You are on page 1of 17

1

PROSEDUR PELAKSANAAN DIVERSI PADA TAHAP


PENYIDIKAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Achmad Ratomi
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
Email: ratomi79ach@gmail.com

ABSTRAK


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tentang konsep
prosedur pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan dalam penyelesaian tindak
pidana yang dilakukan oleh anak.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi sehingga diperoleh
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah.
Konsep prosedur pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan dalam
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak terdapat tiga bentuk, yaitu:
Pertama, Musyawarah Polisi. Para pihak hanya terdiri dari polisi dan pelaku. Jenis
tindak pidananya adalah pelanggaran dan tindak pidana ringan. Sanksinya berupa
peringatan informal, yaitu peringatan lisan dan peringatan tertulis. Peringatan
informal tersebut tidak dicatat dalam suatu kesepakatan dan tidak perlu dimintakan
penetapan ke pengadilan negeri. Kedua, Musyawarah KeluargaPara pihak yang terlibat
adalah polisi, pelaku dan/ atau orangtua/ walinya, dan pembimbing kemasyarakatan.
Jenis tindak pidananya adalah tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan
tindak pidana yang nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
propinsi setempat. Sanksinya berupa peringatan formal yaitu menyerahkan kembali
kepada orangtua/ walinya, permintaan maaf kepada korban dimuka umum,
rehabilitasi medis dan psikososial, perbaikan akibat tindak pidana dan pembayaran
ganti rugi. Peringatan itu dicatat dalam buku catatan kepolisian tapi tidak perlu
disampaikan ke Pengadilan Negeri. Ketiga, Musyawarah Masyarakat Para pihak yang
terlibat adalah polisi, pelaku dan/ atau orangtua/ walinya, korban dan/ atau
orangtua/ walinya dan pembimbing kemasyarakatan serta masyarakat. Jenis tindak
pidananya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Sanksinya berupa menyerahkan
kembali kepada orangtua/ walinya, permintaan maaf kepada korban dimuka umum,
rehabilitasi medis dan psikososial, perbaikan akibat tindak pidana, pembayaran ganti
rugi, pelayanan masyarakat, menyerahkan kepada lembaga sosial pemerintah atau
swasta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dan bentuk lainnya yang sesuai
dengan kasus yang terjadi. Hasil musyawarah itu kemudian dituangkan dalam sebuah
kesepakatan diversi yang ditandatangani oleh para pihak. Kemudian hasil kesepakatan
diversi itu disampaikan kepada Pengadilan Negeri untuk memperoleh penetapan.
Setelah menerima penetapan dari pengadilan, Penyidik menerbitkan surat penetapan
penghentian penyidikan.

Kata Kunci: Diversi, Penyidikan, Tindak Pidana Oleh Anak
157
2

Abstract

The purpose of this study was to analyze the implementation of the
concept of diversion procedure at the investigation stage in the completion of the
crime by children.
This study uses a kind of normative legal research, which is a process
to find the rule of law, principles of law and legal doctrines in order to answer the
legal issues faced in order to obtain the arguments, theories or concepts as
prescriptions in solving the problem.
The concept of diversion at the stage of implementation procedures in
the completion of the investigation of criminal acts committed by children there
are three forms, namely: First, Police Conference. The party consisted of the
police and offender. Type of crime is violations and minor crime. Sanctions in the
form of an informal warning, that is a verbal warning and a written warning.
Informal warning is not recorded in an agreement and do not need to be
requested to the determination of the district court. Second, the Family
Conference. The parties involved are the police, offender and /or
parent/guardian, and the supervising community. Type of crime is a minor crime,
crime without victim and crime the value of the losses of victims not more than the
provincial minimum wage. Sanctions in the form of a formal warning is handed
back to the parent/guardian, an apology to the victim in public, medical and
psychosocial rehabilitation, repair of crime and payment of restitution. The
warning was recorded in police records but does not need to be submitted to the
District Court. Third , Public Conference. The parties involved are the police ,
offender and/or parent/guardian , the victim and/or the parent/guardian and
supervising community and society. Type of crime is a crime punishable by prison
of less than 7 ( seven ) years and not a repetition of crime. Sanctions be handed
back to the parent/guardian, an apology to the victim in public , medical and
psychosocial rehabilitation, repair of a crime, payment of restitution, community
service, submit to the government or private social agencies to participate in
education and training and other forms of appropriate with the case. The results
of the conference was then poured in a diversion agreement signed by the parties.
Then the diversion agreement was submitted to the District Court to obtain a
determination. After receiving the determination of the court, investigators
publish a determination letter termination investigation.

Keyword: Diversion, Investigation, crime by child.





3

A. Latar Belakang
Anak sebagai makhluk yang masih dalam taraf pertumbuhan dan
perkembangan sangat rentan melakukan suatu perbuatan yang menurut mereka
perbuatan tersebut adalah suatu hal yang biasa, namun kenyataan secara yuridis
perbuatan yang dilakukan oleh anak itu termasuk kategori tindak pidana. Misalnya
anak yang bermain ketangkasan di arena permainan anak-anak yang dalam
bermainnya memperoleh bonus atau imbalan baik berupa uang maupun barang. Di
mata anak perbuatan itu adalah suatu permainan, sedangkan di mata hukum itu
adalah suatu tindak pidana.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak
negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai
dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang,
asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian
diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret
dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan
merugikan perkembangan pribadinya.
1

Perlakuan terhadap anak yang di duga melakukan tindak pidana seringkali
bersifat sangat represif. Proses peradilan terhadap anak seringkali kehilangan makna
essensinya sebagai mekanisme yang harus berakhir dengan upaya untuk melindungi
kepentingan terbaik bagi anak (thebest interest of child). Proses peradilan pidana anak
seringkali menampilkan dirinya sebagai mekanisme yang hanya berorientasi pada
penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.
2

Perlakuan-perlakuan yang cenderung membekaskan stigma atas diri anak
lebih mengedepan dibandingkan perlakuan aparat penegak hukum yang
mencerminkan perlindungan hak-hak anak yang melakukan tindak pidana. Anak yang
terlibat dalam proses peradilan pidana memperoleh perlakuan yang buruk bahkan

1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang PengadilanAnak
2
Koesno Adi, Kebijakan Kriminal dalamSistemPeradilan Pidana yangBerorientasi pada Kepentingan
Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009, hlm. 6
4

dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang
dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan
tindak pidana mengalami tindak kekerasan selama dalam proses peradilan pidana.
3

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Indonesia
merupakan negara yang paling banyak memidanakan anak yaitu sudah ada 6.000 anak
yang dipidanakan sampai Juli 2009. Sementara, 3.800 anak di antaranya mendekam di
lembaga pemasyarakatan (Lapas).
4
Seharusnya tidak semua anak dimasukkan dalam
penjara. Bukan proses pembelajaran mental yang mereka dapatkan, tapi pembelajaran
secara internal dari narapidana yang lebih dewasa. Padahal di Indonesia hanya ada 16
Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak).
Fenomena di atas menunjukkan bahwa penanganan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana oleh aparat penegak hukum melalui proses peradilan yang
selama ini berlangsung, cenderung merugikan masa depan anak. Keadaan tersebut
bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat mengkhawatirkan karena hal itu
menggambarkan bahwa sesungguhnya penanganan terhadap anak yang diduga
melakukan tindak pidana belum benar-benar mencerminkan perlindungan anak.
Anak-anak selama dalam proses pemeriksaan (mulai dari kepolisian,
kejaksaan sampai pengadilan) merasa kurang dihargai, perlakuan-perlakuan para
petugas cenderung membekaskan citra negatif dalam benak mereka (stigmatisasi).
Perlakuan petugas yang demikian itu, menjadi salah satu sebabnya adalah karena
anak-anak itu merasa ditangani oleh petugas hukum yang kurang memahami masalah
mereka sebagai anak. Persayaratan adanya profesionalisme penegak hukum di bidang
anak tidak dipenuhi. Persyaratan formal lebih dikedepankan daripada persyaratan
substansial dalam penunjukan penegak hukum khusus anak. Legitimasi mereka
sebagai penegak hukum di bidang anak hanya semata-mata didasarkan atas Surat
Penunjukan sebagai Polisi khusus Anak, Jaksa Khusus Anak, Hakim Khusus Anak,
dan bukannya persyaratan subsatnsial seperti yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UUPA)
5
yang telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

3
Ibid, hlm. 8
4
TimKPAI : IndonesiaNegaraTerbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli 2009.
5
Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restotarif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Pidato
Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 18 Februari 2006, hlm. 22
5

Anak (UU SPPA).
6
Padahal melalui UUPA diharapkan petugas yang bertindak
sebagai penyidik, penuntut umum, dan hakim benar-benar menguasai dan memahami
masalah anak, sehingga dalam proses penanganannya tidak menimbulkan gangguan
baik secara fisik maupun mental terhadap masa depan anak.
Padahal jika berpedoman kepada TheUnitedNationsStandardMinimumRules
for Administration of JuvenileJustice theBeijingRules (Peraturan Standar Minimum PBB
untuk Pelaksanaan Peradilan Anak - Peraturan Beijing), yang disahkan melalui
Resolusi Majelis PBB No. 40/ 33 Tanggal 29 November 1985, maka tujuan dari
peradilan anak sebagaimana disebutkan dalam Rule 5.1 adalah Thejuvenilejustice
systemshall emphasizethewell-beingof thejuvenileandshall ensurethat anyreaction tojuvenile
offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offenders and the
offence.(Terjemahan bebas : Sistem peradilan anak harus lebih menekankan pada
kesejahteraan anak dan harus dipastikan bahwa seluruh penanganan terhadap anak
harus selalu sesuai dengan keadaan, baik keadaan dari pelaku maupun keadaan dari
pelanggaran/ kejahatan).
Berkaitan dengan tujuan tersebut, maka ada satu model penyelesaian perkara
pidana anak tanpa harus melalui proses peradilan, sebagaimana yang terdapat dalam
Rule. 11 TheBeijingRulesyang berbunyi :
11.1 Consideration shall begiven, wherever appropriate, todealingwith juvenileoffenders
without resortingtoformal trial bythecompetent authority, referredtoinrule14.1
below;
(Terjemahan bebas: Pertimbangan harus diberikan kapan saja diperlukan
untuk menangani anak tanpa harus menyerahkannya pada pengadilan
formal oleh lembaga yang berwenang, seperti yang diatur dalam aturan
14.1 dibawah).

11.2 Thepolice, theprosecution or other agencies dealingwithjuvenilecases shall beempowered
todisposeof such cases, at their discretion, without recoursetoformal hearings, in
accordancewith thecriteria laiddown for that purposein therespectivelegal systemand
alsoin accordancewith theprinciplescontainedintheseRules;
(Terjemahan bebas: Pihak kepolisian, kejaksaan atau lembaga-lembaga lain
yang menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus diberikan
wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara tersebut atas dasar
keputusan yang mereka ambil tanpa harus menyerahkannya kepada

6
Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, menyebutkan bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal diundangkan. UU ini disahkan padatanggal 30 Juli 2012.
6

persidangan formal sesuai dengan kriteria yang diberikan untuk tujuan
tersebut dalam sistem hukum masing-masing serta sesuai dengan prinsip-
prinsip yang termuat dalam Aturan ini).

11.3 Anydiversioninvolvingreferral toappropriatecommunityor other servicesshall require
theconsent of thejuvenile, or her or his parentsor guardian, providedthat suchdecision
torefer a caseshall besubject toreviewbya competent authority, upon application;
(Terjemahan bebas: Setiap pengalihan yang berupa rujukan kepada layanan
mayarakat yang tepat dan layanan lainnya harus mendapatkan persetujuan
dari anak tersebut, atau orangtua atau pengasuhnya, dengan syarat bahwa
pada saat dilaksanakan, keputusan itu bisa ditinjau kembali oleh pejabat
yang berwenang).

11.4 Inorder tofacilitatethediscretionarydisposition of juvenilecases, efforts shall bemadeto
provide for community programmes, such as temporary supervision and guidance,
restitution, andcompensationof victims.
(Terjemahan bebas: Dalam rangka memfasilitasi kebijakan melepaskan
anak, harus dilakukan upaya-upaya untuk melengkapi program-program
masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, ganti rugi dan
kompensasi bagi parakorban).

Ketentuan tersebut di atas lebih dikenal dengan istilah diversi. Menurut
Jack E. Bynum dalam bukunya JuvenileDelinquencya Sociological Approach, mengatakan
bahwa Diversionis an attempt todivert, or channel out, youthful offendersfromthejuvenilejustice
system
7
( Terjemahan bebas : diversi adalah sebuah tindakan untuk mengalihkan atau
menempatkan pelaku anak dari sistem peradilan anak). Sedangkan Paulus
Hadisuprapto mendefinisikan diversi sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan
anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial.
8

Keberadaan diversi di Indonesia telah diakui melalui UU SPPA yang
disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif 2 (dua) tahun kemudian.
Pasal 7 ayat (1) UU SPPA menyatakan bahwa Pada tingkatan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan
diversi. Syarat atau kriteria tindak pidana yang dapat dilakukan diversi adalah
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang berbunyi Diversi
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

7
Ibid.
8
Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya, Bayumedia
Publishing, Malang, 2008, hlm. 131
7

b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pengaturan prosedur pelaksanaan diversi sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 8 UU SPPA
9
masih bersifat abstrak yaitu hanya menyebutkan bentuk diversi
melalui musyawarah berdasarkan Keadilan Restoratif yang melibatkan pelaku dan
keluarganya, korban dan keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional serta masyarakat.
B. Pembahasan
Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, pelaksanaan diversi ini harus
dilakukan pada setiap tingkatan dalam proses peradilan pidana anak (mulai
penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh penunutu umum dan pemeriksaan di
pengadilan oleh hakim).
Diberikannya kewenangan kepada kepolisian selaku penyidik untuk
melakukan diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh
anak lebih didasarkan pada kedudukan kepolisian sebagai lembaga penegak hukum
yang pertama dan langsung bersinggungan dengan masyarakat, polisi pada dasarnya
mempunyai potensi yang demikian besar untuk merubah kultur masyarakat.
Kewenangan dan otoritas polisi apabila dikemas secara dinamis akan menjadi sarana
bagi polisi dalam membangun masyarakat. Dalam konteks ini, pengalaman para bobby
di Inggris dapat menjadi acuan. Istilan bobbyuntuk menunjuk pada sosok polisi di
Inggris berasal dari nama Robert Peel sebagai sosok polisi yang selalu ramah, tidak
memihak dan penuh humor. Sikap polisi yang demikian inilah yang pada akhirnya
ter-internalisasi-kan ada masyarakat Inggris, sehingga masyarakat Inggris berkembang
menjadi masyarakat yang tertib dan teratur.
10

Ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh jika diversi dilakukan pada
tahap penyidikan oleh kepolisian, yaitu:
11

1. Kepolisian merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum dalam sub
sistem peradilan pidana yang mempunyai jaringan hingga tingkat kecamatan.
Dengan demikian, secara structural lembaga kepolisian merupakan satu-
satunya lembaga penegak hukum yang paling dekat dan paling mudah
dijangkau oleh masyarakat. Dengan potret kelembagaan yang demikian,
kepolisian merupakan lembaga penegak hukum yang paling memungkinkan

9
Pasal 8 UU SPPA menjelaskan bahwa proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak dan orang tua/ Walinya, korban dan/ atau orang tua/ Walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
10
Koeno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika OlehAnak,
UMM Press, Malang, 2009, hlm. 111
11
Ibid, hlm. 112-113
8

untuk memiliki jaringan sampai di tingkat yang paling bawah (tingkat desa).
Salah satu lembaga yang dibentuk oleh kepolisian pada tingkat
desa/ kelurahan adalah Badan Kemitraan Polisi dan Masyarakat (BKPM).
2. Secara kuantitas aparat kepolisian jauh lebih banyak dibandingakan dengan
aparat penegak hukum yang lainnya, sekalipun juga disadari bahwa tidak
setiap aparat kepolisian mempunyai komitmen untuk menangani tindak
pidana yang dilakukan oleh anak, tetapi ketersediaan personil yang cukup
memadai juga akan sangat membantu proses penyelesaian tindak pidana yang
dilakukan oleh anak.
3. Oleh karena lembaga kepolisian merupakan aparat penegak hukum pertama
yang bergerak dalam proses peradilan pidana, maka diversi di tingkat
kepolisian mempunyai makna memberikan jaminan kepada anak untuk sedini
mungkin dihindarkan dari bersinggungan dengan proses peradilan pidana.
Dengan demikian, dampak negatif akibat anak bersinggungan dengan aparat
penegak hukum dapat diminimalisir.

Proses diversi pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses
peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya
merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan
cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Hal ini sesuai dengan bunyi Sila ke-4
Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
Inti dari makn Sila ke-4 Pancasila diatas dalam kaitannya dengan diversi
adalah dianutnya prinsip musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan
dalam rangka penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Musyawarah
mufakat merupakan proses membahas persoalan secara duduk bersama dengan
melibatkan pihak-pihak yang terkait demi mencapai kesepakatan bersama.
Musyawarah mufakat dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan keputusan yang
sama-sama menguntungkan kedua belah pihak sehingga tidak ada pihak yang
dirugikan. Dengan musyawarah mufakat diharapkan dua atau beberapa pihak yang
berbeda pendapat tidak terus bertikai dan mendapat jalan tengah. Karena itu, dalam
proses musyawarah mufakat diperlukan kerendahan hati dan keikhlasan diri serta
membuang ego masing-masing. Dalam kehidupan kemasyarakatan, musyawarah
mufakat memiliki beberapa manfaat langsung, yaitu sebagai berikut :
1. Musyawarah mufakat merupakan cara yang tepat untuk mengatasi berbagai
silang pendapat.
2. Musyawarah mufakat berpeluang mengurangi penggunaan kekerasan dalam
memperjuangkan kepentingan.
9

3. Musyawarah mufakat berpotensi menghindari dan mengatasi kemungkinan
terjadinya konflik.
Budaya musyawarah mufakat ini memiliki landasan filosofis dan teologis
yang mengarah kepada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat,
mengganti suasana konflik dengan perdamaian (asas silahturahmi), menghapus hujat
menghujat dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan
(asas saling memaafkan dan memohon ampunan kepada Tuhan). Klarifikasi yang
diinginkan tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja perdamaian dan
perundingan (asas musyawarah).
12

Penyelesaian perkara melalui musyawarah diarahkan pada harmonisasi atau
kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat
mungkin menjaga suasana perdamaian. Hal ini tentu sejalan dengan beberapa prisip
yang melekat pada konsep diversi, misalnya:
1. Konsep diversi bertujuan menciptakan perdamaian antara pelaku dan korban
dengan cara memberikan ganti rugi ataupun dengan permintaan maaf dan
dianggap tidak ada konflik lagi, serta permintaan penyesalan dan pelaku tidak
akan mengulangi perbuatan jahatnya.
2. Program-program diversi dapat berupa; cukup dengan pemberian peringatan,
pembinaan keterampilan, bimbingan ataupun konseling (pemberian nasihat).
3. Kasus-kasus yang dilakukan diversi biasanya kasus yang tidak berat dan tidak
membahayakan masyarakat, dan ada kedekatan hubungan antara pelaku dan
korban.
Diversi melalui keadilan restoratif yang sepaham dengan budaya bangsa
Indonesia sedikitnya memiliki keuntungan sebagai berikut:
1. Dapat mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan.
Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara
seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering
memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat atau memberdayakan pihak-pihak yang
bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.

12
Adi Sulistiyono, Merasionalkan Budaya Musyawarah Untuk Mengembangkan Penggunaan
Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution, Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis XXIX
Universitas Sebelas Maret Disampaikan Pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Tanggal
12 Maret 2005, hlm. 12
10

3. Memperbesar peluang masyarakat untuk mendapatkan keadilan.
4. memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan
keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Sehingga para pihak tidak
menempuh upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.
6. Bersifat tertutup atau rahasia, sehingga mengurangi rasa malu keluarga.
7. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan yang
dikarenakan keputusan yang diambil merupakan kehendak para pihak. Sehingga
hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin
dengan baik.
8. Mengurangi merebaknya mafia hukum baik di tingkat penyidikan, penututan,
pengadilan maupun pada tingkat pelaksanaan putusan pengadilan.
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan
hukum negara, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh
jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi
tidak bertujuan mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali, akan tetapi berusaha
memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati
hukum. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan
Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan
suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana
tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Selain para pihak yang berperkara (pelaku dan korban), peranan masyarakat
sangat menentukan juga dalam terwujudnya diversi ini. Di dalam UU SPPA peran
masyarakat dapat dilihat dalam Pasal 93 huruf d dan huruf e yang berbunyi
Masyarakat dapat berperan serta dalam pelindungan Anak mulai dari pencegahan
sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara: (d) berpartisipasi dalam
penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; dan
11

(e) berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban
dan/ atau Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan;
Ini artinya masyarakat yang bukan sebagai pelaku atau korban diikutsertakan
dalam proses penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Keterlibatan
masyarakat ini sangat membantu dalam menciptakan suasana yang lebih aman dan
tenteram dalam pergaulan bermasyarakat. Anak yang melakukan tindak pidana tidak
hanya merasa bertanggung jawab terhadap korban saja melainkan juga merasa
bertanggung jawab atas lingkungannya.
Polisi selaku pemangku kewenangan diversi diberi tanggung jawab untuk
menentukan kebijakan mekanisme yang akan ditempuh dalam menerapkan diversi.
Menurut penulis ada 3 (tiga) bentuk konsep mekanisme pelaksanan diversi oleh
kepolisian, yaitu:
1. Musyawarah Polisi
Pihak yang terlibat dalam proses ini adalah polisi dan anak (pelaku). Jenis
tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mekanisme ini pada umumnya tindak
pidana berupa pelanggaran dan tindak pidana ringan. Tindak pidana tersebut baik
yang terdapat dalam KUHP maupun yang terdapat di luar KUHP. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dan huruf b UU
SPPA.
Pada saat polisi mengetahui telah terjadinya tindak pidana baik yang
diketahui secara langsung (tertangkap tangan) atau melalui laporan atau pengaduan
dari korban atau masyarakat, maka saat itu juga polisi dapat memanggil anak yang
diduga melakukan tindak pidana untuk dimintai keterangan atas perbuatan yang telah
dilakukannya. Polisi memberikan kesempatan kepada anak untuk menceritakan secara
jelas dan lengkap atas perbuatan yang telah dilakukannya. Setelah polisi
mendengarkan keterangan dari si anak, selanjutnya polisi dapat menyimpulkan
apakah anak tersebut terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana yang
dituduhkan. Jika anak tersebut tidak terbukti maka polisi harus melepaskannya,
namun jika anak tersebut terbukti bersalah, maka polisi dapat memberikan sanksi
kepada anak tersebut. Atau polisi dapat langsung memberikan sanksi jika anak telah
mengakui perbuatannya.
Sanksi yang dapat diberikan oleh polisi pada anak yang melakukan tindak
pidana adalah peringatan informal (informal caution). Peringatan informal yaitu berupa
12

peringatn lisan dan peringatan tertulis. Peringatan lisan berupa pemberian nasihat
kepada anak agar tidak melakukan tindak pidana lagi dan menjauhi perbuatan yang
negatif. Sedangkan peringatan tertulis merupakan teguran keras tidak hanya sekadar
memberi nasihat melainkan anak diberi peringatan keras, salah satunya dengan cara
anak harus meminta maaf kepada korban. Peringatan informal itu hanya dapat
diberikan kepada anak yang pertama kali melakukan tindak pidana (bukan
pengulangan tindak pidana). Dan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari korban
atau/ keluarganya jika korban masih anak di bawah umur. Peringatan informal
tersebut tidak dicatat dalam suatu kesepakatan dan tidak perlu dimintakan penetapan
ke pengadilan negeri.
2. Musyawarah Keluarga
Para pihak yang terlibat dalam proses diversi adalah polisi, pelaku dan/ atau
orangtua/ walinya, dan pembimbing kemasyarakatan. Jenis tindak pidana yang dapat
diselesaikan melalui mekanisme ini adalah tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa
korban dan tindak pidana yang nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah
minimum propinsi setempat. Tindak pidana ringan tersebut harus tindak pidana
ringan yang perilaku anak pada saat melakukannya sangat membahayakan orang lain
dan tindak pidana ringan yang merupakan pengulangan atau sebelumnya telah diberi
peringatan informal.
Prosedur yang harus dilakukan oleh polisi dalam mekanisme ini adalah
hampir sama dengan prosedur yang terdapat pada musyawarah polisi. Namun karena
di dalam musyawarah keluarga ini melibatkan kehadiran orangtua/ wali dari anak dan
pembimbing kemasyarakatan, maka polisi memberikan kesempatan kepada
orangtua/ wali dari anak untuk menceritakan latar belakang kehidupan anak dan
kegiatan keseharian anak baik di rumah maupun di masyarakat. Selanjutnya
kesempatan diberikan pula kepada pembimbing kemasyarakatn untuk memberikan
pertimbangan yang sifatnya tidak sama dengan hasil penelitian kemasyarakatan.
Kedudukan pembimbing kemasyarakatan disini lebih bersifat sebagai ahli yang dapat
memberikan rekomendasi tentang sanksi apa yang cocok untuk diberikan kepada
anak. Jadi tugas pembimbing kemasyarakatan tidak bersifat formal sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 65 huruf a UU SPPA yang berbunyi Pembimbing
Kemasyarakatan bertugas: membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk
kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan
13

terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk
melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan.
Bentuk sanksi yang dapat diberikan dalam bentuk mekanisme melalui
musyawarah keluarga ini adalah peringan formal (formal caution). Peringatan formal ini
dapat berupa:
a. Menyerahkan kembali kepada orangtua/ walinya;
b. Permintaan maaf kepada korban dimuka umum;
c. Rehabilitasi medis dan psikososial;
d. Perbaikan akibat tindak pidana
e. Pembayaran ganti rugi.
Perkara anak menjadi berakhir seiring dengan pemberian peringatan formal.
Peringatan formal ini perlu dicatat dalam buku catatan kepolisian dan tidak perlu
disampaikan ke ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh penetapan.
3. Musyawarah Masyarakat
Pihak yang terlibat dalam proses ini adalah polisi, pelaku dan/ atau
orangtua/ walinya, korban dan/ atau orangtua/ walinya, pembimbing kemasyarakatan
dan masyarakat (tokoh masyarakat atau dari pihak sekolah). Jenis tindak pidana yang
dapat diselesaikan melalui musyawarah masyarakat ini adalah tindak pidana yang
ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.
Pertemuan ini dimulai dengan memberikan kesempatan kepada pelaku
untuk memaparkan bagaimana tindak pidana itu dilakukan dan atas dasar apa tindak
pidana itu dilakukan. Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan
pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa
pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.
Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya
bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah
dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah
dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku,
pihak yang lain terutama korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku.
Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku.
Korban menceritakan pengalaman yang dialaminya akibat kejahatan tersebut dan apa
yang menjadi kerugian fisik, emosional, dan materi pada dirinya. Selain itu juga hadir
pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil masyarakat tersebut
14

memberikan gambaran tentang kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat
mengharapkan agara pelaku melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk
memulihkan kembali keguncangan/ kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya.
Di sinilah terjadi suatu ikatan sosial antara pelaku tindak pidana dengan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan teori kontrol sosial Hirschi yang menyebutkan ada empat
elemen ikatan sosial yang terdapat dalam setiap masyarakat, yaitu attachment,
commitment, involvement, dan beliefs.
Elemen attachment dapat diwujudkan melalui keikutsertaan masyarakat dalam
pelaksanaan diversi. Sepanjang seseorang memiliki hubungan erat dengan orang-
orang penentu tertentu yang sangat penting, maka ia akan menghormati norma-
norma mereka dan mengambil alih norma-norma itu. Dalam konteks ini pelaku dan
keluarganya harus bisa melepas rasa ego dalam dirinya sehingga yang muncul adalah
rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan ini kemudian mendorong pelaku dan
keluarganya untuk mentaati hasil kesepakatan, sebab jika melanggar berarti menyakiti
korban dan masyarakat. Hubungan yang lahir antara pelaku dan korban tidak
didasarkan pada peleburan ego tetapi karena hadirnya orang lain yang mengawasi.
Dengan demikian, maka akan mencegah keinginan pelaku dan keluarganya untuk
melakukan pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat dan menciptakan
kepatuhan ketika ada orang lain yang mengawasi. Eleman Commitment adalah
keterikatan seseorang pada sub-sistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan,
organisasi dan sebagainya. Commitment merupakan aspek rasional yang ada dalam
ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan oleh seseorang (sekolah, pekerjaan,
organisasi dan sebagainya) akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Dalam
konteks ini perlu keterlibatan pihak sekolah atau organisasi di lingkungan pelaku
untuk memberikan manfaat. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda, reputasi,
masa depan dan sebagainya. Segala investasi tersebutlah yang akan mendorong pelaku
dan keluarganya untuk taat pada kesepakatan yang telah dibuat. Jika mereka tidak taat
pada hasil kesepakatan, maka segala investasi yang diperoleh akan lenyap begitu saja.
Dengan demikian sesungguhnya invenstasi tersebut dapat digunakan sebagai kontrol
bagi keinginan untuk melakukan penyimpangan. Elemen involvement mengacu pada
suatu pemikiran bahwa apabila pelaku disibukkan atau berperan aktif dalam berbagai
kegiatan konvensional atau pekerjaan maka ia tidak akan sempat berpikir apalagi
15

terlibat dalam perilaku menyimpang. Logika dari pengertian ini adalah jika orang aktif
di segala kegiatan, maka orang tersebut akan menghabiskan waktu dan tenaganya
dalam kegiatan tersebut. Sehingga dia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, maka segala aktivitas yang dapat
memberi manfaat akan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum. Elemen beliefs mengacu pada kepercayaan atau
keyakinan pelaku pada nilai atau kaidah kemasyarakatan yang berlaku. Kepercayaan
terhadap norma atau aturan yang ada akan sangat mempengaruhi seseorang bertindak
mematuhi atau melawan peraturan yang ada. Anak yang secara jelas mengetahui nilai-
nilai norma yang telah ditanamkan oleh masyarakat akan selalu dijadikan alat kontrol
dalam setiap tindakannya. Penanaman nilai-nilai moral sejak dini akan selalu melekat
dan akan selalu tertanam dalam diri anak. Salah satu nilai moral yang harus
ditanamkan kepada anak yang melakukan tindak pidana adalah nilai tanggung jawab.
Anak harus mempunyai tanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya,
apalagi jika akibat perbuatannya itu menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Bentuk sanksi yang dapat diberikan pada pelaku dalam musyawarah
masyarakat ini adalah:
a. Menyerahkan kembali kepada orangtua/ walinya;
b. Permintaan maaf kepada korban dimuka umum;
c. Rehabilitasi medis dan psikososial;
d. Perbaikan akibat tindak pidana
e. Pembayaran ganti rugi;
f. Pelayanan masyarakat;
g. Menyerahkan kepada lembaga sosial pemerintah atau swasta untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan;
h. Bentuk lainnya yang sesuai dengan kasus yang terjadi.
C. Kesimpulan
Konsep prosedur pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan dalam
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak terdapat tiga bentuk, yaitu:
Pertama, Musyawarah Polisi. Para pihak hanya terdiri dari polisi dan pelaku. Jenis
tindak pidananya pelanggaran dan tindak pidana ringan. Sanksinya berupa peringatan
informal, yaitu peringatan lisan dan peringatan tertulis. Peringatan informal diberikan
kepada anak yang pertama kali melakukan tindak pidana (bukan pengulangan tindak
16

pidana) tanpa mendapatkan persetujuan dari korban dan/ atau keluarganya jika
korban masih di bawah umur. Peringatan informal tersebut tidak dicatat dalam suatu
kesepakatan dan tidak perlu dimintakan penetapan ke pengadilan negeri. Kedua,
Musyawarah Keluaga. Para pihak yang terlibat adalah polisi, pelaku dan/ atau
orangtua/ walinya, dan pembimbing kemasyarakatan. Jenis tindak pidananya adalah
tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana yang nilai
kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum propinsi setempat. Sanksinya
berupa peringatan formal, yaitu menyerahkan kembali kepada orangtua/ walinya,
permintaan maaf kepada korban dimuka umum, rehabilitasi medis dan psikososial,
perbaikan akibat tindak pidana dan pembayaran ganti rugi. Pemberian peringatan
formal tidak perlu mendapatkan persetujuan dari korban dan/ atau keluarganya jika
korban masih di bawah umur. dianggap selesai seiring dengan pemberian peringatan
formal dan peringatan itu dicatat dalam buku catatan kepolisian tapi tidak perlu
disampaikan ke Pengadilan Negeri. Ketiga, Musyawarah Masyarakat. Para pihak yang
terlibat adalah polisi, pelaku dan/ atau orangtua/ walinya, korban dan/ atau
orangtua/ walinya dan pembimbing kemasyarakatan serta masyarakat. Jenis tindak
pidananya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana serta bukan masuk kategori
tindak pidan berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban
dan tindak pidana yang nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
propinsi setempat. Sanksinya berupa menyerahkan kembali kepada orangtua/ walinya,
permintaan maaf kepada korban dimuka umum, rehabilitasi medis dan psikososial,
perbaikan akibat tindak pidana, pembayaran ganti rugi, pelayanan masyarakat,
menyerahkan kepada lembaga sosial pemerintah atau swasta untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan dan bentuk lainnya yang sesuai dengan kasus yang terjadi.
Pemberian sanksi tersebut harus mendapatkan persetujuan dari korban dan/ atau
keluarganya jika korban masih di bawah umur. Hasil musyawarah itu kemudian
dituangkan dalam sebuah kesepakatan diversi yang ditandangtangani oleh para pihak.
Kemudian hasil kesepakatan diversi itu disampaikan oleh atasan langsung polisi
kepada Pengadilan Negeri untuk memperoleh penetapan. Setelah menerima
penetapan dari pengadilan, Penyidik menerbitkan surat penetapan penghentian
penyidikan.

157
17

D. Daftar Pustaka

Adi, Koesno, 2009, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang

--------------------, 2009, Kebijakan Kriminal dalamSistemPeradilan Pidana yangBerorientasi
pada Kepentingan Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
dalam bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang

Hadisuprapto, Paulus, 2006, Peradilan Restotarif : Model PeradilanAnak Indonesia Masa
Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

--------------------------, 2008, Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya,
Bayumedia Publishing, Malang

Tim KPAI : Indonesia Negara Terbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli 2009.

Sulistiyono, Adi, 2005, rasionalkan Budaya Musyawarah Untuk Mengembangkan
Penggunaan Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution, Orasi Ilmiah Dalam
Rangka Dies Natalis XXIX Universitas Sebelas Maret Disampaikan Pada
Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Tanggal 12 Maret 2005

Republik Indonesia. Undang-UndangtentangKitabUndang-UndangHukumAcara Pidana.
UU Nomor 8 Tahun 1981.

Republik Indonesia. Undang-UndangtentangPengadilan Anak . UU Nomor 3 Tahun
1997 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.

Republik Indonesia. Undang-UndangtentangSistemPeradilan Pidana Anak. UU Nomor
11 Tahun 2012. Belum dalam bentuk lembaran lepas.

Resolusi PBB A/ RES/ 40/ 33 Tahun 1986 tentang UnitedNations StandardMinimum
Rules for theAdministration of JuvenileJustice("TheBeijingRules")

You might also like