LHR dan perhitungan yang telah dilakukan diketahui bahwa kecepatan kendaraan yang nyaman di lokasi studi berkisar antara 41,2962,14 Km/jam. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan berkendara lalulintas di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku relatif nyaman bila dikendarai dengan kecepatan sekitar 40 Km/jam 3.2. Lingkungan Biologi 3.2.1. Vegetasi Mangrove Pada kawasan lokasi studi ditemukan beberapa jenis vegetasi, berupa vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan produksi/hutan sekunder, semak belukar dan vegetasi budidaya. Pada kawasan pemukiman penduduk yang umumnya berada di pinggir pantai dengan jarak 4-5 Km dari lokasi kegiatan dijumpai vegetasi budidaya berupa tanaman pangan dan perkebunan. Vegetasi hutan menurut fungsi atau peruntukan lahan dalam rencana tata ruang/TGHK di wilayah ini terdiri dari vegetasi mangrove, hutan produksi/hutan sekunder, areal penggunaan lain dan semak belukar. Areal studi yang menempati vegetasi mangrove seluruhnya merupakan hutan APL yang dapat dikonversi. Vegetasi tanaman pada areal studi dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok/zonasi sesuai dengan kondisi lahan tempat tumbuhnya/type habitat vegetasi, yaitu : Hutan sekunder (Hs) yang berupa vegetasi mangrove dan areal semak belukar. Vegetasi bakau/mangrove di wilayah studi tergolong kepada tanaman magrove pesisir (coastal mangrove forest) yang setiap harinya menerima pengaruh dari pasang surut, hempasan ombak dan arus laut. Umumnya vegetasi ini hanya mempunyai satu stratum tajuk. Tanaman mangrove ini mempunyai peranan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak. Komposisi jenis vegetasi bakau di lokasi studi ini hampir seragam, tersusun dari asosiasi berbagai suku tumbuhan seperti suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan Sonneratia spp., selain itu sering terdapat juga tumbuhan jenis lain yang bukan tumbuhan bakau seperti : Excoecaria agallocha., Acanthus illicifolius., Wedelia biflora. Pembentukan formasi mangrove sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan setempat, seperti faktor edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Jenis Avicenia, Rhizophora dan Sonneratia adalah tumbuhan pionir dari arah laut ke darat tergantung pada kedalaman pantai, proses pelumpuran dan besarnya ombak. Rhizophora spp. umumnya tumbuh di daerah rawa-rawa pantai yang berlumpur dalam dan tebal, sedangkan Avicenia spp. dan Sonneratia spp. sering menjadi tumbuhan pelopor yang tumbuh di pantai berlumpur datar atau lembek. Habitat mangrove pada kawasan lokasi studi umumnya menempati wilayah pesisir pantai, lebar rata-rata 30-50 m dan sepanjang 3-4,5 km, yang terletak disekitar muara sungai atau daerah pantai dengan jalur sempit. Kerapatan tergolong rendah tetapi kodisi habitat mangrove ini cukup baik. Hasil analisa vegetasi dengan menggunakan transek untuk setiap tingkatan tropik pada masing-masing stasiun pengamatan adalah sebagai berikut : i.) Stasiun pengamatan I Pada stasiun pengamatan I yang berlokasi di pinggir pantai Teluk Tolo dengan jarak sekitar 3 Km di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku teridentifikasi 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata., Avicenia alba., Avicenia officinalis., Bruguira cylindrica dan Sonneratia sp.. Untuk tingkat pohon (trees) dengan diameter batang diatas 10 cm tercatat 5 jenis pohon, kepadatan 53 pohon per ha., ketinggian rata-rata 8-15 m dan diameter batang rata-rata 32 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata., sebesar 100,89. Tingkat pancang (sampling) dengan tinggi di atas 1,5 m dan diameter batang dibawah 10 cm tercatat 5 jenis tiang, kepadatan 402 tiang per ha., ketinggian rata-rata 5-7 m dan diameter batang rata-rata 12-15 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata., sebesar 109,76. Tingkat semai (seedling) dengan tinggi di bawah 1,5 m tercatat 5 jenis anakan, kepadatan 2.919 semai per ha, ketinggian rata-rata 0,5-1 m, juga didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata., dengan INP sebesar 102,68. ii.) Stasiun pengamatan II Pada stasiun pengamatan II yang berlokasi di pinggir pantai di Selatan Pulau Waru-waru yang berhadapan dengan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, juga teridentifikasi 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata., Avicenia alba., Avicenia officinalis., Bruguiera cylindrica dan Sonneratia sp.. Untuk tingkat pohon (trees) dengan diameter >20 cm tercatat 5 jenis pohon, dengan kepadatan 70 pohon per ha., ketinggian ratarata 10-15 m dan diameter batang rata-rata 34 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata., sebesar 129,50. Tingkat pancang (sampling) dengan tinggi >1,5 m dan diameter batang <10 cm tercatat 5 jenis tiang, kepadatan 303 tiang per ha., ketinggian rata-rata 5-7 m dan diameter batang rata- rata 12-15 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar jenis Rhizophora apiculata., sebesar 121,67. Tingkat semai (seedling) dengan tinggi <1,5 m tercatat 5 jenis anakan, kepadatan 2.502 semai per ha. dengan ketinggian rata-rata 0,5-1 m, juga didominasi Rhizophora apiculata., dengan INP 132,40. iii.) Stasiun pengamatan III Pada stasiun pengamatan III yang berlokasi di pinggir pantai Teluk Tolo dengan jarak sekitar 3 Km di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku teridentifikasi 7 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata., Rhyzophora stylosa., Exoccaria sp., Avicenia alba., Avicenia offinalis., Bruguira cylindrica dan Sonneratia sp. Untuk tingkat pohon (trees) dengan diameter batang >20 cm tercatat 6 jenis pohon, kepadatan 71 pohon per ha., ketinggian rata-rata 8-15 m dan diameter batang rata-rata 34 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah Rhizophora apiculata., sebesar 75,25. Tingkat pancang (sampling) dengan tinggi >1,5 m dan diameter batang <10 cm tercatat 7 jenis tiang, kepadatan 403 tiang per ha., ketinggian rata-rata 5-6 m dan diameter batang rata-rata 12-16 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah Rhizophora apiculata., sebesar 76,23. Tingkat semai (seedling) dengan tinggi <1,5 m tercatat 7 jenis anakan, kepadatan 3.336 semai per ha. dengan ketinggian rata- rata 0,5-1 m, juga didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata., dengan INP sebesar 92,66. 3.2.2. Biota Laut 1. Biota Air a. Plankton Plankton merupakan biota air yang melayang secara pasif dan penyebarannya tergantung pada arus. Biota air ini terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Fitoplankton dan Zooplankton. Fitoplankton adalah tumbuhan hijau yang bersifat planktonis, sedangkan Zooplankton adalah hewan air yang bersifat planktonis. Kedua plankton ini hidup bersama dan keduanya saling terlibat dalam hubungan rantai makanan yang erat, artinya dalam kehidupan Fitoplankton dan Zooplankton mempunyai peranan penting dalam ekosistim perairan baik dalam tingkatan tropik maupun perannya dalam merombak bahan organik. Selain itu Plankton juga dapat memberikan gambaran tingkat pencemaran suatu perairan. i). Fitoplankton Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium terhadap sampel plankton yang diambil dilapangan, pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi studi ditemukan 4 Kelas Fitoplankton yaitu Chrysophyta, Dinophyta, Xanthophyta dan Rhodophyta. Seluruhnya teridentifikasi 22 genera, dengan kelimpahan 20-25 individu/liter, memiliki indeks keanekaragaman antara 2,40-2,69. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 1; BA-1) ditemukan 15 genera dari 4 Kelas Fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah : 12 genera kelas Chrysophyta, 1 genera kelas Dinophyta, 1 genera kelas Xanthophyta dan 1 genera dari kelas Rhodophyta, dengan kelimpahan 23 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,69 dan indeks keseragaman (E) 0,82. Kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Biddulphia sinensis. dari Kelas Chrysophyta sebanyak 5 individu/liter. Pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan/Sisi Utara Dermaga Bungku eksisting (Stasiun 2; AL-2) ditemukan 12 genera dari 3 Kelas Fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah : 9 genera kelas Chrysophyta, 2 genera kelas Dinophyta dan 1 genera dari kelas Rhodophyta, dengan kelimpahan 20 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,40 dan indeks keseragaman (E) 0,85. Kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Fragillaria sp. dari Kelas Chrysophyta masingmasing sebanyak 6 individu/liter. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3; AL-3) ditemukan 14 genera dari 3 Kelas Fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah : 12 genera kelas Chrysophyta, 1 genera kelas Dinophyta dan 1 genera dari kelas Rhodophyta, dengan kelimpahan 25 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,49 dan indeks keseragaman (E) 0,87. Kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Surirella sp. dari Kelas Chrysophyta masing-masing sebanyak 7 individu/liter. ii). Zoooplankton Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium terhadap sampel plankton yang diambil di lapangan, pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi studi ditemukan 4 Kelas Zooplankton yaitu : Kelas Crustacea, Mollusca, Rhizopoda dan Tintinnida. Seluruhnya terdiri atas 16 genera, dengan kelimpahan 19-24 individu/m3 dan memiliki indeks keanekaragaman antara 2,00- 2,10. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 1; BA-1) ditemukan 11 genera dari 4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 6 genera kelas Crustacea, 1 genera kelas Mollusca, 1 genera kelas Rhizopoda dan 3 genera kelas Tintinnida, dengan kelimpahan 19 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,00 dan indeks keseragaman (E) 0,85. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Eutintinnus sp.12 dari Kelas Tintinnida sebanyak 5 individu/liter. Pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 2; BA-2) ditemukan 10 genera dari 4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 6 genera kelas Crustacea, 1 genera kelas Mollusca, 1 genera kelas Rhizopoda dan 3 genera kelas Tintinnida, dengan kelimpahan 21 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,10 dan indeks keseragaman (E) 0,89. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Bivalvia sp. dari Kelas Mollusca sebanyak 7 individu/liter. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3; BA-3) ditemukan 12 genera dari 4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 5 genera kelas Crustacea, 1 genera kelas Mollusca, 2 genera kelas Rhizopoda dan 4 genera kelas Tintinnida, dengan kelimpahan 24 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,03 dan indeks keseragaman (E) 0,90. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Rhizopoda sp. 2 dari Kelas Rhizopoha sebanyak 5 individu/liter. b. Benthos Benthos adalah organisme hewani maupun tumbuhan yang hidup di permukaan dasar perairan atau dalam dasar perairan. Benthos yang teridentifikasi adalah dari kelompok makrozoobenthos, yang merupakan jenis benthos yang tertahan pada saringan dengan mata jaring 1 mm2. Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium terhadap sampel Benthos yang diambil di lapangan, pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi studi ditemukan 5 Kelas Benthos yaitu : Kelas Bivalvia, Gastropoda, Crustacea, Foraminifera dan Annelida. Seluruhnya terdiri atas 18 genera, dengan kelimpahan 26-29 individu/sampel dan indeks keanekaragaman antara 2,24 2,36. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 1; BA-1) ditemukan 13 genera dari 5 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan adalah : 2 Genera Kelas Bivalvia, 7 genera kelas Gastropoda, 1 genera Kelas Crustacea, 2 genera dari Kelas Foraminifera dan 1 genera dari Kelas Annelida, dengan kelimpahan 27 individu/sampel, indeks keanekaragaman (H) 2,24 dan indeks keseragaman (E) 0,77 Jenis yang yang paling banyak ditemukan adalah genera Gastropoda sp. 1 dari Kelas Gastropoda dengan kelimpahan 5 individu/sampel. Pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 2; BA-2) ditemukan 14 genera dari 4 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan adalah : 3 genera Kelas Bivalvia, 7 genera kelas Gastropoda, 3 genera dari Kelas Foraminifera dan 1 genera dari Kelas Annelida, dengan kelimpahan 26 individu/sampel, indeks keanekaragaman (H) 2,27 dan indeks keseragaman (E) 0,86 Jenis yang yang paling banyak ditemukan adalah genera Cavarotalia sp. dari Kelas Foraminifera dengan kelimpahan 5 individu/sampel. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3; BA-3) ditemukan 13 genera dari 4 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan adalah : 3 genera Kelas Bivalvia, 7 genera kelas Gastropoda, 2 genera dari Kelas Foraminifera dan 1 genera dari Kelas Annelida, dengan kelimpahan 29 individu/sampel, indeks keanekaragaman (H) 2,36 dan indeks keseragaman (E) 0,82 Jenis yang yang paling banyak ditemukan adalah genera Natica sp. dari Kelas Gastropoda dengan kelimpahan 5 individu/sampel. c. Nekton Nekton adalah mahluk air yang mampu bergerak melawan arus, hidup di kolom perairan dan beberapa di dasar perairan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat nelayan diketahui jenis-jenis ikan kecil dan besar yang tertangkap atau hidup di perairan lokasi studi, hasil penangkapan nelayan ini dikonsumsi untuk mencukupi makan sehari-hari dan selebihnya ada yang dipasarkan sendiri ke desa atau sekitar lokasi pemukiman atau dijual ke pedagang/toke pengumpul ikan disekitar tempat/pemukiman mereka yang selanjutnya oleh para pedagang di pasarkan ke pasar ikan. Pada wilayah perairan lokasi studi teridentifikasi 24 jenis ikan dan 11 jenis Avertebrata. Dari data potensi perikanan laut Kabupaten Morowali diketahui bahwa penangkapan ikan di perairan antar pulau dilakukan dengan menggunakan : pukat pantai, tangkul, bangan tancap, serok, sero, jermal, bubu, pancing, alat pengumpul kerang dan alat penangkapan lain. Penangkapan ini didukung oleh perahu sederhana baik bermotor maupun perahu-perahu kecil, yang dikenal dengan nama Kater. Sedangkan para nelayan umumnya mempergunakan kapal kayu dengan kapasitas mesin kecil, kemampuan jelajah 3 mil dari perairan pantai Kecamatan Bungku Tengah, Bumi Raya, Bungku Barat, Bahodopi, Bungku Selatan dan Kecamatan Menui Kepulauan hingga ke ZEE, terutama perairan pantai yang berhadapan dengan hutan mangrove. Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan adalah : Dogol, purse seine, rawai hanyut, rawai tetap, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik, trammel net, pancing dan beberapa jenis alat penangkap lainnya. Dari hasil wawancara dengan para nelayan di lokasi studi diketahui bahwa hasil tangkapan yang mereka peroleh, yang dapat berupa ikan, udang, kepiting, cumi dan sebagainya untuk satu orang nelayan rata-rata dapat menangkap 10-50 Kg/hari. Dari hasil penangkapan ini sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. 3.2.3. Terumbu Karang dan Padang Lamun a. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai keanekaragaman dan produktifitas yang tinggi. Nilai produktifitas dan keanekaragaman yang tinggi tersebut dibuktikan dengan banyaknya biota laut yang ditemui dalam ekosistem mereka, baik ikan, moluska, crustacea, echinodermata ataupun rumput laut. Sehubungan dengan hal ini Brown (1982) mengemukakan tingkatan produktifitas primer terumbu karang adalah sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan lautan tropis terbuka, Ini terbukti dengan efisiensinya perputaran kembali unsur organik dan anorganik dalam sistem terumbu karang itu sendiri. Secara mendasar ekosistem terumbu karang dibentuk dari hasil kalsifikasi oleh kelompok hewan Coelenterata yang bermorfologi polip. Bentukan ekosistemnya dilandasi oleh kemampuan biota ini untuk membentuk CaCO3 dengan bantuan simbion Zooxanthellae. Berkaitan dengan hal ini, maka kebutuhan hidup yang substansial dari snidarian (coral) terhadap faktor lingkungan berimpit dengan simbionnya. Keberimpitan kebutuhan lingkungan antara keduanya ternyata tidak saja terkait dengan upaya-upaya mempertahankan hidup semata, akan tetapi juga menyangkut aspek transfer energi. Umumnya terumbu karang dijumpai sampai kedalaman laut 25 m, tetapi pada perairan yang jernih di sekitar samudera dapat dijumpai sampai kedalaman 80 m. Beberapa faktor pembatas kehidupan, distribusi dan stabilitas komunitas terumbu karang adalah suhu perairan, penetrasi cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus/pergerakan air dan nutrien yang tersedia. Agar tetap hidup hewan karang memerlukan air laut yang bersih dari kotoran, karena kotoran (sedimen) akan menghalangi masuknya cahaya matahari bagi aktifitas fisiologis untuk keperluan fotosintesa algae yang bersimbiose dengan karang, selain itu sedimen/endapan dapat menutupi pori serta mulut hewan karang untuk respirasi, karena secara morfologis karang berbentuk polip yang melekat pada substrat keras dengan mulut menghadap ke atas. Untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang berpedoman kepada kriteria berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 47 Tahun 2001, Tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang. Kriteria yang dikembangkan adalah berupa tutupan karang, dengan adanya kemampuan biota ini membentuk struktur ekosistem. Gomez dan Alcala (1984) memberikan kriteria evaluasi ekosistem terumbu karang sebagai berikut : Ekosistem dinyatakan buruk apabila mempunyai tutupan karang hidup sebesar 0-24,9%, sedang apabila mempunyai tutupan karang hidup sebesar 25-49,9%., bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup 50- 74,9% dan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup >75%. Hasil inventarisasi terumbu karang di daerah perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku dan sekitarnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, diperoleh keterangan bahwa terumbu karang di perairan sekitar lokasi studi lebih dari 74% mempunyai kondisi jelek sampai sedang. Dikemukakan juga hal ini terjadi akibat kombinasi adanya kegiatan penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dan penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, adanya pencemaran air karena keluhan dari darat akibat kegiatan konstruksi di darat dan sebagai tambahan diperkirakan tidak dimungkinkan oleh sebab adanya logam berat dan eutrifikasi. Pada lokasi sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan ditemukan adanya penyebaran terumbu karang yang menutupi permukaan perairan, terumbu karang ini ditemukan pada lokasi yang berdekatan dengan pinggir pantai Timur. Jenis karang yang terdapat di perairan laut sekitar lokasi studi dapat digolongkan berdasarkan jenis karang dan karakter habitatnya didominasi oleh Hard coral (23%), soft coral (12,5%) dan karang mati (20,5%) serta lainnya adalah berupa pecahan karang, batu dan pasir. Berdasarkan koloni karang sebahagian besar adalah berupa encrusting (24%), massive (20%), sub-massive (18%), braching (15%), digitate (10%) dan koloni lain berupa mushroom, folose dan cup. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa jenis karang yang teridentifikasi hidup di perairan lokasi studi adalah : Acropora humilis., Acropora sp., Alveopora sp., Diploria sp., Echinopora sp., Fungia sp., Galaxea sp., Hidnopora sp., Millepora sp., Pachiceris sp., Pavia sp., Pavites sp., Porites sp., Seriatopora sp. dan jenis karang massive lainnya. b. Padang Lamun Lamun (sea grass) adalah berupa tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sepenuhnya sudah beradaptasi dalam lingkungan laut. Tumbuhan ini terdiri dari rizhoma, daun dan akar. Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir. Kadang-kadang padang lamun membentuk komunitas yang lebat hingga menempati areal yang cukup luas. Padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki produktifitas organik yang tinggi. Ekosistem lamun hidup bersama bermacam-macam organisme seperti : Crustacea, Molusca, cacing dan ikan. Biota laut tersebut ada yang hidupnya menetap di kawasan padang lamun dan ada pula sebagai pengunjung daerah lamun, Kawasan padang lamun juga sering dijadikan sebagai kawasan asuhan oleh jenis biota seperti Ikan Baronang dan juga beberapa jenis burung yang hinggap pada saat air laut surut. Kondisi padang lamun di perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku terlihat masih cukup baik, ekosistem padang lamun ini ditemukan di Utara lokasi studi seluas 0,023 ha dan Selatan lokasi studi seluas 0,023 ha dan pada perairan di sekitar gugusan pulau-pulau kecil di Timur lokasi, sekitar Pulau Dua Laut seluas 0,023 ha, sekitar Pulau Sainoa seluas 0,025 ha dan sekitar Pulau Waru-waru seluas 0,005 ha. Beberapa jenis lamun yang dapat diidentifikasi hidup di lokasi studi adalah : Enhalus sp., Thalassia sp., Halophila sp. dan Cymodaceae sp. 3.2.4. Satwa Langka 1. Hewan Liar a. Mamalia Umumnya hewan liar dari kelompok Mamalia ini populasinya sudah sedikit, beberapa jenis masih terdapat di dalam jumlah yang cukup banyak hidup pada lokasi hutan areal studi. Diantara jenis hewan ini tidak terdapat satwa yang dilindungi yang diperkirakan populasinya sudah sedikit sekali. Pada waktu-waktu tertentu beberapa jenis dari kelompok hewan ini masih menampakkan diri atau melintas dilokasi pemukiman ataupun perladangan penduduk. Pada lokasi studi diidentifikasi 8 jenis Mamalia, yang tidak dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Tabel 3.1. Jenis Mamalia Di Lokasi Studi No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status 1. Babi hutan Sus sp. Tidak dilindungi 2 Bajing Terbang Helactrus malayanus. Tidak dilindungi 3. Berang-berang Aonyx cinerea. Tidak dilindungi 4. Kalong Pteropus affinis. Tidak dilindungi 5. Kelelawar Luira sumatrana. Tidak dilindungi 6. Kera Macaca sp. Tidak dilindungi 7. Musang Macrogalidia mushenbroeki. Tidak dilindungi 8. Tupai Sciurus notatus. Tidak dilindungi Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007. b. Reptilia Dan Amphibia Kelompok hewan melata ini umumnya juga hidup pada areal sekitar lokasi studi dan beberapa jenis bermanfaat sebagai pemakan Serangga. Pada lokasi studi diidentifikasi 9 jenis Reptilia dan 2 jenis Amphibia, semuanya tergolong hewan yang tidak dilindungi berdasarkan : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Secara ringkas jenis Reptilia dan Amphibia yang teridentifikasi di sekitar lokasi studi dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 3.2. Jenis Reptil Dan Amphibia Di Sekitar Lokasi Studi No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status REPTIL 1. Ular air Nastrix sp. Tidak dilindungi 2. Ular hitam Bungarus sp. Tidak dilindungi 3. Ular tanah Maticora bivirgata. Tidak dilindungi 4. Ular Lidi Ptyas korros. Tidak dilindungi 5. Kadal Mabuya multifaciarum. Tidak dilindungi 6. Buaya Crocodilus sp. Tidak dilindungi 7. Bunglon Calotes sp. Tidak dilindungi 8. Kura-kura Orlitia sp. Tidak dilindungi 9. Labi-labi Chitra indica. Tidak dilindungi AMPHIBIA 1. Kodok darat Bufo sp. Tidak dilindungi 2. Kodok air Rana cangcrifora. Tidak dilindungi Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007. c. Aves (Burung) Pada kawasan sekitar lokasi studi ditemukan beberapa jenis burung yang umumnya terdiri dari kelompok Herbivora (pemakan biji/daun), Insectivora (pemakan serangga). Hasil pengamatan dan informasi dari masyarakat sekitar serta data sekunder lainnya pada lokasi studi diidentifikasi 25 jenis Burung dan jenis yang tidak dilindungi berdasarkan : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Secara ringkas jenis burung yang teridentifikasi dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Jenis Burung Di Kawasan Sekitar Lokasi Studi No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status 1. Balam. Streptopolia sp. Tidak dilindungi. 2. Bangau. Ardeola sp. Tidak dilindungi 3. Belibis. Dendrocygna sp. Tidak dilindungi. 4. Belekok. Ardeola spiciosa. Tidak dilindungi. 5. Burung Hantu. Bubo sp. Tidak dilindungi. 6. Camar. Sterna sp. Tidak dilindungi. 7. Gereja. Paser domesticus. Tidak dilindungi 8. Ibis. Ardeola Ibis. Tidak dilindungi. 9. Jalak. Pericocratus hammene. Tidak dilindungi. 10. Jalak Suren. Sturnus contra. Tidak dilindungi. 11. Kapinis laut. Apus pacificus. Tidak dilindungi. 12. Kutilang. Picnotus aurigaster. Tidak dilindungi. 13. Layang-layang. Hirundo tahitica. Tidak dilindungi. 14. Mandar. Porzana fusca. Tidak dilindungi. 15. Manyar. Ploceus philiTPInus. Tidak dilindungi. 16. Perkutut. Geopelia striata. Tidak dilindungi. 17. Pipit. Lonchura leucogastroide. Tidak dilindungi. 18. Punai. Treron vernaus. Tidak dilindungi. 19. Puyuh. Turnik suscicator. Tidak dilindungi. 20. Ruak-ruak. Paizona persila. Tidak dilindungi. 21. Tekukur. Streptopolia chinensis. Tidak dilindungi. 22. Trinil. Actitis hypoleucos. Tidak dilindungi. 23. Walet sapi. Colocalia esculenta. Tidak dilindungi. 24. Walet sarang hitam. Colocalia maxima. Tidak dilindungi. 25. Walet sarang putih. Colocalia fuciphaga. Tidak dilindungi. Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007. 3.2.5. Kondisi Eksisting Abrasi Pantai di Sekitar TPI Di bagian Timur rencana kegiatan tepatnya di Kelurahan Matano sebagian besar abrasi pantai yang mengancam jalan Kabupaten telah tertangani dengan baik dengan cara pembuatan tanggul penahan ombak disepanjang jalur yang dilalui jalan sepanjang 1 KM. Namun demikian masih tersisa sekitar 400 M daerah pesisir pantai di Kelurahan Matano yang belum memiliki tanggul di sebabkan daerah sepanjang +1,4 KM ini tidak di tumbuhi bakau yang berfungsi menahan laju ombak sehingga pengikisan tanah daerah garis pantai dapat diminimalisir. Sedangkan garis pantai yang berada di Desa Matansala hingga muara sungai yang nantinya menjadi jalur kanal TPI seluruhnya ditumbuhi mangrove, sehingga daerah ini aman dari kemungkinan terjadinya abrasi pantai. 3.2.6. Kondisi Eksisting Sistem Pembuangan Limbah dan Saluran Drainase di Sekitar TPI a. Deskripsi Infrastruktur Luas lokasi perencanaan pembangunan TPI Bungku 9500 cm x 9000 cm atau kurang lebih 1 Ha. Ketinggian kontur alur sungai 5,5m dpl untuk yang terendah, dan yang tertinggi 6,5m dpl. Direncanakan ketinggian saluran drainase dalam lokasi TPI dari permukaan jalan 70-130cm, musholla 80cm, dermaga/kolam 130cm, saluran pembuangan limbah berupa water tank treatment kapasitas 15m 3 (seatlle pond) -70cm. Konteiner sampah/amroll 1 unit, TPS 13 buah,Jaringan penerangan listrik 8 titik(sisa dalam/sisi luar), Jalan berupa Rabat beton t = 10 cm,Conblok,Concreate K 225,t = 15 cm, Hidran 1 buah, pelataran P1,P2,P3,P4. b. Sistem Jaringan Drainase dan pembuangan Air Limbah Kajian Rencana Induk Drainase dan air Limbah meliputi aspek Teknis,Lingkungan dan Kelembagaan. 1.) Aspek Teknis Jaringan Drainase : pengembangan system jaringan drainase untuk mengalirkan air hujan dan air buangan sebelum sampai kepembuangan akhir. Drainase Primer : mengikuti jalan utama(kolektor) sungai sebagai saluran pembuang utama. Drainase Sekunder : Jaringan drainase yang bermuara pada drainase primer penempatan jaringan pada kedua sisi jalan utama dan jalan kolektor. Drainase Tersier : jaringan drainase yang bermuara pada drainase sekunder, berhubungan langsung pada saluran dan pembuang umah tangga,dll. Penempatan jaringan diarahkan pada kedua sisi jalan Kolektor dan sekunder dan jalan lokal. Sistem jaringan drainase TPI Bungku mengikuti alur kontur yakni alur-alur sungai yang ada. Jaringan drainase, masih merupakan saluran pembuang air hujan dan air buangan limbah dalam system drainase tertutup melalui pipa PVC, sedangkan untuk jaringan drainase permanent sebagian besar mengikuti jaringan jalan primer dan jalan Kolektor yang ada disekitar lokasi TPI Bungku kecamatan Bungku Tengah. Kajian pengelolaan saluran drainase TPI Bungku mengunakan sistem saluran drainase tertutup dan saluran drainase terbuka meliputi : Lokasi TPI, kondisi, dimensi, panjang arah aliran awal sampai aliran akhir dan zona kawasan service area (gambar desain terlampir). i.) Kondisi : dimensi, panjang, arah aliran, zona kawasan service area saluran ; Lebar saluran Primer 150 cm dan saluran sekunder 100 cm; Kemiringan saluran 200 250 cm; Kedalaman saluran Primer 150 cm dan kedalaman saluran sekunder 100 cm; Panjang saluran (sesuai gambar desain); Panjang saluran drainase tertutup (air kotor) pipa - 4" = 71,60 m. Aliran air (run off) dominan dari barat ke timur; Zone kawasan service Desain gambar (terlampir). ii.) Sistem Pembuangan Limbah Air buangan limbah yang dihasilkan TPI Bungku bersumber dari : rumah genset, kantor pengelola, Musholla, warung, Cold storage, wc/km, pangkalan minyak, air buangan Pabrik es, Limbah Ikan, sampah basah, sampah kering, dll. Seluruh air buangan tersebut ditampung melalui Water Treatment dengan Capacity = 15 m, dimensi ukuran ( 2000 x 5100), Inlet 6", outlet 4".Data gambar desain (terlampir). Kolam Pengendap = 35 m iii.) Pengelolaan dan cara kerja Aliran awal jaringan saluran drainase Tempat pelelangan ikan dari ketinggian 130 cm,kemudian mengalir dan tertampung pada ketinggian blok 100cm dan 80 cm, dan seterusnya ketempat penampungan water treatment melalui saluran drainase tertutup lokasi TPI dengan ketinggian 70 cm. Air tersebut ditampung pada water treatment masuk melalui pipa inlet 6" ke fiber dengan 4(empat) ruang penyaringan sesuai fungsinya dan cara kerja, dimana lumpur yang tertampung dibersihkan setiap bulannya melalui Diffuser saluran pembuangan yang ada pada water treatment yaitu ruangan I,II : untuk ruangan III digunakan media berupa pasir,batu koral,ijuk untuk menyaring dan kemudian masuk ke ruangan IV(settler) dan seterusnya air limbah yang sudah bersih dikeluarkan melalui outlet 4" . Untuk meningkatkan kejernihan air yang keluar melalui water treatment, maka air tersebut cukup layak untuk dibuang ke saluran drainase sekunder. Apabila kualitas air belum baik belum sesuai dengan baku mutu lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan lanjutan kembali dipompa kedalam water treatment untuk dilakukan pemprosesan kembali. Mengingat air buangan maka diperlukan dan disarankan disiapkan kolam pengendap sebelum dialirkan ke saluran drainase sekunder disisi jalan Kolektor, Kolam pengendap untuk mengecek kualitas mutu baku air sudah tercapai atau sesuai mencapai mutu baku kualitas air bersih sehingga dapat digunakan kembali. iv.) Dukungan infrastruktur / Sanitasi Kondisi pekerjaan sanitasi berupa: km/wc, septik tank, fiber glas, kran air, wastafel, pipa PVC 3/4" dan 4", Dimensi pekerjaan sanitasi : floor drain = 16 buah,kran air (future unit) = 8 buah,Pipa PVC 3/4" (air bersih panjang = 94,19 m), PVC 4" (saluran tertutup air kotor) panjang = 71,60 m, Water treatment = 15 m. Penerangan Listrik = 8 buah lampu (sisi dalam/taman = 2 buah, sisi luar kompleks = 6 buah); Saluran drainase TPI Bungku menggunakan saluran drainase tertutup berupa pipa PVC dan saluran drainase terbuka terbuat dari campuran semen dan pasir yang kemudian dialirkan pada sisi jalan Kolektor TPI . v.) Sampah basah dan kering Sampah basah dan kering ditampung melalui TPS sebanyak 13 buah sebelum di masukan dalam container, lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir/TPA., yang telah ditentukan lokasinya oleh pemda. Dengan menggunakan Dump truck ,mobil motor untuk mengangkut sampah basah dan kering ke lokasi TPA. 2.) Aspek LIngkungan Kegiatan TPI Bungku harus memenuhi persyaratan yang disyaratkan. Sehingga output nantinya akan tepat sasaran,tepat waktu,tepat biaya baik segi Kuantitas maupun Kualitas. Sehingga pemanfaatan dan peruntukannya sesuai dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. 3.) Aspek Kelembagaan Aspek kelembagaan meliputi penanganan dan pengawasan sistem drainase dan pembuangan limbah melalui Dinas Teknis terkait memerlukan Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan berkelanjutan (komprehensif) dan berwawasan lingkungan, oleh semua steakholder. Dengan kondisi yang ada baik Pra-Pasca Konstruksi baik cara pengelolaan dan pemanfaatan berupa drainase,air limbah dan infrastruktur penunjang lainnya dapat dikelola secara benar dan diharapkan peran serta masyarakat dan seluruh stakeholders yang ada di Kabupaten Morowali, sehingga dapat memanfaatkan hasil (outcomes) Pembangunan TPI Bungku. Dampak beruntun (multiplayer effect) berupa laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat nelayan tumbuh dan berkembang secara simultan. c. Rincian Dukungan Dana Kajian sistem Drainase dan pembuangan Limbah TPI Bungku 1.) Biaya Operasional dan Pemeliharaan Sanitasi dan Limbah sebesar Rp.95.654.938,- (sembilan puluh lima juta enam ratus lima puluh empat ribu sembilan ratus tiga puluh delapan rupiah) 2.) Biaya Pengawasan, MONEV adalah sebesar Rp. 29.600.000,-(dua puluh sembilan juta enam ratus ribu rupiah) 3.) Biaya Pengawasan dan Operasional dan Pemeliharaan Sanitasi dan Limbah TPI Bungku diperlukan dana sebesar Rp.137.780.431.020,-(seratus tiga puluh tujuh juta tujuh ratus delapan puluh ribu empat ratus tiga puluh satu ribu dua puluh rupiah) bersumber dari dana APBDII. Rincian Anggaran Biaya (terlampir). 3.7. Peta dan Gambar Rona Lingkungan Gambar 3.1 Peta Topografi Daerah Matano dan Sekitarnya Gambar 3.2. Peta Geologi Matano dan Sekitarnya Gambar 3.3. Peta Pengelolaan Lingkungan BAB IV DAMPAK LINGKUNGAN YANG AKAN TERJADI 4.1 Tahap Pra-Konstruksi 4.1.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia. 4.1.2. Komponen Lingkungan Biologi Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen lingkungan Biologi. 4.1.3. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya a. Keresahan Pedagang b. Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat Dampak penting dan besar dari kedua komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya diatas secara rinci sudah ada dalam dokumen UKL-UPL TPI Bungku 4.1.4. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen lingkungan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat. 4.2. Tahap Konstruksi 4.2.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia a. Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap konstruksi dapat berupa dampak langsung atau dampak turunan/sekunder. Dampak langsung terjadi dari kemungkinan buangan limbah cair dari aktifitas kegiatan yang dilakukan di lokasi pelaksanaan pembangunan TPI Modern Bungku ke badan air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Rangkaian kegiatan pada tahap konstruksi ini, terutama pada saat dilakukan pekerjaan tanah, berupa galian dan penimbunan menyebabkan peningkatan air larian (run off) yang menghanyutkan partikel tanah lapisan atas (top soil), meningkatkan laju erosi dan sedimentasi ke badan air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Air larian akan membawa lapisan permukaan tanah sehingga menyebabkan pelumpuran di badan perairan, peningkatan padatan tersuspensi dan kekeruhan air permukaan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan menyebar ke sekitarnya. Lamanya dampak peningkatan padatan tersuspensi dan kekeruhan air ini terjadi tergantung dari ukuran butir dan kuat arus yang membawanya. Perubahan substrat dan kejernihan ini mempengaruhi mahluk hidup baik vegetasi, satwa yang ada di dasar maupun dalam perairan. Dengan terjadinya perubahan substrat dasar, zat hara yang terdapat dalam sedimen menjadi larut di dalam perairan menyebabkan kandungan nitrat-N dan ortopfosfat-P meningkat, hal ini dapat mengurangi kesuburan perairan. Pengendapan lumpur mengakibatkan pendangkalan (sedimentasi) di dasar perairan, menyebabkan terganggunya ekosistem perairan, terutama sekali ekosistem dan habitat biota perairan, berupa : Plankton, Benthos, Nekton, padang lamun, terumbu karang, bakau/mangrove dan ekosistem biota laut lainnya. b. Abrasi Pantai Dampak sekunder terjadi dari peningkatan volume daratan/penampang kanal maupun erosi dan sedimentasi ke perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang disebabkan oleh kegiatan pembukaan dan pematangan lahan yang dilanjutkan dengan kegiatan pembangunan TPI berikut sarana dan prasarana pendukung. Sehingga terjadi penurunan kualitas air laut yang dapat menyebar ke sekitarnya, menimbulkan dampak terhadap ekosistem biota perairan, aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan bahkan abrasi pantai. Penyebaran dampak akibat pembangunan kanal dari aktifitas pembangunan TPI membuat massa air laut akan menempati ruang baru di daerah pesisir pantai sekitar lokasi TPI sehingga terjadi pengerusan garis pantai.. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa dampak ini bersifat langsung dan berbalik kembali. Atau sebaliknya dampak terhadap abrasi pantai ini akan bersifat jangka pendek, yaitu selama dilaksanakan kegiatan pembukaan dan pematangan lahan dan dapat berbalik setelah pelaksanaan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan selesai. Intensitas dampak dapat dikurangi dengan melakukan upaya pengelolaan terhadap pelaksanaan kegiatan penyebab dampak. Misalnya : Pembukaan lahan dilakukan secara bertahap dan hanya dilaksanakan pada musim kemarau dan pelaksanaan konservasi lahan berupa pembuatan saluran drainase dan revegetasi lahan untuk mencegah terdapatnya areal terbuka di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. c. Penurunan Kualitas Udara Ambien Dan Peningkatan Kebauan Terdapat beberapa tipe polutan yang dikeluarkan ke udara dari adanya rencana usaha dan/atau kegiatan, polusi udara yang berbentuk emisi gas buang seperti : Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NOx), Sulfur Dioksida (SO2) dan Amoniak (NH3), merupakan komponen yang sering dikeluarkan dari pembakaran bahan bakar minyak mesin kendaraan dan mesin alat-alat berat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Polusi berupa peningkatan partikel debu di udara dapat berasal dari aktifitas tranportasi lalulintas kendaraan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak penurunan kualitas udara ambien dan peningkatan kebauan pada tahap konstruksi adalah kegiatan mobilisasi peralatan ke lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, pembukaan dan pematangan lahan yang dilanjutkan dengan kegiatan pembangunan TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Kegiatan mobilisasi peralatan, berupa peralatan untuk pelaksanaan kegiatan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Pengangkutan semua peralatan berat ke lokasi masing-masing kegiatan dimaksud, dilakukan melalui jalan darat, dengan menggunakan truck trailer agar tidak merusak sarana jalan yang dilewati. Dari adanya aktifitas kendaraan pengangkutan ini diprakirakan tidak akan menimbulkan dampak penting terhadap penurunan kualitas udara ambien dan peningkatan kebauan di sepanjang jalan yang akan dilewati oleh kendaraan pengangkut tersebut. d. Peningkatan Kebisingan Rencana usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab dampak peningkatan kebisingan pada tahap konstruksi adalah kegiatan mobilisasi peralatan ke lokasi kegiatan, lalu lintas kendaraan pengangkut dan beroperasinya alat-alat berat pada saat dilakukannya kegiatan pembukaan dan pembersihan lahan, pembangunan TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Peningkatan kebisingan terjadi dari aktifitas kendaraan pengangkutan di sepanjang jalan yang akan dilewati menuju lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Intensitas kebisingan diperkirakan akan meningkat dari 50 dBA sesuai dengan hasil pengukuran rona awal menjadi 80 dBA pada radius 100 m di sekitar jalan yang dilewati. Namun demikian peningkatan kebisingan bersifat temporer dan tidak berlangsung lama, hanya terjadi pada saat kendaraan pengangkut melewati badan jalan tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran kondisi rona awal intensitas kebisingan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik di lingkungan rencana pembangunan TPI Modern Bungku/Dermaga Bungku (eksisting) maupun di pinggir jalan di belakang lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan masih cukup nyaman, terutama karena sedikitnya sumber kebisingan berupa aktifitas operasional dermaga dan transportasi darat sekitar dermaga masih tergolong sedikit. e. Gangguan Lalulintas Pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku juga akan dilengkapi dengan keberadaan aksesibilitas darat berupa pembangunan ruas jalan Bungku Kendari yang menghubungkan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan ruas Jalan Lintas Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu Kendari (Ruas Jalan Poros Palu Kendari 736 KM) dengan persimpangan di Kelurahan Bungi sepanjang 0,5 Km memanjang dari lokasi rencana usaha ke arah Utara. Sampai dengan saat penyusunan suplemen UKL dan UPL ini dilakukan pelaksanaan pembangunan ruas jalan ini sudah memasuki tahap penyelesaian. Sesuai dengan rencana pelaksanaan pembangunan TPI Bungku, maka pada saat dilakukannya kegiatan mobilisasi peralatan maupun mobilisasi material bangunan pada tahap konstruksi adalah melewati ruas Jalan Bungku Palu dan ruas Jalan Poros Bungku - Kendari di Selatan lokasi TPI Modern Bungku, sebagai jalan utama sebelum memasuki lokasi pelaksanaan rencana usaha dan atau kegiatan. Ruas jalan ini merupakan jalan dua arah yang merupakan jalan lintas Sulawasi (Jalan Propinsi) yang menampung pengguna jasa transportasi angkutan kota dari semua jurusan (rute) yang ada di Kabupaten Morowali untuk menuju daerah Bungku. 4.2.2. Komponen Lingkungan Biologi a. Gangguan Terhadap Biota Perairan Dampak gangguan terhadap biota perairan pada tahap konstruksi merupakan dampak turunan dari terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan. Dampak ini bersumber dari kegiatan pembukaan dan pematangan lahan, pembangunan TPI berikut sarana dan prasarananya. Dampak yang terjadi merupakan dampak turunan dari dampak primer, yang diawali dengan peningkatan laju erosi tanah, laju sedimentasi dan penurunan kualitas air permukaan, yang menyebabkan perubahan nilai padatan tersuspensi. Peningkatan padatan tersuspensi selanjutnya menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang. Akibat kejadian ini proses fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang sehingga produktifitas primer perairan menurun. Disamping itu dengan meningkatnya padatan tersuspensi daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang sehingga populasi dan kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan ini menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan. b. Gangguan Terhadap Ekositem Terumbu Karang dan Padang Lamun Terjadinya peningkatan padatan tersuspensi, peningkatan kekeruhan, penurunan kecerahan dan berkurangnya intensitas cahaya matahari di perairan akan sangat berpengaruh terhadap perairan laut di sekitar lokasi yang menjadi habitat dari ekosisten hutan mangrove, ekosistem terumbu karang dan ekosistim padang lamun, yang merupakan suatu ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai keanekaragaman dan produktifitas yang tinggi. Agar tetap hidup hewan karang memerlukan air laut yang bersih dari kotoran, karena kotoran (sedimen) akan menghalangi masuknya cahaya matahari bagi aktifitas fisiologis untuk keperluan fotosintesa algae yang bersimbiose dengan karang, selain itu sedimen/endapan dapat menutupi pori serta mulut hewan karang untuk melakukan respirasi. Kondisi padang lamun di perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku terlihat masih cukup baik, ekosistem padang lamun ini ditemukan di Utara lokasi studi seluas 0,023 ha dan Selatan lokasi studi seluas 0,023 ha dan pada perairan di sekitar gugusan pulau- pulau kecil di Timur lokasi, sekitar Pulau Dua Laut seluas 0,023 ha, sekitar Pulau Sainoa seluas 0,025 ha dan sekitar Pulau Waru-waru seluas 0,005 ha. Beberapa jenis lamun yang dapat diidentifikasi hidup di lokasi studi adalah : Enhalus sp., Thalassia sp., Halophila sp. dan Cymodaceae sp. Pada lokasi sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan ekosistem terumbu karang ditemukan pada lokasi yang berdekatan dengan pinggir pantai Timur, Selatan dan Barat Marsaoleh yang juga merupakan Ibukota Kecamatan Bungku Tengah dan beberapa pulau lainnya. Jenis karang yang terdapat di perairan laut sekitar lokasi studi dapat digolongkan berdasarkan jenis karang dan karakter habitatnya didominasi oleh Hard coral (23%), soft coral (12,5%) dan karang mati (20,5%) serta lainnya adalah berupa pecahan karang, batu dan pasir. Berdasarkan koloni karang sebahagian besar adalah berupa encrusting (24%), massive (20%), sub massive (18%), braching (15%), digitate (10%) dan koloni lain berupa mushroom, folose dan cup. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa jenis karang yang teridentifikasi hidup di perairan lokasi studi adalah : Acropora humilis., Acropora sp., Alveopora sp., Diploria sp., Echinopora sp., Fungia sp., Galaxea sp., Hidnopora sp., Millepora sp., Pachiceris sp., Pavia sp., Pavites sp., Porites sp., Seriatopora sp. dan jenis karang massive lainnya. Jika dilihat dari luasan dan waktu terjadinya, dampak gangguan terhadap habitat biota perairan pada tahap ini relatif kecil dan bersifat sementara yaitu pada saat musim hujan dan sangat tergantung kepada besarnya dampak primer, berupa laju erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas air permukaan. Dengan dilaksanakannya upaya pengelolaan yang baik terhadap dampak primer, maka dampak terhadap biota perairan dapat dikurangi. Dampak akan berakhir setelah kegiatan pembersihan lahan selesai dilaksanakan dan upaya revegetasi yang dilakukan pada areal terbuka di sekitar areal TPI Modern Bungku, sarana dan prasarana lain dapat berfungsi dengan baik. 4.2.3. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya a. Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha b. Peningkatan Pendapatan Penduduk c. Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat Ketiga potensi dampak komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya dapat dilihat dalam Dokumen UKL-UPL TPI. 4.2.4. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat a. Gangguan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Dampak gangguan kesehatan dan keselamatan kerja terjadi pada tahap konstruksi, dampak yang terjadi bersumber dari pelaksanaan kegiatan pembukaan dan pematangan lahan serta dari pelaksanaan kegiatan konstruksi fisik bangunan TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya, yang dapat menimbulkan dampak secara langsung terhadap kesehatan dan kelamatan kerja para tenagakerja pelaksana kegiatan konstruksi tersebut ataupun masyarakat yang kebetulan berada atau melewati lokasi kegiatan. Kecelakaan mungkin timbul akibat tertimpa material bangunan, terluka paku bekas, seng bekas, pecahan-pecahan kaca dan lain-lain atau mungkin terperosok pada lubanglubang bekas sumur atau wc/septik tank. Terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan tersebut perlu menjadi perhatian Pihak Kontraktor Pelaksana kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, tenagakerja maupun masyarakat yang terkena dampak terhadap kemungkinan dampak lanjutan dari luka yang terjadi, terkenanya infeksi kuman terutama infeksi tetanus yang sangat berbahaya, dapat menimbulkan kejang-kejang dan kematian pada penderitanya. Untuk menghindari penyakit tetanus tersebut, maka sangat perlu diwaspadai terhadap setiap kejadian luka pada para pekerja harus segera diberikan/injeksi anti tetanus yang dari pelayanan di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat. Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja juga dapat terjadi pada saat dilaksanakan kegiatan konstruksi fisik bangunan TPI. Dampak yang terjadi dapat berupa kemungkinan tertimpa bahan bangunan atau alat-alat konstruksi pada saat pelaksanaan kegiatan. Hal ini perlu menjadi perhatian serius dari Pihak Kontraktor Pelaksana kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, para tenagakerja ataupun masyarakat yang kebetulan berada di sekitar lokasi pelaksanaan kegiatan. Sehingga dalam pelaksanaan kegiatan konstruksi, lokasi pelaksanaan kegiatan harus tertutup bagi masyarakat umum yang tidak mempunyai kepentingan dan perlu upaya pengamanan bagi para tenagakerja pelaksana, berupa penyediaan alat keselamatan dan kesehatan kerja, obatobatan, peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) serta pengamanan terhadap masyarakat sekitar. 4.3. Tahap Pasca Konstruksi 4.3.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia a. Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap pasca konstruksi secara langsung disebabkan oleh pelaksanaan operasional dan pemeliharaan TPI, operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply), sarana dan prasarana lainnya yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan memungkinkan terdapatnya rembesan limbah yang akan memasuki badan air, menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan dapat menyebar ke sekitarnya. Sesuai dengan rencana pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan untuk mengurangi terjadinya penyebaran dampak penurunan kualitas air akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan, akan dilaksanakan pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebagai muara dari semua saluran air dan limbah cair yang terdapat atau dihasilkan oleh semua kegiatan pada semua bangunan yang ada pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Setelah dilakukan pengendapan, selanjutnya air dari kolam terakhir IPAL dialirkan melalui saluran drainase terbuka ke Laut Teluk Tolo. Pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, di tepi sekeliling areal akan dibangun saluran drainase guna menampung air larian. Terdapat tiga cabang saluran yang alirannya dirancang dengan arah Utara-Selatan dan kemudian mengalir ke saluran drainase utama. Semua saluran dari semua bangunan yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan akan dihimpun pada sistem saluran utama melalui saluran cabang. Saluran utama mengalir dari Barat Ke Timur dengan penampang melintang 42 m2, aliran rata-rata dari saluran ini dirancang sebesar 75.000 m3/jam. Diperkirakan dimensi dari sistem saluran drainase dan IPAL yang akan dibangun dapat berfungsi dengan baik dan dapat menyalurkan, menampung serta mengolah air limbah dan air larian pada keadaan curah hujan tinggi, sesuai dengan data iklim pada lokasi kegiatan ratarata curah hujan bulanan tertinggi selama 10 tahun terakhir (1996-2006) adalah mencapai 599 mm pada bulan Januari. Terjadinya penurunan kualitas air masih dimungkinkan dari akumulasi kandungan bahan organik atau parameter kualitas air lainnya yang secara langsung tidak meracuni, namun secara perlahan-lahan dapat menimbulkan gangguan terhadap ekosistem perairan. Peningkatan kandungan bahan kimia dari residu secara berlebihan yang berlangsung dalam waktu yang lama secara berkesinambungan mempercepat proses eutrofikasi (proses penyuburan secara berlebihan) pada ekosistem perairan. Proses eutrofikasi ini membawa akibat lebih lanjut, berupa penambahan unsur hara (nutrient) dalam ekosistem perairan. Khususnya pada perairan yang tenang/rawa menyebabkan pertumbuhan secara berlebihan berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton. Pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton disertai dengan semakin tingginya tingkat kematian gulma dan Fitoplankton tersebut. Akibatnya terjadi penumpukan (akumulasi) dan pembusukan (dekomposisi) bahan organik. Pada tahap awal kebutuhan oksigen bagi jasad pembusuk masih dapat dipenuhi oleh persediaan oksigen terlarut. Proses pembusukan secara berangsur semakin berkurang, proses pembusukan secara an-aerob ini menghasilkan gas-gas beracun antara lain Hidrogen Sulfat (H2S), Senyawa fenolik, Metan (CH4), Ammoniak (NH3-N) dan bahan organik (KMnO4) dan lain-lain. Berkurangnya kadar Oksigen terlarut di dalam badan air pada tingkat lanjut dapat mematikan kehidupan biota perairan lainnya (Ikan, Molusca, Larva, Zooplankton dan lain-lain). Keadaan ini pada akhirnya lebih mempercepat laju penumpukan bahan organik dan proses pembusukan secara an-aerobik. Akibat lanjutan dari proses tersebut adalah semakin buruknya ekosistem perairan dan bahkan terjadinya percepatan proses pendangkalan ekosistem perairan karena penimbunan bahan organik di dasar perairan tersebut. b. Penurunan Kualitas Udara Ambien Dan Peningkatan Kebauan Dampak penurunan kualitas udara ambien dan peningkatan kebauan pada tahap pasca konstruksi disebabkan adalah kegiatan transportasi lalu lintas kendaraan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, diprakirakan menimbulkan peningkatan kadar debu dan gas buang yang terdispersi ke udara di sepanjang jalan yang dilewati kendaraan. Debu tersebut dapat berasal dari debu jalanan yang mengepul ke udara sedangkan gas berasal dari gas buang dari mesin kendaraan. Besar kecilnya kadar debu dan kadar gas ditentukan oleh jumlah, jenis dan frekwensi kendaraan yang melewati jalan. Intensitas dampak dari kegiatan transportasi lalulintas pada tahap pasca konstruksi ini tergolong tinggi, diperkirakan dengan beroperasinya rencana usaha dan/atau kegiatan terjadi peningkatan volume lalulintas yang akan menuju lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Peningkatan volume lalu lintas terjadi dari pemakaian kendaraan oleh pelaku bisnis di lokasi TPI, baik nelayan, pedagang maupun pembeli yang datang atau meninggalkan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, sesuai dengan fungsinya sebagai pusat kegiatan perikanan di Kabupaten Morowali. c. Gangguan Lalulintas Pada tahap pasca konstruksi setelah TPI Modern Bungku selesai dibangun dan beroperasi, diperkirakan terjadi peningkatan volume lalulintas yang akan menuju atau meninggalkan lokasi TPI Modern Bungku. Peningkatan volume lalu lintas terjadi dari pemakaian kendaraan, baik pengelola TPI, nelayan, pedagang maupun pembeli, sesuai dengan fungsinya sebagai sentral kegiatan perikanan Kabupaten Morowali. Untuk parkir kendaran pengunjung disiapkan pada sisi depan di luar lokasi TPI Modern Bungku, menempati sisi Jalan Bungku - Buleleng dengan kapasitas 30 mobil dan pada sisi belakang TPI Modern Bungku, dipersiapkan 2 jalur parkir dengan kapasitas 80 mobil. Selain itu juga disiapkan areal parkir pengunjung di sisi Kanan TPI Modern Bungku Bagian Kanan, dipersiapkan 2 jalur parkir dengan kapasitas 200 mobil. Untuk sepeda motor baik milik pengelola TPI Modern Bungku, pedagang dan pengunjung adalah menempati bagian depan pada sisi kiri dengan luas areal parkir 1000 m2 diperkirakan dapat menampung 300 unit sepeda motor. Berdasarkan perbandingan antara kapasitas atau daya tampung dari lokasi parkir kendaraan dengan prakiraan jumlah kendaraan parkir pada saat TPI Modern Bungku beroperasi, ternyata kapasitas yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan parkir kendaraan pada lokasi TPI Modern Bungku, sehingga upaya penambahan lokasi parkir di dalam lingkungan TPI Modern Bungku masih perlu diusahakan. Selain itu juga sangat perlu upaya untuk mengurangi tingginya intensitas volume lalulintas Jalan Bungku - Buleleng di sekitar lokasi TPI Modern Bungku. Hal ini dapat diupayakan dengan pengaturan lalulintas kendaraan (managemen lalulintas) yang melewati Jalan Bungku - Buleleng yang akan menuju atau keluar TPI Modern Bungku, sehingga tidak terjadi penumpukan dan kemacetan pada ruas jalan sekitar lokasi TPI Modern Bungku dan setiap kendaraan tidak dapat berhenti atau parkir di sembarang tempat di sekitar lokasi TPI Modern Bungku. d. Peningkatan Sarana Dan Prasarana Sesuai dengan perencanaan pembangunan rencana usaha dan/atau kegiatan TPI Modern Bungku adalah terdiri dari pembangunan bangunan pelelangan, kantor, fasilitas pemrosesan ikan (cold storage, ruang mesin, pabrik es, bangunan packaging, bangunan prosesing dan bangunan pengolahan air limbah/water treatment plant), fasilitas penunjang dan fasilitas perbekalan (penyediaan air bersih/menara air, stasiun pengisian bahan bakar umum/SPBU dan penyediaan sumber energi/genset). Dengan adanya pembangunan fasilitas pemasran perikanan dengan fasilitas darat yang lengkap akan memberikan peluang bagi hadirnya kapal-kapal ikan dari kawasan Indonesia Timur untuk berlabuh di kawasan Bungku, baik untuk pengisian BBM, air bersih, menjual hasil tangkapan dan pembelian sarana penangkapan ikan di laut (seperti es), umpan, jaring dan bahan makanan. Dengan makin lengkapnya sarana bidang perikanan tersebut, maka nelayan akan semakin mudah memperoleh berbagai sarana penangkapan ikan di laut. Ketersediaan sarana dan prasarana perikanan ini tentunya akan meningkatkan pengembangan wilayah sekitarnya baik bidang bisnis, industri perikanan, budidaya perikanan dan sebagainya. Dengan adanya peningkatan pelayanan ini, maka kehadiran TPI ini akan memperkaya ketersediaaan sarana pelabuhan perikanan yang ada sebelumnya. Kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku akan dilengkapi berbagai sarana dan prasarana umum dan fasilitas penunjang, selain ditujukan untuk penunjang pelaksanaan kegiatan pembangunan dan operasional TPI, secara langsung juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Sarana dan prasarana tersebut adalah berupa : Penyediaan air bersih/menara air, stasiun pengisian bahan bakar umum/SPBU dan penyediaan sumber energi/genset. Sarana dan prasarana umum lainnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar selain tersedianya dermaga sebagai pendukung kegiatan transportasi laut, keberadaan TPI juga ditunjang dengan pembangunan sarana transportasi darat (jalan dan jembatan) berupa pembangunan ruas jalan Bungku Bungi, yang merupakan jalan akses yang menghubungkan lokasi TPI dengan ruas jalan poros Palu Kendari dan penyediaan fasilitas lainnya seperti : Masjid, tempat pertemuan, klinik dan sebagainya. Keberadaan sarana dan prasarana pendukung ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat di sekitar, terutama sekali dengan keberadaan jalan akses, yang sangat dibutuhkan untuk menghubungkan antara satu desa dengan desa yang lain yang selama ini sangat terbatas dan mengandalkan sarana transportasi laut. Bahkan sarana dan prasarana ini dapat dimanfaatkan untuk menghubungkan desa-desa di sepanjang pantai Barat Kecamatan Bungku Selatan, daerah-daerah yang terisolir awalnya, akan makin terbuka dan mudah ditempuh melalui darat. Hal ini akan meningkatkan mobilitas penduduk, kegiatan ekonomi dan pengembangan wilayah sekitar terbukanya isolasi wilayah, kelancaran pembangunan dengan intensitas dampak yang makin meningkat dengan makin berkembangnya kegiatan TPI. 4.3.2. Komponen Lingkungan Biologi a. Gangguan Terhadap Biota Perairan Dampak gangguan terhadap biota perairan pada tahap pasca konstruksi disebabkan oleh kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku, sarana dan prasarana lainnya yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Dampak gangguan terhadap habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari terjadinya penurunan kualitas air permukaan dari kemungkinan terdapatnya rembesan limbah yang akan memasuki badan air, menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air laut di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan dapat menyebar ke sekitarnya. Pada akhirnya menyebabkan terganggunya habitat biota perairan, berupa terjadinya penurunan kelimpahan, selanjutnya diikuti penurunan nilai indek keanekaragaman plankton dan benthos, gangguan terhadap habitat dan kehidupan nekton (ikan dan biota air lainnya), gangguan terhadap ekosistem padang lamun, gangguan terhadap ekosistem terumbu karang di perairan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya, gangguan terhadap ekosistem hutan mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, menimbulkan dampak turunan terhadap tingkat pendapatan penduduk dari hasil perikanan laut, gangguan terhadap aktifitas nelayan yang akan melakukan penangkapan ikan dan munculnya sikap persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. Terjadinya penurunan kualitas air masih dimungkinkan dari akumulasi kandungan bahan organik atau parameter kualitas air lainnya yang secara langsung tidak meracuni, namun secara perlahan-lahan dapat menimbulkan gangguan terhadap ekosistem perairan. Peningkatan kandungan bahan kimia dari residu secara berlebihan yang berlangsung dalam waktu yang lama secara berkesinambungan mempercepat proses eutrofikasi (proses penyuburan secara berlebihan) pada ekosistem perairan, yang membawa akibat lebih lanjut, berupa penambahan unsur hara (nutrient) dalam ekosistem perairan. Khususnya pada perairan yang tenang/rawa menyebabkan pertumbuhan secara berlebihan berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton. Pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton disertai dengan semakin tingginya tingkat kematian gulma dan Fitoplankton tersebut. Akibatnya terjadi penumpukan (akumulasi) dan pembusukan (dekomposisi) bahan organik. Pada tahap awal kebutuhan oksigen bagi jasad pembusuk masih dapat dipenuhi oleh persediaan oksigen terlarut. Berkurangnya kadar Oksigen terlarut di dalam badan air pada tingkat lanjut dapat mematikan kehidupan biota perairan lainnya (ikan, molusca, larva, zooplankton, padang lamun, terumbu karang, hutan mangrove dan lain-lain). Keadaan ini pada akhirnya lebih mempercepat laju penumpukan bahan organik dan proses pembusukan secara an-aerobik. Akibat lanjutan dari proses tersebut adalah semakin buruknya ekosistem perairan dan bahkan terjadinya percepatan proses pendangkalan ekosistem perairan karena penimbunan bahan organik di dasar perairan tersebut. 4.3.3. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya a. Terbukanya Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha b. Peningkatan Aktivitas Penangkapan Ikan c. Peningkatan Pendapatan Penduduk d. Peningkatan Pendapatan Daerah e. Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat Adanya efek balik dari perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan sejalan dengan perkembangan waktu dan kegiatan yang akan dilakukan, sehingga upaya pengendalian dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan geo-fisik-kimia, biologi dan kesehatan masyarakat merupakan sebahagian besar upaya untuk menghindari munculnya sikap dan persepsi negatif masyarakat. Bila ditinjau dari aspek lingkungan dimana dampak yang ditimbulkan ini akan membawa perubahan terhadap estetika dan hal ini akan membawa pengaruh besar terhadap aspek sosial, ketenagakerjaan, politis, perdagangan dan lain-lain yang dewasa ini sangat disoroti oleh dunia internasional dimana sangat dituntut terhadap setiap pihak yang melakukan aktifitas pembangunan atau eksploitasi sumber daya alam supaya memperhatikan aspek- aspek lingkungan. 4.3.4. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat a. Penurunan Estetika Dampak penurunan estetika dapat terjadi pada tahap pasca konstruksi, yaitu dari kegiatan operasional TPI, terutama disebabkan oleh penerapan sistem penanganan sampah yang kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar bangunan kantor, TPI atau berserakan pada ruang perkantoran dan ruang terbuka di dalam lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pedagang maupun pengunjung TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah atau volume sampah yang dihasilkan, terutama sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan pedagang. Dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan pengelolaan sampah yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak pedagang dan pengunjung TPI terhadap kebersihan lingkungan TPI atau kelalaian dari pihak pengelola terutama petugas kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di lokasi TPI. Untuk setiap bangunan kantor, TPI dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas pembuangan sampah. Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah lokal, dengan penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat menampung seluruh sampah-sampah dari semua bangunan kantor, TPI dan bangunan yang ada di lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai dengan prakiraan volume limbah padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2 tempat pembuangan sampah lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di sudut kanan dan kiri. Dari tempat pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Limbah padat berupa sampah yang dihasilkan oleh kegiatan operasional TPI, sarana dan prasarana pendukung yang ada, dibedakan menjadi sampah basah dan sampah kering. Sampah basah umumnya terdiri dari sisa barang dagangan, sisa makanan, sisa daun, sisa buah dan sebagainya, terutama dihasilkan dari aktifitas pedagang di lokasi TPI dan aktifitas lainnya. Sampah kering umumnya terdiri dari sampah kertas, plastik, sisa pembungkus, kardus, daun kering dan lain-lain yang dihasilkan dari aktifitas para pelaku TPI di ruang terbuka, koridor, perkantoran, TPI dan ruang terbuka lainnya. Cara penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara sampah basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan perkantoran dan ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang sudah terkumpul ini selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan ke lokasi tempat pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan sampah lokasl ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke TPA sampah. Volume sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini diperkirakan masing-masing untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari. dan sampah kering dapat mencapai 5-10 m3/hari. Sesuai dengan fungsinya sebagai pusat kegiatan perikanan di Kabupaten Morowali maka kegiatan pengelolaan terhadap dampak penurunan estetika lingkungan yang bersumber dari pengelolaan dan sistem penanganan sampah yang dihasilkan dari semua aktifitas di setiap ruang dan bangunan di dalam lingkungan TPI perlu menjadi prioritas dalam pelaksanaan dan pengawasan yang baik dari Badan Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga dapat tercipta lingkungan TPI yang bersih, rapi dan sehat serta terciptanya kesadaran dari semua pelaku TPI untuk senantiasa menjaga kebersihan dan keindahan di lokasi TPI. BAB V PROGRAM PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP 5.1. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Potensi dampak lingkungan yang akan terjadi dari rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku di Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah, diketahui komponen lingkungan yang sensitif terhadap dampak dan menjadi prioritas untuk dilakukan pengelolaan. Terhadap lingkungan geo- fisik kimia adalah berupa terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, penurunan kualitas udara ambien dan peningkatan kebauan, peningkatan kebisingan dan gangguan lalulintas. Terhadap lingkungan biologi berupa gangguan habitat biota perairan. Terhadap lingkungan sosial ekonomi dan budaya, berupa terjadinya keresahan penduduk akibat ketidaksesuaian ganti rugi dalam pelaksanaan kegiatan pembebasan lahan, keresahan pedagang, terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha, terjadinya peningkatan pendapatan penduduk, peningkatan pendapatan daerah, perubahan sikap dan persepsi masyarakat. Sedangkan terhadap kesehatan lingkungan dan masyarakat, berupa terjadinya gangguan kesehatan, keselamatan kerja dan penurunan estetika. Dalam upaya mencegah, menekan, mengurangi, menghilangkan atau mengkompensasi dampak negatif dan meningkatkan atau mengembangkan dampak positif di atas akan dilakukan pengelolaan terhadap dampak-dampak tersebut. 5.1.1. Tahap Pra-konstruksi a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak penting besar dan penting terhadap komponen lingkungan geo-fisik kimia. b. Komponen Lingkungan Biologi Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia, kegiatan pada tahap pra-konstruksi ini tidak menimbulkan dampak penting terhadap komponen lingkungan biologi. c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya 1. Dampak Keresahan Pedagang 2. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat Program pengelolaan lingkungan terhadap kedua dampak ini dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku. d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia dan biologi, kegiatan pada tahap pra- konstruksi ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen kesehatan lingkungan dan masyarakat. 5.1.2. Tahap Konstruksi a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia 1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap konstruksi dapat berupa dampak langsung/primer atau dampak turunan/sekunder. Dampak langsung terjadi dari kemungkinan buangan limbah cair dari aktifitas yang dilakukan di lokasi pelaksanaan konstruksi pembangunan TPI Modern Bungku ke perairan Laut Teluk Tolo yang merupakan badan air penerima limbah cair dari rencana usaha dan/atau kegiatan. Sedangkan dampak sekunder terjadi dari peningkatan laju erosi tanah dan sedimentasi ke perairan Laut Teluk Tolo yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi pembangunan pasar sarana dan prasarana pendukung. b.) Sumber Dampak Sumber dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah dari kegiatan : Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang. Pembukaan dan pematangan lahan. Konstruksi fisik bangunan TPI, kolam, dermaga dan kanal. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung. 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, adalah : Baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Lampiran III Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah : Mengendalikan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan nilai parameter kualitas air memenuhi tolok ukur ambang batas baku mutu yang ditetapkan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa gangguan terhadap habitat biota perairan, ekosistem hutan manggrove, padang lamun dan habitat terumbu karang, gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Selatan, sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Upaya pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan beberapa kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan. ii.) Revegetasi Mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan. Pelaksanaan ke-tiga rancangan kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut : i.) Pengaturan Pelaksanaan Kegiatan Pembukaan Lahan Sesuai dengan kondisi awal dari lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan disamping areal yang telah dimanfaatkan sebagai lokasi Pasar Sentral Bungku (eksisting) sebahagian lagi adalah berupa areal rawa dan semak belukar, maka terhadap areal yang belum dibuka akan dilakukan pembukaan lahan dilakukan dengan cara kombinasi manual-mekanis yang meliputi kegiatan membabat rintisan, mengimas, menebang, merencek dan membersihkan. Penumbangan pohon dilakukan menggunakan buldozer/tree dozer atau stumper atau penebangan dengan chain-saw. Kegiatan pembukaan lahan dilakukan se- efisien mungkin, lahan yang akan dibuka adalah lahan yang benar-benar akan dimanfaatkan untuk lokasi pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan dan dilakukan secara bertahap sehingga dapat dicegah terjadinya kemungkinan lahan yang terbuka luas, pembersihan lahan segera dilanjutkan dengan kegiatan pematangan lahan dan konstruksi serta upaya rehabilitasi berupa revegetasi lahan. Pembukaan lahan disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, yaitu membuka lahan pada saat curah hujan rendah atau waktu musim kering (bulan Mei - September). Pengaturan pelaksanaan kegiatan terutama sekali ditujukan pada saat dilaksanakannya pekerjaan pematangan lahan berupa penggalian, penimbunan dan pemadatan dan pekerjaan konstruksi fisik bangunan bawah berupa penggalian pondasi yang memungkinkan terdapatnya penumpukan atau timbunan tanah di lokasi rencana usaha dan atau kegiatan yang sangat rentan untuk tererosi atau terbawa aliran permukaan pada saat terjadinya hujan. ii.) Revegetasi Mangrove Di Sekitar Lokasi Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Pelaksanaan revegetasi mangrove ini sejalan dengan pelaksanaan kegiatan penataan dan pembangunan landscape pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang dilaksanakan dengan melakukan penanaman bakau di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku terutama pada areal terbuka yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang terdiri dari jenis bakau pantai dan bakau payau. Luas lahan yang akan di revegetasi adalah seluas 0,5 ha. Jenis yang disarankan adalah : Rhizophora apiculata., Rhyzophora stylosa., Exoccaria sp., Avicenia alba., Avicenia offinalis., Bruguira cylindrica dan Sonneratia sp. iv.) Revegetasi Lahan Di Tepi Jalan Pelaksanaan revegetasi lahan di tepi jalan di sekitar lokasi TPI Modern Bungku dilaksanakan dengan melakukan penanaman pohon pada sisi kanan dan kiri ruas jalan Bungi TPI, yang menghubungkan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan ruas Jalan Lintas Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu Kendari (Ruas Jalan Poros Palu Kendari). Luas lahan yang akan direvegetasi meliputi lahan yang terbuka di sisi kanan dan kiri badan jalan adalah seluas 1,6 ha., (panjang jalan yang terkait adalah 4 Km dan lebar yang akan direvegetasi masing-masing 2 m di sisi kanan dan kiri badan jalan). Sejalan dengan dimulainya kegiatan konstruksi pembangunan TPI Modern Bungku dilaksanakan, maka pada areal 2 m di sisi kanan dan kiri badan jalan dilakukan penanaman dari jenis Dipterocarpaceae (kayu-kayuan). Pohon yang ditanam adalah dari jenis lokal yang cepat tumbuh dan relatif lebih mudah memperolehnya, seperti : Akasia (Acacia mangium.), Sengon (Paraserianthes falcataria.), Karet (Havea brasiliensis.), Sungkai (Peronema canescens.), Beringin (Ficus sp.), Damar (Agathis alba.), Kemiri (Aleurites moluccana.), Jeunjing (Albizzia falcataria.), Surian (Toona sureni.),Yemane/Titi kuning (Gmelina arborea.), dan Kasturi (Abelmochus moschatus.). Penanaman dilakukan dengan jarak tanam antar pohon 4 m. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap konstruksi adalah : i.) Pada areal terbuka yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. ii.) Pada areal terbuka di sisi kanan dan kiri ruas jalan Bungi di depan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Biaya pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak ini meliputi biaya pengadaan bibit, persiapan lahan, biaya personil dan pemeliharaan. Perhitungan biaya per hektar untuk pelaksanan kegiatan revegetasi lahan adalah : Pengadaan bibit Rp. 225.000,- Persiapan lahan Rp. 550.000,- Upah tanam Rp. 325.000,- Pemeliharaan Rp. 923.000,- ------------------------ Rp. 2.023.000,- Berdasarkan perhitungan diatas, maka biaya pelaksanaan revegetasi di masing-masing lokasi pelaksanaan kegiatan adalah : Biaya revegetasi sekitar bangunan pasar dan areal terbuka di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, yang meliputi areal seluas 0,5 ha, adalah : Rp. 1.011.500,- Biaya revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri sepanjang Jalan Bungku Buleleng di depan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, yang meliputi areal seluas 1,6 ha, adalah : Rp.3.236.800,- Sehingga biaya pelaksanaan kegiatan revegetasi lahan pada tahap konstruksi adalah sebesar : Rp. 4.248.300,- 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kepala Bagian K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Ambien, Peningkatan Kebauan Dan Kebisingan 3. Dampak Gangguan Lalulintas Dampak gangguan lalulintas secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku. b. Komponen Lingkungan Biologi A. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove 1.) Dampak Penting dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan dampak dari pembukaan dan pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI Bungku yang ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh sekitar 10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya proses pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya habitat satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan, penurunan nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan sekitarnya. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku. Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove ke lokasi lingkungan sekitarnya. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi adalah dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai, proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove. ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya. iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi TPI Bungku, yang akan dilakukan pada : I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan Tofoiso. II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa Matansala). 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung jawab Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. B. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang, produktifitas primer perairan menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton, sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap konstruksi adalah kegiatan : Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang. Pembukaan dan pematangan lahan. Konstruksi fisik bangunan TPI. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung. 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan habitat biota perairan sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan. ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah diuraikan pada bahagian terdahulu. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal terbuka di sisi kanan dan kiri badan Jalan Bungi - di depan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. C. Gangguan Terhadap Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses fotosintesa biota produser terganggu, maka sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan. Terjadinya peningkatan padatan tersuspensi, peningkatan kekeruhan, penurunan kecerahan dan berkurangnya intensitas cahaya matahari di perairan akan sangat berpengaruh terhadap perairan laut di sekitar lokasi yang menjadi habitat dari ekosisten hutan mangrove, ekosistem terumbu karang dan ekosistim padang lamun, yang merupakan suatu ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai keanekaragaman dan produktifitas yang tinggi. Agar tetap hidup hewan karang memerlukan air laut yang bersih dari kotoran, karena kotoran (sedimen) akan menghalangi masuknya cahaya matahari bagi aktifitas fisiologis untuk keperluan fotosintesa algae yang bersimbiose dengan karang, selain itu sedimen/endapan dapat menutupi pori serta mulut hewan karang untuk melakukan respirasi. Kondisi padang lamun di perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku terlihat masih cukup baik, ekosistem padang lamun ini ditemukan di Utara lokasi studi seluas 0,023 ha dan Selatan lokasi studi seluas 0,023 ha dan pada perairan di sekitar gugusan pulau- pulau kecil di Timur lokasi, sekitar Pulau Dua Laut seluas 0,023 ha, sekitar Pulau Sainoa seluas 0,025 ha dan sekitar Pulau Waru-waru seluas 0,005 ha. Beberapa jenis lamun yang dapat diidentifikasi hidup di lokasi studi adalah : Enhalus sp., Thalassia sp., Halophila sp. dan Cymodaceae sp. Pada lokasi sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan ekosistem terumbu karang ditemukan pada lokasi yang berdekatan dengan pinggir pantai Timur, Selatan dan Barat Marsaoleh yang juga merupakan Ibukota Kecamatan Bungku Tengah dan beberapa pulau lainnya. Jenis karang yang terdapat di perairan laut sekitar lokasi studi dapat digolongkan berdasarkan jenis karang dan karakter habitatnya didominasi oleh Hard coral (23%), soft coral (12,5%) dan karang mati (20,5%) serta lainnya adalah berupa pecahan karang, batu dan pasir. Berdasarkan koloni karang sebahagian besar adalah berupa encrusting (24%), massive (20%), sub massive (18%), braching (15%), digitate (10%) dan koloni lain berupa mushroom, folose dan cup. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa jenis karang yang teridentifikasi hidup di perairan lokasi studi adalah : Acropora humilis., Acropora sp., Alveopora sp., Diploria sp., Echinopora sp., Fungia sp., Galaxea sp., Hidnopora sp., Millepora sp., Pachiceris sp., Pavia sp., Pavites sp., Porites sp., Seriatopora sp. dan jenis karang massive lainnya. Jika dilihat dari luasan dan waktu terjadinya, dampak gangguan terhadap habitat biota perairan pada tahap ini relatif kecil dan bersifat sementara yaitu pada saat musim hujan dan sangat tergantung kepada besarnya dampak primer, berupa laju erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas air permukaan. Dengan dilaksanakannya upaya pengelolaan yang baik terhadap dampak primer, maka dampak terhadap biota perairan dapat dikurangi. Dampak akan berakhir setelah kegiatan pembersihan lahan selesai dilaksanakan dan upaya revegetasi yang dilakukan pada areal terbuka di sekitar areal TPI Modern Bungku, sarana dan prasarana lain dapat berfungsi dengan baik. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pembuatan terumbu karang sintetis. ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : i.) Pembuatan terumbu karang sintetis. Pembuatan terumbu karang sintetis sebagai pengganti atas terumbu karang yang telah rusak baik akibat dari alam (eksisting) maupun akibat dari pembangunan kanal TPI Bungku. Bentuknya dapat berupa kubus, piramida maupun kerucut dan terbuat dari campuran beton. Diletakkan pada kotak jaring besi/nylon yang diberi pemberat. Dan pada tiap-tiap bentuk karang sintetis diikatkan masing-masing 1(satu) atau lebih karang hidup (soft coral). Lokasi peletakan kotak jaring karang sintetis ditempatkan sedekat mungkin dengan habitat terumbu karang yang ada karena selain mampu merangsang perkembangan karang sintetis juga kondisi salinitas dan intensitas penyinaran disekitar habitat terumbu karang sangat berpengaruh. Perkembangan dan pertumbuhan karang sintetis akan terlihat setelah 1-2 tahun kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik dan benar. Biaya pembuatan karang sintetis adalah sebagai berikut : Kotak jaring besi/nylon Rp. 1.000.000,- Semen dan kerikil Rp. 1.500.000,- Peralatan selam (snorkling) Rp. 2.500.000,- Total Rp. 5.000.000,- ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat nelayan disekitar lokasi usaha/kegiatan yang sering memanfaatkan batu karang untuk keperluan komersil maupun yang merusaknya karena membom ikan disekitarnya. Nelayan dibangkitkan kesadarannya akan pentingnya kelestarian terumbu karang sebagai habitat biota perairan sehingga ketersediaan ikan akan terus ada dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Selain itu nelayan juga diberdayakan dalam proses pembuatan karang sintetis sehingga terlibat langsung mulai dari pembuatannya hingga pengawasannya. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Jalur kanal TPI Bungku yang akan melalui habitat terumbu karang dan padang lamun akan di desain sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang masih alami dan dalam kondisi baik. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. D. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi, limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap pasca-konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan. ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah diuraikan pada bahagian terdahulu. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya 1. Dampak Terbukanya Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha 2. Dampak Peningkatan Pendapatan Penduduk 3. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat Ketiga dampak komponen sosial ekonomi dan budaya diatas secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku. d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat Dampak Gangguan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Dampak komponen kesehatan lingkungan dan masyarakat diatas secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku. 5.1.3. Tahap Pasca Konstruksi a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia 1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi adalah berupa masuknya masa pencemar dari kemungkinkan terjadinya rembesan limbah cair dari operasional TPI Modern Bungku ke badan air Laut Teluk Tolo, menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air laut di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dan dapat menyebar ke sekitarnya. b.) Sumber Dampak Sumber dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap operasional adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah : Untuk air laut adalah baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Lampiran III Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Untuk air permukaan adalah batas baku mutu kualitas air Kelas I (satu), yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Untuk air limbah adalah baku mutu untuk kegiatan perdagangan dan jasa berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor : 14 Tahun 2003, Tentang Baku Mutu Air Dalam Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah . 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah untuk: Menanggulangi dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di lokasi, terutama parameter : BOD5, COD, TSS, Minyak dan lemak, Oksigen terlarut, Nitrogen total (sebagai N), sulfat, pH dan debit limbah maksimum. Menanggulangi penyebaran dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo ke lingkungan sekitar lokasi, terutama parameter kekeruhan, padatan tersuspensi, warna, pH, sulfat, BOD, COD dan Oksigen terlarut. Memperkecil dampak lanjutan penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo terhadap komponen lingkungan lain, seperti dampak terhadap habitat biota perairan, areal laut yang menjadi areal penangkapan ikan nelayan Kecamatan Bungku Tengah, perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan, kesehatan lingkungan dan masyarakat. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan tata letak dan desain dari bangunan rumah genset di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. ii.) Pengelolaan olie bekas. iii.) Pembangunan dan pengaturan IPAL (settling pond). Pelaksanaan ke-tiga rancangan kegiatan tersebut diuraikan sebagai berikut : i.) Pengaturan tata letak dan desain dari bangunan rumah genset di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Sesuai dengan rencana kegiatan yang akan dilakukan Pemerintah Kabupaten Morowali, untuk mendukung pelaksanaan kegiatan akan dibangun bangunan ruang mesin/rumah genset (engine room) di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, Rumah genset ini adalah menempati bagian belakang pada lantai 1 dari bangunan pasar bertingkat 3. Bangunan ini dirangcang untuk lokasi penempatan pembangkit daya listrik berupa generator-set (genset) berbahan bakar solar sebanyak 2 unit genset, masing-masing dengan kapasitas 500 KVA , sebagai sumber energi cadangan apabila sumber energi listrik dari PLN mengalami gangguan. Sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan lingkungan akan dilakukan pengaturan tata letak bangunan dan ruangan di dalam rumah genset. Bangunan ruang mesin (engine room) dirancang untuk dapat menampung 2 unit genset, masing-masing dengan kapasitas 500 KVA dan 1 unit tangki bahan bakar dengan kapasitas 80 MT, diameter 1.850 mm dan tinggi 5.480 mm. Lantai rumah genset diperkeras dengan beton dan masing-masing dilengkapi dengan saluran drainase dan kolam penangkap ceceran minyak atau olie bekas (oil trap). Pada bangunan ini, drainase untuk air permukaan dibuat terpisah dengan drainase kegiatan, drainase untuk air permukaan disalurkan ke luar sedangkan drainase kegiatan rumah genset disalurkan ke kolam penangkap ceceran minyak/olie. Dengan demikian ceceran minyak dan olie bekas dari kegiatan operasional genset tidak akan mencemari lingkungan sekitar. Kolam penangkap ceceran minyak atau olie bekas dibangun di belakang bangunan rumah genset atau lokasi strategis di sekitar bangunan rumah genset. Pembuatan oil trap ini terdiri dari 4 unit kolam yang disusun secara seri, dengan ukuran masing-masing 1 x 1 x 1,5 m, sehingga tiap kolam mampu menampung 1,5 m3, dengan kapasitas total sebesar 6 m3. Proses penangkapan ceceran minyak/olie pada oil trap yang akan dioperasikan ini dapat diuraikan sebagai berikut : Air dan limbah cair dari kegiatan rumah genset akan dialirkan masuk ke kolam I, di dalam kolam akan terjadi pemisahan secara fisik antara air dengan minyak/olie berdasarkan perbedaan berat jenis, minyak/olie akan mengapung atau naik ke permukaan kolam dan akan dimasukkan ke dalam drum tertutup dengan kapasitas isi 200 liter. Sedangkan air yang berada di bawah dari kolam I akan dialirkan ke kolam II untuk kembali dilakukan pemisahan, seterusnya akan dilakukan di kolam III dan IV. Lapisan minyak/olie yang mengapung di permukaan kolam dimasukkan ke dalam drum tertutup dengan kapasitas isi 200 liter. Air dari kolam terakhir (kolam IV) akan dialirkan ke saluran air yang menuju kolam pertama dari IPAL/kolam pengendapan (settling pond) yang juga akan dibangun di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, sebelum dialirkan ke perairan Laut Teluk Tolo. Volume minyak/olie yang tumpah atau tercecer diperkirakan tidak terlalu besar, jumlah yang cukup besar dapat berasal dari pergantian pemakaian olie mesin genset, diperkirakan mencapai 20-50 liter perbulan. Drum tertutup yang berisi minyak/olie bekas dari kolam I, II, III dan IV di simpan/ditumpuk pada lokasi penumpukan di bagian belakang rumah genset dan secara periodik, yaitu setiap 3 (tiga) bulan akan diangkut dengan menggunakan truck pengangkut untuk dikembalikan kepada pihak produsen untuk dilakukan pengolahan dan pengelolaan lebih lanjut. ii.) Pengelolaan Olie Bekas Pengelolaan olie bekas dilakukan dengan menampung sisa olie bekas yang berasal dari kegiatan pada rumah genset di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dalam drum tertutup dan akan dikembalikan kepada pihak penjual untuk dilakukan pengolahan dan pengelolaan lebih lanjut. iii.) Pembangunan Dan Pengaturan IPAL (Settling Pond) Lamanya dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi tergolong cukup lama, sesuai dengan fungsinya sebagai Pusat Perdagangan Kabupaten Morowali, maka kegiatan operasional TPI Modern Bungku akan tetap berlansung selama belum terdapat perubahan atau terjadinya pemindahan lokasi pasar. Untuk mengurangi terjadinya dampak penurunan kualitas air di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, akan dilakukan pembangunan IPAL sebagai muara dari semua saluran air dan limbah cair yang terdapat atau dihasilkan oleh semua bangunan yang ada di lokasi TPI Modern Bungku. Setelah dilakukan pengendapan, selanjutnya air dari kolam pengendapan terakhir dialirkan melalui saluran terbuka ke Laut Teluk Tolo. IPAL yang direncanakan adalah berupa pembangunan kolam pengendapan (settling pond) yang terdiri dari 4 (empat) unit kolam yang disusun secara seri di ujung saluran utama dari saluran umum kota yang menempati sudut paling Barat di belakang dari lokasi pencadangan rencana usaha dan/atau kegiatan, tepatnya terdapat di sisi Barat rencana pembangunan Ruko Lantai 2 Samping Kiri. Kolam pengendapan yang akan dibangun adalah terdiri dari 4 (empat) unit kolam yang disusun secara seri, dengan ukuran masing-masing 25 x 20 x 3 m, sehingga 1 unit kolam mampu menampung 1,500 m3 limbah cair beserta lumpur, atau dengan kapasitas total dapat menampung 6.000 m3 limbah cair beserta lumpur. Seperti pembangunan jaringan drainase maka pembangunan kolam pengendapan dirancang untuk mampu menampung dan memproses semua air larian di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Keberadaan IPAL ini diharap dapat mencegah penyebaran limbah cair dari aktifitas kegiatan di TPI Modern Bungku secara keseluruhan secara langsung ke badan air Laut Teluk Tolo, limbah cair terlebih dahulu akan diendapkan di IPAL untuk selanjutnya dialirkan ke laut. Proses pengolahan air limbah pada IPAL yang akan dibangun dapat diuraikan sebagai berikut : Air yang berasal dari semua kegiatan dan bangunan yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan akan dialirkan melalui saluran drainase utama masuk ke kolam pengendapan I (kolam I) dan diendapkan selama 78 jam, untuk memisahkan endapan yang berukuran besar, selanjutnya air dari kolam I akan dialirkan secara over flow masuk ke kolam II, III dan IV. Untuk mempercepat proses penjernihan, berupa pemisahan dan penetralan air limbah diberikan perlakuan dengan cara penambahan bahan-bahan kimia, berupa flocculant/koagulan, terdiri dari Tawas (Al2(SO4)3) dan Kapur (Ca(OH)2) yang berfungsi untuk mengikat butiran-butiran endapan yang halus menjadi butiran endapan yang lebih kasar, sehingga endapan yang besar akan jatuh secara gravitasi ke dasar kolam. Tawas dan kapur didapat dengan membeli dari pihak ketiga. Jumlah tawas dan kapur yang ditambahkan ke kolam pengendapan didasarkan atas perhitungan tingkat kekeruhan dan kemasaman air limbah yang tertampung dalam kolam pengendapan. Analogi dari kegiatan sejenis jumlah penambahan tawas adalah 0,250,50 Kg untuk 1 m3 limbah cair yang diharap dapat mengendapkan lumpur dalam waktu 12 jam. Sesuai dengan kapasitas kolam, maka ketebalan lumpur pada saat kolam terisi penuh adalah sekitar 2 m. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan lama waktu pengisian sedimen pada satu kolam sampai penuh adalah 36 hari. Volume limbah cair yang akan diolah atau yang akan masuk ke dalam IPAL diperkirakan sesuai dengan kebutuhan dan jumlah pemakaian air pada semua kegiatan dari semua bangunan yang ada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan TPI Modern Bungku adalah mencapai 6.000 m3/hari, masing-masing untuk kebutuhan bangunan pasar kering (kios dan lods) dan perkantoran sebesar 1.800 m3/hari, untuk kebutuhan pasar basar (kios dan lods) diperkirakan sebesar 4.200 m3/hari. Volume limbah cair ini dapat meningkat pada saat hari hujan atau musim penghujan, karena pembangunan sistem drainase dari semua lokasi dan bangunan yang ada pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan TPI Modern Bungku adalah IPAL. Pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan TPI Modern Bungku di tepi sekeliling areal akan dibangun saluran drainase guna menampung air larian. Terdapat tiga cabang saluran yang alirannya dirancang dengan arah Utara-Selatan dan kemudian mengalir ke saluran drainase utama. Semua saluran dari semua bangunan yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan akan dihimpun pada sistem saluran utama melalui saluran cabang. Saluran utama mengalir dari Barat Ke Timur dengan penampang melintang 42 m2, aliran rata-rata dari saluran ini dirancang sebesar 75.000 m3/jam. Diperkirakan dimensi dari sistem saluran drainase dan IPAL yang akan dibangun dapat berfungsi dengan baik dan dapat menyalurkan, menampung serta mengolah air limbah dan air larian pada keadaan curah hujan tinggi, sesuai dengan data iklim pada lokasi kegiatan rata-rata curah hujan bulanan tertinggi selama 10 tahun terakhir (1991-2001) adalah mencapai 516 mm pada bulan Desember. Padatan yang terakumulasi di dalam kolam akan dikeruk dengan excavator dan dengan menggunakan dump truck lumpur hasil kerukan diangkut ke lokasi penimbunan di sekitar lokasi IPAL untuk proses pengeringan. Dari lokasi penimbunan setelah kering selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai bahan urug (quary) yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan perbaikan dan pemeliharaan jalan ataupun untuk keperluan pengurukan lainnya. Setelah dilakukan pengendapan, selanjutnya air dari kolam terakhir IPAL (kolam IV) dialirkan ke kolam kontrol. Kolam kontrol ini dibangun dengan ukuran 10 x 10 x 2 m dan pada kolam ini akan dilakukan pemeliharaan ikan mas atau jenis ikan lainnya. Setelah melewati kolam kontrol selanjutnya air limbah yang sudah melewati semua tahapan pengolahan tersebut dialirkan melalui saluran drainase terbuka ke badan air Laut Teluk Tolo. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi dilakukan pada : I. Lokasi pembangunan IPAL. II. Lokasi pembangunan rumah genset. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan operasional TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Biaya pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Morowali sebagai Pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan, adalah berupa biaya investasi untuk pembuatan IPAL, biaya operasional pemeliharaan dan biaya personil tenaga pelaksana. Biaya investasi untuk pembangunan IPAL terdiri dari : Pembuatan IPAL = Rp. 1.000.000.000,- Pembuatan saluran dan pipanisasi = Rp. 300.000.000, Total biaya = Rp. 1.300.000.000, Biaya operasional terdiri dari biaya pengadaan bahan kimia, biaya pemeliharaan dan biaya personil tenaga pelaksana per bulan, terdiri dari : Biaya pengadaan bahan yang dipergunakan : Tawas, dengan jumlah kebutuhan 300 kg = Rp. 750.000,- Kapur/caustic soda, kebutuhan 300 kg = Rp. 600.000,- Total biaya = Rp. 1.350.000,- Biaya personil untuk operasionil dan pemeliharaan IPAL dengan jumlah kebutuhan sebanyak 2 tenagakerja, diperkirakan sebesar Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) setiap bulan. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Ambien Peningkatan Kebauan Dan Kebisingan 3. Dampak Gangguan Lalulintas 4. Peningkatan Sarana Dan Prasarana Ketiga dampak komponen Geo-fisik kimia secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL- UPL TPI Bungku. b. Komponen Lingkungan Biologi A. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan 1.) Dampak Penting dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari kemungkinan terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada saat pelaksanaan operasional dan pemeliharaan TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya, memungkinkan terdapatnya rembesan limbah yang akan memasuki badan air, menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan dapat menyebar ke sekitarnya. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan peningkatan kekeruhan, muatan padatan tersuspensi, residu terlarut dan peningkatan pH, yang akhirnya menyebabkan terganggunya habitat biota perairan, terjadinya penurunan kelimpahan, penurunan nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan sekitarnya. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur dampak gangguan habitat biota perairan terganggunya habitat biota perairan adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos, di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan nekton (ikan) dan di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan Pasar Semi Modern Bungku. Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk Tolo ke lokasi lingkungan sekitarnya. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan habitat biota perairan sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder. Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan tata letak dan desain dari bangunan rumah genset di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. ii.) Pengelolaan olie bekas. iii.) Pembangunan dan pengaturan IPAL (settling pond). 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi sama dengan lokasi pengelolaan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi, yang akan dilakukan pada : I. Lokasi pembangunan IPAL. II. Lokasi pembangunan rumah genset. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan operasional Pasar Semi Modern Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. B. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove 1.) Dampak Penting dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan dampak dari pembukaan dan pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI Bungku yang ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh sekitar 10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya proses pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya habitat satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan, penurunan nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan sekitarnya. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku. Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove ke lokasi lingkungan sekitarnya. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi adalah dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai, proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove. ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya. iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi TPI Bungku, yang akan dilakukan pada : I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan Tofoiso. II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa Matansala). 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung jawab Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. C. Dampak Gangguan Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang, produktifitas primer perairan menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton, sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pembuatan terumbu karang sintetis. ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : i.) Pembuatan terumbu karang sintetis. Pembuatan terumbu karang sintetis sebagai pengganti atas terumbu karang yang telah rusak baik akibat dari alam (eksisting) maupun akibat dari pembangunan kanal TPI Bungku. Bentuknya dapat berupa kubus, piramida maupun kerucut dan terbuat dari campuran beton. Diletakkan pada kotak jaring besi/nylon yang diberi pemberat. Dan pada tiap-tiap bentuk karang sintetis diikatkan masing-masing 1(satu) atau lebih karang hidup (soft coral). Lokasi peletakan kotak jaring karang sintetis ditempatkan sedekat mungkin dengan habitat terumbu karang yang ada karena selain mampu merangsang perkembangan karang sintetis juga kondisi salinitas dan intensitas penyinaran disekitar habitat terumbu karang sangat berpengaruh. Perkembangan dan pertumbuhan karang sintetis akan terlihat setelah 1-2 tahun kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik dan benar. Biaya pembuatan karang sintetis adalah sebagai berikut : Kotak jaring besi/nylon Rp. 1.000.000,- Semen dan kerikil Rp. 1.500.000,- Peralatan selam (snorkling) Rp. 2.500.000,- Total Rp. 5.000.000,- ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat nelayan disekitar lokasi usaha/kegiatan yang sering memanfaatkan batu karang untuk keperluan komersil maupun yang merusaknya karena membom ikan disekitarnya. Nelayan dibangkitkan kesadarannya akan pentingnya kelestarian terumbu karang sebagai habitat biota perairan sehingga ketersediaan ikan akan terus ada dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Selain itu nelayan juga diberdayakan dalam proses pembuatan karang sintetis sehingga terlibat langsung mulai dari pembuatannya hingga pengawasannya. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Jalur kanal TPI Bungku yang akan melalui habitat terumbu karang dan padang lamun akan di desain sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang masih alami dan dalam kondisi baik. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. D. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi, limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap pasca-konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan. ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah diuraikan pada bahagian terdahulu. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat Dampak Penurunan Estetika E. Pengelolaan Sampah 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak penurunan estetika adalah terjadinya penyebaran dan penumpukan sampah secara serampangan sehingga mengganggu kenyamanan dan kerapian lingkungan pasar. Dampak ini terutama dapat disebabkan oleh penerapan sistem penanganan sampah yang kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar bangunan, kios, lods atau berserakan pada ruang perkantoran dan ruang terbuka di dalam lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pedagang maupun pengunjung TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah atau volume sampah yang dihasilkan, terutama sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan pedagang. Dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan pengelolaan sampah yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak pedagang dan pengunjung pasar terhadap kebersihan lingkungan pasar atau kelalaian dari pihak pengelola terutama petugas kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di lokasi TPI. b.) Sumber Dampak Sumber dampak penurunan estetika pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional TPI, sarana dan prasarana. Sampah organik dan anorganik Kegiatan pemeliharaan TPI, sarana dan prasarana. 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur dampak penurunan estetika adalah : Kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya. Ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pengelolaan dampak penurunan estetika adalah untuk : Menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya. Menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup Penggelolaan dampak penurunan estetika dirancang berdasarkan pendekatan sosial ekonomi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : a. Pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku. b. Sosialisasi upaya pengelolaan kebersihan, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. Rancangan kedua kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut: Pengawasan Sistem Pengelolaan Dan Penanganan Sampah TPI Modern Bungku Untuk setiap bangunan kios, lods dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas pembuangan sampah. Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah lokal, dengan penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat menampung seluruh sampah dari semua bangunan yang ada di dalam lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai dengan prakiraan volume limbah padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2 tempat pembuangan sampah lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di sudut kanan dan kiri. Dari tempat pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Cara penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara sampah basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan dan ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang sudah terkumpul ini selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan ke lokasi tempat pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan sampah lokasl ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke TPA. Volume sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini diperkirakan masing-masing untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari dan sampah kering dapat mencapai 5-10 m3/hari. Sesuai dengan fungsinya sebagai Pusat Pelelangan Ikan maka kegiatan pengelolaan terdapat dampak penurunan estetika lingkungan yang bersumber dari pengelolaan dan sistem penanganan sampah yang dihasilkan dari semua aktifitas lelang di TPI perlu menjadi prioritas dalam pelaksanaan dan pengawasan yang baik dari Badan Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga dapat tercipta lingkungan yang bersih, rapi dan sehat serta terciptanya kesadaran dari semua pelaku pasar untuk senantiasa menjadi kebersihan dan keindahan di lokasi TPI. ii.) Sosialisasi Upaya Pengelolaan Kebersihan, Keindahan, Ketentraman, Keamanan Dan Kenyamanan Lingkungan TPI Modern Bungku Dan Sekitarnya Sosialisasi untuk menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan pasar dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya dilakukan oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku dengan bekerja sama dengan Dinas Kebersihan, dinas Kesehatan dan Instansi terkait lainya seperti rumah sakit/puskesmas. Kegiatan ini adalah berupa kegiatan penerangan dan penyuluhan tentang cara penanganan sampah dan upaya menjaga kebersihan, kerapian, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya yang ditujukan kepada semua pelaku di lokasi TPI Modern Bungku, baik nelayan, pengelola TPI Modern Bungku, pedagang atau pengunjung untuk menanamkan kesadaran untuk senantiasa menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan pasar dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya. 5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Lokasi pengelolaan dampak penurunan estetika pada tahap pasca konstruksi adalah pada lokasi TPI Modern Bungku dan lingkungan sekitarnya. 6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak penurunan estetika mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan operasional TPI Modern Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan. 7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembiayaan pengelolaan dampak penurunan estetika adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Pelaksanaan kegiatan pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku merupakan peningkatan dari kegiatan penanganan sampah TPI Modern Bungku yang sudah direncanakan oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga biaya pelaksanaan kegiatan ini hanya merupakan biaya operasionil bagi petugas pelaksana pengawas di lapangan, diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- pertahun dan biaya operasionil personil dan peralatan untuk pelaksana kegiatan sosialisasi diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- Sedangkan biaya investasi berupa biaya pengadaan peralatan dan petugas kebersihan untuk penanganan sampah sudah termasuk dalam anggaran biaya operasional TPI Modern Bungku secara keseluruhan. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pengelolaan dampak penurunan estetika adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pengelolaan dampak penurunan estetika dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak penurunan estetika akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. 5.2. Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup 5.2.1. Tahap Pra-Konstruksi a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen lingkungan geo-fisik kimia. b. Komponen Lingkungan Biologi Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia, kegiatan pada tahap pra-konstruksi ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen lingkungan biologi. c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya 1. Dampak Keresahan Pedagang 2. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat Pada kegiatan ini menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan sosial ekonomi dan budaya yang secara rinci penjelasannya dapat dilihat pada dokumen UKL- UPL TPI Bungku. d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia dan biologi, kegiatan pada tahap pra- konstruksi ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen kesehatan lingkungan dan masyarakat. 5.2.2. Tahap Konstruksi a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia 1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo A. Pemantauan Dampak Abrasi Pantai 1.) Dampak Besar Dan Penting Yang Dipantau Terjadinya abrasi pantai Teluk Tolo pada tahap konstruksi bersamaan dengan terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi Pembangunan TPI Bungku yang merupakan dampak komponen kimia-fisika. Sedangkan untuk dampak komponen geo- fisika adalah terjadinya perubahan bentang alam atau pengikisan atau abrasi pantai sebagai turunan dari terjadinya peningkatan laju erosi tanah dan laju sedimentasi ke badan air Laut Teluk Tolo sebagai badan air penerima limbah dari lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Kegiatan pembersihan dan pematangan lahan, pengendapan lumpur (pendangkalan) dilanjutkan dengan pembangunan TPI, sarana dan prasarana (kanal) menyebabkan terjadinya pergeseran ruang/volume perairan serta perubahan arah arus dan ombak yang mencari arah hempasan ke daerah pesisir pantai lainnya sehingga meningkatkan laju pergerusan tanah garis pantai. Hasil perhitungan laju aliran permukaan pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan adalah 2,60 m3/hari-hujan. Prakiraan erosi aktual yang dihitung dengan metode USLE adalah 9,29 ton/ha/th, sehingga diketahui besarnya pelumpuran ke badan air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan atau kegiatan adalah sebesar 58,7 x 10-4 mg/l. Sehingga mempengaruhi laju pendangkalan perairan. Namun demikian terjadinya abrasi pantai masih dimungkinkan dari akumulasi meningkatnya volume air laut akibat pemanasan global dan hilangnya vegetasi mangrove yang merupakan zona buffer/pelindung garis pantai dari hempasan ombak laut. 2.) Sumber Dampak Sumber dampak abrasi pantai Laut Teluk Tolo adalah dari kegiatan : Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang. Hilangnya vegetasi mangrove akibat pembukaan dan pematangan lahan. Konstruksi fisik bangunan kanal TPI. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung. 3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo terdiri dari sifat geo-fisika, yaitu : Parameter sifat geologi, berupa : garis kontur, struktur tanah, gletser Parameter sifat fisika berupa : kekeruhan, padatan (beton), padatan terlarut, padatan tersuspensi dan pemanasan global. 4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo adalah untuk: Mengetahui terjadinya dampak abrasi pantai Teluk Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan nilai parameter kualitas air memenuhi tolok ukur ambang batas baku mutu yang ditetapkan. Mengetahui dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa gangguan terhadap habitat biota perairan, gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah, sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak abrasi pantai Teluk Tolo, adalah : Baku mutu kualitas air laut yang ditetapkan untuk biota laut (budidaya perikanan) berdasarkan Lampiran VII Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : KEP-02/MENKLH/ 6/1988. 5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data i.) Metode Pengumpulan Data Metode pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo adalah dengan melakukan pengamatan langsung/secara visual di lapangan terhadap tingkat kekeruhan, kecerahan, warna dan ceceran minyak dan lemak serta pengambilan contoh/sampel air secara langsung di lapangan. Contoh air tersebut kemudian dianalisa di laboratorium untuk diketahui nilai parameter fisik dan kimianya. ii.) Metode Analisis Data Hasil analisa dari semua parameter yang dipantau selanjutnya dibuat tabulasi untuk dibandingkan dengan kondisi rona awal sebelum dilakukannya rencana usaha dan/atau kegiatan, sehingga diketahui seberapa besar pengaruh adanya rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Kemudian dilakukan perbandingkan hasil analisis yang didapat dengan baku mutu yang diizinkan/disyaratkan untuk mengetahui besarnya pengaruh rencana usaha dan/atau kegiatan dan mengukur tingkat keberhasilan dari upaya pengelolaan yang dilakukan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pada setiap waktu pemantauan dilakukan. b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo akan dilakukan pada 3 (tiga) stasiun pemantauan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang dapat dilihat pada Tabel 5.4 Gambaran secara rinci mengenai lokasi titik/stasiun pemantauan kualitas air Laut Teluk Tolo dapat dilihat dalam peta lokasi pemantauan pada Gambar 3.3. Tabel 5.4. Lokasi Stasiun Pemantauan Kualitas Air Laut Teluk Tolo No. Kode Sampel Koodinat Keterangan lokasi 1. KA-1 122 19 36.52 BT. 3 04 46.44 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 2. KA-2 122 19 41.31 BT. 3 04 58.88 LS. Air Laut Teluk Tolo di belakang lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 3. KA-3 122 19 58.25 BT. 3 05 04.72 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan Pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo akan dilakukan pada saat dimulainya kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional, dengan frekwensi pemantauan 3 (tiga) bulan 1 (satu) kali. 6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kepala Bagian K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Ambien, Peningkatan Kebauan Dan Kebisingan Sumber dampak penurunan kualitas udara dan peningkatan kebisingan, metode penanganannya secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku. b. Komponen Lingkungan Biologi B. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan 1.) Dampak Besar Dan Penting Yang Dipantau Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan Pemantauan dampak turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari kegiatan pembersihan dan pematangan lahan. Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses fotosintesa biota produser, yaitu phytoplankton terhalang, produktifitas primer perairan menurun, daya absorsi phytoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan kelimpahan phytoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman phytoplankton, sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan. Jika dilihat dari luasan dan waktu terjadinya, dampak pada tahap ini relatif kecil dan bersifat sementara yaitu pada saat musim hujan dan sangat tergantung kepada besarnya dampak primer, berupa laju erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas air. Dengan dilaksanakannya upaya pengelolaan yang baik terhadap dampak primer, maka dampak terhadap biota perairan dapat dikurangi. Dampak akan berakhir setelah kegiatan pembersihan, pematangan lahan dan kegiatan konstruksi selesai dilaksanakan dan upaya revegetasi yang dilakukan pada areal terbuka di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dapat berfungsi dengan baik. 2.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap konstruksi adalah kegiatan : Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang. Pembukaan dan pematangan lahan. Konstruksi fisik bangunan TPI . Pembangunan sarana dan prasarana pendukung. Pengoperasian dermaga darurat. 3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah : Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos pada perairan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). Keberadaan nekton (ikan) pada perairan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak dampak gangguan habitat biota perairan adalah untuk : Mengetahui terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengetahui terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk Tolo ke lingkungan sekitarnya. Memantau ke-efektifan dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. 5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data i.) Metode Pengumpulan Data (a.) Plankton Pemantauan Pengambilan data primer dilaksanakan dengan pengamatan dan pengambilan sampel Plankton secara lansung di lapangan dan selanjutnya dibawa ke laboratorium yang dirujuk untuk diidentifikasi. Pengambilan sampel Plankton dilakukan dengan menggunakan Plankton Net No. 25 pada lokasi/titik pengambilan sampel yang telah ditetapkan secara komposit. Volume air yang disaring pada plankton net adalah sebanyak 50 liter sehingga diperoleh 30 ml air tersaring. Air yang tersaring tersebut dimasukkan ke dalam botol contoh dan diberi pengawet berupa lugol 1 ml/100 cc air contoh untuk kemudian diberi label dan dibawa ke laboratorium untuk di-identifikasi di bawah mikroskop. (b.) Benthos Pemantauan Pengambilan data primer dilaksanakan dengan pengamatan dan pengambilan sampel Benthos secara lansung di lapangan dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengambilan sampel Benthos dilakukan dengan menggunakan Ecjkman Grab yang berukuran 20 x 30 cm2 pada lokasi/titik pengambilan sampel yang telah ditetapkan secara komposit. Setiap contoh substrat yang didapat dari masing-masing titik pengambilan sampel di masukkan ke dalam kantong plastik dan diberi pengawet berupa Formalin 4%, 1 ml/100 cc air contoh (4 tetes) untuk kemudian diberi label dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. (c.) Nekton Pemantauan Pengambilan data primer dilaksanakan dengan pengamatan, inventarisasi dan identifikasi langsung di lapangan dan pengambilan sampel untuk jenis-jenis yang belum diketahui secara pasti di lapangan. Pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara untuk mendapatkan informasi dari masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Pengumpulan data sekunder dilakukan terhadap laporan dan hasil penelitian tentang Nekton yang pernah ada sebelumnya di lokasi studi ataupun studi literatur lainnya yang diambil dari berbagai Instansi terkait. ii.) Metode Analisis Data (a.) Kelimpahan Plankton Komposisi jenis Plankton ditentukan dengan cara analisis dan identifikasi yang dilaksanakan di laboratorium. Sedangkan perhitungan kelimpahan Plankton berdasarkan metode Microtransect (Lackey, 1984), sebagai berikut : N = n x 1/P x OC/OP x VS/VP x 1/V Keterangan : N = Jumlah individu Plankton per-liter. N = Jumlah individu Plankton hasil pengamatan. P = Jumlah lapang pandang. OC = Luas gelas penutup (mm2). OP = Luas satu lapang pandang (mm2). VS = Volume air contoh yang tersaring (ml). VC = Volume air di bawah gelas penutup (ml). V = Volume air yang disaring (l). (b.) Kelimpahan Benthos Komposisi jenis seluruh organisme Benthos baik Makro/Mikro-Benthos yang diambil pada satu luasan transek/alat Ecjkman Grab diidentifikasi dan dihitung jumlahnya yang dilaksanakan di laboratorium. Sedangkan kelimpahan Benthos dihitung dari jumlah individu per satuan luas transek/alat, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : A Keterangan : Y = ----- Y = Kelimpahan Benthos (individu/m2). b a = Jumlah individu benthos hasil pengamatan. b = Luas alat Eijkman-grab/transek pengambilan contoh (m). (c.) Indeks Keanekaragaman Jenis/Diversitas Indeks keanekaragaman jenis/diversitas untuk Plankton dan Benthos dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan Shannon dan Wiener (1949) dalam Krebs (1972) : d = - ( pi . 2 log pi ) Keterangan : d = Indeks Keanekaragaman Shannon. Ni ni = Jumlah Individu jenis ke-i. pi = --------- N = Jumlah individu seluruh jenis. N Indeks keanekaragaman ini akan meningkat nilainya, jika jumlah jenis semakin banyak (Krebs, 1978), berarti semakin besar indeks keragaman semakin baik keadaan lingkungan perairan. (e.) Indeks Keseragaman D Keterangan : E = ------------ E = Indeks kemerataan jenis (berkisar antara 0-1). d max d = Indeks keanekaragaman Shannon. d max = Indeks keanekaragaman maksimum. d max = 2 log S S = Jumlah jenis (taxa). Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 sampai 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman mencerminkan ketidaksamaan jumlah jenis biota yang hidup atau makin kecil indeks keseragaman makin tercemar suatu lingkungan perairan. (f.) Indeks Dominansi C = (ni/N)2 Keterangan : C = Indeks dominansi. ni = Jumlah individu jenis ke i. N = Jumlah individu seluruh jenis. Dominansi merupakan gambaran jenis biota yang paling banyak dijumpai. Jenis yang paling banyak ini dapat menentukan atau mengendalikan jenis yang lain (Odum, 1971). Makin tinggi indeks dominansi berarti pada ekosistem perairan tersebut terdapat spesies yang dominan. (g.) Nekton Analisis data Nekton adalah berupa indentifikasi jenis yang ditemukan dari pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan atau dari informasi masyarakat serta dokumentasi data sekunder. Indentifikasi dilaksanakan dengan menggunakan kunci determinasi untuk mengetahui jenis. Selanjutnya dilakukan perhitungan perkiraan jumlah dan keberadaan jenis Nekton yang hidup di lokasi kegiatan. Hasil analisa dan perhitungan yang didapat selanjutnya dibuat tabulasi untuk dibandingkan dengan kondisi rona awal sebelum dilakukannya rencana usaha dan/atau kegiatan, sehingga diketahui seberapa besar pengaruh adanya rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap habitat biota perairan dan pengaruh rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap upaya pengelolaan yang dilakukan dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pada setiap waktu pemantauan dilakukan. b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah sama dengan lokasi pemantauan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang akan dilakukan pada 3 (tiga) titik/stasiun pemantauan pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku, yang dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Lokasi Stasiun Pemantauan Biota Perairan No. Kode Sampel Koodinat Keterangan lokasi 1. BA-1 122 19 36.52 BT.3 04 46.44 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 2. BA-2 122 19 41.31 BT.3 04 58.88 LS. Air Laut Teluk Tolo di belakang lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 3. BA-3 122 19 58.25 BT.3 05 04.72 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Selatan lokasi Rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Selain pada 3 lokasi pemantauan diatas, untuk pelaksanaan wawancara dan pengumpulan data sekunder, terutama dalam pengumpulan data tentang keberadaan ikan juga akan dilakukan pemantauan ke pusat pemukiman penduduk yang hidup/berprofesi sebagai nelayan di sekitar lokasi kegiatan, yaitu pada Desa Bungku, yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali. Gambaran secara rinci mengenai lokasi titik/stasiun pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan dapat dilihat dalam peta lokasi pemantauan pada Gambar 2.2. c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan Pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan dilakukan pada saat dimulainya kegiatan pada tahap konstruksi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional, dengan frekwensi pemantauan 3 (tiga) bulan 1 (satu) kali. 6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya Dampak terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha pada tahap konstruksi secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku. C. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove 1.) Dampak Penting dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan pemantauan dampak dari pembukaan dan pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI Bungku yang ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh sekitar 10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya proses pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya habitat satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan, penurunan nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan sekitarnya harus dipantau secara berkala. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku. Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove ke lokasi lingkungan sekitarnya. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap konstruksi adalah dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai, proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove. ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya. iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan. 5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap konstruksi terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi TPI Bungku, yang akan dilakukan pada : I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan Tofoiso. II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa Matansala). 6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional. 7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung jawab Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. D. Dampak Gangguan Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan pemantauan dampak turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang, produktifitas primer perairan menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton, sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pembuatan terumbu karang sintetis. ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : i.) Pembuatan terumbu karang sintetis. Pemantauan pembuatan terumbu karang sintetis sebagai pengganti atas terumbu karang yang telah rusak baik akibat dari alam (eksisting) maupun akibat dari pembangunan kanal TPI Bungku. Bentuknya dapat berupa kubus, piramida maupun kerucut dan terbuat dari campuran beton. Diletakkan pada kotak jaring besi/nylon yang diberi pemberat. Dan pada tiap-tiap bentuk karang sintetis diikatkan masing-masing 1(satu) atau lebih karang hidup (soft coral). Lokasi peletakan kotak jaring karang sintetis ditempatkan sedekat mungkin dengan habitat terumbu karang yang ada karena selain mampu merangsang perkembangan karang sintetis juga kondisi salinitas dan intensitas penyinaran disekitar habitat terumbu karang sangat berpengaruh. Perkembangan dan pertumbuhan karang sintetis akan terlihat setelah 1-2 tahun kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik dan benar. Biaya pembuatan karang sintetis adalah sebagai berikut : Kotak jaring besi/nylon Rp. 1.000.000,- Semen dan kerikil Rp. 1.500.000,- Peralatan selam (snorkling) Rp. 2.500.000,- Total Rp. 5.000.000,- ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat nelayan disekitar lokasi usaha/kegiatan yang sering memanfaatkan batu karang untuk keperluan komersil maupun yang merusaknya karena membom ikan disekitarnya. Nelayan dibangkitkan kesadarannya akan pentingnya kelestarian terumbu karang sebagai habitat biota perairan sehingga ketersediaan ikan akan terus ada dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Selain itu nelayan juga diberdayakan dalam proses pembuatan karang sintetis sehingga terlibat langsung mulai dari pembuatannya hingga pengawasannya. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Jalur kanal TPI Bungku yang akan melalui habitat terumbu karang dan padang lamun akan di desain sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang masih alami dan dalam kondisi baik. 5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. E. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi, limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan. ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah diuraikan pada bahagian terdahulu. 5.) Lokasi pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode pemantauan Lingkungan Hidup pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat Dampak Penurunan Estetika F. Pemantauan Pengelolaan Sampah 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak penurunan estetika adalah terjadinya penyebaran dan penumpukan sampah secara serampangan sehingga mengganggu kenyamanan dan kerapian lingkungan pasar. Dampak ini terutama dapat disebabkan oleh penerapan sistem penanganan sampah yang kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar bangunan, kios, lods atau berserakan pada barak kerja dan ruang terbuka di dalam lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pekerja maupun masyarakat sekitar TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah atau volume sampah yang dihasilkan dari aktifitas pekerja, terutama sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi. Dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan pengelolaan sampah yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak pekerja terhadap kebersihan lingkungan kerja atau kelalaian dari pihak pelaksana terutama petugas kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di lokasi TPI. b.) Sumber Dampak Sumber pemantauan dampak sampah pada tahap konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan konstruksi TPI, sarana dan prasarana. Sampah organik dan anorganik Aktifitas pelaksana konstruksi TPI, sarana dan prasarana. 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur pemantauan dampak sampah adalah : Kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya. Ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak sampah adalah untuk : Menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya. Menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup pemantauan dampak sampah dirancang berdasarkan pendekatan sosial ekonomi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : a. Pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku. b. Sosialisasi upaya pengelolaan kebersihan, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. Rancangan kedua kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut: Pengawasan Sistem Pengelolaan Dan Penanganan Sampah TPI Modern Bungku Untuk setiap bangunan kios, lods dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas pembuangan sampah. Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah lokal, dengan penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat menampung seluruh sampah dari semua bangunan yang ada di dalam lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai dengan prakiraan volume limbah padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2 tempat pembuangan sampah lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di sudut kanan dan kiri. Dari tempat pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Cara penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara sampah basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan dan ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang sudah terkumpul ini selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan ke lokasi tempat pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan sampah lokasl ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke TPA. Volume sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini diperkirakan masing-masing untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari dan sampah kering dapat mencapai 5-10 m3/hari. ii.) Sosialisasi Upaya Pengelolaan Kebersihan, Keindahan, Ketentraman, Keamanan Dan Kenyamanan Lingkungan TPI Modern Bungku Dan Sekitarnya Sosialisasi untuk menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya dilakukan oleh kontraktor pelaksana pembangunan TPI Bungku dengan bekerja sama dengan Dinas Kebersihan, dinas Kesehatan dan Instansi terkait lainya seperti rumah sakit/puskesmas. Kegiatan ini adalah berupa kegiatan penerangan dan penyuluhan tentang cara penanganan sampah dan upaya menjaga kebersihan, kerapian, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya yang ditujukan kepada semua pelaku di lokasi TPI Modern Bungku, baik nelayan, pengelola TPI Modern Bungku, pedagang atau pengunjung untuk menanamkan kesadaran untuk senantiasa menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan pasar dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya. 5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak sampah pada tahap konstruksi adalah pada lokasi TPI Modern Bungku dan lingkungan sekitarnya. 6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup pemantauan dampak sampah mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi TPI Modern Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan. 7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan pemantauan dampak sampah pada tahap konstruksi adalah tanggung jawab Kontraktor pelaksana pembangunan TPI Bungku. Pelaksanaan kegiatan pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Bungku merupakan peningkatan dari kegiatan penanganan sampah TPI Bungku yang sudah direncanakan oleh Bidang Cipta Karya PU Daerah Morowali, sehingga biaya pelaksanaan kegiatan ini hanya merupakan biaya operasionil bagi petugas pelaksana pengawas di lapangan, diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- pertahun dan biaya operasionil personil dan peralatan untuk pelaksana kegiatan sosialisasi diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- Sedangkan biaya investasi berupa biaya pengadaan peralatan dan petugas kebersihan untuk penanganan sampah sudah termasuk dalam anggaran biaya pengawasan PUD Cipta Karya Morowali secara keseluruhan. 8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak sampah adalah kontraktor pelaksana pembangunan TPI Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabid Cipta Karya PUD Morowali dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak sampah dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Bidang Cipta Karya PUD Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak sampah akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Bidang Cipta Karya PUD Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. 5.2.3. Tahap Pasca Konstruksi a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia 1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo A. Pemantauan Dampak Abrasi Pantai 1.) Dampak Besar Dan Penting Yang Dipantau Pada tahap pasca konstruksi perubahan bentang alam dan struktur pesisir pantai merupakan dampak turunan dari kemungkinan terjadinya penyebaran dampak primer seperti penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo yang menyebabkan terjadinya pendangkalan perairan, akibat dari aktifitas kendaraan, operasional dan pemeliharaan TPI, dan hilangnya sebagian vegetasi mangrove yang berfungsi sebagai penahan bahkan pemecah ombak di saat musim ombak. Hilangnya sebagian besar daerah genangan/ruang perairan akibat pembangunan kanal dan sarana prasarana TPI, sementara volume air laut terus bertambah akibat pencairan gunung es daerah kutub sehingga terjadi pergerusan daerah pesisir yang berada disekitar lokasi TPI. Pemerintah Kabupaten Morowali berupaya memantau dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan baik lingkungan Geo-fisik-kimia maupun biologi untuk menghindari terjadinya abrasi pantai. Disamping hal lain yang dewasa ini sangat disoroti oleh dunia internasional dimana sangat dituntut terhadap setiap pihak yang melakukan aktifitas pembangunan atau eksploitasi sumber daya alam supaya memperhatikan aspek-aspek lingkungan. 2.) Sumber Dampak Sumber dampak abrasi pantai pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional TPI , sarana dan prasarana. Kegiatan pemeliharaan TPI , sarana dan prasarana. 3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak abrasi pantai adalah : * garis pantai dilingkungan TPI dan sekitarnya (Tofuti Bahoruru). * keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan pemantauan dampak abrasi pantai adalah : * Mengetahui tingkat abrasi pada garis pantai dilingkungan TPI dan sekitarnya. * Mengetahui tingkat keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data Pengumpulan data untuk pemantauan dampak abrasi pantai dilakukan dengan pengamatan, wawancara dan observasi secara langsung ke masyarakat di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. i.) Wawancara Wawancara dilakukan terhadap 3 responden yang dipilih secara acak, terutama ditujukan kepada praktisi teknis, akademisi dan pemuka-pemuka masyarakat di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap abrasi pantai serta keberadaan TPI Modern Bungku. ii.) Observasi Bertujuan untuk memperhatikan berbagai gejala dan informasi mengenai abrasi pantai serta memperhatikan berbagai gejala sosial yang mungkin timbul seperti bibit konflik sosial baik secara kelompok maupun individu akibat adanya beroperasinya TPI Modern Bungku. b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak abrasi pantai akan dilakukan pada lokasi Lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya. Pemantauan akan dilakukan pada 8 (delapan) titik/stasiun pemantauan, yang dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6. Lokasi Stasiun Pemantauan Dampak abrasi pantai Pada Tahap Pasca Konstruksi No. Stasiun Pemantauan Keterangan lokasi 1. E-1 Pesisir pantai desa matansala. 2. E-2 Pesisir pantai kiri kanal TPI Bungku. 3. E-3 Pesisir pantai kanan kanal TPI Bungku. 4. E-4 Pesisir pantai kelurahan Matano. 5. E-5 Pesisir pantai kelurahan Marsaoleh.. 6. E-6 Pesisir pantai kelurahan Tofoiso. 7. E-7 Pesisir pantai Desa Tofuti. 8. E-8 Pesisir pantai Desa Bahoruru. c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan Pemantauan dampak abrasi pantai mulai dilakukan pada saat dimulainya kegiatan pada tahap pasca konstruksi sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku, dengan frekwensi pemantauan 1 (satu) tahun 2 (dua) kali. 6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak abrasi pantai adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak abrasi pantai dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak abrasi pantai akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Dan Peningkatan Kebisingan 3. Dampak Gangguan Lalulintas 4. Peningkatan Sarana Dan Prasarana Ketiga dampak komponen Geo-Fisik Kimia secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL- UPL TPI Bungku. b. Komponen Lingkungan Biologi B. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan 1.) Dampak Besar dan Penting Yang Dipantau Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari kemungkinan terjadinya penurunan kualitas air laut Teluk Tolo pasa saat pelaksanaan operasional dan pemeliharaan TPI , sarana dan prasarana lainnya yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, memungkinkan terdapatnya rembesan limbah yang akan memasuki badan air, menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan dapat menyebar ke sekitarnya. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan peningkatan kekeruhan, muatan padatan tersuspensi, residu terlarut dan peningkatan pH, yang akhirnya menyebabkan terganggunya habitat biota perairan, terjadinya penurunan kelimpahan, penurunan nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan sekitarnya, menimbulkan dampak turunan terhadap tingkat pendapatan penduduk dari hasil perikanan laut dan munculnya sikap persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan di daerah mereka. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos, di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan nekton (ikan) dan di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah untuk : Mengetahui terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengetahui terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk Tolo ke lingkungan sekitarnya. Memantau ke-efektifan dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. 5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data Metode pengumpulan dan analisis data yang dipakai untuk pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi sama dengan metode yang dipakai pada tahap konstruksi, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi sama dengan lokasi pemantauan yang dilakukan pada tahap konstruksi, yang dilakukan pada 3 (tiga) titik/stasiun pemantauan pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku, yang dapat dilihat pada Tabel 5.5. Selain pada 3 lokasi pemantauan diatas, untuk pelaksanaan wawancara dan pengumpulan data sekunder, terutama dalam pengumpulan data tentang keberadaan ikan juga akan dilakukan pemantauan ke pusat pemukiman penduduk yang hidup/berprofesi sebagai nelayan di sekitar lokasi kegiatan, yaitu pada Desa Bungku, yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali. Gambaran secara rinci mengenai lokasi titik pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan dapat dilihat dalam Gambar 3.3. c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan Pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan merupakan kelanjutan pemantauan yang telah mulai dilakukan pada tahap konstruksi dan pada tahap pasca konstruksi akan dilanjutkan sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku, dengan frekwensi pemantauan 3 (tiga) bulan 1 (satu) kali. 6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. C. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove 1.) Dampak Penting dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan dampak dari pembukaan dan pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI Bungku yang ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh sekitar 10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya proses pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya habitat satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan, penurunan nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan sekitarnya. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk : Mencegah terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku. Mencegah terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove ke lokasi lingkungan sekitarnya. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi adalah dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai, proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove. ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya. iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan. Proses pemantauan ketiga kegiatan diatas adalah sebagai berikut : i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove. Pemantauan lokasi baru penanaman mangrove yang berada di 2(dua) lokasi yakni ; pesisir pantai Kelurahan Tofoiso dan pesisir pantai Desa Matansala agar sesuai rencana semula. ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya. Pemantauan jenis mangrove yang ditanami dan metode penanamannya sesuai rencana semula dalam pengelolaan mangrove. iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan. Pemantauan pemeliharaan mangrove sesuai metode yang benar dan menjaga kelestarian mangrove sehingga tetap terpelihara dengan baik. 5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi TPI Bungku, yang akan dilakukan pada : I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan Tofoiso. II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa Matansala). 6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional. 7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung jawab Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. D. Dampak Gangguan Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang, produktifitas primer perairan menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton, sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan. Proses ini senantiasa dalam pemantauan. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya terus dipantau sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya terus dipantau sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan pengelolaan terhadap dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pemantauan terumbu karang sintetis. ii.) Pemantauan efektifitas sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : i.) Pemantauan terumbu karang sintetis. Perkembangan dan pertumbuhan karang sintetis akan terus dipantau hingga 1-2 tahun kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik dan benar. ii.) Pamantauan efektifitas sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. Efektifitas sosialisasi akan terus dipantau dalam aktifitas nelayan dan masyarakat. iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun. Pemantauan jalur kanal TPI Bungku yang melalui habitat terumbu karang dan padang lamun sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang masih alami dan dalam kondisi baik. 5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan lokasi Pemantauan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk Pemantauan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. E. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi, limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran. Pemantauan dilakukan terhadap keberadaan satwa langka yang melintasi lokasi kegiatan/usaha. b.) Sumber Dampak Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap pasca-konstruksi adalah kegiatan : Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Operasional IPAL. Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply). 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur yang dipakai dalam Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah : * Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). * Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan). 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk : Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan. ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan. Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah diuraikan pada bahagian terdahulu. 5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada : I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. 6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku. 7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. 8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya 1. Dampak Terbukanya Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha 2. Peningkatan Aktifitas Penangkapan Ikan 3. Dampak Peningkatan Pendapatan Penduduk 4. Dampak Peningkatan Pendapatan Daerah 5. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat Pemantauan lingkungan atas kelima dampak komponen sosial ekonomi dan budaya diatas dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat Dampak Penurunan Estetika F. Pemantauan Sampah 1.) Dampak Penting Dan Besar a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan Dampak penurunan estetika adalah terjadinya penyebaran dan penumpukan sampah secara serampangan sehingga mengganggu kenyamanan dan kerapian lingkungan pasar. Dampak ini terutama dapat disebabkan oleh penerapan sistem penanganan sampah yang kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar bangunan, kios, lods atau berserakan pada ruang perkantoran dan ruang terbuka di dalam lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pedagang maupun pengunjung TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah atau volume sampah yang dihasilkan, terutama sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan pedagang. Dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan pengelolaan sampah yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak pedagang dan pengunjung pasar terhadap kebersihan lingkungan pasar atau kelalaian dari pihak pengelola terutama petugas kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di lokasi TPI. b.) Sumber Dampak Sumber pemantauan dampak sampah pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan : Kegiatan operasional TPI, sarana dan prasarana. Sampah organik dan anorganik Kegiatan pemeliharaan TPI, sarana dan prasarana. 2.) Tolok Ukur Dampak Tolok ukur pemantauan dampak sampah adalah : Kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya. Ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Tujuan rencana pemantauan dampak sampah adalah untuk : Menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya. Menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. 4.) Pemantauan Lingkungan Hidup pemantauan dampak sampah dirancang berdasarkan pendekatan sosial ekonomi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut : a. Pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku. b. Sosialisasi upaya pengelolaan kebersihan, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya. Rancangan kedua kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut: Pengawasan Sistem Pengelolaan Dan Penanganan Sampah TPI Modern Bungku Untuk setiap bangunan kios, lods dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas pembuangan sampah. Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah lokal, dengan penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat menampung seluruh sampah dari semua bangunan yang ada di dalam lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai dengan prakiraan volume limbah padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2 tempat pembuangan sampah lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di sudut kanan dan kiri. Dari tempat pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Cara penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara sampah basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan dan ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang sudah terkumpul ini selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan ke lokasi tempat pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan sampah lokasl ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke TPA. Volume sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini diperkirakan masing-masing untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari dan sampah kering dapat mencapai 5-10 m3/hari. Sesuai dengan fungsinya sebagai Pusat Pelelangan Ikan maka kegiatan pemantauan dampak penurunan estetika lingkungan yang bersumber dari pengelolaan dan sistem penanganan sampah yang dihasilkan dari semua aktifitas lelang di TPI perlu menjadi prioritas dalam pelaksanaan dan pengawasan/pemantauan yang baik dari Badan Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga dapat tercipta lingkungan yang bersih, rapi dan sehat serta terciptanya kesadaran dari semua pelaku pasar untuk senantiasa menjadi kebersihan dan keindahan di lokasi TPI. ii.) Sosialisasi Upaya Pengelolaan Kebersihan, Keindahan, Ketentraman, Keamanan Dan Kenyamanan Lingkungan TPI Modern Bungku Dan Sekitarnya Sosialisasi untuk menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya dilakukan oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku dengan bekerja sama dengan Dinas Kebersihan, dinas Kesehatan dan Instansi terkait lainya seperti rumah sakit/puskesmas. Kegiatan ini adalah berupa kegiatan penerangan dan penyuluhan tentang cara penanganan sampah dan upaya menjaga kebersihan, kerapian, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya yang ditujukan kepada semua pelaku di lokasi TPI Modern Bungku, baik nelayan, pengelola TPI Modern Bungku, pedagang atau pengunjung untuk menanamkan kesadaran untuk senantiasa menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan pasar dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya. 5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup Lokasi pemantauan dampak sampah pada tahap pasca konstruksi adalah pada lokasi TPI Modern Bungku dan lingkungan sekitarnya. 6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup pemantauan dampak sampah mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan operasional TPI Modern Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan. 7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup Pembiayaan pemantauan dampak sampah adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Pelaksanaan kegiatan pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku merupakan peningkatan dari kegiatan penanganan sampah TPI Modern Bungku yang sudah direncanakan oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga biaya pelaksanaan kegiatan ini hanya merupakan biaya operasionil bagi petugas pelaksana pengawas di lapangan, diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- pertahun dan biaya operasionil personil dan peralatan untuk pelaksana kegiatan sosialisasi diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- Sedangkan biaya investasi berupa biaya pengadaan peralatan dan petugas kebersihan untuk penanganan sampah sudah termasuk dalam anggaran biaya operasional TPI Modern Bungku secara keseluruhan. 8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksana pemantauan dampak sampah adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan. b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawas pemantauan dampak sampah dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak sampah akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah. KEGIATAN : Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Mangrove SATUAN : Rp/ Ha NO JENIS KEGIATAN SATUAN VOLUME HARGA SATUAN JUMLAH I GAJI DAN UPAH 1 Pembuatan arah larikan HOK 8 40.000 320.000 2 Pemancangan ajir HOK 12 40.000 480.000 3 Pengangkutan bibit Batang 12.500 100 1.250.000 4 Penanaman Batang 500 12.500 6.250.000 5 penyulaman HOK 8 50.000 400.000 6 Pengawasan OB 8 45.000 360.000 II BAHAN-BAHAN 1 Pengadaan bibit Batang 12500 3.000 37.500.000 2 pengadaan patok arah larikan Buah/patok 132 5.000 660.000 3 pengadaan ajir Ajir 10.000 500 5.000.000 4 Pengadaan papan Nama Buah 1 500.000 500.000 5 Pengaan Gubuk kerja unit 1 4.500.000 4.500.000 6 pengadaan Sepatu Lapangan Pasang 8 75.000 600.000 7 Pengadaan Topi Lapangan Buah 8 25.000 200.000 8 Pengadaan pelindung Tanaman Buah 2000 3.000 6.000.000 9 Sewa perahun HOK 8 25.000 200.000 64.220.000 JUMLAH Harga Satuan (Rp.-) 1 3 4 5 6 A BIDANG, PENGAWASAN, MONEV I Dukungan Tim Teknis - Bidang Pengawasan, Monev 8 orang 12 Bulan 96 OT 100.000 9.600.000 I 9.600.000 II Pengawasan Reguler Tim Teknis Kab - 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000 - 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000 - 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000 - 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000 II 20.000.000 I + II 29.600.000 B OPERASINAL DAN PEMELIHARAAN (O&P) SANITASI DAN LIMBAH I - OP DRAINASE (Air Kotor) - Pek. Floor Drain (16 Bh) 1 Paket 150.000 150.000 - Pek Kran Air (Fukture unit) 8 Bh 1 Paket 100.000 100.000 - Pipa PVC 3/4" 94,19 M 55.880 5.263.337 - Pipa PVC 4 " 71,6 M 265.430 19.004.788 - Pek Water Treatment (15 M) 1 Paket 60.000.000 60.000.000 I 84.268.125 II - Dukungan OP (lain-lain) II 11.386.813 I + II 95.654.938 (A+B) 125.254.938 (A+B) 10% 12.525.493 RENCANA ANGGARAN BIAYA DUKUNGAN PENGAWASAN MONEV DAN O & P SANITASI TPI BU NGKU 2011 Satuan Terbilang (seratus tiga puluh tujuh juta tujuh ratus delapan puluh ribu empat ratus tiga puluh satu dua rupiah) 2 No Uraian Kegiatan Volume Total Harga (Rp.-) TOTAL 137.780.431,20 1 LAMPIRAN I MODUL TATA CARA REVEGETASI MANGROVE TPI BUNGKU 1. PENGANTAR Guna melengkapi penyusunan suplemen UKL-UPL telah disusun Modul Revegetasi Mangrove TPI Bungku yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kegiatan Pengelolaan Kerusakan Mangrove dalam Suplemen UKL-UPL. Modul ini disusun sebagai arahan atau pedoman bagi kegiatan revegetasi mangrove agar mendapat hasil yang maksimal dalam pelaksanaannya. Untuk itu modul ini diharapkan dapat digunakan oleh kontraktor pelaksana maupun oleh instansi terkait sebagai bahan monitoring dan evaluasi pelaksanaan revegetasi mangrove TPI Bungku. 2. Manfaat Umum Mangrove Mangrove bisa diartikan sebagai sebuah individu tumbuhan dan atau komunitas tumbuhan yang hidup di kawasan pesisir yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Salah satu ciri yang membedakan tumbuhan ini dengan tumbuhan lainnya adalah bahwa keberadaannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Pola sirkulasi pasang surut inilah yang kemudian menentukan pola penyebaran ekosistem ini, ke berbagai tempat yang lebih luas. Beberapa jenis mangrove mampu mendiami daerah yang memiliki pola penggenangan yang tinggi, namun ada juga sebagian lain yang hanya bisa hidup maksimal pada lokasi yang memiliki pola penggenangan yang rendah. Mangrove terdiri dari ratusan jenis yang sebagian besar bisa ditemukan di wilayah pesisir Indonesia. Salah satu fungsi mangrove adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang laut penyebab abrasi. Penelitian membuktikan bahwa keberadaan vegetasi mangrove dengan perakarannya yang rapat dan kuat, mampu memperkecil kekuatan hempasan gelombang pada saat menerjang pantai. Manfaat mangrove lainnya yaitu sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pencarian makan bagi ikan dan binatang laut lainnya, juga menjadikan mangrove sebagai obyek dari program-program rehabilitasi mangrove di pesisir Indonesia. Untuk itulah, propagul dan bibit mangrove sering ditanam untuk mengatasi permasalahan di kawasan pesisir. Berikut akan dijelaskan langkah-langkah dalam pelaksanaan revegetasi mangrove : a. Tahap Penyusunan Kelembagaan Langkah pertama yang harus dilakukan dalam melakukan pekerjaan revegetasi mangrove adalah pembentukan kelembagaan program revegetasi mangrove di Setelah kelembagaan terbentuk, langkah selanjutnya adalah me target, tolak ukur keberhasilan dan jadwal kerja program serta terkait dalam program revegetasi b. Tahap Penelitian Awal Kegiatan selanjutnya adalah kawasan pesisir di lokasi TPI Bungku sosial ekonomi, budaya, kependudukan, mata pencaharian, keanekaragaman jenis mangrove dan lain-lain yang berguna untuk mengetahui permasalahan bisa dipecahkan secara bersama langsung yang representatif tentang keanekarag c. Tahap Pembuatan Bedeng Tahapan selanjutnya adalah mulai menjalankan yang pertama, yaitu pembuatan bedeng persemaian mangrove. berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah distribusi bibit mangrove pada saat penanaman. Sel kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi bedeng. dapat dilihat pada Gambar 1.1. Gambar 1.1. : Pembuatan Bedeng di Lokasi TPI Bungku Informasi mengenai kondisi pasang surut menjaga sirkulasi air dan mengenali pola penggenangan di bedeng. Mengingat pembangunan bedeng sangat tergantung dengan pasang surut, maka suatu lokasi yang 2 pembentukan kelembagaan yang akan bertugas dalam melaksanakan mangrove di TPI Bungku. terbentuk, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan, target, tolak ukur keberhasilan dan jadwal kerja program serta koordinasi dengan revegetasi mangrove yang akan dilaksanakan. egiatan selanjutnya adalah penelitian awal untuk mengetahui kondisi ekologi TPI Bungku. Penelitian dilakukan oleh tim inti, yang meliputi studi sosial ekonomi, budaya, kependudukan, mata pencaharian, keanekaragaman jenis lain yang berguna untuk mengetahui permasalahan yang ada sehingga bisa dipecahkan secara bersama-sama dengan masyarakat setempat. Selain itu tentang keanekaragaman mangrove di lokasi TPI Bungku. ahapan selanjutnya adalah mulai menjalankan tahapan teknis rehabilitasi mangrove tan bedeng persemaian mangrove. Lokasi bedeng, dipilih yang berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah distribusi bibit mangrove pada saat penanaman. Selain itu, harus diperhatikan juga tentang kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi bedeng. Contoh pembuatan bedeng Gambar 1.1. : Pembuatan Bedeng di Lokasi TPI Bungku Informasi mengenai kondisi pasang surut yang tepat sangat dibutuhkan untuk menjaga sirkulasi air dan mengenali pola penggenangan di bedeng. Mengingat pembangunan bedeng sangat tergantung dengan pasang surut, maka suatu lokasi yang yang akan bertugas dalam melaksanakan rumuskan tujuan, koordinasi dengan instansi ui kondisi ekologi . Penelitian dilakukan oleh tim inti, yang meliputi studi sosial ekonomi, budaya, kependudukan, mata pencaharian, keanekaragaman jenis yang ada sehingga Selain itu penelitian TPI Bungku. tahapan teknis rehabilitasi mangrove Lokasi bedeng, dipilih yang berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah ain itu, harus diperhatikan juga tentang Contoh pembuatan bedeng yang tepat sangat dibutuhkan untuk menjaga sirkulasi air dan mengenali pola penggenangan di bedeng. Mengingat pembangunan bedeng sangat tergantung dengan pasang surut, maka suatu lokasi yang tidak memiliki pola sirkulasi pasang surut yang baik, sudah seha lokasi peletakan bedeng. Bedeng bisa dibuat dengan berbagai macam tipe, disesuaikan dengan kondisi, situasi, budaya setempat dan tentunya anggaran yang dimiliki. Pembangunan bedeng persemaian ditujukan untuk menyemaikan bentuk bedeng, diantaranya adalah bedeng tingkat dan bedeng tanpa tingkat. Bedeng Tingkat Bedeng ditinggikan beberapa sentimeter dari atas tanah dengan tujuan untuk menghindari pemangsaaan bibit mangrove oleh pemang Episesarma spp (Wideng) biasanya adalah jenis kepiting yang umum ditemukan di daerah mangrove, namun tidak terlalu melimpah sehingga bisa mengganggu kelulushidupan mangrove yang baru saja ditanam. Bedeng tingkat ini dibuat dari potongan bambu dan bisa dibuat beberapa buah dengan ukuran yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia. Sebagai naungan, bisa digunakan daun kelapa dan atau bahan penutup lainnya. mangrove tidak boleh terkena s pada kematian bibit mangrove yang sedang disemaikan. Kelebihan dari bedeng ini adalah konstruksinya yang kuat, bagus dan mampu bertahan selama kurang lebih 4 tahun. Dengan pemeliharaan bibit yang bai terbukti 90% bibit mangrove di MECoK, Teluk Awur Jepara, bisa tumbuh dengan sempurna. Sedangkan kelemahannya adalah biaya yang dibutuhkan untuk membangun bedeng tingkat sangat besar. Satu buah bedeng tingkat berukuran 2 m x 3 m dengan tinggi membutuhkan biaya sekitar Rp. 600.000. Padahal, setidaknya dibutuhkan enam buah bedeng untuk menyemaikan enam jenis mangrove. Bedeng Tanpa Tingkat Bedeng tanpa tingkat artinya, dasar bedeng tidak ditinggikan melainkan langsung menggunakan tanah sebagai dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa cepat dibangun dengan hanya membutuhkan biaya yang murah. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan benar, terbukti 90% bibit mangrove di MECoK juga bisa tumbuh dengan sempurna. Kelemahan dari bedeng jenis ini adalah bagi daerah persemaian yang memiliki kelimpahan kepiting yang besar, maka kelulushidupan bibit bisa mencapai minimal, apabila program pemeliharaan bibit mangrove tidak dijalankan secara optimal. Tanpa Bedeng Persemaian buah mangrove bisa juga 3 tidak memiliki pola sirkulasi pasang surut yang baik, sudah seharusnya tidak dipilih sebagai Bedeng bisa dibuat dengan berbagai macam tipe, disesuaikan dengan kondisi, situasi, budaya setempat dan tentunya anggaran yang dimiliki. Pembangunan bedeng persemaian ditujukan untuk menyemaikan buah-buah mangrove. Ada beberapa macam bentuk bedeng, diantaranya adalah bedeng tingkat dan bedeng tanpa tingkat. edeng ditinggikan beberapa sentimeter dari atas tanah dengan tujuan untuk menghindari pemangsaaan bibit mangrove oleh pemangsa misalkan kepiting. Kepiting jenis spp (Wideng) biasanya adalah jenis kepiting yang umum ditemukan di daerah mangrove, namun tidak terlalu melimpah sehingga bisa mengganggu kelulushidupan mangrove yang baru saja ditanam. buat dari potongan bambu dan bisa dibuat beberapa buah dengan ukuran yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia. Sebagai naungan, bisa digunakan daun kelapa dan atau bahan penutup lainnya. mangrove tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung karena akan mengakibatkan pada kematian bibit mangrove yang sedang disemaikan. Kelebihan dari bedeng ini adalah konstruksinya yang kuat, bagus dan mampu bertahan selama kurang lebih 4 tahun. Dengan pemeliharaan bibit yang bai terbukti 90% bibit mangrove di MECoK, Teluk Awur Jepara, bisa tumbuh dengan sempurna. elemahannya adalah biaya yang dibutuhkan untuk membangun bedeng tingkat sangat besar. Satu buah bedeng tingkat berukuran 2 m x 3 m dengan tinggi membutuhkan biaya sekitar Rp. 600.000. Padahal, setidaknya dibutuhkan enam buah bedeng untuk menyemaikan enam jenis mangrove. Bedeng tanpa tingkat artinya, dasar bedeng tidak ditinggikan melainkan langsung sebagai dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa cepat dibangun dengan hanya membutuhkan biaya yang murah. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan benar, terbukti 90% bibit mangrove di MECoK juga bisa tumbuh dengan sempurna. ini adalah bagi daerah persemaian yang memiliki kelimpahan kepiting yang besar, maka kelulushidupan bibit bisa mencapai minimal, apabila program pemeliharaan bibit mangrove tidak dijalankan secara optimal. Persemaian buah mangrove bisa juga dilakukan tanpa bedeng, dengan cara buah rusnya tidak dipilih sebagai Bedeng bisa dibuat dengan berbagai macam tipe, disesuaikan dengan kondisi, situasi, budaya setempat dan tentunya anggaran yang dimiliki. Pembangunan bedeng buah mangrove. Ada beberapa macam edeng ditinggikan beberapa sentimeter dari atas tanah dengan tujuan untuk sa misalkan kepiting. Kepiting jenis spp (Wideng) biasanya adalah jenis kepiting yang umum ditemukan di daerah mangrove, namun tidak terlalu melimpah sehingga bisa mengganggu kelulushidupan buat dari potongan bambu dan bisa dibuat beberapa buah dengan ukuran yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia. Sebagai naungan, bisa digunakan daun kelapa dan atau bahan penutup lainnya. Bibit-bibit inar matahari secara langsung karena akan mengakibatkan Kelebihan dari bedeng ini adalah konstruksinya yang kuat, bagus dan mampu bertahan selama kurang lebih 4 tahun. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan benar, terbukti 90% bibit mangrove di MECoK, Teluk Awur Jepara, bisa tumbuh dengan sempurna. elemahannya adalah biaya yang dibutuhkan untuk membangun bedeng tingkat sangat besar. Satu buah bedeng tingkat berukuran 2 m x 3 m dengan tinggi 1,5 meter membutuhkan biaya sekitar Rp. 600.000. Padahal, setidaknya dibutuhkan enam buah Bedeng tanpa tingkat artinya, dasar bedeng tidak ditinggikan melainkan langsung sebagai dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa cepat dibangun dengan hanya membutuhkan biaya yang murah. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan benar, terbukti 90% bibit mangrove di MECoK juga bisa tumbuh dengan sempurna. ini adalah bagi daerah persemaian yang memiliki kelimpahan kepiting yang besar, maka kelulushidupan bibit bisa mencapai minimal, apabila program dilakukan tanpa bedeng, dengan cara buah 4 langsung disemaikan di bawah pohon indukannya. Cara ini sangat efektif di Teluk Awur Jepara dan di Pasar Banggi Rembang, dimana kelulushidupan bibit mangrove sangat tinggi, mencapai 90%. Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam pembuatan bedeng dan tempat persemaian mangrove adalah bibit-bibit mangrove harus tertutup dari sinar matahari dan tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung. Menurut penelitian, persentase penutupan yang baik adalah 50% sampai dengan 75%. d. Tahap Survei Lokasi Buah Mangrove Setelah bedeng selesai dibangun, maka survei dengan tujuan untuk mencari lokasi buah mangrove, dilakukan bersama dengan masyarakat. Survei ini, meliputi survei lokasi dan perijinan kepada warga setempat tentang kepemilikan lahan mangrove yang akan diambil buahnya. Kemudian diidentifikasi beberapa lokasi dan titik yang bisa dijadikan sumber bibit mangrove. Waktu matang buah mangrove, rata-rata memiliki waktu yang sama di berbagai daerah di Indonesia. Khusus untuk wilayah Jepara dan sekitarnya, buah mangrove telah matang pada bulan Januari - April, setiap tahunnya. Beberapa lokasi yang bisa dijadikan sumber bibit, antara lain adalah Desa Teluk Awur, Semat, Tanggul Tlare, Ujung Piring dan lokasi lainnya di Jepara. Mangrove di Jepara, mulai berbuah hingga matang mulai bulan Januari sampai dengan Mei setiap tahunnya. Di bulan Januari, jenis Ceriops tagal dan C. decandra telah matang dan siap untuk dipanen. Di bulan Februari, jenis Rhizophora apiculata dan R. mucronata juga telah matang dan siap untuk dipanen. Di bulan Maret, jenis Avicennia marina telah matang dan bisa dipanen Tanggul Tlare. Di bulan April, jenis Sonneratia caseolaris, bisa dipanen di Ujung Piring, Jepara. e. Tahap Pengambilan Buah Buah mangrove diambil dari pohonnya secara langsung. Buah-buah mangrove dari jenis Rhizophora dan Ceriops, terletak bervariasi di ketinggian yang berbeda. Buah Rhizophora yang diambil adalah buah yang sudah matang, yang ditandai dengan adanya cincin kuning di bagian propagulnya. Untuk propagul yang belum muncul cincin kuningnya, tidak diambil karena belum bisa disemaikan. Untuk jenis Sonneratia, buah matang dicirikan dengan telah pecahnya kulit buah sehingga terlihat biji-bijinya. Bentuk Buah/Propagul Mangrove Tipe buah mangrove ada dua buah, yaitu Vivipari dan Kriptovivipari. Vivipari adalah biji yang telah berkecambah ketika masih melekat pada pohon induknya dan kecambah 5 telah keluar dari buah. Sedangkan Kriptovivipari adalah adalah biji yang telah berkecambah, ketika masih melekat pada pohon induknya, tetapi masih tertutup oleh kulit biji. Berikut ini adalah gambar propagul (buah vivipari) jenis mangrove Rhizophora apiculata. Anda bisa melihat bagian-bagiannya mulai dari (1) Tangkai, (2) Kelopak Buah, (3) Plumula/Bakal daun, (4) Buah, (5) Keping Buah, (6) Hipokotil, dan (7) Radikula. Keterangan mengenai beberapa bagian dalam propagul ini telah jelas. Plumula adalah bakal daun yang tertutupi oleh Keping Buah. Selanjutnya, Keping Buah bisa dijadikan indikator bagi pemasakan buah. Apabila warna Keping Buah berubah menjadi kuning atau coklat, maka bisa dipastikan bahwa buah R. apiculata telah masak. Tak hanya jenis Rhizophora spp saja, jenis lainnya juga akan menunjukkan gejala kematangan buah yang sama. Hipokotil adalah semai antara batang dan akar. Bagi beberapa jenis tumbuhan mangrove, Hipokotil merupakan bagian yang sangat penting untuk menyimpan cadangan makanan dan bahan cadangan lainnya. Hipokotil merupakan kecambah yang keluar dari buahnya. Sementara itu, Radikula adalah bakal akar yang akan menjelma menjadi akar-akar mangrove yang kuat yang akan bisa melindungi pesisir pantai kita dari abrasi dan gelombang tsunami. f. Tahap Perlakuan Buah Setelah diambil dari sumbernya, buah mangrove kemudian diletakkan di tempat yang terlindung. Buah mangrove bisa diletakkan sementara di bedeng dan atau di pohon indukannya. Bibit mangrove kemudian diberikan perlakuan sedemikian rupa sehingga pada saat disemaikan bisa mencapai kelulushidupan yang maksimal. Secara sederhana, buah mangrove yang ditemukan di lapangan, biasanya terdiri dari dua tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul berbentuk bulat memanjang dan tipe buah bulat berbentuk bulat, dengan variasi bulat jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat pada Sonneratia. Kedua tipe buah mangrove ini mendapatkan perlakukan yang sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu direndam kurang lebih dua hari atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan dan penanaman, sebelum kemudian disemaikan di bedeng. Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada buah, yang disukai oleh kepiting. Dengan demikian, pada saat disemaikan, maka oleh kepiting bisa dikurangi. Perendaman dengan air tawar ini, sekaligus juga berfungsi sebagai sebuah usaha untuk memperlambat tumbuhnya akar apabila jarak antara pembibitan dan penanaman memerlukan waktu yang relatif agak lama. Para petani mangrove yang ada di Semarang dan sekitarnya juga menggunakan teknik ini untuk memperlambat pertumbuhan bibit program rehabilitasi mangrove di pesisir. Usaha pelambatan pertumbuhan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perpanjangan akar, karena pada saat ditanam di lapangan, akar yang terlalu panjang akan mempersulit proses penanaman sehingga mengakibatkan pertumbuhannya tidak bisa berjalan maksimal. g. Tahap Pembibitan Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk polibek, buah mangrove berbagai jenis, lumpur, cetok, dan bedeng. polibek terdiri dari dua tipe, yaitu polibek kecil untuk buah berukuran kecil, seperti spp, Sonneratia spp dan Ceriops Bruguiera spp. Polibek memiliki lubang di bagian samping dan bawahnya, yang berguna untuk sirkulasi air dan udara. Selanjutnya, lumpur yang digunakan pada tahap pembibitan ini, sebaiknya diambil dari sekitar lokasi penanaman. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan kelulushidupan buah sewaktu dibibitkan. disesuaikan, sesuai dengan tiga buah jenis bedeng yang ada di atas. dilakukan setelah tahap perlakua berikut : 1. Ambil polibek, lalu isi dengan lumpur yang ada di sekitar bedeng. 2. Isi polibek dengan sedimen, tapi jangan terlalu penuh, melainkan dari isi polibek. 3. Setelah diisi lumpur, lipat bagian saat surut dan cuaca kering, kristal polibek yang bisa menghambat pertumbuhan buah mangrove. 4. Selanjutnya, tanam buah mangrove yang telah dipilih dan berkondisi 6 dua tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul berbentuk bulat h bulat berbentuk bulat, dengan variasi bulat-lancip seperti pada jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat pada Sonneratia. Kedua tipe buah mangrove ini mendapatkan perlakukan yang sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu direndam ri atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan dan penanaman, sebelum kemudian disemaikan di bedeng. Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada buah, yang disukai oleh kepiting. Dengan demikian, pada saat disemaikan, maka pemangsaan buah oleh kepiting bisa dikurangi. Perendaman dengan air tawar ini, sekaligus juga berfungsi sebagai sebuah usaha untuk memperlambat tumbuhnya akar apabila jarak antara pembibitan dan penanaman memerlukan waktu yang relatif agak lama. ara petani mangrove yang ada di Semarang dan sekitarnya juga menggunakan teknik ini untuk memperlambat pertumbuhan bibit-bibit mangrove yang akan dijual untuk program rehabilitasi mangrove di pesisir. Usaha pelambatan pertumbuhan ini dilakukan ah terjadinya perpanjangan akar, karena pada saat ditanam di lapangan, akar yang terlalu panjang akan mempersulit proses penanaman sehingga mengakibatkan pertumbuhannya tidak bisa berjalan maksimal. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk melakukan pembibitan mangrove, adalah polibek, buah mangrove berbagai jenis, lumpur, cetok, dan bedeng. Sebagai informasi, polibek terdiri dari dua tipe, yaitu polibek kecil untuk buah berukuran kecil, seperti Ceriops spp dan polibek besar untuk buah Rhizophora Polibek memiliki lubang di bagian samping dan bawahnya, yang berguna untuk Selanjutnya, lumpur yang digunakan pada tahap pembibitan ini, lokasi penanaman. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan kelulushidupan buah sewaktu dibibitkan. Bedeng persemaian yang dipergunakan bisa disesuaikan, sesuai dengan tiga buah jenis bedeng yang ada di atas. Tahap pembibitan dilakukan setelah tahap perlakuan bibit selesai. Pembibitan dilakukan dengan cara sebagai Ambil polibek, lalu isi dengan lumpur yang ada di sekitar bedeng. Isi polibek dengan sedimen, tapi jangan terlalu penuh, melainkan dari isi polibek. Setelah diisi lumpur, lipat bagian atas polibek ke bagian luar, dengan tujuan, pada saat surut dan cuaca kering, kristal-kristal garam air laut tidak terjebak di dalam polibek yang bisa menghambat pertumbuhan buah mangrove. Selanjutnya, tanam buah mangrove yang telah dipilih dan berkondisi baik, ke dalam dua tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul berbentuk bulat-lonjong- lancip seperti pada jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat pada Sonneratia. Kedua tipe buah mangrove ini mendapatkan perlakukan yang sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu direndam ri atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan dan Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada buah, yang pemangsaan buah oleh kepiting bisa dikurangi. Perendaman dengan air tawar ini, sekaligus juga berfungsi sebagai sebuah usaha untuk memperlambat tumbuhnya akar apabila jarak antara ara petani mangrove yang ada di Semarang dan sekitarnya juga menggunakan bibit mangrove yang akan dijual untuk program rehabilitasi mangrove di pesisir. Usaha pelambatan pertumbuhan ini dilakukan ah terjadinya perpanjangan akar, karena pada saat ditanam di lapangan, akar yang terlalu panjang akan mempersulit proses penanaman sehingga mengakibatkan melakukan pembibitan mangrove, adalah Sebagai informasi, polibek terdiri dari dua tipe, yaitu polibek kecil untuk buah berukuran kecil, seperti Avicennia Rhizophora spp dan Polibek memiliki lubang di bagian samping dan bawahnya, yang berguna untuk Selanjutnya, lumpur yang digunakan pada tahap pembibitan ini, lokasi penanaman. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan Bedeng persemaian yang dipergunakan bisa Tahap pembibitan kan dengan cara sebagai Isi polibek dengan sedimen, tapi jangan terlalu penuh, melainkan dari isi polibek. atas polibek ke bagian luar, dengan tujuan, pada kristal garam air laut tidak terjebak di dalam baik, ke dalam sedimen dengan kedalaman yang cukup 5. Jangan lupa untuk menanam buah Ceriops, Sonneratia dan Avicennia ke dalam polibek kecil dan buah Rhizophora dan Bruguiera ke dalam polibek yang berukuran besar. 6. Setelah itu, masukkan satu persatu polibek yang sudah terisi dengan buah mangrove tersebut, ke dalam bedeng. Sebaiknya, diusahakan agar satu buah bedeng bisa digunakan untuk satu jenis mangrove saja, agar mempermudah distribusi pada saat pengambilanny Sebagai tambahan informasi, ma penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara (1) menanam langsung buah mangrove (propagul) ke areal penanaman dan (2) melal Penanaman secara langsung tingkat kelulushidupannya rendah (sekitar 20 karena pengaruh arus laut pada saat pasang dan pengaruh pemangsa (predator). Sedangkan dengan cara persemaian dan pembibitan, tingkat kelulushidupann (sekitar 60-80%). Buah (propagul) mangrove untuk bibit sebaiknya berasal dari daerah setempat, telah matang dan berkualitas bagus. Sebelum digunakan untuk pembibitan buah disimpan sementara waktu dengan cara memasukkannya ke dalam ember penuh dengan posisi tegak dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari. Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari. Untuk menyemaikan buah mangrove, lumpur dimasukkan ke dalam polibek. Selanjutnya, buah mangrove disem masing-masing 1 buah. Tempat penyemaian buah mangrove sebaiknya dipilih yang berdekatan dengan lokasi penanaman dengan perendaman kurang lebih 20 40 kali/bulan. (Kitamura, dkk, 1997). h. Tahap Membibitkan Buah Mangrove Berikut ini diterangkan mengenai bagaimana tata cara pembibitan beberapa jenis mangrove, menurut Taniguchi, dkk (1999). Rhizophora spp Buah yang digunakan untuk pembibitan, sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang berusia diatas 10 tahun. Buah yang ba buahnya. Buah yang sudah matang dari tua atau kecoklatan, dengan kotiledon (cincin) berwarna kuning atau merah. Media yang digunakan untuk pembibitan adala 7 sedimen dengan kedalaman yang cukup. Jangan lupa untuk menanam buah Ceriops, Sonneratia dan Avicennia ke dalam polibek kecil dan buah Rhizophora dan Bruguiera ke dalam polibek yang berukuran Setelah itu, masukkan satu persatu polibek yang sudah terisi dengan buah mangrove tersebut, ke dalam bedeng. Sebaiknya, diusahakan agar satu buah bedeng bisa digunakan untuk satu jenis mangrove saja, agar mempermudah distribusi pada saat pengambilannya di tahap penanaman mangrove. Sebagai tambahan informasi, maka menurut Kitamura dkk (1997), secara umum penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara (1) menanam langsung buah mangrove (propagul) ke areal penanaman dan (2) melalui persemaian bibit. Penanaman secara langsung tingkat kelulushidupannya rendah (sekitar 20-30 %). Hal ini karena pengaruh arus laut pada saat pasang dan pengaruh pemangsa (predator). Sedangkan dengan cara persemaian dan pembibitan, tingkat kelulushidupannya relatif tinggi Buah (propagul) mangrove untuk bibit sebaiknya berasal dari daerah setempat, telah matang dan berkualitas bagus. Sebelum digunakan untuk pembibitan buah disimpan sementara waktu dengan cara memasukkannya ke dalam ember atau bak yang berisi air penuh dengan posisi tegak dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari. Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari. Untuk menyemaikan buah mangrove, lumpur dimasukkan ke dalam polibek. Selanjutnya, buah mangrove disemaikan ke dalam polibek masing 1 buah. Tempat penyemaian buah mangrove sebaiknya dipilih yang berdekatan dengan lokasi penanaman dengan perendaman kurang lebih 20 40 kali/bulan. Membibitkan Buah Mangrove Berikut ini diterangkan mengenai bagaimana tata cara pembibitan beberapa jenis mangrove, menurut Taniguchi, dkk (1999). Buah yang digunakan untuk pembibitan, sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang berusia diatas 10 tahun. Buah yang baik, dicirikan oleh hampir lepasnya hipokotil dari buahnya. Buah yang sudah matang dari Rhizophora spp, dicirikan dengan warna buah hijau tua atau kecoklatan, dengan kotiledon (cincin) berwarna kuning atau merah. Media yang digunakan untuk pembibitan adalah sedimen dari tanggul bekas tambak Jangan lupa untuk menanam buah Ceriops, Sonneratia dan Avicennia ke dalam polibek kecil dan buah Rhizophora dan Bruguiera ke dalam polibek yang berukuran Setelah itu, masukkan satu persatu polibek yang sudah terisi dengan buah-buah mangrove tersebut, ke dalam bedeng. Sebaiknya, diusahakan agar satu buah bedeng bisa digunakan untuk satu jenis mangrove saja, agar mempermudah secara umum penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara (1) menanam ui persemaian bibit. 30 %). Hal ini karena pengaruh arus laut pada saat pasang dan pengaruh pemangsa (predator). ya relatif tinggi Buah (propagul) mangrove untuk bibit sebaiknya berasal dari daerah setempat, telah matang dan berkualitas bagus. Sebelum digunakan untuk pembibitan buah disimpan atau bak yang berisi air penuh dengan posisi tegak dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari. Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari. Untuk menyemaikan buah mangrove, lumpur aikan ke dalam polibek masing 1 buah. Tempat penyemaian buah mangrove sebaiknya dipilih yang berdekatan dengan lokasi penanaman dengan perendaman kurang lebih 20 40 kali/bulan. Berikut ini diterangkan mengenai bagaimana tata cara pembibitan beberapa jenis Buah yang digunakan untuk pembibitan, sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang ik, dicirikan oleh hampir lepasnya hipokotil dari spp, dicirikan dengan warna buah hijau h sedimen dari tanggul bekas tambak atau sedimen yang sesuai dengan karakteristik pohon induknya. Media dibiarkan selama kurang lebih 24 jam agar tidak terlalu lembek. Media tanam yang sudah disediakan, dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam (polibek) lebar 12 cm dan tinggi 20 cm, yang telah diberi lubang keci Buah disemaikan masing kurang lebih sepertiga dari total panjangnya ( 7 cm). Setiap 6 agar tidak mudah rebah. Ikatan dibuka setelah daun pertama keluar. Daun pertama akan keluar setelah 1 bulan, daun ketiga akan keluar setelah 3 bulan. Bruguiera spp Buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5 matang dicirikan oleh hampir lepasnya batang buah dari bonggolnya dan warna hipokotil merah kecoklatan atau hijau kemerahan. Buah yang terkumpul tidak perlu dicuci dengan air tapi cukup dibersihkan dengan lap dan dipilih buah yang segar, sehat, beba hipokotilnya 10-20 cm. Kelopak buah jangan dicabut atau dilepaskan dengan paksa karena dapat merusak buah. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan spp. Semua pekerjaan selalu dilakukan d secara langsung), supaya buah tidak kering. Sebelum penyemaian, polibek dibiarkan tergenang oleh pasang. Penyemaian dilakukan pada awal pasang purnama, dimana penggenangannya dapat mencapai hipokotil buah. Pen Rhizophora spp, tetapi tidak usah diikat. 8 atau sedimen yang sesuai dengan karakteristik pohon induknya. Media dibiarkan selama kurang lebih 24 jam agar tidak terlalu lembek. Media tanam yang sudah disediakan, dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam (polibek) lebar 12 cm dan tinggi 20 cm, yang telah diberi lubang keci-kecil kurang lebih 10 buah. Buah disemaikan masing-masing 1 buah dalam setiap polibek. Buah ditancapkan kurang lebih sepertiga dari total panjangnya ( 7 cm). Setiap 6-10 buah, diikat m agar tidak mudah rebah. Ikatan dibuka setelah daun pertama keluar. Daun pertama akan keluar setelah 1 bulan, daun ketiga akan keluar setelah 3 bulan. Buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5-10 tahun. Buah dipilih yang matang dicirikan oleh hampir lepasnya batang buah dari bonggolnya dan warna hipokotil merah kecoklatan atau hijau kemerahan. Buah yang terkumpul tidak perlu dicuci dengan air tapi cukup dibersihkan dengan lap dan dipilih buah yang segar, sehat, bebas hama dan penyakit, belum berakar dan panjang 20 cm. Kelopak buah jangan dicabut atau dilepaskan dengan paksa karena dapat merusak buah. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan Semua pekerjaan selalu dilakukan di bawah naungan (tidak mendapat sinar matahari secara langsung), supaya buah tidak kering. Sebelum penyemaian, polibek dibiarkan tergenang oleh pasang. Penyemaian dilakukan pada awal pasang purnama, dimana penggenangannya dapat mencapai hipokotil buah. Penyemaian Bruguiera spp seperti pada spp, tetapi tidak usah diikat. Media dibiarkan selama kurang lebih 24 jam agar tidak terlalu lembek. Media tanam yang sudah disediakan, dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam (polibek) berukuran kecil kurang lebih 10 buah. masing 1 buah dalam setiap polibek. Buah ditancapkan 10 buah, diikat menjadi satu agar tidak mudah rebah. Ikatan dibuka setelah daun pertama keluar. Daun pertama akan 10 tahun. Buah dipilih yang sudah matang dicirikan oleh hampir lepasnya batang buah dari bonggolnya dan warna hipokotil Buah yang terkumpul tidak perlu dicuci dengan air tapi cukup dibersihkan dengan lap s hama dan penyakit, belum berakar dan panjang 20 cm. Kelopak buah jangan dicabut atau dilepaskan dengan paksa karena dapat merusak buah. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan Rhizophora i bawah naungan (tidak mendapat sinar matahari secara langsung), supaya buah tidak kering. Sebelum penyemaian, polibek dibiarkan tergenang oleh pasang. Penyemaian dilakukan pada awal pasang purnama, dimana spp seperti pada 9 Ceriops spp Ciri kematangan buah adalah kotiledon berwarna kuning dengan panjang kotiledon 1 cm atau lebih dan hipokotil berwarna hijau kecoklatan. Buah yang terkumpul dicuci bersih dan buahnya dilepas. Kemudian, dipilih buah yang panjang hipokotilnya 20 cm atau lebih. Penyiapan media untuk Ceriops spp sama dengan penyiapan media semai Rhizophora spp. Penyemaian buah Ceriops spp sama dengan Bruguiera spp. Excoecaria spp Warna buah dari Excoecaria spp yang telah matang adalah kuning kecoklatan. Buah berbentuk bulat kecil-kecil dan akan jatuh setelah matang. Biji dipilih yang padat dan mempunyai diameter 3 mm atau lebih. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan Rhizophora spp. Excoecaria spp pembibitannya tidak langsung dilakukan pada polibek. Biji dari Excoecaria spp ditebar di parit yang berisi media dan terlindung dari cahaya matahari secara langsung. Parit dibuat di darat untuk menghindari biji terbawa arus. Setelah daun Excoecaria spp tumbuh 3-5 buah, bibit bisa dicabut dan dipindahkan ke polibek. Setiap satu polibek ditanami satu bibit. Avicennia spp Ciri kematangan buah adalah warna kulit buah kekuningan, dan kadang kulit buah sedikit terbuka. Buah yang sudah matang mudah terlepas dari kelopaknya. Buah dilepas dari kelopaknya dan dipilih buah yang bebas hama dan beratnya 1,5 gram atau lebih. Setelah kelopak dilepas, buah direndam dalam air selama satu hari agar terkelupas kulitnya. Buah yang belum terkelupas kulitnya, dapat dikupas dengan tangan. Kemudian, buah 10 dipindahkan ke dalam ember berisi air payau yang bersih. Penyiapan media semai Avicennia spp tidak berbeda dengan Rhizophora spp. Polibek disiram hingga cukup basah, barulah dilakukan persemaian. Buah disemaikan masing-masing satu buah dalam satu polibek, dengan cara ditancapkan kurang lebih sepertiga panjang buah ke dalam tanah/media. i. Tahap Pembangunan APO Apabila diperlukan, sebaiknya setelah melakukan tahapan pembibitan dan sebelum diadakan tahapan penanaman, maka dilakukan tahapan pembangunan pemecah gelombang atau APO. Hal ini dilakukan untuk melindungi bibit-bibit mangrove yang telah ditanam di lokasi program rehabilitasi mangrove. Perlu diketahui bahwa mangrove baru bisa berfungsi sebagai penahan abrasi, setelah berumur kurang lebih lima tahun, disaat akarnya telah kuat sehingga mampu mengurangi kekuatan gempuran gelombang. Selanjutnya, sebagai gambaran, untuk jenis-jenis pemecah gelombang, di Desa Tapak Semarang, lokasi tempat proyek rehabilitasi mangrove KeSEMaT berada, terdapat empat macam model pemecah gelombang (baca: Apo-apo) yang telah dibuat oleh warga setempat atas inisiasi mereka sendiri. Keempat jenis Apo-apo tersebut, bisa dibedakan dari jenis bahan pembuatnya. Apo- apo pertama dibuat dari beton dan semen berbentuk bundar. Apo-apo kedua terbuat dari beton dan semen berbentuk segiempat. Selanjutnya, pemecah gelombang ketiga dibuat dari potongan bambu yang dianyam, dan yang terakhir adalah Apo-apo yang terbuat dari ban- ban bekas yang dikuatkan dengan potongan bambu. Masing-masing model dari pemecah gelombang ini memiliki kelebihan dan kekurangannya, masing-masing. Untuk Apo-apo yang terbuat dari semen dan beton (baik yang berbentuk bundar maupun segiempat), kelebihannya hanya terletak dari konstruksinya yang tahan lama sehingga mampu lebih banyak mereduksi kekuatan gelombang laut. Kelemahan jenis ini adalah biaya pembangunannya yang sangat mahal sehingga tidak sesuai dengan konsep pemberdayaan masyarakat, yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat. Biaya pemecah gelombang yang hanya dimonopoli oleh pihak penyandang dana, telah menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bukan subyek dari proyek. Apo-apo yang dibuat dari potongan bambu yang dianyam, memiliki kelebihan di anggarannya yang lebih kecil dan bahan bakunya yang juga bisa diperoleh dari warga sekitar sehingga mampu memberdayakan warga sekitar untuk turut serta dalam proyek sebagai subyek dan bukan obyek. Dengan demikian, konsep pemberdayaan masyarakat: dari, oleh, dan untuk masyarakat bisa terpenuhi. Model Apo-apo terakhir, yaitu yang terbuat dari ban bekas, selain biayanya yang murah, juga memiliki kekuatan penangkal gelombang yang lebih baik apabila dibandingkan dengan jenis Apo-apo yang kedua, namun masih dipertanyakan mengenai keramah lingkungannya. Keempat model Apo-apo ini, di Tapak, diletakkan persis di pematang tambak bagian luar, untuk melindunginya dari erosi dan abrasi. Tapi modelnya sama, namun di beberapa titik di Semarang dan sekitarnya, pemb melulu harus demikian. Di Demak, Apo di laut, dan tidak di pematang tambaknya. j. Tahap Penanaman Sebelum melakukan tahapan penanaman mangrove, maka lokasi penanaman mangrove harus sudah ditentukan. diperhatikan, sebelum melakukan penanaman mangrove antara lain adalah tipe substrat, salinitas, temperatur, ketinggian tanah, pH, musim dan saluran air. Substrat untuk penanaman mangrove harus ses ditanam. Secara sederhana, pada sedimen yang berlumpur, maka jenis adalah jenis yang tepat untuk ditanam. Selanjutnya, untuk spp, menyukai tanah berpasir yang berada di pinggiran pa seperti Aegiceras spp, Lumnitzera Pandanus spp dan jenis lainnya, bisa hidup bervariasi di substrat lumpur berpasir. Salinitas atau kadar garam juga penting diperhatikan, karena salinitas yang bervariasi. Kadar salinitas yang bervariasi ini, ikut pula menentukan pola penyebaran mangrove di habitatny mangrove diantaranya adalah Rhizophora mucronata, marina, Bruguiera gymnorrhiza, B. stylosa, Ceriops tagal, C. decandra mangrove asosiasi seperti Calophylum Jenis Rhizophora mucronata, R. apiculata mangrove yang biasa ditanam pada program rehabilitasi mangrove. Di beberapa lokasi, apiculata lebih banyak dipilih karena memiliki jenis perakaran yang lebih rapat dan kuat. Kedua jenis Bakau ini, sering ditanam untuk tujuan penanggulangan kawasan pes abrasi. Sementara itu, Api-api banyak ditanam di kawasan yang berpasir bersama dengan jenis mangrove asosiasi lainnya seperti Cemara Laut dan Nyamplung. Penentuan jenis mangrove untuk ditanam di suatu lokasi, harus disesuaikan dengan kondisi substratnya dan budaya masyarakat lokal setempat. lapangan menginformasikan bahwa jenis untuk ditanam di daerah tertentu. cenderung tidak banyak ditanam tetapi ditebangi, karena di wilayah tersebut perakaran 11 murah, juga memiliki kekuatan penangkal gelombang yang lebih baik apabila dibandingkan apo yang kedua, namun masih dipertanyakan mengenai keramah apo ini, di Tapak, diletakkan persis di pematang tambak bagian dari erosi dan abrasi. Tapi perlu diketahui bahwa walaupun modelnya sama, namun di beberapa titik di Semarang dan sekitarnya, pembangunannya tak melulu harus demikian. Di Demak, Apo-apo model ban bekas, diletakkan secara melintang di laut, dan tidak di pematang tambaknya. Sebelum melakukan tahapan penanaman mangrove, maka lokasi penanaman ditentukan. Beberapa faktor lingkungan penting yang harus diperhatikan, sebelum melakukan penanaman mangrove antara lain adalah tipe substrat, salinitas, temperatur, ketinggian tanah, pH, musim dan saluran air. Substrat untuk penanaman mangrove harus sesuai dengan jenis mangrove yang ditanam. Secara sederhana, pada sedimen yang berlumpur, maka jenis Rhizophora adalah jenis yang tepat untuk ditanam. Selanjutnya, untuk Avicennia spp dan spp, menyukai tanah berpasir yang berada di pinggiran pantai. Jenis mangrove lainnya Lumnitzera spp, Excoecaria spp, Ceriops spp, Bruguiera lainnya, bisa hidup bervariasi di substrat lumpur berpasir. Salinitas atau kadar garam juga penting diperhatikan, karena mangrove hidup pada salinitas yang bervariasi. Kadar salinitas yang bervariasi ini, ikut pula menentukan pola penyebaran mangrove di habitatnya. Jenis-jenis umum yang dipergunakan untuk rehabilitasi Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, B. stylosa, Ceriops tagal, C. decandra dan beberapa jenis Calophylum sp dan Casuarina sp. Rhizophora mucronata, R. apiculata dan Avicennia marina adalah tiga jeni mangrove yang biasa ditanam pada program rehabilitasi mangrove. Di beberapa lokasi, lebih banyak dipilih karena memiliki jenis perakaran yang lebih rapat dan kuat. Kedua jenis Bakau ini, sering ditanam untuk tujuan penanggulangan kawasan pes api banyak ditanam di kawasan yang berpasir bersama dengan jenis mangrove asosiasi lainnya seperti Cemara Laut dan Nyamplung. enentuan jenis mangrove untuk ditanam di suatu lokasi, harus disesuaikan dengan stratnya dan budaya masyarakat lokal setempat. Beberapa hal yang ditemui di lapangan menginformasikan bahwa jenis-jenis mangrove tertentu cenderung tidak disukai untuk ditanam di daerah tertentu. Di Surodadi Demak, jenis mangrove, yaitu Bakau, tidak banyak ditanam tetapi ditebangi, karena di wilayah tersebut perakaran murah, juga memiliki kekuatan penangkal gelombang yang lebih baik apabila dibandingkan apo yang kedua, namun masih dipertanyakan mengenai keramahan apo ini, di Tapak, diletakkan persis di pematang tambak bagian perlu diketahui bahwa walaupun angunannya tak apo model ban bekas, diletakkan secara melintang Sebelum melakukan tahapan penanaman mangrove, maka lokasi penanaman Beberapa faktor lingkungan penting yang harus diperhatikan, sebelum melakukan penanaman mangrove antara lain adalah tipe substrat, uai dengan jenis mangrove yang Rhizophora spp spp dan Sonneratia ntai. Jenis mangrove lainnya Bruguiera spp, lainnya, bisa hidup bervariasi di substrat lumpur berpasir. mangrove hidup pada salinitas yang bervariasi. Kadar salinitas yang bervariasi ini, ikut pula menentukan pola jenis umum yang dipergunakan untuk rehabilitasi culata, R. stylosa, Avicennia dan beberapa jenis adalah tiga jenis mangrove yang biasa ditanam pada program rehabilitasi mangrove. Di beberapa lokasi, R. lebih banyak dipilih karena memiliki jenis perakaran yang lebih rapat dan kuat. Kedua jenis Bakau ini, sering ditanam untuk tujuan penanggulangan kawasan pesisir dari api banyak ditanam di kawasan yang berpasir bersama dengan enentuan jenis mangrove untuk ditanam di suatu lokasi, harus disesuaikan dengan Beberapa hal yang ditemui di jenis mangrove tertentu cenderung tidak disukai enis mangrove, yaitu Bakau, tidak banyak ditanam tetapi ditebangi, karena di wilayah tersebut perakaran Bakau ditengarai telah menyebabkan jebolnya tanggul pertambakan mereka. Untuk itu, Api api yang dianggap memiliki sitem perakaran yang lebih rapat dan tanah tambak lebih banyak ditanam. penanaman, bisa berasal dari tiga sumber, yaitu dari bedeng kita sendiri, dari sumbangan pihak ketiga dan dari pembelian ke kelompok tani mangrove yang sekarang ini, mulai banyak membudidayakan bibit mangrove untuk tujuan penghijauan pantai. Apabila bibit mangrove dibeli dari pihak luar, maka yang perlu diingat adalah harus dipilih lokasi pembelian bibit mangrove yang terdekat dengan lokasi penanaman. Pemilihan lokasi pembelian bibit mangrove yang paling dekat dengan lokasi penanaman dimaksudkan untuk mempermudah daya adaptasi bibit mangrove yang dibeli dengan substrat dan kondisi lingkungan lainnya, yang ada di lokasi penanaman. Secara teori, penanaman mangrove dengan mempergunakan bibit mangrove akan memiliki kelulushidupan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penanaman mangrove dengan menggunakan propagul. tanpa penyemaian, sebaiknya juga dilakukan terutama pada saat penyulaman. Faktanya, penanaman mangrove menggunakan propagul mangrove lebih mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Pro dan kontra, lebih baik mana penggunaan dengan sekarang masih terjadi. Namun demikian, bibit maka daya tahannya akan semakin baik Sementara itu, penggunaan propagul sebagai bahan baku penanaman mangrove, walaupun diklaim memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi, tapi tidak demikian dengan daya tahannya terhadap gelombang. Selanjutnya, penanaman bibit mangrove harus dikelompokkan sesuai dengan jenisnya. Hal ini dilakukan mengingat pada kondisi alami, mangrove memang membe tegakan murni, yang berarti ditemukan secara berkelompok sesuai dengan jenisnya. Penaman mangrove, sebaiknya dilakukan pada saat air surut. Namun demikian, apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman mangrove bisa tetap dilaksanakan pada saat air tergenang, dengan syarat pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar benar tertancap dengan baik di sedimen dan terikat kuat di samping ajirnya. Alat dan bahan yang dipergunakan untuk melakukan tahapan penanaman mangrove adalah bibit mangrove berbagai jenis, cetok, ajir dan tali rafia. adalah sederhana, yaitu: 1. Ambil satu bibit mangrove di bedeng. 2. Buka polibek yang menutupi sedimen dan akar bibit. Jangan buang polibek secara sembarangan, tapi letakkan polibek di atas aji 3. Tanam langsung bibit mangrove ke tanah dengan cara melubangi tanah dengan 12 Bakau ditengarai telah menyebabkan jebolnya tanggul pertambakan mereka. Untuk itu, Api api yang dianggap memiliki sitem perakaran yang lebih rapat dan mampu menstabilkan lebih banyak ditanam. Bibit mangrove yang akan ditanam pada tahap penanaman, bisa berasal dari tiga sumber, yaitu dari bedeng kita sendiri, dari sumbangan pihak ketiga dan dari pembelian ke kelompok tani mangrove yang sekarang ini, mulai dayakan bibit mangrove untuk tujuan penghijauan pantai. Apabila bibit mangrove dibeli dari pihak luar, maka yang perlu diingat adalah harus dipilih lokasi pembelian bibit mangrove yang terdekat dengan lokasi penanaman. Pemilihan grove yang paling dekat dengan lokasi penanaman dimaksudkan untuk mempermudah daya adaptasi bibit mangrove yang dibeli dengan substrat dan kondisi lingkungan lainnya, yang ada di lokasi penanaman. Secara teori, penanaman mangrove dengan mempergunakan bibit mangrove akan memiliki kelulushidupan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penanaman mangrove dengan menggunakan propagul. Namun penanaman mangrove dengan propagul knya juga dilakukan terutama pada saat penyulaman. Faktanya, rove menggunakan propagul seringkali dilakukan dengan alasan bibit mangrove lebih mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Pro dan kontra, lebih baik mana penggunaan propagul dan bibit mangrove, sa terjadi. Namun demikian, dapat dibenarkan bahwa pen bibit maka daya tahannya akan semakin baik. Sementara itu, penggunaan propagul sebagai bahan baku penanaman mangrove, memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi, tapi tidak demikian dengan daya Selanjutnya, penanaman bibit mangrove harus dikelompokkan sesuai dengan jenisnya. Hal ini dilakukan mengingat pada kondisi alami, mangrove memang membe tegakan murni, yang berarti ditemukan secara berkelompok sesuai dengan jenisnya. Penaman mangrove, sebaiknya dilakukan pada saat air surut. Namun demikian, apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman mangrove bisa tetap dilaksanakan air tergenang, dengan syarat pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar benar tertancap dengan baik di sedimen dan terikat kuat di samping ajirnya. Alat dan bahan yang dipergunakan untuk melakukan tahapan penanaman mangrove agai jenis, cetok, ajir dan tali rafia. Teknik penanamannya sendiri Ambil satu bibit mangrove di bedeng. Buka polibek yang menutupi sedimen dan akar bibit. Jangan buang polibek secara sembarangan, tapi letakkan polibek di atas ajir. Tanam langsung bibit mangrove ke tanah dengan cara melubangi tanah dengan Bakau ditengarai telah menyebabkan jebolnya tanggul pertambakan mereka. Untuk itu, Api- mampu menstabilkan Bibit mangrove yang akan ditanam pada tahap penanaman, bisa berasal dari tiga sumber, yaitu dari bedeng kita sendiri, dari sumbangan pihak ketiga dan dari pembelian ke kelompok tani mangrove yang sekarang ini, mulai Apabila bibit mangrove dibeli dari pihak luar, maka yang perlu diingat adalah harus dipilih lokasi pembelian bibit mangrove yang terdekat dengan lokasi penanaman. Pemilihan grove yang paling dekat dengan lokasi penanaman dimaksudkan untuk mempermudah daya adaptasi bibit mangrove yang dibeli dengan substrat dan kondisi Secara teori, penanaman mangrove dengan mempergunakan bibit mangrove akan memiliki kelulushidupan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penanaman penanaman mangrove dengan propagul knya juga dilakukan terutama pada saat penyulaman. Faktanya, seringkali dilakukan dengan alasan bibit propagul dan bibit mangrove, sampai dapat dibenarkan bahwa penggunakan Sementara itu, penggunaan propagul sebagai bahan baku penanaman mangrove, memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi, tapi tidak demikian dengan daya Selanjutnya, penanaman bibit mangrove harus dikelompokkan sesuai dengan jenisnya. Hal ini dilakukan mengingat pada kondisi alami, mangrove memang membentuk tegakan murni, yang berarti ditemukan secara berkelompok sesuai dengan jenisnya. Penaman mangrove, sebaiknya dilakukan pada saat air surut. Namun demikian, apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman mangrove bisa tetap dilaksanakan air tergenang, dengan syarat pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar- Alat dan bahan yang dipergunakan untuk melakukan tahapan penanaman mangrove Teknik penanamannya sendiri Buka polibek yang menutupi sedimen dan akar bibit. Jangan buang polibek secara Tanam langsung bibit mangrove ke tanah dengan cara melubangi tanah dengan cetok, sedemikian rupa sehingga lubang penanaman cukup dalam, sehingga akar bisa tertanam dengan baik. 4. Setelah itu, ikat batang bibit mangrove ke ajir dengan menggunakan tali ra telah disediakan. 5. Timbun dengan tanah. Jangan terlalu menekan tanah, sehingga oksigen bisa dengan leluasa ke luar dan masuk ke tanah. Ambil polibek yang terletak di atas ajir, kumpulkan menjadi satu di sebuah keranjang/plastik. Selanjutnya, polibek bisa didaur ulang menjadi berbagai plastik daur ulang. Tidak semua bibit mangrove harus ditanam pada saat penanaman, melainkan bisa disisihkan untuk tahapan selanjutnya, yaitu penyulaman. Sebagai contoh, dari 10 ribu bibit yang ada, bisa disisihkan 2 ribu bibit untuk penyulaman. Sebagai informasi, satu hal yang juga penting untuk mulai dilakukan dan dikampanyekan ke masyarakat luas adalah sebisa mungkin jangan sampai melakukan pola penanaman dengan sistem monokultur, diman ditanam pada suatu lokasi program rehabilitasi mangrove. tentu saja harus lebih banyak lagi variasi jenis mangrove yang harus ditanam, untuk menjaga keanekaragaman jenis ekosistem pesisir i k. Tahap Persiapan Penanaman Mangrove Sebelum dilakukan penanaman, lokasi penanaman harus disiapkan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat penanaman. yang dilakukan adalah pembersihan lokasi penanaman dari vegetasi tumbuhan pengganggu dan penancapan ajir (potongan bambu dengan panjang 1 m yang diikatkan dengan bibit mangrove menggunakan tali rafia). dengan tujuan mempermudah dan mempercepat waktu penanaman. Bibit diambil dari kebun bibit dan diangkut dengan menggunakan armada truk menuju ke sekitar lokasi penanaman. diatur sedemikian rupa sehingga bisa tersusun secara sinar matahari secara langsung. Cara penanaman mangrove adalah tersebut di bawah ini: l. Tahap Penancapan Ajir Kegiatan penancapan ajir dilakukan dengan dua tujuan yaitu: (1) sebagai penanda lokasi penanaman bibit mangrove sehingga akan mempermudah peserta dalam melakukan penanaman; (2) penggunaan ajir juga berfungsi agar bibit berjajar secara rapi sehingga mempermudah dalam penghitungan kelulushidupan pada saat pekerjaan pemeliharaan dan monitoring; (3) ajir berguna menjaga bibit mangrove tidak 13 cetok, sedemikian rupa sehingga lubang penanaman cukup dalam, sehingga akar bisa tertanam dengan baik. Setelah itu, ikat batang bibit mangrove ke ajir dengan menggunakan tali ra Timbun dengan tanah. Jangan terlalu menekan tanah, sehingga oksigen bisa dengan leluasa ke luar dan masuk ke tanah. Ambil polibek yang terletak di atas ajir, kumpulkan menjadi satu di sebuah Selanjutnya, polibek bisa didaur ulang menjadi berbagai macam barang Tidak semua bibit mangrove harus ditanam pada saat penanaman, melainkan bisa disisihkan untuk tahapan selanjutnya, yaitu penyulaman. Sebagai contoh, yang ada, bisa disisihkan 2 ribu bibit untuk penyulaman. Sebagai informasi, satu hal yang juga penting untuk mulai dilakukan dan dikampanyekan ke masyarakat luas adalah sebisa mungkin jangan sampai melakukan pola penanaman dengan sistem monokultur, dimana hanya satu jenis mangrove saja yang ditanam pada suatu lokasi program rehabilitasi mangrove. Untuk tujuan jangka panjang, tentu saja harus lebih banyak lagi variasi jenis mangrove yang harus ditanam, untuk menjaga keanekaragaman jenis ekosistem pesisir ini, di masa mendatang. Persiapan Penanaman Mangrove Sebelum dilakukan penanaman, lokasi penanaman harus disiapkan sedemikian rupa hal yang tidak diinginkan pada saat penanaman. Beberapa hal pembersihan lokasi penanaman dari vegetasi tumbuhan pengganggu dan penancapan ajir (potongan bambu dengan panjang 1 m yang diikatkan dengan bibit mangrove menggunakan tali rafia). Khusus untuk penancapan ajir, hal ini sengaja dilakukan mudah dan mempercepat waktu penanaman. Bibit diambil dari kebun bibit dan diangkut dengan menggunakan armada truk menuju ke sekitar lokasi penanaman. Selanjutnya, bibit mangrove disimpan, diletakkan dan diatur sedemikian rupa sehingga bisa tersusun secara rapi, di lokasi yang terlindung dari sinar matahari secara langsung. Cara penanaman mangrove adalah tersebut di bawah ini: Kegiatan penancapan ajir dilakukan dengan dua tujuan yaitu: (1) sebagai penanda ove sehingga akan mempermudah peserta dalam melakukan penanaman; (2) penggunaan ajir juga berfungsi agar bibit-bibit mangrove yang ditanam bisa berjajar secara rapi sehingga mempermudah dalam penghitungan kelulushidupan pada saat monitoring; (3) ajir berguna menjaga bibit mangrove tidak cetok, sedemikian rupa sehingga lubang penanaman cukup dalam, sehingga akar Setelah itu, ikat batang bibit mangrove ke ajir dengan menggunakan tali rafia yang Timbun dengan tanah. Jangan terlalu menekan tanah, sehingga oksigen bisa Ambil polibek yang terletak di atas ajir, kumpulkan menjadi satu di sebuah macam barang Tidak semua bibit mangrove harus ditanam pada saat penanaman, melainkan bisa disisihkan untuk tahapan selanjutnya, yaitu penyulaman. Sebagai contoh, Sebagai informasi, satu hal yang juga penting untuk mulai dilakukan dan dikampanyekan ke masyarakat luas adalah sebisa mungkin jangan sampai melakukan pola a hanya satu jenis mangrove saja yang ntuk tujuan jangka panjang, tentu saja harus lebih banyak lagi variasi jenis mangrove yang harus ditanam, untuk Sebelum dilakukan penanaman, lokasi penanaman harus disiapkan sedemikian rupa Beberapa hal pembersihan lokasi penanaman dari vegetasi tumbuhan pengganggu dan penancapan ajir (potongan bambu dengan panjang 1 m yang diikatkan dengan bibit Khusus untuk penancapan ajir, hal ini sengaja dilakukan Bibit diambil dari kebun bibit dan diangkut dengan menggunakan armada truk Selanjutnya, bibit mangrove disimpan, diletakkan dan rapi, di lokasi yang terlindung dari sinar matahari secara langsung. Cara penanaman mangrove adalah tersebut di bawah ini: Kegiatan penancapan ajir dilakukan dengan dua tujuan yaitu: (1) sebagai penanda ove sehingga akan mempermudah peserta dalam melakukan bibit mangrove yang ditanam bisa berjajar secara rapi sehingga mempermudah dalam penghitungan kelulushidupan pada saat monitoring; (3) ajir berguna menjaga bibit mangrove tidak roboh pada saat terjadi air pasang. m. Tahap Penanaman Pada tahap penanaman, spesies mangrove dikelompokkan berdasarkan spesiesnya. Bibit mangrove ditanam di lokasi penanaman dengan teknik penanaman menggunakan ajir. Penggunaan ajir berguna untuk menjaga bibit mangrove tidak ketika terkena ombak. Jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Penanaman mangrove diatur sedemikian rupa sehingga ketiga jenis mangrove tidak tercampur supaya tidak merubah sifat alami mangrove yaitu membentuk tegakan murni. Cara Penanaman Mangrove ditanam di lahan yang telah disediakan dengan cara membuat lubang di dekat ajir-ajir, dengan ukuran lebih besar dari ukuran polibek dan dengan kedalaman dua kali lipat dari panjang polibek. n. Tahap Penyulaman Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti bibit dengan bibit-bibit mangrove yang baru. mangrove yang telah disisihkan pada saat tahap penanaman. Penyulaman diadakan pada jangka waktu tertentu, bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situsi di lapangan. Hal-hal yang dibutuhkan pada saat penyul mangrove, cetok, ajir dan tali rafia. Selain itu, apabila ditemui hama dan gangguan lainnya, maka dibutuhkan insektisida atau moluskisida (jika diperlukan) untuk mengatasi hama dan gangguan lain tersebut. 14 roboh pada saat terjadi air pasang. Pada tahap penanaman, spesies mangrove dikelompokkan berdasarkan spesiesnya. Bibit mangrove ditanam di lokasi penanaman dengan teknik penanaman . Penggunaan ajir berguna untuk menjaga bibit mangrove tidak ketika terkena ombak. Jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Penanaman mangrove diatur sedemikian rupa sehingga ketiga jenis mangrove tidak tercampur supaya tidak merubah sifat alami mangrove yaitu membentuk tegakan murni. Mangrove ditanam di lahan yang telah disediakan dengan cara membuat lubang di dekat ajir, dengan ukuran lebih besar dari ukuran polibek dan dengan kedalaman dua kali lipat Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti bibit-bibit mangrove yang telah mati bibit mangrove yang baru. Bibit mangrove untuk penyulaman, diambil dari bibit mangrove yang telah disisihkan pada saat tahap penanaman. Penyulaman diadakan pada jangka waktu tertentu, bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situsi di lapangan. hal yang dibutuhkan pada saat penyulaman adalah propagul dan atau bibit mangrove, cetok, ajir dan tali rafia. Selain itu, apabila ditemui hama dan gangguan lainnya, maka dibutuhkan insektisida atau moluskisida (jika diperlukan) untuk mengatasi hama dan Pada tahap penanaman, spesies mangrove dikelompokkan berdasarkan spesiesnya. Bibit mangrove ditanam di lokasi penanaman dengan teknik penanaman mangrove . Penggunaan ajir berguna untuk menjaga bibit mangrove tidak tumbang ketika terkena ombak. Jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Penanaman mangrove diatur sedemikian rupa sehingga ketiga jenis mangrove tidak tercampur supaya tidak merubah Mangrove ditanam di lahan yang telah disediakan dengan cara membuat lubang di dekat ajir, dengan ukuran lebih besar dari ukuran polibek dan dengan kedalaman dua kali lipat bibit mangrove yang telah mati Bibit mangrove untuk penyulaman, diambil dari bibit mangrove yang telah disisihkan pada saat tahap penanaman. Penyulaman diadakan pada jangka waktu tertentu, bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situsi di lapangan. aman adalah propagul dan atau bibit mangrove, cetok, ajir dan tali rafia. Selain itu, apabila ditemui hama dan gangguan lainnya, maka dibutuhkan insektisida atau moluskisida (jika diperlukan) untuk mengatasi hama dan Cara melakukan penyulaman adalah dengan cara mencari bibit mati dan menggantinya dengan bibit yang terlihat roboh dari ajirnya dan terlepas tali rafianya, dikuatkan kembali. melakukan penggantian terhadap bibit dilakukan program pemberantasan hama pengganggu yang ditemui di lokasi penanaman. Jenis hama pengganggu yang umum ditemukan di Semarang dan sekitarnya adalah 3W, yaitu Wideng, Wedhus dan Wong. Wideng adalah jenis kepiting, Wedhus adalah Kambing dan Wong adalah orang. Sebutan 3W sangat Surodadi, Demak. Hama lain yang ditemukan di mangrove adalah ulat mangrove, insect, ganggang laut, dan teritip. Ulat mangrove banyak ditemukan di Tugu, Semarang. Ulat mangrove menyerang bibit-bibit mangrove usia tiga sampai dengan satu tahun. Ulat mangrove memangsa daun dan batang mangrove sampai habis, dalam kurun waktu tertentu. hama ulat ini dengan tiga cara, yaitu menggunakan insektisida, diambil satu persatu kemudian dimatikan dan dibiarkan saja mengingat serangan ulat hanya bersifat sementara. Scale insect adalah sejenis seranggga yang seringkali ditemui di ini berwarna putih dan menyebabkan daun hama ini, bisa dilakukan dengan cara menyiram bibit Ganggang laut adalah hama lainnya yang dominan ditemukan di Pasar Banggi, Rembang. Hama ini menyebabkan kematian dalam skala masal karena terganggunya proses respirasi. Permasalahan ini bisa diatasi dengan cara mengambil ganggang dan menyingkirkannya dari bibit-bibit mangrove teritip, yaitu sejenis krustasea yang men ditimbulkan oleh hama ini sangatlah serius karena satu batang bibit hampir seluruh daunnya habis dimangsa, sehingga mematikan bibit menyerang di daerah pertambakan yang menga Teritip umum ditemukan di Tugu, Tugurejo, Mangunharjo, Tapak, Pasar Banggi dan kawasan pertambakan lainnya. Serangan hama ini bisa diatasi dengan menggunakan obat pembasmi krustasea khusus yaitu moluskisida, jenis BENTAN 45 WP, den melakukan penyemprotan pada bibit mangrove yang terserang. Namun demikian, perlu diingat bahwa karena dosis BENTAN sangat tinggi, maka bisa menyebabkan kematian pada ikan dan atau udang yang ada di lahan pertambakan. Untuk itu, sebelum melakukan pembasmian teritip, maka buah ikan dan atau udang yang ada di tambak, harus dikuras terlebih dahulu. Informasi terbaru, BENTAN 45 WP, agaknya mulai dilarang penggunaannya. Oleh karena itu, pencegahan dan pembasmian secara manual, kiranya adalah hal yang 15 n penyulaman adalah dengan cara mencari bibit-bibit mangrove yang mati dan menggantinya dengan bibit-bibit mangrove yang baru. Kemudian, bibit mangrove yang terlihat roboh dari ajirnya dan terlepas tali rafianya, dikuatkan kembali. tian terhadap bibit-bibit mangrove yang mati, di tahap penyulaman, juga dilakukan program pemberantasan hama pengganggu yang ditemui di lokasi penanaman. Jenis hama pengganggu yang umum ditemukan di Semarang dan sekitarnya adalah dan Wong. Wideng adalah jenis kepiting, Wedhus adalah Kambing dan Wong adalah orang. Sebutan 3W sangat familier di masyarakat pesisir Surodadi, Demak. Hama lain yang ditemukan di mangrove adalah ulat mangrove, ganggang laut, dan teritip. t mangrove banyak ditemukan di Tugu, Semarang. Ulat mangrove menyerang bibit mangrove usia tiga sampai dengan satu tahun. Ulat mangrove memangsa daun dan batang mangrove sampai habis, dalam kurun waktu tertentu. Warga sekitar mengatasi dengan tiga cara, yaitu menggunakan insektisida, diambil satu persatu kemudian dimatikan dan dibiarkan saja mengingat serangan ulat hanya bersifat sementara. adalah sejenis seranggga yang seringkali ditemui di Teluk Awur. Hama putih dan menyebabkan daun-daun mangrove berlubang. Untuk mencegah hama ini, bisa dilakukan dengan cara menyiram bibit-bibit mangrove dengan air laut. Ganggang laut adalah hama lainnya yang dominan ditemukan di Pasar Banggi, Rembang. ematian dalam skala masal karena terganggunya proses respirasi. Permasalahan ini bisa diatasi dengan cara mengambil ganggang dan bibit mangrove Hama lainnya yang sangat berbahaya adalah teritip, yaitu sejenis krustasea yang menyerang batang mangrove. Kematian yang ditimbulkan oleh hama ini sangatlah serius karena satu batang bibit hampir seluruh daunnya habis dimangsa, sehingga mematikan bibit-bibit mangrove yang telah ditanam. Hama ini menyerang di daerah pertambakan yang menganut konsep silvofishery. Teritip umum ditemukan di Tugu, Tugurejo, Mangunharjo, Tapak, Pasar Banggi dan kawasan pertambakan lainnya. Serangan hama ini bisa diatasi dengan menggunakan obat pembasmi krustasea khusus yaitu moluskisida, jenis BENTAN 45 WP, den melakukan penyemprotan pada bibit mangrove yang terserang. Namun demikian, perlu diingat bahwa karena dosis BENTAN sangat tinggi, maka bisa menyebabkan kematian pada ikan dan atau udang yang ada di lahan pertambakan. pembasmian teritip, maka buah ikan dan atau udang yang ada di tambak, harus dikuras terlebih dahulu. Informasi terbaru, BENTAN 45 WP, agaknya mulai dilarang penggunaannya. Oleh karena itu, pencegahan dan pembasmian secara manual, kiranya adalah hal yang terbaik untuk dilakukan. Selanjutnya, dalam tahapan bibit mangrove yang bibit mangrove yang baru. Kemudian, bibit mangrove yang terlihat roboh dari ajirnya dan terlepas tali rafianya, dikuatkan kembali. Selain bibit mangrove yang mati, di tahap penyulaman, juga dilakukan program pemberantasan hama pengganggu yang ditemui di lokasi penanaman. Jenis hama pengganggu yang umum ditemukan di Semarang dan sekitarnya adalah dan Wong. Wideng adalah jenis kepiting, Wedhus adalah di masyarakat pesisir Surodadi, Demak. Hama lain yang ditemukan di mangrove adalah ulat mangrove, scale t mangrove banyak ditemukan di Tugu, Semarang. Ulat mangrove menyerang bibit mangrove usia tiga sampai dengan satu tahun. Ulat mangrove memangsa daun Warga sekitar mengatasi dengan tiga cara, yaitu menggunakan insektisida, diambil satu persatu kemudian dimatikan dan dibiarkan saja mengingat serangan ulat hanya bersifat sementara. Teluk Awur. Hama daun mangrove berlubang. Untuk mencegah bibit mangrove dengan air laut. Ganggang laut adalah hama lainnya yang dominan ditemukan di Pasar Banggi, Rembang. ematian dalam skala masal karena terganggunya proses respirasi. Permasalahan ini bisa diatasi dengan cara mengambil ganggang dan Hama lainnya yang sangat berbahaya adalah yerang batang mangrove. Kematian yang ditimbulkan oleh hama ini sangatlah serius karena satu batang bibit hampir seluruh daunnya bibit mangrove yang telah ditanam. Hama ini Teritip umum ditemukan di Tugu, Tugurejo, Mangunharjo, Tapak, Pasar Banggi dan kawasan pertambakan lainnya. Serangan hama ini bisa diatasi dengan menggunakan obat pembasmi krustasea khusus yaitu moluskisida, jenis BENTAN 45 WP, dengan cara Namun demikian, perlu diingat bahwa karena dosis BENTAN sangat tinggi, maka bisa menyebabkan kematian pada ikan dan atau udang yang ada di lahan pertambakan. pembasmian teritip, maka buah ikan dan atau udang yang ada di tambak, harus dikuras terlebih dahulu. Informasi terbaru, BENTAN 45 WP, agaknya mulai dilarang penggunaannya. Oleh karena itu, pencegahan dan pembasmian secara Selanjutnya, dalam tahapan penyulaman, juga dilakukan kegiatan penyiangan terhadap bahan pencemar seperti plastik dan rumput liar yang terkadang ditemukan dan tumbuh di sekitar lokasi penanaman. Yang perlu diperhatikan dalam dan moluskisida dan bahan-bahan kimia lainnya, sebaiknya diminimalisir mengingat dampaknya yang kurang baik terhadap lingkungan. Selanjutnya, mengingat mangrove termasuk tumbuhan yang tahan terhadap kondis alam yang ekstrim, maka tindakan preventif lebih dianjurkan dalam tahapan penyulaman ini, yaitu dengan cara melakukan penyiraman dengan air laut terhadap bibit yang telah kita tanam. Penyiraman bisa dilakukan setiap satu hari sekali pada s yang dideteksi memiliki jenis kelimpahan hama yang tinggi. Untuk lokasi yang relatif tidak memiliki jenis hama mangrove yang bervariasi dan kondisi lingkungan yang mendukung di sebuah teluk yang terlindung, seperti di Teluk Awur Jepara, maka tahapan penyulaman hanya dilakukan dengan cara memelihara pengaturan saluran airnya sehingga proses pasang surut di lokasi penanaman selalu dapat terjaga dengan baik. o. Tahap Pemeliharaan Tahap ini adalah tahap lanjutan setelah tahap penyulaman selesai dil Tahapan pemeliharaan mangrove, memiliki tujuan jangka panjang untuk memastikan agar bibit-bibit mangrove kita, bisa hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal yang harus dilakukan pada tahapan ini adalah program penjarangan, yaitu berupa penebangan beberapa buah batang pohon mangrove muda, jika ditengarai bibit mangrove yang berhasil tumbuh memiliki kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini penting dilakukan untuk memaksimalkan pertumbuhan pohon mangrove lainnya. Teknik penebangan yang dilakukan adalah h pohon muda saja, yang ditengarai menyebabkan terganggunya pohon muda lainnya dalam mendapatkan pertumbuhannya yang maksimal. Selain penjarangan, juga dilakukan pembersihan lokasi terhadap hama dan gangguan lainnya seperti rumput liar, pencemaran minyak dan gangguan lainnya, serta pengelolaan saluran air, jika didapati terjadinya penutupan saluran air sebagai akibat dari perubahan alam di daerah pesisir. Selanjutnya, tata aturan seperti larangan melakukan penebangan pohon yang telah berhasil tumbuh dengan baik di lokasi penanaman, juga harus dibuat untuk memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat luas akan pentingnya penjagaan terhadap kelestarian mangrove di pesisir. Menurut Taniguchi, dkk (1999), pen bibit mangrove yang telah ditanam, terus menerus mengalami penurunan. 16 penyulaman, juga dilakukan kegiatan penyiangan terhadap bahan pencemar seperti plastik dan rumput liar yang terkadang ditemukan dan tumbuh di sekitar lokasi penanaman. Yang perlu diperhatikan dalam tahap penyulaman ini adalah penggunaan insektisida bahan kimia lainnya, sebaiknya diminimalisir mengingat dampaknya yang kurang baik terhadap lingkungan. Selanjutnya, mengingat mangrove termasuk tumbuhan yang tahan terhadap kondis alam yang ekstrim, maka tindakan preventif lebih dianjurkan dalam tahapan penyulaman ini, yaitu dengan cara melakukan penyiraman dengan air laut terhadap bibit-bibit mangrove yang telah kita tanam. Penyiraman bisa dilakukan setiap satu hari sekali pada s yang dideteksi memiliki jenis kelimpahan hama yang tinggi. Untuk lokasi yang relatif tidak memiliki jenis hama mangrove yang bervariasi dan kondisi lingkungan yang mendukung di sebuah teluk yang terlindung, seperti di Teluk Awur ahapan penyulaman hanya dilakukan dengan cara memelihara pengaturan saluran airnya sehingga proses pasang surut di lokasi penanaman selalu dapat terjaga Tahap ini adalah tahap lanjutan setelah tahap penyulaman selesai dil Tahapan pemeliharaan mangrove, memiliki tujuan jangka panjang untuk memastikan agar bibit mangrove kita, bisa hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal yang harus dilakukan pada tahapan ini adalah program penjarangan, yaitu eberapa buah batang pohon mangrove muda, jika ditengarai bibit mangrove yang berhasil tumbuh memiliki kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini penting dilakukan untuk memaksimalkan pertumbuhan pohon mangrove lainnya. Teknik penebangan yang dilakukan adalah hanya menebang beberapa buah batang pohon muda saja, yang ditengarai menyebabkan terganggunya pohon muda lainnya dalam mendapatkan pertumbuhannya yang maksimal. Selain penjarangan, juga dilakukan pembersihan lokasi terhadap hama dan i rumput liar, pencemaran minyak dan gangguan lainnya, serta pengelolaan saluran air, jika didapati terjadinya penutupan saluran air sebagai akibat dari perubahan alam di daerah pesisir. Selanjutnya, tata aturan seperti larangan melakukan penebangan pohon yang telah berhasil tumbuh dengan baik di lokasi penanaman, juga harus dibuat untuk memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat luas akan pentingnya penjagaan terhadap kelestarian mangrove di pesisir. Menurut Taniguchi, dkk (1999), penyiangan dilakukan apabila kelulushidupan bibit bibit mangrove yang telah ditanam, terus menerus mengalami penurunan. penyulaman, juga dilakukan kegiatan penyiangan terhadap bahan pencemar seperti plastik dan rumput liar yang terkadang ditemukan dan tumbuh di sekitar lokasi penanaman. tahap penyulaman ini adalah penggunaan insektisida bahan kimia lainnya, sebaiknya diminimalisir mengingat Selanjutnya, mengingat mangrove termasuk tumbuhan yang tahan terhadap kondisi alam yang ekstrim, maka tindakan preventif lebih dianjurkan dalam tahapan penyulaman ini, bibit mangrove yang telah kita tanam. Penyiraman bisa dilakukan setiap satu hari sekali pada suatu lokasi Untuk lokasi yang relatif tidak memiliki jenis hama mangrove yang bervariasi dan kondisi lingkungan yang mendukung di sebuah teluk yang terlindung, seperti di Teluk Awur ahapan penyulaman hanya dilakukan dengan cara memelihara pengaturan saluran airnya sehingga proses pasang surut di lokasi penanaman selalu dapat terjaga Tahap ini adalah tahap lanjutan setelah tahap penyulaman selesai dilakukan. Tahapan pemeliharaan mangrove, memiliki tujuan jangka panjang untuk memastikan agar Hal yang harus dilakukan pada tahapan ini adalah program penjarangan, yaitu eberapa buah batang pohon mangrove muda, jika ditengarai bibit mangrove yang berhasil tumbuh memiliki kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini penting anya menebang beberapa buah batang pohon muda saja, yang ditengarai menyebabkan terganggunya pohon muda lainnya dalam Selain penjarangan, juga dilakukan pembersihan lokasi terhadap hama dan i rumput liar, pencemaran minyak dan gangguan lainnya, serta pengelolaan saluran air, jika didapati terjadinya penutupan saluran air sebagai akibat dari Selanjutnya, tata aturan seperti larangan melakukan penebangan pohon mangrove yang telah berhasil tumbuh dengan baik di lokasi penanaman, juga harus dibuat untuk memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat luas akan pentingnya penjagaan yiangan dilakukan apabila kelulushidupan bibit- 17 Penyiangan dilakukan dengan penyulaman yaitu mengganti bibit-bibit mangrove yang telah mati dengan bibit-bibit mangrove yang baru. Selain itu, juga dilakukan penebasan terhadap tumbuhan liar yang tumbuh di sekitar mangrove untuk mengurangi persaingan sehingga bibit-bibit mangrove yang telah ditanam bisa tumbuh dengan baik. Selanjutnya, kegiatan penjarangan diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang ideal bagi tanaman yaitu agar pertumbuhan tanaman dapat meningkat dan pohon-pohon yang tumbuh bisa sehat dan baik. Untuk perlindungan tanaman, maka mangrove dalam pertumbuhannya mempunyai masa-masa kritis. Oleh karena itu, perlindungan tanaman mangrove dan hama yang merusak, mulai dari pembibitan hingga mencapai anakan, perlu dilakukan agar pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik. TIPS MENANAM DAN MEMELIHARA MANGROVE Apabila Anda berjalan di pesisir pantai, dan kebetulan menemukan buah mangrove- panjang (propagul), cobalah lakukan hal sederhana berikut ini: AMBIL Ambil dan pilih propagul yang matang, dicirikan dengan adanya lingkaran cincin berwarna kuning, di bagian bawah buahnya (bagian paling atas, berwarna coklat). TANAM Bukalah buahnya, lalu tanamlah dua pertiga bagian propagul ke tanah. Pastikan propagul tertanam dengan baik. Kalau ada potongan bambu dan rafia, tanamlah bambu (ajir) disamping propagul, lalu ikat dengan tali rafia. Cara ini lebih baik untuk melindungi mangrove dari gelombang yang sewaktu-waktu bisa merobohkannya PELIHARA Jangan lupa pelihara mangrove yang sudah ditanam dengan cara kembali lagi ke pesisir untuk sekedar melihat perkembangannya. Lakukan ini, minimal selama 3 bulan setelah selesai menanamnya . Pastikan, mangrove dalam keadaan baik. 18 DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kehutanan P.03/MENHUT-V/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Priyono, Aris. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Pesisir Indonesia. KeSEMaT, Semarang
Dokumen UKL-UPL Pembangunan Hotel Cottage Siuri (Documents of Environmental Management and Monitoring Efforts in The Construction of Hotel Cottage Siuri, Poso Regency)