You are on page 1of 139

SUPLEMEN UKL UPL

DAMPAK RENCANA PEMBANGUNAN


TPI BUNGKU TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan rahmat-Nya
sehingga penyusunan suplemen UKL-UPL dampak pembangunan TPI Bungku terhadap
ekosistem mangrove ini dapat selesai sebagaimana harapan kita bersama. Kami menyadari
bahwa dalam penyajian suplemen UKL-UPL ini masih perlu penyempurnaan yang paripurna
sehingga resiko dampak yang ditimbulkan dari rencana pembangunan TPI Bungku terhadap
ekosistem mangrove dapat diperkecil dan tertangani dengan baik dan benar.
Olehnya itu kami sangat membutuhkan saran dan masukan yang konstruktif serta
penyempurnaan atas kemungkiinan adanya kekeliruan dalam penulisan suplemen ini dari
berbagai pihak, bagi rampungnya dokumen suplemen UKL-UPL TPI Bungku yang
komprehensif. Kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan suplemen ini
khususnya Tim Kerja Penyusunan Suplemen UKL-UPL TPI Bungku saya mengucapkan
penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas upaya dan dedikasi kita sekalian
dalam menyelesaikan suplemen ini.
Harapan kami, laporan ini akan sangat bermanfaat bagi Tim Kerja, PMU dan PIU-USDRP
Morowali dalam proses pemantauan dan pengelolaan lingkungan baik pra-konstruksi,
konstruksi dan pasca-konstruksi pembangunan TPI Bungku.

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rencana kegiatan pembangunan TPI Bungku selain akan memberikan manfaat positif
secara ekonomi bagi masyarakat nelayan dan Pemda Morowali, juga perlu
memperhatikan aspek kelayakan lingkungan mengingat lokasinya yang berada di
kawasan perkotaan dan masih ditumbuhi tanaman bakau (mangrove). Keberadaan
mangrove memiliki nilai ekologi, ekonomi dan sosial sangat penting bagi ekosistem
mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Untuk itu perlu dikelola dan dilindungi
keberadaannya mengacu kepada UU No.5 Tahun 1990, UU No,27 Tahun 2007, RAMSAR
Convention, dan ketentuan Bank Dunia mengenai sumber daya alami (Natural Habitat)
(lihat di OP.04. Natural Habitat di www.worldbank.org).
Dokumen UKL-UPL belum secara komprehensif mengkaji dampak pembangunan TPI
Bungku terhadap keberadaan ekosistem mangrove, satwa langka, biota laut dan sebaran
terumbu karang di sekitar lokasi TPI, dan timbulnya abrasi pantai. Selain itu kajian
prasarana lingkungan seperti pembuatan sistem saluran pembuangan limbah dan
saluran drainase juga belum dilakukan secara komprehensif. Olehnya itu diperlukan
suplemen UKL-UPL untuk melengkapi kajian yang belum termuat di dalam dokumen UKL-
UPL, sehingga kemungkinan terjadinya berbagai dampak negatif dengan adanya
pembangunan TPI Bungku dapat terkelola dengan baik dan benar. Berdasarkan hasil
kunjungan lapangan yang dilakukan pada misi supervisi Bank Dunia, rencana lokasi
pembangunan TPI Bungku sudah pada tahap kegiatan pematangan lahan dan hasil
koordinasi dengan SKPD terkait lokasi tersebut berada pada Area Penggunaan Lain
(APL) sesuai dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Morowali SK.Menhut
No.575 tahun 1999.
1.2. Landasan Hukum
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (pasal 8 jo pasal 27 Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok Pokok Kesehatan
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 43)
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan
Beracun
5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan/atau
Pengrusakan Laut (pasal 8)
6. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2000 tentang Penyusunan
AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah
7. Undang-undang Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
8. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir
9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
10. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara
13. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Kebauan.
14. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku
dan Penentuan Kerusakan Mangrove
15. Surat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 47 Tahun
2001, Tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang.
16. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2009 (masih dalam
tahap pembahasan di daerah)
17. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Morowali Tahun 2003 - 2013
18. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bungku Tahun 2006 - 2016
19. RAMSAR Convention of Wetland Tahun 1971
20. Ketentuan Bank Dunia tentang Natural Habitat (op. 4.04 Natural Habitat) untuk kajian
dan pengelolaan mangrove, biota laut, terumbu karang, dan satwa langka.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan Tujuan penyusunan Suplemen UKL-UPL untuk masing-masing kajian yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan kajian tentang keberadaan ekosistem mangrove dan satwa langka lainnya
di lokasi TPI Bungku.
2. Melakukan kajian tentang keberadaan biota laut dan sebaran terumbu karang/padang
lamun di sekitar lokasi TPI Bungku.
3. Melakukan kajian tentang sistem drainase dan sistem pembuangan limbah di sekitar
lokasi TPI Bungku.
4. Melakukan kajian dampak pada tahapan pra-konstruksi, konstruksi dan pasca-
konstruksi pembangunan TPI Bungku terhadap ekosistem mangrove, biota laut, satwa
langka, terumbu karang/padang lamun, abrasi pantai dan sistem drainase serta
pembuangan limbah.
1.4. Kegunaan Studi
1. Sebagai pedoman dalam pengelolaan lingkungan pembangunan TPI Bungku secara
berkelanjutan dan berjangka panjang bagi keberadaan ekosistem mangrove, satwa
langka, terumbu karang, padang lamun dan sistem pembuangan limbah serta saluran
drainase TPI Bungku.
2. Untuk memenuhi dan menyempurnakan rekomendasi dokumen UKL-UPL TPI Bungku
1.5. Wilayah Studi
1.5.1. Batas wilayah Administratif
Wilayah study berada di Wialayh Administrasi Pemerintahan Kelurahan Matano,
Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Batas
Wilayah lokasi TPI Menempati areal sisi barat laut Dermaga Bungku (eksisting) seluas
10.997 M
2
, Dengan batas-batas areal lokasi sebagai berikut :
Sebelah Utara : Permukiman penduduk
Sebelah Timur : Perairan Teluk Tolo
Sebelah Selatan : Dermaga Bungku dan Permukiman penduduk
Sebelah Barat : Pasar Tradisional Bungku dan Permukiman penduduk
Jarak lokasi TPI Dengan Kota Bungku sekitar 0,5 Km, waktu tempuh ke ke lokasi 5 Menit
dari Kota Bungku dan Pusat pemerintahan/Kantor Bupati 10 Menit. Jarak lokasi Areal
lokasi Pembangunan TPI dari tepi pantai/Garis pantai 150 M
1.5.2. Kondisi Area
Sesuai dengan kajian Tim Kerja yang dibentuk berdasarkan SK. PMU, untuk Suplemen
UKL/UPL menunjukkan bahwa status wilayah study ;
1) Sesuai dengan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Sulawesi Tengah
berdasarkan SK, Menteri Kehutanan No. 575 Tahun 1999 areal lokasi yang dimaksud
Adalah status Areal Penggunaan Lain (APL).
2) Sesuai dengan Peta Hutan dan Perairan Kabupaten Morowali areal lokasi yang
dimaksud adalah status Areal Penggunaan Lain (APL).
3) Sesuai dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK).tahun 2003-
2013 Areal yang dimaksud adalah wilayah peruntukan Kawasan perdagangan dan
Industri
4) Sesuai dengan Peta Detil Tata Ruang Kota Bungku adalah 2006-2016 kawasan
Pengembangan Perdagangan dan indutri, Permukiman penduduk.
Maka berdasarkan hal-hal tersebut diatas hasil kajian ini menunjukkan bahwa Areal lokasi
pembangunan TPI Bungku Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali Propinsi
Sulawesi Tengah bukan Areal Kawasan Hutan atau Kawasan Konservasi yang dilindungi.

1.6. Identitas dan Susunan Tim Penyusun
Sesuai Surat Keputusan Ketua PMU-USDRP Morowali Nomor 188.45/84/PMU-
USDRP/V/2011 tentang Pembentukan Tim Kerja Penyusunan Suplemen Dokumen UKL-UPL
TPI Bungku yang susunan keanggotaannya adalah sebagai berikut :
1. KOORDINATOR : Drs. YULIZAR Nip. 19570310 199103 1 003
(Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali)
2. ANGGOTA : I KADEK WISNUADA,S.Hut Nip.197412052002121004
(Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali)
RAMLAN, ST, M.Si. Nip.
(Dinas Kelautan dan Perikanan Morowali)
ANWAR SAIMU, ST Nip. 19740115 200110 1 006
(Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali)
HENGKY F. PADANG, ST Nip.
(Dinas Pekerjaan Umum Daerah Morowali)
ARIFUDIN, SE Nip. 19730210 200701 1 023
(Bappeda Kabupaten Morowali)
Peta-peta yang diperlukan terdiri dari ; Peta Kawasan Hutan dan Perairan (APL)
Kab.Morowali, Rencana Tata Ruang Wilayah Kab.Morowali (terlampir)
BAB II
RENCANA KEGIATAN
2.1. Rencana Kegiatan Tahap Pra-Konstruksi
Pada tahap pra-konstruksi akan dilakukan kegiatan sosialisasi rencana usaha dan/atau
kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku sehingga rencana kegiatan/usaha pada
tahapan ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting secara spesifik terhadap
komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) dan komponen lingkungan biologi
yang terdiri vegetasi mangrove, terumbu karang, biota laut dan satwa langka.
Pada tahapan ini hanya menimbulkan dampak terhadap komponen lingkungan sosial
ekonomi dan budaya yang meliputi keresahan pedagang, perubahan sikap dan presepsi
masyarakat atas rencana pembangunan TPI.
2.2. Rencana Kegiatan Tahap Konstruksi
Ditahapan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern
Bungku terdiri dari :
1. Pembangunan dan pengoperasian base camp
2. Pembukaan dan pematangan lahan
3. Konstruksi fisik TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya yang terdiri dari :
a. Pembangunan mushollah
b. Pembangunan tempat wudhu dan kamar mandi/wc
c. Pembangunan kantor pengelola
d. Pembangunan gedung cold storage
e. Pembangunan gedung TPI
f. Pembangunan gudang TPI
g. Pembangunan lantai penjemuran
h. Pembangunan warung dan toko
i. Pembangunan kamar mandi/wc umum
j. Pembangunan rumah genset
k. Pembangunan tower air
l. Pembangunan stasiun pompa bahan bakar
m. Pembangunan jalan lingkungan
n. Pembangunan sistem drainase tertutup
o. Pembangunan IPAL
p. Pembangunan kolam/dermaga
q. Pembangunan kanal
r. Pembangunan pagar TPI
s. Pembangunan taman dan landscape TPI
4. Mobilisasi material dan alat berat
5. Penerimaan tenaga kerja dan terbukanya kesempatan kerja
6. Penanaman kembali mangrove/revegetasi
Rencana kegiatan/usaha pada tahapan ini menimbulkan dampak besar dan penting
secara spesifik terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) akibat
terjadinya perubahan bentang alam di pesisir pantai yang dilalui alat berat serta material
pengerukan jalur kanal dan kolam. Sedangkan komponen lingkungan biologi yang
terganggu terdiri dari vegetasi mangrove, terumbu karang, biota laut dan satwa langka,
akibat dari aktifitas mobilisasi material dan alat berat serta aktifitas pembangunan sarana
dan prasarana fisik TPI. Terhadap komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya
terjadi keresahan pedagang, perubahan sikap dan presepsi masyarakat. Untuk komponen
kesehatan lingkungan dan masyarakat terjadinya gangguan kesehatan masyarakat
sekitar dan keselamatan kerja seluruh komponen yang terlibat dalam proses konstruksi
TPI.
2.3. Rencana Kegiatan Tahap Pasca-Konstruksi
Rencana kegiatan pada tahapan pasca-konstruksi adalah meliputi :
1. Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku
2. Kegiatan operasional dan pemeliharaan IPAL TPI Modern Bungku
3. Kegiatan operasional dan pemeliharaan rumah genset TPI Modern Bungku
4. Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana TPI Modern Bungku
5. Kegiatan operasional dan pemeliharaan jalan ruas di sekitar TPI Modern Bungku
6. Kegiatan penerimaan tenaga kerja oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku
7. Kegiatan penyediaan barang kebutuhan kapal penangkap ikan yang beroperasi di TPI
Modern Bungku
8. Kegiatan pembayaran kewajiban pelaku TPI Modern Bungku
Rencana kegiatan/usaha pada tahapan ini menimbulkan dampak besar dan penting
secara spesifik terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia (abrasi pantai) akibat
terjadinya perubahan bentang alam daerah pesisir pantai yang menjadi kanal TPI Bungku.
Terganggunya komponen lingkungan biologi yang terdiri dari vegetasi mangrove, terumbu
karang, biota laut dan satwa langka akibat dari aktifitas kegiatan operasional dan
pemeliharaan sarana dan prasarana TPI Bungku. Sedangkan terganggunya komponen
lingkungan sosial ekonomi dan budaya meliputi keresahan pencari kerja, perubahan sikap
dan presepsi masyarakat, kewajiban para pelaku/pengguna fasilitas TPI, ketersediaan
barang kebutuhan kapal penangkap ikan dan kurang sempurnanya penanganan
operasional serta pemeliharaan sarpras TPI. Terhadap komponen kesehatan lingkungan
dan masyarakat meliputi terjadinya penurunan nilai estetika akibat penyebaran dan
penumpukan sampah secara serampangan yang mengganggu kenyamanan dan kerapian
lingkungan.
BAB III
RONA LINGKUNGAN
Rona lingkungan meiputi : komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia, lingkungan biologi,
komponen sosial ekonomi dan budaya serta komponen kesehatan lingkungan dan
masyarakat
3.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
3.1.1. Iklim
Menurut data Stasiun Meteorologi BMG Poso Tahun 1996-2006. Khusus data hari hujan
dan curah hujan di lokasi TPI diperoleh Stasiun Pengamatan PPL Kecamatan Bungku
Tengah Tahun 2005 sebagai berikut :
a. Curah Hujan Dan Tipe Iklim
Hari hujan tercatat hari hujan rata-rata setiap bulan 11 hari dengan curah hujan sebesar
135 mm. Hari hujan tertinggi bulan Mei, Juli dan Agustus yaitu 15 hari dan hari hujan
terendah bulan Maret dan September yaitu 15 hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Mei
yaitu sebesar 311 mm dan curah hujan terendah pada bulan Desember yaitu sebesar 31
mm. Menurut klasifikasi iklim Koppen (dalam Schmitt dan Forguson, 1951) lokasi studi
tergolong pada tipe iklim Af (hujan tropik basah) yang dicirikan oleh curah hujan bulanan
terkering >60 mm dan suhu rata-rata bulanan >18C, areal studi masuk klasifikasi iklim
tipe A yang dicirikan oleh 0-1 bulan kering, dengan curah hujan <100 mm/bln, memiliki
nilai Q sebesar 14%. Menurut klasifikasi Oldeman termasuk tipe iklim C1 dengan 5-6
bulan basah berturut-turut, dengan curah hujan >200 mm/bln, areal studi mempunyai pola
curah hujan yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan relatif kering yang jelas.
b. Temperatur Udara
Temperatur udara di areal studi relatif tinggi dengan ketinggian tempat 0-50 m dpl. Suhu
udara rata-rata bulanan 25,50C, rata-rata suhu udara maksimum berkisar 29,3-31,90C
dan rata-rata suhu udara minimum berkisar 22,6-23,30C. Suhu maksimum mencapai
32,70C terjadi pada bulan Maret dan Nopember dan suhu minimum sebesar 22,60C
terjadi pada bulan Januari.
c. Kelembaban Dan Lama Penyinaran Matahari
Kelembaban udara relatif pada areal studi, relatif tinggi yang polanya hampir merata
sepanjang tahun. Kelembaban udara relatif rata-rata tahunan 85,3%, tertinggi 93% pada
bulan Juni dan terendah 80% yang terjadi pada bulan Agustus. Lama penyinaran
matahari penuh dihitung selama 12 jam, yaitu dari jam 06.00-18.00 yang setara dengan
100%. Lama penyinaran matahari rata-rata bulanan adalah 80,5%, penyinaran matahari
tertinggi 89,4% terjadi pada bulan Februari dan terendah 75,3% pada bulan Juli.
d. Arah Dan Kecepatan Angin
Kecepatan angin bulanan pada lokasi studi rata-rata 5,5 knot, dengan kecepatan
maksimum 7,3 knot dan minimum 4,6 knot. Arah angin terbanyak adalah arah Tenggara
yang terjadi selama 7 bulan dari bulan Mei sampai bulan November, disusul arah Barat
yang terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Desember, Maret dan April dan arah Utara
terjadi selama 2 bulan yaitu pada bulan Januari dan Februari.
3.1.2. Morfologi Dan Bentuk Wilayah
a. Morfologi Daerah Studi
Daerah Bungku dan sebahagian besar wilayah di bagian Timur Kabupaten Morowali
memiliki morfologi yang relatif homogen, yaitu berupa dataran rendah dengan topografi
datar hingga hampir rata dengan ketinggian 0 9 m dari permukaan laut. Daerah yang
menempati bagian Barat memiliki topografi rendah/landai (kemiringan 215%).
b. Fisiografi Dan Bentuk Wilayah
Daerah Bungku merupakan daerah dengan ketinggian dominan 3,1 m dari permukaan
laut dan kemiringan lereng 215% yang cenderung datar dan landai yang memungkinkan
untuk pengembangan kota. Namun sebagian lagi mempunyai bentuk morfologi yang
berbukit dan bergelombang, yang terletak pada ketinggian 59 m dari permukaan laut
dengan kemiringan 1540%. Morfologi bergelombang ini merupakan daerah pergunungan
dan lebih diprioritaskan sebagai kawasan konservasi. Gambaran mengenai morfologi
lokasi studi dapat dilihat pada Peta Topografi dalam Gambar 1.
3.1.3. Geologi Dan Batuan Induk
Formasi geologi yang terdapat di daerah Bungku sebagai pembentuk struktur batuan di
wilayah Bungku antara lain dari :
Kompleks Ultramafik (Ku) berumur Kapur berupa batuan harzburgit, herzolit, wehrlit,
websterit, serpentinit, dunit, diabas dan gabro. Kelompok batuan ini dijumpai di sebelah
barat, memanjang utara-selatan.
Formasi Matano (Km) yang juga berumur Kapur berupa blok batuan di sebelah barat-
barat laut Bungku, terdiri dari kalsilutit, napal dan serpih dengan sisipan rijang
radiolaria.
Formasi Salodik (Tems) berumur Eosen-Miosen Tengah yang tersusun oleh kalsilutit,
batugamping pasiran, napal, batupasir dan sisipan rijang. Kelompok batuan ini
menempati bagian tengah dan mendominasi batuan di daerah Bungku dan sekitarnya.
Formasi Pandua (Tmpp) berumur Miosen Akhir Pliosen, yang terdiri dari konglomerat,
batupasir dan batulempung dan menempati daerah Bungku dan menyebar ke selatan
sepanjang pantai Bungku, juga di bagian selatan berupa blok batuan terpisah, juga di
daerah pantai.
Dari hasil pengamatan lapangan, fisiografi wilayah Bungku secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yakni Dataran Rendah dan Perbukitan.
a. Dataran Rendah
Dari aspek morfogenetik bentuk lahan dataran rendah di daerah Bungku dan sekitarnya
disusun oleh batuan dari Formasi Pandua berupa konglomerat dan batuan sedimen
klastik halus. Resistensi rendah dengan proses denudasi yang kuat membentuk wilayah
pedataran dekat pantai. Pembentukannya sangat kuat dipengaruhi oleh faktor eksternal
berupa pelapukan dan erosi yang kuat.
b. Perbukitan
Bahan induk kelompok perbukitan adalah batuan dari Kompleks Ultramafik, Formasi
Matano, Formasi Salodik dan Formasi Pandua dengan tingkat resistensi batuan yang
lebih kuat serta proses endogen kuat yang membentuk fisiografi akibat tektonisme.
Proses endogen dan eksogen mengubah bentuk awal menjadi perbukitan yaitu melalui
proses pengangkatan, erosi, gradasi, deposisi dan pergerakan massa, sehingga terbentuk
morfologi perbukitan dengan amplitude kurang dari 200 m dibanding daerah sekitarnya
dan membentuk bukit-bukit kecil dengan pola acak. Variasinya ke dalam bentuk lahan
ditentukan oleh kemiringan lereng. Bentuk-bentuk lahan yang tergolong kedalam
kelompok perbukitan di daerah Bungku adalah perbukitan pola acak berlereng 8-15%,
berlereng 15-25%, berlereng25-40% dan lebih dari 40%. Penyebaran formasi geologi
yang melingkupi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern
Bungku.
3.1.4. Hidrooseanografi
a. Topografi Dasar Laut (Bathimetri)
Batimetri di perairan Teluk Tolo pantai sekitar lokasi studi berkisar antara 510 m. Dari
peta batimetri Dinas Hidrooseonografi TNI Angkatan Laut, topografi dasar laut di perairan
Teluk Tolo mempunyai kedalaman diatas 20 m sehingga cukup aman untuk dilayari dan
beroperasinya kapal penumpang maupun barang. Walaupun demikian, di perairan dekat
lokasi rencana usaha atau kegiatan masih perlu diwaspadai adanya karang-karang
dangkal yang mempunyai kedalaman 3,0 LWS.
b. Pasang Surut
Jenis pasang surut yang dijumpai merupakan pasang surut campuran yang bahkan
cenderung ganda, yang terjadi dua kali sehari. Menurut Triatmojo, jenis pasang surut
yang ada adalah pasang surut condong harian ganda. Kisaran pasang surut maksimal
dan minimal terukur 90 cm. Dari hasil perhitungan bilangan Formzahl (F), diperoleh
bahwa nilai F di perairan ini antara 0,80-1,082. Hasil ini menunjukkan bahwa tipe pasang
surut diperairan sekitar Teluk Tolo adalah campuran cenderung harian ganda (semi
diurnal). Kisaran pasang surut antara muka air tertinggi dan muka air terendah adalah
sebesar 90 cm.
c. Arus
Pola arus Laut Teluk Tolo di beberapa lokasi perairan Kabupaten Morowali adalah berupa
arus susur, pengalihan massa air yang menuju pantai dan momentum selama penjalaran
menimbulkan arus di kawasan depat pantai. Pada beberapa kawasan yang dilintasi
memiliki kecepatan antara 0,02 s/d 0,1 m/detik. Pola pergerakan arus yang terjadi pada
umumnya dominan arah Utara dan Baratlaut menuju ke Selatan dan Baratdaya. Pada
musim Timur kecepatan arus menurun karena arah angin yang bertiup dari arah
Tenggara dan Selatan, sehingga arus oleh angin yang berasal dari Laut Jawa akan
dibelokkan ke arah inner zone perairan Teluk Tolo. Pada musim barat arus dari Teluk
Tolo bertemu dengan arus yang bergerak dari Laut Jawa sehingga terjadi arus putar di
sekitar perairan Teluk Tolo bagian Selatan (Lemsaa, 2000).
d. Angin
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, diketahui bahwa musim
peralihan yakni dari Timur ke Barat menunjukkan bahwa arah datangnya angin dominan
dari Utara dengan persentase 26,6% diikuti dari Baratlaut, Barat dan Tenggara sebanyak
20% dan dari Timur 13,3%. Hal itu disebabkan pola angin yang mengalami perubahan
dari musim Timur yang didominasi oleh angin dari Timur menuju musim Barat. Secara
keseluruhan tiap tahun angin yang bertiup lebih didominasi dari Barat, Baratlaut dan
Utara,
dibanding dari Timur, Timurlaut, Tenggara, apalagi dari Selatan yang hampir tidak
menunjukkan adanya angin.
e. Gelombang Laut
Prosentase gelombang di Teluk Tolo didominasi dari arah Barat dibanding dari arah
lainnya. Dinamika ombak tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap
gelombang ke arah pantai. Menurut Triatmojo,1999 di daerah pantai sering terjadi refraksi
gelombang yang disebabkan oleh perubahan kedalaman laut dan keberadaan tanjung.
Frekuensi kejadian gelombang musim barat dominan dari Timur (2,6- 10,4%) dan Utara
(4,7-7,9%) dengan tinggi gelombang signifikan (Hs) dominan antara 0-0,5 meter. Selama
musim timur, gelombang juga dominan dari Utara dengan frekuesi kejadian 3,8-6,6% dan
dari Timur dengan frekuensi kejadian 3,7-7%. Frekuensi kejadian gelombang selama
musim barat lebih besar dibandingkan dengan musim timur, namun demikian ternyata
kondisi "calm" lebih dominan lagi yaitu dengan frekuensi kejadian 77,7-87,3%.
3.1.5. Hidrologi
a. Air Permukaan
Sumber air permukaan di daerah Bungku Tengah yang melingkupi lokasi studi berasal
dari aliran air sungai yang melintasi wilayah Kecamatan ini dengan sungai utama yaitu
Sungai Matauso. Sungai ini mengalir dari Barat atau dari perbukitan ke arah Timur dan
akhirnya bermuara di Teluk Tolo dengan panjang sungai 18 Km. Selain itu juga terdapat
beberapa sungai lainnya yang merupakan salah satu potensi yang dimiliki Kecamatan
Bungku Tengah dan dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk pengelolaan air bersih
dan untuk pengairan/irigasi sawah penduduk. Sumber air baku yang berasal dari air
permukaan Sungai Matauso mempunyai daya dukung debit air yang semakin menurun
terutama di musim kemarau. Kapasitas air baku yang dapat diambil melalui intake yang
terpasang di sungai tersebut sangat bervariasi tergantung dari kondisi iklim. Disamping itu
juga terdapat penggunaan air yang besumber dari air tanah dangkal (sumur terbuka).
b. Air Tanah Dalam
Selain air permukaan, sumber air lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
Bungku Tengah secara keseluruhan adalah air tanah dalam. Data tentang air tanah dalam
terutama tentang kemampuan produksi serta kualitas airnya yang layak untuk
dikembangkan, hanya dapat diketahui melalui penelitian terhadap kondisi geografis dan
hidrogeologis wilayah bersangkutan. Dari informasi Hidrologi diketahui bahwa kondisi air
tanah di wilayah Kecamatan Bungku Tengah adalah sebagai berikut :
Daerah sekitar pantai, kondisi air tanahnya tidak layak konsumsi (air tanah asin).
Daerah bagian atas yang dibatasi oleh rute Jalan Poros Palu Kendari, kondisi air
tanahnya cukup layak untuk dikembangkan dan dikonsumsi terutama di kawasan yang
memiliki kawasan lahan hijau (hutan).
Sumber air tanah tersebut dapat berupa sumur terbuka, atau mata air seperti yang
dijumpai di Desa Bungi. Daerah bagian atas yang telah dimanfaatkan secara maksimal
sebagai lahan perumahan dapat memperoleh air tanah dengan menggunakan sumur bor
dengan kedalaman yang bervariasi tergantung ketinggian permukaan tanah dan kondisi
vegetasi sekitarnya.
3.1.6. Kualitas Air
a. Sifat Fisika Air
i.) Warna, Kebauan Dan Rasa
Hasil pengamatan dan analisis pada 3 (tiga) lokasi pengambilan sampel air Laut Teluk
Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, menunjukkan baik warna,
kebauan dan rasa air secara organoleptif memberikan gambaran yang baik, masing-
masing terlihat jernih, tidak berbau dan tidak berasa (normal). Lokasi studi masih bersih
dari benda-benda terapung, walaupun ada benda terapung masih merupakan benda-
benda alami yang berasal dari perairan itu sendiri dan tidak bersifat berbahaya dengan
jumlah yang sedikit. Hasil analisis kebauan memenuhi baku mutu air laut untuk perairan
pelabuhan berdasarkan Lampiran I Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, yaitu alami atau tidak berbau.
Hasil analisis bau pada air tanah/sumur dangkal di lokasi rencana pembangunan TPI
Modern Bungku atau di lokasi sekitar dermaga Bungku eksisting masing-masing adalah
tidak berbau atau alami, memenuhi persyaratan kualitas air minum berdasarkan Lampiran
1 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 907/MENKES/SK/VII/2002,
Tentang Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air Minum, yaitu alami atau tidak
berbau. Analisa warna pada air tanah/sumur masing-masing di bawah baku mutu yang
ditetapkan yaitu 50 Pt-Co. Analisa rasa pada air tanah/sumur masing-masing adalah tidak
berasa, memenuhi bawah baku mutu yaitu tidak berasa.
ii.) Zat Padat Tersuspensi (TSS)
TSS dapat terdiri dari partikel organik, anorganik atau campurannya. Tingginya nilai TSS
dalam suatu perairan dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di perairan
tersebut, terutama jenis Benthos dan Ikan. Hasil pengukuran TSS air Laut Teluk Tolo
pada stasiun 1 terukur 13 mg/l, stasiun 2 terukur 12 mg/l dan pada stasiun 3 terukur 10
mg/l, masih di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 80 mg/l.
iii.) Zat Padat Terlarut (TDS)
Hasil pengukuran TDS pada pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 368 mg/l dan pada
stasiun 2 terukur 625 mg/l. Kadar TDS untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah
ini di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1500 mg/l.
iv.) Kekeruhan
Kekeruhan air umumnya dipengaruhi oleh nilai padatan tersuspensi, semakin tinggi
kandungan padatan tersuspensi semakin tinggi pula kekeruhan dan semakin rendah
tingkat kecerahan perairan. Hasil analisa kekeruhan pada air tanah/sumur stasiun 1
terukur 3 NTU dan pada stasiun 2 terukur 3,5 NTU, masih di bawah baku mutu yang
ditetapkan, yaitu 25 NTU.
v.) Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan air Laut Teluk Tolo pada ke-tiga stasiun pengambilan
sampel adalah terlihat dasar, masing-masing memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu
22 m.
vi.) Lapisan Minyak
Hasil pengukuran lapisan minyak pada air Laut Teluk Tolo dari 3 stasiun pengambilan
sampel terukur negatif/nihil, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu nihil.
vii.) Suhu
Suhu merupakan indikator yang penting untuk menentukan efek selanjutnya terhadap nilai
parameter air lainnya, seperti mempercepat terjadinya rekasi kimia, reduksi kelarutan gas-
gas dalam air atau dapat memperbesar bau atau rasa. Suhu alami untuk perairan tropis
yang layak untuk kehidupan organisme berkisar antara 25-32C. Hasil pengukuran suhu
udara di lokasi studi berkisar antara 2635C dengan rata-rata 29C sedangkan hasil
pengukuran suhu air Laut Teluk Tolo secara langsung di lapangan pada stasiun 1, 2 dan
3 terukur 29C, memenuhi mutu yang ditetapkan yaitu 28-32C. Hal ini menunjukkan suhu
air di lokasi studi tergolong baik dan berada di dalam kisaran suhu air normal yang
umumnya terdapat di wilayah perairan. Hasil pengukuran suhu air tanah/sumur pada
stasiun 1 dan 2 terukur 27C, juga memenuhi di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu
26-32C.
b. Sifat Kimia Air
Dari hasil analisa parameter kualitas kimia air yang terdapat di lokasi rencana usaha,
secara umum diketahui kondisi perairan di lokasi studi masih dalam keadaan baik, masih
memiliki kadar yang jauh di bawah standar nilai baku mutu yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Parameter kualitas kimia tersebut meliputi :
i.) Derajat Keasaman
Derajat keasaman (pH) air dapat memberikan gambaran tentang keseimbangan asam
dan basa yang secara mutlak ditentukan oleh besarnya konsentrasi ion hidrogen (H+)
yang dalam perairan. Perairan laut umumnya mempunyai pH berkisar antara 6,5-9,0.
Derajat keasaman sangat penting dalam menentukan nilai guna perairan untuk kehidupan
organisme dan keperluan lainnya, umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
aktifitas fotosintesa, suhu dan adanya anion kation. Berubahnya nilai pH menimbulkan
perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat
di dalam air. Ikan dan biota akuatik lainnya masih dapat mentoleransi lingkungan perairan
yang mempunyai nilai pH antara 4,011,0 (Jones, 1964 dan Swingle, 1968). Derajat
keasaman (pH) yang ideal untuk kehidupan akuatik adalah berkisar 6,58,5 (NTAC, 1964
dan Swingle, 1968). Hasil pengukuran pH air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1 terukur 7,6
dan pada stasiun 2 dan 3 terukur 7,5 untuk ke-tiga lokasi pengambilan sampel pH
memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 7-8,5. Hal ini memberikan gambaran bahwa
kondisi perairan tersebut tergolong baik atau netral. Hasil pengukuran pH air tanah/sumur
pada stasiun 1 terukur 7,5 dan pada stasiun 2 terukur 7,0 untuk ke-dua lokasi
pengambilan sampel air tanah ini memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 6,5-9,0.
ii.) Salinitas
Hasil pengukuran salinitas air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing
terukur 29o/oo, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu alami.
iii.) Amoniak Total (NH3-N)
Amoniak total merupakan salah satu bentuk senyawa Nitrogen yang dijumpai dalam
badan air sebagai senyawa tereduksi, dalam air senyawa ini dapat berada dalam bentuk
senyawa NH3 atau NH4. Amoniak merupakan hasil utama penguraian protein dalam
keadaan an-aerobik dan bersifat toksik terhadap organisme perairan, kandungan amoniak
yang meningkat dapat disebabkan oleh adanya kegiatan rumah tangga, pertanian dan
industri. Beberapa literatur menganjurkan bahwa kandungan amoniak sebaiknya tidak
melebihi 1,5 mg/l. Analisis amoniak total (NH3-N) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 3
dan 3 terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,3 mg/l.
iv.) Logam Berat Terlarut
Logam-logam berat dalam air laut secara alami umumnya terdapat dalam jumlah yang
rendah, kecenderungan adanya logam berat dalam jumlah yang melampaui batas
terutama berasal dari kegiatan ontroposentris (manusia) berupa limbah industri yang
masuk ke perairan laut. Hasil pengukuran logam berat terlarut pada perairan Laut Teluk
Tolo maupun pada air tanah/sumur di sekitar lokasi studi untuk semua parameter yang
dianalisis menunjukkan bahwa ; Air raksa (Hg), Arsen (As); Nikel (Ni); Kadmium (Cd);
Khromium VI (Cr 6+); Seng (Zn); Tembaga (Cu); Besi (Fe), Mangan (Mn), Selenium (Se)
dan Timbal (Pb) memenuhi baku mutu yang ditetapkan dan memberikan gambaran
bahwa kondisi perairan tersebut tergolong baik. Air raksa (Hg) pada ke-3 stasiun
pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo terukur <0,0005 mg/l, di bawah baku mutu yang
ditetapkan yaitu 0,003 mg/l. Air raksa (Hg) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air
tanah/sumur terukur <0,0005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,001 mg/l.
Kadar Besi (Fe) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,08 mg/l dan pada stasiun 2
terukur 0,075 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel kadar besi di bawah baku
mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/l. Kadar Mangan (Mn) pada air tanah/sumur stasiun 1
dan 2 terukur 0,10 mg/l, untuk ke-2 lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar Mangan
di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,5 mg/l. Arsen (As) pada 2 stasiun
pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,005 mg/l, di bawah baku mutu yang
ditetapkan (0,05 mg/l). Kadmium (Cd) pada 3 stasiun pengambilan sampel air Laut terukur
<0,0005 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,01 mg/l). Kadmium (Cd) pada ke-2
stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,005 mg/l, di bawah baku mutu
yang ditetapkan (0,005 mg/l). Khromium VI (Cr6+) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel
air tanah/sumur terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,05mg/l).
Selenium (Se) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air tanah/sumur terukur <0,002
mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan (0,01 mg/l). Seng (Zn) pada air Laut Teluk Tolo
stasiun 1 terukur 0,0272 mg/l, stasiun 2 terukur 0,0386 mg/l dan stasiun 3 terukur 0,0175
mg/l. Hasil pengukuran Zn dari ke-3 stasiun pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo di
bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,1 mg/l. Kadar Seng (Zn) pada air tanah/sumur
stasiun 1 terukur 0,04 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 0,80 mg/l, untuk ke-2 stasiun
pengambilan sampel kadar seng di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 15 mg/l.
Tembaga (Cu) pada ke-3 stasiun pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo terukur <0,0005
mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,05 mg/l. Timbal (Pb) pada ke-3 stasiun
pengambilan sampel air Laut Teluk Tolo terukur <0,005 mg/l, di bawah baku mutu yang
ditetapkan yaitu 0,05 mg/l. Timbal (Pb) pada ke-2 stasiun pengambilan sampel air
tanah/sumur terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,05 mg/l.
v.) Fenol
Analisa parameter fenol pada air Laut Teluk Tolo untuk ke-2 stasiun pengambilan sampel
terukur <0,001 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,002 mg/l.
vi.) Minyak Dan Lemak
Parameter minyak dan lemak air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1 terukur <0,2 mg/l, pada
stasiun 2 dan 3 terukur <0,1 mg/l, untuk ke-tiga stasiun kadar minyak dan lemak di bawah
baku mutu yang ditetapkan yaitu 5,0 mg/l.
vii.) Nitrit (NO2-N)
Nitrit merupakan senyawa nitrogen yang kurang stabil dan umumnya dijumpai dalam
jumlah yang sangat kecil dalam badan air. Senyawa ini mudah berubah menjadi amoniak
atau nitrat atau gas nitrogen. Tingginya konsentrasi nitrit dalam air dapat berasal dari
daerah estuaria maupun dari limbah domestik yang masuk ke badan air. Analisis kadar N-
Nitrit (NO2-N) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur <0,002 mg/l dan pada stasiun 2
terukur 0,21 mg/l, memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu 1,0 mg/l.
viii.) Nitrat (NO3-N)
Analisis kadar N-Nitrat (NO3-N) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,1 mg/l dan pada
stasiun 2 terukur 0,5 mg/l, untuk kedua lokasi pengambilan sampel air tanah/sumur ini
kadar Nitrat di bawah baku mutu yang ditetapkan (10 mg/l).
ix.) Fluorida (F)
Analisa Fluorida (F) pada pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,07 mg/l dan pada
stasiun 2 terukur 0,02 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar
Fluorida di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1,5 mg/l.
x.) Sianida (CN)
Hasil pengukuran kadar Sianida (CN) pada air tanah/sumur stasiun 1 dan 2 masing-
masing terukur <0,005 mg/l, masih di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,1 mg/l.
xi.) Sulfida (H
2
S)
Analisa Sulfida (H
2
S) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3 masingmasing terukur
<0,002 mg/l, memenuhi batas baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,03 mg/l.
xii.) Sulfat (SO
4
)
Analisa Sulfat (SO
4
) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur <0,3 mg/l, pada stasiun 2
terukur 35,6 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar Sulfat di
bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 400 mg/l.
xiii.) Kesadahan Total (CaCO
3
)
Hasil analisa Kesadahan total (CaCO
3
) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 224,7 mg/l
dan pada stasiun 2 terukur 118,2 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 500
mg/l.
xiv.) Khlorida (Cl)
Hasil analisa kadar Khlorida (Cl) pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 3,8 mg/l, pada
stasiun 2 terukur 25,4 mg/l, untuk ke-dua lokasi pengambilan sampel air tanah ini kadar
Khlorida di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 600 mg/l.
xv.) Nilai Permanganat (KMnO
4
)
Hasil analisa kadar zat organik nilai permanganate (KMnO
4
) pada air tanah/sumur stasiun
1 terukur 0,7 mg/l dan pada stasiun 2 terukur 2,5 mg/l, di bawah baku mutu yang
ditetapkan yaitu 10 mg/l.
xvi.) Surfactan Anion/Deterjen (MBAS)
Analisa surfactan anion/deterjen (MBAS) air Laut Teluk Tolo pada stasiun 1, 2 dan 3
masing-masing terukur <0,01 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 1 mg/l.
Analisa MBAS pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 0,07 mg/l dan pada stasiun 2
terukur 0,12 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,5 mg/l.
c. Mikrobiologi
Dari hasil analisa parameter coliform total yang dilakukan, secara umum diketahui kondisi
mikrobiologi perairan di lokasi studi masih dalam keadaan baik. Pada air Laut Teluk Tolo,
pada stasiun 1, 2 dan 3 coliform total terukur 0 MPN/100 ml, memenuhi baku mutu yang
ditetapkan yaitu nihil. Parameter total koliform pada air tanah/sumur stasiun 1 terukur 43
MPN/100 ml dan pada stasiun 2 terukur 8 MPN/100 ml, di bawah baku mutu yang
ditetapkan yaitu 50 MPN/100 ml.
3.1.7. Kualitas Udara Ambien Dan Tingkat Kebauan
Hasil pengujian beberapa parameter kualitas udara ambien dari dua lokasi pengambilan
sampel udara, untuk semua parameter ternyata belum melewati ambang batas baku mutu
udara ambien Nasional berdasarkan lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Hasil pengukuran
untuk parameter Sulfur Dioksida (SO
2
) pada stasiun 1 terukur 6,96 ug/Nm
3
dan stasiun 2
terukur 10,25 ug/m
3
masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 365 ug/Nm
3
.
Parameter Karbon Monoksida (CO) pada stasiun 1 terukur 1.205 ug/m3 dan stasiun 2
terukur 1.374 ug/m
3
, masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 10.000 ug/m
3
.
Nitrogen Dioksida (NO
2
) pada stasiun 1 terukur 10,86 ug/m
3
dan stasiun 2 terukur 12,70
ug/Nm3 masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 150 ug/Nm
3
. Oksidan (O
3
) pada
stasiun 1 terukur 96,05 ug/Nm
3
dan stasiun 2 terukur 102,78 ug/Nm
3
untuk kedua lokasi
pengukuran masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 235 ug/Nm
3
. Kadar debu
pada stasiun 1 terukur 50 ug/Nm3 dan stasiun 2 terukur 52 ug/Nm3 untuk kedua lokasi
pengukuran masih dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 230 ug/Nm3. Kadar Timbal
(Pb) pada stasiun 1 dan 2 masing-masing terukur <0,03 ug/Nm3 masih dibawah baku
mutu yang ditetapkan yaitu 2 ug/Nm
3
.
Dari hasil pengujian terhadap beberapa parameter tingkat kebauan berdasarkan lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat
Kebauan. Hasil pengukuran untuk parameter Amonia (NH
3
) pada stasiun 1 terukur 0,0165
ppm dan pada stasiun 2 terukur 0,0092 ppm, untuk ke-dua lokasi pengukuran masih
dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 2 ppm. Hasil pengukuran untuk
parameter Hidrogen Sulfida (H2S) pada stasiun 1 terukur kecil dari 0,00084 ppm dan
stasiun 2 terukur kecil dari 0,00077 ppm, untuk ke-dua lokasi pengukuran masih dibawah
baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 0,02 ppm.
3.1.8. Kebisingan
Kondisi rona awal intensitas kebisingan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik di
lingkungan rencana pembangunan TPI Modern Bungku maupun di pinggir jalan di
belakang lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan masih cukup nyaman, terutama karena
sedikitnya sumber kebisingan berupa aktifitas operasional dermaga dan transportasi darat
sekitar dermaga masih tergolong sedikit. Hasil terukur 50 db(A), pengukuran tersebut
masih dibawah baku mutu tingkat kebisingan untuk peruntukan kawasan khusus
pelabuhan laut berdasarkan lampiran I Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No.48 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat Kebisingan, yaitu sebesar 70 db(A).
3.1.9. Ruang, Tanah Dan Lahan
a. Jenis Tanah
Areal sekitar rencana usaha atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku yang
melingkupi lokasi studi, memiliki 2 grup fisiografi, yaitu : Aluvial (A) dan Dataran (P). Dari
grup Aluvial (A) menurunkan 1 satuan lahan (Au 1.3.) sedangkan grup dataran (P)
menurunkan 2 satuan lahan (Pq 2.1. dan Pq 3.1.).
b. Sifat Tanah
Tanah yang terdapat di lokasi penelitian termasuk Inceptisol (USDA Soil Taxonomy,
1975). Kesetaraannya menurut sistem klasifikasi Pusat Penelitian Tanah (1980) adalah
Gleisol. Drainase tanah terhambat, permukaan air tanah dangkal, kedalaman efektif
dangkal dan permukaan tanah relatif datar. Tanah berkembang dari bahan endapan
kuarter baru (bahan aluvial) yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada tanah
lapisan atas bertekstur liat berpasir sampai liat, berwarna hitam (10YR2/1), berstruktur
lemah, remah sampai pejal, agak lekat dan agak plastis. Lapisan bawah bertekstur liat,
berwarna abu-abu hitam (10YR3/1), agak lekat dan agak plastis. Reaksi tanah netral
sampai agak masam. Kandungan C-organik sedang sampai agak tinggi. Nitrogen terdapat
dalam jumlah rendah demikian pula nilai bandingan C/N tergolong rendah. Posfat dan
kalium umumnya sedang. Kationkation umumnya terdapat dalam jumlah rendah.
Kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation tergolong sedang sampai tinggi.
c. Tata Guna Lahan
Penggunaan lahan secara keseluruhan di Kecamatan Bungku Tengah didominasi oleh
hutan areal penggunaan lain, areal sementara tidak diusahakan dan
pengembalaan/padang rumput. Hutan yang dimaksud adalah berupa areal hutan
sekunder yang didominasi pohon-pohon dengan tinggi 5-10 m dan diameter kurang dari
50 cm, dengan penutupan lahan yang tidak terlalu rapat, sebahagian besar bercampur
dengan tumbuhan bawah, perdu dan belukar yang cukup rapat. Areal hutan sekunder ini
menyebar di sebelah Timur yang menempati areal perbukitan wilayah kecamatan ini.
Tanaman utama di kawasan ini adalah berupa kayu hutan dari kelompok
Dipterocarpaceae. Padang rumput didominasi oleh alang-alang dengan semak dan perdu
tumbuhan rendah. Areal perkebunan umumnya ditanami jambu mete, kelapa, kopi, kemiri,
cengkeh, tembakau, kakao, pala dan tanaman perkebunan dataran rendah lain.
Penggunaan lain adalah mencakup beberapa penggunaan lahan yang terdiri dari lahan
yang dimanfaatkan untuk perkarangan/pemukiman, tegalan/kebun, ladang/huma,
kolam/tambak dan lainnya.
d. Tata Ruang Wilayah
Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Morowali tahun 2003-2013
yang telah tertuang Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Morowali, jenis penggunaan lahan di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku adalah berupa kawasan pelabuhan
dan pemukiman, pengembangan kawasan ini diarahkan menjadi kawasan pemukiman
yang memiliki kegiatan utama bagi pengembangan kelautan dan perikanan. Dengan
demikian kawasan ini akan dikembangkan menjadi lokasi pemukiman, sarana dan
prasarana sosial, budaya dan ekonomi termasuk di dalamnya infrastruktur lingkungan
yang mencakup sistem jaringan jalan listrik, telekomunikasi, air minum, drainase dan
limbah serta persampahan. Berdasarkan fungsi kawasan, skala pelayanan dan
pertimbangan potensi sumberdaya dalam kaitan dengan nilai strategis yang dimiliki
wilayah Kecamatan Bungku Tengah masuk ke dalam Kawasan Andalan Bungku dan
sekitarnya dengan pusat kawasan di Bungku. Kawasan ini diarahkan sebagai pusat
pengembangan kelautan dan perikanan, palawija dan hortikultura.
e. Pola Pemanfaatan Lahan
Daerah Kelurahan Matano - Bungku maupun wilayah Kecamatan Bungku Tengah yang
melingkupi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana umumnya wilayah pada
sebahagian besar bagian Timur wilayah Kabupaten Morowali memiliki morfologi yang
relatif homogen, yakni berupa dataran rendah dengan topografi datar hingga hampir rata.
Kawasan yang dimaksud dimanfaatan penduduk sebagai areal pertanian khususnya
sebagai areal persawahan, tanaman pangan dan perikanan darat. Selain jenis
pemanfaatan tersebut, wilayah barat dimanfaatkan pula sebagai lokasi pemukiman
dengan kapadatan yang bervariasi. Secara garis besar, sebaran pemukiman di
Kabupaten Morowali membentuk pola linier dan pola grid. Pola linier (linear pattern)
tersebar di sepanjang pantai Timur Pulau Sulawesi mengikuti ruas jalan utama, yakni
Jalan Poros Palu-Kendari, sedangkan pola grid/gridion terbentuk beberapa pusat
pemukiman di ibukota Kecamatan atau Kabupaten. Beberapa Kelurahan yang merupakan
wilayah Kecamatan ini, diantaranya adalah : Kelurahan Matano, Kelurahan Marsaoleh,
Kelurahan Bungi, Kelurahan Lamberea, Kelurahan Tofoiso, Kelurahan Mendui dan Desa
Matansala.
3.1.10. Hubungan Lokasi Kegiatan Dengan Kegiatan Lain Yang Terkait
a. Kegiatan Permukiman Penduduk
Kegiatan pemukiman penduduk yang terdapat di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan adalah pemukiman penduduk yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Matano,
Kelurahan Marsaoleh, Kelurahan Bungi, Desa Matansala, Desa Bahoruru, Desa Ipi dan
Desa Bente Kecamatan Bungku Pusat Perdagangan (pasar tradisionil) dan Terminal
berada di sebelah Barat Laut lokasi TPI Modern Bungku dengan jarak 200m. Demikian
pula pemukiman tersebar menempati pantai Timur Pulau Sulawesi di sisi kanan dan kiri
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dan di
seberang Jalan Bungi Lokasi TPI dan Jalan Poros Palu Bungku sebagai jalan utama
untuk menuju lokasi TPI Modern Bungku. Perumahan penduduk di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan berbentuk permanen dan semi semi permanen. Di lokasi
perumahan penduduk juga terdapat warung untuk kebutuhan sehari-hari. Mengingat jarak
lokasi perumahan penduduk ke lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan relatif dekat, jika
sampah domestik tidak ditangani dengan benar dapat mencemari lingkungan di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Hal ini akan memberikan dampak penurunan
kualitas udara, selanjutnya akan mengganggu kehidupan masyarakat. Selain itu, sampah
juga merupakan salah satu tempat berkembang biaknya vektor penular penyakit,
sehingga akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.
b. Perairan Teluk Tolo
Rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku berbatasan secara
langsung dengan perairan Teluk Tolo, membatasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang
menempati pantai Timur Pulau Sulawesi. Di sepanjang pantai juga dimanfaatan oleh
masyarakat nelayan dan penduduk di pulau-pulau kecil di sekitar wilayah Kabupaten
Morowali untuk menuju ke wilayah Bungku atau melabuhkan perahu/kapal kecil berikut
hasil tangkapannya untuk dipasarkan di TPI Modern Bungku. Intensitas perahu yang
berlabuh di disepanjang pantai ini terbatas pada perahu dan kapal-kapal nelayan
tradisional. Bentang pantai di perairan Teluk Tolo di sekitar lokasi studi dan gususan
pulau-pulau kecil lebih dominan ditumbuhi oleh ekosistem mangrove dengan kondisi yang
masih baik. Disamping itu baik di Utara dan Selatan berdekatan dengan gugusan pulau-
pulau kecil terdapat ekosistem terumbu karang dan padang lamun dengan kondisi yang
masih sangat baik.
c. Kegiatan Penangkapan Ikan Oleh Nelayan
Areal kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan terdapat di Utara dan Selatan lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku, yaitu pada perairan
Teluk Tolo dengan jarak sekitar 400 m dari lokasi pelabuhan. Informasi dari para nelayan
wilayah utara di permukiman penduduk Desa Salonsa, Emea, Moahino dan Karaupa
(Kecamatan Wita Ponda), Desa Pebotoa, Bahonsuai, Parilangke dan Wata (Kecamatan
Bumi Raya), Desa Ambunu, Umpanga, Larobenu, Wosu, Bahoea Reko-Reko (Kecamatan
Bungku Barat), Desa Lanona, Bahomoleo, Bahomohoni, Bente, Ipi, Bahoruru, Matansala,
Kelurahan Matano, Marsaoleh, Tofoiso, Desa Tofuti, Bahontobungku, Puungkoilu,
Lahuafu, Unsongi, Nambo, Koburu, Geresa dan Kolono (Kecamatan Bungku Tengah),
serta informasi pada nelayan wilayah selatan di permukiman penduduk Desa Bete-bete,
Kurisa, Lailiya, Bahodopi dan Siumbatu (Kecamatan Bahodopi) yang merupakan
permukiman penduduk nelayan terdekat dengan lokasi kegiatan, diketahui bahwa
penangkapan ikan hanya dilakukan pada areal sejaul 3 mil dan umumnya berada di areal
perairan laut yang berhadapan dengan vegetasi mangrove di sekitar gugusan pulau-pulau
kecil di arah timur lokasi studi terutama pada perairan yang merupakan habitat dari
terumbu karang dan cukup jauh dari perairan yang dijadikan sebagai alur pelayaran.
d. Kegiatan Transportasi Umum
Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku akan
dilengkapi dengan keberadaan aksesibilitas berupa pembangunan jalan yang
menghubungkan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan ruas Jalan Lintas Timur
Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu Kendari dengan persimpangan di Desa
Bungi (Ruas Jalan Bungku Palu), sepanjang 516 Km memanjang dari lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan ke arah Utara. Sampai dengan saat penyusunan UKL dan UPL
ini dilakukan pelaksanaan pembangunan ruas jalan ini sudah memasuki tahap
penyelesaian.
e. Kegiatan Dermaga Bungku
Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku adalah
menempati areal di sisi Utara Dermaga Bungku. Dermaga Bungku melayani kapal-kapal
kecil sebagai pintu masuk ke daerah Bungku, juga merupakan pelabuhan dari kapal-kapal
penangkap ikan milik penduduk sekitar.
3.1.11. Transportasi
Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dilewati oleh
ruas jalan Poros Palu Kendari, merupakan jalan lintas Sulawesi (Jalan Nasional) yang
menyusuri bagian Timur Sulawesi Tengah yang menghubungkan Kota Palu sebagai
Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dengan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi
Tengah, yang terdapat 516 Km di barat laut lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,
berupa jalan aspal dengan aksesibilitas yang cukup baik. Dari ruas jalan Poros Palu
Kendari sedang dibangun jalan akses ke lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku (Ruas Jalan Bungi - Matano).
a. Volume Lalulintas Harian Rata-rata (LHR)
Volume arus lalulintas kendaraan pada ruas jalan Poros Palu Kendari di sekitar lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan dihitung dari hasil pencacahan setiap kendaraan yang
melewati lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Pencacahan dilakukan setiap interval
waktu 15 menit pada jam sibuk pagi, siang dan sore hari. Kendaraan yang dicacah
dibedakan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : 1.) Kendaraan berat (Truck berat dan
ringan), 2.) Bis, 3.) Kendaraan ringan (Sedan, mikrobus, pick-up dan Mikrotruck) dan 4.)
Sepeda motor. Volume arus lalu lintas sangat terkait dengan aktifitas yang dilakukan oleh
penduduk di sekitar ruas jalan, hal ini terlihat dari hasil perhitungan yang telah dilakukan.
Volume arus lalu lintas pada pagi hari lebih ramai dibanding dengan volume arus lalu
lintas pada siang dan sore hari. Pada pagi hari tercatat jumlah kendaraan yang melewati
ruas jalan baik dari arah Palu (Utara) maupun yang datang dari arah Kendari (Selatan)
mencapai 167,5 SMP (Satuan Mobil Penumpang) per jam. Volume ini berkurang pada
siang hari menjadi 1.298 SMP per jam dan kembali menurun pada sore hari yang menjadi
240,5 SMP per jam. Sesuai dengan informasi dan hasil pengamatan terhadap kehidupan
masyarakat di lokasi studi, besarnya volume lalulintas di pagi hari berhubungan dengan
aktifitas atau keseharian masyarakat, yaitu pada pagi hari merupakan waktu untuk
berangkat menuju tempat kerja/kantor, sekolah dan kegiatan lainnya, yang umumnya
banyak terdapat di arah Kota Palu (Utara). Pada pagi hari volume arus lalulintas lebih
besar dari arah Kota Kendari (Selatan) dan Sore hari adalah sebaliknya disebabkan oleh
adanya kecenderungan kegiatan masyarakat yang bekerja di beberapa perusahaan
industri, yang tinggal atau menetap di arah Kota Kendari dan melakukan aktifitas di arah
Kota Palu. Sebahagian besar penggunaan ruas jalan Poros Palu Kendari pada lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan, didominasi oleh kendaraan sepeda motor, masing-
masing terhitung pada pagi hari 87%, siang dan sore hari 85%.
b. Tingkat Pelayanan Jalan atau Volume per Capacity Ratio (VCR)
Tingkat Pelayanan Jalan (VCR) merupakan nilai dari lintas harian rata-rata dibagi dengan
kapasitas jalannya, makin tinggi nilai VCR berarti makin padat lalu lintas jalannya dan
makin kurang nyaman, dimana kecepatan kendaraan yang lewat pada jalan tersebut
menjadi makin pelan untuk berkendara secara nyaman. Dari hasil pengukuran tingkat
pelayanan jalan dan kecepatan optimum lalulintas pada ruas jalan Poros Palu - Kendari
diketahui : Volume lalulintas adalah sebesar 167,5 240,5 SMP per jam dengan
kapasitas jalan adalah sebesar 750 SMP/jam dapat dicari nilai VCR untuk ruas jalan ini,
yaitu sebesar 47,86% - 68,71% dan kecepatan optimun kendaraan adalah 41,29 62,14
Km/jam. Kondisi ini menunjukkan tingkat kepadatan jalan di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku tergolong rendah sampai sedang
karena VCR jalan masih dibawah 75%. Ruas jalan Poros Palu Kendari yang melewati
lokasi kegiatan adalah berupa jalan aspal dengan kondisi yang cukup baik, dengan lebar
median 6 m dan bahu jalan di kanan dan kiri jalan 1 sampai 2 m. Jalan Provinsi ini
didesign untuk pelayanan 750 SMP per jam. Rata-rata kecepatan perjalanan kendaraan
yang melewati ruas jalan ini mencapai 70 Km/jam.
c. Kecepatan Kendaraan Optimum (Nyaman)
Kecepatan optimum merupakan kecepatan kendaraan yang dianggap nyaman pada
tingkat LHR tertentu sesuai dengan kapasitas disain jalan yang direncanakan. Makin
rendah LHR lalulintas dan makin besar kapasitas jalannya, maka makin tinggi kecepatan
kendaraan yang dapat dikendarai dengan nyaman pada kondisi jalan tersebut. Dari data
LHR dan perhitungan yang telah dilakukan diketahui bahwa kecepatan kendaraan yang
nyaman di lokasi studi berkisar antara 41,2962,14 Km/jam. Hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan berkendara lalulintas di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan
TPI Modern Bungku relatif nyaman bila dikendarai dengan kecepatan sekitar 40 Km/jam
3.2. Lingkungan Biologi
3.2.1. Vegetasi Mangrove
Pada kawasan lokasi studi ditemukan beberapa jenis vegetasi, berupa vegetasi hutan
mangrove, vegetasi hutan produksi/hutan sekunder, semak belukar dan vegetasi
budidaya. Pada kawasan pemukiman penduduk yang umumnya berada di pinggir pantai
dengan jarak 4-5 Km dari lokasi kegiatan dijumpai vegetasi budidaya berupa tanaman
pangan dan perkebunan. Vegetasi hutan menurut fungsi atau peruntukan lahan dalam
rencana tata ruang/TGHK di wilayah ini terdiri dari vegetasi mangrove, hutan
produksi/hutan sekunder, areal penggunaan lain dan semak belukar. Areal studi yang
menempati vegetasi mangrove seluruhnya merupakan hutan APL yang dapat dikonversi.
Vegetasi tanaman pada areal studi dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok/zonasi sesuai
dengan kondisi lahan tempat tumbuhnya/type habitat vegetasi, yaitu : Hutan sekunder
(Hs) yang berupa vegetasi mangrove dan areal semak belukar.
Vegetasi bakau/mangrove di wilayah studi tergolong kepada tanaman magrove pesisir
(coastal mangrove forest) yang setiap harinya menerima pengaruh dari pasang surut,
hempasan ombak dan arus laut. Umumnya vegetasi ini hanya mempunyai satu stratum
tajuk. Tanaman mangrove ini mempunyai peranan penting sebagai pelindung pantai dari
hempasan ombak. Komposisi jenis vegetasi bakau di lokasi studi ini hampir seragam,
tersusun dari asosiasi berbagai suku tumbuhan seperti suku Verbenaceace, Rhizophora
spp. dan Sonneratia spp., selain itu sering terdapat juga tumbuhan jenis lain yang bukan
tumbuhan bakau seperti : Excoecaria agallocha., Acanthus illicifolius., Wedelia
biflora. Pembentukan formasi mangrove sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan setempat, seperti faktor edafis, salinitas dan lamanya genangan air.
Jenis Avicenia, Rhizophora dan Sonneratia adalah tumbuhan pionir dari arah laut ke darat
tergantung pada kedalaman pantai, proses pelumpuran dan besarnya ombak.
Rhizophora spp. umumnya tumbuh di daerah rawa-rawa pantai yang berlumpur dalam
dan tebal, sedangkan Avicenia spp. dan Sonneratia spp. sering menjadi tumbuhan
pelopor yang tumbuh di pantai berlumpur datar atau lembek.
Habitat mangrove pada kawasan lokasi studi umumnya menempati wilayah pesisir pantai,
lebar rata-rata 30-50 m dan sepanjang 3-4,5 km, yang terletak disekitar muara sungai
atau daerah pantai dengan jalur sempit. Kerapatan tergolong rendah tetapi kodisi habitat
mangrove ini cukup baik. Hasil analisa vegetasi dengan menggunakan transek untuk
setiap tingkatan tropik pada masing-masing stasiun pengamatan adalah sebagai berikut :
i.) Stasiun pengamatan I
Pada stasiun pengamatan I yang berlokasi di pinggir pantai Teluk Tolo dengan jarak
sekitar 3 Km di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern
Bungku teridentifikasi 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata., Avicenia alba.,
Avicenia officinalis., Bruguira cylindrica dan Sonneratia sp.. Untuk tingkat pohon
(trees) dengan diameter batang diatas 10 cm tercatat 5 jenis pohon, kepadatan 53 pohon
per ha., ketinggian rata-rata 8-15 m dan diameter batang rata-rata 32 cm. Indek nilai
penting (INP) terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata., sebesar 100,89. Tingkat
pancang (sampling) dengan tinggi di atas 1,5 m dan diameter batang dibawah 10 cm
tercatat 5 jenis tiang, kepadatan 402 tiang per ha., ketinggian rata-rata 5-7 m dan
diameter batang rata-rata 12-15 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah jenis
Rhizophora apiculata., sebesar 109,76. Tingkat semai (seedling) dengan tinggi di bawah
1,5 m tercatat 5 jenis anakan, kepadatan 2.919 semai per ha, ketinggian rata-rata 0,5-1
m, juga didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata., dengan INP sebesar 102,68.
ii.) Stasiun pengamatan II
Pada stasiun pengamatan II yang berlokasi di pinggir pantai di Selatan Pulau Waru-waru
yang berhadapan dengan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI
Modern Bungku, juga teridentifikasi 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata.,
Avicenia alba., Avicenia officinalis., Bruguiera cylindrica dan Sonneratia sp.. Untuk
tingkat pohon (trees) dengan diameter >20 cm tercatat 5 jenis pohon, dengan kepadatan
70 pohon per ha., ketinggian ratarata 10-15 m dan diameter batang rata-rata 34 cm. Indek
nilai penting (INP) terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata., sebesar 129,50. Tingkat
pancang (sampling) dengan tinggi >1,5 m dan diameter batang <10 cm tercatat 5 jenis
tiang, kepadatan 303 tiang per ha., ketinggian rata-rata 5-7 m dan diameter batang rata-
rata 12-15 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar jenis Rhizophora apiculata., sebesar
121,67. Tingkat semai (seedling) dengan tinggi <1,5 m tercatat 5 jenis anakan, kepadatan
2.502 semai per ha. dengan ketinggian rata-rata 0,5-1 m, juga didominasi Rhizophora
apiculata., dengan INP 132,40.
iii.) Stasiun pengamatan III
Pada stasiun pengamatan III yang berlokasi di pinggir pantai Teluk Tolo dengan jarak
sekitar 3 Km di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI
Modern Bungku teridentifikasi 7 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata.,
Rhyzophora stylosa., Exoccaria sp., Avicenia alba., Avicenia offinalis., Bruguira
cylindrica dan Sonneratia sp. Untuk tingkat pohon (trees) dengan diameter batang >20
cm tercatat 6 jenis pohon, kepadatan 71 pohon per ha., ketinggian rata-rata 8-15 m dan
diameter batang rata-rata 34 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar adalah Rhizophora
apiculata., sebesar 75,25. Tingkat pancang (sampling) dengan tinggi >1,5 m dan
diameter batang <10 cm tercatat 7 jenis tiang, kepadatan 403 tiang per ha., ketinggian
rata-rata 5-6 m dan diameter batang rata-rata 12-16 cm. Indek nilai penting (INP) terbesar
adalah Rhizophora apiculata., sebesar 76,23. Tingkat semai (seedling) dengan tinggi
<1,5 m tercatat 7 jenis anakan, kepadatan 3.336 semai per ha. dengan ketinggian rata-
rata 0,5-1 m, juga didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata., dengan INP sebesar
92,66.
3.2.2. Biota Laut
1. Biota Air
a. Plankton
Plankton merupakan biota air yang melayang secara pasif dan penyebarannya tergantung
pada arus. Biota air ini terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Fitoplankton dan
Zooplankton. Fitoplankton adalah tumbuhan hijau yang bersifat planktonis, sedangkan
Zooplankton adalah hewan air yang bersifat planktonis. Kedua plankton ini hidup bersama
dan keduanya saling terlibat dalam hubungan rantai makanan yang erat, artinya dalam
kehidupan Fitoplankton dan Zooplankton mempunyai peranan penting dalam ekosistim
perairan baik dalam tingkatan tropik maupun perannya dalam merombak bahan organik.
Selain itu Plankton juga dapat memberikan gambaran tingkat pencemaran suatu perairan.
i). Fitoplankton
Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium terhadap
sampel plankton yang diambil dilapangan, pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi
studi ditemukan 4 Kelas Fitoplankton yaitu Chrysophyta, Dinophyta, Xanthophyta dan
Rhodophyta. Seluruhnya teridentifikasi 22 genera, dengan kelimpahan 20-25 individu/liter,
memiliki indeks keanekaragaman antara 2,40-2,69. Pada perairan Laut Teluk Tolo di
Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 1; BA-1) ditemukan 15 genera dari
4 Kelas Fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah : 12 genera kelas Chrysophyta,
1 genera kelas Dinophyta, 1 genera kelas Xanthophyta dan 1 genera dari kelas
Rhodophyta, dengan kelimpahan 23 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,69 dan
indeks keseragaman (E) 0,82. Kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan
adalah genera Biddulphia sinensis. dari Kelas Chrysophyta sebanyak 5 individu/liter.
Pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan/Sisi
Utara Dermaga Bungku eksisting (Stasiun 2; AL-2) ditemukan 12 genera dari 3 Kelas
Fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah : 9 genera kelas Chrysophyta, 2 genera
kelas Dinophyta dan 1 genera dari kelas Rhodophyta, dengan kelimpahan 20
individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,40 dan indeks keseragaman (E) 0,85.
Kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Fragillaria sp.
dari Kelas Chrysophyta masingmasing sebanyak 6 individu/liter. Pada perairan Laut Teluk
Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3; AL-3) ditemukan 14
genera dari 3 Kelas Fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah : 12 genera kelas
Chrysophyta, 1 genera kelas Dinophyta dan 1 genera dari kelas Rhodophyta, dengan
kelimpahan 25 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,49 dan indeks keseragaman
(E) 0,87. Kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera Surirella
sp. dari Kelas Chrysophyta masing-masing sebanyak 7 individu/liter.
ii). Zoooplankton
Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium terhadap
sampel plankton yang diambil di lapangan, pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi
studi ditemukan 4 Kelas Zooplankton yaitu : Kelas Crustacea, Mollusca, Rhizopoda dan
Tintinnida. Seluruhnya terdiri atas 16 genera, dengan kelimpahan 19-24 individu/m3 dan
memiliki indeks keanekaragaman antara 2,00- 2,10. Pada perairan Laut Teluk Tolo di
Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 1; BA-1) ditemukan 11 genera dari
4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 6 genera kelas Crustacea, 1
genera kelas Mollusca, 1 genera kelas Rhizopoda dan 3 genera kelas Tintinnida, dengan
kelimpahan 19 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,00 dan indeks keseragaman
(E) 0,85. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak ditemukan adalah genera
Eutintinnus sp.12 dari Kelas Tintinnida sebanyak 5 individu/liter. Pada perairan Laut
Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 2; BA-2) ditemukan
10 genera dari 4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 6 genera kelas
Crustacea, 1 genera kelas Mollusca, 1 genera kelas Rhizopoda dan 3 genera kelas
Tintinnida, dengan kelimpahan 21 individu/liter, indeks keanekaragaman (H) 2,10 dan
indeks keseragaman (E) 0,89. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak ditemukan
adalah genera Bivalvia sp. dari Kelas Mollusca sebanyak 7 individu/liter. Pada perairan
Laut Teluk Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3; BA-3)
ditemukan 12 genera dari 4 Kelas Zooplankton. Zooplankton yang ditemukan adalah : 5
genera kelas Crustacea, 1 genera kelas Mollusca, 2 genera kelas Rhizopoda dan 4
genera kelas Tintinnida, dengan kelimpahan 24 individu/liter, indeks keanekaragaman (H)
2,03 dan indeks keseragaman (E) 0,90. Kelimpahan Zooplankton yang paling banyak
ditemukan adalah genera Rhizopoda sp. 2 dari Kelas Rhizopoha sebanyak 5
individu/liter.
b. Benthos
Benthos adalah organisme hewani maupun tumbuhan yang hidup di permukaan dasar
perairan atau dalam dasar perairan. Benthos yang teridentifikasi adalah dari kelompok
makrozoobenthos, yang merupakan jenis benthos yang tertahan pada saringan dengan
mata jaring 1 mm2. Berdasarkan hasil deskripsi dan identifikasi yang dilakukan di
laboratorium terhadap sampel Benthos yang diambil di lapangan, pada perairan Laut
Teluk Tolo di sekitar lokasi studi ditemukan 5 Kelas Benthos yaitu : Kelas Bivalvia,
Gastropoda, Crustacea, Foraminifera dan Annelida. Seluruhnya terdiri atas 18 genera,
dengan kelimpahan 26-29 individu/sampel dan indeks keanekaragaman antara 2,24
2,36. Pada perairan Laut Teluk Tolo di Utara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
(Stasiun 1; BA-1) ditemukan 13 genera dari 5 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan
adalah : 2 Genera Kelas Bivalvia, 7 genera kelas Gastropoda, 1 genera Kelas Crustacea,
2 genera dari Kelas Foraminifera dan 1 genera dari Kelas Annelida, dengan kelimpahan
27 individu/sampel, indeks keanekaragaman (H) 2,24 dan indeks keseragaman (E) 0,77
Jenis yang yang paling banyak ditemukan adalah genera Gastropoda sp. 1 dari Kelas
Gastropoda dengan kelimpahan 5 individu/sampel. Pada perairan Laut Teluk Tolo di
sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 2; BA-2) ditemukan 14 genera
dari 4 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan adalah : 3 genera Kelas Bivalvia, 7 genera
kelas Gastropoda, 3 genera dari Kelas Foraminifera dan 1 genera dari Kelas Annelida,
dengan kelimpahan 26 individu/sampel, indeks keanekaragaman (H) 2,27 dan indeks
keseragaman (E) 0,86 Jenis yang yang paling banyak ditemukan adalah genera
Cavarotalia sp. dari Kelas Foraminifera dengan kelimpahan 5 individu/sampel. Pada
perairan Laut Teluk Tolo di Selatan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan (Stasiun 3;
BA-3) ditemukan 13 genera dari 4 Kelas Benthos. Benthos yang ditemukan adalah : 3
genera Kelas Bivalvia, 7 genera kelas Gastropoda, 2 genera dari Kelas Foraminifera dan
1 genera dari Kelas Annelida, dengan kelimpahan 29 individu/sampel, indeks
keanekaragaman (H) 2,36 dan indeks keseragaman (E) 0,82 Jenis yang yang paling
banyak ditemukan adalah genera Natica sp. dari Kelas Gastropoda dengan kelimpahan 5
individu/sampel.
c. Nekton
Nekton adalah mahluk air yang mampu bergerak melawan arus, hidup di kolom perairan
dan beberapa di dasar perairan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara
dengan masyarakat nelayan diketahui jenis-jenis ikan kecil dan besar yang tertangkap
atau hidup di perairan lokasi studi, hasil penangkapan nelayan ini dikonsumsi untuk
mencukupi makan sehari-hari dan selebihnya ada yang dipasarkan sendiri ke desa atau
sekitar lokasi pemukiman atau dijual ke pedagang/toke pengumpul ikan disekitar
tempat/pemukiman mereka yang selanjutnya oleh para pedagang di pasarkan ke pasar
ikan. Pada wilayah perairan lokasi studi teridentifikasi 24 jenis ikan dan 11 jenis
Avertebrata. Dari data potensi perikanan laut Kabupaten Morowali diketahui bahwa
penangkapan ikan di perairan antar pulau dilakukan dengan menggunakan : pukat pantai,
tangkul, bangan tancap, serok, sero, jermal, bubu, pancing, alat pengumpul kerang dan
alat penangkapan lain. Penangkapan ini didukung oleh perahu sederhana baik bermotor
maupun perahu-perahu kecil, yang dikenal dengan nama Kater. Sedangkan para nelayan
umumnya mempergunakan kapal kayu dengan kapasitas mesin kecil, kemampuan jelajah
3 mil dari perairan pantai Kecamatan Bungku Tengah, Bumi Raya, Bungku Barat,
Bahodopi, Bungku Selatan dan Kecamatan Menui Kepulauan hingga ke ZEE, terutama
perairan pantai yang berhadapan dengan hutan mangrove. Alat penangkapan ikan yang
digunakan nelayan adalah : Dogol, purse seine, rawai hanyut, rawai tetap, jaring insang
hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik, trammel net, pancing dan beberapa jenis alat
penangkap lainnya. Dari hasil wawancara dengan para nelayan di lokasi studi diketahui
bahwa hasil tangkapan yang mereka peroleh, yang dapat berupa ikan, udang, kepiting,
cumi dan sebagainya untuk satu orang nelayan rata-rata dapat menangkap 10-50 Kg/hari.
Dari hasil penangkapan ini sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari.
3.2.3. Terumbu Karang dan Padang Lamun
a. Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai
keanekaragaman dan produktifitas yang tinggi. Nilai produktifitas dan keanekaragaman
yang tinggi tersebut dibuktikan dengan banyaknya biota laut yang ditemui dalam ekosistem
mereka, baik ikan, moluska, crustacea, echinodermata ataupun rumput laut. Sehubungan
dengan hal ini Brown (1982) mengemukakan tingkatan produktifitas primer terumbu karang
adalah sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan lautan tropis terbuka, Ini terbukti
dengan efisiensinya perputaran kembali unsur organik dan anorganik dalam sistem
terumbu karang itu sendiri. Secara mendasar ekosistem terumbu karang dibentuk dari hasil
kalsifikasi oleh kelompok hewan Coelenterata yang bermorfologi polip. Bentukan
ekosistemnya dilandasi oleh kemampuan biota ini untuk membentuk CaCO3 dengan
bantuan simbion Zooxanthellae. Berkaitan dengan hal ini, maka kebutuhan hidup yang
substansial dari snidarian (coral) terhadap faktor lingkungan berimpit dengan simbionnya.
Keberimpitan kebutuhan lingkungan antara keduanya ternyata tidak saja terkait dengan
upaya-upaya mempertahankan hidup semata, akan tetapi juga menyangkut aspek transfer
energi. Umumnya terumbu karang dijumpai sampai kedalaman laut 25 m, tetapi pada
perairan yang jernih di sekitar samudera dapat dijumpai sampai kedalaman 80 m.
Beberapa faktor pembatas kehidupan, distribusi dan stabilitas komunitas terumbu karang
adalah suhu perairan, penetrasi cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus/pergerakan
air dan nutrien yang tersedia. Agar tetap hidup hewan karang memerlukan air laut yang
bersih dari kotoran, karena kotoran (sedimen) akan menghalangi masuknya cahaya
matahari bagi aktifitas fisiologis untuk keperluan fotosintesa algae yang bersimbiose
dengan karang, selain itu sedimen/endapan dapat menutupi pori serta mulut hewan karang
untuk respirasi, karena secara morfologis karang berbentuk polip yang melekat pada
substrat keras dengan mulut menghadap ke atas.
Untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang berpedoman kepada kriteria
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor :
47 Tahun 2001, Tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang. Kriteria yang
dikembangkan adalah berupa tutupan karang, dengan adanya kemampuan biota ini
membentuk struktur ekosistem. Gomez dan Alcala (1984) memberikan kriteria evaluasi
ekosistem terumbu karang sebagai berikut : Ekosistem dinyatakan buruk apabila
mempunyai tutupan karang hidup sebesar 0-24,9%, sedang apabila mempunyai tutupan
karang hidup sebesar 25-49,9%., bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup 50-
74,9% dan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup >75%. Hasil
inventarisasi terumbu karang di daerah perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku
dan sekitarnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, diperoleh keterangan
bahwa terumbu karang di perairan sekitar lokasi studi lebih dari 74% mempunyai kondisi
jelek sampai sedang. Dikemukakan juga hal ini terjadi akibat kombinasi adanya kegiatan
penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dan penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif, adanya pencemaran air karena keluhan dari darat akibat
kegiatan konstruksi di darat dan sebagai tambahan diperkirakan tidak dimungkinkan oleh
sebab adanya logam berat dan eutrifikasi. Pada lokasi sekitar rencana usaha dan/atau
kegiatan ditemukan adanya penyebaran terumbu karang yang menutupi permukaan
perairan, terumbu karang ini ditemukan pada lokasi yang berdekatan dengan pinggir pantai
Timur. Jenis karang yang terdapat di perairan laut sekitar lokasi studi dapat digolongkan
berdasarkan jenis karang dan karakter habitatnya didominasi oleh Hard coral (23%), soft
coral (12,5%) dan karang mati (20,5%) serta lainnya adalah berupa pecahan karang, batu
dan pasir. Berdasarkan koloni karang sebahagian besar adalah berupa encrusting (24%),
massive (20%), sub-massive (18%), braching (15%), digitate (10%) dan koloni lain berupa
mushroom, folose dan cup. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa jenis
karang yang teridentifikasi hidup di perairan lokasi studi adalah : Acropora humilis.,
Acropora sp., Alveopora sp., Diploria sp., Echinopora sp., Fungia sp., Galaxea sp.,
Hidnopora sp., Millepora sp., Pachiceris sp., Pavia sp., Pavites sp., Porites sp.,
Seriatopora sp. dan jenis karang massive lainnya.
b. Padang Lamun
Lamun (sea grass) adalah berupa tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sepenuhnya
sudah beradaptasi dalam lingkungan laut. Tumbuhan ini terdiri dari rizhoma, daun dan
akar. Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir. Kadang-kadang padang lamun
membentuk komunitas yang lebat hingga menempati areal yang cukup luas. Padang lamun
merupakan ekosistem yang memiliki produktifitas organik yang tinggi. Ekosistem lamun
hidup bersama bermacam-macam organisme seperti : Crustacea, Molusca, cacing dan
ikan. Biota laut tersebut ada yang hidupnya menetap di kawasan padang lamun dan ada
pula sebagai pengunjung daerah lamun, Kawasan padang lamun juga sering dijadikan
sebagai kawasan asuhan oleh jenis biota seperti Ikan Baronang dan juga beberapa jenis
burung yang hinggap pada saat air laut surut. Kondisi padang lamun di perairan Laut Teluk
Tolo di sekitar wilayah Bungku terlihat masih cukup baik, ekosistem padang lamun ini
ditemukan di Utara lokasi studi seluas 0,023 ha dan Selatan lokasi studi seluas 0,023 ha
dan pada perairan di sekitar gugusan pulau-pulau kecil di Timur lokasi, sekitar Pulau Dua
Laut seluas 0,023 ha, sekitar Pulau Sainoa seluas 0,025 ha dan sekitar Pulau Waru-waru
seluas 0,005 ha. Beberapa jenis lamun yang dapat diidentifikasi hidup di lokasi studi adalah
: Enhalus sp., Thalassia sp., Halophila sp. dan Cymodaceae sp.
3.2.4. Satwa Langka
1. Hewan Liar
a. Mamalia
Umumnya hewan liar dari kelompok Mamalia ini populasinya sudah sedikit, beberapa
jenis masih terdapat di dalam jumlah yang cukup banyak hidup pada lokasi hutan areal
studi. Diantara jenis hewan ini tidak terdapat satwa yang dilindungi yang diperkirakan
populasinya sudah sedikit sekali. Pada waktu-waktu tertentu beberapa jenis dari
kelompok hewan ini masih menampakkan diri atau melintas dilokasi pemukiman ataupun
perladangan penduduk. Pada lokasi studi diidentifikasi 8 jenis Mamalia, yang tidak
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa
Tabel 3.1. Jenis Mamalia Di Lokasi Studi
No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status
1. Babi hutan Sus sp. Tidak dilindungi
2 Bajing Terbang Helactrus malayanus. Tidak dilindungi
3. Berang-berang Aonyx cinerea. Tidak dilindungi
4. Kalong Pteropus affinis. Tidak dilindungi
5. Kelelawar Luira sumatrana. Tidak dilindungi
6. Kera Macaca sp. Tidak dilindungi
7. Musang Macrogalidia mushenbroeki. Tidak dilindungi
8. Tupai Sciurus notatus. Tidak dilindungi
Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007.
b. Reptilia Dan Amphibia
Kelompok hewan melata ini umumnya juga hidup pada areal sekitar lokasi studi dan
beberapa jenis bermanfaat sebagai pemakan Serangga. Pada lokasi studi diidentifikasi 9
jenis Reptilia dan 2 jenis Amphibia, semuanya tergolong hewan yang tidak dilindungi
berdasarkan : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Secara ringkas jenis Reptilia dan Amphibia
yang teridentifikasi di sekitar lokasi studi dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 3.2. Jenis Reptil Dan Amphibia Di Sekitar Lokasi Studi
No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status
REPTIL
1. Ular air Nastrix sp. Tidak dilindungi
2. Ular hitam Bungarus sp. Tidak dilindungi
3. Ular tanah Maticora bivirgata. Tidak dilindungi
4. Ular Lidi Ptyas korros. Tidak dilindungi
5. Kadal Mabuya multifaciarum. Tidak dilindungi
6. Buaya Crocodilus sp. Tidak dilindungi
7. Bunglon Calotes sp. Tidak dilindungi
8. Kura-kura Orlitia sp. Tidak dilindungi
9. Labi-labi Chitra indica. Tidak dilindungi
AMPHIBIA
1. Kodok darat Bufo sp. Tidak dilindungi
2. Kodok air Rana cangcrifora. Tidak dilindungi
Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007.
c. Aves (Burung)
Pada kawasan sekitar lokasi studi ditemukan beberapa jenis burung yang umumnya
terdiri dari kelompok Herbivora (pemakan biji/daun), Insectivora (pemakan serangga).
Hasil pengamatan dan informasi dari masyarakat sekitar serta data sekunder lainnya
pada lokasi studi diidentifikasi 25 jenis Burung dan jenis yang tidak dilindungi berdasarkan
: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Secara ringkas jenis burung yang teridentifikasi dapat dilihat
pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Jenis Burung Di Kawasan Sekitar Lokasi Studi
No. Nama Daerah Nama Ilmiah Status
1. Balam. Streptopolia sp. Tidak dilindungi.
2. Bangau. Ardeola sp. Tidak dilindungi
3. Belibis. Dendrocygna sp. Tidak dilindungi.
4. Belekok. Ardeola spiciosa. Tidak dilindungi.
5. Burung Hantu. Bubo sp. Tidak dilindungi.
6. Camar. Sterna sp. Tidak dilindungi.
7. Gereja. Paser domesticus. Tidak dilindungi
8. Ibis. Ardeola Ibis. Tidak dilindungi.
9. Jalak. Pericocratus hammene. Tidak dilindungi.
10. Jalak Suren. Sturnus contra. Tidak dilindungi.
11. Kapinis laut. Apus pacificus. Tidak dilindungi.
12. Kutilang. Picnotus aurigaster. Tidak dilindungi.
13. Layang-layang. Hirundo tahitica. Tidak dilindungi.
14. Mandar. Porzana fusca. Tidak dilindungi.
15. Manyar. Ploceus philiTPInus. Tidak dilindungi.
16. Perkutut. Geopelia striata. Tidak dilindungi.
17. Pipit. Lonchura leucogastroide. Tidak dilindungi.
18. Punai. Treron vernaus. Tidak dilindungi.
19. Puyuh. Turnik suscicator. Tidak dilindungi.
20. Ruak-ruak. Paizona persila. Tidak dilindungi.
21. Tekukur. Streptopolia chinensis. Tidak dilindungi.
22. Trinil. Actitis hypoleucos. Tidak dilindungi.
23. Walet sapi. Colocalia esculenta. Tidak dilindungi.
24. Walet sarang hitam. Colocalia maxima. Tidak dilindungi.
25. Walet sarang putih. Colocalia fuciphaga. Tidak dilindungi.
Sumber : Informasi Masyarakat Sekitar dan Pengamatan Lapangan Tim Konsultan, 2007.
3.2.5. Kondisi Eksisting Abrasi Pantai di Sekitar TPI
Di bagian Timur rencana kegiatan tepatnya di Kelurahan Matano sebagian besar abrasi
pantai yang mengancam jalan Kabupaten telah tertangani dengan baik dengan cara
pembuatan tanggul penahan ombak disepanjang jalur yang dilalui jalan sepanjang 1 KM.
Namun demikian masih tersisa sekitar 400 M daerah pesisir pantai di Kelurahan Matano
yang belum memiliki tanggul di sebabkan daerah sepanjang +1,4 KM ini tidak di tumbuhi
bakau yang berfungsi menahan laju ombak sehingga pengikisan tanah daerah garis
pantai dapat diminimalisir. Sedangkan garis pantai yang berada di Desa Matansala
hingga muara sungai yang nantinya menjadi jalur kanal TPI seluruhnya ditumbuhi
mangrove, sehingga daerah ini aman dari kemungkinan terjadinya abrasi pantai.
3.2.6. Kondisi Eksisting Sistem Pembuangan Limbah dan Saluran Drainase di Sekitar TPI
a. Deskripsi Infrastruktur
Luas lokasi perencanaan pembangunan TPI Bungku 9500 cm x 9000 cm atau
kurang lebih 1 Ha. Ketinggian kontur alur sungai 5,5m dpl untuk yang terendah,
dan yang tertinggi 6,5m dpl. Direncanakan ketinggian saluran drainase dalam
lokasi TPI dari permukaan jalan 70-130cm, musholla 80cm, dermaga/kolam 130cm,
saluran pembuangan limbah berupa water tank treatment kapasitas 15m
3
(seatlle
pond) -70cm. Konteiner sampah/amroll 1 unit, TPS 13 buah,Jaringan penerangan
listrik 8 titik(sisa dalam/sisi luar), Jalan berupa Rabat beton t = 10
cm,Conblok,Concreate K 225,t = 15 cm, Hidran 1 buah, pelataran P1,P2,P3,P4.
b. Sistem Jaringan Drainase dan pembuangan Air Limbah
Kajian Rencana Induk Drainase dan air Limbah meliputi aspek Teknis,Lingkungan
dan Kelembagaan.
1.) Aspek Teknis
Jaringan Drainase : pengembangan system jaringan drainase untuk
mengalirkan air hujan dan air buangan sebelum sampai
kepembuangan akhir.
Drainase Primer : mengikuti jalan utama(kolektor) sungai sebagai saluran
pembuang utama.
Drainase Sekunder : Jaringan drainase yang bermuara pada drainase
primer penempatan jaringan pada kedua sisi
jalan utama dan jalan kolektor.
Drainase Tersier : jaringan drainase yang bermuara pada drainase sekunder,
berhubungan langsung pada saluran dan pembuang umah
tangga,dll. Penempatan jaringan diarahkan pada kedua
sisi jalan Kolektor dan sekunder dan jalan lokal.
Sistem jaringan drainase TPI Bungku mengikuti alur kontur yakni alur-alur sungai
yang ada. Jaringan drainase, masih merupakan saluran pembuang air hujan dan
air buangan limbah dalam system drainase tertutup melalui pipa PVC, sedangkan
untuk jaringan drainase permanent sebagian besar mengikuti jaringan jalan primer
dan jalan Kolektor yang ada disekitar lokasi TPI Bungku kecamatan Bungku
Tengah. Kajian pengelolaan saluran drainase TPI Bungku mengunakan sistem
saluran drainase tertutup dan saluran drainase terbuka meliputi : Lokasi TPI,
kondisi, dimensi, panjang arah aliran awal sampai aliran akhir dan zona kawasan
service area (gambar desain terlampir).
i.) Kondisi : dimensi, panjang, arah aliran, zona kawasan service area saluran ;
Lebar saluran Primer 150 cm dan saluran sekunder 100 cm;
Kemiringan saluran 200 250 cm;
Kedalaman saluran Primer 150 cm dan kedalaman saluran sekunder 100 cm;
Panjang saluran (sesuai gambar desain);
Panjang saluran drainase tertutup (air kotor) pipa - 4" = 71,60 m.
Aliran air (run off) dominan dari barat ke timur;
Zone kawasan service Desain gambar (terlampir).
ii.) Sistem Pembuangan Limbah
Air buangan limbah yang dihasilkan TPI Bungku bersumber dari : rumah genset,
kantor pengelola, Musholla, warung, Cold storage, wc/km, pangkalan minyak, air
buangan Pabrik es, Limbah Ikan, sampah basah, sampah kering, dll. Seluruh air
buangan tersebut ditampung melalui Water Treatment dengan Capacity = 15 m,
dimensi ukuran ( 2000 x 5100), Inlet 6", outlet 4".Data gambar desain
(terlampir). Kolam Pengendap = 35 m
iii.) Pengelolaan dan cara kerja
Aliran awal jaringan saluran drainase Tempat pelelangan ikan dari ketinggian 130
cm,kemudian mengalir dan tertampung pada ketinggian blok 100cm dan 80 cm,
dan seterusnya ketempat penampungan water treatment melalui saluran drainase
tertutup lokasi TPI dengan ketinggian 70 cm. Air tersebut ditampung pada water
treatment masuk melalui pipa inlet 6" ke fiber dengan 4(empat) ruang
penyaringan sesuai fungsinya dan cara kerja, dimana lumpur yang tertampung
dibersihkan setiap bulannya melalui Diffuser saluran pembuangan yang ada pada
water treatment yaitu ruangan I,II : untuk ruangan III digunakan media berupa
pasir,batu koral,ijuk untuk menyaring dan kemudian masuk ke ruangan IV(settler)
dan seterusnya air limbah yang sudah bersih dikeluarkan melalui outlet 4" .
Untuk meningkatkan kejernihan air yang keluar melalui water treatment, maka air
tersebut cukup layak untuk dibuang ke saluran drainase sekunder. Apabila kualitas
air belum baik belum sesuai dengan baku mutu lingkungan, maka perlu dilakukan
pengelolaan lanjutan kembali dipompa kedalam water treatment untuk dilakukan
pemprosesan kembali. Mengingat air buangan maka diperlukan dan disarankan
disiapkan kolam pengendap sebelum dialirkan ke saluran drainase sekunder disisi
jalan Kolektor, Kolam pengendap untuk mengecek kualitas mutu baku air sudah
tercapai atau sesuai mencapai mutu baku kualitas air bersih sehingga dapat
digunakan kembali.
iv.) Dukungan infrastruktur / Sanitasi
Kondisi pekerjaan sanitasi berupa: km/wc, septik tank, fiber glas, kran air, wastafel,
pipa PVC 3/4" dan 4", Dimensi pekerjaan sanitasi : floor drain = 16 buah,kran
air (future unit) = 8 buah,Pipa PVC 3/4" (air bersih panjang = 94,19 m), PVC 4"
(saluran tertutup air kotor) panjang = 71,60 m, Water treatment = 15 m.
Penerangan Listrik = 8 buah lampu (sisi dalam/taman = 2 buah, sisi luar kompleks
= 6 buah); Saluran drainase TPI Bungku menggunakan saluran drainase tertutup
berupa pipa PVC dan saluran drainase terbuka terbuat dari campuran semen dan
pasir yang kemudian dialirkan pada sisi jalan Kolektor TPI .
v.) Sampah basah dan kering
Sampah basah dan kering ditampung melalui TPS sebanyak 13 buah sebelum di
masukan dalam container, lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir/TPA., yang
telah ditentukan lokasinya oleh pemda. Dengan menggunakan Dump truck ,mobil
motor untuk mengangkut sampah basah dan kering ke lokasi TPA.
2.) Aspek LIngkungan
Kegiatan TPI Bungku harus memenuhi persyaratan yang disyaratkan. Sehingga
output nantinya akan tepat sasaran,tepat waktu,tepat biaya baik segi Kuantitas
maupun Kualitas. Sehingga pemanfaatan dan peruntukannya sesuai dan
berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.
3.) Aspek Kelembagaan
Aspek kelembagaan meliputi penanganan dan pengawasan sistem drainase dan
pembuangan limbah melalui Dinas Teknis terkait memerlukan Koordinasi,
Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan berkelanjutan (komprehensif) dan
berwawasan lingkungan, oleh semua steakholder. Dengan kondisi yang ada baik
Pra-Pasca Konstruksi baik cara pengelolaan dan pemanfaatan berupa drainase,air
limbah dan infrastruktur penunjang lainnya dapat dikelola secara benar dan
diharapkan peran serta masyarakat dan seluruh stakeholders yang ada di
Kabupaten Morowali, sehingga dapat memanfaatkan hasil (outcomes)
Pembangunan TPI Bungku. Dampak beruntun (multiplayer effect) berupa laju
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat nelayan tumbuh dan
berkembang secara simultan.
c. Rincian Dukungan Dana Kajian sistem Drainase dan pembuangan Limbah TPI
Bungku
1.) Biaya Operasional dan Pemeliharaan Sanitasi dan Limbah sebesar
Rp.95.654.938,- (sembilan puluh lima juta enam ratus lima puluh empat ribu
sembilan ratus tiga puluh delapan rupiah)
2.) Biaya Pengawasan, MONEV adalah sebesar Rp. 29.600.000,-(dua puluh
sembilan juta enam ratus ribu rupiah)
3.) Biaya Pengawasan dan Operasional dan Pemeliharaan Sanitasi dan Limbah
TPI Bungku diperlukan dana sebesar Rp.137.780.431.020,-(seratus tiga puluh
tujuh juta tujuh ratus delapan puluh ribu empat ratus tiga puluh satu ribu dua puluh
rupiah) bersumber dari dana APBDII. Rincian Anggaran Biaya (terlampir).
3.7. Peta dan Gambar Rona Lingkungan
Gambar 3.1 Peta Topografi Daerah Matano dan Sekitarnya
Gambar 3.2. Peta Geologi Matano dan Sekitarnya
Gambar 3.3. Peta Pengelolaan Lingkungan
BAB IV
DAMPAK LINGKUNGAN YANG AKAN TERJADI
4.1 Tahap Pra-Konstruksi
4.1.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap komponen lingkungan Geo-Fisik Kimia.
4.1.2. Komponen Lingkungan Biologi
Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap komponen lingkungan Biologi.
4.1.3. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
a. Keresahan Pedagang
b. Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat
Dampak penting dan besar dari kedua komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya
diatas secara rinci sudah ada dalam dokumen UKL-UPL TPI Bungku
4.1.4. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap komponen lingkungan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat.
4.2. Tahap Konstruksi
4.2.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
a. Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo
Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap konstruksi dapat berupa
dampak langsung atau dampak turunan/sekunder. Dampak langsung terjadi dari
kemungkinan buangan limbah cair dari aktifitas kegiatan yang dilakukan di lokasi
pelaksanaan pembangunan TPI Modern Bungku ke badan air Laut Teluk Tolo di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Rangkaian kegiatan pada tahap konstruksi ini,
terutama pada saat dilakukan pekerjaan tanah, berupa galian dan penimbunan
menyebabkan peningkatan air larian (run off) yang menghanyutkan partikel tanah lapisan
atas (top soil), meningkatkan laju erosi dan sedimentasi ke badan air Laut Teluk Tolo di
sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Air larian akan membawa lapisan
permukaan tanah sehingga menyebabkan pelumpuran di badan perairan, peningkatan
padatan tersuspensi dan kekeruhan air permukaan di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan dan menyebar ke sekitarnya. Lamanya dampak peningkatan padatan
tersuspensi dan kekeruhan air ini terjadi tergantung dari ukuran butir dan kuat arus yang
membawanya. Perubahan substrat dan kejernihan ini mempengaruhi mahluk hidup baik
vegetasi, satwa yang ada di dasar maupun dalam perairan. Dengan terjadinya perubahan
substrat dasar, zat hara yang terdapat dalam sedimen menjadi larut di dalam perairan
menyebabkan kandungan nitrat-N dan ortopfosfat-P meningkat, hal ini dapat mengurangi
kesuburan perairan. Pengendapan lumpur mengakibatkan pendangkalan (sedimentasi) di
dasar perairan, menyebabkan terganggunya ekosistem perairan, terutama sekali
ekosistem dan habitat biota perairan, berupa : Plankton, Benthos, Nekton, padang lamun,
terumbu karang, bakau/mangrove dan ekosistem biota laut lainnya.
b. Abrasi Pantai
Dampak sekunder terjadi dari peningkatan volume daratan/penampang kanal maupun
erosi dan sedimentasi ke perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan, yang disebabkan oleh kegiatan pembukaan dan pematangan lahan
yang dilanjutkan dengan kegiatan pembangunan TPI berikut sarana dan prasarana
pendukung. Sehingga terjadi penurunan kualitas air laut yang dapat menyebar ke
sekitarnya, menimbulkan dampak terhadap ekosistem biota perairan, aktifitas
penangkapan ikan yang dilakukan nelayan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan dan bahkan abrasi pantai. Penyebaran dampak akibat pembangunan kanal dari
aktifitas pembangunan TPI membuat massa air laut akan menempati ruang baru di
daerah pesisir pantai sekitar lokasi TPI sehingga terjadi pengerusan garis pantai..
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa dampak ini bersifat langsung dan
berbalik kembali. Atau sebaliknya dampak terhadap abrasi pantai ini akan bersifat jangka
pendek, yaitu selama dilaksanakan kegiatan pembukaan dan pematangan lahan dan
dapat berbalik setelah pelaksanaan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan selesai.
Intensitas dampak dapat dikurangi dengan melakukan upaya pengelolaan terhadap
pelaksanaan kegiatan penyebab dampak. Misalnya : Pembukaan lahan dilakukan secara
bertahap dan hanya dilaksanakan pada musim kemarau dan pelaksanaan konservasi
lahan berupa pembuatan saluran drainase dan revegetasi lahan untuk mencegah
terdapatnya areal terbuka di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
c. Penurunan Kualitas Udara Ambien Dan Peningkatan Kebauan
Terdapat beberapa tipe polutan yang dikeluarkan ke udara dari adanya rencana usaha
dan/atau kegiatan, polusi udara yang berbentuk emisi gas buang seperti : Karbon
Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NOx), Sulfur Dioksida (SO2) dan Amoniak (NH3),
merupakan komponen yang sering dikeluarkan dari pembakaran bahan bakar minyak
mesin kendaraan dan mesin alat-alat berat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Polusi berupa peningkatan partikel debu di udara dapat berasal dari aktifitas tranportasi
lalulintas kendaraan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Rencana usaha dan/atau
kegiatan penyebab dampak penurunan kualitas udara ambien dan peningkatan kebauan
pada tahap konstruksi adalah kegiatan mobilisasi peralatan ke lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan, pembukaan dan pematangan lahan yang dilanjutkan dengan kegiatan
pembangunan TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya. Kegiatan mobilisasi
peralatan, berupa peralatan untuk pelaksanaan kegiatan di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan. Pengangkutan semua peralatan berat ke lokasi masing-masing kegiatan
dimaksud, dilakukan melalui jalan darat, dengan menggunakan truck trailer agar tidak
merusak sarana jalan yang dilewati. Dari adanya aktifitas kendaraan pengangkutan ini
diprakirakan tidak akan menimbulkan dampak penting terhadap penurunan kualitas udara
ambien dan peningkatan kebauan di sepanjang jalan yang akan dilewati oleh kendaraan
pengangkut tersebut.
d. Peningkatan Kebisingan
Rencana usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab dampak peningkatan
kebisingan pada tahap konstruksi adalah kegiatan mobilisasi peralatan ke lokasi kegiatan,
lalu lintas kendaraan pengangkut dan beroperasinya alat-alat berat pada saat
dilakukannya kegiatan pembukaan dan pembersihan lahan, pembangunan TPI berikut
sarana dan prasarana pendukungnya. Peningkatan kebisingan terjadi dari aktifitas
kendaraan pengangkutan di sepanjang jalan yang akan dilewati menuju lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan. Intensitas kebisingan diperkirakan akan meningkat dari 50 dBA
sesuai dengan hasil pengukuran rona awal menjadi 80 dBA pada radius 100 m di sekitar
jalan yang dilewati. Namun demikian peningkatan kebisingan bersifat temporer dan tidak
berlangsung lama, hanya terjadi pada saat kendaraan pengangkut melewati badan jalan
tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran kondisi rona awal intensitas kebisingan di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan, baik di lingkungan rencana pembangunan TPI Modern
Bungku/Dermaga Bungku (eksisting) maupun di pinggir jalan di belakang lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan masih cukup nyaman, terutama karena sedikitnya sumber
kebisingan berupa aktifitas operasional dermaga dan transportasi darat sekitar dermaga
masih tergolong sedikit.
e. Gangguan Lalulintas
Pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku juga
akan dilengkapi dengan keberadaan aksesibilitas darat berupa pembangunan ruas jalan
Bungku Kendari yang menghubungkan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan ruas
Jalan Lintas Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu Kendari (Ruas Jalan Poros Palu
Kendari 736 KM) dengan persimpangan di Kelurahan Bungi sepanjang 0,5 Km
memanjang dari lokasi rencana usaha ke arah Utara. Sampai dengan saat penyusunan
suplemen UKL dan UPL ini dilakukan pelaksanaan pembangunan ruas jalan ini sudah
memasuki tahap penyelesaian. Sesuai dengan rencana pelaksanaan pembangunan TPI
Bungku, maka pada saat dilakukannya kegiatan mobilisasi peralatan maupun mobilisasi
material bangunan pada tahap konstruksi adalah melewati ruas Jalan Bungku Palu dan
ruas Jalan Poros Bungku - Kendari di Selatan lokasi TPI Modern Bungku, sebagai jalan
utama sebelum memasuki lokasi pelaksanaan rencana usaha dan atau kegiatan. Ruas
jalan ini merupakan jalan dua arah yang merupakan jalan lintas Sulawasi (Jalan Propinsi)
yang menampung pengguna jasa transportasi angkutan kota dari semua jurusan (rute)
yang ada di Kabupaten Morowali untuk menuju daerah Bungku.
4.2.2. Komponen Lingkungan Biologi
a. Gangguan Terhadap Biota Perairan
Dampak gangguan terhadap biota perairan pada tahap konstruksi merupakan dampak
turunan dari terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar rencana usaha
dan/atau kegiatan. Dampak ini bersumber dari kegiatan pembukaan dan pematangan
lahan, pembangunan TPI berikut sarana dan prasarananya. Dampak yang terjadi
merupakan dampak turunan dari dampak primer, yang diawali dengan peningkatan laju
erosi tanah, laju sedimentasi dan penurunan kualitas air permukaan, yang menyebabkan
perubahan nilai padatan tersuspensi. Peningkatan padatan tersuspensi selanjutnya
menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas
cahaya matahari di perairan berkurang. Akibat kejadian ini proses fotosintesa biota
produser, yaitu Fitoplankton terhalang sehingga produktifitas primer perairan menurun.
Disamping itu dengan meningkatnya padatan tersuspensi daya absorsi Fitoplankton
terhadap unsur hara berkurang sehingga populasi dan kelimpahan Fitoplankton menurun.
Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton sesuai dengan rantai makanan
dalam ekosistem perairan ini menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi
kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara
keseluruhan.
b. Gangguan Terhadap Ekositem Terumbu Karang dan Padang Lamun
Terjadinya peningkatan padatan tersuspensi, peningkatan kekeruhan, penurunan
kecerahan dan berkurangnya intensitas cahaya matahari di perairan akan sangat
berpengaruh terhadap perairan laut di sekitar lokasi yang menjadi habitat dari ekosisten
hutan mangrove, ekosistem terumbu karang dan ekosistim padang lamun, yang
merupakan suatu ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai keanekaragaman dan
produktifitas yang tinggi. Agar tetap hidup hewan karang memerlukan air laut yang bersih
dari kotoran, karena kotoran (sedimen) akan menghalangi masuknya cahaya matahari
bagi aktifitas fisiologis untuk keperluan fotosintesa algae yang bersimbiose dengan
karang, selain itu sedimen/endapan dapat menutupi pori serta mulut hewan karang untuk
melakukan respirasi.
Kondisi padang lamun di perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku terlihat masih
cukup baik, ekosistem padang lamun ini ditemukan di Utara lokasi studi seluas 0,023 ha
dan Selatan lokasi studi seluas 0,023 ha dan pada perairan di sekitar gugusan pulau-
pulau kecil di Timur lokasi, sekitar Pulau Dua Laut seluas 0,023 ha, sekitar Pulau Sainoa
seluas 0,025 ha dan sekitar Pulau Waru-waru seluas 0,005 ha. Beberapa jenis lamun
yang dapat diidentifikasi hidup di lokasi studi adalah : Enhalus sp., Thalassia sp.,
Halophila sp. dan Cymodaceae sp. Pada lokasi sekitar rencana usaha dan/atau
kegiatan ekosistem terumbu karang ditemukan pada lokasi yang berdekatan dengan
pinggir pantai Timur, Selatan dan Barat Marsaoleh yang juga merupakan Ibukota
Kecamatan Bungku Tengah dan beberapa pulau lainnya. Jenis karang yang terdapat di
perairan laut sekitar lokasi studi dapat digolongkan berdasarkan jenis karang dan karakter
habitatnya didominasi oleh Hard coral (23%), soft coral (12,5%) dan karang mati (20,5%)
serta lainnya adalah berupa pecahan karang, batu dan pasir. Berdasarkan koloni karang
sebahagian besar adalah berupa encrusting (24%), massive (20%), sub massive (18%),
braching (15%), digitate (10%) dan koloni lain berupa mushroom, folose dan cup. Dari
beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa jenis karang yang teridentifikasi
hidup di perairan lokasi studi adalah : Acropora humilis., Acropora sp., Alveopora sp.,
Diploria sp., Echinopora sp., Fungia sp., Galaxea sp., Hidnopora sp., Millepora sp.,
Pachiceris sp., Pavia sp., Pavites sp., Porites sp., Seriatopora sp. dan jenis karang
massive lainnya. Jika dilihat dari luasan dan waktu terjadinya, dampak gangguan
terhadap habitat biota perairan pada tahap ini relatif kecil dan bersifat sementara yaitu
pada saat musim hujan dan sangat tergantung kepada besarnya dampak primer, berupa
laju erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas air permukaan. Dengan dilaksanakannya
upaya pengelolaan yang baik terhadap dampak primer, maka dampak terhadap biota
perairan dapat dikurangi. Dampak akan berakhir setelah kegiatan pembersihan lahan
selesai dilaksanakan dan upaya revegetasi yang dilakukan pada areal terbuka di sekitar
areal TPI Modern Bungku, sarana dan prasarana lain dapat berfungsi dengan baik.
4.2.3. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
a. Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha
b. Peningkatan Pendapatan Penduduk
c. Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat
Ketiga potensi dampak komponen lingkungan sosial ekonomi dan budaya dapat dilihat
dalam Dokumen UKL-UPL TPI.
4.2.4. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
a. Gangguan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Dampak gangguan kesehatan dan keselamatan kerja terjadi pada tahap konstruksi,
dampak yang terjadi bersumber dari pelaksanaan kegiatan pembukaan dan pematangan
lahan serta dari pelaksanaan kegiatan konstruksi fisik bangunan TPI berikut sarana dan
prasarana pendukungnya, yang dapat menimbulkan dampak secara langsung terhadap
kesehatan dan kelamatan kerja para tenagakerja pelaksana kegiatan konstruksi tersebut
ataupun masyarakat yang kebetulan berada atau melewati lokasi kegiatan. Kecelakaan
mungkin timbul akibat tertimpa material bangunan, terluka paku bekas, seng bekas,
pecahan-pecahan kaca dan lain-lain atau mungkin terperosok pada lubanglubang bekas
sumur atau wc/septik tank. Terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan tersebut perlu
menjadi perhatian Pihak Kontraktor Pelaksana kegiatan pembangunan TPI Modern
Bungku, tenagakerja maupun masyarakat yang terkena dampak terhadap kemungkinan
dampak lanjutan dari luka yang terjadi, terkenanya infeksi kuman terutama infeksi tetanus
yang sangat berbahaya, dapat menimbulkan kejang-kejang dan kematian pada
penderitanya. Untuk menghindari penyakit tetanus tersebut, maka sangat perlu
diwaspadai terhadap setiap kejadian luka pada para pekerja harus segera
diberikan/injeksi anti tetanus yang dari pelayanan di Puskesmas atau Rumah Sakit
terdekat. Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja juga dapat terjadi pada saat
dilaksanakan kegiatan konstruksi fisik bangunan TPI. Dampak yang terjadi dapat berupa
kemungkinan tertimpa bahan bangunan atau alat-alat konstruksi pada saat pelaksanaan
kegiatan. Hal ini perlu menjadi perhatian serius dari Pihak Kontraktor Pelaksana kegiatan
pembangunan TPI Modern Bungku, para tenagakerja ataupun masyarakat yang
kebetulan berada di sekitar lokasi pelaksanaan kegiatan. Sehingga dalam pelaksanaan
kegiatan konstruksi, lokasi pelaksanaan kegiatan harus tertutup bagi masyarakat umum
yang tidak mempunyai kepentingan dan perlu upaya pengamanan bagi para tenagakerja
pelaksana, berupa penyediaan alat keselamatan dan kesehatan kerja, obatobatan,
peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) serta pengamanan terhadap
masyarakat sekitar.
4.3. Tahap Pasca Konstruksi
4.3.1. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
a. Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo
Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pasca konstruksi secara langsung disebabkan oleh pelaksanaan
operasional dan pemeliharaan TPI, operasional mesin-mesin di rumah genset (power
supply), sarana dan prasarana lainnya yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan memungkinkan terdapatnya rembesan limbah yang akan memasuki badan air,
menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air
yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan dan dapat menyebar ke sekitarnya. Sesuai dengan rencana pelaksanaan
rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, dalam rangka
pelaksanaan pengelolaan lingkungan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan
untuk mengurangi terjadinya penyebaran dampak penurunan kualitas air akibat adanya
rencana usaha dan/atau kegiatan, akan dilaksanakan pembangunan instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) sebagai muara dari semua saluran air dan limbah cair yang terdapat
atau dihasilkan oleh semua kegiatan pada semua bangunan yang ada pada lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan. Setelah dilakukan pengendapan, selanjutnya air dari
kolam terakhir IPAL dialirkan melalui saluran drainase terbuka ke Laut Teluk Tolo.
Pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, di tepi sekeliling areal akan dibangun
saluran drainase guna menampung air larian. Terdapat tiga cabang saluran yang
alirannya dirancang dengan arah Utara-Selatan dan kemudian mengalir ke saluran
drainase utama. Semua saluran dari semua bangunan yang terdapat di lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan akan dihimpun pada sistem saluran utama melalui saluran
cabang. Saluran utama mengalir dari Barat Ke Timur dengan penampang melintang 42
m2, aliran rata-rata dari saluran ini dirancang sebesar 75.000 m3/jam. Diperkirakan
dimensi dari sistem saluran drainase dan IPAL yang akan dibangun dapat berfungsi
dengan baik dan dapat menyalurkan, menampung serta mengolah air limbah dan air
larian pada keadaan curah hujan tinggi, sesuai dengan data iklim pada lokasi kegiatan
ratarata curah hujan bulanan tertinggi selama 10 tahun terakhir (1996-2006) adalah
mencapai 599 mm pada bulan Januari. Terjadinya penurunan kualitas air masih
dimungkinkan dari akumulasi kandungan bahan organik atau parameter kualitas air
lainnya yang secara langsung tidak meracuni, namun secara perlahan-lahan dapat
menimbulkan gangguan terhadap ekosistem perairan. Peningkatan kandungan bahan
kimia dari residu secara berlebihan yang berlangsung dalam waktu yang lama secara
berkesinambungan mempercepat proses eutrofikasi (proses penyuburan secara
berlebihan) pada ekosistem perairan.
Proses eutrofikasi ini membawa akibat lebih lanjut, berupa penambahan unsur hara
(nutrient) dalam ekosistem perairan. Khususnya pada perairan yang tenang/rawa
menyebabkan pertumbuhan secara berlebihan berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton.
Pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton disertai
dengan semakin tingginya tingkat kematian gulma dan Fitoplankton tersebut. Akibatnya
terjadi penumpukan (akumulasi) dan pembusukan (dekomposisi) bahan organik. Pada
tahap awal kebutuhan oksigen bagi jasad pembusuk masih dapat dipenuhi oleh
persediaan oksigen terlarut. Proses pembusukan secara berangsur semakin berkurang,
proses pembusukan secara an-aerob ini menghasilkan gas-gas beracun antara lain
Hidrogen Sulfat (H2S), Senyawa fenolik, Metan (CH4), Ammoniak (NH3-N) dan bahan
organik (KMnO4) dan lain-lain. Berkurangnya kadar Oksigen terlarut di dalam badan air
pada tingkat lanjut dapat mematikan kehidupan biota perairan lainnya (Ikan, Molusca,
Larva, Zooplankton dan lain-lain). Keadaan ini pada akhirnya lebih mempercepat laju
penumpukan bahan organik dan proses pembusukan secara an-aerobik. Akibat lanjutan
dari proses tersebut adalah semakin buruknya ekosistem perairan dan bahkan terjadinya
percepatan proses pendangkalan ekosistem perairan karena penimbunan bahan organik
di dasar perairan tersebut.
b. Penurunan Kualitas Udara Ambien Dan Peningkatan Kebauan
Dampak penurunan kualitas udara ambien dan peningkatan kebauan pada tahap pasca
konstruksi disebabkan adalah kegiatan transportasi lalu lintas kendaraan di lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan, diprakirakan menimbulkan peningkatan kadar debu dan gas
buang yang terdispersi ke udara di sepanjang jalan yang dilewati kendaraan. Debu
tersebut dapat berasal dari debu jalanan yang mengepul ke udara sedangkan gas berasal
dari gas buang dari mesin kendaraan. Besar kecilnya kadar debu dan kadar gas
ditentukan oleh jumlah, jenis dan frekwensi kendaraan yang melewati jalan. Intensitas
dampak dari kegiatan transportasi lalulintas pada tahap pasca konstruksi ini tergolong
tinggi, diperkirakan dengan beroperasinya rencana usaha dan/atau kegiatan terjadi
peningkatan volume lalulintas yang akan menuju lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Peningkatan volume lalu lintas terjadi dari pemakaian kendaraan oleh pelaku bisnis di
lokasi TPI, baik nelayan, pedagang maupun pembeli yang datang atau meninggalkan
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, sesuai dengan fungsinya sebagai pusat kegiatan
perikanan di Kabupaten Morowali.
c. Gangguan Lalulintas
Pada tahap pasca konstruksi setelah TPI Modern Bungku selesai dibangun dan
beroperasi, diperkirakan terjadi peningkatan volume lalulintas yang akan menuju atau
meninggalkan lokasi TPI Modern Bungku. Peningkatan volume lalu lintas terjadi dari
pemakaian kendaraan, baik pengelola TPI, nelayan, pedagang maupun pembeli, sesuai
dengan fungsinya sebagai sentral kegiatan perikanan Kabupaten Morowali.
Untuk parkir kendaran pengunjung disiapkan pada sisi depan di luar lokasi TPI Modern
Bungku, menempati sisi Jalan Bungku - Buleleng dengan kapasitas 30 mobil dan pada
sisi belakang TPI Modern Bungku, dipersiapkan 2 jalur parkir dengan kapasitas 80 mobil.
Selain itu juga disiapkan areal parkir pengunjung di sisi Kanan TPI Modern Bungku
Bagian Kanan, dipersiapkan 2 jalur parkir dengan kapasitas 200 mobil. Untuk sepeda
motor baik milik pengelola TPI Modern Bungku, pedagang dan pengunjung adalah
menempati bagian depan pada sisi kiri dengan luas areal parkir 1000 m2 diperkirakan
dapat menampung 300 unit sepeda motor.
Berdasarkan perbandingan antara kapasitas atau daya tampung dari lokasi parkir
kendaraan dengan prakiraan jumlah kendaraan parkir pada saat TPI Modern Bungku
beroperasi, ternyata kapasitas yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan parkir
kendaraan pada lokasi TPI Modern Bungku, sehingga upaya penambahan lokasi parkir di
dalam lingkungan TPI Modern Bungku masih perlu diusahakan. Selain itu juga sangat
perlu upaya untuk mengurangi tingginya intensitas volume lalulintas Jalan Bungku -
Buleleng di sekitar lokasi TPI Modern Bungku. Hal ini dapat diupayakan dengan
pengaturan lalulintas kendaraan (managemen lalulintas) yang melewati Jalan Bungku -
Buleleng yang akan menuju atau keluar TPI Modern Bungku, sehingga tidak terjadi
penumpukan dan kemacetan pada ruas jalan sekitar lokasi TPI Modern Bungku dan
setiap kendaraan tidak dapat berhenti atau parkir di sembarang tempat di sekitar lokasi
TPI Modern Bungku.
d. Peningkatan Sarana Dan Prasarana
Sesuai dengan perencanaan pembangunan rencana usaha dan/atau kegiatan TPI
Modern Bungku adalah terdiri dari pembangunan bangunan pelelangan, kantor, fasilitas
pemrosesan ikan (cold storage, ruang mesin, pabrik es, bangunan packaging, bangunan
prosesing dan bangunan pengolahan air limbah/water treatment plant), fasilitas penunjang
dan fasilitas perbekalan (penyediaan air bersih/menara air, stasiun pengisian bahan bakar
umum/SPBU dan penyediaan sumber energi/genset). Dengan adanya pembangunan
fasilitas pemasran perikanan dengan fasilitas darat yang lengkap akan memberikan
peluang bagi hadirnya kapal-kapal ikan dari kawasan Indonesia Timur untuk berlabuh di
kawasan Bungku, baik untuk pengisian BBM, air bersih, menjual hasil tangkapan dan
pembelian sarana penangkapan ikan di laut (seperti es), umpan, jaring dan bahan
makanan. Dengan makin lengkapnya sarana bidang perikanan tersebut, maka nelayan
akan semakin mudah memperoleh berbagai sarana penangkapan ikan di laut.
Ketersediaan sarana dan prasarana perikanan ini tentunya akan meningkatkan
pengembangan wilayah sekitarnya baik bidang bisnis, industri perikanan, budidaya
perikanan dan sebagainya. Dengan adanya peningkatan pelayanan ini, maka kehadiran
TPI ini akan memperkaya ketersediaaan sarana pelabuhan perikanan yang ada
sebelumnya. Kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku akan dilengkapi berbagai
sarana dan prasarana umum dan fasilitas penunjang, selain ditujukan untuk penunjang
pelaksanaan kegiatan pembangunan dan operasional TPI, secara langsung juga dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Sarana dan prasarana tersebut adalah berupa :
Penyediaan air bersih/menara air, stasiun pengisian bahan bakar umum/SPBU dan
penyediaan sumber energi/genset. Sarana dan prasarana umum lainnya yang dapat
dimanfaatkan masyarakat sekitar selain tersedianya dermaga sebagai pendukung
kegiatan transportasi laut, keberadaan TPI juga ditunjang dengan pembangunan sarana
transportasi darat (jalan dan jembatan) berupa pembangunan ruas jalan Bungku Bungi,
yang merupakan jalan akses yang menghubungkan lokasi TPI dengan ruas jalan poros
Palu Kendari dan penyediaan fasilitas lainnya seperti : Masjid, tempat pertemuan, klinik
dan sebagainya.
Keberadaan sarana dan prasarana pendukung ini sangat penting bagi kehidupan
masyarakat di sekitar, terutama sekali dengan keberadaan jalan akses, yang sangat
dibutuhkan untuk menghubungkan antara satu desa dengan desa yang lain yang selama
ini sangat terbatas dan mengandalkan sarana transportasi laut. Bahkan sarana dan
prasarana ini dapat dimanfaatkan untuk menghubungkan desa-desa di sepanjang pantai
Barat Kecamatan Bungku Selatan, daerah-daerah yang terisolir awalnya, akan makin
terbuka dan mudah ditempuh melalui darat. Hal ini akan meningkatkan mobilitas
penduduk, kegiatan ekonomi dan pengembangan wilayah sekitar terbukanya isolasi
wilayah, kelancaran pembangunan dengan intensitas dampak yang makin meningkat
dengan makin berkembangnya kegiatan TPI.
4.3.2. Komponen Lingkungan Biologi
a. Gangguan Terhadap Biota Perairan
Dampak gangguan terhadap biota perairan pada tahap pasca konstruksi disebabkan oleh
kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku, sarana dan prasarana
lainnya yang terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Dampak gangguan
terhadap habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari terjadinya penurunan
kualitas air permukaan dari kemungkinan terdapatnya rembesan limbah yang akan
memasuki badan air, menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi
dan kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air laut di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan dan dapat menyebar ke sekitarnya. Pada akhirnya
menyebabkan terganggunya habitat biota perairan, berupa terjadinya penurunan
kelimpahan, selanjutnya diikuti penurunan nilai indek keanekaragaman plankton dan
benthos, gangguan terhadap habitat dan kehidupan nekton (ikan dan biota air lainnya),
gangguan terhadap ekosistem padang lamun, gangguan terhadap ekosistem terumbu
karang di perairan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya, gangguan
terhadap ekosistem hutan mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,
menimbulkan dampak turunan terhadap tingkat pendapatan penduduk dari hasil
perikanan laut, gangguan terhadap aktifitas nelayan yang akan melakukan penangkapan
ikan dan munculnya sikap persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan rencana
usaha dan/atau kegiatan.
Terjadinya penurunan kualitas air masih dimungkinkan dari akumulasi kandungan bahan
organik atau parameter kualitas air lainnya yang secara langsung tidak meracuni, namun
secara perlahan-lahan dapat menimbulkan gangguan terhadap ekosistem perairan.
Peningkatan kandungan bahan kimia dari residu secara berlebihan yang berlangsung
dalam waktu yang lama secara berkesinambungan mempercepat proses eutrofikasi
(proses penyuburan secara berlebihan) pada ekosistem perairan, yang membawa akibat
lebih lanjut, berupa penambahan unsur hara (nutrient) dalam ekosistem perairan.
Khususnya pada perairan yang tenang/rawa menyebabkan pertumbuhan secara
berlebihan berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton. Pertumbuhan dan perkembangan
berbagai jenis gulma air dan Fitoplankton disertai dengan semakin tingginya tingkat
kematian gulma dan Fitoplankton tersebut. Akibatnya terjadi penumpukan (akumulasi)
dan pembusukan (dekomposisi) bahan organik. Pada tahap awal kebutuhan oksigen bagi
jasad pembusuk masih dapat dipenuhi oleh persediaan oksigen terlarut. Berkurangnya
kadar Oksigen terlarut di dalam badan air pada tingkat lanjut dapat mematikan kehidupan
biota perairan lainnya (ikan, molusca, larva, zooplankton, padang lamun, terumbu karang,
hutan mangrove dan lain-lain). Keadaan ini pada akhirnya lebih mempercepat laju
penumpukan bahan organik dan proses pembusukan secara an-aerobik. Akibat lanjutan
dari proses tersebut adalah semakin buruknya ekosistem perairan dan bahkan terjadinya
percepatan proses pendangkalan ekosistem perairan karena penimbunan bahan organik
di dasar perairan tersebut.
4.3.3. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
a. Terbukanya Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha
b. Peningkatan Aktivitas Penangkapan Ikan
c. Peningkatan Pendapatan Penduduk
d. Peningkatan Pendapatan Daerah
e. Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat
Adanya efek balik dari perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan
rencana usaha dan/atau kegiatan sejalan dengan perkembangan waktu dan kegiatan
yang akan dilakukan, sehingga upaya pengendalian dampak yang ditimbulkan terhadap
lingkungan geo-fisik-kimia, biologi dan kesehatan masyarakat merupakan sebahagian
besar upaya untuk menghindari munculnya sikap dan persepsi negatif masyarakat.
Bila ditinjau dari aspek lingkungan dimana dampak yang ditimbulkan ini akan membawa
perubahan terhadap estetika dan hal ini akan membawa pengaruh besar terhadap aspek
sosial, ketenagakerjaan, politis, perdagangan dan lain-lain yang dewasa ini sangat disoroti
oleh dunia internasional dimana sangat dituntut terhadap setiap pihak yang melakukan
aktifitas pembangunan atau eksploitasi sumber daya alam supaya memperhatikan aspek-
aspek lingkungan.
4.3.4. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
a. Penurunan Estetika
Dampak penurunan estetika dapat terjadi pada tahap pasca konstruksi, yaitu dari kegiatan
operasional TPI, terutama disebabkan oleh penerapan sistem penanganan sampah yang
kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar bangunan
kantor, TPI atau berserakan pada ruang perkantoran dan ruang terbuka di dalam
lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pedagang maupun
pengunjung TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah atau volume sampah yang dihasilkan, terutama sampah-sampah yang dihasilkan
dari kegiatan pedagang. Dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan pengelolaan sampah
yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak pedagang dan pengunjung TPI terhadap
kebersihan lingkungan TPI atau kelalaian dari pihak pengelola terutama petugas
kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di lokasi TPI.
Untuk setiap bangunan kantor, TPI dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan
dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya
disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan
dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan
yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas
pembuangan sampah. Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah
lokal, dengan penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat
menampung seluruh sampah-sampah dari semua bangunan kantor, TPI dan bangunan
yang ada di lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai dengan prakiraan volume limbah
padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2 tempat pembuangan sampah
lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di sudut kanan dan kiri. Dari tempat
pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut
sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Limbah padat berupa sampah yang dihasilkan oleh kegiatan operasional TPI, sarana dan
prasarana pendukung yang ada, dibedakan menjadi sampah basah dan sampah kering.
Sampah basah umumnya terdiri dari sisa barang dagangan, sisa makanan, sisa daun,
sisa buah dan sebagainya, terutama dihasilkan dari aktifitas pedagang di lokasi TPI dan
aktifitas lainnya. Sampah kering umumnya terdiri dari sampah kertas, plastik, sisa
pembungkus, kardus, daun kering dan lain-lain yang dihasilkan dari aktifitas para pelaku
TPI di ruang terbuka, koridor, perkantoran, TPI dan ruang terbuka lainnya. Cara
penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara sampah
basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat
penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi
sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan
perkantoran dan ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang
sudah terkumpul ini selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan
ke lokasi tempat pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan
sampah lokasl ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke
TPA sampah. Volume sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini
diperkirakan masing-masing untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari. dan
sampah kering dapat mencapai 5-10 m3/hari. Sesuai dengan fungsinya sebagai pusat
kegiatan perikanan di Kabupaten Morowali maka kegiatan pengelolaan terhadap dampak
penurunan estetika lingkungan yang bersumber dari pengelolaan dan sistem penanganan
sampah yang dihasilkan dari semua aktifitas di setiap ruang dan bangunan di dalam
lingkungan TPI perlu menjadi prioritas dalam pelaksanaan dan pengawasan yang baik
dari Badan Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga dapat tercipta lingkungan TPI yang
bersih, rapi dan sehat serta terciptanya kesadaran dari semua pelaku TPI untuk
senantiasa menjaga kebersihan dan keindahan di lokasi TPI.
BAB V
PROGRAM PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP
5.1. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
Potensi dampak lingkungan yang akan terjadi dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku di Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali
Provinsi Sulawesi Tengah, diketahui komponen lingkungan yang sensitif terhadap
dampak dan menjadi prioritas untuk dilakukan pengelolaan. Terhadap lingkungan geo-
fisik kimia adalah berupa terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, penurunan
kualitas udara ambien dan peningkatan kebauan, peningkatan kebisingan dan gangguan
lalulintas. Terhadap lingkungan biologi berupa gangguan habitat biota perairan. Terhadap
lingkungan sosial ekonomi dan budaya, berupa terjadinya keresahan penduduk akibat
ketidaksesuaian ganti rugi dalam pelaksanaan kegiatan pembebasan lahan, keresahan
pedagang, terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha, terjadinya peningkatan
pendapatan penduduk, peningkatan pendapatan daerah, perubahan sikap dan persepsi
masyarakat. Sedangkan terhadap kesehatan lingkungan dan masyarakat, berupa
terjadinya gangguan kesehatan, keselamatan kerja dan penurunan estetika. Dalam upaya
mencegah, menekan, mengurangi, menghilangkan atau mengkompensasi dampak negatif
dan meningkatkan atau mengembangkan dampak positif di atas akan dilakukan
pengelolaan terhadap dampak-dampak tersebut.
5.1.1. Tahap Pra-konstruksi
a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak penting besar dan
penting terhadap komponen lingkungan geo-fisik kimia.
b. Komponen Lingkungan Biologi
Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia, kegiatan pada tahap pra-konstruksi ini
tidak menimbulkan dampak penting terhadap komponen lingkungan biologi.
c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
1. Dampak Keresahan Pedagang
2. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat
Program pengelolaan lingkungan terhadap kedua dampak ini dapat dilihat pada dokumen
UKL-UPL TPI Bungku.
d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia dan biologi, kegiatan pada tahap pra-
konstruksi ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen
kesehatan lingkungan dan masyarakat.
5.1.2. Tahap Konstruksi
a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap konstruksi dapat berupa
dampak langsung/primer atau dampak turunan/sekunder. Dampak langsung terjadi dari
kemungkinan buangan limbah cair dari aktifitas yang dilakukan di lokasi pelaksanaan
konstruksi pembangunan TPI Modern Bungku ke perairan Laut Teluk Tolo yang
merupakan badan air penerima limbah cair dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Sedangkan dampak sekunder terjadi dari peningkatan laju erosi tanah dan sedimentasi ke
perairan Laut Teluk Tolo yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi pembangunan pasar
sarana dan prasarana pendukung.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah dari kegiatan :
Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang.
Pembukaan dan pematangan lahan.
Konstruksi fisik bangunan TPI, kolam, dermaga dan kanal.
Pembangunan sarana dan prasarana pendukung.
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk
Tolo, adalah :
Baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Lampiran III Surat Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah :
Mengendalikan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan dan nilai parameter kualitas air memenuhi tolok ukur
ambang batas baku mutu yang ditetapkan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
gangguan terhadap habitat biota perairan, ekosistem hutan manggrove, padang lamun
dan habitat terumbu karang, gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan
Bungku Selatan, sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana
usaha dan/atau kegiatan.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Upaya pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dirancang
berdasarkan pendekatan teknologi, dengan beberapa kegiatan pengelolaan sebagai
berikut :
i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
ii.) Revegetasi Mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan.
Pelaksanaan ke-tiga rancangan kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut :
i.) Pengaturan Pelaksanaan Kegiatan Pembukaan Lahan
Sesuai dengan kondisi awal dari lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan disamping areal
yang telah dimanfaatkan sebagai lokasi Pasar Sentral Bungku (eksisting) sebahagian lagi
adalah berupa areal rawa dan semak belukar, maka terhadap areal yang belum dibuka
akan dilakukan pembukaan lahan dilakukan dengan cara kombinasi manual-mekanis
yang meliputi kegiatan membabat rintisan, mengimas, menebang, merencek dan
membersihkan. Penumbangan pohon dilakukan menggunakan buldozer/tree dozer atau
stumper atau penebangan dengan chain-saw. Kegiatan pembukaan lahan dilakukan se-
efisien mungkin, lahan yang akan dibuka adalah lahan yang benar-benar akan
dimanfaatkan untuk lokasi pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan dan dilakukan
secara bertahap sehingga dapat dicegah terjadinya kemungkinan lahan yang terbuka
luas, pembersihan lahan segera dilanjutkan dengan kegiatan pematangan lahan dan
konstruksi serta upaya rehabilitasi berupa revegetasi lahan. Pembukaan lahan
disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, yaitu membuka lahan pada saat curah hujan
rendah atau waktu musim kering (bulan Mei - September).
Pengaturan pelaksanaan kegiatan terutama sekali ditujukan pada saat dilaksanakannya
pekerjaan pematangan lahan berupa penggalian, penimbunan dan pemadatan dan
pekerjaan konstruksi fisik bangunan bawah berupa penggalian pondasi yang
memungkinkan terdapatnya penumpukan atau timbunan tanah di lokasi rencana usaha
dan atau kegiatan yang sangat rentan untuk tererosi atau terbawa aliran permukaan pada
saat terjadinya hujan.
ii.) Revegetasi Mangrove Di Sekitar Lokasi Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan
Pelaksanaan revegetasi mangrove ini sejalan dengan pelaksanaan kegiatan penataan
dan pembangunan landscape pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang
dilaksanakan dengan melakukan penanaman bakau di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku terutama pada areal terbuka yang
terdapat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang terdiri dari jenis bakau pantai
dan bakau payau. Luas lahan yang akan di revegetasi adalah seluas 0,5 ha. Jenis yang
disarankan adalah : Rhizophora apiculata., Rhyzophora stylosa., Exoccaria sp.,
Avicenia alba., Avicenia offinalis., Bruguira cylindrica dan Sonneratia sp.
iv.) Revegetasi Lahan Di Tepi Jalan
Pelaksanaan revegetasi lahan di tepi jalan di sekitar lokasi TPI Modern Bungku
dilaksanakan dengan melakukan penanaman pohon pada sisi kanan dan kiri ruas jalan
Bungi TPI, yang menghubungkan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan ruas Jalan
Lintas Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu Kendari (Ruas Jalan Poros Palu
Kendari). Luas lahan yang akan direvegetasi meliputi lahan yang terbuka di sisi kanan
dan kiri badan jalan adalah seluas 1,6 ha., (panjang jalan yang terkait adalah 4 Km dan
lebar yang akan direvegetasi masing-masing 2 m di sisi kanan dan kiri badan jalan).
Sejalan dengan dimulainya kegiatan konstruksi pembangunan TPI Modern Bungku
dilaksanakan, maka pada areal 2 m di sisi kanan dan kiri badan jalan dilakukan
penanaman dari jenis Dipterocarpaceae (kayu-kayuan). Pohon yang ditanam adalah dari
jenis lokal yang cepat tumbuh dan relatif lebih mudah memperolehnya, seperti : Akasia
(Acacia mangium.), Sengon (Paraserianthes falcataria.), Karet (Havea brasiliensis.),
Sungkai (Peronema canescens.), Beringin (Ficus sp.), Damar (Agathis alba.), Kemiri
(Aleurites moluccana.), Jeunjing (Albizzia falcataria.), Surian (Toona sureni.),Yemane/Titi
kuning (Gmelina arborea.), dan Kasturi (Abelmochus moschatus.). Penanaman dilakukan
dengan jarak tanam antar pohon 4 m.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap konstruksi
adalah :
i.) Pada areal terbuka yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku.
ii.) Pada areal terbuka di sisi kanan dan kiri ruas jalan Bungi di depan lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan
sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Biaya pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah tanggung
jawab Pemerintah Kabupaten Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan
dampak ini meliputi biaya pengadaan bibit, persiapan lahan, biaya personil dan
pemeliharaan. Perhitungan biaya per hektar untuk pelaksanan kegiatan revegetasi lahan
adalah :
Pengadaan bibit Rp. 225.000,-
Persiapan lahan Rp. 550.000,-
Upah tanam Rp. 325.000,-
Pemeliharaan Rp. 923.000,-
------------------------
Rp. 2.023.000,-
Berdasarkan perhitungan diatas, maka biaya pelaksanaan revegetasi di masing-masing
lokasi pelaksanaan kegiatan adalah :
Biaya revegetasi sekitar bangunan pasar dan areal terbuka di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku, yang meliputi areal seluas 0,5
ha, adalah : Rp. 1.011.500,-
Biaya revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri sepanjang Jalan Bungku Buleleng di
depan lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan TPI Modern Bungku,
yang meliputi areal seluas 1,6 ha, adalah : Rp.3.236.800,- Sehingga biaya pelaksanaan
kegiatan revegetasi lahan pada tahap konstruksi adalah sebesar : Rp. 4.248.300,-
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah Badan
Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah
Kepala Bagian K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH
yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di
lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan oleh
Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Ambien, Peningkatan Kebauan Dan Kebisingan
3. Dampak Gangguan Lalulintas
Dampak gangguan lalulintas secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI
Bungku.
b. Komponen Lingkungan Biologi
A. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove
1.) Dampak Penting dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan dampak dari pembukaan dan
pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI Bungku yang
ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove
dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh sekitar
10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya proses
pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya habitat
satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan, penurunan
nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan
dan sekitarnya.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan
sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku.
Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove
ke lokasi lingkungan sekitarnya.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi
adalah dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan
Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai,
proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor
edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem
mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan
sebagai berikut :
i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove.
ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya.
iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi
terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi
TPI Bungku, yang akan dilakukan pada :
I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan
Tofoiso.
II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa
Matansala).
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan
prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai
berakhirnya kegiatan operasional.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung jawab
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk
pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan
dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan
Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
B. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari terjadinya
dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Dampak yang terjadi diawali
dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan
tersuspensi yang timbul dari kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan
prasarana pendukungnya. Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan
kekeruhan dan kecerahan air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan
berkurang dan proses fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang,
produktifitas primer perairan menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara
berkurang, populasi dan kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap
keragaman Fitoplankton, sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan
menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan
menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap konstruksi adalah kegiatan :
Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang.
Pembukaan dan pematangan lahan.
Konstruksi fisik bangunan TPI.
Pembangunan sarana dan prasarana pendukung.
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan
adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos pada perairan Laut
Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum
adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya
kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona
lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan
dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk
Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan
sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan habitat biota perairan sama dengan pengelolaan
terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Pengelolaan yang
baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder,
upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan
kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang
akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah
diuraikan pada bahagian terdahulu.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan sama dengan lokasi
pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal terbuka di sisi kanan dan kiri badan Jalan Bungi - di depan lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan
sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah tanggung
jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk
pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan
dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang
telah dibahas dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
C. Gangguan Terhadap Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan dampak
turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap
pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan
sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari
kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya.
Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan
air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses
fotosintesa biota produser terganggu, maka sesuai dengan rantai makanan dalam
ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya Zooplankton, mempengaruhi kehidupan
ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara keseluruhan.
Terjadinya peningkatan padatan tersuspensi, peningkatan kekeruhan, penurunan
kecerahan dan berkurangnya intensitas cahaya matahari di perairan akan sangat
berpengaruh terhadap perairan laut di sekitar lokasi yang menjadi habitat dari ekosisten
hutan mangrove, ekosistem terumbu karang dan ekosistim padang lamun, yang
merupakan suatu ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai keanekaragaman dan
produktifitas yang tinggi. Agar tetap hidup hewan karang memerlukan air laut yang bersih
dari kotoran, karena kotoran (sedimen) akan menghalangi masuknya cahaya matahari
bagi aktifitas fisiologis untuk keperluan fotosintesa algae yang bersimbiose dengan
karang, selain itu sedimen/endapan dapat menutupi pori serta mulut hewan karang untuk
melakukan respirasi.
Kondisi padang lamun di perairan Laut Teluk Tolo di sekitar wilayah Bungku terlihat masih
cukup baik, ekosistem padang lamun ini ditemukan di Utara lokasi studi seluas 0,023 ha
dan Selatan lokasi studi seluas 0,023 ha dan pada perairan di sekitar gugusan pulau-
pulau kecil di Timur lokasi, sekitar Pulau Dua Laut seluas 0,023 ha, sekitar Pulau Sainoa
seluas 0,025 ha dan sekitar Pulau Waru-waru seluas 0,005 ha. Beberapa jenis lamun
yang dapat diidentifikasi hidup di lokasi studi adalah : Enhalus sp., Thalassia sp.,
Halophila sp. dan Cymodaceae sp. Pada lokasi sekitar rencana usaha dan/atau
kegiatan ekosistem terumbu karang ditemukan pada lokasi yang berdekatan dengan
pinggir pantai Timur, Selatan dan Barat Marsaoleh yang juga merupakan Ibukota
Kecamatan Bungku Tengah dan beberapa pulau lainnya. Jenis karang yang terdapat di
perairan laut sekitar lokasi studi dapat digolongkan berdasarkan jenis karang dan karakter
habitatnya didominasi oleh Hard coral (23%), soft coral (12,5%) dan karang mati (20,5%)
serta lainnya adalah berupa pecahan karang, batu dan pasir. Berdasarkan koloni karang
sebahagian besar adalah berupa encrusting (24%), massive (20%), sub massive (18%),
braching (15%), digitate (10%) dan koloni lain berupa mushroom, folose dan cup. Dari
beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa jenis karang yang teridentifikasi
hidup di perairan lokasi studi adalah : Acropora humilis., Acropora sp., Alveopora sp.,
Diploria sp., Echinopora sp., Fungia sp., Galaxea sp., Hidnopora sp., Millepora sp.,
Pachiceris sp., Pavia sp., Pavites sp., Porites sp., Seriatopora sp. dan jenis karang
massive lainnya. Jika dilihat dari luasan dan waktu terjadinya, dampak gangguan
terhadap habitat biota perairan pada tahap ini relatif kecil dan bersifat sementara yaitu
pada saat musim hujan dan sangat tergantung kepada besarnya dampak primer, berupa
laju erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas air permukaan. Dengan dilaksanakannya
upaya pengelolaan yang baik terhadap dampak primer, maka dampak terhadap biota
perairan dapat dikurangi. Dampak akan berakhir setelah kegiatan pembersihan lahan
selesai dilaksanakan dan upaya revegetasi yang dilakukan pada areal terbuka di sekitar
areal TPI Modern Bungku, sarana dan prasarana lain dapat berfungsi dengan baik.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap
konstruksi adalah kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang
dan padang lamun adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada
perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan
sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona
lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan
dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang
lamun adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang
lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan
sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama
dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo.
Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya
dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan
teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pembuatan terumbu karang sintetis.
ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai
pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
i.) Pembuatan terumbu karang sintetis.
Pembuatan terumbu karang sintetis sebagai pengganti atas terumbu karang yang telah
rusak baik akibat dari alam (eksisting) maupun akibat dari pembangunan kanal TPI
Bungku. Bentuknya dapat berupa kubus, piramida maupun kerucut dan terbuat dari
campuran beton. Diletakkan pada kotak jaring besi/nylon yang diberi pemberat. Dan pada
tiap-tiap bentuk karang sintetis diikatkan masing-masing 1(satu) atau lebih karang hidup
(soft coral). Lokasi peletakan kotak jaring karang sintetis ditempatkan sedekat mungkin
dengan habitat terumbu karang yang ada karena selain mampu merangsang
perkembangan karang sintetis juga kondisi salinitas dan intensitas penyinaran disekitar
habitat terumbu karang sangat berpengaruh. Perkembangan dan pertumbuhan karang
sintetis akan terlihat setelah 1-2 tahun kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik
dan benar. Biaya pembuatan karang sintetis adalah sebagai berikut :
Kotak jaring besi/nylon Rp. 1.000.000,-
Semen dan kerikil Rp. 1.500.000,-
Peralatan selam (snorkling) Rp. 2.500.000,-
Total Rp. 5.000.000,-
ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai
pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat nelayan disekitar lokasi usaha/kegiatan yang
sering memanfaatkan batu karang untuk keperluan komersil maupun yang merusaknya
karena membom ikan disekitarnya. Nelayan dibangkitkan kesadarannya akan pentingnya
kelestarian terumbu karang sebagai habitat biota perairan sehingga ketersediaan ikan
akan terus ada dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Selain itu nelayan juga
diberdayakan dalam proses pembuatan karang sintetis sehingga terlibat langsung mulai
dari pembuatannya hingga pengawasannya.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Jalur kanal TPI Bungku yang akan melalui habitat terumbu karang dan padang lamun
akan di desain sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang
masih alami dan dalam kondisi baik.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama
dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai
dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan
dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan
dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan
pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air
permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan
kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah
Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara
langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan
padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
D. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya
dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan
pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas
kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun
pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi,
limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa
langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap pasca-konstruksi adalah
kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka
adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia
dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan
awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan
ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan
terhadap dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan
tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya
pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan
pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang
akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah
diuraikan pada bahagian terdahulu.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi
pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan
Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan
TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan
sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab
Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan
dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer
berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
1. Dampak Terbukanya Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha
2. Dampak Peningkatan Pendapatan Penduduk
3. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat
Ketiga dampak komponen sosial ekonomi dan budaya diatas secara rinci dapat dilihat
pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku.
d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Dampak Gangguan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Dampak komponen kesehatan lingkungan dan masyarakat diatas secara rinci dapat
dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku.
5.1.3. Tahap Pasca Konstruksi
a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi adalah
berupa masuknya masa pencemar dari kemungkinkan terjadinya rembesan limbah cair
dari operasional TPI Modern Bungku ke badan air Laut Teluk Tolo, menimbulkan
peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air yang akhirnya
menyebabkan penurunan kualitas air laut di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku dan dapat menyebar ke sekitarnya.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap operasional adalah
dari kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah :
Untuk air laut adalah baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Lampiran III Surat
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut.
Untuk air permukaan adalah batas baku mutu kualitas air Kelas I (satu), yaitu air yang
peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
Untuk air limbah adalah baku mutu untuk kegiatan perdagangan dan jasa berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor : 14 Tahun 2003, Tentang
Baku Mutu Air Dalam Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah
.
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah
untuk:
Menanggulangi dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di lokasi,
terutama parameter : BOD5, COD, TSS, Minyak dan lemak, Oksigen terlarut, Nitrogen
total (sebagai N), sulfat, pH dan debit limbah maksimum.
Menanggulangi penyebaran dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo
ke lingkungan sekitar lokasi, terutama parameter kekeruhan, padatan tersuspensi,
warna, pH, sulfat, BOD, COD dan Oksigen terlarut.
Memperkecil dampak lanjutan penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo terhadap
komponen lingkungan lain, seperti dampak terhadap habitat biota perairan, areal laut
yang menjadi areal penangkapan ikan nelayan Kecamatan Bungku Tengah, perubahan
sikap dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau
kegiatan, kesehatan lingkungan dan masyarakat.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dirancang berdasarkan
pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pengaturan tata letak dan desain dari bangunan rumah genset di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan.
ii.) Pengelolaan olie bekas.
iii.) Pembangunan dan pengaturan IPAL (settling pond).
Pelaksanaan ke-tiga rancangan kegiatan tersebut diuraikan sebagai berikut :
i.) Pengaturan tata letak dan desain dari bangunan rumah genset di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan
Sesuai dengan rencana kegiatan yang akan dilakukan Pemerintah Kabupaten Morowali,
untuk mendukung pelaksanaan kegiatan akan dibangun bangunan ruang mesin/rumah
genset (engine room) di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, Rumah genset ini
adalah menempati bagian belakang pada lantai 1 dari bangunan pasar bertingkat 3.
Bangunan ini dirangcang untuk lokasi penempatan pembangkit daya listrik berupa
generator-set (genset) berbahan bakar solar sebanyak 2 unit genset, masing-masing
dengan kapasitas 500 KVA , sebagai sumber energi cadangan apabila sumber energi
listrik dari PLN mengalami gangguan. Sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan akan dilakukan pengaturan tata letak bangunan dan ruangan di dalam rumah
genset. Bangunan ruang mesin (engine room) dirancang untuk dapat menampung 2 unit
genset, masing-masing dengan kapasitas 500 KVA dan 1 unit tangki bahan bakar dengan
kapasitas 80 MT, diameter 1.850 mm dan tinggi 5.480 mm. Lantai rumah genset
diperkeras dengan beton dan masing-masing dilengkapi dengan saluran drainase dan
kolam penangkap ceceran minyak atau olie bekas (oil trap). Pada bangunan ini, drainase
untuk air permukaan dibuat terpisah dengan drainase kegiatan, drainase untuk air
permukaan disalurkan ke luar sedangkan drainase kegiatan rumah genset disalurkan ke
kolam penangkap ceceran minyak/olie. Dengan demikian ceceran minyak dan olie bekas
dari kegiatan operasional genset tidak akan mencemari lingkungan sekitar. Kolam
penangkap ceceran minyak atau olie bekas dibangun di belakang bangunan rumah
genset atau lokasi strategis di sekitar bangunan rumah genset. Pembuatan oil trap ini
terdiri dari 4 unit kolam yang disusun secara seri, dengan ukuran masing-masing 1 x 1 x
1,5 m, sehingga tiap kolam mampu menampung 1,5 m3, dengan kapasitas total sebesar 6
m3. Proses penangkapan ceceran minyak/olie pada oil trap yang akan dioperasikan ini
dapat diuraikan sebagai berikut : Air dan limbah cair dari kegiatan rumah genset akan
dialirkan masuk ke kolam I, di dalam kolam akan terjadi pemisahan secara fisik antara air
dengan minyak/olie berdasarkan perbedaan berat jenis, minyak/olie akan mengapung
atau naik ke permukaan kolam dan akan dimasukkan ke dalam drum tertutup dengan
kapasitas isi 200 liter. Sedangkan air yang berada di bawah dari kolam I akan dialirkan ke
kolam II untuk kembali dilakukan pemisahan, seterusnya akan dilakukan di kolam III dan
IV. Lapisan minyak/olie yang mengapung di permukaan kolam dimasukkan ke dalam
drum tertutup dengan kapasitas isi 200 liter. Air dari kolam terakhir (kolam IV) akan
dialirkan ke saluran air yang menuju kolam pertama dari IPAL/kolam pengendapan
(settling pond) yang juga akan dibangun di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,
sebelum dialirkan ke perairan Laut Teluk Tolo.
Volume minyak/olie yang tumpah atau tercecer diperkirakan tidak terlalu besar, jumlah
yang cukup besar dapat berasal dari pergantian pemakaian olie mesin genset,
diperkirakan mencapai 20-50 liter perbulan. Drum tertutup yang berisi minyak/olie bekas
dari kolam I, II, III dan IV di simpan/ditumpuk pada lokasi penumpukan di bagian belakang
rumah genset dan secara periodik, yaitu setiap 3 (tiga) bulan akan diangkut dengan
menggunakan truck pengangkut untuk dikembalikan kepada pihak produsen untuk
dilakukan pengolahan dan pengelolaan lebih lanjut.
ii.) Pengelolaan Olie Bekas
Pengelolaan olie bekas dilakukan dengan menampung sisa olie bekas yang berasal dari
kegiatan pada rumah genset di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dalam drum
tertutup dan akan dikembalikan kepada pihak penjual untuk dilakukan pengolahan dan
pengelolaan lebih lanjut.
iii.) Pembangunan Dan Pengaturan IPAL (Settling Pond)
Lamanya dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi
tergolong cukup lama, sesuai dengan fungsinya sebagai Pusat Perdagangan Kabupaten
Morowali, maka kegiatan operasional TPI Modern Bungku akan tetap berlansung selama
belum terdapat perubahan atau terjadinya pemindahan lokasi pasar. Untuk mengurangi
terjadinya dampak penurunan kualitas air di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,
akan dilakukan pembangunan IPAL sebagai muara dari semua saluran air dan limbah cair
yang terdapat atau dihasilkan oleh semua bangunan yang ada di lokasi TPI Modern
Bungku. Setelah dilakukan pengendapan, selanjutnya air dari kolam pengendapan
terakhir dialirkan melalui saluran terbuka ke Laut Teluk Tolo. IPAL yang direncanakan
adalah berupa pembangunan kolam pengendapan (settling pond) yang terdiri dari 4
(empat) unit kolam yang disusun secara seri di ujung saluran utama dari saluran umum
kota yang menempati sudut paling Barat di belakang dari lokasi pencadangan rencana
usaha dan/atau kegiatan, tepatnya terdapat di sisi Barat rencana pembangunan Ruko
Lantai 2 Samping Kiri. Kolam pengendapan yang akan dibangun adalah terdiri dari 4
(empat) unit kolam yang disusun secara seri, dengan ukuran masing-masing 25 x 20 x 3
m, sehingga 1 unit kolam mampu menampung 1,500 m3 limbah cair beserta lumpur, atau
dengan kapasitas total dapat menampung 6.000 m3 limbah cair beserta lumpur. Seperti
pembangunan jaringan drainase maka pembangunan kolam pengendapan dirancang
untuk mampu menampung dan memproses semua air larian di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan. Keberadaan IPAL ini diharap dapat mencegah penyebaran limbah cair
dari aktifitas kegiatan di TPI Modern Bungku secara keseluruhan secara langsung ke
badan air Laut Teluk Tolo, limbah cair terlebih dahulu akan diendapkan di IPAL untuk
selanjutnya dialirkan ke laut.
Proses pengolahan air limbah pada IPAL yang akan dibangun dapat diuraikan sebagai
berikut : Air yang berasal dari semua kegiatan dan bangunan yang terdapat di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan akan dialirkan melalui saluran drainase utama masuk
ke kolam pengendapan I (kolam I) dan diendapkan selama 78 jam, untuk memisahkan
endapan yang berukuran besar, selanjutnya air dari kolam I akan dialirkan secara over
flow masuk ke kolam II, III dan IV. Untuk mempercepat proses penjernihan, berupa
pemisahan dan penetralan air limbah diberikan perlakuan dengan cara penambahan
bahan-bahan kimia, berupa flocculant/koagulan, terdiri dari Tawas (Al2(SO4)3) dan Kapur
(Ca(OH)2) yang berfungsi untuk mengikat butiran-butiran endapan yang halus menjadi
butiran endapan yang lebih kasar, sehingga endapan yang besar akan jatuh secara
gravitasi ke dasar kolam. Tawas dan kapur didapat dengan membeli dari pihak ketiga.
Jumlah tawas dan kapur yang ditambahkan ke kolam pengendapan didasarkan atas
perhitungan tingkat kekeruhan dan kemasaman air limbah yang tertampung dalam kolam
pengendapan. Analogi dari kegiatan sejenis jumlah penambahan tawas adalah 0,250,50
Kg untuk 1 m3 limbah cair yang diharap dapat mengendapkan lumpur dalam waktu 12
jam. Sesuai dengan kapasitas kolam, maka ketebalan lumpur pada saat kolam terisi
penuh adalah sekitar 2 m. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan lama waktu pengisian
sedimen pada satu kolam sampai penuh adalah 36 hari. Volume limbah cair yang akan
diolah atau yang akan masuk ke dalam IPAL diperkirakan sesuai dengan kebutuhan dan
jumlah pemakaian air pada semua kegiatan dari semua bangunan yang ada di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan TPI Modern Bungku adalah mencapai 6.000 m3/hari,
masing-masing untuk kebutuhan bangunan pasar kering (kios dan lods) dan perkantoran
sebesar 1.800 m3/hari, untuk kebutuhan pasar basar (kios dan lods) diperkirakan sebesar
4.200 m3/hari. Volume limbah cair ini dapat meningkat pada saat hari hujan atau musim
penghujan, karena pembangunan sistem drainase dari semua lokasi dan bangunan yang
ada pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan TPI Modern Bungku adalah IPAL.
Pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan TPI Modern Bungku di tepi sekeliling areal
akan dibangun saluran drainase guna menampung air larian. Terdapat tiga cabang
saluran yang alirannya dirancang dengan arah Utara-Selatan dan kemudian mengalir ke
saluran drainase utama. Semua saluran dari semua bangunan yang terdapat di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan akan dihimpun pada sistem saluran utama melalui
saluran cabang. Saluran utama mengalir dari Barat Ke Timur dengan penampang
melintang 42 m2, aliran rata-rata dari saluran ini dirancang sebesar 75.000 m3/jam.
Diperkirakan dimensi dari sistem saluran drainase dan IPAL yang akan dibangun dapat
berfungsi dengan baik dan dapat menyalurkan, menampung serta mengolah air limbah
dan air larian pada keadaan curah hujan tinggi, sesuai dengan data iklim pada lokasi
kegiatan rata-rata curah hujan bulanan tertinggi selama 10 tahun terakhir (1991-2001)
adalah mencapai 516 mm pada bulan Desember. Padatan yang terakumulasi di dalam
kolam akan dikeruk dengan excavator dan dengan menggunakan dump truck lumpur hasil
kerukan diangkut ke lokasi penimbunan di sekitar lokasi IPAL untuk proses pengeringan.
Dari lokasi penimbunan setelah kering selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai bahan
urug (quary) yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan perbaikan dan pemeliharaan jalan
ataupun untuk keperluan pengurukan lainnya. Setelah dilakukan pengendapan,
selanjutnya air dari kolam terakhir IPAL (kolam IV) dialirkan ke kolam kontrol. Kolam
kontrol ini dibangun dengan ukuran 10 x 10 x 2 m dan pada kolam ini akan dilakukan
pemeliharaan ikan mas atau jenis ikan lainnya. Setelah melewati kolam kontrol
selanjutnya air limbah yang sudah melewati semua tahapan pengolahan tersebut dialirkan
melalui saluran drainase terbuka ke badan air Laut Teluk Tolo.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan dampak penurunan kualitas air
Laut Teluk Tolo pada tahap pasca konstruksi dilakukan pada :
I. Lokasi pembangunan IPAL.
II. Lokasi pembangunan rumah genset.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan operasional TPI Modern Bungku. Secara terus menerus
akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Biaya pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah tanggung jawab
Pemerintah Kabupaten Morowali sebagai Pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan,
adalah berupa biaya investasi untuk pembuatan IPAL, biaya operasional pemeliharaan
dan biaya personil tenaga pelaksana. Biaya investasi untuk pembangunan IPAL terdiri
dari :
Pembuatan IPAL = Rp. 1.000.000.000,-
Pembuatan saluran dan pipanisasi = Rp. 300.000.000,
Total biaya = Rp. 1.300.000.000,
Biaya operasional terdiri dari biaya pengadaan bahan kimia, biaya pemeliharaan dan
biaya personil tenaga pelaksana per bulan, terdiri dari :
Biaya pengadaan bahan yang dipergunakan :
Tawas, dengan jumlah kebutuhan 300 kg = Rp. 750.000,-
Kapur/caustic soda, kebutuhan 300 kg = Rp. 600.000,-
Total biaya = Rp. 1.350.000,-
Biaya personil untuk operasionil dan pemeliharaan IPAL dengan jumlah kebutuhan
sebanyak 2 tenagakerja, diperkirakan sebesar Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) setiap
bulan.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo adalah Badan
Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah
Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dilakukan oleh
Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Ambien Peningkatan Kebauan Dan Kebisingan
3. Dampak Gangguan Lalulintas
4. Peningkatan Sarana Dan Prasarana
Ketiga dampak komponen Geo-fisik kimia secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-
UPL TPI Bungku.
b. Komponen Lingkungan Biologi
A. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan
1.) Dampak Penting dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari kemungkinan
terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada saat pelaksanaan operasional dan
pemeliharaan TPI berikut sarana dan prasarana pendukungnya, memungkinkan
terdapatnya rembesan limbah yang akan memasuki badan air, menimbulkan peningkatan
minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan
penurunan kualitas air di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan dapat menyebar ke
sekitarnya. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan peningkatan kekeruhan, muatan
padatan tersuspensi, residu terlarut dan peningkatan pH, yang akhirnya menyebabkan
terganggunya habitat biota perairan, terjadinya penurunan kelimpahan, penurunan nilai
indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan
sekitarnya.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi adalah dari
kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur dampak gangguan habitat biota perairan terganggunya habitat biota perairan
adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos, di lokasi kegiatan
dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan nekton (ikan) dan di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya
kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya
kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk
Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan Pasar Semi Modern
Bungku.
Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap habitat biota perairan
Laut Teluk Tolo ke lokasi lingkungan sekitarnya.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan habitat biota perairan sama dengan pengelolaan
terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap pasca
konstruksi, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya. Pengelolaan yang baik dan
tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder. Pengelolaan
dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo dirancang berdasarkan pendekatan
teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pengaturan tata letak dan desain dari bangunan rumah genset di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan.
ii.) Pengelolaan olie bekas.
iii.) Pembangunan dan pengaturan IPAL (settling pond).
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi
sama dengan lokasi pengelolaan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo
pada tahap pasca konstruksi, yang akan dilakukan pada :
I. Lokasi pembangunan IPAL.
II. Lokasi pembangunan rumah genset.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan operasional Pasar Semi Modern Bungku berikut sarana
dan prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan
sampai berakhirnya kegiatan operasional.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah tanggung
jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk
pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan
dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
B. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove
1.) Dampak Penting dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan dampak dari pembukaan dan
pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI Bungku yang
ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove
dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh sekitar
10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya proses
pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya habitat
satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan, penurunan
nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan
dan sekitarnya.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan
sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku.
Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove
ke lokasi lingkungan sekitarnya.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi
adalah dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan
Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai,
proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor
edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem
mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan
sebagai berikut :
i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove.
ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya.
iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi
terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi
TPI Bungku, yang akan dilakukan pada :
I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan
Tofoiso.
II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa
Matansala).
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan
prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai
berakhirnya kegiatan operasional.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung jawab
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk
pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan
dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan
Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
C. Dampak Gangguan Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan dampak
turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap
pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan
sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari
kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya.
Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan
air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses
fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang, produktifitas primer perairan
menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan
kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton,
sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya
Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas
perairan tersebut secara keseluruhan.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap
konstruksi adalah kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang
dan padang lamun adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada
perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan
sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona
lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan
dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang
lamun adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang
lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan
sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama
dengan pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo.
Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya
dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan
teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pembuatan terumbu karang sintetis.
ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai
pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
i.) Pembuatan terumbu karang sintetis.
Pembuatan terumbu karang sintetis sebagai pengganti atas terumbu karang yang telah
rusak baik akibat dari alam (eksisting) maupun akibat dari pembangunan kanal TPI
Bungku. Bentuknya dapat berupa kubus, piramida maupun kerucut dan terbuat dari
campuran beton. Diletakkan pada kotak jaring besi/nylon yang diberi pemberat. Dan pada
tiap-tiap bentuk karang sintetis diikatkan masing-masing 1(satu) atau lebih karang hidup
(soft coral). Lokasi peletakan kotak jaring karang sintetis ditempatkan sedekat mungkin
dengan habitat terumbu karang yang ada karena selain mampu merangsang
perkembangan karang sintetis juga kondisi salinitas dan intensitas penyinaran disekitar
habitat terumbu karang sangat berpengaruh. Perkembangan dan pertumbuhan karang
sintetis akan terlihat setelah 1-2 tahun kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik
dan benar. Biaya pembuatan karang sintetis adalah sebagai berikut :
Kotak jaring besi/nylon Rp. 1.000.000,-
Semen dan kerikil Rp. 1.500.000,-
Peralatan selam (snorkling) Rp. 2.500.000,-
Total Rp. 5.000.000,-
ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai
pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat nelayan disekitar lokasi usaha/kegiatan yang
sering memanfaatkan batu karang untuk keperluan komersil maupun yang merusaknya
karena membom ikan disekitarnya. Nelayan dibangkitkan kesadarannya akan pentingnya
kelestarian terumbu karang sebagai habitat biota perairan sehingga ketersediaan ikan
akan terus ada dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Selain itu nelayan juga
diberdayakan dalam proses pembuatan karang sintetis sehingga terlibat langsung mulai
dari pembuatannya hingga pengawasannya.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Jalur kanal TPI Bungku yang akan melalui habitat terumbu karang dan padang lamun
akan di desain sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang
masih alami dan dalam kondisi baik.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama
dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai
dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan
dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan
dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan
pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air
permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan
kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah
Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara
langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat terumbu karang dan
padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
D. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya
dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan
pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas
kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun
pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi,
limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa
langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap pasca-konstruksi adalah
kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka
adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia
dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan
awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan
ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan
terhadap dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan
tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya
pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan
pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang
akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah
diuraikan pada bahagian terdahulu.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi
pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan
Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan
TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan
sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab
Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan
dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer
berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak gangguan habitat satwa langka akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Dampak Penurunan Estetika
E. Pengelolaan Sampah
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak penurunan estetika adalah terjadinya penyebaran dan penumpukan sampah
secara serampangan sehingga mengganggu kenyamanan dan kerapian lingkungan
pasar. Dampak ini terutama dapat disebabkan oleh penerapan sistem penanganan
sampah yang kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar
bangunan, kios, lods atau berserakan pada ruang perkantoran dan ruang terbuka di
dalam lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pedagang maupun
pengunjung TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah atau volume sampah yang dihasilkan, terutama sampah-sampah yang dihasilkan
dari kegiatan pedagang. Dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan pengelolaan sampah
yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak pedagang dan pengunjung pasar
terhadap kebersihan lingkungan pasar atau kelalaian dari pihak pengelola terutama
petugas kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di lokasi TPI.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak penurunan estetika pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan operasional TPI, sarana dan prasarana.
Sampah organik dan anorganik
Kegiatan pemeliharaan TPI, sarana dan prasarana.
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur dampak penurunan estetika adalah :
Kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
3.) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pengelolaan dampak penurunan estetika adalah untuk :
Menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
4.) Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggelolaan dampak penurunan estetika dirancang berdasarkan pendekatan sosial
ekonomi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
a. Pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku.
b. Sosialisasi upaya pengelolaan kebersihan, keindahan, ketentraman, keamanan dan
kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Rancangan kedua kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut:
Pengawasan Sistem Pengelolaan Dan Penanganan Sampah TPI Modern Bungku Untuk
setiap bangunan kios, lods dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan
dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya
disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan
dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan
yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas
pembuangan sampah.
Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah lokal, dengan
penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat menampung seluruh
sampah dari semua bangunan yang ada di dalam lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai
dengan prakiraan volume limbah padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2
tempat pembuangan sampah lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di
sudut kanan dan kiri. Dari tempat pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan
diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA).
Cara penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara
sampah basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat
penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi
sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan dan
ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang sudah terkumpul ini
selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan ke lokasi tempat
pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan sampah lokasl
ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke TPA. Volume
sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini diperkirakan masing-masing
untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari dan sampah kering dapat mencapai
5-10 m3/hari.
Sesuai dengan fungsinya sebagai Pusat Pelelangan Ikan maka kegiatan pengelolaan
terdapat dampak penurunan estetika lingkungan yang bersumber dari pengelolaan dan
sistem penanganan sampah yang dihasilkan dari semua aktifitas lelang di TPI perlu
menjadi prioritas dalam pelaksanaan dan pengawasan yang baik dari Badan Pengelola
TPI Modern Bungku, sehingga dapat tercipta lingkungan yang bersih, rapi dan sehat serta
terciptanya kesadaran dari semua pelaku pasar untuk senantiasa menjadi kebersihan dan
keindahan di lokasi TPI.
ii.) Sosialisasi Upaya Pengelolaan Kebersihan, Keindahan, Ketentraman, Keamanan Dan
Kenyamanan Lingkungan TPI Modern Bungku Dan Sekitarnya
Sosialisasi untuk menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan pasar dan
sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan
TPI Modern Bungku dan sekitarnya dilakukan oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku
dengan bekerja sama dengan Dinas Kebersihan, dinas Kesehatan dan Instansi terkait
lainya seperti rumah sakit/puskesmas. Kegiatan ini adalah berupa kegiatan penerangan
dan penyuluhan tentang cara penanganan sampah dan upaya menjaga kebersihan,
kerapian, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern
Bungku dan sekitarnya yang ditujukan kepada semua pelaku di lokasi TPI Modern
Bungku, baik nelayan, pengelola TPI Modern Bungku, pedagang atau pengunjung untuk
menanamkan kesadaran untuk senantiasa menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan
lingkungan pasar dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan
kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya.
5.) Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lokasi pengelolaan dampak penurunan estetika pada tahap pasca konstruksi adalah
pada lokasi TPI Modern Bungku dan lingkungan sekitarnya.
6.) Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dampak penurunan estetika mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya
pelaksanaan kegiatan operasional TPI Modern Bungku berikut sarana dan prasarana
pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya
kegiatan.
7.) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pengelolaan dampak penurunan estetika adalah tanggung jawab Badan
Pengelola TPI Modern Bungku. Pelaksanaan kegiatan pengawasan sistem pengelolaan
dan penanganan sampah TPI Modern Bungku merupakan peningkatan dari kegiatan
penanganan sampah TPI Modern Bungku yang sudah direncanakan oleh Badan
Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga biaya pelaksanaan kegiatan ini hanya
merupakan biaya operasionil bagi petugas pelaksana pengawas di lapangan, diperkirakan
sebesar Rp. 10.000.000,- pertahun dan biaya operasionil personil dan peralatan untuk
pelaksana kegiatan sosialisasi diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- Sedangkan biaya
investasi berupa biaya pengadaan peralatan dan petugas kebersihan untuk penanganan
sampah sudah termasuk dalam anggaran biaya operasional TPI Modern Bungku secara
keseluruhan.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pengelolaan dampak penurunan estetika adalah Badan Pengelola TPI Modern
Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan
koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf
Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pengelolaan dampak penurunan estetika dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu :
Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pengelolaan dampak penurunan estetika akan diserahkan kepada
: Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
5.2. Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
5.2.1. Tahap Pra-Konstruksi
a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
Kegiatan pada tahap pra-konstruksi tidak menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap komponen lingkungan geo-fisik kimia.
b. Komponen Lingkungan Biologi
Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia, kegiatan pada tahap pra-konstruksi ini
tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen lingkungan biologi.
c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
1. Dampak Keresahan Pedagang
2. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat
Pada kegiatan ini menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan sosial
ekonomi dan budaya yang secara rinci penjelasannya dapat dilihat pada dokumen UKL-
UPL TPI Bungku.
d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Seperti pada komponen lingkungan geo-fisik kimia dan biologi, kegiatan pada tahap pra-
konstruksi ini tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap komponen
kesehatan lingkungan dan masyarakat.
5.2.2. Tahap Konstruksi
a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo
A. Pemantauan Dampak Abrasi Pantai
1.) Dampak Besar Dan Penting Yang Dipantau
Terjadinya abrasi pantai Teluk Tolo pada tahap konstruksi bersamaan dengan terjadinya
penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi Pembangunan TPI Bungku yang
merupakan dampak komponen kimia-fisika. Sedangkan untuk dampak komponen geo-
fisika adalah terjadinya perubahan bentang alam atau pengikisan atau abrasi pantai
sebagai turunan dari terjadinya peningkatan laju erosi tanah dan laju sedimentasi ke
badan air Laut Teluk Tolo sebagai badan air penerima limbah dari lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan. Kegiatan pembersihan dan pematangan lahan, pengendapan lumpur
(pendangkalan) dilanjutkan dengan pembangunan TPI, sarana dan prasarana (kanal)
menyebabkan terjadinya pergeseran ruang/volume perairan serta perubahan arah arus
dan ombak yang mencari arah hempasan ke daerah pesisir pantai lainnya sehingga
meningkatkan laju pergerusan tanah garis pantai. Hasil perhitungan laju aliran permukaan
pada lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan adalah 2,60 m3/hari-hujan. Prakiraan erosi
aktual yang dihitung dengan metode USLE adalah 9,29 ton/ha/th, sehingga diketahui
besarnya pelumpuran ke badan air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan
atau kegiatan adalah sebesar 58,7 x 10-4 mg/l. Sehingga mempengaruhi laju
pendangkalan perairan. Namun demikian terjadinya abrasi pantai masih dimungkinkan
dari akumulasi meningkatnya volume air laut akibat pemanasan global dan hilangnya
vegetasi mangrove yang merupakan zona buffer/pelindung garis pantai dari hempasan
ombak laut.
2.) Sumber Dampak
Sumber dampak abrasi pantai Laut Teluk Tolo adalah dari kegiatan :
Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang.
Hilangnya vegetasi mangrove akibat pembukaan dan pematangan lahan.
Konstruksi fisik bangunan kanal TPI.
Pembangunan sarana dan prasarana pendukung.
3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau
Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak abrasi pantai
Teluk Tolo terdiri dari sifat geo-fisika, yaitu :
Parameter sifat geologi, berupa : garis kontur, struktur tanah, gletser
Parameter sifat fisika berupa : kekeruhan, padatan (beton), padatan terlarut, padatan
tersuspensi dan pemanasan global.
4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo adalah untuk:
Mengetahui terjadinya dampak abrasi pantai Teluk Tolo di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan dan nilai parameter kualitas air memenuhi tolok ukur ambang batas
baku mutu yang ditetapkan.
Mengetahui dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
gangguan terhadap habitat biota perairan, gangguan terhadap kehidupan nelayan
Kecamatan Bungku Tengah, sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap
keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan.
Tolok ukur yang dipakai dalam pengelolaan dampak abrasi pantai Teluk Tolo, adalah :
Baku mutu kualitas air laut yang ditetapkan untuk biota laut (budidaya perikanan)
berdasarkan Lampiran VII Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : KEP-02/MENKLH/ 6/1988.
5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data
i.) Metode Pengumpulan Data
Metode pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo adalah dengan melakukan
pengamatan langsung/secara visual di lapangan terhadap tingkat kekeruhan, kecerahan,
warna dan ceceran minyak dan lemak serta pengambilan contoh/sampel air secara
langsung di lapangan. Contoh air tersebut kemudian dianalisa di laboratorium untuk
diketahui nilai parameter fisik dan kimianya.
ii.) Metode Analisis Data
Hasil analisa dari semua parameter yang dipantau selanjutnya dibuat tabulasi untuk
dibandingkan dengan kondisi rona awal sebelum dilakukannya rencana usaha dan/atau
kegiatan, sehingga diketahui seberapa besar pengaruh adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan terhadap penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan. Kemudian dilakukan perbandingkan hasil analisis yang didapat dengan
baku mutu yang diizinkan/disyaratkan untuk mengetahui besarnya pengaruh rencana
usaha dan/atau kegiatan dan mengukur tingkat keberhasilan dari upaya pengelolaan yang
dilakukan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pada setiap waktu pemantauan
dilakukan.
b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo akan dilakukan pada 3 (tiga) stasiun
pemantauan kualitas air Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan, yang dapat dilihat pada Tabel 5.4 Gambaran secara rinci mengenai lokasi
titik/stasiun pemantauan kualitas air Laut Teluk Tolo dapat dilihat dalam peta lokasi
pemantauan pada Gambar 3.3.
Tabel 5.4. Lokasi Stasiun Pemantauan Kualitas Air Laut Teluk Tolo
No. Kode Sampel Koodinat Keterangan lokasi
1. KA-1 122 19 36.52 BT. 3 04 46.44 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Utara lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI
Modern Bungku.
2. KA-2 122 19 41.31 BT. 3 04 58.88 LS. Air Laut Teluk Tolo di belakang lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI
Modern Bungku.
3. KA-3 122 19 58.25 BT. 3 05 04.72 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Selatan lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan
TPI Modern Bungku.
c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan
Pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo akan dilakukan pada saat dimulainya
kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku
sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional, dengan frekwensi pemantauan 3 (tiga)
bulan 1 (satu) kali.
6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo adalah Badan Pengelola TPI
Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kepala
Bagian K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo dilakukan oleh Instansi terkait,
yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali,
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak abrasi pantai Teluk Tolo akan diserahkan
kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Ambien, Peningkatan Kebauan Dan Kebisingan
Sumber dampak penurunan kualitas udara dan peningkatan kebisingan, metode
penanganannya secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku.
b. Komponen Lingkungan Biologi
B. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan
1.) Dampak Besar Dan Penting Yang Dipantau
Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan Pemantauan dampak turunan dari
terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo. Dampak yang terjadi
diawali dengan peningkatan laju erosi dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan
padatan tersuspensi yang timbul dari kegiatan pembersihan dan pematangan lahan.
Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan
air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses
fotosintesa biota produser, yaitu phytoplankton terhalang, produktifitas primer perairan
menurun, daya absorsi phytoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan
kelimpahan phytoplankton menurun.
Hal ini berpengaruh terhadap keragaman phytoplankton, sesuai dengan rantai makanan
dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya zooplankton, mempengaruhi
kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas perairan tersebut secara
keseluruhan. Jika dilihat dari luasan dan waktu terjadinya, dampak pada tahap ini relatif
kecil dan bersifat sementara yaitu pada saat musim hujan dan sangat tergantung kepada
besarnya dampak primer, berupa laju erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas air.
Dengan dilaksanakannya upaya pengelolaan yang baik terhadap dampak primer, maka
dampak terhadap biota perairan dapat dikurangi. Dampak akan berakhir setelah kegiatan
pembersihan, pematangan lahan dan kegiatan konstruksi selesai dilaksanakan dan upaya
revegetasi yang dilakukan pada areal terbuka di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku dapat berfungsi dengan baik.
2.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap konstruksi adalah kegiatan :
Pembangunan dan pengoperasian base camp/barak kerja, bengkel dan gudang.
Pembukaan dan pematangan lahan.
Konstruksi fisik bangunan TPI .
Pembangunan sarana dan prasarana pendukung.
Pengoperasian dermaga darurat.
3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau
Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak gangguan habitat
biota perairan adalah :
Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos pada perairan di
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan
(kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat
pengelolaan dilakukan).
Keberadaan nekton (ikan) pada perairan di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak dampak gangguan habitat biota perairan adalah
untuk :
Mengetahui terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk
Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengetahui terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap habitat biota perairan
Laut Teluk Tolo ke lingkungan sekitarnya.
Memantau ke-efektifan dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan di lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan.
5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data
i.) Metode Pengumpulan Data
(a.) Plankton
Pemantauan Pengambilan data primer dilaksanakan dengan pengamatan dan
pengambilan sampel Plankton secara lansung di lapangan dan selanjutnya dibawa ke
laboratorium yang dirujuk untuk diidentifikasi. Pengambilan sampel Plankton dilakukan
dengan menggunakan Plankton Net No. 25 pada lokasi/titik pengambilan sampel yang
telah ditetapkan secara komposit. Volume air yang disaring pada plankton net adalah
sebanyak 50 liter sehingga diperoleh 30 ml air tersaring. Air yang tersaring tersebut
dimasukkan ke dalam botol contoh dan diberi pengawet berupa lugol 1 ml/100 cc air
contoh untuk kemudian diberi label dan dibawa ke laboratorium untuk di-identifikasi di
bawah mikroskop.
(b.) Benthos
Pemantauan Pengambilan data primer dilaksanakan dengan pengamatan dan
pengambilan sampel Benthos secara lansung di lapangan dan selanjutnya dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi. Pengambilan sampel Benthos dilakukan dengan
menggunakan Ecjkman Grab yang berukuran 20 x 30 cm2 pada lokasi/titik pengambilan
sampel yang telah ditetapkan secara komposit. Setiap contoh substrat yang didapat dari
masing-masing titik pengambilan sampel di masukkan ke dalam kantong plastik dan diberi
pengawet berupa Formalin 4%, 1 ml/100 cc air contoh (4 tetes) untuk kemudian diberi
label dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
(c.) Nekton
Pemantauan Pengambilan data primer dilaksanakan dengan pengamatan, inventarisasi
dan identifikasi langsung di lapangan dan pengambilan sampel untuk jenis-jenis yang
belum diketahui secara pasti di lapangan. Pengumpulan data juga dilakukan dengan
wawancara untuk mendapatkan informasi dari masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan. Pengumpulan data sekunder dilakukan terhadap laporan dan hasil penelitian
tentang Nekton yang pernah ada sebelumnya di lokasi studi ataupun studi literatur lainnya
yang diambil dari berbagai Instansi terkait.
ii.) Metode Analisis Data
(a.) Kelimpahan Plankton
Komposisi jenis Plankton ditentukan dengan cara analisis dan identifikasi yang
dilaksanakan di laboratorium. Sedangkan perhitungan kelimpahan Plankton berdasarkan
metode Microtransect (Lackey, 1984), sebagai berikut :
N = n x 1/P x OC/OP x VS/VP x 1/V Keterangan : N = Jumlah individu Plankton per-liter.
N = Jumlah individu Plankton hasil pengamatan.
P = Jumlah lapang pandang.
OC = Luas gelas penutup (mm2).
OP = Luas satu lapang pandang (mm2).
VS = Volume air contoh yang tersaring (ml).
VC = Volume air di bawah gelas penutup (ml).
V = Volume air yang disaring (l).
(b.) Kelimpahan Benthos
Komposisi jenis seluruh organisme Benthos baik Makro/Mikro-Benthos yang diambil pada
satu luasan transek/alat Ecjkman Grab diidentifikasi dan dihitung jumlahnya yang
dilaksanakan di laboratorium. Sedangkan kelimpahan Benthos dihitung dari jumlah
individu per satuan luas transek/alat, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
A Keterangan :
Y = ----- Y = Kelimpahan Benthos (individu/m2).
b a = Jumlah individu benthos hasil pengamatan.
b = Luas alat Eijkman-grab/transek pengambilan contoh (m).
(c.) Indeks Keanekaragaman Jenis/Diversitas
Indeks keanekaragaman jenis/diversitas untuk Plankton dan Benthos dihitung
berdasarkan rumus yang dikemukakan Shannon dan Wiener (1949) dalam Krebs (1972) :
d = - ( pi . 2 log pi ) Keterangan : d = Indeks Keanekaragaman Shannon.
Ni ni = Jumlah Individu jenis ke-i.
pi = --------- N = Jumlah individu seluruh jenis.
N
Indeks keanekaragaman ini akan meningkat nilainya, jika jumlah jenis semakin banyak
(Krebs, 1978), berarti semakin besar indeks keragaman semakin baik keadaan
lingkungan perairan.
(e.) Indeks Keseragaman
D Keterangan :
E = ------------ E = Indeks kemerataan jenis (berkisar antara 0-1).
d max d = Indeks keanekaragaman Shannon.
d max = Indeks keanekaragaman maksimum.
d max = 2 log S S = Jumlah jenis (taxa).
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 sampai 1, semakin kecil nilai indeks
keseragaman mencerminkan ketidaksamaan jumlah jenis biota yang hidup atau makin
kecil indeks keseragaman makin tercemar suatu lingkungan perairan.
(f.) Indeks Dominansi
C = (ni/N)2 Keterangan : C = Indeks dominansi.
ni = Jumlah individu jenis ke i.
N = Jumlah individu seluruh jenis.
Dominansi merupakan gambaran jenis biota yang paling banyak dijumpai. Jenis yang
paling banyak ini dapat menentukan atau mengendalikan jenis yang lain (Odum, 1971).
Makin tinggi indeks dominansi berarti pada ekosistem perairan tersebut terdapat spesies
yang dominan.
(g.) Nekton
Analisis data Nekton adalah berupa indentifikasi jenis yang ditemukan dari pengamatan
dan pengambilan sampel di lapangan atau dari informasi masyarakat serta dokumentasi
data sekunder. Indentifikasi dilaksanakan dengan menggunakan kunci determinasi untuk
mengetahui jenis. Selanjutnya dilakukan perhitungan perkiraan jumlah dan keberadaan
jenis Nekton yang hidup di lokasi kegiatan. Hasil analisa dan perhitungan yang didapat
selanjutnya dibuat tabulasi untuk dibandingkan dengan kondisi rona awal sebelum
dilakukannya rencana usaha dan/atau kegiatan, sehingga diketahui seberapa besar
pengaruh adanya rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap habitat biota perairan dan
pengaruh rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap upaya pengelolaan yang dilakukan
dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan pada setiap waktu pemantauan dilakukan.
b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah sama dengan lokasi
pemantauan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang akan dilakukan pada 3
(tiga) titik/stasiun pemantauan pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku, yang dapat dilihat pada
Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Lokasi Stasiun Pemantauan Biota Perairan
No. Kode Sampel Koodinat Keterangan lokasi
1. BA-1 122 19 36.52 BT.3 04 46.44 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Utara lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI
Modern Bungku.
2. BA-2 122 19 41.31 BT.3 04 58.88 LS. Air Laut Teluk Tolo di belakang lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI
Modern Bungku.
3. BA-3 122 19 58.25 BT.3 05 04.72 LS. Air Laut Teluk Tolo sebelah Selatan lokasi
Rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan
TPI Modern Bungku.
Selain pada 3 lokasi pemantauan diatas, untuk pelaksanaan wawancara dan
pengumpulan data sekunder, terutama dalam pengumpulan data tentang keberadaan
ikan juga akan dilakukan pemantauan ke pusat pemukiman penduduk yang
hidup/berprofesi sebagai nelayan di sekitar lokasi kegiatan, yaitu pada Desa Bungku,
yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali.
Gambaran secara rinci mengenai lokasi titik/stasiun pemantauan dampak gangguan
habitat biota perairan dapat dilihat dalam peta lokasi pemantauan pada Gambar 2.2.
c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan
Pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan dilakukan pada saat
dimulainya kegiatan pada tahap konstruksi lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional,
dengan frekwensi pemantauan 3 (tiga) bulan 1 (satu) kali.
6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
Dampak terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha pada tahap konstruksi
secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku.
C. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove
1.) Dampak Penting dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan pemantauan dampak dari
pembukaan dan pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI
Bungku yang ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi
mangrove dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh
sekitar 10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya
proses pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya
habitat satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan,
penurunan nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi
kegiatan dan sekitarnya harus dipantau secara berkala.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan
sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku.
Mengurangi terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove
ke lokasi lingkungan sekitarnya.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap konstruksi adalah
dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan
Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai,
proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor
edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem
mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan
sebagai berikut :
i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove.
ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya.
iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan.
5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap konstruksi
terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi
TPI Bungku, yang akan dilakukan pada :
I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan
Tofoiso.
II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa
Matansala).
6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan
prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai
berakhirnya kegiatan operasional.
7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung
jawab Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk
pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan
dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan
Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
D. Dampak Gangguan Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan pemantauan
dampak turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo
pada tahap pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi
dan sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari
kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya.
Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan
air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses
fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang, produktifitas primer perairan
menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan
kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton,
sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya
Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas
perairan tersebut secara keseluruhan.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap
konstruksi adalah kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang
dan padang lamun adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada
perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan
sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona
lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan
dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang
lamun adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang
lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan
sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan
pengelolaan terhadap dampak terjadinya penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo.
Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya
dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan
teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pembuatan terumbu karang sintetis.
ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai
pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
i.) Pembuatan terumbu karang sintetis.
Pemantauan pembuatan terumbu karang sintetis sebagai pengganti atas terumbu karang
yang telah rusak baik akibat dari alam (eksisting) maupun akibat dari pembangunan kanal
TPI Bungku. Bentuknya dapat berupa kubus, piramida maupun kerucut dan terbuat dari
campuran beton. Diletakkan pada kotak jaring besi/nylon yang diberi pemberat. Dan pada
tiap-tiap bentuk karang sintetis diikatkan masing-masing 1(satu) atau lebih karang hidup
(soft coral). Lokasi peletakan kotak jaring karang sintetis ditempatkan sedekat mungkin
dengan habitat terumbu karang yang ada karena selain mampu merangsang
perkembangan karang sintetis juga kondisi salinitas dan intensitas penyinaran disekitar
habitat terumbu karang sangat berpengaruh. Perkembangan dan pertumbuhan karang
sintetis akan terlihat setelah 1-2 tahun kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik
dan benar. Biaya pembuatan karang sintetis adalah sebagai berikut :
Kotak jaring besi/nylon Rp. 1.000.000,-
Semen dan kerikil Rp. 1.500.000,-
Peralatan selam (snorkling) Rp. 2.500.000,-
Total Rp. 5.000.000,-
ii.) Sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan mengenai
pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat nelayan disekitar lokasi usaha/kegiatan yang
sering memanfaatkan batu karang untuk keperluan komersil maupun yang merusaknya
karena membom ikan disekitarnya. Nelayan dibangkitkan kesadarannya akan pentingnya
kelestarian terumbu karang sebagai habitat biota perairan sehingga ketersediaan ikan
akan terus ada dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Selain itu nelayan juga
diberdayakan dalam proses pembuatan karang sintetis sehingga terlibat langsung mulai
dari pembuatannya hingga pengawasannya.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Jalur kanal TPI Bungku yang akan melalui habitat terumbu karang dan padang lamun
akan di desain sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang
masih alami dan dalam kondisi baik.
5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama
dengan lokasi pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai
dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan
dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan
dikeluarkan untuk pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan
pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air
permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan
kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah
Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara
langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan
padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
E. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya
dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan
pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas
kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun
pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi,
limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa
langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap konstruksi adalah kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka
adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia
dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan
awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan
ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan terhadap
dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan tepat
terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya
pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan
pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang
akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah
diuraikan pada bahagian terdahulu.
5.) Lokasi pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi
pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan
Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan
TPI Modern Bungku.
6.) Periode pemantauan Lingkungan Hidup
pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan
sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab
Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan
dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer
berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Dampak Penurunan Estetika
F. Pemantauan Pengelolaan Sampah
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak penurunan estetika adalah terjadinya penyebaran dan penumpukan sampah
secara serampangan sehingga mengganggu kenyamanan dan kerapian lingkungan
pasar. Dampak ini terutama dapat disebabkan oleh penerapan sistem penanganan
sampah yang kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar
bangunan, kios, lods atau berserakan pada barak kerja dan ruang terbuka di dalam
lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pekerja maupun
masyarakat sekitar TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh
peningkatan jumlah atau volume sampah yang dihasilkan dari aktifitas pekerja, terutama
sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi. Dapat juga disebabkan oleh
pelaksanaan pengelolaan sampah yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak
pekerja terhadap kebersihan lingkungan kerja atau kelalaian dari pihak pelaksana
terutama petugas kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di
lokasi TPI.
b.) Sumber Dampak
Sumber pemantauan dampak sampah pada tahap konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan konstruksi TPI, sarana dan prasarana.
Sampah organik dan anorganik
Aktifitas pelaksana konstruksi TPI, sarana dan prasarana.
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur pemantauan dampak sampah adalah :
Kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak sampah adalah untuk :
Menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
pemantauan dampak sampah dirancang berdasarkan pendekatan sosial ekonomi,
dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
a. Pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku.
b. Sosialisasi upaya pengelolaan kebersihan, keindahan, ketentraman, keamanan dan
kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Rancangan kedua kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut:
Pengawasan Sistem Pengelolaan Dan Penanganan Sampah TPI Modern Bungku Untuk
setiap bangunan kios, lods dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan
dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya
disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan
dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan
yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas
pembuangan sampah.
Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah lokal, dengan
penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat menampung seluruh
sampah dari semua bangunan yang ada di dalam lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai
dengan prakiraan volume limbah padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2
tempat pembuangan sampah lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di
sudut kanan dan kiri. Dari tempat pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan
diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA).
Cara penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara
sampah basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat
penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi
sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan dan
ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang sudah terkumpul ini
selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan ke lokasi tempat
pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan sampah lokasl
ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke TPA. Volume
sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini diperkirakan masing-masing
untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari dan sampah kering dapat mencapai
5-10 m3/hari.
ii.) Sosialisasi Upaya Pengelolaan Kebersihan, Keindahan, Ketentraman, Keamanan Dan
Kenyamanan Lingkungan TPI Modern Bungku Dan Sekitarnya
Sosialisasi untuk menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan
sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan
TPI Modern Bungku dan sekitarnya dilakukan oleh kontraktor pelaksana pembangunan
TPI Bungku dengan bekerja sama dengan Dinas Kebersihan, dinas Kesehatan dan
Instansi terkait lainya seperti rumah sakit/puskesmas. Kegiatan ini adalah berupa kegiatan
penerangan dan penyuluhan tentang cara penanganan sampah dan upaya menjaga
kebersihan, kerapian, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan
TPI Modern Bungku dan sekitarnya yang ditujukan kepada semua pelaku di lokasi TPI
Modern Bungku, baik nelayan, pengelola TPI Modern Bungku, pedagang atau
pengunjung untuk menanamkan kesadaran untuk senantiasa menjaga kebersihan,
kerapian dan keindahan lingkungan pasar dan sekitarnya serta untuk menjaga
ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan
sekitarnya.
5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak sampah pada tahap konstruksi adalah pada lokasi TPI
Modern Bungku dan lingkungan sekitarnya.
6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup
pemantauan dampak sampah mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan
kegiatan konstruksi TPI Modern Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya.
Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan.
7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pemantauan dampak sampah pada tahap konstruksi adalah tanggung jawab
Kontraktor pelaksana pembangunan TPI Bungku. Pelaksanaan kegiatan pengawasan
sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Bungku merupakan peningkatan dari
kegiatan penanganan sampah TPI Bungku yang sudah direncanakan oleh Bidang Cipta
Karya PU Daerah Morowali, sehingga biaya pelaksanaan kegiatan ini hanya merupakan
biaya operasionil bagi petugas pelaksana pengawas di lapangan, diperkirakan sebesar
Rp. 10.000.000,- pertahun dan biaya operasionil personil dan peralatan untuk pelaksana
kegiatan sosialisasi diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- Sedangkan biaya investasi
berupa biaya pengadaan peralatan dan petugas kebersihan untuk penanganan sampah
sudah termasuk dalam anggaran biaya pengawasan PUD Cipta Karya Morowali secara
keseluruhan.
8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak sampah adalah kontraktor pelaksana pembangunan TPI
Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabid Cipta Karya
PUD Morowali dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak sampah dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor
Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Bidang Cipta Karya PUD Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak sampah akan diserahkan kepada : Kantor
Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Bidang Cipta Karya PUD Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
5.2.3. Tahap Pasca Konstruksi
a. Komponen Lingkungan Geo-Fisik Kimia
1. Dampak Penurunan Kualitas Air Laut Teluk Tolo
A. Pemantauan Dampak Abrasi Pantai
1.) Dampak Besar Dan Penting Yang Dipantau
Pada tahap pasca konstruksi perubahan bentang alam dan struktur pesisir pantai
merupakan dampak turunan dari kemungkinan terjadinya penyebaran dampak primer
seperti penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo yang menyebabkan terjadinya
pendangkalan perairan, akibat dari aktifitas kendaraan, operasional dan pemeliharaan
TPI, dan hilangnya sebagian vegetasi mangrove yang berfungsi sebagai penahan bahkan
pemecah ombak di saat musim ombak. Hilangnya sebagian besar daerah
genangan/ruang perairan akibat pembangunan kanal dan sarana prasarana TPI,
sementara volume air laut terus bertambah akibat pencairan gunung es daerah kutub
sehingga terjadi pergerusan daerah pesisir yang berada disekitar lokasi TPI.
Pemerintah Kabupaten Morowali berupaya memantau dampak yang ditimbulkan terhadap
lingkungan baik lingkungan Geo-fisik-kimia maupun biologi untuk menghindari terjadinya
abrasi pantai. Disamping hal lain yang dewasa ini sangat disoroti oleh dunia internasional
dimana sangat dituntut terhadap setiap pihak yang melakukan aktifitas pembangunan
atau eksploitasi sumber daya alam supaya memperhatikan aspek-aspek lingkungan.
2.) Sumber Dampak
Sumber dampak abrasi pantai pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan operasional TPI , sarana dan prasarana.
Kegiatan pemeliharaan TPI , sarana dan prasarana.
3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau
Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak abrasi pantai
adalah :
* garis pantai dilingkungan TPI dan sekitarnya (Tofuti Bahoruru).
* keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan pemantauan dampak abrasi pantai adalah :
* Mengetahui tingkat abrasi pada garis pantai dilingkungan TPI dan sekitarnya.
* Mengetahui tingkat keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data
Pengumpulan data untuk pemantauan dampak abrasi pantai dilakukan dengan
pengamatan, wawancara dan observasi secara langsung ke masyarakat di sekitar lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan.
i.) Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap 3 responden yang dipilih secara acak, terutama ditujukan
kepada praktisi teknis, akademisi dan pemuka-pemuka masyarakat di sekitar lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui
tanggapan masyarakat terhadap abrasi pantai serta keberadaan TPI Modern Bungku.
ii.) Observasi
Bertujuan untuk memperhatikan berbagai gejala dan informasi mengenai abrasi pantai
serta memperhatikan berbagai gejala sosial yang mungkin timbul seperti bibit konflik
sosial baik secara kelompok maupun individu akibat adanya beroperasinya TPI Modern
Bungku.
b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak abrasi pantai akan dilakukan pada lokasi Lingkungan TPI Modern
Bungku dan sekitarnya. Pemantauan akan dilakukan pada 8 (delapan) titik/stasiun
pemantauan, yang dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Lokasi Stasiun Pemantauan Dampak abrasi pantai Pada Tahap Pasca
Konstruksi
No. Stasiun Pemantauan Keterangan lokasi
1. E-1 Pesisir pantai desa matansala.
2. E-2 Pesisir pantai kiri kanal TPI Bungku.
3. E-3 Pesisir pantai kanan kanal TPI Bungku.
4. E-4 Pesisir pantai kelurahan Matano.
5. E-5 Pesisir pantai kelurahan Marsaoleh..
6. E-6 Pesisir pantai kelurahan Tofoiso.
7. E-7 Pesisir pantai Desa Tofuti.
8. E-8 Pesisir pantai Desa Bahoruru.
c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan
Pemantauan dampak abrasi pantai mulai dilakukan pada saat dimulainya kegiatan pada
tahap pasca konstruksi sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern
Bungku, dengan frekwensi pemantauan 1 (satu) tahun 2 (dua) kali.
6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak abrasi pantai adalah Badan Pengelola TPI Modern
Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag K3LH dan
koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf
Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak abrasi pantai dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu :
Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak abrasi pantai akan diserahkan kepada :
Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
2. Dampak Penurunan Kualitas Udara Dan Peningkatan Kebisingan
3. Dampak Gangguan Lalulintas
4. Peningkatan Sarana Dan Prasarana
Ketiga dampak komponen Geo-Fisik Kimia secara rinci dapat dilihat pada dokumen UKL-
UPL TPI Bungku.
b. Komponen Lingkungan Biologi
B. Dampak Gangguan Habitat Biota Perairan
1.) Dampak Besar dan Penting Yang Dipantau
Dampak gangguan habitat biota perairan merupakan dampak turunan dari kemungkinan
terjadinya penurunan kualitas air laut Teluk Tolo pasa saat pelaksanaan operasional dan
pemeliharaan TPI , sarana dan prasarana lainnya yang terdapat di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan, memungkinkan terdapatnya rembesan limbah yang akan memasuki
badan air, menimbulkan peningkatan minyak dan lemak, padatan tersuspensi dan
kekeruhan air yang akhirnya menyebabkan penurunan kualitas air di lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dan dapat menyebar ke sekitarnya.
Rangkaian kegiatan ini menyebabkan peningkatan kekeruhan, muatan padatan
tersuspensi, residu terlarut dan peningkatan pH, yang akhirnya menyebabkan
terganggunya habitat biota perairan, terjadinya penurunan kelimpahan, penurunan nilai
indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan dan
sekitarnya, menimbulkan dampak turunan terhadap tingkat pendapatan penduduk dari
hasil perikanan laut dan munculnya sikap persepsi negatif masyarakat terhadap
keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan di daerah mereka.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi adalah dari
kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
3.) Parameter Lingkungan Hidup Yang Dipantau
Parameter lingkungan hidup yang dipantau dalam pemantauan dampak gangguan habitat
biota perairan adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman plankton dan benthos, di lokasi kegiatan
dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan nekton (ikan) dan di lokasi kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya
kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya
kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
4.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah untuk :
Mengetahui terjadinya dampak gangguan terhadap habitat biota perairan Laut Teluk
Tolo di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengetahui terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap habitat biota perairan
Laut Teluk Tolo ke lingkungan sekitarnya.
Memantau ke-efektifan dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan di lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan.
5.) Metoda Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Metode Pengumpulan Dan Analisis Data
Metode pengumpulan dan analisis data yang dipakai untuk pemantauan dampak
gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi sama dengan metode yang
dipakai pada tahap konstruksi, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya.
b.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan pada tahap pasca konstruksi
sama dengan lokasi pemantauan yang dilakukan pada tahap konstruksi, yang dilakukan
pada 3 (tiga) titik/stasiun pemantauan pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku, yang dapat dilihat
pada Tabel 5.5. Selain pada 3 lokasi pemantauan diatas, untuk pelaksanaan wawancara
dan pengumpulan data sekunder, terutama dalam pengumpulan data tentang keberadaan
ikan juga akan dilakukan pemantauan ke pusat pemukiman penduduk yang
hidup/berprofesi sebagai nelayan di sekitar lokasi kegiatan, yaitu pada Desa Bungku,
yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali.
Gambaran secara rinci mengenai lokasi titik pemantauan dampak gangguan habitat biota
perairan dapat dilihat dalam Gambar 3.3.
c.) Jangka Waktu Dan Frekwensi Pemantauan
Pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan merupakan kelanjutan pemantauan
yang telah mulai dilakukan pada tahap konstruksi dan pada tahap pasca konstruksi akan
dilanjutkan sampai dengan berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku, dengan
frekwensi pemantauan 3 (tiga) bulan 1 (satu) kali.
6.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
C. Dampak Gangguan Ekosistem Mangrove
1.) Dampak Penting dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan ekosistem mangrove merupakan dampak dari pembukaan dan
pematangan lahan dilokasi pembangunan sarana dan prasarana TPI Bungku yang
ditumbuhi mangrove, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya vegetasi mangrove
dilokasi rencana usaha dan/atau kegiatan seluas 1 hektar yang ditumbuhi oleh sekitar
10.000 pohon mangrove. Rangkaian kegiatan ini menyebabkan terganggunya proses
pemijahan ikan, tempat persinggahan burung-burung migran dan terganggunya habitat
satwa liar dan biota perairan lainnya sehingga terjadi penurunan kelimpahan, penurunan
nilai indek keanekaragaman plankton, benthos, nekton (ikan) di perairan lokasi kegiatan
dan sekitarnya.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur dampak terganggunya ekosistem mangrove adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman jenis mangrove, di lokasi kegiatan dan
sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan
dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan biota, nekton (ikan) dan satwa liar di lokasi kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah untuk :
Mencegah terjadinya dampak gangguan terhadap ekositem mangrove di lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Bungku.
Mencegah terjadinya penyebaran dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove
ke lokasi lingkungan sekitarnya.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi
adalah dengan menanam jenis mangrove dari suku Verbenaceace, Rhizophora spp. dan
Sonneratia spp.. Pengelolaan yang baik dan tepat tergantung pada kedalaman pantai,
proses pelumpuran dan besarnya ombak serta faktor lingkungan setempat, seperti faktor
edafis, salinitas dan lamanya genangan air. Pengelolaan dampak gangguan ekosistem
mangrove dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan pengelolaan
sebagai berikut :
i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove.
ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya.
iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan.
Proses pemantauan ketiga kegiatan diatas adalah sebagai berikut :
i.) Penentuan lokasi baru yang akan ditanami mangrove.
Pemantauan lokasi baru penanaman mangrove yang berada di 2(dua) lokasi yakni ;
pesisir pantai Kelurahan Tofoiso dan pesisir pantai Desa Matansala agar sesuai rencana
semula.
ii.) Penentuan jenis mangrove dan metode penanamannya.
Pemantauan jenis mangrove yang ditanami dan metode penanamannya sesuai rencana
semula dalam pengelolaan mangrove.
iii.) Pemeliharaan dan pelestarian mangrove secara berkelanjutan.
Pemantauan pemeliharaan mangrove sesuai metode yang benar dan menjaga kelestarian
mangrove sehingga tetap terpelihara dengan baik.
5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove pada tahap pasca konstruksi
terdapat pada lokasi baru (relokasi) penanaman mangrove sebelah timur dan utara lokasi
TPI Bungku, yang akan dilakukan pada :
I. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah timur TPI Bungku (Kelurahan
Tofoiso.
II. Lokasi penanaman mangrove pesisir pantai sebelah utara TPI Bungku (Desa
Matansala).
6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan TPI Bungku berikut sarana dan
prasarana pendukungnya. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai
berakhirnya kegiatan operasional.
7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah tanggung
jawab Dinas Kehutanan dan Perkebunan Morowali. Biaya yang akan dikeluarkan untuk
pengelolaan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan
dampak primer berupa pengelolaan penurunan kualitas air Teluk Tolo, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak gangguan ekosistem mangrove dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan Bapedalda
Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat biota perairan akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali dan
Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
D. Dampak Gangguan Habitat Terumbu Karang dan Padang Lamun
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun merupakan dampak
turunan dari terjadinya dampak primer penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo pada tahap
pasca konstruksi. Dampak yang terjadi diawali dengan peningkatan laju erosi dan
sedimentasi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi yang timbul dari
kegiatan konstruksi pembangunan pasar berikut sarana dan prasarana pendukungnya.
Peningkatan padatan tersuspensi menyebabkan peningkatan kekeruhan dan kecerahan
air menurun sehingga intensitas cahaya matahari di perairan berkurang dan proses
fotosintesa biota produser, yaitu Fitoplankton terhalang, produktifitas primer perairan
menurun, daya absorsi Fitoplankton terhadap unsur hara berkurang, populasi dan
kelimpahan Fitoplankton menurun. Hal ini berpengaruh terhadap keragaman Fitoplankton,
sesuai dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan menyebabkan berkurangnya
Zooplankton, mempengaruhi kehidupan ikan dan menganggu keseimbangan komunitas
perairan tersebut secara keseluruhan. Proses ini senantiasa dalam pemantauan.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun pada tahap
konstruksi adalah kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang
dan padang lamun adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman terumbu karang dan padang lamun pada
perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan
sekitarnya terus dipantau sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal)
dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan nekton (ikan) pada perairan Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya terus dipantau sebelum adanya kegiatan
(kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat
pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang
lamun adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat terumbu karang dan padang
lamun Laut Teluk Tolo di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
gangguan terhadap kehidupan nelayan Kecamatan Bungku Tengah dan perubahan
sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama dengan
pengelolaan terhadap dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun.
Pengelolaan yang baik dan tepat terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya
dampak sekunder, upaya pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan
teknologi, dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pemantauan terumbu karang sintetis.
ii.) Pemantauan efektifitas sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
i.) Pemantauan terumbu karang sintetis.
Perkembangan dan pertumbuhan karang sintetis akan terus dipantau hingga 1-2 tahun
kemudian, sehingga perlu penanganan yang baik dan benar.
ii.) Pamantauan efektifitas sosialisasi kepada nelayan sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan mengenai pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.
Efektifitas sosialisasi akan terus dipantau dalam aktifitas nelayan dan masyarakat.
iii.) Pengaturan tata letak dan desain dari kanal di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan sehingga tidak mengganggu terumbu karang dan padang lamun.
Pemantauan jalur kanal TPI Bungku yang melalui habitat terumbu karang dan padang
lamun sebaik mungkin agar tidak mengganggu dan melalui gugusan karang yang masih
alami dan dalam kondisi baik.
5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun sama
dengan lokasi Pemantauan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada semua areal terbuka yang terdapat pada pesisir pantai di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal terbuka di sisi kiri badan kanal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun mulai
dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan
dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan
dikeluarkan untuk Pemantauan dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan
pengelolaan dampak primer berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air
permukaan, yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan
kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah
Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara
langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan padang lamun
dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan Pemantauan dampak gangguan habitat terumbu karang dan
padang lamun akan diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali,
Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi
Sulawesi Tengah.
E. Dampak Gangguan Habitat Satwa Langka
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak gangguan habitat satwa langka merupakan dampak turunan dari terjadinya
dampak primer terganggunya ekosistem mangrove. Dampak yang terjadi diawali dengan
pembukaan dan pematangan lahan yang tidak bertahap dan hati-hati serta aktifitas
kegiatan konstruksi akan mengusik tempat yang merupakan habitat satwa liar maupun
pasca-konstruksi yakni operasional TPI Bungku yang meningkatan laju erosi, sedimentasi,
limbah padat dan cair yang menyebabkan terkontaminasinya sumber makanan satwa
langka dan hilangnya tempat berlindungnya burung-burung migran. Pemantauan
dilakukan terhadap keberadaan satwa langka yang melintasi lokasi kegiatan/usaha.
b.) Sumber Dampak
Sumber dampak gangguan habitat satwa langka pada tahap pasca-konstruksi adalah
kegiatan :
Kegiatan operasional dan pemeliharaan TPI Modern Bungku.
Kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Operasional IPAL.
Operasional mesin-mesin di rumah genset (power supply).
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur yang dipakai dalam Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka
adalah :
* Kelimpahan, keragaman dan keseragaman satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia
dan aves) pada daratan dan ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan dan sekitarnya sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan
awal) dibandingkan dengan sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
* Keberadaan satwa langka (mamalia, reptilia, amphibia dan aves) pada daratan dan
ekosistem mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan sekitarnya
sebelum adanya kegiatan (kondisi rona lingkungan awal) dibandingkan dengan
sesudah adanya kegiatan (saat pengelolaan dilakukan).
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah untuk :
Mengurangi terjadinya dampak gangguan terhadap habitat satwa langka di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
Mengurangi dampak lanjutan terhadap komponen lingkungan lain, yaitu berupa
perubahan sikap dan persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan pengelolaan terhadap
dampak terjadinya gangguan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang baik dan tepat
terhadap dampak primer akan mencegah terjadinya dampak sekunder, upaya
pengelolaan dampak dirancang berdasarkan pendekatan teknologi, dengan kegiatan
pengelolaan sebagai berikut :
i.) Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
ii.) Revegetasi mangrove di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.
iii.) Revegetasi lahan di sisi kanan dan kiri badan jalan.
Pelaksanaan ke-tiga kegiatan tersebut sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan yang
akan dilakukan terhadap dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yang telah
diuraikan pada bahagian terdahulu.
5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka sama dengan lokasi
pengelolaan dampak penurunan kualitas air Laut Teluk Tolo, yaitu pada :
I.) Pada daratan dan ekosistem mangrove yang terdapat pada di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan Pembangunan TPI Modern Bungku.
II.) Pada areal daratan dan ekosistem mangrove di sisi kanan dan kiri badan Jalan
Bungku - di depan lokasi dan kanal rencana usaha dan/atau kegiatan Pembangunan
TPI Modern Bungku.
6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka mulai dilakukan sejalan dengan
dimulainya pelaksanaan kegiatan konstruksi rencana usaha dan/atau kegiatan
Pembangunan TPI Modern Bungku. Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan
sampai berakhirnya kegiatan operasional TPI Modern Bungku.
7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah tanggung jawab
Badan Pengelola TPI Modern Bungku. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengelolaan
dampak sudah termasuk di dalam komponen pembiayaan pengelolaan dampak primer
berupa pengelolaan dampak penurunan kualitas air permukaan, yang telah dibahas
dalam uraian sebelumnya.
8.) Institusi Pemantauan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka adalah Badan Pengelola
TPI Modern Bungku. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag.
K3LH dan koordinator pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang
membawahi Staf Lapangan sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pemantauan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka dilakukan oleh Instansi
terkait, yaitu : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten
Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak gangguan habitat satwa langka akan
diserahkan kepada : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah
Kabupaten Morowali, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Bapedalda Provinsi Sulawesi
Tengah.
c. Komponen Lingkungan Sosial Ekonomi Dan Budaya
1. Dampak Terbukanya Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha
2. Peningkatan Aktifitas Penangkapan Ikan
3. Dampak Peningkatan Pendapatan Penduduk
4. Dampak Peningkatan Pendapatan Daerah
5. Dampak Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat
Pemantauan lingkungan atas kelima dampak komponen sosial ekonomi dan budaya
diatas dapat dilihat pada dokumen UKL-UPL TPI Bungku
d. Komponen Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Dampak Penurunan Estetika
F. Pemantauan Sampah
1.) Dampak Penting Dan Besar
a.) Dampak Penting Terhadap Aspek Lingkungan
Dampak penurunan estetika adalah terjadinya penyebaran dan penumpukan sampah
secara serampangan sehingga mengganggu kenyamanan dan kerapian lingkungan
pasar. Dampak ini terutama dapat disebabkan oleh penerapan sistem penanganan
sampah yang kurang baik sehingga terjadinya penumpukan sampah pada lokasi sekitar
bangunan, kios, lods atau berserakan pada ruang perkantoran dan ruang terbuka di
dalam lingkungan TPI sehingga dapat mengganggu kenyamanan para pedagang maupun
pengunjung TPI. Terjadinya penumpukan sampah ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah atau volume sampah yang dihasilkan, terutama sampah-sampah yang dihasilkan
dari kegiatan pedagang. Dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan pengelolaan sampah
yang tidak baik, kurangnya kesadaran dari pihak pedagang dan pengunjung pasar
terhadap kebersihan lingkungan pasar atau kelalaian dari pihak pengelola terutama
petugas kebersihan yang menjadi penanggung jawab pengelolaan sampah di lokasi TPI.
b.) Sumber Dampak
Sumber pemantauan dampak sampah pada tahap pasca konstruksi adalah dari kegiatan :
Kegiatan operasional TPI, sarana dan prasarana.
Sampah organik dan anorganik
Kegiatan pemeliharaan TPI, sarana dan prasarana.
2.) Tolok Ukur Dampak
Tolok ukur pemantauan dampak sampah adalah :
Kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
3.) Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Tujuan rencana pemantauan dampak sampah adalah untuk :
Menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
4.) Pemantauan Lingkungan Hidup
pemantauan dampak sampah dirancang berdasarkan pendekatan sosial ekonomi,
dengan kegiatan pengelolaan sebagai berikut :
a. Pengawasan sistem pengelolaan dan penanganan sampah TPI Modern Bungku.
b. Sosialisasi upaya pengelolaan kebersihan, keindahan, ketentraman, keamanan dan
kenyamanan lingkungan TPI dan sekitarnya.
Rancangan kedua kegiatan pengelolaan tersebut diuraikan sebagai berikut:
Pengawasan Sistem Pengelolaan Dan Penanganan Sampah TPI Modern Bungku Untuk
setiap bangunan kios, lods dan bangunan lain di lokasi TPI Modern Bungku akan
dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), yang besarnya
disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya dengan ketentuan
dari peraturan yang berlaku. Tempat pembuangan sampah sementara dibuat dari bahan
yang kedap air, mempunyai tutup dan dapat dijangkau dengan mudah oleh petugas
pembuangan sampah.
Pada lokasi TPI akan disediakan tempat pembuangan sampah lokal, dengan
penempatan, lokasi dan ukurannya cukup besar. Diasumsikan dapat menampung seluruh
sampah dari semua bangunan yang ada di dalam lingkungan TPI Modern Bungku. Sesuai
dengan prakiraan volume limbah padat yang dapat dihasilkan direncanakan akan dibuat 2
tempat pembuangan sampah lokal di bahagian belakang lokasi TPI, masing-masing di
sudut kanan dan kiri. Dari tempat pembuangan sampah lokal, sampah kemudian akan
diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA).
Cara penanganan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan antara
sampah basah dengan sampah kering, masing-masing akan dikumpulkan pada tempat
penampungan atau tong sampah yang berbeda. Setiap tong sampah sebelum diisi
sampah sebelumnya dilapisi plastik dan akan ditempatkan pada setiap bangunan dan
ruang terbuka yang terdapat di dalam lingkungan TPI. Sampah yang sudah terkumpul ini
selanjutnya akan dibawa dan dikumpulkan oleh petugas kebersihan ke lokasi tempat
pembuangan sampah lokal. selanjutnya dari lokasi tempat pembuangan sampah lokasl
ini, sampah kemudian akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah ke TPA. Volume
sampah yang dihasilkan dari kegiatan operasional TPI ini diperkirakan masing-masing
untuk sampah basah dapat mencapai 10-20 m3/hari dan sampah kering dapat mencapai
5-10 m3/hari.
Sesuai dengan fungsinya sebagai Pusat Pelelangan Ikan maka kegiatan pemantauan
dampak penurunan estetika lingkungan yang bersumber dari pengelolaan dan sistem
penanganan sampah yang dihasilkan dari semua aktifitas lelang di TPI perlu menjadi
prioritas dalam pelaksanaan dan pengawasan/pemantauan yang baik dari Badan
Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga dapat tercipta lingkungan yang bersih, rapi dan
sehat serta terciptanya kesadaran dari semua pelaku pasar untuk senantiasa menjadi
kebersihan dan keindahan di lokasi TPI.
ii.) Sosialisasi Upaya Pengelolaan Kebersihan, Keindahan, Ketentraman, Keamanan Dan
Kenyamanan Lingkungan TPI Modern Bungku Dan Sekitarnya
Sosialisasi untuk menciptakan kebersihan, kerapian dan keindahan lingkungan TPI dan
sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan
TPI Modern Bungku dan sekitarnya dilakukan oleh Badan Pengelola TPI Modern Bungku
dengan bekerja sama dengan Dinas Kebersihan, dinas Kesehatan dan Instansi terkait
lainya seperti rumah sakit/puskesmas. Kegiatan ini adalah berupa kegiatan penerangan
dan penyuluhan tentang cara penanganan sampah dan upaya menjaga kebersihan,
kerapian, keindahan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan lingkungan TPI Modern
Bungku dan sekitarnya yang ditujukan kepada semua pelaku di lokasi TPI Modern
Bungku, baik nelayan, pengelola TPI Modern Bungku, pedagang atau pengunjung untuk
menanamkan kesadaran untuk senantiasa menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan
lingkungan pasar dan sekitarnya serta untuk menjaga ketentraman, keamanan dan
kenyamanan lingkungan TPI Modern Bungku dan sekitarnya.
5.) Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup
Lokasi pemantauan dampak sampah pada tahap pasca konstruksi adalah pada lokasi TPI
Modern Bungku dan lingkungan sekitarnya.
6.) Periode Pemantauan Lingkungan Hidup
pemantauan dampak sampah mulai dilakukan sejalan dengan dimulainya pelaksanaan
kegiatan operasional TPI Modern Bungku berikut sarana dan prasarana pendukungnya.
Secara terus menerus akan dilakukan pemeliharaan sampai berakhirnya kegiatan.
7.) Pembiayaan Pemantauan Lingkungan Hidup
Pembiayaan pemantauan dampak sampah adalah tanggung jawab Badan Pengelola TPI
Modern Bungku. Pelaksanaan kegiatan pengawasan sistem pengelolaan dan
penanganan sampah TPI Modern Bungku merupakan peningkatan dari kegiatan
penanganan sampah TPI Modern Bungku yang sudah direncanakan oleh Badan
Pengelola TPI Modern Bungku, sehingga biaya pelaksanaan kegiatan ini hanya
merupakan biaya operasionil bagi petugas pelaksana pengawas di lapangan, diperkirakan
sebesar Rp. 10.000.000,- pertahun dan biaya operasionil personil dan peralatan untuk
pelaksana kegiatan sosialisasi diperkirakan sebesar Rp. 10.000.000,- Sedangkan biaya
investasi berupa biaya pengadaan peralatan dan petugas kebersihan untuk penanganan
sampah sudah termasuk dalam anggaran biaya operasional TPI Modern Bungku secara
keseluruhan.
8.) Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup
a.) Pelaksana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pelaksana pemantauan dampak sampah adalah Badan Pengelola TPI Modern Bungku.
Sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan adalah Kabag. K3LH dan koordinator
pelaksanaan di lapangan adalah Pengawas K3LH yang membawahi Staf Lapangan
sebagai pelaksana kegiatan secara langsung di lapangan.
b.) Pengawas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawas pemantauan dampak sampah dilakukan oleh Instansi terkait, yaitu : Kantor
Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
c.) Pelaporan Hasil Pengelolaan Lingkungan Hidup
Laporan hasil kegiatan pemantauan dampak sampah akan diserahkan kepada : Kantor
Lingkungan Hidup Kabupaten Morowali, Pemerintah Kabupaten Morowali, Dinas
Kesehatan Kabupaten Morowali dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah.
KEGIATAN : Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Mangrove
SATUAN : Rp/ Ha
NO JENIS KEGIATAN SATUAN VOLUME HARGA SATUAN JUMLAH
I GAJI DAN UPAH
1 Pembuatan arah larikan HOK 8 40.000 320.000
2 Pemancangan ajir HOK 12 40.000 480.000
3 Pengangkutan bibit Batang 12.500 100 1.250.000
4 Penanaman Batang 500 12.500 6.250.000
5 penyulaman HOK 8 50.000 400.000
6 Pengawasan OB 8 45.000 360.000
II BAHAN-BAHAN
1 Pengadaan bibit Batang 12500 3.000 37.500.000
2 pengadaan patok arah larikan Buah/patok 132 5.000 660.000
3 pengadaan ajir Ajir 10.000 500 5.000.000
4 Pengadaan papan Nama Buah 1 500.000 500.000
5 Pengaan Gubuk kerja unit 1 4.500.000 4.500.000
6 pengadaan Sepatu Lapangan Pasang 8 75.000 600.000
7 Pengadaan Topi Lapangan Buah 8 25.000 200.000
8 Pengadaan pelindung Tanaman Buah 2000 3.000 6.000.000
9 Sewa perahun HOK 8 25.000 200.000
64.220.000 JUMLAH
Harga Satuan
(Rp.-)
1 3 4 5 6
A BIDANG, PENGAWASAN, MONEV
I Dukungan Tim Teknis
- Bidang Pengawasan, Monev
8 orang 12 Bulan 96 OT 100.000 9.600.000
I 9.600.000
II Pengawasan Reguler Tim Teknis Kab
- 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000
- 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000
- 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000
- 5 Orang 10 hari (Triwulan I) 50 OH 100.000 5.000.000
II 20.000.000
I + II 29.600.000
B OPERASINAL DAN PEMELIHARAAN
(O&P) SANITASI DAN LIMBAH
I - OP DRAINASE (Air Kotor)
- Pek. Floor Drain (16 Bh) 1 Paket 150.000 150.000
- Pek Kran Air (Fukture unit) 8 Bh 1 Paket 100.000 100.000
- Pipa PVC 3/4" 94,19 M 55.880 5.263.337
- Pipa PVC 4 " 71,6 M 265.430 19.004.788
- Pek Water Treatment (15 M) 1 Paket 60.000.000 60.000.000
I 84.268.125
II - Dukungan OP (lain-lain) II 11.386.813
I + II 95.654.938
(A+B) 125.254.938
(A+B) 10% 12.525.493
RENCANA ANGGARAN BIAYA
DUKUNGAN PENGAWASAN MONEV DAN O & P
SANITASI TPI BU NGKU 2011
Satuan
Terbilang (seratus tiga puluh tujuh juta tujuh ratus delapan
puluh ribu empat ratus tiga puluh satu dua rupiah)
2
No Uraian Kegiatan Volume Total Harga (Rp.-)
TOTAL 137.780.431,20
1
LAMPIRAN I
MODUL TATA CARA REVEGETASI MANGROVE TPI BUNGKU
1. PENGANTAR
Guna melengkapi penyusunan suplemen UKL-UPL telah disusun Modul Revegetasi
Mangrove TPI Bungku yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kegiatan Pengelolaan
Kerusakan Mangrove dalam Suplemen UKL-UPL. Modul ini disusun sebagai arahan atau
pedoman bagi kegiatan revegetasi mangrove agar mendapat hasil yang maksimal dalam
pelaksanaannya. Untuk itu modul ini diharapkan dapat digunakan oleh kontraktor pelaksana
maupun oleh instansi terkait sebagai bahan monitoring dan evaluasi pelaksanaan revegetasi
mangrove TPI Bungku.
2. Manfaat Umum Mangrove
Mangrove bisa diartikan sebagai sebuah individu tumbuhan dan atau komunitas
tumbuhan yang hidup di kawasan pesisir yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Salah satu ciri yang membedakan tumbuhan ini dengan tumbuhan lainnya
adalah bahwa keberadaannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Pola sirkulasi pasang
surut inilah yang kemudian menentukan pola penyebaran ekosistem ini, ke berbagai tempat
yang lebih luas.
Beberapa jenis mangrove mampu mendiami daerah yang memiliki pola
penggenangan yang tinggi, namun ada juga sebagian lain yang hanya bisa hidup maksimal
pada lokasi yang memiliki pola penggenangan yang rendah. Mangrove terdiri dari ratusan
jenis yang sebagian besar bisa ditemukan di wilayah pesisir Indonesia.
Salah satu fungsi mangrove adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan
gelombang laut penyebab abrasi. Penelitian membuktikan bahwa keberadaan vegetasi
mangrove dengan perakarannya yang rapat dan kuat, mampu memperkecil kekuatan
hempasan gelombang pada saat menerjang pantai. Manfaat mangrove lainnya yaitu
sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pencarian makan bagi ikan dan binatang laut
lainnya, juga menjadikan mangrove sebagai obyek dari program-program rehabilitasi
mangrove di pesisir Indonesia. Untuk itulah, propagul dan bibit mangrove sering ditanam
untuk mengatasi permasalahan di kawasan pesisir. Berikut akan dijelaskan langkah-langkah
dalam pelaksanaan revegetasi mangrove :
a. Tahap Penyusunan Kelembagaan
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam melakukan pekerjaan revegetasi
mangrove adalah pembentukan kelembagaan
program revegetasi mangrove di
Setelah kelembagaan terbentuk, langkah selanjutnya adalah me
target, tolak ukur keberhasilan dan jadwal kerja program serta
terkait dalam program revegetasi
b. Tahap Penelitian Awal
Kegiatan selanjutnya adalah
kawasan pesisir di lokasi TPI Bungku
sosial ekonomi, budaya, kependudukan, mata pencaharian, keanekaragaman jenis
mangrove dan lain-lain yang berguna untuk mengetahui permasalahan
bisa dipecahkan secara bersama
langsung yang representatif tentang keanekarag
c. Tahap Pembuatan Bedeng
Tahapan selanjutnya adalah mulai menjalankan
yang pertama, yaitu pembuatan bedeng persemaian mangrove.
berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah
distribusi bibit mangrove pada saat penanaman. Sel
kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi bedeng.
dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. : Pembuatan Bedeng di Lokasi TPI Bungku
Informasi mengenai kondisi pasang surut
menjaga sirkulasi air dan mengenali pola penggenangan di bedeng. Mengingat
pembangunan bedeng sangat tergantung dengan pasang surut, maka suatu lokasi yang
2
pembentukan kelembagaan yang akan bertugas dalam melaksanakan
mangrove di TPI Bungku.
terbentuk, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan,
target, tolak ukur keberhasilan dan jadwal kerja program serta koordinasi dengan
revegetasi mangrove yang akan dilaksanakan.
egiatan selanjutnya adalah penelitian awal untuk mengetahui kondisi ekologi
TPI Bungku. Penelitian dilakukan oleh tim inti, yang meliputi studi
sosial ekonomi, budaya, kependudukan, mata pencaharian, keanekaragaman jenis
lain yang berguna untuk mengetahui permasalahan yang ada sehingga
bisa dipecahkan secara bersama-sama dengan masyarakat setempat. Selain itu
tentang keanekaragaman mangrove di lokasi TPI Bungku.
ahapan selanjutnya adalah mulai menjalankan tahapan teknis rehabilitasi mangrove
tan bedeng persemaian mangrove. Lokasi bedeng, dipilih yang
berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah
distribusi bibit mangrove pada saat penanaman. Selain itu, harus diperhatikan juga tentang
kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi bedeng. Contoh pembuatan bedeng
Gambar 1.1. : Pembuatan Bedeng di Lokasi TPI Bungku
Informasi mengenai kondisi pasang surut yang tepat sangat dibutuhkan untuk
menjaga sirkulasi air dan mengenali pola penggenangan di bedeng. Mengingat
pembangunan bedeng sangat tergantung dengan pasang surut, maka suatu lokasi yang
yang akan bertugas dalam melaksanakan
rumuskan tujuan,
koordinasi dengan instansi
ui kondisi ekologi
. Penelitian dilakukan oleh tim inti, yang meliputi studi
sosial ekonomi, budaya, kependudukan, mata pencaharian, keanekaragaman jenis
yang ada sehingga
Selain itu penelitian
TPI Bungku.
tahapan teknis rehabilitasi mangrove
Lokasi bedeng, dipilih yang
berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah
ain itu, harus diperhatikan juga tentang
Contoh pembuatan bedeng
yang tepat sangat dibutuhkan untuk
menjaga sirkulasi air dan mengenali pola penggenangan di bedeng. Mengingat
pembangunan bedeng sangat tergantung dengan pasang surut, maka suatu lokasi yang
tidak memiliki pola sirkulasi pasang surut yang baik, sudah seha
lokasi peletakan bedeng.
Bedeng bisa dibuat dengan berbagai macam tipe, disesuaikan dengan kondisi,
situasi, budaya setempat dan tentunya anggaran yang dimiliki. Pembangunan bedeng
persemaian ditujukan untuk menyemaikan
bentuk bedeng, diantaranya adalah bedeng tingkat dan bedeng tanpa tingkat.
Bedeng Tingkat
Bedeng ditinggikan beberapa sentimeter dari atas tanah dengan tujuan untuk
menghindari pemangsaaan bibit mangrove oleh pemang
Episesarma spp (Wideng) biasanya adalah jenis kepiting yang umum ditemukan di daerah
mangrove, namun tidak terlalu melimpah sehingga bisa mengganggu kelulushidupan
mangrove yang baru saja ditanam.
Bedeng tingkat ini dibuat dari potongan bambu dan bisa dibuat beberapa buah
dengan ukuran yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia.
Sebagai naungan, bisa digunakan daun kelapa dan atau bahan penutup lainnya.
mangrove tidak boleh terkena s
pada kematian bibit mangrove yang sedang disemaikan.
Kelebihan dari bedeng ini adalah konstruksinya yang kuat, bagus dan mampu
bertahan selama kurang lebih 4 tahun. Dengan pemeliharaan bibit yang bai
terbukti 90% bibit mangrove di MECoK, Teluk Awur Jepara, bisa tumbuh dengan sempurna.
Sedangkan kelemahannya adalah biaya yang dibutuhkan untuk membangun bedeng tingkat
sangat besar. Satu buah bedeng tingkat berukuran 2 m x 3 m dengan tinggi
membutuhkan biaya sekitar Rp. 600.000. Padahal, setidaknya dibutuhkan enam buah
bedeng untuk menyemaikan enam jenis mangrove.
Bedeng Tanpa Tingkat
Bedeng tanpa tingkat artinya, dasar bedeng tidak ditinggikan melainkan langsung
menggunakan tanah sebagai dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa cepat dibangun
dengan hanya membutuhkan biaya yang murah. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan
benar, terbukti 90% bibit mangrove di MECoK juga bisa tumbuh dengan sempurna.
Kelemahan dari bedeng jenis ini adalah bagi daerah persemaian yang memiliki kelimpahan
kepiting yang besar, maka kelulushidupan bibit bisa mencapai minimal, apabila program
pemeliharaan bibit mangrove tidak dijalankan secara optimal.
Tanpa Bedeng
Persemaian buah mangrove bisa juga
3
tidak memiliki pola sirkulasi pasang surut yang baik, sudah seharusnya tidak dipilih sebagai
Bedeng bisa dibuat dengan berbagai macam tipe, disesuaikan dengan kondisi,
situasi, budaya setempat dan tentunya anggaran yang dimiliki. Pembangunan bedeng
persemaian ditujukan untuk menyemaikan buah-buah mangrove. Ada beberapa macam
bentuk bedeng, diantaranya adalah bedeng tingkat dan bedeng tanpa tingkat.
edeng ditinggikan beberapa sentimeter dari atas tanah dengan tujuan untuk
menghindari pemangsaaan bibit mangrove oleh pemangsa misalkan kepiting. Kepiting jenis
spp (Wideng) biasanya adalah jenis kepiting yang umum ditemukan di daerah
mangrove, namun tidak terlalu melimpah sehingga bisa mengganggu kelulushidupan
mangrove yang baru saja ditanam.
buat dari potongan bambu dan bisa dibuat beberapa buah
dengan ukuran yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia.
Sebagai naungan, bisa digunakan daun kelapa dan atau bahan penutup lainnya.
mangrove tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung karena akan mengakibatkan
pada kematian bibit mangrove yang sedang disemaikan.
Kelebihan dari bedeng ini adalah konstruksinya yang kuat, bagus dan mampu
bertahan selama kurang lebih 4 tahun. Dengan pemeliharaan bibit yang bai
terbukti 90% bibit mangrove di MECoK, Teluk Awur Jepara, bisa tumbuh dengan sempurna.
elemahannya adalah biaya yang dibutuhkan untuk membangun bedeng tingkat
sangat besar. Satu buah bedeng tingkat berukuran 2 m x 3 m dengan tinggi
membutuhkan biaya sekitar Rp. 600.000. Padahal, setidaknya dibutuhkan enam buah
bedeng untuk menyemaikan enam jenis mangrove.
Bedeng tanpa tingkat artinya, dasar bedeng tidak ditinggikan melainkan langsung
sebagai dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa cepat dibangun
dengan hanya membutuhkan biaya yang murah. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan
benar, terbukti 90% bibit mangrove di MECoK juga bisa tumbuh dengan sempurna.
ini adalah bagi daerah persemaian yang memiliki kelimpahan
kepiting yang besar, maka kelulushidupan bibit bisa mencapai minimal, apabila program
pemeliharaan bibit mangrove tidak dijalankan secara optimal.
Persemaian buah mangrove bisa juga dilakukan tanpa bedeng, dengan cara buah
rusnya tidak dipilih sebagai
Bedeng bisa dibuat dengan berbagai macam tipe, disesuaikan dengan kondisi,
situasi, budaya setempat dan tentunya anggaran yang dimiliki. Pembangunan bedeng
buah mangrove. Ada beberapa macam
edeng ditinggikan beberapa sentimeter dari atas tanah dengan tujuan untuk
sa misalkan kepiting. Kepiting jenis
spp (Wideng) biasanya adalah jenis kepiting yang umum ditemukan di daerah
mangrove, namun tidak terlalu melimpah sehingga bisa mengganggu kelulushidupan
buat dari potongan bambu dan bisa dibuat beberapa buah
dengan ukuran yang disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia.
Sebagai naungan, bisa digunakan daun kelapa dan atau bahan penutup lainnya. Bibit-bibit
inar matahari secara langsung karena akan mengakibatkan
Kelebihan dari bedeng ini adalah konstruksinya yang kuat, bagus dan mampu
bertahan selama kurang lebih 4 tahun. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan benar,
terbukti 90% bibit mangrove di MECoK, Teluk Awur Jepara, bisa tumbuh dengan sempurna.
elemahannya adalah biaya yang dibutuhkan untuk membangun bedeng tingkat
sangat besar. Satu buah bedeng tingkat berukuran 2 m x 3 m dengan tinggi 1,5 meter
membutuhkan biaya sekitar Rp. 600.000. Padahal, setidaknya dibutuhkan enam buah
Bedeng tanpa tingkat artinya, dasar bedeng tidak ditinggikan melainkan langsung
sebagai dasarnya. Kelebihan bedeng ini adalah bisa cepat dibangun
dengan hanya membutuhkan biaya yang murah. Dengan pemeliharaan bibit yang baik dan
benar, terbukti 90% bibit mangrove di MECoK juga bisa tumbuh dengan sempurna.
ini adalah bagi daerah persemaian yang memiliki kelimpahan
kepiting yang besar, maka kelulushidupan bibit bisa mencapai minimal, apabila program
dilakukan tanpa bedeng, dengan cara buah
4
langsung disemaikan di bawah pohon indukannya. Cara ini sangat efektif di Teluk Awur
Jepara dan di Pasar Banggi Rembang, dimana kelulushidupan bibit mangrove sangat tinggi,
mencapai 90%.
Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam pembuatan bedeng dan tempat
persemaian mangrove adalah bibit-bibit mangrove harus tertutup dari sinar matahari dan
tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung. Menurut penelitian, persentase
penutupan yang baik adalah 50% sampai dengan 75%.
d. Tahap Survei Lokasi Buah Mangrove
Setelah bedeng selesai dibangun, maka survei dengan tujuan untuk mencari lokasi
buah mangrove, dilakukan bersama dengan masyarakat. Survei ini, meliputi survei lokasi
dan perijinan kepada warga setempat tentang kepemilikan lahan mangrove yang akan
diambil buahnya. Kemudian diidentifikasi beberapa lokasi dan titik yang bisa dijadikan
sumber bibit mangrove.
Waktu matang buah mangrove, rata-rata memiliki waktu yang sama di berbagai
daerah di Indonesia. Khusus untuk wilayah Jepara dan sekitarnya, buah mangrove telah
matang pada bulan Januari - April, setiap tahunnya. Beberapa lokasi yang bisa dijadikan
sumber bibit, antara lain adalah Desa Teluk Awur, Semat, Tanggul Tlare, Ujung Piring dan
lokasi lainnya di Jepara.
Mangrove di Jepara, mulai berbuah hingga matang mulai bulan Januari sampai
dengan Mei setiap tahunnya. Di bulan Januari, jenis Ceriops tagal dan C. decandra telah
matang dan siap untuk dipanen. Di bulan Februari, jenis Rhizophora apiculata dan R.
mucronata juga telah matang dan siap untuk dipanen. Di bulan Maret, jenis Avicennia
marina telah matang dan bisa dipanen Tanggul Tlare. Di bulan April, jenis Sonneratia
caseolaris, bisa dipanen di Ujung Piring, Jepara.
e. Tahap Pengambilan Buah
Buah mangrove diambil dari pohonnya secara langsung. Buah-buah mangrove dari
jenis Rhizophora dan Ceriops, terletak bervariasi di ketinggian yang berbeda.
Buah Rhizophora yang diambil adalah buah yang sudah matang, yang ditandai
dengan adanya cincin kuning di bagian propagulnya. Untuk propagul yang belum muncul
cincin kuningnya, tidak diambil karena belum bisa disemaikan. Untuk jenis Sonneratia, buah
matang dicirikan dengan telah pecahnya kulit buah sehingga terlihat biji-bijinya.
Bentuk Buah/Propagul Mangrove
Tipe buah mangrove ada dua buah, yaitu Vivipari dan Kriptovivipari. Vivipari adalah
biji yang telah berkecambah ketika masih melekat pada pohon induknya dan kecambah
5
telah keluar dari buah. Sedangkan Kriptovivipari adalah adalah biji yang telah berkecambah,
ketika masih melekat pada pohon induknya, tetapi masih tertutup oleh kulit biji.
Berikut ini adalah gambar propagul (buah vivipari) jenis mangrove Rhizophora
apiculata. Anda bisa melihat bagian-bagiannya mulai dari (1) Tangkai, (2) Kelopak Buah, (3)
Plumula/Bakal daun, (4) Buah, (5) Keping Buah, (6) Hipokotil, dan (7) Radikula.
Keterangan mengenai beberapa bagian dalam propagul ini telah jelas. Plumula
adalah bakal daun yang tertutupi oleh Keping Buah. Selanjutnya, Keping Buah bisa
dijadikan indikator bagi pemasakan buah. Apabila warna Keping Buah berubah menjadi
kuning atau coklat, maka bisa dipastikan bahwa buah R. apiculata telah masak. Tak hanya
jenis Rhizophora spp saja, jenis lainnya juga akan menunjukkan gejala kematangan buah
yang sama.
Hipokotil adalah semai antara batang dan akar. Bagi beberapa jenis tumbuhan
mangrove, Hipokotil merupakan bagian yang sangat penting untuk menyimpan cadangan
makanan dan bahan cadangan lainnya. Hipokotil merupakan kecambah yang keluar dari
buahnya. Sementara itu, Radikula adalah bakal akar yang akan menjelma menjadi akar-akar
mangrove yang kuat yang akan bisa melindungi pesisir pantai kita dari abrasi dan
gelombang tsunami.
f. Tahap Perlakuan Buah
Setelah diambil dari sumbernya, buah mangrove kemudian diletakkan di tempat yang
terlindung. Buah mangrove bisa diletakkan sementara di bedeng dan atau di pohon
indukannya. Bibit mangrove kemudian diberikan perlakuan sedemikian rupa sehingga pada
saat disemaikan bisa mencapai kelulushidupan yang maksimal.
Secara sederhana, buah mangrove yang ditemukan di lapangan, biasanya terdiri dari
dua tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul berbentuk bulat
memanjang dan tipe buah bulat berbentuk bulat, dengan variasi bulat
jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat pada Sonneratia. Kedua tipe buah mangrove
ini mendapatkan perlakukan yang sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu direndam
kurang lebih dua hari atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan dan
penanaman, sebelum kemudian disemaikan di bedeng.
Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada buah, yang
disukai oleh kepiting. Dengan demikian, pada saat disemaikan, maka
oleh kepiting bisa dikurangi. Perendaman dengan air tawar ini, sekaligus juga berfungsi
sebagai sebuah usaha untuk memperlambat tumbuhnya akar apabila jarak antara
pembibitan dan penanaman memerlukan waktu yang relatif agak lama.
Para petani mangrove yang ada di Semarang dan sekitarnya juga menggunakan
teknik ini untuk memperlambat pertumbuhan bibit
program rehabilitasi mangrove di pesisir. Usaha pelambatan pertumbuhan ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya perpanjangan akar, karena pada saat ditanam di lapangan, akar
yang terlalu panjang akan mempersulit proses penanaman sehingga mengakibatkan
pertumbuhannya tidak bisa berjalan maksimal.
g. Tahap Pembibitan
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk
polibek, buah mangrove berbagai jenis, lumpur, cetok, dan bedeng.
polibek terdiri dari dua tipe, yaitu polibek kecil untuk buah berukuran kecil, seperti
spp, Sonneratia spp dan Ceriops
Bruguiera spp.
Polibek memiliki lubang di bagian samping dan bawahnya, yang berguna untuk
sirkulasi air dan udara. Selanjutnya, lumpur yang digunakan pada tahap pembibitan ini,
sebaiknya diambil dari sekitar lokasi penanaman. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan
kelulushidupan buah sewaktu dibibitkan.
disesuaikan, sesuai dengan tiga buah jenis bedeng yang ada di atas.
dilakukan setelah tahap perlakua
berikut :
1. Ambil polibek, lalu isi dengan lumpur yang ada di sekitar bedeng.
2. Isi polibek dengan sedimen, tapi jangan terlalu penuh, melainkan dari isi polibek.
3. Setelah diisi lumpur, lipat bagian
saat surut dan cuaca kering, kristal
polibek yang bisa menghambat pertumbuhan buah mangrove.
4. Selanjutnya, tanam buah mangrove yang telah dipilih dan berkondisi
6
dua tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul berbentuk bulat
h bulat berbentuk bulat, dengan variasi bulat-lancip seperti pada
jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat pada Sonneratia. Kedua tipe buah mangrove
ini mendapatkan perlakukan yang sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu direndam
ri atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan dan
penanaman, sebelum kemudian disemaikan di bedeng.
Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada buah, yang
disukai oleh kepiting. Dengan demikian, pada saat disemaikan, maka pemangsaan buah
oleh kepiting bisa dikurangi. Perendaman dengan air tawar ini, sekaligus juga berfungsi
sebagai sebuah usaha untuk memperlambat tumbuhnya akar apabila jarak antara
pembibitan dan penanaman memerlukan waktu yang relatif agak lama.
ara petani mangrove yang ada di Semarang dan sekitarnya juga menggunakan
teknik ini untuk memperlambat pertumbuhan bibit-bibit mangrove yang akan dijual untuk
program rehabilitasi mangrove di pesisir. Usaha pelambatan pertumbuhan ini dilakukan
ah terjadinya perpanjangan akar, karena pada saat ditanam di lapangan, akar
yang terlalu panjang akan mempersulit proses penanaman sehingga mengakibatkan
pertumbuhannya tidak bisa berjalan maksimal.
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk melakukan pembibitan mangrove, adalah
polibek, buah mangrove berbagai jenis, lumpur, cetok, dan bedeng. Sebagai informasi,
polibek terdiri dari dua tipe, yaitu polibek kecil untuk buah berukuran kecil, seperti
Ceriops spp dan polibek besar untuk buah Rhizophora
Polibek memiliki lubang di bagian samping dan bawahnya, yang berguna untuk
Selanjutnya, lumpur yang digunakan pada tahap pembibitan ini,
lokasi penanaman. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan
kelulushidupan buah sewaktu dibibitkan. Bedeng persemaian yang dipergunakan bisa
disesuaikan, sesuai dengan tiga buah jenis bedeng yang ada di atas. Tahap pembibitan
dilakukan setelah tahap perlakuan bibit selesai. Pembibitan dilakukan dengan cara sebagai
Ambil polibek, lalu isi dengan lumpur yang ada di sekitar bedeng.
Isi polibek dengan sedimen, tapi jangan terlalu penuh, melainkan dari isi polibek.
Setelah diisi lumpur, lipat bagian atas polibek ke bagian luar, dengan tujuan, pada
saat surut dan cuaca kering, kristal-kristal garam air laut tidak terjebak di dalam
polibek yang bisa menghambat pertumbuhan buah mangrove.
Selanjutnya, tanam buah mangrove yang telah dipilih dan berkondisi baik, ke dalam
dua tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul berbentuk bulat-lonjong-
lancip seperti pada
jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat pada Sonneratia. Kedua tipe buah mangrove
ini mendapatkan perlakukan yang sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu direndam
ri atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan dan
Perendaman ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan gula pada buah, yang
pemangsaan buah
oleh kepiting bisa dikurangi. Perendaman dengan air tawar ini, sekaligus juga berfungsi
sebagai sebuah usaha untuk memperlambat tumbuhnya akar apabila jarak antara
ara petani mangrove yang ada di Semarang dan sekitarnya juga menggunakan
bibit mangrove yang akan dijual untuk
program rehabilitasi mangrove di pesisir. Usaha pelambatan pertumbuhan ini dilakukan
ah terjadinya perpanjangan akar, karena pada saat ditanam di lapangan, akar
yang terlalu panjang akan mempersulit proses penanaman sehingga mengakibatkan
melakukan pembibitan mangrove, adalah
Sebagai informasi,
polibek terdiri dari dua tipe, yaitu polibek kecil untuk buah berukuran kecil, seperti Avicennia
Rhizophora spp dan
Polibek memiliki lubang di bagian samping dan bawahnya, yang berguna untuk
Selanjutnya, lumpur yang digunakan pada tahap pembibitan ini,
lokasi penanaman. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan
Bedeng persemaian yang dipergunakan bisa
Tahap pembibitan
kan dengan cara sebagai
Isi polibek dengan sedimen, tapi jangan terlalu penuh, melainkan dari isi polibek.
atas polibek ke bagian luar, dengan tujuan, pada
kristal garam air laut tidak terjebak di dalam
baik, ke dalam
sedimen dengan kedalaman yang cukup
5. Jangan lupa untuk menanam buah Ceriops, Sonneratia dan Avicennia ke dalam
polibek kecil dan buah Rhizophora dan Bruguiera ke dalam polibek yang berukuran
besar.
6. Setelah itu, masukkan satu persatu polibek yang sudah terisi dengan buah
mangrove tersebut, ke dalam bedeng. Sebaiknya, diusahakan agar satu buah
bedeng bisa digunakan untuk satu jenis mangrove saja, agar mempermudah
distribusi pada saat pengambilanny
Sebagai tambahan informasi, ma
penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara (1) menanam
langsung buah mangrove (propagul) ke areal penanaman dan (2) melal
Penanaman secara langsung tingkat kelulushidupannya rendah (sekitar 20
karena pengaruh arus laut pada saat pasang dan pengaruh pemangsa (predator).
Sedangkan dengan cara persemaian dan pembibitan, tingkat kelulushidupann
(sekitar 60-80%).
Buah (propagul) mangrove untuk bibit sebaiknya berasal dari daerah setempat, telah
matang dan berkualitas bagus. Sebelum digunakan untuk pembibitan buah disimpan
sementara waktu dengan cara memasukkannya ke dalam ember
penuh dengan posisi tegak dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.
Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari. Untuk menyemaikan buah mangrove, lumpur
dimasukkan ke dalam polibek. Selanjutnya, buah mangrove disem
masing-masing 1 buah. Tempat penyemaian buah mangrove sebaiknya dipilih yang
berdekatan dengan lokasi penanaman dengan perendaman kurang lebih 20 40 kali/bulan.
(Kitamura, dkk, 1997).
h. Tahap Membibitkan Buah Mangrove
Berikut ini diterangkan mengenai bagaimana tata cara pembibitan beberapa jenis
mangrove, menurut Taniguchi, dkk (1999).
Rhizophora spp
Buah yang digunakan untuk pembibitan, sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang
berusia diatas 10 tahun. Buah yang ba
buahnya. Buah yang sudah matang dari
tua atau kecoklatan, dengan kotiledon (cincin) berwarna kuning atau merah.
Media yang digunakan untuk pembibitan adala
7
sedimen dengan kedalaman yang cukup.
Jangan lupa untuk menanam buah Ceriops, Sonneratia dan Avicennia ke dalam
polibek kecil dan buah Rhizophora dan Bruguiera ke dalam polibek yang berukuran
Setelah itu, masukkan satu persatu polibek yang sudah terisi dengan buah
mangrove tersebut, ke dalam bedeng. Sebaiknya, diusahakan agar satu buah
bedeng bisa digunakan untuk satu jenis mangrove saja, agar mempermudah
distribusi pada saat pengambilannya di tahap penanaman mangrove.
Sebagai tambahan informasi, maka menurut Kitamura dkk (1997), secara umum
penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara (1) menanam
langsung buah mangrove (propagul) ke areal penanaman dan (2) melalui persemaian bibit.
Penanaman secara langsung tingkat kelulushidupannya rendah (sekitar 20-30 %). Hal ini
karena pengaruh arus laut pada saat pasang dan pengaruh pemangsa (predator).
Sedangkan dengan cara persemaian dan pembibitan, tingkat kelulushidupannya relatif tinggi
Buah (propagul) mangrove untuk bibit sebaiknya berasal dari daerah setempat, telah
matang dan berkualitas bagus. Sebelum digunakan untuk pembibitan buah disimpan
sementara waktu dengan cara memasukkannya ke dalam ember atau bak yang berisi air
penuh dengan posisi tegak dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.
Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari. Untuk menyemaikan buah mangrove, lumpur
dimasukkan ke dalam polibek. Selanjutnya, buah mangrove disemaikan ke dalam polibek
masing 1 buah. Tempat penyemaian buah mangrove sebaiknya dipilih yang
berdekatan dengan lokasi penanaman dengan perendaman kurang lebih 20 40 kali/bulan.
Membibitkan Buah Mangrove
Berikut ini diterangkan mengenai bagaimana tata cara pembibitan beberapa jenis
mangrove, menurut Taniguchi, dkk (1999).
Buah yang digunakan untuk pembibitan, sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang
berusia diatas 10 tahun. Buah yang baik, dicirikan oleh hampir lepasnya hipokotil dari
buahnya. Buah yang sudah matang dari Rhizophora spp, dicirikan dengan warna buah hijau
tua atau kecoklatan, dengan kotiledon (cincin) berwarna kuning atau merah.
Media yang digunakan untuk pembibitan adalah sedimen dari tanggul bekas tambak
Jangan lupa untuk menanam buah Ceriops, Sonneratia dan Avicennia ke dalam
polibek kecil dan buah Rhizophora dan Bruguiera ke dalam polibek yang berukuran
Setelah itu, masukkan satu persatu polibek yang sudah terisi dengan buah-buah
mangrove tersebut, ke dalam bedeng. Sebaiknya, diusahakan agar satu buah
bedeng bisa digunakan untuk satu jenis mangrove saja, agar mempermudah
secara umum
penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara (1) menanam
ui persemaian bibit.
30 %). Hal ini
karena pengaruh arus laut pada saat pasang dan pengaruh pemangsa (predator).
ya relatif tinggi
Buah (propagul) mangrove untuk bibit sebaiknya berasal dari daerah setempat, telah
matang dan berkualitas bagus. Sebelum digunakan untuk pembibitan buah disimpan
atau bak yang berisi air
penuh dengan posisi tegak dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.
Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari. Untuk menyemaikan buah mangrove, lumpur
aikan ke dalam polibek
masing 1 buah. Tempat penyemaian buah mangrove sebaiknya dipilih yang
berdekatan dengan lokasi penanaman dengan perendaman kurang lebih 20 40 kali/bulan.
Berikut ini diterangkan mengenai bagaimana tata cara pembibitan beberapa jenis
Buah yang digunakan untuk pembibitan, sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang
ik, dicirikan oleh hampir lepasnya hipokotil dari
spp, dicirikan dengan warna buah hijau
h sedimen dari tanggul bekas tambak
atau sedimen yang sesuai dengan karakteristik pohon induknya.
Media dibiarkan selama kurang lebih 24 jam agar tidak terlalu lembek. Media tanam
yang sudah disediakan, dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam (polibek)
lebar 12 cm dan tinggi 20 cm, yang telah diberi lubang keci
Buah disemaikan masing
kurang lebih sepertiga dari total panjangnya ( 7 cm). Setiap 6
agar tidak mudah rebah. Ikatan dibuka setelah daun pertama keluar. Daun pertama akan
keluar setelah 1 bulan, daun ketiga akan keluar setelah 3 bulan.
Bruguiera spp
Buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5
matang dicirikan oleh hampir lepasnya batang buah dari bonggolnya dan warna hipokotil
merah kecoklatan atau hijau kemerahan.
Buah yang terkumpul tidak perlu dicuci dengan air tapi cukup dibersihkan dengan lap
dan dipilih buah yang segar, sehat, beba
hipokotilnya 10-20 cm. Kelopak buah jangan dicabut atau dilepaskan dengan paksa karena
dapat merusak buah. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan
spp.
Semua pekerjaan selalu dilakukan d
secara langsung), supaya buah tidak kering. Sebelum penyemaian, polibek dibiarkan
tergenang oleh pasang. Penyemaian dilakukan pada awal pasang purnama, dimana
penggenangannya dapat mencapai hipokotil buah. Pen
Rhizophora spp, tetapi tidak usah diikat.
8
atau sedimen yang sesuai dengan karakteristik pohon induknya.
Media dibiarkan selama kurang lebih 24 jam agar tidak terlalu lembek. Media tanam
yang sudah disediakan, dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam (polibek)
lebar 12 cm dan tinggi 20 cm, yang telah diberi lubang keci-kecil kurang lebih 10 buah.
Buah disemaikan masing-masing 1 buah dalam setiap polibek. Buah ditancapkan
kurang lebih sepertiga dari total panjangnya ( 7 cm). Setiap 6-10 buah, diikat m
agar tidak mudah rebah. Ikatan dibuka setelah daun pertama keluar. Daun pertama akan
keluar setelah 1 bulan, daun ketiga akan keluar setelah 3 bulan.
Buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5-10 tahun. Buah dipilih yang
matang dicirikan oleh hampir lepasnya batang buah dari bonggolnya dan warna hipokotil
merah kecoklatan atau hijau kemerahan.
Buah yang terkumpul tidak perlu dicuci dengan air tapi cukup dibersihkan dengan lap
dan dipilih buah yang segar, sehat, bebas hama dan penyakit, belum berakar dan panjang
20 cm. Kelopak buah jangan dicabut atau dilepaskan dengan paksa karena
dapat merusak buah. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan
Semua pekerjaan selalu dilakukan di bawah naungan (tidak mendapat sinar matahari
secara langsung), supaya buah tidak kering. Sebelum penyemaian, polibek dibiarkan
tergenang oleh pasang. Penyemaian dilakukan pada awal pasang purnama, dimana
penggenangannya dapat mencapai hipokotil buah. Penyemaian Bruguiera spp seperti pada
spp, tetapi tidak usah diikat.
Media dibiarkan selama kurang lebih 24 jam agar tidak terlalu lembek. Media tanam
yang sudah disediakan, dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam (polibek) berukuran
kecil kurang lebih 10 buah.
masing 1 buah dalam setiap polibek. Buah ditancapkan
10 buah, diikat menjadi satu
agar tidak mudah rebah. Ikatan dibuka setelah daun pertama keluar. Daun pertama akan
10 tahun. Buah dipilih yang sudah
matang dicirikan oleh hampir lepasnya batang buah dari bonggolnya dan warna hipokotil
Buah yang terkumpul tidak perlu dicuci dengan air tapi cukup dibersihkan dengan lap
s hama dan penyakit, belum berakar dan panjang
20 cm. Kelopak buah jangan dicabut atau dilepaskan dengan paksa karena
dapat merusak buah. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan Rhizophora
i bawah naungan (tidak mendapat sinar matahari
secara langsung), supaya buah tidak kering. Sebelum penyemaian, polibek dibiarkan
tergenang oleh pasang. Penyemaian dilakukan pada awal pasang purnama, dimana
spp seperti pada
9
Ceriops spp
Ciri kematangan buah adalah kotiledon berwarna kuning dengan panjang kotiledon 1
cm atau lebih dan hipokotil berwarna hijau kecoklatan. Buah yang terkumpul dicuci bersih
dan buahnya dilepas. Kemudian, dipilih buah yang panjang hipokotilnya 20 cm atau lebih.
Penyiapan media untuk Ceriops spp sama dengan penyiapan media semai Rhizophora spp.
Penyemaian buah Ceriops spp sama dengan Bruguiera spp.
Excoecaria spp
Warna buah dari Excoecaria spp yang telah matang adalah kuning kecoklatan. Buah
berbentuk bulat kecil-kecil dan akan jatuh setelah matang. Biji dipilih yang padat dan
mempunyai diameter 3 mm atau lebih. Media yang digunakan untuk pembibitan sama
dengan Rhizophora spp.
Excoecaria spp pembibitannya tidak langsung dilakukan pada polibek. Biji dari
Excoecaria spp ditebar di parit yang berisi media dan terlindung dari cahaya matahari
secara langsung. Parit dibuat di darat untuk menghindari biji terbawa arus. Setelah daun
Excoecaria spp tumbuh 3-5 buah, bibit bisa dicabut dan dipindahkan ke polibek. Setiap satu
polibek ditanami satu bibit.
Avicennia spp
Ciri kematangan buah adalah warna kulit buah kekuningan, dan kadang kulit buah
sedikit terbuka. Buah yang sudah matang mudah terlepas dari kelopaknya. Buah dilepas
dari kelopaknya dan dipilih buah yang bebas hama dan beratnya 1,5 gram atau lebih.
Setelah kelopak dilepas, buah direndam dalam air selama satu hari agar terkelupas kulitnya.
Buah yang belum terkelupas kulitnya, dapat dikupas dengan tangan. Kemudian, buah
10
dipindahkan ke dalam ember berisi air payau yang bersih. Penyiapan media semai
Avicennia spp tidak berbeda dengan Rhizophora spp. Polibek disiram hingga cukup basah,
barulah dilakukan persemaian. Buah disemaikan masing-masing satu buah dalam satu
polibek, dengan cara ditancapkan kurang lebih sepertiga panjang buah ke dalam
tanah/media.
i. Tahap Pembangunan APO
Apabila diperlukan, sebaiknya setelah melakukan tahapan pembibitan dan sebelum
diadakan tahapan penanaman, maka dilakukan tahapan pembangunan pemecah
gelombang atau APO. Hal ini dilakukan untuk melindungi bibit-bibit mangrove yang telah
ditanam di lokasi program rehabilitasi mangrove.
Perlu diketahui bahwa mangrove baru bisa berfungsi sebagai penahan abrasi,
setelah berumur kurang lebih lima tahun, disaat akarnya telah kuat sehingga mampu
mengurangi kekuatan gempuran gelombang.
Selanjutnya, sebagai gambaran, untuk jenis-jenis pemecah gelombang, di Desa
Tapak Semarang, lokasi tempat proyek rehabilitasi mangrove KeSEMaT berada, terdapat
empat macam model pemecah gelombang (baca: Apo-apo) yang telah dibuat oleh warga
setempat atas inisiasi mereka sendiri.
Keempat jenis Apo-apo tersebut, bisa dibedakan dari jenis bahan pembuatnya. Apo-
apo pertama dibuat dari beton dan semen berbentuk bundar. Apo-apo kedua terbuat dari
beton dan semen berbentuk segiempat. Selanjutnya, pemecah gelombang ketiga dibuat dari
potongan bambu yang dianyam, dan yang terakhir adalah Apo-apo yang terbuat dari ban-
ban bekas yang dikuatkan dengan potongan bambu.
Masing-masing model dari pemecah gelombang ini memiliki kelebihan dan
kekurangannya, masing-masing. Untuk Apo-apo yang terbuat dari semen dan beton (baik
yang berbentuk bundar maupun segiempat), kelebihannya hanya terletak dari konstruksinya
yang tahan lama sehingga mampu lebih banyak mereduksi kekuatan gelombang laut.
Kelemahan jenis ini adalah biaya pembangunannya yang sangat mahal sehingga tidak
sesuai dengan konsep pemberdayaan masyarakat, yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat.
Biaya pemecah gelombang yang hanya dimonopoli oleh pihak penyandang dana, telah
menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bukan subyek dari proyek.
Apo-apo yang dibuat dari potongan bambu yang dianyam, memiliki kelebihan di
anggarannya yang lebih kecil dan bahan bakunya yang juga bisa diperoleh dari warga
sekitar sehingga mampu memberdayakan warga sekitar untuk turut serta dalam proyek
sebagai subyek dan bukan obyek. Dengan demikian, konsep pemberdayaan masyarakat:
dari, oleh, dan untuk masyarakat bisa terpenuhi.
Model Apo-apo terakhir, yaitu yang terbuat dari ban bekas, selain biayanya yang
murah, juga memiliki kekuatan penangkal gelombang yang lebih baik apabila dibandingkan
dengan jenis Apo-apo yang kedua, namun masih dipertanyakan mengenai keramah
lingkungannya.
Keempat model Apo-apo ini, di Tapak, diletakkan persis di pematang tambak bagian
luar, untuk melindunginya dari erosi dan abrasi. Tapi
modelnya sama, namun di beberapa titik di Semarang dan sekitarnya, pemb
melulu harus demikian. Di Demak, Apo
di laut, dan tidak di pematang tambaknya.
j. Tahap Penanaman
Sebelum melakukan tahapan penanaman mangrove, maka lokasi penanaman
mangrove harus sudah ditentukan.
diperhatikan, sebelum melakukan penanaman mangrove antara lain adalah tipe substrat,
salinitas, temperatur, ketinggian tanah, pH, musim dan saluran air.
Substrat untuk penanaman mangrove harus ses
ditanam. Secara sederhana, pada sedimen yang berlumpur, maka jenis
adalah jenis yang tepat untuk ditanam. Selanjutnya, untuk
spp, menyukai tanah berpasir yang berada di pinggiran pa
seperti Aegiceras spp, Lumnitzera
Pandanus spp dan jenis lainnya, bisa hidup bervariasi di substrat lumpur berpasir.
Salinitas atau kadar garam juga penting diperhatikan, karena
salinitas yang bervariasi. Kadar salinitas yang bervariasi ini, ikut pula menentukan pola
penyebaran mangrove di habitatny
mangrove diantaranya adalah Rhizophora mucronata,
marina, Bruguiera gymnorrhiza, B. stylosa, Ceriops tagal, C. decandra
mangrove asosiasi seperti Calophylum
Jenis Rhizophora mucronata, R. apiculata
mangrove yang biasa ditanam pada program rehabilitasi mangrove. Di beberapa lokasi,
apiculata lebih banyak dipilih karena memiliki jenis perakaran yang lebih rapat dan kuat.
Kedua jenis Bakau ini, sering ditanam untuk tujuan penanggulangan kawasan pes
abrasi. Sementara itu, Api-api banyak ditanam di kawasan yang berpasir bersama dengan
jenis mangrove asosiasi lainnya seperti Cemara Laut dan Nyamplung.
Penentuan jenis mangrove untuk ditanam di suatu lokasi, harus disesuaikan dengan
kondisi substratnya dan budaya masyarakat lokal setempat.
lapangan menginformasikan bahwa jenis
untuk ditanam di daerah tertentu.
cenderung tidak banyak ditanam tetapi ditebangi, karena di wilayah tersebut perakaran
11
murah, juga memiliki kekuatan penangkal gelombang yang lebih baik apabila dibandingkan
apo yang kedua, namun masih dipertanyakan mengenai keramah
apo ini, di Tapak, diletakkan persis di pematang tambak bagian
dari erosi dan abrasi. Tapi perlu diketahui bahwa walaupun
modelnya sama, namun di beberapa titik di Semarang dan sekitarnya, pembangunannya tak
melulu harus demikian. Di Demak, Apo-apo model ban bekas, diletakkan secara melintang
di laut, dan tidak di pematang tambaknya.
Sebelum melakukan tahapan penanaman mangrove, maka lokasi penanaman
ditentukan. Beberapa faktor lingkungan penting yang harus
diperhatikan, sebelum melakukan penanaman mangrove antara lain adalah tipe substrat,
salinitas, temperatur, ketinggian tanah, pH, musim dan saluran air.
Substrat untuk penanaman mangrove harus sesuai dengan jenis mangrove yang
ditanam. Secara sederhana, pada sedimen yang berlumpur, maka jenis Rhizophora
adalah jenis yang tepat untuk ditanam. Selanjutnya, untuk Avicennia spp dan
spp, menyukai tanah berpasir yang berada di pinggiran pantai. Jenis mangrove lainnya
Lumnitzera spp, Excoecaria spp, Ceriops spp, Bruguiera
lainnya, bisa hidup bervariasi di substrat lumpur berpasir.
Salinitas atau kadar garam juga penting diperhatikan, karena mangrove hidup pada
salinitas yang bervariasi. Kadar salinitas yang bervariasi ini, ikut pula menentukan pola
penyebaran mangrove di habitatnya. Jenis-jenis umum yang dipergunakan untuk rehabilitasi
Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Avicennia
marina, Bruguiera gymnorrhiza, B. stylosa, Ceriops tagal, C. decandra dan beberapa jenis
Calophylum sp dan Casuarina sp.
Rhizophora mucronata, R. apiculata dan Avicennia marina adalah tiga jeni
mangrove yang biasa ditanam pada program rehabilitasi mangrove. Di beberapa lokasi,
lebih banyak dipilih karena memiliki jenis perakaran yang lebih rapat dan kuat.
Kedua jenis Bakau ini, sering ditanam untuk tujuan penanggulangan kawasan pes
api banyak ditanam di kawasan yang berpasir bersama dengan
jenis mangrove asosiasi lainnya seperti Cemara Laut dan Nyamplung.
enentuan jenis mangrove untuk ditanam di suatu lokasi, harus disesuaikan dengan
stratnya dan budaya masyarakat lokal setempat. Beberapa hal yang ditemui di
lapangan menginformasikan bahwa jenis-jenis mangrove tertentu cenderung tidak disukai
untuk ditanam di daerah tertentu. Di Surodadi Demak, jenis mangrove, yaitu Bakau,
tidak banyak ditanam tetapi ditebangi, karena di wilayah tersebut perakaran
murah, juga memiliki kekuatan penangkal gelombang yang lebih baik apabila dibandingkan
apo yang kedua, namun masih dipertanyakan mengenai keramahan
apo ini, di Tapak, diletakkan persis di pematang tambak bagian
perlu diketahui bahwa walaupun
angunannya tak
apo model ban bekas, diletakkan secara melintang
Sebelum melakukan tahapan penanaman mangrove, maka lokasi penanaman
Beberapa faktor lingkungan penting yang harus
diperhatikan, sebelum melakukan penanaman mangrove antara lain adalah tipe substrat,
uai dengan jenis mangrove yang
Rhizophora spp
spp dan Sonneratia
ntai. Jenis mangrove lainnya
Bruguiera spp,
lainnya, bisa hidup bervariasi di substrat lumpur berpasir.
mangrove hidup pada
salinitas yang bervariasi. Kadar salinitas yang bervariasi ini, ikut pula menentukan pola
jenis umum yang dipergunakan untuk rehabilitasi
culata, R. stylosa, Avicennia
dan beberapa jenis
adalah tiga jenis
mangrove yang biasa ditanam pada program rehabilitasi mangrove. Di beberapa lokasi, R.
lebih banyak dipilih karena memiliki jenis perakaran yang lebih rapat dan kuat.
Kedua jenis Bakau ini, sering ditanam untuk tujuan penanggulangan kawasan pesisir dari
api banyak ditanam di kawasan yang berpasir bersama dengan
enentuan jenis mangrove untuk ditanam di suatu lokasi, harus disesuaikan dengan
Beberapa hal yang ditemui di
jenis mangrove tertentu cenderung tidak disukai
enis mangrove, yaitu Bakau,
tidak banyak ditanam tetapi ditebangi, karena di wilayah tersebut perakaran
Bakau ditengarai telah menyebabkan jebolnya tanggul pertambakan mereka. Untuk itu, Api
api yang dianggap memiliki sitem perakaran yang lebih rapat dan
tanah tambak lebih banyak ditanam.
penanaman, bisa berasal dari tiga sumber, yaitu dari bedeng kita sendiri, dari sumbangan
pihak ketiga dan dari pembelian ke kelompok tani mangrove yang sekarang ini, mulai
banyak membudidayakan bibit mangrove untuk tujuan penghijauan pantai.
Apabila bibit mangrove dibeli dari pihak luar, maka yang perlu diingat adalah harus
dipilih lokasi pembelian bibit mangrove yang terdekat dengan lokasi penanaman. Pemilihan
lokasi pembelian bibit mangrove yang paling dekat dengan lokasi penanaman dimaksudkan
untuk mempermudah daya adaptasi bibit mangrove yang dibeli dengan substrat dan kondisi
lingkungan lainnya, yang ada di lokasi penanaman.
Secara teori, penanaman mangrove dengan mempergunakan bibit mangrove akan
memiliki kelulushidupan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penanaman
mangrove dengan menggunakan propagul.
tanpa penyemaian, sebaiknya juga dilakukan terutama pada saat penyulaman. Faktanya,
penanaman mangrove menggunakan propagul
mangrove lebih mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Pro dan kontra, lebih baik mana penggunaan
dengan sekarang masih terjadi. Namun demikian,
bibit maka daya tahannya akan semakin baik
Sementara itu, penggunaan propagul sebagai bahan baku penanaman mangrove,
walaupun diklaim memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi, tapi tidak demikian dengan daya
tahannya terhadap gelombang.
Selanjutnya, penanaman bibit mangrove harus dikelompokkan sesuai dengan
jenisnya. Hal ini dilakukan mengingat pada kondisi alami, mangrove memang membe
tegakan murni, yang berarti ditemukan secara berkelompok sesuai dengan jenisnya.
Penaman mangrove, sebaiknya dilakukan pada saat air surut. Namun demikian,
apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman mangrove bisa tetap dilaksanakan
pada saat air tergenang, dengan syarat pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar
benar tertancap dengan baik di sedimen dan terikat kuat di samping ajirnya.
Alat dan bahan yang dipergunakan untuk melakukan tahapan penanaman mangrove
adalah bibit mangrove berbagai jenis, cetok, ajir dan tali rafia.
adalah sederhana, yaitu:
1. Ambil satu bibit mangrove di bedeng.
2. Buka polibek yang menutupi sedimen dan akar bibit. Jangan buang polibek secara
sembarangan, tapi letakkan polibek di atas aji
3. Tanam langsung bibit mangrove ke tanah dengan cara melubangi tanah dengan
12
Bakau ditengarai telah menyebabkan jebolnya tanggul pertambakan mereka. Untuk itu, Api
api yang dianggap memiliki sitem perakaran yang lebih rapat dan mampu menstabilkan
lebih banyak ditanam. Bibit mangrove yang akan ditanam pada tahap
penanaman, bisa berasal dari tiga sumber, yaitu dari bedeng kita sendiri, dari sumbangan
pihak ketiga dan dari pembelian ke kelompok tani mangrove yang sekarang ini, mulai
dayakan bibit mangrove untuk tujuan penghijauan pantai.
Apabila bibit mangrove dibeli dari pihak luar, maka yang perlu diingat adalah harus
dipilih lokasi pembelian bibit mangrove yang terdekat dengan lokasi penanaman. Pemilihan
grove yang paling dekat dengan lokasi penanaman dimaksudkan
untuk mempermudah daya adaptasi bibit mangrove yang dibeli dengan substrat dan kondisi
lingkungan lainnya, yang ada di lokasi penanaman.
Secara teori, penanaman mangrove dengan mempergunakan bibit mangrove akan
memiliki kelulushidupan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penanaman
mangrove dengan menggunakan propagul. Namun penanaman mangrove dengan propagul
knya juga dilakukan terutama pada saat penyulaman. Faktanya,
rove menggunakan propagul seringkali dilakukan dengan alasan bibit
mangrove lebih mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Pro dan kontra, lebih baik mana penggunaan propagul dan bibit mangrove, sa
terjadi. Namun demikian, dapat dibenarkan bahwa pen
bibit maka daya tahannya akan semakin baik.
Sementara itu, penggunaan propagul sebagai bahan baku penanaman mangrove,
memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi, tapi tidak demikian dengan daya
Selanjutnya, penanaman bibit mangrove harus dikelompokkan sesuai dengan
jenisnya. Hal ini dilakukan mengingat pada kondisi alami, mangrove memang membe
tegakan murni, yang berarti ditemukan secara berkelompok sesuai dengan jenisnya.
Penaman mangrove, sebaiknya dilakukan pada saat air surut. Namun demikian,
apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman mangrove bisa tetap dilaksanakan
air tergenang, dengan syarat pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar
benar tertancap dengan baik di sedimen dan terikat kuat di samping ajirnya.
Alat dan bahan yang dipergunakan untuk melakukan tahapan penanaman mangrove
agai jenis, cetok, ajir dan tali rafia. Teknik penanamannya sendiri
Ambil satu bibit mangrove di bedeng.
Buka polibek yang menutupi sedimen dan akar bibit. Jangan buang polibek secara
sembarangan, tapi letakkan polibek di atas ajir.
Tanam langsung bibit mangrove ke tanah dengan cara melubangi tanah dengan
Bakau ditengarai telah menyebabkan jebolnya tanggul pertambakan mereka. Untuk itu, Api-
mampu menstabilkan
Bibit mangrove yang akan ditanam pada tahap
penanaman, bisa berasal dari tiga sumber, yaitu dari bedeng kita sendiri, dari sumbangan
pihak ketiga dan dari pembelian ke kelompok tani mangrove yang sekarang ini, mulai
Apabila bibit mangrove dibeli dari pihak luar, maka yang perlu diingat adalah harus
dipilih lokasi pembelian bibit mangrove yang terdekat dengan lokasi penanaman. Pemilihan
grove yang paling dekat dengan lokasi penanaman dimaksudkan
untuk mempermudah daya adaptasi bibit mangrove yang dibeli dengan substrat dan kondisi
Secara teori, penanaman mangrove dengan mempergunakan bibit mangrove akan
memiliki kelulushidupan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penanaman
penanaman mangrove dengan propagul
knya juga dilakukan terutama pada saat penyulaman. Faktanya,
seringkali dilakukan dengan alasan bibit
propagul dan bibit mangrove, sampai
dapat dibenarkan bahwa penggunakan
Sementara itu, penggunaan propagul sebagai bahan baku penanaman mangrove,
memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi, tapi tidak demikian dengan daya
Selanjutnya, penanaman bibit mangrove harus dikelompokkan sesuai dengan
jenisnya. Hal ini dilakukan mengingat pada kondisi alami, mangrove memang membentuk
tegakan murni, yang berarti ditemukan secara berkelompok sesuai dengan jenisnya.
Penaman mangrove, sebaiknya dilakukan pada saat air surut. Namun demikian,
apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman mangrove bisa tetap dilaksanakan
air tergenang, dengan syarat pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar-
Alat dan bahan yang dipergunakan untuk melakukan tahapan penanaman mangrove
Teknik penanamannya sendiri
Buka polibek yang menutupi sedimen dan akar bibit. Jangan buang polibek secara
Tanam langsung bibit mangrove ke tanah dengan cara melubangi tanah dengan
cetok, sedemikian rupa sehingga lubang penanaman cukup dalam, sehingga akar
bisa tertanam dengan baik.
4. Setelah itu, ikat batang bibit mangrove ke ajir dengan menggunakan tali ra
telah disediakan.
5. Timbun dengan tanah. Jangan terlalu menekan tanah, sehingga oksigen bisa
dengan leluasa ke luar dan masuk ke tanah.
Ambil polibek yang terletak di atas ajir, kumpulkan menjadi satu di sebuah
keranjang/plastik. Selanjutnya, polibek bisa didaur ulang menjadi berbagai
plastik daur ulang. Tidak semua bibit mangrove harus ditanam pada saat penanaman,
melainkan bisa disisihkan untuk tahapan selanjutnya, yaitu penyulaman. Sebagai contoh,
dari 10 ribu bibit yang ada, bisa disisihkan 2 ribu bibit untuk penyulaman.
Sebagai informasi, satu hal yang juga penting untuk mulai dilakukan dan
dikampanyekan ke masyarakat luas adalah sebisa mungkin jangan sampai melakukan pola
penanaman dengan sistem monokultur, diman
ditanam pada suatu lokasi program rehabilitasi mangrove.
tentu saja harus lebih banyak lagi variasi jenis mangrove yang harus ditanam, untuk
menjaga keanekaragaman jenis ekosistem pesisir i
k. Tahap Persiapan Penanaman Mangrove
Sebelum dilakukan penanaman, lokasi penanaman harus disiapkan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat penanaman.
yang dilakukan adalah pembersihan lokasi penanaman dari vegetasi tumbuhan pengganggu
dan penancapan ajir (potongan bambu dengan panjang 1 m yang diikatkan dengan bibit
mangrove menggunakan tali rafia).
dengan tujuan mempermudah dan mempercepat waktu penanaman.
Bibit diambil dari kebun bibit dan diangkut dengan menggunakan armada truk
menuju ke sekitar lokasi penanaman.
diatur sedemikian rupa sehingga bisa tersusun secara
sinar matahari secara langsung. Cara penanaman mangrove adalah tersebut di bawah ini:
l. Tahap Penancapan Ajir
Kegiatan penancapan ajir dilakukan dengan dua tujuan yaitu: (1) sebagai penanda
lokasi penanaman bibit mangrove sehingga akan mempermudah peserta dalam melakukan
penanaman; (2) penggunaan ajir juga berfungsi agar bibit
berjajar secara rapi sehingga mempermudah dalam penghitungan kelulushidupan pada saat
pekerjaan pemeliharaan dan monitoring; (3) ajir berguna menjaga bibit mangrove tidak
13
cetok, sedemikian rupa sehingga lubang penanaman cukup dalam, sehingga akar
bisa tertanam dengan baik.
Setelah itu, ikat batang bibit mangrove ke ajir dengan menggunakan tali ra
Timbun dengan tanah. Jangan terlalu menekan tanah, sehingga oksigen bisa
dengan leluasa ke luar dan masuk ke tanah.
Ambil polibek yang terletak di atas ajir, kumpulkan menjadi satu di sebuah
Selanjutnya, polibek bisa didaur ulang menjadi berbagai macam barang
Tidak semua bibit mangrove harus ditanam pada saat penanaman,
melainkan bisa disisihkan untuk tahapan selanjutnya, yaitu penyulaman. Sebagai contoh,
yang ada, bisa disisihkan 2 ribu bibit untuk penyulaman.
Sebagai informasi, satu hal yang juga penting untuk mulai dilakukan dan
dikampanyekan ke masyarakat luas adalah sebisa mungkin jangan sampai melakukan pola
penanaman dengan sistem monokultur, dimana hanya satu jenis mangrove saja yang
ditanam pada suatu lokasi program rehabilitasi mangrove. Untuk tujuan jangka panjang,
tentu saja harus lebih banyak lagi variasi jenis mangrove yang harus ditanam, untuk
menjaga keanekaragaman jenis ekosistem pesisir ini, di masa mendatang.
Persiapan Penanaman Mangrove
Sebelum dilakukan penanaman, lokasi penanaman harus disiapkan sedemikian rupa
hal yang tidak diinginkan pada saat penanaman. Beberapa hal
pembersihan lokasi penanaman dari vegetasi tumbuhan pengganggu
dan penancapan ajir (potongan bambu dengan panjang 1 m yang diikatkan dengan bibit
mangrove menggunakan tali rafia). Khusus untuk penancapan ajir, hal ini sengaja dilakukan
mudah dan mempercepat waktu penanaman.
Bibit diambil dari kebun bibit dan diangkut dengan menggunakan armada truk
menuju ke sekitar lokasi penanaman. Selanjutnya, bibit mangrove disimpan, diletakkan dan
diatur sedemikian rupa sehingga bisa tersusun secara rapi, di lokasi yang terlindung dari
sinar matahari secara langsung. Cara penanaman mangrove adalah tersebut di bawah ini:
Kegiatan penancapan ajir dilakukan dengan dua tujuan yaitu: (1) sebagai penanda
ove sehingga akan mempermudah peserta dalam melakukan
penanaman; (2) penggunaan ajir juga berfungsi agar bibit-bibit mangrove yang ditanam bisa
berjajar secara rapi sehingga mempermudah dalam penghitungan kelulushidupan pada saat
monitoring; (3) ajir berguna menjaga bibit mangrove tidak
cetok, sedemikian rupa sehingga lubang penanaman cukup dalam, sehingga akar
Setelah itu, ikat batang bibit mangrove ke ajir dengan menggunakan tali rafia yang
Timbun dengan tanah. Jangan terlalu menekan tanah, sehingga oksigen bisa
Ambil polibek yang terletak di atas ajir, kumpulkan menjadi satu di sebuah
macam barang
Tidak semua bibit mangrove harus ditanam pada saat penanaman,
melainkan bisa disisihkan untuk tahapan selanjutnya, yaitu penyulaman. Sebagai contoh,
Sebagai informasi, satu hal yang juga penting untuk mulai dilakukan dan
dikampanyekan ke masyarakat luas adalah sebisa mungkin jangan sampai melakukan pola
a hanya satu jenis mangrove saja yang
ntuk tujuan jangka panjang,
tentu saja harus lebih banyak lagi variasi jenis mangrove yang harus ditanam, untuk
Sebelum dilakukan penanaman, lokasi penanaman harus disiapkan sedemikian rupa
Beberapa hal
pembersihan lokasi penanaman dari vegetasi tumbuhan pengganggu
dan penancapan ajir (potongan bambu dengan panjang 1 m yang diikatkan dengan bibit
Khusus untuk penancapan ajir, hal ini sengaja dilakukan
Bibit diambil dari kebun bibit dan diangkut dengan menggunakan armada truk
Selanjutnya, bibit mangrove disimpan, diletakkan dan
rapi, di lokasi yang terlindung dari
sinar matahari secara langsung. Cara penanaman mangrove adalah tersebut di bawah ini:
Kegiatan penancapan ajir dilakukan dengan dua tujuan yaitu: (1) sebagai penanda
ove sehingga akan mempermudah peserta dalam melakukan
bibit mangrove yang ditanam bisa
berjajar secara rapi sehingga mempermudah dalam penghitungan kelulushidupan pada saat
monitoring; (3) ajir berguna menjaga bibit mangrove tidak
roboh pada saat terjadi air pasang.
m. Tahap Penanaman
Pada tahap penanaman, spesies mangrove dikelompokkan berdasarkan spesiesnya.
Bibit mangrove ditanam di lokasi penanaman dengan teknik penanaman
menggunakan ajir. Penggunaan ajir berguna untuk menjaga bibit mangrove tidak
ketika terkena ombak. Jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Penanaman mangrove diatur
sedemikian rupa sehingga ketiga jenis mangrove tidak tercampur supaya tidak merubah
sifat alami mangrove yaitu membentuk tegakan murni.
Cara Penanaman
Mangrove ditanam di lahan yang telah disediakan dengan cara membuat lubang di dekat
ajir-ajir, dengan ukuran lebih besar dari ukuran polibek dan dengan kedalaman dua kali lipat
dari panjang polibek.
n. Tahap Penyulaman
Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti bibit
dengan bibit-bibit mangrove yang baru.
mangrove yang telah disisihkan pada saat tahap penanaman. Penyulaman diadakan pada
jangka waktu tertentu, bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situsi di lapangan.
Hal-hal yang dibutuhkan pada saat penyul
mangrove, cetok, ajir dan tali rafia. Selain itu, apabila ditemui hama dan gangguan lainnya,
maka dibutuhkan insektisida atau moluskisida (jika diperlukan) untuk mengatasi hama dan
gangguan lain tersebut.
14
roboh pada saat terjadi air pasang.
Pada tahap penanaman, spesies mangrove dikelompokkan berdasarkan spesiesnya.
Bibit mangrove ditanam di lokasi penanaman dengan teknik penanaman
. Penggunaan ajir berguna untuk menjaga bibit mangrove tidak
ketika terkena ombak. Jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Penanaman mangrove diatur
sedemikian rupa sehingga ketiga jenis mangrove tidak tercampur supaya tidak merubah
sifat alami mangrove yaitu membentuk tegakan murni.
Mangrove ditanam di lahan yang telah disediakan dengan cara membuat lubang di dekat
ajir, dengan ukuran lebih besar dari ukuran polibek dan dengan kedalaman dua kali lipat
Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti bibit-bibit mangrove yang telah mati
bibit mangrove yang baru. Bibit mangrove untuk penyulaman, diambil dari bibit
mangrove yang telah disisihkan pada saat tahap penanaman. Penyulaman diadakan pada
jangka waktu tertentu, bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situsi di lapangan.
hal yang dibutuhkan pada saat penyulaman adalah propagul dan atau bibit
mangrove, cetok, ajir dan tali rafia. Selain itu, apabila ditemui hama dan gangguan lainnya,
maka dibutuhkan insektisida atau moluskisida (jika diperlukan) untuk mengatasi hama dan
Pada tahap penanaman, spesies mangrove dikelompokkan berdasarkan spesiesnya.
Bibit mangrove ditanam di lokasi penanaman dengan teknik penanaman mangrove
. Penggunaan ajir berguna untuk menjaga bibit mangrove tidak tumbang
ketika terkena ombak. Jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Penanaman mangrove diatur
sedemikian rupa sehingga ketiga jenis mangrove tidak tercampur supaya tidak merubah
Mangrove ditanam di lahan yang telah disediakan dengan cara membuat lubang di dekat
ajir, dengan ukuran lebih besar dari ukuran polibek dan dengan kedalaman dua kali lipat
bibit mangrove yang telah mati
Bibit mangrove untuk penyulaman, diambil dari bibit
mangrove yang telah disisihkan pada saat tahap penanaman. Penyulaman diadakan pada
jangka waktu tertentu, bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situsi di lapangan.
aman adalah propagul dan atau bibit
mangrove, cetok, ajir dan tali rafia. Selain itu, apabila ditemui hama dan gangguan lainnya,
maka dibutuhkan insektisida atau moluskisida (jika diperlukan) untuk mengatasi hama dan
Cara melakukan penyulaman adalah dengan cara mencari bibit
mati dan menggantinya dengan bibit
yang terlihat roboh dari ajirnya dan terlepas tali rafianya, dikuatkan kembali.
melakukan penggantian terhadap bibit
dilakukan program pemberantasan hama pengganggu yang ditemui di lokasi penanaman.
Jenis hama pengganggu yang umum ditemukan di Semarang dan sekitarnya adalah
3W, yaitu Wideng, Wedhus dan Wong. Wideng adalah jenis kepiting, Wedhus adalah
Kambing dan Wong adalah orang. Sebutan 3W sangat
Surodadi, Demak. Hama lain yang ditemukan di mangrove adalah ulat mangrove,
insect, ganggang laut, dan teritip.
Ulat mangrove banyak ditemukan di Tugu, Semarang. Ulat mangrove menyerang
bibit-bibit mangrove usia tiga sampai dengan satu tahun. Ulat mangrove memangsa daun
dan batang mangrove sampai habis, dalam kurun waktu tertentu.
hama ulat ini dengan tiga cara, yaitu menggunakan insektisida, diambil satu persatu
kemudian dimatikan dan dibiarkan saja mengingat serangan ulat hanya bersifat sementara.
Scale insect adalah sejenis seranggga yang seringkali ditemui di
ini berwarna putih dan menyebabkan daun
hama ini, bisa dilakukan dengan cara menyiram bibit
Ganggang laut adalah hama lainnya yang dominan ditemukan di Pasar Banggi, Rembang.
Hama ini menyebabkan kematian dalam skala masal karena terganggunya proses respirasi.
Permasalahan ini bisa diatasi dengan cara mengambil ganggang dan
menyingkirkannya dari bibit-bibit mangrove
teritip, yaitu sejenis krustasea yang men
ditimbulkan oleh hama ini sangatlah serius karena satu batang bibit hampir seluruh daunnya
habis dimangsa, sehingga mematikan bibit
menyerang di daerah pertambakan yang menga
Teritip umum ditemukan di Tugu, Tugurejo, Mangunharjo, Tapak, Pasar Banggi dan
kawasan pertambakan lainnya. Serangan hama ini bisa diatasi dengan menggunakan obat
pembasmi krustasea khusus yaitu moluskisida, jenis BENTAN 45 WP, den
melakukan penyemprotan pada bibit mangrove yang terserang.
Namun demikian, perlu diingat bahwa karena dosis BENTAN sangat tinggi, maka
bisa menyebabkan kematian pada ikan dan atau udang yang ada di lahan pertambakan.
Untuk itu, sebelum melakukan pembasmian teritip, maka buah ikan dan atau udang yang
ada di tambak, harus dikuras terlebih dahulu. Informasi terbaru, BENTAN 45 WP, agaknya
mulai dilarang penggunaannya. Oleh karena itu, pencegahan dan pembasmian secara
manual, kiranya adalah hal yang
15
n penyulaman adalah dengan cara mencari bibit-bibit mangrove yang
mati dan menggantinya dengan bibit-bibit mangrove yang baru. Kemudian, bibit mangrove
yang terlihat roboh dari ajirnya dan terlepas tali rafianya, dikuatkan kembali.
tian terhadap bibit-bibit mangrove yang mati, di tahap penyulaman, juga
dilakukan program pemberantasan hama pengganggu yang ditemui di lokasi penanaman.
Jenis hama pengganggu yang umum ditemukan di Semarang dan sekitarnya adalah
dan Wong. Wideng adalah jenis kepiting, Wedhus adalah
Kambing dan Wong adalah orang. Sebutan 3W sangat familier di masyarakat pesisir
Surodadi, Demak. Hama lain yang ditemukan di mangrove adalah ulat mangrove,
ganggang laut, dan teritip.
t mangrove banyak ditemukan di Tugu, Semarang. Ulat mangrove menyerang
bibit mangrove usia tiga sampai dengan satu tahun. Ulat mangrove memangsa daun
dan batang mangrove sampai habis, dalam kurun waktu tertentu. Warga sekitar mengatasi
dengan tiga cara, yaitu menggunakan insektisida, diambil satu persatu
kemudian dimatikan dan dibiarkan saja mengingat serangan ulat hanya bersifat sementara.
adalah sejenis seranggga yang seringkali ditemui di Teluk Awur. Hama
putih dan menyebabkan daun-daun mangrove berlubang. Untuk mencegah
hama ini, bisa dilakukan dengan cara menyiram bibit-bibit mangrove dengan air laut.
Ganggang laut adalah hama lainnya yang dominan ditemukan di Pasar Banggi, Rembang.
ematian dalam skala masal karena terganggunya proses respirasi.
Permasalahan ini bisa diatasi dengan cara mengambil ganggang dan
bibit mangrove Hama lainnya yang sangat berbahaya adalah
teritip, yaitu sejenis krustasea yang menyerang batang mangrove. Kematian yang
ditimbulkan oleh hama ini sangatlah serius karena satu batang bibit hampir seluruh daunnya
habis dimangsa, sehingga mematikan bibit-bibit mangrove yang telah ditanam. Hama ini
menyerang di daerah pertambakan yang menganut konsep silvofishery.
Teritip umum ditemukan di Tugu, Tugurejo, Mangunharjo, Tapak, Pasar Banggi dan
kawasan pertambakan lainnya. Serangan hama ini bisa diatasi dengan menggunakan obat
pembasmi krustasea khusus yaitu moluskisida, jenis BENTAN 45 WP, den
melakukan penyemprotan pada bibit mangrove yang terserang.
Namun demikian, perlu diingat bahwa karena dosis BENTAN sangat tinggi, maka
bisa menyebabkan kematian pada ikan dan atau udang yang ada di lahan pertambakan.
pembasmian teritip, maka buah ikan dan atau udang yang
ada di tambak, harus dikuras terlebih dahulu. Informasi terbaru, BENTAN 45 WP, agaknya
mulai dilarang penggunaannya. Oleh karena itu, pencegahan dan pembasmian secara
manual, kiranya adalah hal yang terbaik untuk dilakukan. Selanjutnya, dalam tahapan
bibit mangrove yang
bibit mangrove yang baru. Kemudian, bibit mangrove
yang terlihat roboh dari ajirnya dan terlepas tali rafianya, dikuatkan kembali. Selain
bibit mangrove yang mati, di tahap penyulaman, juga
dilakukan program pemberantasan hama pengganggu yang ditemui di lokasi penanaman.
Jenis hama pengganggu yang umum ditemukan di Semarang dan sekitarnya adalah
dan Wong. Wideng adalah jenis kepiting, Wedhus adalah
di masyarakat pesisir
Surodadi, Demak. Hama lain yang ditemukan di mangrove adalah ulat mangrove, scale
t mangrove banyak ditemukan di Tugu, Semarang. Ulat mangrove menyerang
bibit mangrove usia tiga sampai dengan satu tahun. Ulat mangrove memangsa daun
Warga sekitar mengatasi
dengan tiga cara, yaitu menggunakan insektisida, diambil satu persatu
kemudian dimatikan dan dibiarkan saja mengingat serangan ulat hanya bersifat sementara.
Teluk Awur. Hama
daun mangrove berlubang. Untuk mencegah
bibit mangrove dengan air laut.
Ganggang laut adalah hama lainnya yang dominan ditemukan di Pasar Banggi, Rembang.
ematian dalam skala masal karena terganggunya proses respirasi.
Permasalahan ini bisa diatasi dengan cara mengambil ganggang dan
Hama lainnya yang sangat berbahaya adalah
yerang batang mangrove. Kematian yang
ditimbulkan oleh hama ini sangatlah serius karena satu batang bibit hampir seluruh daunnya
bibit mangrove yang telah ditanam. Hama ini
Teritip umum ditemukan di Tugu, Tugurejo, Mangunharjo, Tapak, Pasar Banggi dan
kawasan pertambakan lainnya. Serangan hama ini bisa diatasi dengan menggunakan obat
pembasmi krustasea khusus yaitu moluskisida, jenis BENTAN 45 WP, dengan cara
Namun demikian, perlu diingat bahwa karena dosis BENTAN sangat tinggi, maka
bisa menyebabkan kematian pada ikan dan atau udang yang ada di lahan pertambakan.
pembasmian teritip, maka buah ikan dan atau udang yang
ada di tambak, harus dikuras terlebih dahulu. Informasi terbaru, BENTAN 45 WP, agaknya
mulai dilarang penggunaannya. Oleh karena itu, pencegahan dan pembasmian secara
Selanjutnya, dalam tahapan
penyulaman, juga dilakukan kegiatan penyiangan terhadap bahan pencemar seperti plastik
dan rumput liar yang terkadang ditemukan dan tumbuh di sekitar lokasi penanaman.
Yang perlu diperhatikan dalam
dan moluskisida dan bahan-bahan kimia lainnya, sebaiknya diminimalisir mengingat
dampaknya yang kurang baik terhadap lingkungan.
Selanjutnya, mengingat mangrove termasuk tumbuhan yang tahan terhadap kondis
alam yang ekstrim, maka tindakan preventif lebih dianjurkan dalam tahapan penyulaman ini,
yaitu dengan cara melakukan penyiraman dengan air laut terhadap bibit
yang telah kita tanam. Penyiraman bisa dilakukan setiap satu hari sekali pada s
yang dideteksi memiliki jenis kelimpahan hama yang tinggi.
Untuk lokasi yang relatif tidak memiliki jenis hama mangrove yang bervariasi dan
kondisi lingkungan yang mendukung di sebuah teluk yang terlindung, seperti di Teluk Awur
Jepara, maka tahapan penyulaman hanya dilakukan dengan cara memelihara pengaturan
saluran airnya sehingga proses pasang surut di lokasi penanaman selalu dapat terjaga
dengan baik.
o. Tahap Pemeliharaan
Tahap ini adalah tahap lanjutan setelah tahap penyulaman selesai dil
Tahapan pemeliharaan mangrove, memiliki tujuan jangka panjang untuk memastikan agar
bibit-bibit mangrove kita, bisa hidup dalam jangka waktu yang lama.
Hal yang harus dilakukan pada tahapan ini adalah program penjarangan, yaitu
berupa penebangan beberapa buah batang pohon mangrove muda, jika ditengarai bibit
mangrove yang berhasil tumbuh memiliki kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini penting
dilakukan untuk memaksimalkan pertumbuhan pohon mangrove lainnya.
Teknik penebangan yang dilakukan adalah h
pohon muda saja, yang ditengarai menyebabkan terganggunya pohon muda lainnya dalam
mendapatkan pertumbuhannya yang maksimal.
Selain penjarangan, juga dilakukan pembersihan lokasi terhadap hama dan
gangguan lainnya seperti rumput liar, pencemaran minyak dan gangguan lainnya, serta
pengelolaan saluran air, jika didapati terjadinya penutupan saluran air sebagai akibat dari
perubahan alam di daerah pesisir.
Selanjutnya, tata aturan seperti larangan melakukan penebangan pohon
yang telah berhasil tumbuh dengan baik di lokasi penanaman, juga harus dibuat untuk
memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat luas akan pentingnya penjagaan
terhadap kelestarian mangrove di pesisir.
Menurut Taniguchi, dkk (1999), pen
bibit mangrove yang telah ditanam, terus menerus mengalami penurunan.
16
penyulaman, juga dilakukan kegiatan penyiangan terhadap bahan pencemar seperti plastik
dan rumput liar yang terkadang ditemukan dan tumbuh di sekitar lokasi penanaman.
Yang perlu diperhatikan dalam tahap penyulaman ini adalah penggunaan insektisida
bahan kimia lainnya, sebaiknya diminimalisir mengingat
dampaknya yang kurang baik terhadap lingkungan.
Selanjutnya, mengingat mangrove termasuk tumbuhan yang tahan terhadap kondis
alam yang ekstrim, maka tindakan preventif lebih dianjurkan dalam tahapan penyulaman ini,
yaitu dengan cara melakukan penyiraman dengan air laut terhadap bibit-bibit mangrove
yang telah kita tanam. Penyiraman bisa dilakukan setiap satu hari sekali pada s
yang dideteksi memiliki jenis kelimpahan hama yang tinggi.
Untuk lokasi yang relatif tidak memiliki jenis hama mangrove yang bervariasi dan
kondisi lingkungan yang mendukung di sebuah teluk yang terlindung, seperti di Teluk Awur
ahapan penyulaman hanya dilakukan dengan cara memelihara pengaturan
saluran airnya sehingga proses pasang surut di lokasi penanaman selalu dapat terjaga
Tahap ini adalah tahap lanjutan setelah tahap penyulaman selesai dil
Tahapan pemeliharaan mangrove, memiliki tujuan jangka panjang untuk memastikan agar
bibit mangrove kita, bisa hidup dalam jangka waktu yang lama.
Hal yang harus dilakukan pada tahapan ini adalah program penjarangan, yaitu
eberapa buah batang pohon mangrove muda, jika ditengarai bibit
mangrove yang berhasil tumbuh memiliki kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini penting
dilakukan untuk memaksimalkan pertumbuhan pohon mangrove lainnya.
Teknik penebangan yang dilakukan adalah hanya menebang beberapa buah batang
pohon muda saja, yang ditengarai menyebabkan terganggunya pohon muda lainnya dalam
mendapatkan pertumbuhannya yang maksimal.
Selain penjarangan, juga dilakukan pembersihan lokasi terhadap hama dan
i rumput liar, pencemaran minyak dan gangguan lainnya, serta
pengelolaan saluran air, jika didapati terjadinya penutupan saluran air sebagai akibat dari
perubahan alam di daerah pesisir.
Selanjutnya, tata aturan seperti larangan melakukan penebangan pohon
yang telah berhasil tumbuh dengan baik di lokasi penanaman, juga harus dibuat untuk
memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat luas akan pentingnya penjagaan
terhadap kelestarian mangrove di pesisir.
Menurut Taniguchi, dkk (1999), penyiangan dilakukan apabila kelulushidupan bibit
bibit mangrove yang telah ditanam, terus menerus mengalami penurunan.
penyulaman, juga dilakukan kegiatan penyiangan terhadap bahan pencemar seperti plastik
dan rumput liar yang terkadang ditemukan dan tumbuh di sekitar lokasi penanaman.
tahap penyulaman ini adalah penggunaan insektisida
bahan kimia lainnya, sebaiknya diminimalisir mengingat
Selanjutnya, mengingat mangrove termasuk tumbuhan yang tahan terhadap kondisi
alam yang ekstrim, maka tindakan preventif lebih dianjurkan dalam tahapan penyulaman ini,
bibit mangrove
yang telah kita tanam. Penyiraman bisa dilakukan setiap satu hari sekali pada suatu lokasi
Untuk lokasi yang relatif tidak memiliki jenis hama mangrove yang bervariasi dan
kondisi lingkungan yang mendukung di sebuah teluk yang terlindung, seperti di Teluk Awur
ahapan penyulaman hanya dilakukan dengan cara memelihara pengaturan
saluran airnya sehingga proses pasang surut di lokasi penanaman selalu dapat terjaga
Tahap ini adalah tahap lanjutan setelah tahap penyulaman selesai dilakukan.
Tahapan pemeliharaan mangrove, memiliki tujuan jangka panjang untuk memastikan agar
Hal yang harus dilakukan pada tahapan ini adalah program penjarangan, yaitu
eberapa buah batang pohon mangrove muda, jika ditengarai bibit
mangrove yang berhasil tumbuh memiliki kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini penting
anya menebang beberapa buah batang
pohon muda saja, yang ditengarai menyebabkan terganggunya pohon muda lainnya dalam
Selain penjarangan, juga dilakukan pembersihan lokasi terhadap hama dan
i rumput liar, pencemaran minyak dan gangguan lainnya, serta
pengelolaan saluran air, jika didapati terjadinya penutupan saluran air sebagai akibat dari
Selanjutnya, tata aturan seperti larangan melakukan penebangan pohon mangrove
yang telah berhasil tumbuh dengan baik di lokasi penanaman, juga harus dibuat untuk
memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat luas akan pentingnya penjagaan
yiangan dilakukan apabila kelulushidupan bibit-
17
Penyiangan dilakukan dengan penyulaman yaitu mengganti bibit-bibit mangrove
yang telah mati dengan bibit-bibit mangrove yang baru. Selain itu, juga dilakukan penebasan
terhadap tumbuhan liar yang tumbuh di sekitar mangrove untuk mengurangi persaingan
sehingga bibit-bibit mangrove yang telah ditanam bisa tumbuh dengan baik.
Selanjutnya, kegiatan penjarangan diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang
ideal bagi tanaman yaitu agar pertumbuhan tanaman dapat meningkat dan pohon-pohon
yang tumbuh bisa sehat dan baik. Untuk perlindungan tanaman, maka mangrove dalam
pertumbuhannya mempunyai masa-masa kritis. Oleh karena itu, perlindungan tanaman
mangrove dan hama yang merusak, mulai dari pembibitan hingga mencapai anakan, perlu
dilakukan agar pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik.
TIPS MENANAM DAN MEMELIHARA MANGROVE
Apabila Anda berjalan di pesisir pantai, dan kebetulan menemukan buah mangrove-
panjang (propagul), cobalah lakukan hal sederhana berikut ini:
AMBIL
Ambil dan pilih propagul yang matang, dicirikan dengan adanya lingkaran cincin
berwarna kuning, di bagian bawah buahnya (bagian paling atas, berwarna coklat).
TANAM
Bukalah buahnya, lalu tanamlah dua pertiga bagian propagul ke tanah. Pastikan
propagul tertanam dengan baik. Kalau ada potongan bambu dan rafia, tanamlah bambu
(ajir) disamping propagul, lalu ikat dengan tali rafia. Cara ini lebih baik untuk melindungi
mangrove dari gelombang yang sewaktu-waktu bisa merobohkannya
PELIHARA
Jangan lupa pelihara mangrove yang sudah ditanam dengan cara kembali lagi ke
pesisir untuk sekedar melihat perkembangannya. Lakukan ini, minimal selama 3 bulan
setelah selesai menanamnya . Pastikan, mangrove dalam keadaan baik.
18
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Kehutanan P.03/MENHUT-V/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman
Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Priyono, Aris. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Pesisir
Indonesia. KeSEMaT, Semarang

You might also like