You are on page 1of 14

AYAT TENTANG IDDAH

Al-Ahzab Ayat 49, Al-Baqarah Ayat 228, 234 dan Al-Talaq


Ayat 4
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II

Dosen :
Bapak Helmi Yusuf, MA.

Disusun Oleh :
ANTON WAHYUDI
NIM : 06.01.0918
Hp. 081703376475

FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR'AN
JAKARTA
TAHUN 1430 H / 2009 M

1
PENDAHULUAN
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, diskursus mengenai perempuan dalam
kaitannya dengan agama dianggap penting, terutama oleh kalangan teolog feminis.
Trade mark para pengusung wacana ini umumnya adalah kesetaraan gender. Begitu
meluasnya frase suci ini, sehingga istilah-istilah diskriminasi, subordinasi, penindasan
dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan kian populer sampai ke masyarakat level
bawah.
Data historis telah menyuguhkan sekian banyak bukti yang mengindikasikan
adanya proses marginalisasi, bahkan dehumanisasi terhadap perempuan. Seperti
munculnya suatu tradisi yang dibebankan terhadap perempuan pasca-kematian (iddah)
sang suami. Masyarakat pra-Islam telah secara sadis memperlakukan apa yang
dikenal dengan iddah terhadap perempuan. Perempuan yang ditinggal mati suaminya
harus mengisolasi dirinya di ruang terpisah selama setahun penuh. Dalam
pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian,
memotong kuku, menyisir rambut dan mengganti pakaian.
Mengahadapi tradisi ini, secara perlahan Islam melakukan perubahan-
perubahan mendasar. Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu
berkabung bagi seorang istri dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara merendahkan
dan menistakan diri perempuan.1
Makalah ini akan mengakomodasi tentang masalah iddah dengan
mengedepankan ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah ini. Pada bagian
pertama akan dijelaskan tentang pengertian iddah dan macam-macamnya, kemudian
akan dikuatkan dengan tafsiran ayat Al-Qur’an yang membahas tentang iddah. Di
antaranya surat al-Ahzab ayat 49, surat al-Baqarah ayat 228 dan 234, dan surat al-
Talaq ayat 4. kemudian akan ditambahkan pula dengan munasabah keempat ayat
tersebut dan diakhiri dengan penutub.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Iddah
Iddah berasal dari kata ‘adda yang berarti menhitung. Maksudnya, perempuan
(istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Iddah dalam istilah agama
menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin

1 Abdul Moqsid Ghazali, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, (Yogyakarta:


LKIS, 2002), h. 138

2
setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya.2
Alah mensyariatkan iddah karena dalam iddah itu terdapat beberapa hikmah
yang tak ternialai harganya dan merupakan salah satu sumber keteraturan hidup.
Antara lain adalah penegasan apakah dalam rahim wanita itu terkandung benih janin
atau tidak, sehingga nasabnya tidak kacau. Begitu pula memberi kesempatan
barangkali suami mau rujuk kembali pada istrinya dan sadar akan keterlanjurannya
yang membabi-buta setelah dipikirkannya dan dipertimbangkannya dalam-dalam.
Juga dengan iddah itu akan akan semakin nampak belas kasih Tuhan terhadap
manusia, karena dengan menunggu masa iddah itu orang akan tahu betapa nikmatnya
bersuami atau beristri dan betapa malangnya perceraian sehingga dibenci Tuhan.
Hikmah yang lain adalah bila iddah itu untuk orang yang ditinggal mati suaminya,
maka di waktu itu ia lebih nampak berkabung sehingga semakin terasa
penghormatannya terhadap suami.3
B. Macam-Macam Iddah
1. Iddah bagi wanita yang masih mengalami haid adalah tiga kali
haid yang diselingi dengan masa suci.
2. Iddah bagi wanita tua yang sudah tidak mengalami haid lagi
(monopose) adalah tiga bulan.
3. Iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10
hari kaalu ia tidak hamil.
4. Adapun bagi yang hamil, maka tunggulah sampai melahirkan
sebagaimana akan diterangkan lebih lanjut nanti.
C. Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 49, Al-Baqarah Ayat 228 dan 234, dan Surat
Al-Talaq Ayat 4.
1. Al-Ahzab Ayat 49
pkššr'¯»tš tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sšÎ) ÞOçFóss3tR$
ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdqš¡yJs?
$yJsù öNä3s9 £`Îgøšn=tæ ô`ÏB ;o£šÏã $pktXršštF÷ès? (
£`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhš| ur %[n#uš| Wx šÏHsd ÇÍÒÈ
49. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[4] dan

2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006), h. 223
3 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita, Penerjemah Anshori Umar Sitanggal,
(Semarang: CV Asy-Syifa’, 1986 ), h. 434
4 yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang

3
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

Tafsir
Allah SWT memberi informasi kepada hamba-hamba-Nya dengan firman-
Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian melakukan akad nikah
dengan wanita-wanita mukmin, kemudian kalian menceraikannya sebelum
menyetubuhinya, maka kalian tidak mempunyai hak iddah yang harus mereka
penuhi. Sebab kalian menceraikannya sebelum bersetubuh. Hal ini tidak bisa
mengakibatkan diharuskannya seorang istri terkekang di rumah dan duduk
menunggu habisnya masa iddah untuk menjaga keturunan kalian. Karena kalian
tidak menggaulinya, maka tidak mungkin menghasilkan keturunan. Jadi yang
diwajibkan atas kalian adalah menyenangkan hati mereka dengan memberikan
sesuatu yang hati kalian merasa lega. Kalian juga harus memuliakan mereka
dengan memberi harta atau pakaian agar hati mereka juga lega dan menjadi ringan
beban mereka. Kalian harus menceraikan mereka dengan cara yang baik. Maka
kalian jangan sampai menyakiti hati mereka dengan kata-kata atau perbuatan dan
jangan menghalangi hak-hak mereka yang menjadi kewajiban kalian. Semua itu
merupakan wujud dari keimanan dan ketaqwaan kalian kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam.5
Kosa Kata
‫ فمتعوهن‬: Maka berilah mereka mut’ah. Mut’ah ialah barang atau jasa yang dapat
menyenangkan dan menghibur hati seseorang, seperti uang untuk bekal atau
ongkos yang meringankan beban dan penderitaan batin, supaya terhibur dan
mengurangi kesedihan.6
Ketentuan Hukum
Sudut tinjauan pertama yang dapat dilihat dalam ungkapan Al-Qur’an
adalah apakah wanita itu sudah digauli (ba’d al-mass) atau belum (qabl al-mass).
Ungkapan al-mass (an tamassu) dalam ayat ini dipahami oleh para ulama dengan
makna al-dukhul. Tampaknya para ulama sepakat menyatakan bahwa ungkapan
qabla an tamassuhunna berarti qabla al-dukhul, sehingga ayat ini dipahami
sebagai petunjuk bahwa wanita ghair al-madkhul biha tidak perlu menghitung

diceraikan sebelum dicampuri.


5 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ul Bayan: Tafsir Ayatil Ahkam min al-Qur’an,
(Penerjemah Moh Zuhri), (Semarang: CV Asy-Syifa’, 1994), h 502
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Depag RI, 2008), jilid 8, h.
22

4
masa iddah. Dengan demikian, wanita tersebut dibolehkan melakukan akad nikah
dengan laki-laki lain selepas dari perceraian itu. Ini berarti bahwa persoalan iddah
dengan segala bentuknya dan macamnya hanya dihubungkan dengan wanita al-
madkhul biha.7 Ijma’ para fuqaha menyatakan tidah ada iddah bagi istri yang
belum digauli.8

2. Al-Baqarah Ayat 228


àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uštItš £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãšè
% 4 šwur š@Ïtsš £`çlm; br& z`ôJçFõ3tš $tB t,n=y{ ª!$# þšÎû
£`ÎgÏB%tnöšr& bÎ) £`ä. £`ÏB÷s㚠«!$$Î/ ÏQöqušø9$#ur ̚ÅzFy$# 4
£`åkçJs9qãèç/ur š,ymr& £`ÏdÏjštšÎ/ šÎû y7Ï9ºsš ÷bÎ)
(#ÿrߚ#ušr& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB šÏ%©!$# £`Íköšn=tã
Å$ráš÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìhš=Ï9ur £`Íköšn=tã ×py_ušyš 3 ª!$#ur
͚tã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[9]. tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya[10]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Asbab Al-Nuzul
Asma’ binti Yazid bin al-Sakan al-Anshariyyah berkata mengenai
turunnya ayat tersebut di atas sebagai berikut: “Pada zaman Rasulullah aku
ditolak oleh suamiku disaat belum ada hukum iddah bagi wanita yang dicerai.
Maka Allah menetapkan hukum iddah bagi wanita, yaitu menunngu setelah
bersuci dari tiga kali haid.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Asma’
binti Yazid bin al-Sakan.11
Isma’il bin Abdillah al-Ghifari menceraikan istrinya, Qatillah, di zaman
Rasulullah. Ia sendiri tahu kalau istrinya dalam keadaan hamil. Setelah ia
mengetahuinya ia pun rujuk pada istrinya, kemudian istrinya melahirkan dan
meninggal demikian juga dengan bayinya. Maka turunlah ayat di atas yang
menegaskan betapa pentingnya masa iddah bagi wanita untuk mengetahui hamil

7 Khuzaimah T Yanggo, ed., Problematika Hukum Islam Kontemporer: Iddah dan


Tantangan Teknologi Modern, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), vol. 4, h. 188
8 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Penerjemah Imam
Ghazali dan Ahmad Zaidun), (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 600
9 Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
10 hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
11 Dahlan dan M. Zaka Alfarisi, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 2006), h. 76

5
tidaknya seorang istri.
Diriwayatkan oleh al-Tsa’labi dan Hibatullah bin Slamah di dalam
kitab al-Nasikh yang bersumber dari al-Kalbi dan Muqatil.12
Kosa Kata
‫قققروء‬: Segolongan fuqaha berpendapat bahwa quru’ ialah suci, yakni masa di
antara dua haid. Fuqaha yang lain berpendapat bahwa quru’ berarti haid. Bagi
golongan yang berpendapat bahwa arti quru’ adalah suci, mereka mengatakan
bahwa bentuk jamak adalah khusus untuk kata qur’un yang berarti suci. Sebab
kata qur’un yang berarti haid jika dijamakkan menjadi aqra’, bukan quru’.
Bentuk-bentuk jamak ini diriwayatkan dari Ibnu al-Anbari.
Akan halnya pegangan fuqaha golongan kedua dari lahir ayat tersebut adalah
firman Allah tiga kali quru’ lebih jelas menunjukkan kelengkapan masing-masing
qur’un, karena pada dasarnya penyebutan kata qur’un untuk sebagian qur’un
tidaklah tepat, kecuali sebagai pelampuan sebutan. 13
‫ وبعولتهن‬: yang dimaksud dengan mereka adalah isteri yang ditalak raj’i. Walaupun
mereka telah dicearai, tetap yang mencerai mereka masih dinamai suami karena
yang mencerai dan dicerai masih memiliki ikatan dan kewajiban. Isteri yang
dicerai berkewajiban menanti, sedangkan suami yang menceraikan berkewajiban
memberi nafkh kepada isteri yang diceraikannya itu.14
Tafsir
Wanita-wanita yang dittalak menunggu dengan menahan diri mereka.
Redaksi ayat ini bukan dalam bentuk perintah, tetapi berbentuk berita. Redaksi
semacam ini merupakan salah satu bentuk gaya bahasa Al-Qur’an dalam
memerintahkan sesuatu. Ini dinilai lebih kuat daripada redaksi yang menggunkan
gaya perintah. Karena gaya perintah menunjukkan belum teralaksananya perintah
tersebut. Bukankah ada yang diperintah tapi enggan melaksanakannya? Gaya
berita, apalagi menggunakan kata kerja yang berkesinambungan, memberi kesan
telah terlaksananya berita itu dengan baik dan berkesinambungan dari waktu ke
waktu yang dalam konteks pembicaran ayat di atas adalah penantian para isteri.15
Zamakhsary juga berpendapat demikian, bahwa ungkapan perintah yang

12 Dahlan dan Alfarisi, Asbabun Nuzul, h. 76


13 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 602
14 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), h. 457.
15 Shihab, Al-Mishbah, h. 455

6
menggunakan bentuk khabar menunjukkan akan pentingnya perintah itu yang
menandakan bahwa hal itu harus segera dilakukan dengan cepat dan segera.
Seakan-akan perempuan tersebut melaksanakan perintah sambil menunggu
dengan setia. Maka ungkapan dengan khabar itu berfungsi memberi tahu sesuatu
yang memang sudah ada.16
Selanjutnya yang dimaksud dengan wanita yang ditalak adalah wanita-
wanita yang belum mengalami monopouse yang telah pernah bercampur dengan
suaminya, kemudian ditalak dan ketika itu ia tidak dalam keadaan hamil.
Kemudian ayat di atas menggunakan anak kalimat “menunggu dengan menahan
diri mereka.” Ini mengisaratkan bahwa mereka tidak sekedar menunggu, tetapi
penantian itu dilakukannya atas kesadaran diri dari lubuk hatinya bukan karena
dorongan atau paksaan dari pihak luar. Apalagi mereka sendiri yang tahu masa
suci dan haid yang mereka alami. Di sisi lain, anak kalimat itu menunjukan betapa
luhur akhlak mereka. Biasanya jika terjadi perceraian semua pihak ingin
membuktikan bahwa kesalahan bukan pada dirinya dan bukan dia yang merugi
dari perceraian itu. Dari sini ada yang bergegas kawin untuk membuktikan hal
tersebut. Nah, untuk mencegah apa yang boleh jadi diinginkan di atas, Al-Qur’an
berpesan seakan-akan bahwa kawin lagi bukan hal yang buruk, tapi bergegas-
gegas ke arah itu bukanlah hal yang baik, apalagi ada kemungkinan ia sedang
mengandung atau diduga mengandung.17
Ketentuan Hukum
Iddah perempuan yang haid adalah tiga kali quru’. Segolongan fuqaha
berpendapat bahwa quru’ berarti suci, yakni masa di antara dua haid. Fuqaha yang
berpendapat bahwa quru’ adalah suci dari kalangan fuqha amshar antara lain
Malik, Syafi’i, kebanyakan fuqaha Madinah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit dan
Aisyah. Sedangkan fuqaha yang berpendapat quru’ adalah haid dari kalangan
fuqaha amshar pula, antara lain Abu Hanifah, Tsauri, Auza’i, Ibnu Abi Laila
dengan segolongan fuqaha. Sedang dari kalangan sahabat antara lain Ali, Umar
bin Khattab, Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Anshari.
Perbedaan dua pendapat tersebut memiliki dua konsekuensi yang berbeda.
Bagi fuqaha yang berbendapat quru’ adalah suci, maka apabila istri yang boleh
dirujuk telah memasuki haid yang ketiga, suami tidak boleh merujuk isteri dan ia
16 Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, (Penerjemah Samson Rahman), (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004), hal. 121
17 Shihab, Al-Mishbah, h. 455

7
pun menjadi halal bagi laki-laki yang lain. Sebaliknya bagi fuqaha yang
berpendapat bahwa quru’ adalah haid, maka isteri boleh menjadi halal bagi suami
yang lain sesudah masa haid yang ketiga.18

3. Al-Baqarah Ayat 234


tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtF㚠öNä3ZÏB tbrâšxštšur %[`ºurøšr& z`óÁ-
/uštItš £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/öšr& 9šåkôr& #Zšô³tãur ( #sšÎ*sù
z`øón=t/ £`ßgn=y_r& šxsù yy$oYã_ ö/ä3øšn=tæ $yJ šÏù z`ù=yèsù
þšÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râš÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès?
ךšÎ6yz ÇËÌÍÈ
234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[19] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Tafsir
Wanita yang mengalami kematian suami itu banyak menghadapi kesulitan
dari keluarga, kerabat suami dan masyarakat. Menurut kebiasaan bangsa Arab
ketika ditinggal mati suaminya, ia harus masuk ke dalam tempat yang hina, harus
menggunakan pakaian yang buruk, tidak boleh memakai parfum dan sebagainya
dalam setahun. Setelah itu ia boleh keluar dengan menggunakan lambang-
lambang jahiliyah yang hina, seperti mengambil dan membuang kotoran binatang
serta naik keledai dan kambing. Ketika Islam datang diringankanlah penderitaan
itu, bahkan dihilangkan dari pundaknya.20
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu meninggalkan istri,
hendaklah…..sepintas terlihat redaksi ayat ditujukan kepada suami-suami yang
akan meninggal dunia. Tetapi banyak ulama tidak memahaminya demikian. Ayat
ini menurut mereka ditujukan langsung kepada istri-istri yang suaminya wafat,
kendati kata yang menunjuk kepada mereka tidak disebut secara tegas dalam teks.
Pemahaman demikian dilakukan karena tidak masuk akal jika suami yang
meninggal menjadi sasaran ayat ini. Ayat ini ditujukan kepada istri yang ditinggal
mati suaminya untuk beriddah selama empat bulan sepuluh hari.
Setelah menyampaikan pesan di atas, ayat ini kembali ditujukan kepada
masyarakat dan bukan hanya kepada wali wanita. Maka apabila telah sampai batas

18 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 606


19 Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan
20 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (Penerjemah As’ad Yasin dkk), (Jakarta:
Gema Insani Pers, 2000), hal. 303

8
akhir mereka, yakni berlalu empat bulan sepuluh hari, maka tiadalah dosa bagi
kamu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Yakni jika mereka ingin berdandan selayaknya atau bahkan kawin lagi, maka
mereka dapat melakukannya. Anggota masyarakat pun tidak boleh lagi
melarangnya selama itu dilakukan dengan patut, sesuai tuntunan Ilahi dan adat
istiadat yang dibenarkan agama. Allah mengetahui sekalipun yang rinci dari apa
yang kamu perbuat, baik kamu nyatakan atau rahasiakan.21
Ketentuan Hukum
a. Iddah perempuan yang kematian suaminya adalah 4 bulan 10 hari,
asalkan ia tidak hamil. Jika perempuan ditalak raj’i suaminya lalu
suaminya meninggal dunia selama masa iddah, perempuan itu
beriddah seperti iddahnya perempuan yang ditinggal mati
suaminya karena ketika ia ditinggal mati suaminya, sebenarnya
masih sebagai isterinya.
b. Terdapat masalah yang menjadi perselisihan ulama, yakni tentang
wanita hamil yang ditinggal mati suaminya. Mengenai hal ini,
jumhur fuqaha dan semua fuqaha Amshar berpendapat bahwa
iddahnya ialah sampai melahirkan anaknya. Malik meriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa iddahnya adalah masa yang paling akhir
dari dua iddah. Maksudnya adalah bahwa ia beriddah dengan iddah
yang paling lama. Boleh jadi kematian dan boleh jadi kandungan.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib.22

4. Al-Talaq Ayat 4
šÏ«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tš z`ÏB ÇٚÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ)
óOçFö;s?öš$# £`åkèE£šÏèsù èpsW»n=rO 9šßgô©r& šÏ«¯»©9$#ur óOs9
z`ôÒÏtsš 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èšÒtš
£`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,Gtš ©!$# @yèøgsš ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͚öDr&
#Zšô£çš ÇÍÈ
4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang
-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.

Asbab Al-Nuzul
21 Shihab, Al-Mishbah, h. 475
22 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 619

9
Ketika turun ayat tentang iddah wanita dalam surat al-Baqarah ayat 226-
237, para sahabat berkata: “masih ada masalah iddah wanita yang belum disebut
(dalam Al-Qur’an), yaitu iddah wanita muda (yang belum haid), yang sudah tua
(monopouse) dan hamil. Maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa masa
iddah wanita muda yang belum haid dan wanita monopouse ialah tiga bulan,
sedangkan iddah wanita yang hamil sampai ia melahirkan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ishaq bin Rahawih, al-Hakim dan
lain- lain, yang bersumber dari Ubay bin Ka’ab. Isnad hadist ini
shahih.23
Kosa Kata
‫ يئسن‬: secara kebahasaan kata yaisna terdiri dari dua suku kata, yaitu kata ya’isa
yang berarti putus asa dan kata na (berasal dari hunna) yang merupakan bentuk
plural untuk kata ganti kata ketiga perempuan yang berarti mereka berputus asa.
Dalam konteks ayat ini, kata yai’sna bermakna permpuan-perempuan yang tidak
lagi mengeluarkan darah haid (monopouse).24
Tafsir
Dan mereka, yakni wanita-wanita yang telah memasuki usia tertentu
sehingga telah berputus asa dari datangnya haid, yakni telah memasuki masa
monopouse di antara wanita-wanita kamu yang dicerai oleh suami-suami mereka.
Jika kamu ragu dengan masa iddah mereka adalah tiga bulan dan wanita-wanita
yang tidak haid karena belum dewasa, seperti itu juga masa iddahnya adalah tiga
bulan. Dan wanita-wanita baik yang dicerai mati atau hidup, baik muslimah atu
nonmuslimah, baik mantan suaminya muslim atau bukan, batas iddah mereka
adalah sampai melahirkan kandungan.
Persoalan yang dihadapi suami istri apalagi dalam perceraian seringkali
sangat sulit dan berat. Setan pun sering datang menggoda dan memanas-
manaskan, karena itu sekali lagi ayat di atas menekankan pentingnya bertakwa
dengan menyatakan: Siapa saja yang durhaka kepada Allah dan tidak memelihara
ketentuan-ketentuan ini, maka dia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya dan
siapa saja yang bertakwa kepada Allah dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan-Nya niscaya Allah senantiasa dan secara berkesinambungan sesuai
dengan kesinambungan takwanya akan menjadikan kemudahan dalam segala

23 Dahlan dan Alfarisi, Asbabun Nuzul, h. 584


24 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tafsirnya, hal. 181

10
urusannya.25
Ketentuan Hukum
a. Iddah wanita yang memasuki monopouse dan perempuan muda
yang belum haid adalah tiga bulan. Para ulama berselisih pendapat
tentang batas umur putus haid (monopouse). Sebagian berkata 50
tahun dan yang lain berkata 60 tahun. Hal ini sebenarnya berlainan
antara wanita satu dengan yang lainnya. Syekhul Islam Ibnu
Taymiyah berkata, “umur putus haid itu berbeda antara satu dengan
lainnya. Tidak ada batas umur yang disepakati ulama.26
b. Iddah wanita yang haid adalah sampai melahirkan kandungannya.
Dalam kitab Zaadul Ma’ad disebutkan bahwa firman Allah,
…….”waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya…..,” menunjukkan bahwa sekiranya ia hamil
dengan anak kembar, iddahnya belum habis sebelum anak
kembarnya lahir semua dan menunjukkan bahwa wanita yang
keguguran maka iddahnya disamakan dengan melahirkan juga.27
D. Hikmah Adanya Iddah
1. Pembersihan rahim
Ketegasan penisbahatan keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat
penting. Oleh karena itu, segala ketentuan untuk menghindari terjadinya
kekacauan nisbah keturunan manusia ditetapkan oleh Al-Qur’an. Di antara
ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita untuk kawin dengan beberapa
orang pria dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula, Islam menetapkan iddah
karena bibit yang ditanamkan pria kepada wanita tidak diketahui secara
langsung, tetapi ia baru ketahuan dalam jangka waktu tertentu.
2. Kesempatan untuk Berpikir
Iddah khususnya dalam talaq raj’i merupakan tenggang waktu yang
memungkinkan suami istri yang telah bercerai untuk berpikir dan merenung
tentang hubungan mereka. Dalam masa ini kedua belah pihak bisa
mengintrospeksi diri masing-masing guna mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk menciptakan hubungan yang lebih baik. Terutama, bila
mereka telah memiliki putra putri yang membutuhkan kasih sayang dan
25 Shihab, Al-Mishbah, h. 297
26 Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 227
27 Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 228

11
pendidikan yang baik dari orang tuanya.28
3. Kesempatan untuk Berdukacita
Iddah khusus dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau belasungkawa
atas kematian suaminya. Cerai karena klematian adalah musibah yang berada
di luar kekuasaan manusia untuk membendungnya. Justru itu, pada dasarnya,
suami isteri yang bercerai karena salah satu pihak meninggal dunia masih
berada dalam hubungan batin yang begitu akrab.29

MUNASABAH
Islam mengatur masalah iddah ini dalam Al-Qur’an, di mana pada zaman
jahiliyyah perempuan tertindas dengan hal ini. Pertama, dijelaskan suratal-Ahzab ayat
49 bahwa tidak ada iddah bagi wanita yang dicerai sebelum disetubuhi. Surat al-
Baqarah ayat 228 menjelaskan tentang wanita haid, yaitu iddahnya tiga quru’.
Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan ayat 234 pada surat yang sama, bahwa iddah
yang kematian suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Lalu surat al-Talaq ayat 4
menambahkan pembahasan iddah yang belum terdapat pada ayat-ayat sebelumnya,
yaitu iddah wanita yang belum dewasa dan wanita yang monopouse adalah tiga bulan.
Sedangkan iddah wanita hamil sampai melahirkan kandungannya. Pengaturan
masalah iddah ini mengisaratkan bahwa Islam peduli terhadap wanita dan tidak
mendiskreditkannya sebagaimana telah terjadi pada zaman jahiliyyah.

PENUTUP
Dari uraian di atas tampak terlihat bahwa Islam telah mengusung tugas suci,
yaitu menghapus segala praktik diskriminasi dalam kehidupan manusia. Islam datang
membawa pesan profetik untuk menegakkan keadilan dalam bentuk yang paling
kongkrit. Secara perlahan Islam melakukan perubahan-perubahan yang mendasar.
Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi para
istri dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan dan menistakan diri
perempuan. Hal ini telihat jelas ketika Al-Qur’an membahas tentang iddah
perempuan.
Sebagaimana terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 49, al-Baqarah ayat 228, 234
dan al-Talaq ayat 4. Ayat 49 al-Ahzab menjelaskan bahwa tidak ada iddah bagi istri
yang belum disetubuhi. Ayat 228 menjelaskan bahwa iddah wanita haid yang dicerai

28 Khuzaimah, ed., Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal 204


29 Khuzaimah, ed., Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal 204

12
suaminya adalah tiga quru’. Ayat 234 menjelaskan bahwa wanita yang ditinggal mati
suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan surat al-Talaq ayat 4 menjelaskan
tentang wanita yang belum dewasa dan monopouse adalah tiga bulan dan iddah
wanita hamil adalah sampai melahirkan.
Demikian makalah ini penulis buat untuk memberikan pemahaman tentang
bagaimana Islam mengatur iddah wanita dengan berbagai kondisinya. Tentu banyak
terdapat kekurangan dalam makalah ini. Saran dan solusi penulis harapkan dari
berbagai pihak. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

13
Al-Barudi, Imad Zaki. Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004.
Departemen Agama RI. Al-qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Depag RI, 2008.
Dahlan dan M. Zaka Alfarisi. Asbabun Nuzul. Bandung: Diponegoro, 2006.
Ghazali, Abdul Moqsid. Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan. Yogyakarta:
LKIS, 2002.
Al-Jamal Ibrahim Muhammad. Fiqih Wanita. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal.
Semarang: CV Asy-Syifa’, 1986.
Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Penerjemahn As’ad Yasin dkk. Jakarta:
Gema Insani Pers, 2000.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahi. Analisa Fiqih Para Mujtahid. Penerjemah Imam
Ghazali dan Ahmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Rawai’ul Bayan: Tafsir Ayatil Ahkam min al-Qur’an.
Penerjemah Moh Zuhri. Semarang: CV Asy-Syifa’, 1994.
Sabiq,Sayyid. Fiqih Sunnah. Penerjemah Nor Hasanuddin. Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006.
Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Yanggo, Khuzaimah T. ed. Problematika Hukum Islam Kontemporer: Iddah dan
Tantangan Teknologi Modern. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Vol. 4.

14

You might also like