Professional Documents
Culture Documents
http://subhan-nurdin.blogspot.com
BAB VIII
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
1
QS. 39: 18
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir. 2
Masalah ini pernah juga dilontarkan oleh seorang pembaca majalah
Media Da’wah yang mempertanyakan validitas hukum disertai dalil-
dalil yang dapat menghilangkan keraguannya, apalagi bila dikaji dari
dampak yang ditimbulkan sehubungan dengan “legalisasi” hukum
kawin hamil ini.3
Merujuk pada penjelasan di atas, pengertian kawin hamil dalam
konteks ini ialah menikahkan atau me-ngawinkan wanita yang sedang
hamil hasil dari zina dengan pria yang menzinahinya. Pada buku
tersebut memang tidak disinggung istilah zina, tetapi menggunakan
bahasa yang diperhalus yaitu “hamil diluar nikah.” Kedua istilah itu
bermaksud sama.
Adapun definisi zina yang telah disepakati para Ulama (Ijma’) ialah
setiap senggama yang terjadi di luar pernikahan yang sah atau
syubhat nikah dan bukan milkul yamien (Pemilikan dalam hal
perbudakan).4
Sehubungan dengan itu, ada baiknya bila dijelaskan terlebih dahulu
hal zina dan hikmah pengharamannya supaya dapat diambil ibrahnya
dari larangan Allah SWT tentang zina ini.
Zina telah diharamkan Allah SWT dalam beberapa firman-Nya, di
antaranya:
ً سِبيل
َ َساء
َ َة و ِ ن َفا
َ ح
ً ش َ ه
َ كا ُ ّ وَل َ ت َْقَرُبوا الّزَنا إ ِن
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” 5
Ayat ini melarang perbuatan yang bisa mendekatkan pada zina atau
perbuatan yang dapat membawa nafsunya melakukan perbuatan zina,
seperti berduaan (Khalwat) antara pria dan wanita yang bukan
muhrim, pergaulan bebas, mengumbar hawa nafsu dan pamer aurat,
serta jenis perbuatan lainnya. Secara mantuq (tekstual) ayat ini
memang tidak melarang langsung perbuatan zina. Pengharaman zina
ini diambil dari mafhum ayat di atas yaitu, mendekati saja tidak boleh,
apalagi melakukannya.
Setiap larangan Allah SWT mengandung dampak yang merusak jiwa
maupun masyarakat sekitarnya, karena tujuan Allah menurunkan
syari’at Islam adalah untuk kemaslahatan manusia sendiri. Mengenai
dampak negatif dari zina ini, Rasulullah SAW pernah bersabda;
”Jagalah dirimu dari perbuatan zina. Dalam zina terdapat enam
jenis kebinasan dan kerusakan, tiga di dunia dan tiga di Akhirat.
Adapun kebinasaan di dunia yaitu, (1) Merusak nama baiknya, (2)
Menjadikan hidupnya sengsara, dan (3) Memendekan umur. Adapun
2
hlm. 32
3
lihat Media Da’wah No. 221, Nop. 1992, Surat Pembaca
4
Ensiklopedia Ijmak: 125, lihat at-Ta’rifat, az-Zurjani: 115, Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni II: 8
5
QS. 17: 32
bahaya di Akhirat yaitu; (1) Ditimpa murka Allah, (2) Mendapat
perhitungan buruk, serta (3) Kekal di neraka.” 6
Imam Ar-Raghib menyatakan dalam kitabnya
6
Hadits dari Hudzaifah
7
QS. 24: 2
8
HR. Ahmad, Al-Arba’ah dan Muslim dari Ubadah Bin Shamit
Sehubungan dengan keputusan dalam buku “Kompilasi hukum
Islam di Indonesia,” ada baiknya bila kita mengkaji ulang masalah
kawin hamil ini sebagai upaya kita memahami keluasan ilmu Islam
disamping menambah keyakinan kita dalam mengamalkan hukum
Allah SWT yang sudah jelas adanya.
Mengenai kawin hamil, memang tidak ada dalil yang sharih (jelas
dan tegas) melarang atau membolehkan, sehingga para ulama dalam
hal ini berbeda pendapat, antara lain
9
Tafsir Ayat Ahkam II: 50
10
Al-Mughni, VII: 515
11
hlm, 477
12
lihat juga, “Fatwa Sya’rawi, bab VI, dengan judul “Laki-laki berzina dengan seorang perempuan kemudian dikawini”,
hlm. 109
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang
berzina atau wanita yang musyrik, dan wanita yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min.”
13
13
QS. 24: 3
14
QS. 24: 2
15
lihat QS. 2: 195
16
QS. 65: 4
Rasulullah SAW menyuruh untuk memisahkan keduanya (cerai)” (HR.
Ibnu Musayyab).
4. Beberapa qaidah UshulFiqh menyatakan antara lain :
(1)“Maa lam yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu” (perkara yang tidak
dapat dilakukan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya). Dari
kaidah ini bisa dipahami bahwa bila umat Islam belum mampu
melaksanakan had zina secara sempurna, maka jangan
meninggalkan seluruh had itu, tetapi jalankanlah mana yang
mungkin untuk dilaksanakan. Misalnya, hukuman pengasingan
selama setahun (penjara?) atau mempertontonkan cela mereka
bahwa telah berbuat zina sehingga mereka malu atas
perbuatannya, atau menunggu wanita itu melahirkan agar lebih
selamat dan sesuai dengan dalil yang sharih. (lihat Soal jawab A.
Hassan III : 1059).
(2)“Daarul mafasid muqodamun ‘alaa jalbil mashalih” (menghindari
dampak negatif lebih diutamakan daripada memperoleh
kebaikannya). Maksudnya, keputusan yang akan diambil harus lebih
mempetimbangkan dampak negatifnya dulu daripada manfaatnya.
Misalnya keputusan kawin hamil tersebut dapat mendatangkan
madharat yang lebih banyak daripada manfaatnya di antaranya :
1) Perzinahan dipandang remeh dan mudah penyelesaianya.
2) Menguragi wibawa hukum zina dengan adanya alternatif kawin
hamil yang dilegalisasi oleh pihak yang menjadi kepercayaan
masyarakat.
3) Secara tidak langsung akan menafikan keberadaan had zina berupa
dera seratus kali dan pengasingan atau rajam, sehingga
memandang kawin hamil merupakan alternatif bagi pasangan yang
melakukan zina, bukan lagi had-had tersebut.
Aqad nikah yang sah ialah aqad yang memenuhi syarat dan
rukunnya, yaitu Ijab dan Qabul, dua orang saksi yang adil dan mahar
(mas kawin) dari pria serta ridla antara calon suami dan istri. Syarat
lainnya ialah, keduanya bukan mahram dan wanita tersebut bukan istri
orang lain, dan tidak dalam masa iddah dari orang lain.
Maka dalam hal ini terdapat beberapa hukum menurut kasusnya
masing-masing :
1. Pria dan wanita berzina dan wanitanya hamil sebelum dinikahkan,
maka tunggulah sampai melahirkan kemudian baru mereka
dinikahkan jika bersedia menikah, seperti kasus yang terjadi pada
masa Umar.
2. Pria dan wanita berzina dan wanitanya hamil. Jika ia telah terlanjur
menikahi wanita yang di-zinahinya, maka nikahnya sah, karena
sudah jelas kandungannya tersebut miliknya, dan tidak berlaku
masa iddah dari orang lain serta tidak perlu aqad nikah baru. Hal ini
sesuai dengan kasus yang ditanyakan kepada Ibnu Abbas.
3. Pria dan wanita berzina, dan wanitanya hamil. Jika ada pria lain
yang akan menikahinya, maka tunggulah sampai melahirkan,
karena berlaku masa iddah dari orang lain.
4. Jika terlanjur menikahkan wanita hamil dengan pria yang tidak
menghamilinya, maka nikahnya fasakh (batal) dan berlaku masa
iddah, sebagaimana tindakan Rasulullah SAW.