You are on page 1of 13

Asuhan Keperawatan untuk BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

Kamis, 19 September 2013




Askep BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

1. Pengertian

BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat.
Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena
kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar
periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak).
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul
surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma
prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra
pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong,
Wim de, 1998).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria
lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000,
hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars
Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
(Poernomo, 2000, hal 74).


2. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan terjadinyaBPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjarprostat.
5. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan
(Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel
transit (Roger Kirby, 1994 : 38).

3. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Urogenital
I. Uretra

Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses
miksi.
Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra
diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli
dan uretra, dan sfingter uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior
dan posterior. Pada saat buli-buli penuh sfingter uretra interna akan terbuka dengan
sendirinya karena dindingnya terdiri atas otot polos yang disarafi oleh sistem
otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah
sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan
tetap tertutup pada saat menahan kencing.

Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang uretra
wanita 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa 23-25 cm. Perbedaan panjang
inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi
pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian
uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea.

Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu benjolan verumontanum,
dan disebelah kranial dan kaudal dari veromontanum ini terdapat krista uretralis.
Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir
kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di
dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.

Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare dan
meatus uretra eksterna.

Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi
dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma
urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar
parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
II. Kelenjar Postat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung
kemih, di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal.
335 ). Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan
beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh
duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.

Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam
beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik
sfingter dan anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)

Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk
kuboid sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas
prostat dan rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan
sekresi prostat yang membentuk bagian besar dari cairan semen untuk
tranpor spermatozoa. Asinus kelenjar normal sering mengandung hasil
sekresi yang terkumpul berbentuk bulat yang disebut korpora amilasea.
Asinus dikelilingi oleh stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah
ke kelenjar prostat berasal dari arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan
rectum tengah. Vena prostat mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling
kelenjar dan kemudian ke vena iliaka interna.

Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu
komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus
sekretoriusmuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama
cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan + 25 % dari
volume ejakulat.

Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker
ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih. Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang
keras dan licin melalui pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar saat
remaja dan mencapai ukuran optimal pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada
banyak laki-laki, ukurannya terus bertambah seiring pertambahan usia. Saat
berusia 70 tahun, dua pertiga dari semua laki-laki mengalami pembesaran
prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada mikturisi dengan menjepit
uretra sehingga mengganggu perkemihan.


4. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen
pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan
ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan
serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok
yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara
serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu
permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa
belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga
sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat
dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia
dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)



5. Manifestasi Klinik

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
di luar saluran kemih.

I. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms
(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

Gejala iritatif meliputi:
I. (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
II. (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
III. (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
IV. (disuria).nyeri pada saat miksi

Gejala obstruktif meliputi:
V. rasa tidak lampias sehabis miksi.
VI. (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
VII. (straining) harus mengejan
VIII. (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang
yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah
bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara
subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
II. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas,
berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang
(yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi
gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis,
foetoruremik dan neuropati perifer.
III. Gejala di luar saluran kemih

Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis
dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal
(Poernomo, 2000, hal 77 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
IV. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih
tua.

Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam
empat (4) derajat gradiasi sebagai berikut :
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urine
I
II
III
IV
Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba.
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah
dicapai.
Batas atas prostat tidak dapat diraba
< 50 ml
50 100 ml
> 100 ml
Retensi urine total
V. Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH,
mempunyai tanda dan gejala:

1. Hemorogi
. Hematuri
I. Peningkatan nadi
II. Tekanan darah menurun
III. Gelisah
IV. Kulit lembab
V. Temperatur dingin

2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat

3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
VI. bingung
VII. agitasi
VIII. kulit lembab
IX. anoreksia
X. mual
XI. muntah


6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu
melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak
diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).


7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin
dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:

a. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi,
hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.

b. Medikamentosa

Mengharnbat adrenoreseptor
Obat anti androgen
Penghambat enzim -2 reduktase
Fisioterapi

c. Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,
infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis jenis pembedahan:

1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi
atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

2) Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.

3) Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

4) Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum
dan rektum.

5) Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

d. Terapi Invasif Minimal

1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar
prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)

3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)


8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada
pasien dengan BPH adalah :

a. Laboratorium

1). Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.

2). Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pencitraan

1). Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.

2). IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

4). Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.



Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)


A. Pengkajian

I. Data subyektif :
I. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
II. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
III. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
IV. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
II. Data Obyektif :
. Terdapat luka insisi
I. Takikardi
II. Gelisah
III. Tekanan darah meningkat
IV. Ekspresi w ajah ketakutan
V. Terpasang kateter

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

I. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
II. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
III. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

C. Intervensi

I. Diagnosa Keperawatan 1. :
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan
derajat kenyamanan secara adekuat.

Kriteria hasil :
I. Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
II. Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

Intervensi :
III. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
IV. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus
serta penghilang nyeri.
V. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
VI. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
VII. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen
tegang)
VIII. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
IX. Lakukan perawatan aseptik terapeutik
X. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

II. Diagnosa Keperawatan 2. :
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat
lanjutan .

Kriteria hasil :
. Klien akan melakukan perubahan perilaku.
I. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
II. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan
kebutuhan berobat lanjutan.

Intervensi :
III. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.
IV. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6
minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
V. Pemasukan cairan sekurangkurangnya 2500-3000 ml/hari.
VI. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
VII. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

III. Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

Kriteria hasil :
. Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
I. Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
II. Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

Intervensi :
III. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi
kebisingan.
IV. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
V. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi
nyeri (analgesik).



Daftar Pustaka

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya,
Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University
Press. Surabaya

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

You might also like