You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis
dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung
pada lokasi tubuh. Kulit dapat dengan mudah dilihat dan diraba, hidup, dan
menjamin kelangsungan hidup,. Kulit pun menyokong penampilan dan
kepribadian seseorang. Dengan demikian kulit pada manusia mempunyai peranan
yang sangat penting.
Dermatitis merupakan peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap pengaruh factor eksogen atau factor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi poliformik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda poliformik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis. Atopik berasal dari kata atopi yaitu istilah yang dipakai untuk
sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan
dermatitis atopic.
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai
gatal, yang berhubungan dengan atopi.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Dermatitis Atopik ?

1.3 Tujuan Penulisan
Dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada dermatitis atopik




BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian
Dermatitis atopik merupakan kelainan hipersensitivitas segera (immediate
hypersensitivity) tipe 1 (Keperawatan Medical-Bedah Volume 3, 2001:1775).
Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan karena faktor
alergen dengan ditandai adanya erupsi pada kulit makulo papuler dengan
kemerahan, gatal, lesi, kulit kering, dan adanya eksudasi (Pengantar Ilmu
Keperawatan Anak,2006: hal.137).
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi
dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor
herediter dan lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif dengan gejala
eritema, papula, vesikula, krusta, skauma dan pruritis yang hebat. Bila residif
biasanya disertai infeksi, atau sebagai akibat alergi, faktor psikogenik, atau akibat
bahan kimia atau iritan (Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi 2, 2010: hal 234)
Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan
penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai
kecenderungan untuk menderita asma, rinitis atau keduanya di kemudian hari
yang dikenal sebagai allergic march. Walaupun demikian, istilah dermatitis
atopik tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi
antigen dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik,
eksema dermatitis, prurigo besnier, dan neurodermatitis.
Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan di Bristol
pada anak < 5 tahun sebesar 3,1 % dan prevelensi DA pada anak meningkat 5-
10% pada 20-30 tahun terakhir. Diduga peningkatan prevalensi ini berasal dari
faktor lingkungan, seperti bahan kimia industri, makanan olahan, atau benda asing
lainya. Ada dugaan bahwa peningkatan ini juga disebabkan perbaikan prosedur
diagnosis dan pengumpulan data.

2.2 Etiologi
a) Faktor Genetik, terdapat riwayat stigmata atopi berupa asma bronchial,
rinitis alergik, konjungtivitis alergik, dan dermatitis atopic dalam
keluarganya.
b) Faktor Imunologik, pada penderita ditemukan peningkatan jumlah IgE
dalam serum.
c) Faktor Psikologik, seperti stress emosional dapat memperburuk dermatitis
atopik.
d) Faktor pencetus yang dapat memperburuk dermatitis atopik (makanan,
inhalan, dan alergen lain, kelembaban rendah, keringat berlebih,
penggunaan bahan iritasi)

Faktor-faktor Pencetus
1. Makanan
Berdasarkan hasil double blin placebo controlled food chalange
(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat
mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi
makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE
spesifik positif terhadap berbagai macam makanan. Walaupun demikian
uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa
penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu iji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut
untuk menentukan kepastiannya.
2. Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat leat kontak, yang dapat
dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat
inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR),
dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita DA mengandung
IgE spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya 42% pada penderita
asma di amerika serikat. Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa
diakibatkan oleh alergen hirup lainya seperti bulu binatang rumah tangga,
jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim.


3. I nfeksi Kulit
Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit oleh
kuman staphylococcus aureus, virus dan jamur,. Staphylococcus dapat
ditemukan pada 90% lesi penderita DA dan jumlah koloni bisa mencapai
10
7
koloni/cm
2
pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman
staphylococcus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai
superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnnya
melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita DA dan disertai infeksi
harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman staphylococcus dan
steroid topikal.

2.3 Patofisiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti. Gambaran klinis yang muncul
diakibatkan oleh kerja sama berbagai faktor konstitusional dan faktor pencetus.
Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma
bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik dalam
keluarganya. Keadaan atopi ini diturunkan, mungkin tidak di ekspresikan oleh gen
tunggal, tetapi oleh banyak gen (polygenic). Pada penderita dermatitis atopik,
ditemukan peningkatan jumlah IgE di dalam serum. Antigen akan ditangkap oleh
fagosit kemudian akan dipresentasikan ke sel T
2
Helper (Sel Th
2
) . Sel Th
2
akan
memproduksi Sitokin kemudian mengaktifkan seL-sel B untuk tumbuh dan
berdiferensiasi sehingga menghasilkan Antibodi IgE. IgE menempel di sel mast,
lalu melepaskan mediator kimia berupa Histamin. Histamin dianggap sebagai zat
penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat
kemotaksis dan menekan produksi sel T sehingga terjadi peningkatan IgE yang
akan menyebabkan pruritus (rasa gatal) pada penderita. Sel mast akan meningkat
pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan
histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa.
Kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin karena
garukan akibat gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik
kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat juga
akan menurun pada 80% penderita dermatitis atopik, akibat menurunnya jumlah
limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD8+) terhadap
limfosit T helper (CD4+) meningkat sehingga berakibat meningkatnya kerawanan
(suseptibilitas) terhadap infeksi virus, bakteri dan jamur, lalu menimbulkan
sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1)
Rasa gatal (pruritus) dan reaktivitas kulit yang kuat merupakan tanda penting
pada dermatitis atopik. Pruritus dapat timbul karena faktor intrinsik kulit, yaitu
ambang gatal yang rendah. Eksaserbasi pruritus timbul disebabkan oleh berbagai
macam faktor pencetus yang akan memperburuk dermatitis atopik, antara lain :
Makanan, inhalan berbagai alergen lain (seperti debu, kapuk, bulu
binatang, serbuk sari, karpet, boneka berbulu). Anak dengan bawaan atopi
lebih mudah bereaksi terhadap alergen tsb dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe 1
Kelembaban rendah sehingga menyebabkan kulit menjadi kering karena
ada penurunan kapasitas pengikatan air, kehilangan air yang tinggi di
transepidermal, dan penurunan isi air. Pada bagian kehilangan air
mengalami kekeringan yang lebih lanjut dan peretakan dari kulit, menjadi
lebih gatal.
Keringat berlebih, disebabkan lingkungan yang bersuhu panas/dingin dan
kelembaban tinggi atau rendah, sinar matahari.
Penggunaan bahan iritan, seperti wol, sabun, deterjen, dll akan memicu
terjadinya pruritus pada kulit.

Faktor psikologik juga berpengaruh pada dermatitis atopik. Factor psikologik ini
juga merupakan factor pencetus yang dapat memperburuk dermatitis atopik.
Misalnya saja seseorang yang stress emosional, dapat menimbulkan respons gatal
sehingga menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. Karena stress, tubuh penderita
akan terpajan oleh alergen yang sama. Kemudian timbul sensitisasi terhadap
reaksi hipersensitivitas tipe 1, sehingga terjadi peningkatan IgE dalam jumlah
yang lebih besar. Maka dari itulah akan timbul infeksi sekunder yang dapat
memperburuk dermatitis atopik.

2.3 Patogenesis
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritis pada DA. Tanpa pruritis diagnosis DA tidak
dapat di tegakkan. Rasa gatal dan reaksi nyeri sama-sama memiliki reseptor di
taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal
sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara
imunologik dan non imunologik.
Reaksi Imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya
seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak
dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di
dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut
dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan
semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopik.
Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan
pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut
ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi, sedangkan pada DA yang
kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF
(granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi
dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi
hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi
hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA,
akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T
sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat
kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien,
prostaglandin dan sebagainya. Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-
a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan
meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema.
Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai
afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI
pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit
Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan
Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.

Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya
faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat
oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang
berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal
menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.

2.4 Manifestasi Klinis
Gejala awal berupa eritema, papula, vesikel, krusta, skuama, dan pruritis.
Perubahan lain akibat dermatitis atopik adalah perubahan pigmentasi dan erosi.
Gejala klinis lainya bervariasi menurut usia, yang terdiri dari 3 bentuk yaitu:
a) Bentuk infantil
b) Bentuk anak
c) Bentuk dewasa

Bentuk infantil
Dermatitis atopik pada bentuk infantil (bayi):
a. Berbentuk dermatitis aktif eksudatif dengan predileksi daerah muka
terutama pipi dan daerah ektensor ekstremitas
b. Biasanya timbul pada usia 2 bulan dan berlangsung sampai usia 2 tahun
c. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih muda, sedangkan
kelainan pada ekstensor timbul pada bayi yang sudah merangkak
d. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta
garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder
e. Gatal merupakan gejala yang mencolok dan mengakibatkan bayi gelisah
serta rewel dengan tidur yang terganggu. Pada sebagaian penderita bisa
disertai infeksi bakteri maupun jamur.
Bentuk anak
Dermatitis atopik pada bentuk anak, ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih
bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan,
kaki, dan periorbita.
Bentuk dewasa
DA bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi di
daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas
Stigmata pada dermatitis atopik
Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
White dermatographism
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-
15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih
dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terdapat perubahan suhu pada penderita DA. Apabila
ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan
pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal.
Lipatan telapak tangan
Terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal
tersebut bukan merupakan tanda khas untuk DA.
Garis Morgan atau Dennie
Terdapat lipatan ekstra di kulit bawah mata.
Sindrom buffed-nail
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat gatal.
Allergic shiner
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan
berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan
peningkatan timbunan melanin.
Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul
folikular hiperkeratotik yang disebut keratotis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea
berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air
dan xerosis, terutama pada musim panas.
Delayed blanch
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan
eritema. Pada penderita atopi akan terjadi aritema ringan dengan delayed blanch.
Hal ini disebabkan oleh vasokontriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.
Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah.
Gatal dan garukan berlebih
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan
gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA gatal dapat bertahan
selama 45 menit.

Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim belum
difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit penderita DA. Pada
daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim panas berpengaruh buruk,
sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan berpengaruh baik pada kulit
penderita DA.

2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan ELISA, untuk menilai :
Imunoglobulin
IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada penderita
DA. 7% penderita DA mempunyai kadar IgA serum yang rendah, dan defisiensi
IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6 bulan. Kadar IgE meningkat pada
80-90% penderita Da dan lebih tinggi lagi bila sel asma dan rinitis alergika.
Tinggi rendahnya kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat ringannay
penyakit, dan tinggi rendahnya kadar IgE tidak mengalami fluktuasi baik pada
saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat pengobatan prednisone atau
azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi remisi.

Leukosit
Limfosit
Jumlah limfosit absolute penderita alergi dalam batas normal, baik pada asma,
rhinitis alergik, maupun pada DA. Walaupun demikian pada beberapa penderita
DA berat, dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B.

Eosinofil
Kadar eosinofil pada penderita DA sering meningkat. Peningkatan ini seiring
dengan meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya penyakit.

Leukosit polimorfonuklear (PMN)
Dari hasil uji nitro blue tetrazolium (NBT) ternyata jumlah PMN biasanya dalam
batas normal.

Komplemen
Pada penderita DA kadar komplemen biasanya normal atau sedikit meningkat.

Bakteriologi
Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri pathogen, seperti
Staphylococcus aureus, walaupun tanpa gejala klinis infeksi.
Uji kulit dan provokasi
Diagnosis DA ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Untuk mencari
penyebab timbulnya DA harus disertai anamesis yang teliti dan bila perlu dengan
uji kulit serta uji eliminasi dan provokasi. Korelasi uji kulit hanya baik hasilnya
bila penyebabnya allergen hirup. Untuk makanan dianjurkan dengan uji eliminasi
dan provokasi. Reaksi pustule terhadap 5% nikel sulfat yang diberikan dengan uji
temple dianggap karakteristik untuk DA oleh beberapa pengamat. Pathogenesis
reaksi pustule nikel fosfat ini belum diketahui walaupun data menunjukkan reaksi
iritan primer.
Prick test/ uji tusuk
Pasien diduga menderita alergi makanan, juga diperiksa apakah pasien alergi
t er hadap al er gen hi r up, kar ena i t u pr i ck t es t dapat di l akukan
s ebagai pemer i ks aan penunjang untuk mengetahui penyebab
timbulnya DA (Dermatitis Atopik) pada pasien i ni , dengan
menggunakan eks t r ak al er gen yang ki r a - ki r a ada di l i ngkungan
pas i en, mi s al nya al er gen hi r up s eper t i t ungau, kapuk, debu
r umah, bul u kuci ng, t epung s ar i rumput; atau alergen makanan seperti
susu dan telur. Bila indurasi >6 mm pada usia <2 tahun akan memiliki
korelasi yang baik dengan uji DBPCFC.

Uji Eliminasi/Provokasi
Merupakan gold standart dar i di agnos i s al er gi makanan. Uj i
yang l azi m di gunakan adalah DBPCFC (double blind placebo control food
challenge). Orang tua mencatat diet makanan, gejala yang timbul, dan
obat yang diberikan kepada anak s el ama 2 mi nggu. Set el ah i t u
di eval uas i ol eh dokt er , dan mungki n di t emukan makanan yang
dicurigai, kemudian makanan t er s ebut di el i mi nas i dar i di et nya
s el ama 2 mi nggu. Bi l a gej al a hi l ang at au berkurang maka dilanjutkan
dengan provokasi makanan yang dicurigai. Uji provokasi sebaiknya
dilakukan di rumah sakit.

PRIST (Paper Radioimmunosorbent Test)
Merupakan pemeriksaan IgE total, berguna untuk menentukan
status alergi penderita.Kadar IgE > 300/ml pada umumnya
menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, ataumengalami infeksi parasit,
atau keadaan depresi imun selular.




2.6 Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar IgE
Dermatografisme putih penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan
tiga respons, yakni berturut-turut akan terlihat garis merah ditempat
penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa
detik, dan edema timbul sesuah beberapa menit. Penggoresan pada pasien
atopik akan bereaksi berlainan. Garis merah tidak disusul warna
kemerahan, tetapi kepucatan selama 2-5 menit, edema tidak timbul.
Keadaan ini disebut dermatografisme putih.
Percobaan asetilkolin. Suntikan secara IC 1/5000 akan menyebabkan
hiperemi pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopik akan
timbul vasokonstriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.
Percobaan histamin. Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritema
akan berkurang dibandingkan dengan orang lain sebagai kontrol. Kalau
obat tersebut disuntikkan parenteral tampak eritema pada kulit normal.

2.7 Penatalaksanaan
Pada umumnya dermatitis atopik tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol.
Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan
gejala dan mencegah kekambuhan. Sebagian penderita mengalami perbaikan
sesuai dengan bertambahnya usia. Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua
kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa perawatan kulit, hidrasi,
kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan
eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan. Adapun penatalaksanaan
Dermatitis Atopik dibagi menjadi medika mentosa dan non-medika mentosa.
(5)

Non Medika Mentosa
1. Edukasi kepada orang tua pasien. Perlu dijelaskan secara rinci perjalanan
penyakit, dampak psikologis, prognosis dan prinsip penatalaksanaan. Langkah
pertama yaitu edukasi kepada orang tua pasien untuk menghindari atau
mengurangi faktor penyebab misalnya dengan eliminasi makanan, faktor
inhalan, atau faktor pencetus.
2. Menghindari faktor alergen pada bayi berumur kurang dari satu tahun akan
mengurangi beratnya gejala dermatitis atopik. Maka dianjurkan agar bayi
dengan riwayat keluarga alergi memperoleh ASI sedikitnya 3 bulan, jika
memungkinkan 6 bulan pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk
tidak makan telur, kacang tanah, terigu, dan susu sapi. Karena susu sapi
diduga alergen kuat pada bayi dan anak. Maka bagi mereka yang jelas alergi
terhadap susu dapat menggantinya dengan susu kedelai, walaupun
kemungkinan alergi terhadap susu kedelai masih ada. Sekitar 60% penderita
DA di bawah usia 2 tahun memberikan reaksi positif pada uji kulit terhadap
telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi positif ini akan menghilang dengan
bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit positif terhadap antigen makanan
tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala klinisnya. Demikian pula
hasil uji provokasi, sehingga membatasi makanan anak tidak selalu berhasil
untuk mengatasi penyakitnya.
3. Mengganti popok, pakaian bayi agar kebersihan bayi tetap terjaga.
4. Perawatan Kulit Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang
adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan
menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-
20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan
oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers
disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut.
Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat
jauh lebih baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-
oil moisturizers sediaan lactic acid.

Medika Mentosa : Secara medika mentosa pasien ini perlu diberi obat secara
topikal dan sistemik.
Secara topikal : Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah
penggunaan pengobatan sistemik. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap
tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik.
Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan.
Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan
dengan :
1 Mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Jangan menggunakan
sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau
pembersih yang mempunyai pH 7,0.
1. Pemberian pelembab kulit, antara lain dengan dasar lanolin, krim air
dalam minyak, atau urea 10% dalam krim.
2. Krim kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi peradangan.
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan
efek vasokonstriktor. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat
sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila
dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada
penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk
daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%. Bila dengan
kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal
dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain,
atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak
adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik.
Efek samping dari penggunaan kortikosteroid yang harus diperhatikan
adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi
absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal
axis. Bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti
dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol
maka hentikan penggunaan.
Secara sistemik: Digunakan apabila tidak berhasil dengan pengobatan secara
topikal.
1. Antihistamin. Digunakan untuk mengurangi rasa gatal. Merupakan
terapi standar, tetapi belum tentu efektif karena rasa gatal pada DA
bisa tak terkait dengan histamin. Dapat diberikan antihistamin seperti
difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain. Pada
bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat pula
menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk
menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang
memuaskan pada 50% penderita.
2. Kortikosteroid oral : Pemakaian sangat terbatas, hanya pada kasus
sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison
0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari. Dengan kortikosteroid
sistemik, efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi
pada steroid withdrawal. Bila tetap harus diberikan, tapering dan
perawatan intensif kulit harus dijalankan.
3. Tars : Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk
mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik.
Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis
kontak.
4. Antibiotik sistemik : Dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang
luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah
eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi
di curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma dan
furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab
tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin,
dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini
pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama,
dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin,
teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin
resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan
terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20%
terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang
resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan ekstrak inhalan
umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak.

Secara konvensional pengobatan DA pada umumnya menurut
Boguniewicz & Leung tahun 1996 (cit.Kariosentono, 2006) adalah sebagai
berikut :
1. Menghindari bahan iritan : Bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi
karena penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon
berbagai iritan.
2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : Pemicu kekambuhan yang telah
terbukti misalnya makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus
disingkirkan.
3. Mengurangi stress : Stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan,
bukan sebagai penyebab.
4. Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit : Dapat
memperbaiki barier stratum korneum.
5. Kortikosteroid topikal : Sebagai anti inflamasi dann anti pruritus. Dipilih yang
potensinya paling lemah untuk menghindari efek samping berupa atrofi,
teleangiektasi, striae dan takifilaksi.
6. Antibiotik : Ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder.
7. Antihistamin : Digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan dan
banyak digunakan untuk terapi DA.

2.8 Komplikasi
Pada anak penderita Dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi lain di
kemudian hari. Penderita Dermatitis atopik mempunyai kecenderungan untuk
mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia.
Molluscum contagiosum dan herpes).
Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut
eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang
dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga
maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah
seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah
dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.
Penderita Dermatitis atopik, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah
koloni Staphylococcus aureus.

2.8 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pada pengkajian anak dengan dermatitis atopik adalah adanya gejala awal
dermatitis bisa berupa kemerahan, makula, dan gatal-gatal pada daerah pipi, dahi,
kepala, tangan dan kaki kemudian dapat timbul lesi yang berupa eritema, adanya
rasa gatal yang menyebabkan terganggunya tidur.
2. Diagnosis
Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan dermatitis
atopik adalah sebagai berikut:
a) Gangguan integritas kulit b/d adanya lesi eksema
b) Perubahan rasa nyaman b/d pruritus
c) Gangguan citra diri b/d terbentuknya makula, papula dan lesi

3. Rencana Keperawatan
Gangguan I ntegritas Kulit b/d adanya lesi eksema
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kondisi kulit
klien menunjukkan perbaikan.
Kriteria hasil :
Klien akan mempertahankan kulit agar mempunyai hidrasi yang baik dan
turunnya peradangan, ditandai dengan:
Mengungkapkan peningkatan kenyamanan kulit.
Berkurangnya derajat pengelupasan kulit, berkurangnya kemerahan,
berkurangnya lecet karena garukan, penyembuhan area kulit yang telah rusak.

Intervensi
a) Mandi paling tidak sekali sehari selama 15 20 menit. Segera oleskan
salep atau krim yang telah diresepkan setelah mandi. Mandi lebih sering
jika tanda dan gejala meningkat.
Rasional: dengan mandi air akan meresap dalam saturasi kulit. Pengolesan
krim pelembab selama 2 4 menit setelah mandi untuk mencegah
penguapan air dari kulit.
b) Gunakan air hangat jangan panas.
Rasional: air panas menyebabkan vasodilatasi yang akan meningkatkan
pruritus.
c) Gunakan sabun yang mengandung pelembab atau sabun untuk kulit
sensitive. Hindari mandi busa.
Rasional: sabun yang mengandung pelembab lebih sedikit kandungan
alkalin dan tidak membuat kulit kering, sabun kering dapat meningkatkan
keluhan.
d) Oleskan/berikan salep atau krim yang telah diresepkan 2 atau tiga kali per
hari.
Rasional: salep atau krim akan melembabkan kulit.

Perubahan rasa nyaman b/d pruritus
Kriteria hasil: klien menunjukkan berkurangnya pruritus, ditandai dengan
o Berkurangnya lecet akibat garukan
o Klien tidur nyenyak tanpa terganggu rasa gatal
o Klien mengungkapkan adanya peningkatan rasa nyaman
Intervensi:
a) Jelaskan gejala gatal berhubungan dengan penyebanya (misal keringnya
kulit) dan prinsip terapinya (misal hidrasi) dan siklus gatal-garuk-gatal-garuk.
Rasional: dengan mengetahui proses fisiologis dan psikologis dan prinsip gatal
serta penangannya akan meningkatkan rasa kooperatif.
b) Cuci semua pakaian sebelum digunakan untuk menghilangkan
formaldehid dan bahan kimia lain serta hindari menggunakan pelembut pakaian
buatan pabrik.
Rasional: pruritus sering disebabkan oleh dampak iritan atau allergen dari bahan
kimia atau komponen pelembut pakaian.
c) Gunakan deterjen ringan dan bilas pakaian untuk memastikan sudah tidak
ada sabun yang tertinggal.
Rasional: bahan yang tertinggal (deterjen) pada pencucian pakaian dapat
menyebabkan iritas
Gangguan citra diri b/d terbentuknya krusta
Kriteria hasil: klien menyatakan penerimaan terhadap kondisi klien,ditandai
dengan
o Klien nampak ikut kembali bersosialisasi
o Klien tampak tidak mengurung diri
Intervensi:
a) Kaji makna perubahan status kesehatan kulit.
Rasional: merupakan indikator utama dalam pengkajian status gangguan citra diri
b) Berikan harapan dalam parameter situasi individu,jangan memberikan
keyakinan yang salah.
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan bedarsarkan realitas.
c) Berikan penguatan positif terhadap kemajuan dan dorong usaha untuk
mengikuti tujuan rehabilitas.
Rasioanal: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif
d) Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.Berikan informasi
kepada mereka bagaimana cara membantu klien.
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien.







BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang
berhubungan dengan atopi. Kata atopi pertama diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu
istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis
alergik dan dermatitis atopik.
Penyebabnya ialah ditemukan Riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma bronchial,
rinitis alergik, dermatitis atopic dalam keluarganya, peningkatan jumlah IgE dalam serum,
penurunan Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
sehingga berakibat meningkatnya kerawanan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur,
alergi terhadap berbagai alergen, kelembaban rendah, keringat berlebihan, dan bahan iritan,
faktor psikologik.
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi kelainan
kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi dan lesi ekzematosa berupa
eritema, papulo-vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada
masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa.
Diagnosis Dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat
atopik (dalam keluarga maupun sendiri).

3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa dapat mempelajari dan memahami tentang penyakit
dermatitis atopic dan pencegahannya.
Dalam bidang keperawatan, mempelajari suatu penyakit itu penting, dan diharapkan kepada
mahasiswa mampu membuat konsep teoritis suatu penyakit tersebut beserta asuhan
keperawatannya.





DAFTAR PUSTAKA


Djuanda, Prof. DR. Adhi, dkk. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Brunner dan Suddart. 2002. Keperawatan Medical-Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC Volume 3.
Mansyoer, arief, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI Jilid 2.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba
Medika jilid 2.
Kliegman RM, Behrman RE, Jensen HB, Stanton BF. NelsonTextbook of
Pediatrics. 18
th
Edition. Saunders Elsevier. P. 971-5.
Mahadi IDR. Ekzema dan Dermatitis. In: Harahap M, Ed. Ilmu
Penyakit Kulit. 2000. Jakarta: Hipokrates. P. 6 14.

You might also like