Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah RSUD Margono Soekardjo Fakultas Kedokteran dan Ilmu Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 2013
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENATALAKSANAAN APENDEKTOMI PADA KASUS APENDIKSITIS : LAPAROTOMI DAN LAPAROSKOPI
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Di bagian SMF Ilmu Bedah RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun Oleh : Fitri Yulianti G1A212113
Purwokerto, 12 Juni 2013
Mengetahui, Pembimbing,
dr. H. Abd. Djalaluddin, Sp. B. NIP. 19520619 198011 1 002
PRESENTASI KASUS STRUMA NODOSA NON TOKSIK
Pembimbing
dr. H. Abd. Djalaluddin, Sp. B
Disusun Oleh :
Fitri Yulianti G1A212113
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah RSUD Margono Soekardjo Fakultas Kedokteran dan Ilmu Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 2013
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
STRUMA NODOSA NON TOKSIK
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Di bagian SMF Ilmu Bedah RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun Oleh : Fitri Yulianti G1A212113
Purwokerto, 12 Juni 2013
Mengetahui, Pembimbing,
dr. H. Abd. Djalaluddin, Sp. B. NIP. 19520619 198011 1 002
BAB I PENDAHULUAN
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan ditambah organ-organ pencernaan tambahan (aksesori). Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi atau nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal tubuh. Makanan sebagai sumber ATP untuk menjalankan berbagai aktivitas bergantung energi, misalnya transportasi aktif, kontraksi, sintesis, dan sekresi. Makanan juga merupakan makanan sumber bahan untuk perbaikan, pembaruan, dan penambahan jaringan tubuh. Sistem pencernaan tidak dapat melaksanakan fungsinya jika dalam keadaan terganggu. Walaupun sistem pencernaan mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan kita, akan tetapi tidak jarang juga kelainan pada sistem ini juga dapat mengakibatkan kematian. Salah satu penyebab kelainan pada sistem percernaan adalah terjadinya inflamasi pada organ-organ yang menyusun saluran pencernaan. Penyakit inflamasi pada sistem pencernaan dapat mengenai semua organ, salah satunya pada apendiks yang biasa disebut apendisitis. Apendisitis adalah suatu penyakit inflamasi pada apendiks diakibanya terbuntunya lumen apendiks. Apendisitis disebabkan terbuntunya lumen apendiks. dengan fecalit, benda asing atau karena terjepitnya apendiks Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada negara berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Peradangan akut pada apendiks membutuhkan tindakan bedah dengan segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2004). Peradangan yang terjadi pada apendik mengenai semua lapisan pada dinding organ tersebut (Price, 2005). Berdasarkan ICD-10, penyakit yang menyerang apendiks diberi kode K35-K38. Adapun penyakit yang yang jenisnya adalah peradangan (apendisitis), diklasifikan sebagai (WHO, 2004): 1. Apendisitis akut (K-35) Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks, fekalit, benda asing ataupun tumor. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks. Apendisitis akut dibagi menjadi : a. Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata (K35.0) Apendisitis akut disertai dengan perforasi ataupun ruptur. b. Apendisitis akut dengan abses peritoneal (K35.1) Apendisitis akut disertai abses apendiks. c. Apendisitis akut unspecified (K35.9) Apendisitis akut dengan tanda-tanda peritonitis tapi tidak ditemukan adanya peritonitis generalisata, ruptur, perforasi maupun abses. 2. Other appendicitis (K-36) a. Apendisitis kronik Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen. b. Apendisitis rekurens Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendisitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut. 3. Unspecified appendicitis (K-37)
B. Anatomi dan fisiologi Apendiks adalah organ berbentuk tabung yang panjangnya 3-15 cm. Pangkal apendiks ada di sekum yang biasanya berasal dari sisi medial caecum, di bawah junctura ileocaecalis. Apendiks dan sekum dihubungkan melalui valva Geralch. Pangkal apendiks merupakan tempat pertemuan dari 3 taenia. Apendiks berhubungan dengan sekum dan ileum melalui mesenteriumnya sendiri yaitu mesoapendiks (Bhat, 2007; Snell, 2006; Martini, 2009). Apendiks memiliki lumen yang sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, sedangkan sebagian kecil kasus menemukan apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens atau lateral kolon asendens. Persarafan apendiks terdiri dari simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X sedangkan parasimpatisnya berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis (Sjamsuhidajat, 2004). Pada posisi yang lazim, pada dinding abdomen, apendiks terletak di bawah titik McBurney. Titik tersebut dapat dicari dengan menarik garis dari spina iliaca anterior superior (SIAS) dekstra ke arah umbilikus. Titik tengah dari garis ini merupakan tempat pangkal apendiks (Price, 2005). Sedangkan ujung apendiks dapat terletak di lokasi-lokasi yang berbeda tiap individunya. Letak apendiks pada sebagian besar individu (65%) berada pada retrocaecal. Selanjutnya sekitar 30% individu memiliki ujung apendiks yang letaknya menurun ke bawah menuju ke rongga pelvis minor (pelvic). Ujung apendiks pada 2% individu terletak preileal (di belakang ileum), sedangkan kurang dari 1% individu lainnya memiliki apendiks yang terletak postileal (di depan ileum) (Sobotta, 2007).
Gambar 1. Variasi posisi ujung apendiks Apendiks menghasilkan lendir setiap harinya. Lendir sebanyak 1-2 ml normalnya akan dicurahkan ke dalam lumen untuk selanjutnya dialirkan ke sekum. Hambatan aliran lendir diduga berperan pada patogenesis terjadinya apendisitis. Sepanjang dinding saluran apendiks terdapat gut association lymphoid tissue (GALT) yang akan menghasilkan imunoglobulin sekretoar dengan jenis IgA. Imunoglobulin ini berperan sebagai pelindung terhadap proses infeksi. Karena jumlah imunoglobulin yang dihasilkan apendiks cukup sedikit, pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh (Sjamsuhidajat, 2004).
C. Epidemiologi Apendisitis dapat ditemui pada berbagai tingkatan usia, kecuali anak dibawah umur 1 tahun. Jarang ditemukan kasus apendisitis pada anak usia kurang dari 1 tahun. Hal ini dimungkinkan karena anatomi lumen apendik pada usia kurang dari 1 tahun berbentuk kerucut, lumen lebih lebar pada bagian proksimal kemudian menyempit di bagian distal. Insiden tertinggi ditemukan pada kelompok usia 20-30 tahun. Insiden pada pria dan wanita umumnya sebanding, tetapi pada usia lebih dari 30 tahun, insiden pada pria lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2004). Menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, sedangkan meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal usia 20-an, dan angka ini menurun pada usia menjelang dewasa. Insiden apendisitis memiliki rasio yang sama antara wanita dan laki- laki pada masa prapubertas. Sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rasionya menjadi 3:2.
D. Etiologi dan faktor risiko Apendisitis akut terjadi karena infeksi bakteri dengan berbagai faktor pencetus. Faktor pencetus yang paling sering ditemukan adalah sumbatan pada lumen apendiks, sedangkan faktor pencetus lainnya adalah hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, sumbatan cacing askaris dan erosi mukosa apendiks yang disebabkan oleh E.histolytica (Sjamsuhidajat, 2004). Kebiasaan makan makanan rendah serat dan konstipasi berperan menimbulkan apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal yang dapat menyebabkan timbulnya sumbatan fungsional apendiks sehingga meningkatkan pertumbuhan flora kolon biasa (Sjamsuhidajat, 2004). Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya : 1. Faktor Obstruksi Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. 2. Faktor Bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes fragililis, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
3. Faktor genetik Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang memudahkan terjadi apendisitis. 4. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
E. Patofisiologi Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang disebabkan oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Obstruksi pada lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Tekanan di dalam sekum akan meningkat. Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora kuman di kolon mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa apendiks. Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplit, yang meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor pencetus setempat yang menghambat pengosongan lumen apendiks atau mengganggu motilitas normal apendiks (Wise, 2000). Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor (Wise, 2000). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Wise, 2000). Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Wise, 2000).
F. Penegakkan diagnosis 1. Anamnesis a. Gejala diawali nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium dan sekitar umbilikus, kemudian dalam beberapa jam nyeri akan akan berpindah ke perut bagian kuadran kanan bawah di bawah titik McBurney. Nyeri yang terasa akan lebih tajam dan jelas letaknya. Nyeri bertambah apabila pasien mengejan atau batuk (Sjamsuhidajat, 2004). b. Terkadang disertai mual dan muntah. c. Nafsu maka menurun. d. Konstipasi ataupun diare, tergantung posisi apendiks. 2. Pemeriksaan fisik a. Demam ringan (37,5-38,5 o C). Demam dengan suhu yang lebih tinggi merupakan indikasi sudah terjadi perforasi (Sjamsuhidajat, 2004). b. Perut kembung apabila sudah terjadi komplikasi berupa perforasi (Sjamsuhidajat, 2004). c. Nyeri tekan yang terkadang disertai nyeri lepas (Sjamsuhidajat, 2004). d. Peristaltik usus masih normal. Peristaltik usus menghilang apabila terjadi ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata (Sjamsuhidajat, 2004). e. Tanda Rovsing Nyeri yang dirasakan pada perut kanan bagian bawah pada penekanan perut bagian kiri (Sjamsuhidajat, 2004). f. Uji Psoas Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri (Bhat, 2007)
g. Uji Obturator Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks (Bhat, 2007) h. Skor Alvarado Characteristic Score M = Migration of pain to the RLQ 1 A = Anorexia 1 N = Nausea and vomiting 1 T = Tenderness in RLQ 2 R = Rebound pain 1 E = Elevated temperature 1 L = Leukocytosis 2 S = Shift of WBC to the left 1 Total 10
Interpretasi skor (Bhat, 2007): 1) Skor <5 : bukan apendisitis 2) Skor 5-6 : mungkin apendisitis 3) Skor 6-9 : kemungkinan besar apendisitis 4) Skor >9 : apendisitis 3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis diantaranya : a. Laboratorium 1) Pemeriksaan darah Leukosit bisa meningkat ataupun normal, leukositosis ditemukan pada kebanyakan kasus apendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi (Wise, 2000). 2) Pemeriksaan urin Pemeriksaan urin dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan apendisitis (Wise, 2000). b. Radiologis 1) Foto polos abdomen Pada apendisitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya peritonitis) tampak (Wise, 2000): a) scoliosis ke kanan b) psoas shadow tak tampak c) bayangan gas usus kanan bawah tak tampak d) garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak e) 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
2) USG Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Pemeriksaan USG tidak dapat menampilkan apendiks yang normal, akan tetapi apendiks yang sudah mengalami peradangan dapat terlihat dengan USG. Selain itu dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. 3) Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi- komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. 4) CT-Scan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari apendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari apendicitis seperti bila terjadi abses. c. Laparoskopi diagnostik Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, apendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Teknik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada apendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan apendiks (apendektomi). G. Diagnosis banding 1. Gastroenteritis Gejala pada gastroenteritis yang mirip dengan apendisitis adalah nyeri abdomen, mual-muntah dan diare. Pada apendisitis, nyeri abdomen terjadi sebelum mual-muntah, sedangkan pada gastroenteritis, nyeri abdomen terjadi hampir bersamaan dengan mual-muntah. Diare yang terjadi pada apendisitis bersifat iritatif dan volume yang sedikit, sedangkan diare pada gastroenteritis bersifat frekuensi dengan volume yang cukup banyak (Wise, 2000). 2. Infeksi saluran kemih Demam, leukositosis dan disuria merupakan gejala yang bisa ditemukan pada kasus apendisitis maupun infeksi saluran kemih. Untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih dilakukan pemeriksaan urin, selain itu adanya nyeri pada regio flank juga dapat memperkuat diagnosis infeksi saluran kemih (Wise, 2000). 3. Demam dengue 4. Limfadenitis mesenterika 5. Urolitiasis pielum/ureter kanan 6. Kista ovarium terpuntir 7. Endometriosis eksterna (Sjamsuhidajat, 2004)
H. Komplikasi (Sjamsuhidajat, 2004) 1. Perforasi 2. Masa periapendikuler 3. Peritonitis 4. Abses intraabdominal
I. Waktu pemulangan tergantung pada : 1. Seberapa dini penegakkan diagnosis apendisitis 2. Derajat inflamasi 3. Penggunaan metode bedah
J. Penatalaksanaan 1. Penanganan awal/suportif (Elsevier, 2007; Keyzer, 2011) a. Pengawasan airway, breathing dan circulation b. Pembuatan akses intravena untuk resusitasi cairan dan pemberian obat-obatan simptomatik (antiemetik, analgesik) c. Monitoring denyut nadi, tekanan darah, suhu dan pengeluaran urin. d. Monitoring tanda-tanda khas dari diagnosis banding yang diduga. 2. Penanganan operatif Apendektomi merupakan tindakan operatif yang harus dilakukan ketika diagnosis apekdisitis sudah ditegakkan. Secara umum, teknik apendektomi dapat dilakukan melalui 2 jenis tindakan (Elsevier, 2007): a. Laparotomi Laparotomi secara tata bahasa dapat diartikan sebagai insisi pembedahan melalui pinggang. Walaupun begitu, kata laparo seringkali digunakan tidak hanya menunjukkan daerah pinggang tetapi juga untuk menyatakan abdomen. Jenis insisi yang dapat digunakan dalam laparotomi ini ada beberapa macam yang bisa dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu, adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan jenis insisi yaitu (Elsevier, 2007; Burger, 2002): 1) Extensibility Kebutuhan luas daerah pemaparan. 2) Accesibility Lokasi organ target dari dinding abdomen. 3) Security Mencakup kenyamanan pasca operasi dan tingkat kesembuhan. 4) Cosmetic Luka yang dihasilkan pasca pembedahan. 5) Pandangan pribadi 6) Tingkat kegawatan Insisi yang dilakukan akan melewati beberapa struktur dari dinding abdomen, adapun susunan lapisan dinding abdomen dari luar ke dalam yaitu (Snell, 2006) : 1) Kulit 2) Fascia superficialis a) Fascia camperi (lapisan adiposa) b) Fascia carpae (lapisan membranosa) 3) Fascia profunda 4) Muskulus obliqus externus abdominis 5) Muskulus obliqus internus abdominis 6) Muskulus transversus abdominis 7) Vagina musculi recti abdominis 8) Muskulus rectus abdominis 9) Fascia transversalis 10) Lemak extraperitoneal 11) Peritoneum parietal Adapun jenis insisi yang dapat dilakukan untuk tindakan laparotomi dengan tujuan apendektomi diantaranya (Elsevier, 2007; Keyzer, 2011; Burger, 2002): 1) Midline incision Midline incision atau insisi median merupakan pilihan utama pada keadaan atau kasus yang darurat. a) Kelebihan (1) Sedikit perdarahan (2) Tidak memotong saraf dan otot (3) Tidak ada kerusakan otot-otot abdomen (4) Paparan bidang operasi luas dan dapat diluaskan ke arah cranial. (5) Waktu singkat saat pembukaan dan penutupan b) Kekurangan (1) Dapat terjadi hernia insisional jika penutupan luka tidak baik. (2) Waktu penyembukan luka lama (3) Hasil kosmetik tidak terlalu baik c) Teknik (1) Pemotongan pada linea alba dengan scalpel pada insisi garis tengah (2) Insisi diperdalam sehingga memotong lemak subkutis, anteror dan posterior sheath dari m.rectus serta peritoneum (3) Membuka peritoneum dengan scalpel secara hati-hati dan terlihat usus kecil yang menonjol dibalik insisi peritoneum (4) Insisi peritoneum diperluas ke cephalad dengan gunting Mayo kearah umbilicus
Gambar 2. Insisi midline
2) Lanz incision Lanz incision merupakan jenis insisi transversal. Jenis insisi ini merupakan jenis insisi yang populer untuk dilakukan karena hasil kosmetik pasca pembedahan yang paling baik.
Gambar 3. Insisi Lanz a) Kelebihan (1) Merupakan incisi fisiologis (2) Kosmetik post operasi baik (3) Jarang menimbulkan hernia (4) Pasien merasa nyaman pasca pembedahan b) Kekurangan (1) Area operasi sempit dan sulit diperluas (2) Banyak terjadi perdarahan (3) Waktu operasi lama (4) Teknik operasi lebih sulit c) Teknik (1) Tentukan titik Lanz, yaitu merupakan titik berada di 1/3 kanan jarak dari garis menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dekstra dan sinistra. (2) Dibuat insisi secara transversal sesuai garis lipatan kulit. 3) Gridiron incision / McBurney incision Gridiron incision atau McBurney incision adalah jenis insisi oblique yang menghubungkan titik McBurney dan titik Lanz. Teknik ini populer karena tempat insisinya adalah yang terdekat menuju ke tempat apendiks.
Gambar 4. Insisi McBurney
a) Kelebihan (1) Akses ke organ target dekat (2) Tidak memotong otot yang dilalui untuk mencapai organ target b) Kekurangan (1) Hasil kosmetik kurang baik (2) Paparan area operasi sempit c) Teknik 1) Tentukan titik McBurney, yaitu merupakan titik yang berada di 1/3 kanan jarak dari garis menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dekstra dan umbilikal. 2) Tentukan titik Lanz, yaitu merupakan titik berada di 1/3 kanan jarak dari garis menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dekstra dan sinistra. 3) Dibuat insisi yang menghubungkan kedua garis tersebut. 4) Insisi kulit dan jaringan lemak yang ada di bawahnya, kemudian insisi muskulus obliquus eksternus abdominis sesuai dengan arah seratnya. 5) Muskulus obliquus internus abdominis dan muskulus tranversus abdominis dipisahkan seratnya satu sama lain sehingga organ target bisa terlihat. b. Laparoskopi Laparoskopi adalah pemeriksaan bagian dalam abdomen dengan menggunakan alat laparoskop. Laparoskopi merupakan tindakan bedah yang mengunakan teknik Minimaly invasive surgery (bedah invasif minimal) menggunakan teleskop/camera kecil yang dimasukkan kedalam perut dan instrumen bedah dalam bentuk mini. Sering dikenal sebagai istilah awamnya diteropong. Metode laparoskopi merupakan metode terkini dalam dunia kedokteran (Keyzer, 2011).
Gambar 5. Titik-titik laparoskopi 1) Kelebihan a) Trauma pembedahan minimal b) Nyeri pasca operasi lebih minimal c) Penyembuhan pasca operasi lebih cepat d) Hasil kosmetik yang lebih baik 2) Kekurangan a) Teknik pengerjaan sulit b) Waktu operasi lebih lama 3) Teknik Laparoskopi merupakan teknik pembedahan atau operasi yang dilakukan dengan membuat dua atau tiga lubang kecil (berdiameter 5-10 milimeter) pada dinding perut pasien. Satu lubang pada pusar digunakan untuk memasukkan sebuah alat yang dilengkapi kamera untuk memindahkan gambar dalam rongga perut ke layar monitor, sementara dua lubang yang lain untuk instrumen bedah yang lain. Pada suatu keadaan mungkin dibutuhkan lubang tambahan. Bahkan saat ini ada kemajuan pembedahan laparoskopi dimana lubang yang digunakan hanya satu yang dibuat pada pusar pasien. Tindakannya dinamakan Single Port Laparoscopy. Secara kosmetik akan jauh lebih baik seakan tidak pernah dilakukan tindakan operasi sebelumnya! Selanjutnya akan digunakan gas karbondioksida (CO2) untuk mengembangkan rongga perut sehingga mudah melakukan tindakan. Namun ada pula teknik yang melihat langsung tanpa gas dengan mengangkat kulit dinding perut dengan alat khusus (Keyzer, 2011). 3. Perawatan pasca operasi (Wise, 2000) a. Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan sehari 2-3 liter cairan RL dan D5%. b. Pada apendisitis tanpa perforasi: Antibiotika diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada apendisitis dengan Perforasi: Antibiotika diberikan hingga jika gejala klinis infeksi reda dan laboratorium normal. (sesuai Kultur kuman). c. Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan kaki, miring kekiri dan kanan bergantian dan duduk. Penderita boleh jalan pada hari pertama pasca bedah. d. Pemberian makanan peroral dimulai dengan memberi minum sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu adanya flatus dan bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak kembung maka pemberian makanan peroral dimulai. e. Jahitan diangkat pada hari 5-7 pasca bedah.
BAB III KESIMPULAN
1. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang mengenai semua lapisan pada dinding organ tersebut. 2. Apendisitis akut terjadi karena infeksi bakteri dengan berbagai faktor pencetus. Faktor pencetus yang paling sering ditemukan adalah sumbatan pada lumen apendiks, sedangkan faktor pencetus lainnya adalah hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, sumbatan cacing askaris dan erosi mukosa apendiks yang disebabkan oleh E.histolytica. 3. Penegakkan diagnosis apendisitis akut dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 4. Penatalaksanaan apendiksitis dilakukan dengan apendektomi. Pertimbangan tertentu dijadikan patokan untuk berbagai jenis insisi yang dapat dilakukan diantaranya : a. Laparotomi 1) Midline incision 2) Insisi Lanz 3) Insisi McBurney b. Laparoskopi
DAFTAR PUSTAKA
Bhat, Sriram. 2007. Manual of Surgery. Gopsons Papers, New Delhi. Burger, J.W.A., M.V. Riet and J. Jeekel. 2002. Abdominal Incision : Techniques and Postoperative Complications. Scandinavian Journal of Surgery. 91 : 315-321. Elsevier, Mosby. 2007. Flash and Bones of Surgery. Elsevierhealth, British. Keyzer, Caroline dan Pierre Alain Genevois. 2011. Imaging of Acute Appendicitis in Adult and Children. Springer, Jerman. Martini, Frederich H. dan Judi L. Nath. 2009. Anatomy and Physiology. Pearson International Edition. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC, Jakarta. Sjamsuhidajat, R. dan Wim De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC, Jakarta. Sobotta. 2007. Atlas Anatomi Manusia : Sobotta. Jilid 2. EGC, Jakarta. Wise, B.V., C. McKenna, G. Garvin, B.J. Harmon. 2000. Nursing Care of the General Pediatric Surgical Patient. An Aspen Publication, USA. WHO. 2004. International Statistical Classification of Diseases and Health Related Problem : Tenth Revision-Second Edition. DIMDI, Germany.