You are on page 1of 10

ANALGETIK

Setelah menjalani suatu bentuk operasi, seorang ahli anestesi masih mempunyai tanggung jawab
terhadap perawatan pasien pada saat pemulihan yaitu dapat dilakukan dengan cara monitoring
pasien atau dengan kata lain dilakukan observasi. Tujuan dari observasi ini adalah deteksi sedini
mungkin dari penyimpangan-penyimpangan fisiologis sehingga dapat dilakukan tindakan
pengobatan sedini mungkin sehingga morbiditas dan mortalitas dapat ditekan serendah mungkin.
Observasi utama dilakukan dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan
secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Jam
pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Refleks
perlindungan jalan nafas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah bangun, dan efek sisa
obat yang diberikan dapat mendepresi pernafasan. Ini dapat menyebabkan kematian karena
hipoksia. Selain itu juga perlu dibuat pencatatan teknik yang digunakan dan setiap komplikasi
yang terjadi. Hal tersebut dapat berguna bagi pasien di masa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
NYERI PASCA BEDAH
Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan
komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Definisi dari nyeri itu sendiri adalah
pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan jaringan
yang rusak, cenderung rusak atau segala sesuatu yang menunjukkan kerusakan.
Penanggulangan nyeri pasca bedah yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan
menjadi problema bagi ahli anestesi. Hal tersebut dikarenakan berbagai hal sebagai berikut:
Nyeri pasca bedah sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada pasien yang kurang lebih
sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan nyeri pasca bedah yang sama. Pengalaman
penderita terhadap derajat atau intensitas nyeri pasca bedah sangat bervariasi.
Banyak penderita yang kurang mendapat terapi yang adekuat untuk mengatasi nyeri pasca bedah.
Bebas nyeri dapat mengurangi komplikasi pasca bedah. Timbulnya nyeri, derajat maupun
lamanya pengelaman nyeri dari penderita setelah operasi yang berlainan tidak dapat diketahui
dengan pasti.
Dari penyelidikan-2 yang dilakukan ternyata timbulnya (incidence) intensitas, dan lamanya nyeri
pasca bedah sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita yang lain, dari rumah sakit yang
berbeda apalagi dari negara yang berbeda. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas,
intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut :
Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan ringan akibat
operasi tersebut.
Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari penderita oleh anggota / team
pembedahan atau dengan kata lain disebut pelaksanaan perioperatif dan premedikasi.
Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan.
Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan.
Kwalitas dari perawatan pasca bedah.
Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita
Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri
Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi.
Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan
kepribadian normal
Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak
sehebat nyeri pembedahan sebelumnya.
Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak
walaupun luas yang diangkat sama besar.
Fisiologik, psychologik dari penderita.
Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya
paling hebat (severe) adalah sebagai berikut :
Operasi daerah Thocaro abdominal
Operasi ginjal
Operasi Columna vertebralis (spine)
Operasi Sendi besar
Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas
Penderita setelah selesai mengalami bedah thorax, abdomen maupun operasi ginjal, bila
penderita batuk, tarik nafas dalam atau gerakan tunuh yang berlebihan akan timbul nyeri yang
hebat.
Macam luka pembedahan (incision) juga sangat berperan dalam timbulnya nyeri pasca bedah,
pada luka operasi atau insisi subcostal (Choiecystectomy) kurang menimbulkan rasa nyeri pasca
bedahnya dibandingkan luka operasi midline, pada insisi abdomen arah transversal akan terjadi
kerusakan syaraf intercostalis minimal. Pada pembedahan yang letaknya di permukaan
(superficial), daearah kepala, leher, extrimitas, dinding thorax dan dinding abdomen rasa
nyerinya sangat bervariasi, :
Nyeri hebat (severe) 5 15 %
Nyeri yang sedang (moderate) 30 50 % dari penderita.
Nyeri yang ringan atau tanpa nyeri : 50%, dimana penderita tidak memerlukan narkotik.
Terdapat pengecualian pada operasi tandur kulit (Skin graft) yang luas dan radical mastectomy,
nyeri pasca bedahnya termasuk kategori nyeri yang hebat (severe).
Dari segi penderita, timbulnya dan beratnya rasa nyeri pasca bedah juga sangat dipengaruhi fisik,
psikis atau emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu terhadap
rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca bedah juga mempunyai peranan
penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan kesadaran, takut akan terjadinya penyulit dari
anestesi dan pembedahan, rasa takut akan rasa nyeri yang hebat setelah pembedahan selesai.
Penderita yang masuk rumah sakit (mrs) akan timbul reaksi cemas/strees. Dan keadaan ini
membentuk pra kondisi nyeri pasca bedah. Keadaan tersebut digolongkan hospital Stress. Pada
golongan penderita dengan Hospitel Strees tinggi cenderung mengalami nyeri lebih hebat
daripada golongan Hospitel Strees rendah. Faktor -faktor Hospital Stress :
a. Rasa tidak bersahabat disekelilingnya.
b. Pemisahan dengan keluarga, orang tua, suami/istri.
c. Informasi yang kurang atau tidak jelas.
d. Pengalaman masa lalu tentang penanggulan nyeri yang tidak adekwat.
Faktor lain yang berperan dalam nyeri pasca bedah adalah pengelolaan baik sebelum, sedang dan
sesudah pembedahan dan tehnik anestesi yang dilakukan pada penderita.
Pengelolaan profilaksis yaitu pengelolaan penderita pada persiapan pembedahan dan perawatan
pasca bedah yang baik. Dari segi anestesi trauma pemasangan pipa endotracheal (intubasi), nyeri
otot akibat pemberian succinyi cholin. Dari segi bedah, keterampilan dari ahli bedah, jenis
pembedahan (Ekstenip) juga sangat berperan. Mekanisme terjadinya nyeri pasca bedah dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya mirip dengan timbulnya luka atau suatu penyakit, yang
mengakibatkan kerusakan jaringan lokal dengan disertai keluarnya bahan-bahan yang
merangsang rasa nyeri (algogenik subtance) seperti; kalium dan ion Hydrogen, asam laktat,
serotonin, bradylinin, prostaglandin. Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai
sitokin yang menginduksi COX-2 setempat (local). Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor
perifer yang ditandai dengan timbulnya asa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai
ke sistem syaraf pusat meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi
COX-2 di dalam neuron otak.
Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan syaraf
pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim cyclooxygenase
(COX) dapat dihambat dengan pemberian AINS (anti-inflamasi non-steroid) yang juga dikenal
sebagai COX-inhibitor. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh bradikinin dan
interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EPI yang meningkatkan
sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin yang
dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi nyeri di syaraf perifer dan
di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri hiperalgesia dan alodinia.
Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produki
prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat
aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainnya
seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal.
Timbulnya spasme pada otot-otot tubuh dengan akibat turunnya compliance atau kelenturan
dinding Thorax. Keadaan tersebut merupakan lingkaran setan, (nyeri-spasme otot-nyeri).
Stimulasi neuron syaraf sympatik mengakibatkan meningkatnya frekwensi jantung dan stroke
volume, sehingga kerja jantung (heart work) dan komsumsi oksigen dari jantung bertambah.
Terjadi pengeluaran hormon-hormon katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH,
Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron. Cortical
merangsang nyeri yang diteruskan sampai ke cortex cerbri akan dikenal atau persepsi berupa rasa
nyeri dan manifestasinya dapat berupa suatu reaksi kecemasan dan rasa takut.
Komplikasi akibat nyeri pasca bedah juga harus diperhatikan oleh ahli anestesi. Komplikasi
tersebut bermacam-macam. Pasca bedah stroke-abdomen ataupun operasi ginjal akan terjadi
gangguan radio ventilasi-perfusi di paru-2 (V/O ratio), apabila penderita pasca bedahnya disertai
atau mengalami distensi dari abdomen atau dipasang bandage yang ketat (gurita) maka akan
terjadi gangguan nafas yang berat.
Rasa nyeri yang bertambah hebat bila penderita batuk, tarik nafas dalam dan adanya
bronchospasme berakibat penderita takut akan mengeluarkan dahak ataupun bernafas dalam,
akibatnya akan terjadi penurunan kapasitas paru (VC), FRC, dan timbulnya Hypoksemia.
Penurunan VC 40% dari pra bedah, dimulai saat 1-4 jam pasca bedah yang dipertahankan s/d
12-24 jam, selanjutnya meningkat pelan-pelan mencapai 60-70% dari kondisi Pra bedah setelah
hari ke-7, selanjutnya kembali ke normal setelah beberapa minggu. FRC menurun 70% dari pra
bedah setelah 24 jam pasca bedah, dan tetap rendah dalam beberapa hari, lalu pelen-pelan
kembali ke normal dalam waktu 10 hari.
Terjadinya pengeluaran hormon-hormon katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH,
Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron juga
merupakan komplikasi dari pasca bedah. Hal tersebut dapat menyebabkan kadar gula darah naik,
tekanan darah naik, kebutuhan oksigen naik.
Tehnik anestesi baik general anestesi maupun regional anestesi, sangat berbeda dari segi
pemberian obat-obatan analgetik pasca bedah pada general anestesi 5% pasien bedah tidak
memerlukan analgesik. Kadang pada regional anestesi lebih disenangi pemakaian obat lokal
anestesi yang kerjanya lama (long action ). Tehnik anestesi gabung general anestesi dan regional
anestesi terbukti berhasil mengurangi kebutuhan akan narkotik pasca bedahnya.
Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Profilaktik
Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan operasi
dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal.
2. Terapi Aktif
Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-
cara berbagai berikut :
a. Obat-2 sistemik analgesik dan ajuvant
b. Analgesik regional (Intra spinsi opiat)
c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.
d. Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve
stimulation = TENS), atau dengan electroacupuncture.
e. Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti.
Obat Analgesik Sistemik & Adjuvan
Golongan opiat
Obat opiat setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari
tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lain-
lain.
a. Opioid Intra Muskular
Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek
anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna,
terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif
lambat, meka harus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan
harus di suntik
b. Opioid Intravena
Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara
ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus
dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus
yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompa infus
c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid
Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid
yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman
untuk pasien.
d. Opioid Subligual
Cara ini makin populer penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling
sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efik samping depresi
nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).
e. Opioid Oral
Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan
analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.
Obat opiat yang paling sering dan mudah diperoleh :
1. Morphine
Morphine merupakan obat narkotik analgesik yang sampai saat ini tetap dipakai sebagai standard
dalam penanggulangan nyeri pasca bedah, karena alasan sebagai berikut :

Mudah didapat
Murah
Pemberiannya mudah dan efektif
Cara pemberian dapat :
Intra muskuler, onset lama dicapai, mudah cara pemberiannya.
Intra venous, cara ini mempunyai beberapa keuntungan a.l : onset obat cepat, hasilnya cepat
terlihat dengan demikian efek emosi penderita akibat dapat dikurangi. Selain itu, kebutuhan
individu akan obat mudah dikontrol dengan titrasi. Konsentrasi obat di darah cepat menurun,
sehingga perlu pemantauan selama 15-20 menit setelah injeksi untuk menilai hilangnya rasa
nyeri dan efek samping obat.
2. Pethidine
Untuk mendapatkan analgesik yang efektif, dan mengurangi efek samping dari cara pemberian
iv, dosis obat diberikan dalam jumlah yang kecil dan diberikan pelan-pelan
Untuk Morphine : 2-3 minggu diencerkan dalam PZ.
Untuk Petidhine : 20-30 minggu diencerkan dalam PZ.
Cara memberikan dengan titrasi interfal 15-20 menit, sampai analgesik tercapai, interfal dapat
ditingkatkan menjadi 45-60 menit sampai steady state.
Infusi (continuous infusion)
Perlu monitoring yang lebih ketat.
Bahaya overdosis mudah terjadi.
Morphin :
Kecepatan pemberian (rate) 0,1 mg/menit (6 mg/jam)
Pethidine :
Rate 1,0 mg/menit (60 mg/jam). Terjadinya analgesi lebih cepat dicapai dan berlangsung dalam
15 20 jam. Pethidine mempunyai efek lokal anestesi, dengan akibat menghambat atau blok
saraf simpatik, sensorik, motorik.
Patient Cotrolled Analgesik adalah salah satu cara penggunaan analgesik. Cara ini dimulai pada
th 1970 an. Caranya dapat dilakukan oleh penderita dengan alat yang sudah di program sesuai
kebutuhan penderita (on demand). Hasilnya sangat memuaskan 88% penderita bebas nyeri,
dengan alat ini konsentrasi obat narkotik di plasma hampir mendekati minimal effective
analgesic concentration (MEAC). Yang harus diperhatikan pada pemakaian narkotik adalah
keadaan sebagai berikut:
1. Penderita sakit berat
2. Manula (Geriatric)
3. Status hidrasi penderita (Hypovolemik)
4. C.O.P.D (cronic obstructive pulmonary disease)
5. Trauma kepala
6. Advance liver disease
Selain pada golongan tersebut terdapat golongan Non Narkotik Analgesia yaitu : NSAIDS (Non
steroidal anti inflammatory drugs). Cara kerja obat adalah menghambat bahan-bahan Algogenic.
Yang termasuk golongan ini adalah :
Golongan Salisilat
Acetyl salicylic acid (Aspirin)
Dosis obat 500-600 mg tiap 4 jam. Dosis maksimal 4000 mg sehari. Efek samping : perdarahan
lambung, reaksi hipersentitif.
Acetaminophen (Parasetamol)
Mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik seperti asam asetil salisilat, tetapi tidak
mempunyai efek antiinflamasi. Tidak mengadakan iritasi mukosa lambung. Dosis 500-1000 mg
setiap 4 jam. Dosis max 4000 mg sehari.
Antiinflamasi nonsteroid Dibanding dengan asam salisilat khasiat analgesik bervariasi, ada yang
sama dan ada yang lebih kuat. Obat golongan antiinflamasi non steroid memberikan efek
samping pada darah, gastrointestinal, ginjal dan saraf pusat.
1. Proprionic acid derivat
Ibuprofen : dosis 200-400 mg, setiap 4-6 jam per os. Dosis max 2400 mg sehari (Brufen)
Ketiprofen (profenid): Dosis 25 50 mg, setiap 6 8 jam p.o dosis max 300 mg sehari
2. Benzothiazine deriv. : Piroxicain (feldene). Dosis 20 mg setiap 12-24 jam.
3. Pyrazole deciv.
o Phenylbutazone. Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
o Oxyphenbutazone (Tanderil). Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
4. Fenmates : Mefanamic acid (Ponstan). Dosis 500 mg setiap 6-8 jam
Epidural / Intrathecal Narkotik
Tehnik epidural & intrathecal narkotik mulai populer pada akhir-2 ini. Namun cara ini
memerlukan keahlian khusus dan harus dipantau dengan ketat, serta dipersiapkan tenaga
paramedik yang sudah terdidik, karena ada penyulit depresi nafas yang lambat. Pemakaian
narkotik epidural lebih menguntungkan dibanding obat anestesi lokal, karena tidak
mempengaruhi sistim somatomotor dan sympatik.
Intrathecal narkotik mengurangi refleks-refleks pascabedah, sehingga membantu hemodinamik
penderita tetap stabil.
Dosis : 0,5 1 mg Marphine. Analgesi timbul 15 30 menit, dan berakhir 8 24 jam. Epidural
narkotik. Dosis : 2 10 mg, Morphine, onset 5 10 menit, lamanya 6 24 jam.
Komplikasi :
Pruritus 15 20 %
Retensi urinae 15 20 %
Nausea 15 25 %
Depresi nafas (delayed)

Regional anestesi dengan lokal anastesi
Kerugian pemakaian obat lokal anestesi terutama adanya gangguan/ blok pada afferent dan
efferent pada segmentasi maupun supra segmental. Keuntungannya menghilangkan nyerinya
sangat efektif, dan spasmus otot tidak terjadi.
Intercostal block
Cara ini efektif untuk nyeri pasca bedah cholecystectomy, thoraco tomy, gatrectomy dan
mastectomy. Keuntungannya tidak terjadi hypotensi.
TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation)
Dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri pasca bedah laporotomy, thoracotomy
maupun laminec tomy. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa tens tidak
memperbaiki faal paru pasca bedah. Akan tetapi Tens dapat dipakai sebagai cara alternatip untuk
mengurangi kebutuhan narkotik.
Hipnosis dan sugesti. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut perlu perlu dihilangkan
untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Oleh karena hal tersebut
maka hypnosis dan sugesti dapat membantu menghilangkan komplikasi nyeri pasca bedah.
Pedoman Pemberian analgetik pasca bedah
Awal, diberikan obat dengan potensi dan dosis yang sangat kuat (2 hari)
Selanjutnya diturunkan potensi dan dosisnya
By the clock
Multimodal multifocal : lewat berbagai jalan masuk.

You might also like