You are on page 1of 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Rongga Mulut
2.1.1. Pendahuluan
Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah
bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum
keras), dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, alveolar
ridge, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang
membatasi rongga mulut (Yousem et al., 1998).
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis
oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding
bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari
pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh
membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi.
Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun
di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir
pada bagian bibir (Tortora et al., 2009).

Gambar 2.1. Anatomi Rongga Mulut
(Tortorra et al., 2009)

2.1.2. Bibir dan Palatum
Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang
mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut. Bibir terdiri dari otot orbikularis oris
dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal dan membran mukosa pada bagian
internal (Seeley et al., 2008 ; J ahan-Parwar et al., 2011).
Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas
dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada
bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas
dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari
bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke
bagian mandibula pada bagian inferior (J ahan-Parwar et al., 2011).
Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis,
jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun
dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion
merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitel-
epitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan
warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga
menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar
sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak
ditemukan pada bagian vermilion (Tortorra et al., 2009; J ahan-Parwar et al.,
2011).
Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan
dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di
bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat
melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otot-
otot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan
berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga
memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara.
Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara
rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga
mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah
dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua
bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak).
Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum
durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara
rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila
dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap
rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat
berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring.
Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum
durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and Hoehn, 2010; J ahan-
Parwar et al., 2011).

Gambar 2.2. Anatomi Palatum
(Agave Clinic, 2007)

2.1.3. Lidah
Lidah merupakan salah satu organ aksesoris dalam sistem pencernaan.
Secara embriologis, lidah mulai terbentuk pada usia 4 minggu kehamilan. Lidah
tersusun dari otot lurik yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah beserta otot-
otot yang berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang menyusun dasar dari
rongga mulut. Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral simetris oleh septum
median yang berada disepanjang lidah. Lidah menempel pada tulang hyoid pada
bagian inferior, prosesus styloid dari tulang temporal dan mandibula (Tortorra et
al., 2009; Marieb and Hoehn, 2010 ; Adil et al., 2011).
Setiap bagian lateral dari lidah memiliki komponen otot-otot ekstrinsik
dan intrinsik yang sama. Otot ekstrinsik lidah terdiri dari otot hyoglossus, otot
genioglossus dan otot styloglossus. Otot-otot tersebut berasal dari luar lidah
(menempel pada tulang yang ada di sekitar bagian tersebut) dan masuk kedalam
jaringan ikat yang ada di lidah. Otot-otot eksternal lidah berfungsi untuk
menggerakkan lidah dari sisi yang satu ke sisi yang berlawanan dan
menggerakkan ke arah luar dan ke arah dalam. Pergerakan lidah karena otot
tersebut memungkinkan lidah untuk memosisikan makanan untuk dikunyah,
dibentuk menjadi massa bundar, dan dipaksa untuk bergerak ke belakang mulut
untuk proses penelanan. Selain itu, otot-otot tersebut juga membentuk dasar dari
mulut dan mempertahankan agar posisi lidah tetap pada tempatnya.
Otot-otot intrisik lidah berasal dari dalam lidah dan berada dalam jaringan
ikat lidah. Otot ini mengubah bentuk dan ukuran lidah pada saat berbicara dan
menelan. Otot tersebut terdiri atas : otot longitudinalis superior, otot
longitudinalis inferior, otot transversus linguae, dan otot verticalis linguae. Untuk
menjaga agar pergerakan lidah terbatas ke arah posterior dan menjaga agar lidah
tetap pada tempatnya, lidah berhubungan langsung dengan frenulum lingual, yaitu
lipatan membran mukosa yang berada pada bagian tengah sumbu tubuh dan
terletak di permukaan bawah lidah, yang menghubungkan langsung antara lidah
dengan dasar dari rongga mulut (Tortorra et al., 2009; Marieb and Hoehn, 2010).
Pada bagian dorsum lidah (permukaan atas lidah) dan permukaan lateral
lidah, lidah ditutupi oleh papila. Papila adalah proyeksi dari lamina propria yang
ditutupi oleh epitel pipih berlapis. Sebagian dari papila memiliki kuncup perasa,
reseptor dalam proses pengecapan, sebagian yang lainnya tidak. Namun, papila
yang tidak memiliki kuncup perasa memiliki reseptor untuk sentuhan dan
berfungsi untuk menambah gaya gesekan antara lidah dan makanan, sehingga
mempermudah lidah untuk menggerakkan makanan di dalam rongga mulut.
Secara histologi (Mescher, 2010), terdapat empat jenis papila yang dapat
dikenali sampai saat ini, yaitu :
1. Papila filiformis. Papila filiformis mempunyai jumlah yang sangat banyak di
lidah. Bentuknya kerucut memanjang dan terkeratinasi, hal tersebut
menyebabkan warna keputihan atau keabuan pada lidah. Papila jenis ini tidak
mengandung kuncup perasa.
2. Papila fungiformis. Papila fungiformis mempunyai jumlah yang lebih sedikit
dibanding papila filiformis. Papila ini hanya sedikit terkeratinasi dan
berbentuk menyerupai jamur dengan dasarnya adalah jaringan ikat. Papila ini
memiliki beberapa kuncup perasa pada bagian permukaan luarnya. Papila ini
tersebar di antara papila filiformis.
3. Papila foliata. Papila ini sedikit berkembang pada orang dewasa, tetapi
mengandung lipatan-lipatan pada bagian tepi dari lidah dan mengandung
kuncup perasa.
4. Papila sirkumfalata. Papila sirkumfalata merupakan papila dengan jumlah
paling sedikit, namun memiliki ukuran papila yang paling besar dan
mengandung lebih dari setengah jumlah keseluruhan papila di lidah manusia.
Dengan ukuran satu sampai tiga milimeter, dan berjumlah tujuh sampai dua
belas buah dalam satu lidah, papila ini umumnya membentuk garis berbentuk
menyerupai huruf V dan berada di tepi dari sulkus terminalis.
Pada bagian akhir dari papila sirkumfalata, dapat dijumpai sulkus
terminalis. Sulkus terminalis merupakan sebuah lekukan melintang yang
membagi lidah menjadi dua bagian, yaitu lidah bagian rongga mulut (dua
pertiga anterior lidah) dan lidah yang terletak pada orofaring (satu pertiga
posterior lidah). Mukosa dari lidah yang terletak pada orofaring tidak
memiliki papila, namun tetap berstruktur bergelombang dikarenakan
keberadaan tonsil lingualis yang terletak di dalam mukosa lidah posterior
tersebut (Saladin, 2008; Marieb and Hoehn, 2010).


Gambar 2.3. Penampang Lidah
(Netter, 2011)

2.1.4 Gigi
Manusia memiliki dua buah perangkat gigi, yang akan tampak pada
periode kehidupan yang berbeda. Perangkat gigi yang tampak pertama pada anak-
anak disebut gigi susu atau deciduous teeth. Perangkat kedua yang muncul setelah
perangkat pertama tanggal dan akan terus digunakan sepanjang hidup, disebut
sebagai gigi permanen. Gigi susu berjumlah dua puluh empat buah yaitu : empat
buah gigi seri (insisivus), dua buah gigi taring (caninum) dan empat buah geraham
(molar) pada setiap rahang. Gigi permanen berjumlah tiga puluh dua buah yaitu :
empat buah gigi seri, dua buah gigi taring, empat buah gigi premolar, dan enam
buah gigi geraham pada setiap rahang (Seeley et al., 2008).
Gigi susu mulai tumbuh pada gusi pada usia sekitar 6 bulan, dan biasanya
mencapai satu perangkat lengkap pada usia sekitar 2 tahun. Gigi susu akan secara
bertahap tanggal selama masa kanak-kanak dan akan digantikan oleh gigi
permanen.

Gambar 2.4. Gigi Susu dan Gigi Permanen
(Tortorra et al., 2009)


Gigi melekat pada gusi (gingiva), dan yang tampak dari luar adalah bagian
mahkota dari gigi. Menurut Kerr et al. (2011), mahkota gigi mempunyai lima
buah permukaan pada setiap gigi. Kelima permukaan tersebut adalah bukal
(menghadap kearah pipi atau bibir), lingual (menghadap kearah lidah), mesial
(menghadap kearah gigi), distal (menghadap kearah gigi), dan bagian pengunyah
(oklusal untuk gigi molar dan premolar, insisal untuk insisivus, dan caninus).
Bagian yang berada dalam gingiva dan tertanam pada rahang dinamakan
bagian akar gigi. Gigi insisivus, caninus, dan premolar masing-masing memiliki
satu buah akar, walaupun gigi premolar pertama bagian atas rahang biasanya
memiliki dua buah akar. Dua buah molar pertama rahang atas memiliki tiga buah
akar, sedangkan molar yang berada dibawahnya hanya memiliki dua buah akar.
Bagian mahkota dan akar dihubungkan oleh leher gigi. Bagian terluar dari
akar dilapisi oleh jaringan ikat yang disebut cementum, yang melekat langsung
dengan ligamen periodontal. Bagian yang membentuk tubuh dari gigi disebut
dentin. Dentin mengandung banyak material kaya protein yang menyerupai
tulang. Dentin dilapisi oleh enamel pada bagian mahkota, dan mengelilingi sebuah
kavitas pulpa pusat yang mengandung banyak struktur jaringan lunak (jaringan
ikat, pembuluh darah, dan jaringan saraf) yang secara kolektif disebut pulpa.
Kavitas pulpa akan menyebar hingga ke akar, dan berubah menjadi kanal akar.
Pada bagian akhir proksimal dari setiap kanal akar, terdapat foramen apikal yang
memberikan jalan bagi pembuluh darah, saraf, dan struktur lainnya masuk ke
dalam kavitas pulpa (Seeley et al., 2008, Tortorra et al., 2009).

2.2. Flora Normal
2.2.1. Pendahuluan
Istilah flora normal menunjukkan populasi mikroorganisme yang hidup
di kulit dan membran mukosa orang normal yang sehat. Beberapa jenis bakteri
dan jamur merupakan dua jenis organisme yang termasuk ke dalam kumpulan
flora normal. Keberadaaan flora virus normal masih diragukan (Brooks et al.,
2008; Levinson, 2008).
Kulit dan membran mukosa selalu mengandung berbagai mikroorganisme
yang dapat tersusun menjadi dua kelompok, yaitu: flora residen dan flora transien.
Flora residen terdiri dari jenis mikroorganisme yang relatif tetap dan secara teratur
ditemukan di daerah tertentu pada usia tertentu; jika terganggu, flora tersebut
secara cepat akan tumbuh kembali dengan sendirinya. Flora transien terdiri dari
mikroorganisme yang nonpatogen atau secara potensial bersifat patogen yang
menempati kulit atau membran mukosa selama beberapa jam, hari, atau minggu;
berasal dari lingkungan, tidak menyebabkan penyakit, dan tidak dapat
menghidupkan dirinya sendiri secara permanen di permukaan. Anggota flora
transien secara umum memiliki makna kecil selama flora normal masih tetap utuh.
Namun, apabila flora residen terganggu, mikroorganisme transien dapat
berkolonisasi, berproliferasi dan menyebabkan penyakit (Brooks et al., 2008).

2.2.2. Peran Flora Residen
Mikroorganisme yang secara konstan ada di permukaan tubuh bersifat
komensal. Pertumbuhannya di daerah tertentu bergantung pada faktor-faktor
fisiologi, yaitu temperatur, kelembaban, dan adanya zat gizi serta zat inhibitor
tertentu. Keberadaan flora normal tersebut tidak penting bagi kehidupan, karena
hewan bebas mikroorganisme dapat hidup pada keadaan tidak adanya flora
mikroba normal (Brooks et al., 2008; Nasution, 2010).
Flora residen di daerah tertentu memainkan peranan yang nyata dalam
mempertahankan kesehatan dan fungsi normal. Anggota flora residen dalam
saluran cerna menyintesis vitamin K dan membantu absorpsi makanan. Pada
memnran mukosa dan kulit, flora residen mencegah kolonisasi patogen dan
kemungkinan terjadinya penyakit melalui interferensi bakteri. Mekanisme
gangguan interfernsi tersebut tidak jelas. Mekanisme tersebut dapat meliputi
kompetisi terhadap reseptor atau tempat pengikatan (binding sites) pada sel
pejamu, kompetisi mendapatkan makanan, saling menghambat oleh hasil
metabolik atau toksik, saling menghambat oleh bahan antibiotik atau bakteriosin,
atau dengan mekanisme lain. Supresi flora normal secara jelas menyebabkan
kekosongan lokal parsial yang cenderung diisi oleh organisme dari lingkungan
atau dari bagian tubuh yang lain. Organisme tersebut bersifat oportunistik dan
dapat menjadi patogen (Brooks dkk, 2008; Nasution, 2010).
Sebaliknya, anggota flora normal sendiri dapat menyebabkan penyakit
dalam keadaan tertentu. Organisme-organisme tersebut beradaptasi dengan cara
hidup yang noninvasif yang disebabkan oleh keterbatasan keadaan lingkungan.
J ika dipindahkan secara paksa akibat pembatasan lingkungan tersebut dan
dimasukkan ke dalam aliran darah atau jaringan, organisme tersebut dapat
menjadi patogenik. Hal tersebut tampak pada individu yang berada dalam status
imunokompromi dan sangat lemah karena suatu penyakit kronik, dimana flora
normal akan menyebabkan suatu penyakit pada tempat anatomisnya (Levinson,
2008).
Hal yang penting adalah bahwa mikroba yang tergolong flora residen
normal tidak membahayakan dan dapat menguntungkan di lokasi normalnya pada
penjamu serta pada keadaan tanpa kelainan yang menyertai. Organisme tersebut
dapat menyebabkan penyakit jika dimasukkan dalam jumlah besar dan jika
terdapat faktor predisposisi. Berikut adalah tabel mengenai jenis flora normal
yang sering ditemukan pada berbagai tempat di tubuh manusia (Kayser et al.,
2005).
Tabel 2.1. Tabel Distribusi Flora Normal Pada Manusia
Sumber : Kayser et al., 2005


2.2.3 Flora Normal Mulut dan Saluran Pernapasan Atas
Membran mukosa mulut dan faring sering steril saat lahir, tetapi dapat
terkontaminasi saat melewati jalan lahir. Dalam waktu 4-12 jam setelah lahir,
Streptococcus viridans dapat ditemukan sebagai anggota flora residen yang paling
menonjol dan tetap demikian seumur hidup. Organisme tersebut kemungkinan
berasal dari saluran pernapasan ibu dan orang yang hadir saat persalinan.
(Nasution, 2010).
Di faring dan trakea, flora normal yang serupa tumbuh sendiri, sedangkan
beberapa bakteri dalam bronkus normal. Bronkus kecil dan alveoli secara normal
adalah steril. Organisme yang dominan dalam saluran pernapasan atas terutama
faring, adalah neisseria dan streptokokus alfa-hemolitik, dan nonhemolitik.
Stafilokokus, difteroid, hemofilus, pneumokokus, mikoplasma, dan prevotella
juga ditemukan.
Infeksi mulut dan saluran pernapasan biasanya disebabkan oleh flora
oronasal campuran, termasuk anaerob. Ada beberapa penyakit dalam rongga
mulut yang disebabkan oleh flora normal, diantaranya adalah karies gigi dan
penyakit periodontal (Nester et al., 2008; Nasution, 2010).

2.3. Karies Gigi dan Penyakit Periodontal
Penyakit utama yang disebabkan oleh flora normal yang di rongga mulut
adalah karies gigi dan penyakit periodontal. Kedua penyakit tersebut merupakan
masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling penting di dunia. Karies gigi masih
merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang serius di negara berkembang,
dimana penyakit ini diderita 60-90% anak usia sekolah dan hampir keseluruhan
dari orang dewasa (Petersen et al., 2005; Nester et al., 2008).
Masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia sendiri juga masih
memerlukan perhatian khusus. Menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah
Tangga) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 2003 menyebutkan bahwa 81 persen anak usia 5 tahun mengalami karies,
dan 51 persen anak diatas 10 tahun mengalami karies yang belum mendapatkan
perawatan. Data SKRT tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi kareis gigi pada
masyarakat Indonesia adalah 90 persen. Ini merupakan indikator bagi masyarakat
Indonesia bahwa kesadaran masyarakat Indonesia masih sangat kurang terhadap
kesehatan gigi dan mulut (Herwanda dan Bahar, 2009).
Menurut The National Preventive Dentistry Program, 20% dari 60%
penderita karies yang merupakan anak-anak, merupakan anak-anak yang berasal
dari status ekonomi rendah. Sedangkan penyakit periodontal merupakan masalah
yang tersebar luas pada masyarakat terutama orang dewasa (Burt, 2005; Peng et
al., 2011).
Karies gigi merupakan suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan
larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email
dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari
substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya
terjadi kavitas. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya karies yaitu
individu yang rentan, tersedianya karbohidrat di rongga mulut yang cukup,
terbentuknya plak, dan banyaknya mikroorganisme kariogenik seperti
Streptococcus mutans (Prakash et al.,2012).

Gambar 2.5. Faktor Penyebab Karies Gigi
(http://dentalresource.org/topic54dentalcaries.html)

Steptococcus mutans merupakan penyebab utama dari karies. Nama
mutans diberikan dikarenakan seringnya transisi bentuk dari bentuk kokus
menjadi kokobasil. Sampai sekarang telah ditemukan tujuh buah spesies
Steptococcus mutans yang ditemukan pada manusia dan hewan. Sebanyak delapan
buah serotipe (a-h) telah dikenali berdasarkan susunan antigen spesifik yang
berada pada dinding sel bakteri tersebut. Diantara semua serotipe dari
Streptococcus mutans yang telah dikenali, hanya tiga buah serotipe Streptococcus
mutans yang ditemukan pada manusia yaitu serotipe c, e ,dan f (Samaranayake,
2002).

Gambar 2.6. Streptococcus mutans pada Pewarnaan Gram
(http://www.textbookofbacteriology.net/normalflora.html)

Streptococcus mutans bersama dengan beberapa bakteri jenis lain akan
berkolonisasi di permukaan luar dari gigi untuk membentuk plak. J ika plak yang
terbentuk tidak dibersihkan secara manual dengan menggunakan sikat gigi atau
secara alamiah dengan menggunakan metode pembersihan berupa saliva, asam
yang dihasilkan bakteri sebagai hasil metabolisme karbohidrat di gigi akan
menyebabkan demineralisasi dari enamel. Fisura dan celah dari permukaan gigi
adalah tempat yang paling sering terjadinya kerusakan gigi. Seiring berjalannya
waktu, karies akan menyebar hingga ke bagian dentin, yang menyebabkan
terbentuknya kavitas dari enamel dan penetrasi menuju ke bagian pulpa. J ika
karies sudah mencapai pulpa, keadaan ini disebut dengan pulpitis akut. Pada fase
akut, dimana infeksi pulpa masih terbatas, gigi menjadi sensitif terhadap perkusi,
rasa dingin dan rasa panas. Rasa nyeri di sekitar daerah infeksi akan hilang jika
stimulus yang merangsang dihilangkan (Kasper et al., 2005).
Pada saat infeksi sudah mengenai semua bagian pulpa, akan terjadi
pulpitis yang bersifat ireversibel dan akan menyebabkan nekrosis pulpa pada
akhirnya. Pada stadium akhir dari karies gigi, rasa nyeri sangat hebat pada daerah
infeksi. Rasa sakit yang dirasakan bersifat tajam dan akan bertambah buruk jika
berada dalam posisi berbaring. Ketika telah terjadi nekrosis sempurna pada gigi,
rasa nyeri akan muncul secara konstan atau intermiten, namun sensitivitas
terhadap rasa dingin akan hilang (Kasper et al., 2005).
Penyakit periodontal merupakan suatu penyakit akibat infeksi yang
mengenai jaringan yang menyokong gigi. Gigi disokong oleh gusi atau gingiva,
dan akar dari gigi akan diikat oleh ligamen periodontal. Pada penyakit
periodontal, jaringan penyokong gigi hancur. J ika bagian yang hancur adalah
bagian gusi, disebut sebagai gingivitis. Sedangkan jika hanya melibatkan jaringan
ikat dan tulang, disebut periodontitis (Cartensen et al., 2012).
Proses terjadinya penyakit periodontal dimulai secara tak kasat mata.
Proses tersebut mula-mula terjadi diatas garis gusi dan didalam sulkus gingiva.
Plak, termasuk plak yang telah termineralisasi (calculus), dapat dicegah
pembentukannya dengan menjaga kesehatan rongga mulut dan pembersihan oleh
tenaga profesional secara berkala. Inflamasi kronik akan terjadi dan menyebabkan
hiperemi yang tidak menyakitkan di bagian gingiva (gingivitis) yang biasanya
akan berdarah jika disikat. J ika tidak diperhatikan, penyakit ini akan menjadi berat
sehingga akan meyebabkan terbukanya sulkus yang telah dimineralisasi dan
destruksi dari jaringan ikat periodontal. Kantung yang terbentuk di sekeliling dari
gigi yang berisi pus dan debris (Kasper et al., 2005).
Ketika periodontium sudah rusak sepenuhnya, gigi akan menjadi longgar
dan dapat terlepas. Penyakit periodontal yang akut dan agresif sangat jarang
ditemukan dibandingkan dengan yang kronik. Tetapi jika individu stres atau
terpapar dengan patogen baru, penyakit yang sangat progresif dan bersifat
destruktif yang mengenai jaringan periodontal akan terjadi.
Kejadian karies gigi dan penyakit periodontal sebenarnya dapat
dicegah,yaitu dengan cara menjaga dan memelihara kesehatan rongga mulut. Hal
yang dapat digunakan sebagai acuan untuk memelihara kesehatan rongga mulut
akan dibahas pada bagian selanjutnya.

2.4. Pemeliharaan Kesehatan Rongga Mulut
Meskipun di beberapa negara berkembang dilaporkan sudah terjadi
perbaikan atau peningkatan kesehatan gigi mulut, namun kesehatan gigi mulut
tetap merupakan tantangan masalah kesehatan yang perlu ditanggulangi.
Setidaknya ada enam masalah yang timbul dan dihubungkan dengan masalah
kesehatan gigi. Keenam masalah tersebut adalah karies, penyakit periodontal,
halitosis, stomatitis, gangguan pada sendi temporomandibular, dan beberapa
penyakit sistemik yang seperti penyakit jantung koroner, Diabetes Mellitus, dan
pneumonia. Masalah-masalah tersebut saling terkait dan bisa timbul bersamaan
dan berdampak terhadap kualitas hidup seseorang (Pintauli and Hamada, 2008).
WHO (World Health Organization) sendiri sudah sejak tahun 1986
menyelenggarakan konferensi internasional untuk mengembangkan pendekatan
pencegahan yang radikal terhadap kesehatan umum masyarakat. Berdasarkan
pendekatan inilah, WHO Global Oral Health Program membuat upaya
peningkatan kesehatan gigi mulut masyarakat. Selain pendekatan pentingnya
pola hidup sehat , pendekatan juga ditujukan kepada pendekatan faktor risiko.
Semua pendekatan ini dititikberatkan kepada upaya pencegahan. Di Indonesia,
upaya pencegahan lebih terpusat pada karies gigi dan penyakit periodontal yang
dapat dikatakan sebagai penyakit mulut yang dapat dicegah. Kontrol plak atau
tindakan menyikat gigi merupakan kunci keberhasilan untuk mempunyai rongga
mulut yang sehat dalam upaya pencegahan dan pemeliharaan rongga mulut yang
optimal.
ADA (American Dentistry Association) merekomendasikan beberapa cara
untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Rekomendasi tersebut adalah tentang
menggosok gigi, pengunaan benang pembersih ataupun pembersih sela gigi,
rekomendasi pola hidup sehat, dan melakukan pengecekan gigi secara berkala ke
pusat perawatan gigi yang memiliki tenaga profesional yang memiliki
kemampuan memeriksa dan membersihkan gigi (ADA, 2012).
ADA merekomendasikan kepada masyarakat agar meyikat gigi sebanyak
dua kali sehari dengan menggunakan pasta gigi berfluor yang telah diakui oleh
ADA. Pada saat meyikat gigi, usahakan membersihkan seluruh permukaan gigi.
Penggunaan sikat gigi elektrik dianjurkan pada orang yang menderita artritis
sehingga sulit menggerakkan tangan. Kehigienisan sikat gigi juga penting dijaga,
dimana tidak dianjurkan menyimpan sikat gigi di tempat yang tertutup karena
dapat menyebabkan pertumbuhan kuman pada sikat gigi. Sikat gigi diganti setiap
tiga atau empat bulan, atau jika bulu sikat telah berjerumbai, karena bulu sikat
yang telah berjerubai tidak dapat membersihkan gigi dengan baik. Penggunaan
alat bantu untuk membersihkan gigi dianjurkan untuk membersihkan sela-sela
gigi yang tidak dapat dibersihkan dengan cara menggosok gigi. Alat bantu yang
dianjurkan oleh ADA adalah benang pembersih dan pembersih sela gigi. Alat
bantu ini diharapkan dapat membantu melepaskan lapisan lengket yang disebut
plak dan sisa-sisa makanan yang terperangkap di sela-sela gigi dan di bawah garis
gusi (MFMER, 2011; ADA, 2012).
Faktor diet juga berpengaruh pada kebersihan rongga mulut. ADA
merekomendasikan diet yang seimbang dan pembatasan makan makanan ringan
diantara waktu makan. Selain itu, melakukan pemeriksaan kesehatan gigi pada
pusat kesehatan yang memiliki tenaga terlatih juga merupakan salah satu upaya
menjaga kesehatan gigi dan mulut. Pemeriksaan rutin yang direkomendasikan
untuk orang dewasa adalah kira-kira tiga bulan sampai dua tahun sekali. Makin
sehat kesehatan gigi dan mulut seseorang, maka makin lama waktu selang antara
satu pemeriksaan rutin dengan pemeriksaan rutin lainnya. Namun, jika ditemukan
kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut yang buruk, jarak antar pemeriksaan
rutin akan semakin sempit (NHS, 2011).
Pembersihan plak supragingival setiap hari merupakan faktor utama dalam
mencegah kejadian karies, gingivitis dan periodontitis. Cara umum untuk
menghilangkan plak bakterial tersebut adalah dengan cara melepaskan biofilm
secara manual dengan menggunakan sikat gigi dan penggunaan benang gigi.
Namun, beberapa studi menyatakan bahwa waktu menyikat gigi rata-rata pada
orang dewasa kurang untuk dapat kebersihan rongga mulut yang baik. Informasi
lainnya menunjukkan bahwa hanya 2-10% dari pasien yang menggunakan benang
gigi unutk membersihkan sela-sela gigi. Selain hal tersebut, sebuah studi
menyatakan bahwa kepatuhan pasien akan berkurang seiring berjalannya waktu
walaupun telah diberikan edukasi sebelumnya (Marchetti et al., 2011).
Banyak studi menunjukkan bahwa ternyata obat kumur efektif dan
berguna untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Obat kumur digunakan dengan
cara dikumur dalam rongga mulut dengan bantuan otot-otot pipi, bibir, dan lidah
sehingga partikel dan debris akan lepas dari rongga mulut. Obat kumur yang
mengandung antimikroba efektif terhadap mikroba yang berada pada permukaan
gingiva dan mukosa rongga mulut (Daniel et al., 2008; Marchetti et al., 2011).
Banyak produk obat kumur yang mengandung alkohol sebagai komposisi
utama. Alkohol dalam obat kumur digunakan sebagai pelarut dari perasa yang
digunakan untuk menutupi rasa dari bahan aktif yang terkandung di dalamnya.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pasien dengan xerostomia, ketergantungan
alkohol, atau jaringan yang senstif terhadap alkohol harus menggunakan obat
kumur yang bebas alkohol. Menurut Haq et al. (2009), alkohol dalam obat kumur
tidak meningkatkan efektivitas dari kerja obat kumur tersebut. Alkohol justru
memiliki kecenderungan menyebabkan efek samping seperti rasa terbakar pada
mulut karena alkohol dapat mengaktifkan vanilloid receptor-1, agreviasi dari
xerostomia, dan halitosis pada sebagian kasus. Alkohol juga diduga memiliki
peran dalam menyebabkan kanker pada rongga mulut karena bersifat iritatif pada
epitel. Namun, menurut ADA dan FDA (Food and Drug Administration), data
yang didapatkan masih belum cukup untuk membuktikan hubungan antara
penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol dengan kejadian kanker mulut
(Daniel et al., 2008; Dental Guide, 2012).
Ada 3 jenis obat kumur yang tersedia dipasaran. Yang pertama adalah obat
kumur yang bersifat kosmetik, dimana obat kumur tersebut hanya digunakan
untuk menghilangkan bau mulut. Yang kedua adalah obat kumur antiseptik. obat
kumur antiseptik banyak dipakai pada bidang kedokteran gigi sebagai terapi unutk
berbagai kondisi klinis seperti mengurangi pembentukan plak gigi dan
mengurangi kejadian kerusakan gigi. Sedangkan yang terakhir adalah obat kumur
yang mengandung fluor. Obat kumur jenis ini digunakan oleh orang-orang dengan
risiko kerusakan gigi. Namun, obat kumur jenis ini jarang digunakan karena
sebagian besar fluor yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan gigi telah
didapatkan dari menggosok gigi dengan pasta gigi yang mengandung fluor. ADA
dan FDA merekomendasikan dua jenis obat kumur yang telah diterima oleh kedua
organisasi tersebut. Kedua jenis obat kumur tersebut adalah obat kumur yang
mengandung minyak esensial dan obat kumur dengan kandungan aktif
klorheksidin. Kedua obat kumur tersebut biasanya digunakan pada keadaan
gingivitis dan untuk mengontrol dan mengobati biofilm plak (Daniel et al., 2008;
Dental Guide, 2012).

2.5. Klorheksidin Glukonat
Klorheksidin glukonat merupakan suatu disinfektan dan suatu agen
antiinfektif yang juga digunakan sebagai obat kumur untuk mencegah
terbentuknya plak pada gigi. Klorheksidin glukonat memiliki rumus molekul
C
34
H
54
Cl
2
N
10
O
14
, dengan berat molekul 897.7572. Klorheksidin memiliki titik
didih pada suhu 1121.4C dalam tekanan 760 mmHg (DrugBank, 2012;
ChemNet, 2012).


Gambar 2.7. Struktur Kimia Klorheksidin Glukonat
(DailyMed, 2010)

Klorheksidin memiliki beberapa senyawa berbentuk garam, yaitu
klorheksidin hidroklorida, klorheksidin asetat, dan klorheksidin glukonat. Salah
satu dari ketiga senyawa tersebut yang digunakan sebagai obat kumur adalah
klorheksidin glukonat. Klorheksidin sendiri memiliki nama IUPAC (International
Union of Pure and Applied Chemistry) N-(4-chlorophenyl)-1-3-(6-{N-[3-(4-
chlorophenyl)carbamimidamidomethanimidoyl]amino}hexyl)carbamimidamidom
ethanimidamide, sedangkan klorheksidin glukonat memiliki nama 1,1-
hexamethylenebis [5-(p-chlorophenyl)biguanide] di-D-gluconate (DailyMed,
2010; DrugBank, 2012).
Klorheksidin bekerja sebagai agen antimikrobial topikal dikarenakan
bermuatan positif. Ketika klorheksidin yang bersifat sebagai kation bereaksi
dengan sel bakteri yang bermuatan negatif, akan terjadi ikatan antara keduanya.
Setelah klorheksidin terabsorpsi ke dalam dinding sel dari organisme tersebut,
klorheksidin akan menghancurkan integritas dari membran sel dari organisme
tersebut. Akibat dari integritas membran sel yang terganggu, maka terjadi
kebocoran komponen-komponen intraseluler dari organisme tersebut. Plak,
mukosa oral, dan hidroksiapatit akan sedikit menyerap klorheksidin sehingga
secara tidak langsung berperan sebagai reservoir yang akan mensekresi
klorheksidin secara lambat (DrugBank, 2012; Thomas, 2011).
Klorheksidin diabsorpsi secara sangat buruk pada saluran gastrointestinal.
Tidak ada data yang jelas mengenai ikatan dengan protein maupun metabolisme
dari klorheksidin. Ekskresi klorheksidin terutama melalui feses.
Klorheksidin diindikasikan untuk mencegah karies gigi, dekontaminasi
bagian orofaring bagi pasien-pasien yang sangat sakit, higienitas pelayan
kesehatan, pembersih kulit secara umum, dan pada saat persiapan dan perawatan
tempat kateterisasi (DrugBank, 2012). Menurut J arral et al. (2011), klorheksidin
terbukti lebih efektif dibandingkan dengan povidon iodin sebagai pencuci tangan
para dokter bedah. Klorheksidin mampu menurunkan jumlah koloni secara
signifikan dan mampu menurunkan angka kejadian surgical site infection (SSI)
pada proses pembedahan kontaminasi-bersih. Selain itu, klorheksidin juga terbukti
efektif sebagai agen antimikroba pada keratitis yang disebabkan Acanthamoeba,
dimana 83% dari 6 mata pasien mengalami penyembuhan yang lebih cepat
dibanding dengan kelompok kontrol (TOXNET, 2004).
Menurut Zorko dan J erala (2008), klorheksidin memiliki kemampuan
untuk berikatan dan menetralisasi lipopolisakarida (LPS) bakteri. Klorheksidin
merupakan salah satu produk antiseptik yang paling banyak digunakan, baik
sebagai pencuci tangan maupun obat kumur. Klorheksidin bersifat aktif terhadap
berbagai jenis bakteri, baik Gram positif maupun Gram negatif dan kompatibel
bila digunakan bersama dengan berbagai jenis antibiotika.
Menurut Ireland (2007), klorheksidin glukonat merupakan obat kumur
yang paling efektif dalam menurunkan perkembangan dari plak. Ini menyebabkan
klorheksidin menjadi salah satu obat standar yang diresepkan untuk berbagai
penyakit mulut, termasuk segala bentuk ulserasi pada rongga mulut dan juga
untuk menurukan kejadian gingivitis.
Walaupun klorheksidin glukonat sangat efektif dalam menurunkan jumlah
bakteri pada rongga mulut, klorheksidin glukonat juga memiliki efek samping
yang cukup berat. Dua efek samping yang paling sering dijumpai adalah proses
kolorasi (pewarnaan) pada gigi dan perubahan dari rasa suatu zat. Oleh sebab itu,
produk yang mengandung klorheksidin glukonat hanya dianjurkan pemakaiannya
dalam jangka waktu 30 hari setiap 3 bulan (Cappelli and Mobley, 2008).

2.6. Povidon Iodin
Povidon iodin ialah suatu iodofor yang kompleks antara yodium dengan
polivinil pirolidon.Povidon iodine larut dalam air, stabil secara kimia dan larut
dalam pirolidin polivinil polimer. Povidon iodin memiliki rumus molekul
C
6
H
9
I
2
NO dan memiliki nama IUPAC 1-ethenylpyrrolidin-2-one; molecular
iodine. (Kurniati, 2008; PubChem, 2012; Chembase, 2012).

Gambar2.8. Struktur Kimia Povidon Iodin
(Drugs, 2012)

Iodin merupakan salah satu antiseptik paling tua. Preparat iodin yang
terdahulu menyebabkan nyeri lokal dan reaksi jaringan. Povidon iodin sendiri
telah dikenal sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Povidon iodin yang mengandung
10% polivinilpirolidon iodin merupakan yang produk yang paling banyak
diproduksi secara komersil oleh pabrik-pabrik (Khan, 2006).
Povidon iodin memiliki efek bakterisidal dan efektif untuk berbagai jenis
bakteri, jamur, maupun spora. Efek bakterisidal dan fungisidal dari povidon iodin
berlangsung selama beberapa detik. Povidon iodin diduga memiliki cara kerja
dengan menginaktivasi substrat vital sitoplasma, yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup dari bakteri.
Povidon iodin dikontraindikasikan untuk pasien dengan kelainan fungsi
tiroid, hipersensitif terhadap povidon iodin, dan juga wanita dalam masa hamil
dan menyusui (Samaranayake, 2002).

You might also like