You are on page 1of 31

REFERAT

PENATALAKSANAAN APENDEKTOMI PADA KASUS


APENDIKSITIS : LAPAROTOMI DAN LAPAROSKOPI










Pembimbing

dr. H. Abd. Djalaluddin, Sp. B



Disusun Oleh :

Fitri Yulianti
G1A212113





Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah RSUD Margono Soekardjo
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2013

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

PENATALAKSANAAN APENDEKTOMI PADA KASUS
APENDIKSITIS : LAPAROTOMI DAN LAPAROSKOPI

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Di bagian SMF Ilmu Bedah
RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto


Disusun Oleh :
Fitri Yulianti G1A212113




Purwokerto, 12 Juni 2013

Mengetahui,
Pembimbing,






dr. H. Abd. Djalaluddin, Sp. B.
NIP. 19520619 198011 1 002



PRESENTASI KASUS
STRUMA NODOSA NON TOKSIK











Pembimbing

dr. H. Abd. Djalaluddin, Sp. B



Disusun Oleh :

Fitri Yulianti
G1A212113






Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah RSUD Margono Soekardjo
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2013


LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Di bagian SMF Ilmu Bedah
RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto


Disusun Oleh :
Fitri Yulianti G1A212113




Purwokerto, 12 Juni 2013

Mengetahui,
Pembimbing,






dr. H. Abd. Djalaluddin, Sp. B.
NIP. 19520619 198011 1 002



BAB I
PENDAHULUAN

Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan ditambah organ-organ
pencernaan tambahan (aksesori). Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk
memindahkan zat gizi atau nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita
makan ke dalam lingkungan internal tubuh. Makanan sebagai sumber ATP untuk
menjalankan berbagai aktivitas bergantung energi, misalnya transportasi aktif,
kontraksi, sintesis, dan sekresi. Makanan juga merupakan makanan sumber bahan
untuk perbaikan, pembaruan, dan penambahan jaringan tubuh. Sistem pencernaan
tidak dapat melaksanakan fungsinya jika dalam keadaan terganggu.
Walaupun sistem pencernaan mempunyai manfaat yang sangat besar
dalam kehidupan kita, akan tetapi tidak jarang juga kelainan pada sistem ini juga
dapat mengakibatkan kematian. Salah satu penyebab kelainan pada sistem
percernaan adalah terjadinya inflamasi pada organ-organ yang menyusun saluran
pencernaan. Penyakit inflamasi pada sistem pencernaan dapat mengenai semua
organ, salah satunya pada apendiks yang biasa disebut apendisitis. Apendisitis
adalah suatu penyakit inflamasi pada apendiks diakibanya terbuntunya lumen
apendiks. Apendisitis disebabkan terbuntunya lumen apendiks. dengan fecalit,
benda asing atau karena terjepitnya apendiks
Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada negara
berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi.
Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara
berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemiologi
apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai
puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada
menjelang dewasa.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis.
Peradangan akut pada apendiks membutuhkan tindakan bedah dengan segera
untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat,
2004). Peradangan yang terjadi pada apendik mengenai semua lapisan pada
dinding organ tersebut (Price, 2005).
Berdasarkan ICD-10, penyakit yang menyerang apendiks diberi kode
K35-K38. Adapun penyakit yang yang jenisnya adalah peradangan
(apendisitis), diklasifikan sebagai (WHO, 2004):
1. Apendisitis akut (K-35)
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks.
Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya
akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat
berupa hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks, fekalit, benda
asing ataupun tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra
mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan
infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan
supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain
obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata (K35.0)
Apendisitis akut disertai dengan perforasi ataupun ruptur.
b. Apendisitis akut dengan abses peritoneal (K35.1)
Apendisitis akut disertai abses apendiks.
c. Apendisitis akut unspecified (K35.9)
Apendisitis akut dengan tanda-tanda peritonitis tapi tidak ditemukan
adanya peritonitis generalisata, ruptur, perforasi maupun abses.
2. Other appendicitis (K-36)
a. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika
dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan
mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5
persen.
b. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis
rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara
patologik. Pada apendisitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
3. Unspecified appendicitis (K-37)

B. Anatomi dan fisiologi
Apendiks adalah organ berbentuk tabung yang panjangnya 3-15 cm.
Pangkal apendiks ada di sekum yang biasanya berasal dari sisi medial
caecum, di bawah junctura ileocaecalis. Apendiks dan sekum dihubungkan
melalui valva Geralch. Pangkal apendiks merupakan tempat pertemuan dari 3
taenia. Apendiks berhubungan dengan sekum dan ileum melalui
mesenteriumnya sendiri yaitu mesoapendiks (Bhat, 2007; Snell, 2006;
Martini, 2009).
Apendiks memiliki lumen yang sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal,
sedangkan sebagian kecil kasus menemukan apendiks terletak retroperitoneal,
yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens atau lateral kolon
asendens. Persarafan apendiks terdiri dari simpatis dan parasimpatis.
Persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X sedangkan parasimpatisnya
berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan
a.apendikularis (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada posisi yang lazim, pada dinding abdomen, apendiks terletak di
bawah titik McBurney. Titik tersebut dapat dicari dengan menarik garis dari
spina iliaca anterior superior (SIAS) dekstra ke arah umbilikus. Titik tengah
dari garis ini merupakan tempat pangkal apendiks (Price, 2005). Sedangkan
ujung apendiks dapat terletak di lokasi-lokasi yang berbeda tiap individunya.
Letak apendiks pada sebagian besar individu (65%) berada pada retrocaecal.
Selanjutnya sekitar 30% individu memiliki ujung apendiks yang letaknya
menurun ke bawah menuju ke rongga pelvis minor (pelvic). Ujung apendiks
pada 2% individu terletak preileal (di belakang ileum), sedangkan kurang dari
1% individu lainnya memiliki apendiks yang terletak postileal (di depan
ileum) (Sobotta, 2007).

Gambar 1. Variasi posisi ujung apendiks
Apendiks menghasilkan lendir setiap harinya. Lendir sebanyak 1-2 ml
normalnya akan dicurahkan ke dalam lumen untuk selanjutnya dialirkan ke
sekum. Hambatan aliran lendir diduga berperan pada patogenesis terjadinya
apendisitis. Sepanjang dinding saluran apendiks terdapat gut association
lymphoid tissue (GALT) yang akan menghasilkan imunoglobulin sekretoar
dengan jenis IgA. Imunoglobulin ini berperan sebagai pelindung terhadap
proses infeksi. Karena jumlah imunoglobulin yang dihasilkan apendiks cukup
sedikit, pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh
(Sjamsuhidajat, 2004).

C. Epidemiologi
Apendisitis dapat ditemui pada berbagai tingkatan usia, kecuali anak
dibawah umur 1 tahun. Jarang ditemukan kasus apendisitis pada anak usia
kurang dari 1 tahun. Hal ini dimungkinkan karena anatomi lumen apendik
pada usia kurang dari 1 tahun berbentuk kerucut, lumen lebih lebar pada
bagian proksimal kemudian menyempit di bagian distal. Insiden tertinggi
ditemukan pada kelompok usia 20-30 tahun. Insiden pada pria dan wanita
umumnya sebanding, tetapi pada usia lebih dari 30 tahun, insiden pada pria
lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2004).
Menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita,
sedangkan meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat
remaja dan awal usia 20-an, dan angka ini menurun pada usia menjelang
dewasa. Insiden apendisitis memiliki rasio yang sama antara wanita dan laki-
laki pada masa prapubertas. Sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda
rasionya menjadi 3:2.



D. Etiologi dan faktor risiko
Apendisitis akut terjadi karena infeksi bakteri dengan berbagai faktor
pencetus. Faktor pencetus yang paling sering ditemukan adalah sumbatan
pada lumen apendiks, sedangkan faktor pencetus lainnya adalah hiperplasia
jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, sumbatan cacing askaris dan erosi
mukosa apendiks yang disebabkan oleh E.histolytica (Sjamsuhidajat, 2004).
Kebiasaan makan makanan rendah serat dan konstipasi berperan
menimbulkan apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal
yang dapat menyebabkan timbulnya sumbatan fungsional apendiks sehingga
meningkatkan pertumbuhan flora kolon biasa (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor Obstruksi
Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing
dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes
fragililis, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes
splanicus.


3. Faktor genetik
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang memudahkan terjadi apendisitis.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari.

E. Patofisiologi
Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang
disebabkan oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus.
Obstruksi pada lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Tekanan di dalam sekum akan meningkat.
Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora kuman di kolon
mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa
apendiks. Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis
komplit, yang meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi
oleh berbagai faktor pencetus setempat yang menghambat pengosongan
lumen apendiks atau mengganggu motilitas normal apendiks (Wise, 2000).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor (Wise, 2000).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Wise, 2000).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang
diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Wise, 2000).

F. Penegakkan diagnosis
1. Anamnesis
a. Gejala diawali nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral
di daerah epigastrium dan sekitar umbilikus, kemudian dalam
beberapa jam nyeri akan akan berpindah ke perut bagian kuadran
kanan bawah di bawah titik McBurney. Nyeri yang terasa akan lebih
tajam dan jelas letaknya. Nyeri bertambah apabila pasien mengejan
atau batuk (Sjamsuhidajat, 2004).
b. Terkadang disertai mual dan muntah.
c. Nafsu maka menurun.
d. Konstipasi ataupun diare, tergantung posisi apendiks.
2. Pemeriksaan fisik
a. Demam ringan (37,5-38,5
o
C). Demam dengan suhu yang lebih tinggi
merupakan indikasi sudah terjadi perforasi (Sjamsuhidajat, 2004).
b. Perut kembung apabila sudah terjadi komplikasi berupa perforasi
(Sjamsuhidajat, 2004).
c. Nyeri tekan yang terkadang disertai nyeri lepas (Sjamsuhidajat, 2004).
d. Peristaltik usus masih normal. Peristaltik usus menghilang apabila
terjadi ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis
perforata (Sjamsuhidajat, 2004).
e. Tanda Rovsing
Nyeri yang dirasakan pada perut kanan bagian bawah pada penekanan
perut bagian kiri (Sjamsuhidajat, 2004).
f. Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas
mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri (Bhat, 2007)

g. Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak
dengan m. obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.
Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang
akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji
psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan
untuk mengetahui letak apendiks (Bhat, 2007)
h. Skor Alvarado
Characteristic Score
M = Migration of pain to the RLQ 1
A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of WBC to the left 1
Total 10

Interpretasi skor (Bhat, 2007):
1) Skor <5 : bukan apendisitis
2) Skor 5-6 : mungkin apendisitis
3) Skor 6-9 : kemungkinan besar apendisitis
4) Skor >9 : apendisitis
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis
diantaranya :
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Leukosit bisa meningkat ataupun normal, leukositosis
ditemukan pada kebanyakan kasus apendisitis akut terutama
pada kasus dengan komplikasi (Wise, 2000).
2) Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urin dilakukan untuk melihat adanya eritrosit,
leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan apendisitis (Wise, 2000).
b. Radiologis
1) Foto polos abdomen
Pada apendisitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi
komplikasi (misalnya peritonitis) tampak (Wise, 2000):
a) scoliosis ke kanan
b) psoas shadow tak tampak
c) bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
d) garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
e) 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak

2) USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai
adanya abses. Pemeriksaan USG tidak dapat menampilkan
apendiks yang normal, akan tetapi apendiks yang sudah
mengalami peradangan dapat terlihat dengan USG. Selain itu
dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
3) Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke
colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
komplikasi- komplikasi dari appendicitis pada jaringan
sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
4) CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari apendicitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari apendicitis seperti bila
terjadi abses.
c. Laparoskopi diagnostik
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukkan dalam abdomen, apendiks dapat divisualisasikan secara
langsung. Teknik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum.
Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada
apendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan
pengangkatan apendiks (apendektomi).
G. Diagnosis banding
1. Gastroenteritis
Gejala pada gastroenteritis yang mirip dengan apendisitis adalah nyeri
abdomen, mual-muntah dan diare. Pada apendisitis, nyeri abdomen terjadi
sebelum mual-muntah, sedangkan pada gastroenteritis, nyeri abdomen
terjadi hampir bersamaan dengan mual-muntah. Diare yang terjadi pada
apendisitis bersifat iritatif dan volume yang sedikit, sedangkan diare pada
gastroenteritis bersifat frekuensi dengan volume yang cukup banyak
(Wise, 2000).
2. Infeksi saluran kemih
Demam, leukositosis dan disuria merupakan gejala yang bisa ditemukan
pada kasus apendisitis maupun infeksi saluran kemih. Untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih dilakukan
pemeriksaan urin, selain itu adanya nyeri pada regio flank juga dapat
memperkuat diagnosis infeksi saluran kemih (Wise, 2000).
3. Demam dengue
4. Limfadenitis mesenterika
5. Urolitiasis pielum/ureter kanan
6. Kista ovarium terpuntir
7. Endometriosis eksterna (Sjamsuhidajat, 2004)

H. Komplikasi (Sjamsuhidajat, 2004)
1. Perforasi
2. Masa periapendikuler
3. Peritonitis
4. Abses intraabdominal

I. Waktu pemulangan tergantung pada :
1. Seberapa dini penegakkan diagnosis apendisitis
2. Derajat inflamasi
3. Penggunaan metode bedah

J. Penatalaksanaan
1. Penanganan awal/suportif (Elsevier, 2007; Keyzer, 2011)
a. Pengawasan airway, breathing dan circulation
b. Pembuatan akses intravena untuk resusitasi cairan dan pemberian
obat-obatan simptomatik (antiemetik, analgesik)
c. Monitoring denyut nadi, tekanan darah, suhu dan pengeluaran urin.
d. Monitoring tanda-tanda khas dari diagnosis banding yang diduga.
2. Penanganan operatif
Apendektomi merupakan tindakan operatif yang harus dilakukan ketika
diagnosis apekdisitis sudah ditegakkan. Secara umum, teknik
apendektomi dapat dilakukan melalui 2 jenis tindakan (Elsevier, 2007):
a. Laparotomi
Laparotomi secara tata bahasa dapat diartikan sebagai insisi
pembedahan melalui pinggang. Walaupun begitu, kata laparo
seringkali digunakan tidak hanya menunjukkan daerah pinggang
tetapi juga untuk menyatakan abdomen. Jenis insisi yang dapat
digunakan dalam laparotomi ini ada beberapa macam yang bisa
dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu, adapun hal-hal yang
harus dipertimbangkan dalam pemilihan jenis insisi yaitu (Elsevier,
2007; Burger, 2002):
1) Extensibility
Kebutuhan luas daerah pemaparan.
2) Accesibility
Lokasi organ target dari dinding abdomen.
3) Security
Mencakup kenyamanan pasca operasi dan tingkat kesembuhan.
4) Cosmetic
Luka yang dihasilkan pasca pembedahan.
5) Pandangan pribadi
6) Tingkat kegawatan
Insisi yang dilakukan akan melewati beberapa struktur dari dinding
abdomen, adapun susunan lapisan dinding abdomen dari luar ke dalam
yaitu (Snell, 2006) :
1) Kulit
2) Fascia superficialis
a) Fascia camperi (lapisan adiposa)
b) Fascia carpae (lapisan membranosa)
3) Fascia profunda
4) Muskulus obliqus externus abdominis
5) Muskulus obliqus internus abdominis
6) Muskulus transversus abdominis
7) Vagina musculi recti abdominis
8) Muskulus rectus abdominis
9) Fascia transversalis
10) Lemak extraperitoneal
11) Peritoneum parietal
Adapun jenis insisi yang dapat dilakukan untuk tindakan laparotomi
dengan tujuan apendektomi diantaranya (Elsevier, 2007; Keyzer,
2011; Burger, 2002):
1) Midline incision
Midline incision atau insisi median merupakan pilihan utama pada
keadaan atau kasus yang darurat.
a) Kelebihan
(1) Sedikit perdarahan
(2) Tidak memotong saraf dan otot
(3) Tidak ada kerusakan otot-otot abdomen
(4) Paparan bidang operasi luas dan dapat diluaskan ke arah
cranial.
(5) Waktu singkat saat pembukaan dan penutupan
b) Kekurangan
(1) Dapat terjadi hernia insisional jika penutupan luka tidak
baik.
(2) Waktu penyembukan luka lama
(3) Hasil kosmetik tidak terlalu baik
c) Teknik
(1) Pemotongan pada linea alba dengan scalpel pada insisi
garis tengah
(2) Insisi diperdalam sehingga memotong lemak subkutis,
anteror dan posterior sheath dari m.rectus serta
peritoneum
(3) Membuka peritoneum dengan scalpel secara hati-hati
dan terlihat usus kecil yang menonjol dibalik insisi
peritoneum
(4) Insisi peritoneum diperluas ke cephalad dengan gunting
Mayo kearah umbilicus

Gambar 2. Insisi midline



2) Lanz incision
Lanz incision merupakan jenis insisi transversal. Jenis insisi ini
merupakan jenis insisi yang populer untuk dilakukan karena hasil
kosmetik pasca pembedahan yang paling baik.

Gambar 3. Insisi Lanz
a) Kelebihan
(1) Merupakan incisi fisiologis
(2) Kosmetik post operasi baik
(3) Jarang menimbulkan hernia
(4) Pasien merasa nyaman pasca pembedahan
b) Kekurangan
(1) Area operasi sempit dan sulit diperluas
(2) Banyak terjadi perdarahan
(3) Waktu operasi lama
(4) Teknik operasi lebih sulit
c) Teknik
(1) Tentukan titik Lanz, yaitu merupakan titik berada di 1/3
kanan jarak dari garis menghubungkan spina iliaca
anterior superior (SIAS) dekstra dan sinistra.
(2) Dibuat insisi secara transversal sesuai garis lipatan kulit.
3) Gridiron incision / McBurney incision
Gridiron incision atau McBurney incision adalah jenis insisi
oblique yang menghubungkan titik McBurney dan titik Lanz.
Teknik ini populer karena tempat insisinya adalah yang terdekat
menuju ke tempat apendiks.

Gambar 4. Insisi McBurney

a) Kelebihan
(1) Akses ke organ target dekat
(2) Tidak memotong otot yang dilalui untuk mencapai organ
target
b) Kekurangan
(1) Hasil kosmetik kurang baik
(2) Paparan area operasi sempit
c) Teknik
1) Tentukan titik McBurney, yaitu merupakan titik yang
berada di 1/3 kanan jarak dari garis menghubungkan spina
iliaca anterior superior (SIAS) dekstra dan umbilikal.
2) Tentukan titik Lanz, yaitu merupakan titik berada di 1/3
kanan jarak dari garis menghubungkan spina iliaca
anterior superior (SIAS) dekstra dan sinistra.
3) Dibuat insisi yang menghubungkan kedua garis tersebut.
4) Insisi kulit dan jaringan lemak yang ada di bawahnya,
kemudian insisi muskulus obliquus eksternus abdominis
sesuai dengan arah seratnya.
5) Muskulus obliquus internus abdominis dan muskulus
tranversus abdominis dipisahkan seratnya satu sama lain
sehingga organ target bisa terlihat.
b. Laparoskopi
Laparoskopi adalah pemeriksaan bagian dalam abdomen
dengan menggunakan alat laparoskop. Laparoskopi merupakan
tindakan bedah yang mengunakan teknik Minimaly invasive surgery
(bedah invasif minimal) menggunakan teleskop/camera kecil yang
dimasukkan kedalam perut dan instrumen bedah dalam bentuk mini.
Sering dikenal sebagai istilah awamnya diteropong. Metode
laparoskopi merupakan metode terkini dalam dunia kedokteran
(Keyzer, 2011).

Gambar 5. Titik-titik laparoskopi
1) Kelebihan
a) Trauma pembedahan minimal
b) Nyeri pasca operasi lebih minimal
c) Penyembuhan pasca operasi lebih cepat
d) Hasil kosmetik yang lebih baik
2) Kekurangan
a) Teknik pengerjaan sulit
b) Waktu operasi lebih lama
3) Teknik
Laparoskopi merupakan teknik pembedahan atau operasi yang
dilakukan dengan membuat dua atau tiga lubang kecil
(berdiameter 5-10 milimeter) pada dinding perut pasien. Satu
lubang pada pusar digunakan untuk memasukkan sebuah alat
yang dilengkapi kamera untuk memindahkan gambar dalam
rongga perut ke layar monitor, sementara dua lubang yang lain
untuk instrumen bedah yang lain. Pada suatu keadaan mungkin
dibutuhkan lubang tambahan. Bahkan saat ini ada kemajuan
pembedahan laparoskopi dimana lubang yang digunakan hanya
satu yang dibuat pada pusar pasien. Tindakannya dinamakan
Single Port Laparoscopy. Secara kosmetik akan jauh lebih baik
seakan tidak pernah dilakukan tindakan operasi sebelumnya!
Selanjutnya akan digunakan gas karbondioksida (CO2) untuk
mengembangkan rongga perut sehingga mudah melakukan
tindakan. Namun ada pula teknik yang melihat langsung tanpa
gas dengan mengangkat kulit dinding perut dengan alat khusus
(Keyzer, 2011).
3. Perawatan pasca operasi (Wise, 2000)
a. Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan sehari
2-3 liter cairan RL dan D5%.
b. Pada apendisitis tanpa perforasi: Antibiotika diberikan hanya 1 x 24
jam. Pada apendisitis dengan Perforasi: Antibiotika diberikan hingga
jika gejala klinis infeksi reda dan laboratorium normal. (sesuai
Kultur kuman).
c. Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan
kaki, miring kekiri dan kanan bergantian dan duduk. Penderita boleh
jalan pada hari pertama pasca bedah.
d. Pemberian makanan peroral dimulai dengan memberi minum
sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu
adanya flatus dan bising usus. Bilamana dengan pemberian minum
bebas penderita tidak kembung maka pemberian makanan peroral
dimulai.
e. Jahitan diangkat pada hari 5-7 pasca bedah.




















BAB III
KESIMPULAN

1. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang mengenai
semua lapisan pada dinding organ tersebut.
2. Apendisitis akut terjadi karena infeksi bakteri dengan berbagai faktor
pencetus. Faktor pencetus yang paling sering ditemukan adalah sumbatan
pada lumen apendiks, sedangkan faktor pencetus lainnya adalah hiperplasia
jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, sumbatan cacing askaris dan erosi
mukosa apendiks yang disebabkan oleh E.histolytica.
3. Penegakkan diagnosis apendisitis akut dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
4. Penatalaksanaan apendiksitis dilakukan dengan apendektomi. Pertimbangan
tertentu dijadikan patokan untuk berbagai jenis insisi yang dapat dilakukan
diantaranya :
a. Laparotomi
1) Midline incision
2) Insisi Lanz
3) Insisi McBurney
b. Laparoskopi




DAFTAR PUSTAKA

Bhat, Sriram. 2007. Manual of Surgery. Gopsons Papers, New Delhi.
Burger, J.W.A., M.V. Riet and J. Jeekel. 2002. Abdominal Incision :
Techniques and Postoperative Complications. Scandinavian Journal of
Surgery. 91 : 315-321.
Elsevier, Mosby. 2007. Flash and Bones of Surgery. Elsevierhealth, British.
Keyzer, Caroline dan Pierre Alain Genevois. 2011. Imaging of Acute
Appendicitis in Adult and Children. Springer, Jerman.
Martini, Frederich H. dan Judi L. Nath. 2009. Anatomy and Physiology.
Pearson International Edition.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC,
Jakarta.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC,
Jakarta.
Sobotta. 2007. Atlas Anatomi Manusia : Sobotta. Jilid 2. EGC, Jakarta.
Wise, B.V., C. McKenna, G. Garvin, B.J. Harmon. 2000. Nursing Care of the
General Pediatric Surgical Patient. An Aspen Publication, USA.
WHO. 2004. International Statistical Classification of Diseases and Health
Related Problem : Tenth Revision-Second Edition. DIMDI, Germany.

You might also like