You are on page 1of 12

1.

Hasil Pengamatan
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Kecap
Kel Warna Aroma Rasa Kekentalan
D1
D2
D3
D4
D5
++
+
+
++
++
++
+
+
++
++
+
+
++
+++
+++
+
+
+
++
++
Keterangan :
Aroma : Rasa : Kekentalan Warna
+ : Kurang kuat + : Kurang manis + : Kurang kental + : kurang hitam
++ : Kuat ++ : Manis ++ : Kental ++ : hitam
+++ : Sangat kuat +++ : Sangat manis +++ : Sangat kental +++ : Sangat hitam
Dari hasil penelitian dapat di lihat bahwa kecap dari hasil praktikum menunjukan bahwa pada
untuk warnanya kelompok D1,D4 dan D5 sama yaitu hitam sedangkan D2 dan D3 kurang
hitam, dari aromanya kelompok D1,D4 dan D5 sama yaitu Kuat sedangkan D2 dan D3
kurang kuat, dari rasanya pada kelompok D1 dan D2 sama yaitu kurang manis, D3 manis dan
D4,D5 sangat manis. Dari segi kekentalan D1-D3 sama yaitu kurang kental sedangkan D4
dan D5 sama yaitu kental.
2. Pembahasan
Kecap merupakan salah satu bumbu serba guna yang banyak digunakan sebagai penyedap
masakan. Kecap Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu kecap manis dan kecap asin
(Apriyantono & Yulianawati, 2004). Perbedaan keduanya terletak pada rasa dan
kekentalannya, dimana kecap asin memiliki rasa asin dan agak encer sedangkan kecap manis
terasa manis dan agak lebih kental (Astawan & Astawan, 1991). Di Indonesia, kecap manis
lebih populer dibanding kecap asin (Apriyantono & Yulianawati, 2004). Namun Mao, et al
(2013) menyatakan bahwa kecap punya dampak yang posifif bagi tubuh, seperti pada
penyerapan zat besi dalam tubuh yang didapat dalam proses fermentasi kecap tersebut.
Fermentasi kecap sangat rumit termasuk pada pemecahan pati, gula, fermentasi alkohol
proteolisis, pembentukan aroma, dan reaksi Maillard.

Kecap dapat dibuat melalui tiga cara, yaitu fermentasi, hidrolisis asam, dan kombinasi
fermentasi dengan hidrolisis asam. Dibandingkan dengan kecap yang dibuat secara hidrolisis
asam, kecap yang dibuat dengan cara fermentasi biasanya mempunyai rasa dan aroma lebih
baik (Septiani et al, 2004). Namun, menurut Astawan & Astawan (1991), pembuatan kecap
di Indonesia kebanyakan dilakukan secara tradisional dengan membiarkan kapang tumbuh
secara spontan sehingga mutu kecap yang dihasilkan berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam
praktikum ini dilakukan pembuatan kecap manis secara fermentasi untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi mutu kecap yang dihasilkan.

Bahan dasar yang digunakan dalam fermentasi kecap dalam praktikum ini adalah kedelai
kuning. Penggunaan kedelai kuning ini telah sesuai dengan teori Purwoko & Handajani
(2007) yang menyebutkan bahwa bahan baku pembuatan kecap adalah kedelai kuning, tetapi
tidak menutup kemungkinan kecap dibuat dari kedelai kuning. Hal yang serupa juga
diungkapkan oleh Kasmidjo (1990) yaitu bahan dasar pembuatan kecap terutama kedelai
dapat dipergunakan kedelai kuning atau hitam dalam bentuk utuh, hancur atau sudah hilang
lemaknya. Selain dari kedelai, kecap juga dapat dibuat dari jenis kacang lainnya (Rahman,
1992). Namun, kedelai lebih dipilih untuk pembuatan kecap karena kedelai mengandung
protein protein sekitar 40%, kandungan tersebut tertinggi dibandingkan kacang-kacangan
lain. Komposisi nutrisi kedelai kuning kering adalah protein 420 mg/g, lemak 224 mg/g,
karbohidrat 340 mg/g, kalsium 6 mg/g, fosfor 5 mg/g, dan besi 0,1 mg/g (Septiani et al,
2004). Dalam pembuatan skala besar ini juga melalui 2 tahap yaitu koji dengan memakai
kapang Aspergillus oryzae atau Aspergillus sojae dan moromi dengan memakai garam
NaCl 15-17% (Yoshikatsu, 2008). Selain itu dalam penetlitian yang dilakukan oleh
(Chuenjit et al, 2012), dinyatakan bahwa dalam fermentasi kapang ini, mikroorganisme yang
berperan penting adalah Aspergillus oryzae yang berguna untuk mencerna substrat yaitu
kedelai hitam. Pada proses ini, kedelai yang mempunyai kandungan karbohidrat dan protein
dipecah oleh enzim pencernaan yaitu amilase dan protease.

Proses fermentasi kecap terdiri dari 2 tahap, yaitu fermentasi padat (fermentasi koji/tempe)
dan fermentasi cair (fermentasi moromi) (Purwoko & Handajani, 2007). Sebelum mengalami
proses fermentasi tersebut, kedelai harus diberi perlakuan pendahuluan untuk memudahkan
terjadinya proses fermentasi. Kedelai kuning yang akan digunakan untuk fermentasi harus
direndam dalam air selama satu malam. Menurut Santoso (1994), perendaman kedelai ini
dimaksudkan untuk pencucian kedelai agar kotorankotoran yang masih melekat maupun
tercampur dengan biji kedelai dapat hilang. Kasmidjo (1990) juga menambahkan bahwa
selama perendaman kedelai akan mengeluarkan faktor yang menghambat pertumbuhan jamur
dari dalam biji kedelai, larut dalam air rendaman. Selain itu, perendaman memberikan
kesempatan pada kedelai untuk menyerap air (hidrasi) dan karenanya akan mempermudah
menghilangkan kulit. Tortora et al (1995) lebih lanjut menjelaskan bahwa dengan hidrasi air
ke dalam biji selama perendaman maka apabila kedelai tersebut dimasak hanya akan
memerlukan waktu yang pendek karena kedelai tersebut akan mudah lunak akibat perlakuan
perendaman.

Kedelai yang telah direndam kemudian direbus dan ditiriskan. Tujuan perebusan kedelai ini,
menurut Peppler & Perlman (1979), antara lain adalah untuk melunakkan biji kedelai,
merusak protein inhibitor, menginaktifkan zat-zat antinutrisi dan menghilangkan bau langu
serta membunuh bakteri yang ada di permukaan kedelai. Kedelai yang lunak dan sedikit
bakteri pada permukaannya akan memudahkan untuk pertumbuhan kapang pada tahap
fermentasi koji. Hal ini sesuai dengan pernyataan Atlas (1984), bahwa kondisi yang agak
lembab yang berasal dari air yang terserap dalam kedelai menyebabkan jamur tumbuh pada
permukaan kedelai dan mengakumulasikan beberapa enzim termasuk proteinase dan amilase.
Aktivitas enzim-enzim jamur tersebut sebagai dasar bahwa kedelai telah mengalami
fermentasi awal oleh jamur. Selain itu, dengan adanya proses perebusan ini maka kecap yang
dihasilkan akan lebih baik mutunya karena tidak berbau langu dan zat antinutrisi telah
dihilangkan. Tujuan penirisan kedelai yang telah direbus menurut Santoso (1994) adalah agar
suhu kedelai menjadi agak dingin sebab bibit jamur yang diberikan dapat mati apabila
keadaan kedelainya masih panas. Selain itu menurut Atlas (1984), kedelai perlu ditiriskan
untuk mengurangi kadar air sebab bila kadar air terlalu tinggi akan menyebabkan kontaminasi
oleh bakteri pembusuk (Bacillus subtilis) yang ditandai timbulnya lendir di permukaan biji.

2.1. Pembuatan Kecap
Menurut Astawan & Astawan (1991), pembuatan kecap dimulai dengan pencucian kacang
kedelai dan perendaman dalam 3 liter air untuk tiap kilogram selama 1 malam. Kemudian
kedelai direbus sampai kulit kedelai menjadi lunak, lalu ditiriskan di atas tampah. Metode
yang digunakan untuk mempersiapkan kedelai dalam praktikum ini telah sesuai dengan teori
Astawan & Astawan tersebut. Namun dalam perendaman kedelai, praktikan tidak
memperhitungkan jumlah air yang digunakan secara tepat. Air yang digunakan untuk
merendam hanya diperkirakan hingga semua kedelai terendam sepenuhnya. Kedelai yang
telah diberi perlakuan pendahuluan kemudian dilanjutkan ke fase fermentasi koji. Pada tahap
fermentasi koji, sebanyak 500 gr kedelai dihamparkan di atas tampah dan ditambah ragi
tempe dengan 3 perlakuan yang berbeda yaitu 0,5% ragi tempe (kelompok D1 dan D2),
0,75% ragi tempe (kelompok D3 dan D4), dan 1% ragi tempe(kelompok D5 dan D6).
Penggunaan ragi tempe dalam fermentasi koji ini telah sesuai dengan teori Rahman (1992)
yang mengatakan bahwa dalam beberapa industri kecap skala kecil di Indonesia biasa
digunakan ragi tempe sebagai inokulum. Dalam teori Rahman (1992) juga dikatakan bahwa
pada ragi tempe terkandung Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus dengan perbandingan
1:2. Dengan demikian penggunaan ragi tempe ini juga telah sesuai dengan teori Septiani et al
(2004) bahwa kapang yang berperan dalam fermentasi kecap, antara lain Aspergillus oryzae,
A. niger dan Rhizopus sp. Tampah berisi kedelai dan ragi kemudian ditutup dengan kertas
koran dan dibiarkan di suhu ruang selama 3-4 hari. Lama fermentasi koji dalam praktikum ini
telah sesuai dengan teori Purwoko & Handajani (2007) yaitu fermentasi padat memerlukan
waktu selama 3-5 hari.

Pada fermentasi koji, proses yang terjadi adalah kapang akan tumbuh pada permukaan
kedelai dan mengeluarkan beberapa enzim yang memecah substrat menjadi senyawa-
senyawa terlarut. Enzim-enzim yang terdapat pada kapang antara lain, amilase, invertase,
protease (protease netral, protease asam, dan protease alkali), aminopeptidase, karboksi
peptidase dan glutaminase. Enzim protease menghidrolisis protein kompleks yang tidak larut
menjadi polipeptida dan oligopeptida, kemudian dapat menghidrolisis polipeptida dan
oligopeptida menjadi asam-asam amino. Pati dihidrolisis menjadi disakarida dan
monosakarida oleh amilase dan invertase. Selama proses fermentasi ini akan terjadi kenaikan
nitrogen terlarut, asam amino, ammonia, nilai pH, dan suhu (Septiani et al, 2004).

Setelah 3-4 hari, kapang akan tumbuh dan membentuk miselia berwarna putih yang
menyelimuti kedelai. Pada proses ini sering terjadi kontaminasi, hal ini menurut Rahman
(1992) dapat terjadi karena adanya kelemahan dari proses koji yaitu sulitnya mengatur
komposisi komponen-komponen media dan meniadakan komponen yang berpengaruh negatif
terhadap proses fermentasi serta sulitnya mengatur kondisi fermentasi. Kedelai yang telah
ditumbuhi kapang kemudian dijemur atau dikeringkan dalam tent dryer selama 2 jam.
Menurut Rahayu et al (1993), proses pengeringan ini sebenatnya bertujuan untuk
menghilangkan kapang yang melekat di permukaan substrat dengan cara membunuhnya
melalui sinar matahari langsung, Kapang tersebut dihilangkan karena sudah tidak digunakan
lagi dalam tahap berikutnya. Peppler & Perlman (1979) menambahkan bahwa proses
pengeringan juga menurunkan kadar air dari kedelai sehingga kemungkinan jamur yang
belum mati oleh sinar matahari akan lambat laun terhambat pertumbuhannya karena jamur
tidak dapat tumbuh tanpa air.

Fermentasi moromi dalam larutan garam merupakan langkah selanjutnya setelah fermentasi
kapang. Pada tahap fermentasi moromi ini, kedelai yang telah dikeringkan kemudian
direndam dalam larutan garam 20% dan diinkubasi selama 1 minggu. Penggunaan larutan
garam 20% ini telah sesuai dengan teori Septiani et al (2004) yang menyebutkan bahwa pada
umumnya, fermentasi moromi dilakukan pada larutan garam 20%. Larutan garam berfungsi
sebagai bahan pengawet. Garam dalam jumlah yang tinggi akan melindungi kedelai dari
pencemaran oleh lalat, serangan belatung, dan pembusukkan oleh bakteri pembusuk
(Astawan & Astawan, 1991). Perendaman dalam larutan garam ini juga berfungsi sebagai
penyeleksi kegiatan mikrobia Pada fermentasi moromi, bakteri dan khamir yang dapat
tumbuh hanyalah jenis yang toleran terhadap konsentrasi garam tinggi seperti Lactobacillus
delbrueckii, Hansenula sp., Pseudomonas soyae, Zygosaccharomyces soyae, Z. major, dan
Saccharomyces rouxii (Septiani et al, 2004).

Menurut Wu et al (2010), fermentasi moromi dilakukan dalam sebuah tangki tertutup yang
disimpan dibawah sinar matahari selama 3-4 bulan. Dalam hal ini berarti, proses fermentasi
moromi yang dilakukan di praktikum ini telah sesuai dengan teori Wu et al (2010). Dalam
praktikum perendaman dalam larutan garam dilakukan dalam toples tertutup dimana setiap
harinya dilakukan pengadukan dan penjemuran di sinar matahari selama 2 jam. Pengadukan
ini, menurut Tortora et al (1995), dilakukan dengan tujuan agar larutan garam dapat homogen
menyentuh permukaan substrat dan memberikan udara untuk merangsang pertumbuhan
khamir dan bakteri. Pemberian udara saat pengadukan ini juga bermanfaat untuk
mempercepat proses pematangan flavor kecap (Wu et al, 2010). Namun dalam praktikum
fermentasi tidak dilakukan selama 3 sampai 4 bulan namun hanya 1 minggu. Hal ini
dikarenakan terbatasnya waktu praktikum yang ada.

Selama proses fermentasi moromi, terjadi proses perubahan warna larutan kecap yang
disebabkan oleh warna yang terbentuk sebagai hasil reaksi browning antara gula reduksi
dengan gugus amino dari protein (Astawan dan Astawan, 1991). Dalam proses moromi ini,
terjadi pengubahan gula sederhana dari fermentasi koji menjadi asam laktat dan asam asetat
oleh Pediococcus halophilus. Zygosaccharomyces rouxii dan Candida sp, yang ada secara
alami dalam lingkungan, akan mengubah sisa gula menjadi etanol dan komponen flavor
seperti 4-ethylguaiacol (Wu et al, 2010). Air hasil fermentasi moromi kemudian dimasak
menjadi kecap dengan tambahan bumbu-bumbu sesuai keinginan. Bumbu-bumbu yang
digunakan tiap kelompok berbeda-beda dan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1. Namun
pada umumnya semua kelompok yang ada menggunakan bumbu seperti yang telah
disebutkan oleh Santosa (1994) yaitu gula merah, daun sereh, salam, daun jeruk, lengkuas,
pekak, kemiri, dan bawang putih.

Dari hasil penelitian dapat di lihat bahwa kecap dari hasil praktikum menunjukan bahwa pada
untuk warnanya kelompok D1,D4 dan D5 sama yaitu hitam sedangkan D2 dan D3 kurang
hitam, dari aromanya kelompok D1,D4 dan D5 sama yaitu Kuat sedangkan D2 dan D3
kurang kuat, dari rasanya pada kelompok D1 dan D2 sama yaitu kurang manis, D3 manis dan
D4,D5 sangat manis. Dari segi kekentalan D1-D3 sama yaitu kurang kental sedangkan D4
dan D5 sama yaitu kental. Hasil sensoris ini menunjukan bahwa penambahan ragi tidak
memberikan pengaruh terhadap hasil akhir kecap. Hasil akhir kecap lebih dipengaruhi oleh
bumbu yang digunakan. Hal ini menunjukan kesesuaian dengan penelitian Noviyanthi
(2003) yang menyatakan bahwa dosis starter dan komposisi kapang campuran tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai pH, kandungan protein kasar (metode Kjeldahl), kadar
Nitrogen dengan cara titrasi dan analisa organoleptik (uji bedonik warna, rasa, aroma dan
rasa gurih) produk kecap.

Pada praktikum ini penambahan ragi tempe sebagai inokulum fermentasi koji kecap adalah
sebesar 0.5%, 0.75%, dan 1%. Menurut Margono et al (1993), penambahan jamur tempe
dalam pembuatan kecap adalah 3 gram dalam 1 kg kedelai atau 0,3%. Dalam penelitian Wu
et al (2010), pembuatan koji kecap menggunakan inokulum A. oryzae dalam bentuk bubuk
sebanyak 0.1% dari kedelai yang telah direbus. Dalam penelitian Apriyantono & Yulianawati
(2004), pada fermentasi koji diinokulasikan 0,5% Aspergilus soyae dari berat basah kedelai
rebus. Hal ini berarti penambahan ragi tempe yang dilakukan dalam pembuatan kecap saat
praktikum terlalu banyak dari yang seharusnya.

Menurut Astawan & Astawan (1991), bau spesifik kecap ditentukan oleh jenis bumbu sebab
berperan dalam menimbulkan bau dan cita rasa yang spesifik pada kecap. Hal ini berarti
bumbu yang digunakan dalam pembuatan kecap sangat mempengaruhi aroma kecap yang
dihasilkan.
Penambahan bumbu-bumbu dapat meningkatkan cita rasa kecap manis. Terdapat 2 jenis
bumbu dalam pembuatan kecap manis, yaitu bumbu sederhana dan lengkap. Bumbu
sederhana hanya menambahkan gula merah, jahe, lengkuas, dan kayu manis, sedangkan
bumbu lengkap adalah bumbu sederhana ditambah bawang putih, kunyit, kemiri, dan
ketumbar. Kecap manis dengan bumbu lengkap lebih disukai konsumen daripada kecap
manis dengan bumbu sederhana (Purwoko & Handajani, 2007). Hal ini dapat terlihat pada
hasil praktikum dimana rasa kecap kelompok A2 yang dibuat dengan bumbu paling lengkap
menjadi kecap yang paling disukai oleh panelis. Sedangkan kelompok A6 yang menggunakan
bumbu sederhana (paling sedikit bumbu) menghasilkan rasa kecap yang tidak begitu disukai
oleh panelis.

Kasmidjo (1990) menambahkan bahwa flavor spesifik kecap masih ditentukan oleh jenis
bumbu yang dipergunakan, khususnya gula merah. Hal ini terlihat pada hasil praktikum ini,
dimana kecap dengan rasa yang paling manis adalah kecap kelompok D5 dan D4. Kecap dari
kedua kelompok ini menggunakan gula jawa yang cukup tinggi. Pada kelompok D3 juga
digunakan gula jawa yang cukup banyak sehingga juga dihasilkan kecap dengan rasa yang
sangat manis. Sedangkan pada kelompok lain, umumnya menggunakan perbandingan air
kedelai dan gula jawa hanya 1:1 sehingga kecap yang dihasilkan kurang manis. Menurut
Margono et al (1993). Margono et al (1993) menjelaskan bahwa setiap satu liter filtrat
membutuhkan 2 kg gula kelapa untuk kecap manis (perbandingan filtrat dan gula kelapa
adalah 1:2), sedangkan untuk kecap asin, setiap satu liter filtrat membutuhkan gula jawa 2,5
ons (250 gram).

Selain mempengaruhi rasa, penggunaan gula jawa juga mempengaruhi kekentalan dan warna
kecap yang dihasilkan. Penambahan gula jawa atau gula kelapa mengakibatkan warna coklat
karamel dan viskositasnya naik (Kasmidjo, 1990). Yanfang (2009) menambahkan juga bahwa
asam amino yang dikeluarkan kecap akan menentukan rasa dari kecap tersebut. Jadi untuk
menghasilkan kecap dengan rasa dan aroma yang baik yang diperhatikan tidak hanya satu
komponen, melainkan semua komponen termasuk berat dari komposisi yang digunakan.



Selain bumbu dan gula merah, beberapa komponen yang memberi kontribusi pada rasa,
aroma, warna, dan kekentalan kecap antara lain:
Komponen aroma dan flavor dalam kecap ditentukan oleh komponen nitrogen
pendukung yaitu kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia. Bila membentuk senyawa
garam dengan asam glutamat akan menyebabkan flavor yang enak. Demikian pula arginin,
histidin, lisin, putresin dengan asam suksinat juga dapat menyebabkan flavor yang enak.
Sedangkan semua garam-garam dari tiramin dan kholin berasa pahit, demikian juga garam-
garam dari asam laktat, format, fosfat dan asetat (Astawan & Astawan, 1991).
Asam laktat dan asam suksinat merupakan komponen yang menyebabkan rasa sedap
pada kecap. Rasa kecap lebih dipengaruhi oleh protein dan lemak. Asam glutamat merupakan
protein yang memberi kontribusi utama dalam pembentukan rasa pada kecap (Septiani et al,
2004).
Warna kecap dipengaruhi oleh lama fermentasi. Semakin lama fermentasi koji tempe,
maka warna kedelai terfermentasi semakin coklat sehingga kecap semakin coklat (Septiani et
al, 2004).
Fermentasi moromi pada suhu 45C lebih baik daripada fermentasi suhu ruang karena
dapat mempercepat pematangan kecap, menghasilkan kecap dengan kadar etanol yang rendah
serta memberikan warna yang lebih coklat (Wu et al, 2010).
3. KESIMPULAN

Fermentasi kecap terdiri dari 2 tahap yakni fermentasi koji dan moromi.
Perlakuan pendahuluan pada kedelai perlu dilakukan untuk memudahkan
dilakukannya fermentasi koji dan moromi.
Jumlah ragi yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
hasil akhir kecap.
Hasil akhir kecap lebih dipengaruhi oleh bumbu yang digunakan.
Kecap manis dengan bumbu lengkap lebih disukai konsumen daripada kecap manis
dengan bumbu sederhana.
Mutu kecap yang dihasilkan masih ditentukan oleh gula merah.
Penggunaan gula jawa yang tinggi akan menghasilkan kecap yang manis, aromanya
kuat, kental, dan warnanya coklat pekat.


Semarang, 18 Juli 2014
Praktikan Asisten Dosen
Katharina Nerissa



11.70.0122
Jo Vincentius Michael
4. DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, Anton & Yulianawati, Gono Dewi. (2004). Perubahan Komponen Volatil
Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XV No 2 hal 100-112

Astawan, M & Astawan.W.M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna.
Akademika Pressindo. Jakarta.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New
York.

Chuenjit C. (2012). Enzyme Production and Growth of Aspergillus oryzae S on Soybean Koji
Fermentation. Elsevier B.V. Taiwan.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakata.

Mao, Chunqi. (2013). Biochemical Changes in the Fermentation of the Soy Sauce Prepared
with Bittern. Zhejiang University, Yuhangtang Road 866, Hangzhou, 310058, Zhejiang, P.R.
China

Margono, Tri; Detty Suryati; Sri Hartinah. (1993). Buku Panduan Teknologi Pangan. Pusat
Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI. Jakarta.

Noviyanthi. (2003). Kajian Pembuatan lnokulum Kapang Untuk Produksi Kecap.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/21838/F03nov_abstract.pdf?sequence
=1

Peppler, H.J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, fermentation Technology.
Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, Tjahjadi & Handajani, Noor Soesanti. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis
Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus.
Biodiversitas Volume 8, Nomor 2 , halaman: 223-227.

Rahayu, E. S.; Utami, E. Haryati. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. PAU Pangan dan
Gizi. UGM. Yogyakarta.

Rahman,A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.

Santosa, H.B. (1994). Kecap dan Tauco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Septiani, Yona; Tjahjadi Purwoko; Artini Pangastuti. (2004). Kadar Karbohidrat, Lemak, dan
Protein pada Kecap dari Tempe. Bioteknologi 1 (2) hal 48-53.

Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings
Publishing Company, Inc. USA.

Wu, Ta Yeong; Mun Seng Kan; Lee Fong Siow; Lithnes Kalaivani Palniandy. (2010). Effect
of temperature on moromi fermentation of soy sauce with intermittent aeration. African
Journal of Biotechnology Vol. 9(5), pp. 702-706.

Yanfang, Zhang & Tao Wenyi. (2009). Flavor and Taste Compounds Analysis in Chinese
Solid Fermented Soy Sauce. African Journal of Biotechnology.

Yoshikatsu M & Mitsuo Y. (2008). Tradisional Healthful Fermented Products of Japan.
Society for Industrial Microbiology. Japan.
5. Lampiran
5.1.Foto

Gambar 1. kedelai setelah jadi tempe

Gambar 2. Kedelai pada proses fermentasi

Gambar 3. Pemasakan Kecap

Gambar 4. Kecap Hasil Pemasakan D5-D1
5.2.Laporan Sementara
5.3.Jurnal

You might also like