You are on page 1of 62

MORBILI

1. Definisi
Morbili penyakit virus akut pada anak yang dapat menimbulkan kekebalan seumur
hidup.karekteristik penyakit ini terdapat pada stadium akhir, berupa erupsi makula
papula yang dimulai pada belakang telinga, leher dan seluruh badan yang disertai
demam tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus dari famili paramyxdviridae.
Morbili adalah suatu penyakit akut menular yang disebabkan oleh virus paraxoviridae.
2. Penyebab
Penyebab morbili adalah suatu virus RNA dari famili paraxoviridae, genus morbili virus,
merupakan satu antigen saja yang strukturnya mirip dengan virus penyebab parotitis
epidemis dan para influenza. Virus tersebut dapat ditemukan dalam darah, urin, sereksi
naso faring pada masa prodromal. Pada suhu ruangan virus tersebut tetap aktif selama 24
jam.
3. Stadium
1. stadium inkubasi atau kataral sekitar 10-12 hari dengan sedikit, jika ada, tanda-tanda
atau gejala-gejala,
2. stadium prodromal dengan enantem (bercak koplik) pada mukosa bukal dan faring,
demam ringan sampai sedang, konjungtivitis ringan, koryza, dan batuk yang semakin
berat, dan
3. stadium akhir atau konvalesen dengan ruam makuler yang muncul berturut-turut pada
leher dan muka, tubuh, lengan dan kaki dan disertai oleh demam tinggi. (Behrman.R.E. et
al, 1999).

.4. PATOLOGI
Sebagai reaksi terhadap virus maka terjadi eksudat yang serous dan proliferasi sel
mononukleus dan beberapa sel polimorfonukleus disekitar kapiler. Kelainan ini terdapat
pada kulit, selaput lendir nasofaring, bronkus dan konjungtiva. (Hassan.R. et al, 1985)
Penularan : secara droplet terutama selama stadium kataralis. Umumnya menyerang pada
usia 6 bulan sampai 5 tahun. (Rachman.M. dan Dardjat.M.T., 1986) Biasanya ada
hiperplasi jaringan limfoid, terutama pada apendiks, dimana sel raksasa multinukleus (sel
raksasa retikuloendotelial Warthin- Finkeldey) dapat ditemukan. Di kulit, reaksi terutama
menonjol sekitar kelenjar sebasea dan folikel rambut. Bercak koplik terdiri dari eksudat
serosa dan proliferasi sel endotel serupa dengan bercak pada lesi kulit. Reaksi radang
menyeluruh pada mukosa bukal dan faring meluas kedalam jaringan limfoid dan
membrana mukosa trakeobronkial. Pneumonitis interstisial akibat dari virus campak
mengambil bentuk pneumonia sel raksasa Hecht. Bronkopneumoni dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri sekunder. (Berhman.R.E. et al, 1999)
II.5. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi sekitar 10-12 hari jika gejala-gejala prodromal pertama dipilih sebagai
waktu mulai, atau sekitar 14 hari jika munculnya ruam yang dipilih, jarang masa inkubasi
dapat sependek 6-10 hari. Kenaikan ringan pada suhu dapat terjadi 9-10 hari dari hari
infeksi dan kemudian menurun selama sekitar 24 jam. (Berhman.R.E. et al, 1999)
Penyakit ini dibagi dalam 3 stadium, yaitu (Hassan.R. et al, 1985, Andriyanto.I., 1996) :
1. stadium kataral (prodromal) Biasanya stadium ini berlangsung selama 4- 5 hari disertai
panas (38,5 C), malaise, batuk, nasofaringitis, fotofobia, konjungtivitis dan koriza.
Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak
koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik
berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya di
mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah. Jarang ditemukan di bibir bawah
tengah atau palatum. Kadang-kadang terdapat makula halus yang kemudian menghilang
sebelum stadium erupsi. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia. Secara
klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza.
Diagnosis perkiraan yang besar dapat dibuat bila ada bercak koplik dan penderita pernah
kontak dengan penderita morbili dalam waktu 2 minggu terakhir.
2. stadium erupsi Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah
di palatum durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula bercak koplik.
Terjadinya eritema yang berbentuk makula-papula disertai menaiknya suhu badan.
Diantara makula terdapat kulit yang normal. Mula-mula eritema timbul dibelakang
telinga, di bagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah.
Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam
mencapai anggota bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti
terjadinya. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah
leher belakang. Terdapat pula sedikit splenomegali. Tidak jarang disertai diare dan
muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah black measles, yaitu morbili yang
disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus. 3. stadium
konvalesensi Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua
(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada
anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan
gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema dan
eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi
normal kecuali bila ada komplikasi. (Hassan.R. et al, 1985)
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda sebagai berikut (Anonim) :
Anamnesis
1. anak dengan panas 3-5 hari (biasanya tinggi, mendadak), batuk, pilek harus dicurigai
atau di diagnosis banding morbili.
2. mata merah, tahi mata, fotofobia, menambah kecurigaan.
3. dapat disertai diare dan muntah.
4. dapat disertai dengan gejala perdarahan (pada kasus yang berat) : epistaksis, petekie,
ekimosis.
5. anak resiko tinggi adalah bila kontak dengan penderita morbili (1 atau 2 minggu
sebelumnya) dan belum pernah vaksinasi campak.
Pemeriksaan fisik
1. pada stadium kataral manifestasi yang tampak mungkin hanya demam (biasanya
tinggi) dan tanda-tanda nasofaringitis dan konjungtivitis.
2. pada umunya anak tampak lemah.
3. koplik spot pada hari ke 2-3 panas (akhir stadium kataral).
4. pada stadium erupsi timbul ruam (rash) yang khas : ruam makulopapular yang
munculnya mulai dari belakang telinga, mengikuti pertumbuhan rambut di dahi, muka,
dan kemudian seluruh tubuh.
II.6. DIAGNOSIS BANDING
1. german measles. Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran
kelenjar di daerah suboksipital, servikal bagian posterior, belakang telinga.
2. eksantema subitum. Ruam akan muncul bila suhu badan menjadi normal. (Hassan.R. et
al, 1985) Rubeola infantum (eksantema subitum) dibedakan dari campak dimana ruam
dari roseola infantum tampak ketika demam menghilang. Ruam rubella dan infeksi
enterovirus cenderung untuk kurang mencolok daripada ruam campak, sebagaimana
tingkat demam dan keparahan penyakit. Walaupun batuk ada pada banyak infeksi
ricketsia, ruam biasanya tidak melibatkan muka, yang pada campak khas terlibat. Tidak
adanya batuk atau riwayat injeksi serum atau pemberian obat biasanya membantu
mengenali penyakit serum atau ruam karena obat. Meningokoksemia dapat disertai
dengan ruam yang agak serupa dengan ruam campak, tetapi batuk dan konjungtivitis
biasanya tidak ada. Pada meningokoksemia akut ruam khas purpura petekie. Ruam
papuler halus difus pada demam skarlet dengan susunan daging angsa di atas dasar
eritematosa relatif mudah dibedakan.
II.7. KOMPLIKASI
Bila ada, berupa komplikasi segera (Anonim) : Trakeobronkitis dan laringotrakeitis
biasanya telah ada, merupakan sebagian dari manifestasi morbili. Otitis media
merupakan komplikasi paling sering terjadi, harus dicurigai bila demam tetap tinggi pada
hari ketiga atau keempat sakit. Bronkopneumonia / bronkiolitis oleh virus morbili
sendiri atau infksi sekunder (oleh pneumokokus, hemofilus influenzae) dengan gejala
batuk menghebat, timbul sesak nafas. Aktivasi tuberkulosis laten. Lain-lain (jarang) :
ensefalitis, miokarditis, tromboflebitis, sindrom Guillain-Barre, dan lain-lain.
II.8. PENATALAKSANAAN
Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk, dan memperbaiki
keadaan umum. Tindakan yang lain ialah pengobatan segera terhadap komplikasi yang
timbul. (Hassan.R. et al, 1985)
1. istirahat
2. pemberian makanan atau cairan yang cukup dan bergizi.
3. medikamentosa : antipiretik : parasetamol 7,5 10 mg/kgBB/kali, interval 6-8 jam
ekspektoran : gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 100 mg tiap 2-6 jam, dosis
maksimum 600 mg/hari. Antitusif perlu diberikan bila batuknya hebat/mengganggu,
narcotic antitussive (codein) tidak boleh digunakan. Mukolitik bila perlu Vitamin
terutama vitamin A dan C. Vitamin A pada stadium kataral sangat bermanfaat. (Anonim)
II.9. PROGNOSIS
Baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadaan
umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi.
(Hassan.R. et al, 1985) II.10. PENCEGAHAN Imunisasi aktif : ini dilakukan dengan
menggunakan strain Schwarz dan Moraten. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan
dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pencegahan juga dengan imunisasi
pasif. (Hassan.R. et al, 1985)

DIFTERI
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
Diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan gejala
Demam tinggi, pembengkakan pada amandel ( tonsil ) dan terlihat selaput puith kotor yang
makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot
jantung yang dapat berakibat gagal jantung. Penularan umumnya melalui udara ( betuk / bersin )
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontamiasi
Penyebab
Corynebacterium diphtheriae, dikenal dua macam Corynebacterium diphtheriae, yaitu:
-Toxigenic Corynebacterium diphtheriae
-Non-tixigenic Corynebacterium diphtheriae
Toxigenic Corynebacterium diphtheriae.

Ada 4 strain yang Virulen yang berhubungan dengan penyakit pada manusia:
Di Eropa bentuk yang ganas dari difteri, berhubungan dengan tipe strain gravis, dan kebanyakan
kematian berhubungan dengan group ini.
Tipe strain mitis, berbeda keganasannya dari tipe strain gravis dan jarang fatal, dan umumnya
hanya mengenai saluran nafas.
Tipe. strain intermedius juga telah diidentifikasi dan merupakan penyebab penyakit difteri yang
agak berat.
Tipe strain minimus, pernah di isolasi sewaktu epidemik dari penyakit difteri yang berat di
Amerika.
Patofisiologi
Corynebacterium diphtheria adalah organism yang minimal melakukan invasive,secara umum
jarang memasuki aliran darah,tetapi berkembang lokal padamembran amukosa ataupada jaringan
yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten,yang tersebar keseluruh tubuh melalui
alirandarah dan system limpatik.Dengan sejumlah kecil toxin,yaitu0,06ug,biasanya telah bias
menimbulkan kematian pada guineapig.
Pada saat bakteri
berkembangbiak,toxinmerusakjaringanlokal,yangmenyebabkantimbulnyakematiandankerusakanj
aringan,lekosit masuk kedaerah tersebutbersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah
yang lain,disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane Akibat dari kerusakan
jaringan,oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membrane sering terjadi,dan ini
bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal difteri.

Warna dari membrane difteri dapat bervariasi, mulai dari putih,kuning,atau abu-abu,dan ini
sering meragukan dengan"simpletonsillarexudate".Karena membrane terdiri dari jaringan yang
mati,atau sel yang rusak,dasar dari membran rapuh,dan mudah berdarahbila membranyang
lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui
aliran darah ke jaringan lain,dimana dia menggunakan efeknya pada metabolism seluler.Toxin
terlihat terikat pada membrane sel melalui porsitoxin yang disebut"B"fragment,dan membantu
dalam transportasi porsitoxin lainnya,"A"fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam
saja setelah ter-expose dengan toxin difteri,sintesa protein berhenti dansel seger amati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf.Padamiokardium,toxin
menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,dengan fatty degeneration,oedem dan
interstitial fibrosis.Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium,peradangan setempat akan
terjadi,diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit [cuffing].
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory
dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.
Gejala klinik
Difteri tejadi setelah periode masa inkubasi yang pendek yaitu 2-4hari,dengan jarak antara 1-5
hari. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri
berdasarkan lokasi anatomi adalah:
1.Nasal diphtheria
2.Tonsillar [faucial] diphtheria
3.Pharyngeald iphtheria
4.Laryngeal atau laryngo tracheal diphtheria dan
5.Nonr espiratory diphtheria.
Lebih dar isatu lokasi anatomi mungkin terlibat pada waktu yang bersamaan.

Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik
merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam
pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnose dapat ditegakkan
dengan melihat adanya membra nyang tipis da nberwarna keabu-abuan, mirip seperti sarang
laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.

Diagnosa banding
1. Nasal diphtheria, diagnosa banding adalah:
Common cold
Bila sekret yang dihasilkan serosanguinous atau purulent harus dibedakan dari: Benda asing
dalam hidung
Sinusistis
Adenoiditis
Congenital syphilis.
2. Tonsillar atau dan pharyngeal diphtheria,
diagnosa banding adalah:
Pharyngitis oleh streptococcus
Pada keadan ini biasanya diikuti dengan rasa sakit yang hebat pada saat menelan, temperature
tubuh yang tinggi, dan membrane yang tidak lengket pada lesi.
Infeksi mononucleosis
Biasanya diikuti lymphadenopathy dan splenomegali
Blooddy scrasia
Posttonsillectomy faucial membranous.
3. Laryngeal diphtheria, diagnosa banding adalah:
Spasmodik dan non spasmodik croup
Acute epiglotitis
Laryngo-tracheo bronchitis
Aspirasi benda asing .
Pharyngeal dan retropharyngeal abscess
Laryngeal papiloma
Hemangioma atau lymphangioma

Penatalaksanaan
1. Antibiotika
Penicillin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitif, bila penderita sensitif terhadap
penicillin dapat digunakan erythromycin. Lama pemberian selama 7 hari, pada golongan
erithromycin dapat digunakan selama 7 -10 hari.

Penggunaan antibiotika bukan bertujuan untuk membanteras toxin, ataupun membantu kerja
antitoxin, tetapi untuk membunuh kuman penyebab, sehingga produksi toxin oleh kuman
berhenti.

2. Antitoxin [ ADS]
Antitoxin yang digunakan adalah yang berasal dari binatang, yaitu dari serum kuda. Sebelum
digunakan harus steril lebih dahulu dilakukan test.

Test sensitivitas terhadap antitoxin serum kuda dilakukan dengan cara:

0,1ml dari antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garam, diberikan I.C. dan
diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu 20menit dijumpai erythema
dengan diameter >10mm pada bekas tempat suntikan,atau pada test mata dijumpai adanya
conjunctivitis dan pengeluaran air mata.
Bila hal ini dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desensitisasi, Salah satu cara
yang digunakan adalah:
0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi 5acara S.C.
0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara S.C.
0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara I.V.


Bila tidak dijumpai reaksi, sisa dari anti toxin dapat diberikan secara perlahan melalui infus. Bila
dijumpai reaksi dari pemberian antitoxin,harus segera diobati dengan pemberian epinephrine
[1:1000] secara I.V.
3.Kortikosteroid
Menganjurkan penggunaan kortikosteroid pada keadaan tertentu, seperti bila ada tanda
miokarditis, dan pada laryngeal ataupun nasopharyngeal diphtheria.
4.Rawatan penunjang
Penderita harus dalam keadaan istirahat karena ditakutkan terjadinya miokarditis [minggu ke2-3
atau lebih] .Serial EKG perlu dilakukan secara serius untuk mendeteksi secara din itanda-tanda
miokarditis.
Pemberian,cairan harus cukup untuk mencegah dehidrasi,berikan kalor iyang tinggi dengan
makanan yang cair.
Pada laryngeal diphtheria tindakan tracheostomi perlu dilakukan untuk menghilangkan sumbatan
jalann afas.
Digitalis boleh diberikan bila ada tanda-tanda payah jantung,tetapi kontra indikasi bila ada
aritmia jantung.
Bila ada paralysepalatummolle dan pharyng, pemasangan polyethylene tube perlu dilakukan
untuk mencegah jangan sampai terjadi aspirasi.
Pencegahan
Pencegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, yang dapat dimulai
pada saat bayi berusia 2bulan dengan pemberian DPT ataupun DT. Diberikan 0,5ml secara I.M.,
imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6-8
minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah
ulangan yang pertama.
Penanganan kontak

Pencegahan terhadap difteri juga termasuk didalamnya isolasi dari penderita, dengan tujuan
untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran penyakit ke orang lain.Penderita adalah
infectious sampai basil difteri tidak dijumpai pada kultur yang diambil dari tempat infeksi. Tiga
kali berulang kultur negative dibutuhkan sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.

Immunized carriers harus diberikan injeksi ulangan dengan difteri toxoid, dan diobati
dengan:Procaine penicillin 600.000 u/hari selama 4 hari.
Benzathine penicillin 600.000 u, I.M. dosis tunggal atau
Erythromycine, 40 mg/kg BB/24 jam, diberikan selama 7 -10 hari.
Nonimmunized asymptomatic carriers harus dilakukan:Pemberian difteri toxoid dan penicillin
Dilakukan pemeriksaan setiap harinya oleh dokter,
Bila ini tidak dapat dilaksanakan, pemberian ADS 10.000 u haru dilakukan.
Bila kontak telah menunjukkan gejala, pengobatan seperti penderita difteri harus dilaksanakan.
Terapi profilaksis dengan pemberian difteri toxoid,penicillin,dan bila ada indikasi, diberikan
antitoxin harus dilaksanakan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu menunggu hasil kultur.
Schick Test
Untuk mengetahui seseorang mempunyai antitoxin didalam serumnya,disamping pemeriksaan
yang akurat dengan pemeriksaan langsung titer antitoxin yang beredar dalam darah,dapat
dilakukan Schick test dengan cara menggunakan bahan Schick test toxin, yang tersedia dalams
ediaan 5cc, dimana setiap cc-nya mengandun gtoxin difteri yangs tabil 1/50
d.l.m.[dosislethalminimal], dengan cara menyuntikkan 0,1 cc secara intracutan pada lengan
bawah kiri.bagian voler dengan menggunakan jarum suntik 1cc. Beberapa penderita mengalami
hypersensitive terhadap toxin ataupun terhadap antigen lain yang terdapat didalam persediaan
toxin. Untuk ini diperlukan control. Kontrol dapat dilakukan dengan menginjeksikan difteri
toxoid [0,005Lf], diberikan secara intra dermal pada lengan yang berbeda.

Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut Rampengan (1993) yaitu :
Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan
infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi.
Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala
akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
Sistemik
Kardiovaskuler
1) Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga terjadi pada bentuk ringan.komlikasi
terhadap penyakit jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin
terlambat pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang mempengaruhi
terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau adanya aritmia menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada miokarditis difteri atas:
a) Gangguan kondiksi .
b) Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai dengan atau tanpa deviasi
segmen ST.
c) Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2) Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a) Timbul setelah masa laten
b) Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant daripada sensorik
c) Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1) Paralisis atau parese palatum mole
a) Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b) Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara hidung dan regurgutasi hidung.
c) Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2) Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisisdari otot akomodasi yang
menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3) Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan
meninggal.
4) Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal
menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom.
Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau
tidak.

Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaanya.
Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.



VARIOLA
1. Defenisi
Variola atau cacar adalah penyakit menular pada manusia yang disebabkan oleh virus
Variola major atau Variola minor. Penyakit ini dikenal dengan nama Latinnya, Variola atau
Variola vera, yang berasal dari kata Latin varius, yang berarti "berbintik", atau varus yang
artinya "jerawat".
2. Anatomi fisiologi organ kulit

a. Epidermis (Kutilkula)
Epidermis merupakan lapisan terluar dari kulit, yang memiliki struktur tipis dengan ketebalan
sekitar 0,07 mm terdiri atas beberapa lapisan, antara lain seperti berikut :
Stratum korneum yang disebut juga lapisan zat tanduk.
Letak lapisan ini berada paling luar dan merupakan kulit mati. Jaringan epidermis ini
disusun oleh 50 lapisan sel-sel mati, dan akan mengalami pengelupasan secara perlahan-lahan,
digantikan dengan sel yang baru.
Stratum lusidum
Berfungsi melakukan pengecatan terhadap kulit dan rambut. Semakin banyak melanin
yang dihasilkan dari sel-sel ini, maka warna kulit akan menjadi semakin gelap. Selain
memberikan warna pada kulit, melanin ini juga berfungsi untuk melindungi sel-sel kulit dari
sinar ultraviolet matahari yang dapat membahayakan kulit. Walaupun sebenarnya dalam jumlah
yang tepat sinar ultraviolet ini bermanfaat untuk mengubah lemaktertentu di kulit menjadi
vitamin D, tetapi dalam jumlah yang berlebihan sangat berbahaya bagi kulit. Berdasarkan riset,
sinar ultraviolet dapat merangsang pembentukan melanosit menjadi lebih banyak untuk tujuan
perlindungan terhadap kulit. kulit kuning langsat disebabkan karena memiliki pigmen karoten.
Stratum granulosum
Menghasilkan pigmen warna kulit, yang disebut melamin. Lapisan ini terdiri atas sel-sel
hidup dan terletak pada bagian paling bawah dari jaringan epidermis.
Stratum germinativum
Sering dikatakan sebagai sel hidup karena lapisan ini merupakan lapisan yang aktif
membelah. Sel-selnya membelah ke arah luar untuk membentuk sel-sel kulit teluar. Sel-sel yang
baru terbentuk, akan mendorong sel-sel yang ada di atasnya selanjutnya sel ini juga akan
didorong dari bawah oleh sel yang lebih baru lagi. Pada saat yang sama sel-sel lapisan paling
luar mengelupas dan gugur.
b. Jaringan dermis
Jaringan ini memiliki struktur yang lebih rumit daripada epidermis, yang terdiri atas banyak
lapisan. Jaringan ini lebih tebal daripada epidermis yaitu sekitar 2,5 mm. Dermis dibentuk oleh
serabut-serabut khusus yang membuatnya lentur, yang terdiri atas kolagen, yaitu suatu jenis
protein yang membentuk sekitar 30% dari protein tubuh. Kolagen akan berangsur-angsur
berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Itulah sebabnya seorang yang sudah tua tekstur
kulitnya kasar dan keriput. Lapisan dermis terletak di bawah lapisan epidermis. Lapisan dermis
terdiri atas bagian-bagian berikut. Folikel rambut dan struktur sekitarnya
Akar Rambut
Di sekitar akar rambut terdapat otot polos penegak rambut (Musculus arektor pili), dan ujung
saraf indera perasa nyeri. Udara dingin akan membuat otot-otot ini berkontraksi dan
mengakibatkan rambut akan berdiri. Adanya saraf-saraf perasa mengakibatkan rasa nyeri apabila
rambut dicabut.
Pembuluh Darah
Pembuluh darah banyak terdapat di sekitar akar rambut. Melalui pembuluh darah ini akar-
akar rambut mendapatkan makanan, sehingga rambut dapat tumbuh.
Kelenjar Minyak (glandula sebasea)
Kelenjar minyak terdapat di sekitar akar rambut. Adanya kelenjar minyak ini dapat menjaga
agar rambut tidak kering.
Kelenjar Keringat (glandula sudorifera)
Kelenjar keringat dapat menghasilkan keringat. Kelenjar keringat berbentuk botol dan
bermuara di dalam folikel rambut. Bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar keringat adalah
bagian kepala, muka, sekitar hidung, dan lain-lain. Kelenjar keringat tidak terdapat dalam kulit
telapak tangan dan telapak kaki.
Serabut Saraf
Pada lapisan dermis terdapat puting peraba yang merupakan ujung akhir saraf sensoris.
Ujung-ujung saraf tersebut merupakan indera perasa panas, dingin, nyeri, dan sebagainya.
Jaringan dermis juga dapat menghasilkan zat feromon, yaitu suatu zat yang memiliki bau khas
pada seorang wanita maupun laki-laki. Feromon ini dapat memikat lawan jenis. Dermis (Kulit
Jangat)
3. Sejarah penyebab cacar
Dari segi historis, penyebab cacar memiliki kisah yang cukup buruk, namun ditemukannya
vaksin cacar merupakan babak baru dari kisah penyakit ini. Penyakit cacar telah terjadi sejak
lama selang beberapa ribu tahun yang lalu, akibat merebaknya penyebab cacar yang semakin
berkembang maka hingga sekarang diberantas setelah program vaksinasi sukses di seluruh dunia.
Setelah penyakit tersebut dieliminasi dari dunia, vaksinasi rutin terhadap cacar di kalangan
masyarakat umum dihentikan karena tidak lagi diperlukan untuk pencegahan.
Jika terdapat diantara anggota keluarga yang terkena penyakit cacar, penting untuk
memutuskan penularan penyebab cacar baik dengan menjaga hygene penderita maupun
mengisolasi benda-benda sekitar yag berpotensi menularkan penyakit tersebut.

4. Epidemiologi
Awalnya penyakit ini tersebar diseluruh dunia sejak tahun 1978. Pada tahun sekarang tidak
pernah lagi ditemukan penderita cacar pada manusia. Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 10
14 hari sejak infeksi dan 2 4 hari lebih setelah timbul ruam. Mulai dari waktu berkembangnya
lesi awal sampai menghilangnya semua scab (koreng); sekitar 3 minggu. Penderita dapat paling
menular selama periode preeruptive melalui droplet aerosol dari lesi orofaringeal.
5. Etiologi
Variola (virus yang menyebabkan cacar) adalah anggota dari genus orthopoxvirus, yaitu
Virus pox variola. Poxvirus adalah virus hewan terbesar, terlihat dengan mikroskop cahaya.
Mereka lebih besar dari beberapa bakteri. Poxvirus adalah satu-satunya virus yang tidak perlu
inti sel untuk mereplikasi di dalam sel. Penyakit ini mempengaruhi manusia saja. Tidak ada
hewan reservoir atau vektor serangga (serangga yang menyebarkan penyakit), dan tidak ada
carrier (periode dimana virus tersebut dalam tubuh, tetapi orang itu tidak aktif sakit) terjadi.







6. Klasifikasi
a. V. major
Penyakit ini merupakan penyakit yang lebih serius dengan tingkat kematian 3035%.
b. V. minor
Penyakit ini merupakan penyakit yang lebih ringan (dikenal juga dengan alastrim, cottonpox,
milkpox, whitepox, dan Cuban itch) yang menyebabkan kematian pada 1% penderitanya. Akibat
jangka panjang infeksi V. major adalah bekas luka, umumnya di wajah, yang terjadi pada 65
85% penderita.
7. Faktor risiko

Anak-anak, lingkungan atau orang sekitar yang terkena variola, tidak di vaksin sebelumnya.
8. Patofisiologi
Terbagi 4 stadium :
stadium inkubasi erupsi/prodormal
stadium macula papuler
stadium vesikulo pustulosa
stadium resolusi.Setelah terpapar

Masa tunas kurang lebih 2-3 minggu, masa inkubasi menunjukan gejala prodormal berupa
demam, selama 3-4 hari yang setelahnya muncul lesi berupa macula eritem yang diikuti dengan
munculnya papula, kemudian ada vesikel berisi cairan yang lama kelamaan menjadi krusta. Pada
masa macula eritem terjadi inflamasi awal oleh karena paparan virus juga terjadi vasodilatasi
pembuluh darah sehingga permukaan kulit menjadi eritem, lalu muncul papula yang menunjukan
terjadinya edem intrasel, kebocoran plasma dari edem ini akhirnya memunculkan vesikel,
benjolan berisi plasma yang jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dan ditempat lesi terjadi
perlawanan oleh makrofag, maka hasil sel-sel yang telah mati akan menjadi nanah dan munculah
pustule. Vesikel dan pustula yang pecah akhirnya akan membentuk krusta atau sering disebut
sebagai koreng, tidak jarang juga menimbulkan ulkus pada daerah lesi. Pada akhirnya penyakit
akan melakukan penyembuhan dengan sendirinya dan menyisakan bekas-bekas krusta berupa
sikatrik-sikatrik pada kulit.
9. Gejala Klinik
Masa tunas 10-14 hari terdapat 4 stadium :
Stadium prodromal/invasi ditandai dengan :
1. Suhu tubuh naik (40
o
C)
2. Nyeri kepala
3. Nyeri tulang
4. Sedih dan gelisah
5. Lemas
6. Muntah-muntah
Stadium macula popular /erupsi
Suhu tubuh kembali nomal, tetapi timbul makula-makula eritematosa dengan cepat
akan berubah menjadi papula-papula terutama dimuka dan ektremitas (termasuk
telapak tangan dan kaki) dan timbul lesi baru.
Stadium vesikula pusfulosa / supurasi
Dalam waktu 5 10 hari timbul vesikula-vesikula yang cepat berubah menjadi
pustule. Pada saat ini suatu tubuh akan meningkat dan lesi-lesinya akan mengalami
umblikasi.



Stadium resolusi
Berlangsung dalam 2 minggu, stadium ini dibagi menjadi 3 :
Stadium krustasi
Suhu tubuh mulai menurun, pustule-pustula mengering menjadi krusta.
Stadium dekrustasi
Krusta-krusta mengelupas, meninggalkan bekas sebagai sifakriks atrofi.
Kadang-kadang ada rasa gatal dan stadium ini masih menular.
Stadium rekon valensensi.
Lesi-lesi menyembuh, semua krusta rontok, suhu tubuh kembali normal,
penderita betul-betul sembuh dan tidak menularkan penyakit lagi.
10. Penularan virus penyebab cacar
Cacar sangat menular. Dalam kebanyakan kasus, penularan cacar terjadi melalui menghirup
air liur, paparan udara, kontak dengan orang yang terinfeksi, dan sebagainya. Melihat penyebab
penyakit cacar yang menginfeksi anak-anak dan cara penualarannya yang sangat mudah,
semestinya cacar menjadi perhatian bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya masih banyak
masyarakat kita menganggap penyakit cacar adalah penyakit yang sepele.
11. Diagnosa

Anamnesis :
Hal yang ditanyakan adalah gejala klinisnya
Pem.Fisik
Lihat penyebarannya dan sifatnya, bedakan dengan cacar varicella, tingkat
keparahan, ada atau tidak perdarahan, warna dari lesi, tanda vital, pembesaran KGB,
kemungkinan komplikasi, rasa nyeri, dll

Penunjang/lab :
Inokulasi pada korioalantoik
Histopatologis
Tes Antigen, deteksi antigen virus pada agar gel.
Tes Serologis (tes ikatan komplemen)
12. Penatalaksanaan
Pemberian vaksin (profilaksis)
Anak usia 12-18 bulan yang belum terkena cacar air harus mendapatkan satu
dosis vaksinasi.
Anak usia 19 bulan hingga 13 tahun yang belum terinfeksi cacar air harus
mendapatkan satu dosis vaksinasi.
Orang dewasa yang belum mengalami cacar air dan bekerja atau tinggal di
lingkungan yang rentan penularan cacar air, seperti di sekolah, panti penitipan
anak, rumah sakit, asrama, penjara, atau barak militer.
Wanita usia produktif yang belum pernah terkena cacar air dan tidak sedang
hamil
Orang dewasa dan remaja yang belum terkena cacar air dan tinggal dengan anak-
anak.
Orang yang hendak bepergian ke luar negeri dan belum mengalami cacar air.
Non farmakokinetik : Karantina, jaga higienis
Farmakokinetik :
Obat : Antivirus
Acyclovir
Valacyclovir
Simptomatik : Analgetik, antipiretik, antibiotic (krem/oral), kompres.

13. Pencegahan
Karantina dan rawat dengan baik anak yang terkena variola, jaga kebersihan, jaga
kesehatan.
14. Prognosis
Tergantung dari penanganan, jika ditangani baik maka prognosis baik, mortalitas 1%-
50%.
15. Komplikasi
Dapat terjadi infeksi sekunder, bronkopneumonia, ulkus kornea, telogen, ensefalitis.

DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Variola
http://defkanurse.wordpress.com/2010/08/06/asuhan-keperawatan-variola/
http://turunberatbadan.com/1237/penyebab-cacar/
http://micymicy.blogspot.com/2011/06/dermatovirologi-penyakit-kulit-akibat.html
(Prof. dr. Marwali Harahap, 2000 : 97)













VARICELLA
1. Definisi
Varicella (Cacar Air) adalah penyakit infeksi yang umum yang biasanya terjadi pada anak-
anak dan merupakan akibat dari infeksi primer Virus Varicella Zoster. Varicella pada anak,
mempunyai tanda yang khas berupa masa prodromal yang pendek bahkan tidak ada dan dengan
adanya bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan pada akhirnya krusta, walaupun
banyak juga lesi kult yang tidak berkembang sampai vesikel. Normalnya pada anak, gejala
sistemik biasanya ringan. Komplikasi yang serius biasanya terjadi pada dewasa dan pada anak
dengan defisiensi imunitas seluler, dimana penyakit dapat bermanifestasi klinis berupa, erupsi
sangat luas, gejala konstitusional berat, dan pneumonia.
2. Etiologi
Varicella disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV) yang termasuk kelompok Herpes
Virus dengan diameter kira-kira 150 200 nm. Inti virus disebut capsid yang berbentuk
icosahedral, terdiri dari protein dan DNA yang mempunyai rantai ganda yaitu rantai pendek (S)
dan rantai panjang (L) dan merupakan suatu garis dengan berat molekul 100 juta dan disusun
dari 162 capsomer. Lapisan ini bersifat infeksius.
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes zoster. Kontak pertama
dengan virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut
primer, sedangkan bila penderita varicella sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi
serangan kembali maka yang akan muncul adalah Herpes Zoster. Penyakit ini sering timbul pada
usia sebelum sekolah dan anak usia sekolah kurang dari usia 10 tahun dengan insidensi tertinggi
pada kelompok usia 3-6 tahun.
3. Epidemiologi
Sebelum pengenalan vaksin pada tahun 1995, varisella merupakan penyakit infeksi paling
sering pada anak-anak di USA. Kebanyakan anak terinfeksi pada umur 15 tahun, dengan
persentasi dibawah 5% pada orang dewasa. Epidemik Varicella terjadi pada musim dingin dan
musim semi, tercatat lebih dari 4 juta kasus, 11.000 rawat inap, dan 100 kematian tiap tahunnya.
Varicella merupakan penyakit serius dengan persentasi komplikasi dan kematian tinggi pada
balita, dewasa, dan orang imunokompeten. Pada rumah tangga, persentasi penularan dari virus
ini berkisar 65%-86%.
4. Faktor risiko
Anak-anak, lingkungan (ada pembawa), penyakit imunokompromise. Penyebaran penyakit
aerogen dan plasenta.
5. Patofisiologi
Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus
menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang biak di
sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) maka
timbullah demam dan malaise.
Permulaan bentuk lesi pada kulit mungkin infeksi dari kapiler endothelial pada lapisan papil
dermis menyebar ke sel epitel pada epidermis, folikel kulit dan glandula sebasea dan terjadi
pembengkakan. Lesi pertama ditandai dengan adanya makula yang berkembang cepat menjadi
papula, vesikel da akhirnya menjadi crusta. Jarang lesi yang menetap dalam bentuk makula dan
papula saja. Vesikel ini akan berada pada lapisan sel dibawah kulit. Dan membentuk atap pada
stratum korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam.
Degenarasi sel akan diikuti dengan terbentuknya sel raksasa berinti banyak, dimana kebanyakan
dari sel tersebut mengandung inclusion body intranuclear type A
Penularan secara airborne droplet. Virus dapat menetap dan laten pada sel syaraf. Lalu dapat
terjadi reaktivitas maka dapat terjadi herpes Zooster.
6. Gejala Klinik
Masa tunas penyakit berkisar antara 8-12 hari.
Didahului stadium prodromal yang ditandai :
Demam
Malaise
Sakit kepala
Anoreksia
Sakit punggung
Batuk kering
Sore throat yang berlangsung 1-3 hari.
Stadium : erupsi yang ditandai dengan terbentuknya verikula yang khas, seperti tetesan
embun (teardrops) vesikula akan berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi
kusta, sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel baru sehingga menimbulkan
gambaran polimorfi.
Penyebaran lesi terutama adalah di daerah badan kemudian menyebar secara satrifugal ke
muka dan ekstremitas.
7. Penularan
Penyakit ini menyebar biasanya dari oral udara atau sekresi respirasi atau terkadang melalui
transfer langsung dari lesi kulit melalui transmisi fetomaternal. Serangan sekunder meningkat
pada kontak rumah yang rentan melebihi 85%.
8. Diagnosa

Anamnesis :
Tempat pertama kali muncul
Gejala prodormal sebelum muncul
Pernah atau tidak terkena sebelumnya
Fisik
Lihat penyebaran lesi, sifat lesi, bedakan dengan herpes zoster, bedakan juga
dengan variola (cacar besifat polimorf sedangkan variola monomorf dan
cenderung lebih parah)
Lihat juga ada pembesaran KGB apa tidak
Sifat cairan yang keluar

Penunjang/lab :
Tzanck smear
Untuk mengecek ada tidak sel datia multi neukleotid, kalo positif
kemungkinan penyebab penyakit adalah varicella, tinggal dibedakan apakah itu
cacar atau herpes zoster.
Pemeriksaan histopatologi
Ambil lesinya, lihat adanya sel balon. Dalam pemeriksaan lab biasanya
cacar, herpes zoster, herpes simplex susah dibedakan, jadi waktu anamnesis sama
pemeriksaan fisik harus bias mendiagnosa sementara penyakit apa yang di derita
pasien.

9. Penatalaksanaan

Non farmakokinetik : Jaga kebersihan, istirahat dirumah.
Farmakokinetik :
Obat : Antivirus
Acyclovir 5x800 mg selama 7 hari
Valacyclovir 3x1 gr selama 7 hari
Varicella zoster immunoglobulin Im
Obat : simptomatik
analgetik, antipiretik, anti pruritus, tergantung keluhan tambahan dari pasien.
Obat topical untuk infeksi sekunder seperti krem AB (antibiotic), T.S 1%,
kompres.
Profilaksis berupa vaksinasi :
Usia 12 bln 12 thn injeksi s.c0,5 ml booster 4 6 tahun setelah
pemberian pertama. > 12 tahun 0,5 ml 4 8 mg diulang dengan dosis yang
sama. Serokonversi 97% - 99%.

10. Pencegahan
Untuk mencegah cacar air diberikan suatu vaksin. Kepada orang yang belum pernah
mendapatkan vaksinasi cacar air dan memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi (misalnya
penderita gangguan sistem kekebalan), bisa diberikan immunoglobulin zoster atau
immunoglobulin varicella-zoster. Vaksin varisela biasanya diberikan kepada anak yang berusia
12-18 bulan.

11. Prognosis
Baik jika ditangani dengan cepat dan tidak terjadi komplikasi.

12. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pertama adalah infeksi sekunder, pneumonia, ensefalitis,
konjungtivitis, hepatitis, keratitis, otitis, dan penyakit infeksi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
http://micymicy.blogspot.com/2011/06/dermatovirologi-penyakit-kulit-akibat.html
http://satriaperwira.wordpress.com/2009/06/04/varicella-zooster-virus-vzv-dr-beberapa-
sumber/
(Prof.dr. Marwali Harahap, 2000 : 94 95 )
POLIOMYELITIS
1. Definisi
Poliomielitis atau polio adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus dengan
predileksinya merusak sel anterior masa kelabu sel sum-sum tulang belakang .
2. Etiologi
Disebabkan oleh virus yang disebut virus poliomyelitis (virus rna). Tergolong dalam genus
anterovirus dan family picornaviridae. Mempunyai 3 strain yaitu tipe 1( brunhilde), tipe
2(lansing) dan tipe 3 (leon). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih virus tersebut. Epidemi
yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1.
3. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia. Manusia merupakan satu-satunya reservoir penyakit
poliomyelitis. Di Negara yang mepunyai 4 musim,penyakit ini lebih sering terjadi pada musim
panas, sedangkan di daerah tropis musim tidak berpengarauh.
Di Amerika Serikat, dengan 15000-21000 kasus kelumpuhan tiap tahunnya. Pada tahun 1920,
90% terjadi pada anak<5 tahun. Sedangkan di awal tahun 1950an kejadian tertinggi terjadi pada
usia 5-9 tahun. Belakangan ini hampir terjadi pada anak usia > 15 tahun.
4. Patofisiologi
Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Polio menular
melalui kontak antarmanusia. Polio dapat menyebar luas diam-diam karena sebagian besar
penderita yang terinfeksi poliovirus tidak memiliki gejala sehingga tidak tahu kalau mereka
sendiri sedang terjangkit. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan
makanan atau minuman yang terkontaminasi feses. Setelah seseorang terkena infeksi, virus akan
keluar melalui feses selama beberapa minggu dan saat itulah dapat terjadi penularan virus.
virus masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran
darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan (paralisis). Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam
hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak
berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga
35 hari.
5. Jenis polio
a. Polio non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram
otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh.
b. Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang
mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai.
Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari
200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada
kaki.
Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap oleh pembuluh darah kapiler pada
dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Virus Polio menyerang saraf tulang belakang dan
syaraf motorik - yang mengontrol gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu.
Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini biasanya
akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan
memengaruhi sistem saraf pusat - menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang
biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan syaraf motorik. Syaraf
motorik tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan
bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat.
Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas - kondisi ini disebut acute flaccid
paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada
batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.
c. Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut
terserang.
Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang
mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan
saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori
yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai
fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung,
usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian.5-10% penderita yang
menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja.
Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim
perintah bernapas ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan pada fungsi
penelanan. korban dapat 'tenggelam' dalam sekresinya sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau
diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam
paru-paru. Namun trakesotomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan 'paru-
paru besi' (iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan
mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan
mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian
udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah pada otak dapat
menyebabkan koma dan kematian.
Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 25-75% tergantung usia penderita. Hingga saat
ini, mereka yang bertahan hidup dari polio jenis ini harus hidup dengan paru-paru besi atau alat
bantu pernapasan.
Polio bulbar dan spinal sering menyerang bersamaan dan merupakan sub kelas dari polio
paralisis. Polio paralisis tidak bersifat permanen. Penderita yang sembuh dapat memiliki fungsi
tubuh yang mendekati normal.
6. diagnosa
a. laboratorium
virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan tenggorok pada minggu pertama
dan pada tinja sampai beberapa minggu. berbeda dengan enterovirus lainnya virus polio jarang
dapat diisolasi dengan cairan serebrospinal. bila pemeriksaan isolasi tidak mungkin dilakukan,
maka dilakukan pemeriksaan test serologi berupa test netralisasi dengan memakai serum pada
fase akut dan konvalesen.
dikatakan + jika terjadi kenaikan titer sampai 4x. test ini sangat spesifik dan sangat penting
dalam penegakan diagnosis poliomyelitis.
7. Pengobatan
Tidak ada pengobatan spesifik, penatalaksanaannya simptomatis dan jika tidak ada gejala dapat
dengan istirahat.
a. Infeksi abortif
Istirahat sampai beberapa hari setelah temperature normal, kalu perlu dapat diberikan analgetik
dan sedative. jangan melakukan aktifitas fisik selama 2 minggu, setelah 2 bulan dilakukan
pemeriksaan neuro-muskuloskeletal untuk menentukan adanya kelainan atau tidak.
b. Non paralitik
Sama dengan infeksi abortif, pemberian analgetik sangat bermanfaat jika diberikan bersamaan
dengan pembalut hangat selama 15-30 menit dalam 2-4 jam dan kadang-kadang mandi dengan
air panas sangat membantu. sebaiknya diberikan foot board, papan penahan telapak kaki, yaitu
agar kaki terletak pada sudut yang sesuai dengan tungkai. fisioterapi dilakukan 3-4 hari setelah
demam hilang. fisioterapi bukan mencegah atropi otot sebagai akibat denervasi sel kornu
anterior, tetapi dapat mengurangi deformitas yang terjadi.
c. Paralitik
Harus dirawat di rumah sakit, karea sewaktu-0waktu dapat terjadi paralisis pernapasan dan
harus diberikan pernafasan mekanis. bila rasa sakit telah hilang dapat dilakukan fisioterapi pasif
dengan menggerakkan kaki atau tangan. kalau terjadi paralisis kandung kemih maka diberikan
stimulant parasimpatetik spt bethanechol ( urocholin) 5-10 mg peroral atau 2-5mg /sk
8. Prognosa
Bergantung pada beratnya penyakit, pada bentuk paralitik tergantung pada bagian yang
terkena. prognosis jelek pada bentuk bulbar, kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat
pernapasn atau infeksi sekunder pada jalan napas.data dari Negara berkembang menunnjukkan
bahwa 9% anak meninggal pada fase akut, 15% sembuh sempurna dan 75% mempunyai
deformitas yang permanen seperti kontraktur terutama sendi, perubahn trofik oleh sirkulasi yang
tidak sempurna sehingga mudah terjadi ilserasi. pada keadaan ini perlu dilakukan pengobatan
ortopedik.
9. Pencegahan
Imunisasi aktif. Vaksin virus mati diberikan secara suntikan. Sedangkan yang hidup melalui
mulut dengan tetesan. Virus hidup yang dilemahkan lebih efektif dibandingkan dengan virus
yang mati. Selain pemberian imunisasi maka peningkatan sanitasi lingkungan dan higienis
perorangan sangat diperlukan
Jadwal imunisasi polio :
- Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan
saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain)
- Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1 pada umur 2 bulan
- Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2 pada umur 4 bulan
- Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3 pada umur 6 bulan.
- Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4 pada umur 18 bulan
- Polio-5 diberikan bersamaan dgan DTP-5 pada umur 5 tahun.

DEMAM TIFOID
a. Defenisi
Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica,
khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia,
dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau
types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran
pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik)
di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa.

Menurut keterangan dr. Arlin Algerina, SpA, dari RS Internasional Bintaro, Di Indonesia,
diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau demam tifoid sepanjang
tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering
terserang, peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun.
b. etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S.
Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s.
Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.
(Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora,
dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk
menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella
tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent
terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1
jam atau 60 C (140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan
suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja. (Ashkenazi et al,
2002)
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil
panas. (Ashkenazi et al, 2002)
c. Patogenesis
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. (mansjoer, 2000)
Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear,
disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II (Darmowandowo,
2006).
Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer)
terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi
sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll (Darmowandowo, 2006)
Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah
melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh
Salmonalla intraseluler (Darmowandowo, 2006)

d.Gejala

Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman,
sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran
darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan
rasa nyeri saat diraba.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara
lain ;
1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya
demam tinggi.
2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa
lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa,
Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual.
Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan
biasanya keluar lagi lewat mulut.
4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan
penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi
konstipasi (sulit buang air besar).
5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya
pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring
tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan
kesadaran.
Setelah infeksi terjadi akan muncul satu atau beberapa gejala berikut ini:
demam tinggi dari 39 sampai 40 C (103 sampai 104 F) yang meningkat secara perlahan
tubuh menggigil
denyut jantung lemah (bradycardia)
badan lemah ("weakness")
sakit kepala
nyeri otot myalgia
kehilangan nafsu makan
konstipasi
sakit perut
pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda ("rose spots")
e.diagnosa

Untuk ke akuratan dalam penegakan diagnosa penyakit, dokter akan melakukan beberapa
pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Widal dan biakan
empedu.
1. Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah dilakukan di
laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada gambaran jumlah darah putih
yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang meningkat dan eosinofilia.
2. Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat anti terhadap kuman tifus.
Widal positif kalau titer O 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan progresif.
3. Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu dengan ditemukannya kuman
Salmonella typhosa dalam darah waktu minggu pertama dan kemudian sering ditemukan dalam
urine dan faeces.

Sampel darah yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces dua
kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan
bukan pembawa kuman (carrier).
Sedangkan untuk memastikan apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain maka
perlu ada diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan memikirkan
kemungkinan selain demam tifoid yaitu penyakit infeksi lain seperti Paratifoid A, B dan C,
demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC (Tuberculosis), dan infeksi paru
(Pneumonia).

f.Penatalaksanaan
Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan
menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya
komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan
dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk
mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama tiga hari hingga panas turun,
kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.
Selain obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa
pusing (Paracetamol), Untuk anak dengan demam tifoid maka pilihan antibiotika yang utama
adalah kloramfenikol selama 10 hari dan diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi kuman
serta waktu perawatan dipersingkat. Namun beberapa dokter ada yang memilih obat antibiotika
lain seperti ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kotrimoksazol, sefalosporin, dan
ciprofloxacin sesuai kondisi pasien. Demam berlebihan menyebabkan penderita harus dirawat
dan diberikan cairan Infus.
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat
pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem,
azithromisin dan fluorokuinolon.
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral
atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol ,
diberi
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat
belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena
selama 21 hari
kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral,
selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali
sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga
mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
(Darmowandowo, 2006)

Diet Penyakit Demam Tifoid
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet
yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :
1. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
2. Tidak mengandung banyak serat.
3. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
4. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi.
Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya.


g.Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai pada anak penderita penyakit demam tifoid adalah perdarahan
usus karena perforasi, infeksi kantong empedu (kolesistitis), dan hepatitis. Gangguan otak
(ensefalopati) kadang ditemukan juga pada anak.

h.Pencegahan

Pencegahan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan sanitasi
lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral dan vaksin
suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini pencegahan
terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama chotipa (cholera-
tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih rentan, bisa
juga divaksinasi.

j. Diagnosa Banding
1. Influenza
2. Malaria
3. Bronchitis
4. Sepsis
5. Broncho Pneumonia
6. I.S.K










PERTUSIS
a. Pengertian

Pertusis adalah penyakit saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis.
Pertusis adalah disebut juga sebagai tussis quinta, whooping cough, batuk rejan.

b. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetellah pertusis atau Haemophilus pertussis. Bordetella pertussis
adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negatif, dan di dapatkan dengan cara melakukan
pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis kemudian ditanam pada media
Bordet gangou. Basil pertusis yang di dapatkan secara langsung adalah tipe antigentik fase I,
sedangkan yang diperoleh melalui pembiakan dalam bentuk lain ialah fase II, III dan IV.

c. Patofisiologi
Lesi biasanya terdapat pada bronkus dan bronkiolus, namun mungkin terdapat perubahan-
perubahan pada selaput lendir trakea, laring dan nasofaring. Basil biasanya bersarng pada silia
epitel torak mukosa, menimbulkan eksudasi yang mukopurulen. Lesi berupa nekrosis bagian
basal dan tengah sel epitel torak, di sertai infiltrat neutrofil dan makrofag. Lendir yang terbentuk
dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis.
Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dapat menimbulkan infeksi sekunder. Kelainan-kelainan
paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis.

c. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari pertusis adalah masa tunas 7-14 hari. Penyakit dapat
berlangsung sampai 6 minggu atau lebih terbagi dalam 3 stadium, yaitu :



1.Stadium kataralis
Lamanya 1-2 minggu. Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada
malam hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi siang dan
malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia. Stadium ini menyerupai infuenza.

2.Stadium spasmodic
Lamanya 2-4 minggu. Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi
paroksismal berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah
leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita-penderita tampak
gelisah dengan muka merah dan sianotik. Serangan batuk panjang, tidak ada inspirium
diantaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan dalam berbunyi
melengking). Sering disertai muntah dan banyak sputum yang kental. Anak dapat
terberak-berak dan terkencing-kencing. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak
pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis oleh karena meningkatnya tekanan pada
waktu menangis dapat menimbulkan serangan batuk. Dalam bentuk ringan tidak terdapat
whoop, muntah atau batuk spasmodik.

3.Stadium konvalensi
Lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh. Pada minggu keempat jumlah dan beratnya
serangan batuk berkurang, juga muntah berkurang, nafsu makan pn timbul kembali.
Ronkhi difus yang terdapat pada stadium spasmodik mulai menghilang. Infeksi semacam
common cold dapat menimbulkan serangan batuk lagi.

e. Komplikasi
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita pertusis :

1.Alat pernafasan
Dapat terjadi otitis media (sering pada bayi), bronkitis, bronkopneumonia, atelektasis
yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema (dapat juga terjadi emsifema mediastinum,
leher, kulit pada kasus yang berat), bronkiektasis, sedangkan tuberkulosis yang
sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat.

2.Alat pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rektum atau hernia
yang mungkin timbul karena tingginya tekanan, intra abdominal, ulkus pada ujung lidah
karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit ada waktu serangan batuk, stomatitis.

3.Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah.
Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak.

4.Lain-lain

Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan
subkonjungtiva.



f. Penatalaksanaan

1.Antibiotika

a.Eritromisin dengan dosis 50 mg/kb bb/ hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini menghilangkan B.
Pertussis dari nasofaring dalam 2-7 hari (rata-rata 3-6 hari) dan dengan demikian memperpendek
kemungkinan penyebaran infeksi.
Pada anak- anak:
< 1 th = 50 mg ( 1 kali pakai )
1-5 th = 100 mg ( 1 kali pakai )
5-12 th = 200 mg ( 1 kali pakai )

b.Ampisillin dengan dosis 100mg/ kg bb/ hari dibagi 4 dosis.
Pada anak-anak
50-100 mg / kg / hr ( 4 dosis ) sebelum makan.
c.Lain-lain : rovamisin, kotrimoksazol, kloramfenikol, tetrasiklin
2.Ekspektoransia dan mukolitik
3.Kodein diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali
4.Luminal sebagai sedativa.



g. Diagnosis laboratorium
Diagnosis yang pasti tergantung pada diasingkannya Bordetella pertussis dari penderita.
Hasil isolasi tertinggi diperoleh pada stadium kataral, dan kuman pertusis biasanya tidak
dapat ditemukan lagi setelah 4 minggu pertama sakit. Bahan pemeriksaan berupa usapan
nasofaring penderita atau dengan menampung batuk secara langsung pada perbenihan.
Isolasi Bordetella pertussis dari bahan klinik sangat bergantung pada transportasi dan
pengolahan bahan tersbeut.

Bila diperlukan lebih dari 2 jam sebelum bahan tersebut sampai di laboratorium, sebaiknya
bahan pemeriksaan tadi ditanam pada perbenihan Stuart (dimodifikasikan). Penambahan
penicillin 0,25-0,5 unit/ml di dalam perbenihan kedua adalah berguna untuk menghambat
pertumbuhan kuman positif gram saluran pernafasan, tanpa mengurangi pertumbuhan
kuman pertusis.

Selain reaksi-reaksi biokimiawi, identifikasi Bordetella pertussis secara serologic akan
memastikan isolasi tersebut. Pewarnaan antibody fluoresensi (AF) telah dipakai untuk
mengidentifikasi Bordetella pertussis pada preparat langsung hapusan nasofaring dan untuk
mengidentifikasi kuman-kuman yang tumbuh pada perbenihan Bordet-gengou. Cara AF ini
tidak dapat menggantikan isolasi kuman, namun dapat mengidentifikasi kuman secara lebih
cepat.

h. Pencegahan
Cara pencegahan terbaik terhadap pertusis adalah dengan imunisasi dan dengan mencegah
kontak langsung dengan penderita. Proteksi bayi terhadap pertusis dengan vaksinasi aktif
adalah penting karena komplikasi-komplikasi berat serta morbiditas tertinggi terdapat pada
usian ini.

Antibodi yang masuk melalui plasenta tidak cukup memberikan proteksi. Vaksin yang
dipergunakan biasanya merupakan kombinasi toksoid difteri dan tetanus dengan vaksin
pertusis (vaksin DPT). Imunitas yang diperoleh baik karena infeksi alamiah maupun karena
imunisasi aktif, tidak berlangsung untuk seumur hidup.


i. Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar
1-2% anak yang berusia dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena berkurangnya
oksigen ke otak (ensefalopati anoksia) dan bronkopneumonia.










Bakteri Bordetella pertussis


Klasifikasi

Kingdom : Eubacterium
Filum : Coccobacillus
Kelas : Bacillus
Ordo : Coccobacillus
Famili : Alcaligenaceae
Genus : Bordetella
Spesies : Bordetella pertussis

Morfologi

Boredetella pertussis berbentuk coccobacillus kecil-kecil, terdapat sendiri-sendiri, berpasangan,
atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada isolasi primer, bentuk kuman biasanya
uniform, tetapi setelah subkultur dapat bersifat pleomorfik.Bentuk koloni pada biakan agar yaitu
smooth, cembung, mengkilap, dan tembus cahaya. Bentuk-bentuk filament dan batang-batang
tebal umum dijumpai. Simpai dibentuk tapi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan khusus, dan
tidak dengan penggabungan simpai. Kuman ini hidup aerob, tidak membentuk H2S, indol serta
asetilmetilkarbinol. Bakteri ini merupakan gram negative dan dengan pewarnaan toluidin biru
dapat terlihat granula bipolar metakromatik.

Pada Bordetella pertussis ditemukan dua macam toksin yaitu :

Endotoksin yang sifatnya termostabil dan terdapat dalam dinding sel kuman. Sifat endotoksin ini
mirip dengan sifat endotoksin-endotoksin yang dihasilkan oleh kuman negative gram lainnya.
Protein yang bersifat termolabil dan dermonekrotik. Toksin ini dibentuk di dalam protoplasma
dan dapat dilepaskan dari sel dengan jalan memecah sel tersebut atau dengan jalan ekstraksi
memakai NaCl.
Baik endotoksin maupun toksin yang termolabil tersbeut tidak dapat memancing timbulnya
proteksi terhadap infeksi Bordetella pertussis. Peranan yang pasti daripada kedua toksin ini
dalam pathogenesis pertusis belum diketahui.
Berbeda dengan spesies-spesies Hemophilus, kuman Bordetella dapat tumbuh tanpa adanya
hemin (factor X) dan koenzim I (factor V). Pembiakan dilakukan pada perbenihan Bordet-
gengou, dimana kuman-kuman ini tumbuh dengan membentuk koloni yang bersifat smooth,
cembung, mengkilat, dan tembus cahaya. Kuman ini membentuk zona hemolisis. Sifat-sifat ini
dapat ebrubah tergantung lingkungan dimana kuman ini dibiakkan, yang diikuti oleh perubahan-
perubahan sifat antigenic serta virulensinya.

Struktur antigen

Proteksi terhadap infeksi oleh Bordetella pertussis merupakan respon imunoloik terhadap antigen
(antigen-antigen) kuman. Sifat antigen protektif kuman ini tidak diketahui. Walaupun demikian,
penelitian serologic yang ekstensif telah berhasil menemukan antigen-antigen yang penting.
Diketahui adanya antigen permukaan O yang termostabil pada smooth strains dan rough strains
Bordetella pertussis. Antigen O ini berupa protein, mudah diekstraksi dari sel dan terdapat di
dalam cairan supernatant biakan kuman.
Antigen-antigen serta factor-faktor lainnya seperti HLT (heat-labile toxin), lipopolisakarida
(endotoksin), HSF (histamine-sensitizing factor), LPF (lymphocytosis-promoting factor), MPF
(mouse-protective factor), hemaglutinin dan agaknya juga IAP (islet-activating protein) adalah
sangat erat kaitannya dengan infeksi, penyakit dan kekebalan.

Epidemiologi

Penyakit pertusis tersebar di seluruh dunia dan mudah sekali menular. Manusia merupakan satu-
satunya sumber Bordetella pertussis, dan penyebaran penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh
orang-orang dengan infeksi aktif. Banyak kasus terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun,
sebagian besar meninggal pada usia 1 tahun.


Penularan

Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan kemudian terhirup
oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk
mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan mengurangi kemungkinan
memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik
tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang
yg kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi
terjadinya penularan pada orang sehat tersebut.

REFERENSI
http://www.forumsains.com/kesehatan/pertusis/

http://ummusalma.wordpress.com/2007/01/22/hello-world/
http://www.infopenyakit.com/2008/08/penyakit-demam-tifoid.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Demam_tifoid#Lihat_pula

1. Rubella
a. Definisi
Rubella (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umum pada anak dan dewasa
muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran kelenjar getah bening
servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2-3 hari. Pada anak
yang lebih besar dan orang dewasa sekali-kali terdapat infeksi berat disertai kelainan sendi dan
purpura. Kelainan prenatal akibat rubela pada kehamilan muda dilaporkan pertama kali oleh
Gregg di Australia pada tahun 1941. Rubela pada kehamilan muda dapat mengakibatkan abortus,
bayi lahir mati, dan menimbulkan kelainan kongenital yang berat pada janin. Sindrom rubela
kongenital merupakan penyakit yang sangat menular, mengenai banyak organ dalam tubuh
dengan gejala klinis yang luas. Hingga saat ini penyakit rubela masih merupakan masalah dan
terus diusahakan eliminasinya.
Rubella menjadi penting karena penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin. Sindroma
rubella congenital (Congenital Rubella Syndrome, CRS) terjadi pada 90% bayi yang dilahirkan
oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester pertama kehamilan; risiko kecacatan
congenital ini menurun hingga kira-kira 10-20% pada minggu ke-16 dan lebih jarang terjadi bila
ibu terkena infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.
Infeksi janin pada usia lebih muda mempunyai risiko kematian di dalam rahim, abortus spontan
dan kecacatan congenital dari sistem organ tubuh utama. Cacat yang terjadi bisa satu atau
kombinasi dari jenis kecacatan berikut seperti tuli, katarak, mikroftalmia, glaucoma congenital,
mikrosefali, meningoensefalitis, keterbelakangan mental, patent ductus arteriosus, defek septum
atrium atau ventrikel jantung, purpura, hepatosplenomegali, icterus dan penyakit tulang
radiolusen. Penyakit CRS yang sedang dan berat biasanya sudah dapat diketahui ketika bayi baru
lahir; sedangkan kasus ringan yang mengganggu organ jantung atau tuli sebagian, bisa saja tidak
terdeteksi beberapa bulan bahkan hingga beberapa tahun setelah bayi baru lahir. Diabetes
mellitus dengan ketergantungan insulin diketahui sebagai manifestasi lambat dari CRS.
Malformasi congenital dan bahkan kematian janin bisa terjadi pada ibu yang menderita rubella
tanpa gejala.

b. Epidemiologi
Penyakit ini terdistribusi secara luas di dunia. Epidemik terjadi dengan interval 5-7 tahun (6-9
tahun), paling sering timbul pada musim semi dan terutama mengenai anak serta dewasa muda.
Pada manusia virus ditularkan secara oral droplet dan melalui plasenta pada infeksi kongenital.
Sebelum ada vaksinasi, angka kejadian paling tinggi terdapat pada anak usia 5-14 tahun. Dewasa
ini kebanyakan kasus terjadi pada remaja dan dewasa muda.

Kelainan pada fetus mencapai 30% akibat infeksi rubela pada ibu hamil selama minggu pertama
kehamilan. Risiko kelainan pada fetus tertinggi (50-60%) terjadi pada bulan pertama dan
menurun menjadi 4-5% pada bulan keempat kehamilan ibu. Survei di Inggris (1970-1974)
menunjukkan insidens infeksi fetus sebesar 53% dengan rubela klinis dan hanya 19% yang
subklinis. Sekitar 85% bayi yang terinfeksi rubela kongenital mengalami defek.

c. Etiologi
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili Togaviridae. Virus dapat
diisolasi dari biakan jaringan penderita. Secara fisiko-kimiawi virus ini sama dengan anggota
virus lain dari famili tersebut, tetapi virus rubela secara serologik berbeda. Pada waktu terdapat
gejala klinis virus ditemukan pada sekret nasofaring, darah, feses dan urin.
Virus rubela tidak mempunyai pejamu golongan intervetebrata dan manusia merupakan satu-
satunya pejamu golongan vertebrata.

Cara Penularannya melalui kontak dengan sekret nasofaring dari orang terinfeksi. Infeksi terjadi
melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita. Pada lingkungan tertutup seperti di
asrama calon prajurit, semua orang yang rentan dan terpajan bisa terinfeksi. Bayi dengan CRS
mengandung virus pada sekret nasofaring dan urin mereka dalam jumlah besar, sehingga
menjadi sumber infeksi.

Penyebab rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus penyebabnya berbeda,
namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai beberapa persamaan. Rubella dan campak
merupakan infeksi yang menyebabkan kemerahan pada kulit pada penderitanya.
Perbedaannya, rubella atau campak Jerman tidak terlalu menular dibandingkan campak yang
cepat sekali penularannya. Penularan rubella dari penderitanya ke orang lain terjadi melalui
percikan ludah ketika batuk, bersin dan udara yang terkontaminasi. Virus ini cepat menular,
penularan dapat terjadi sepekan (1 minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit si
penderita, sampai lebih kurang sepekan setelah bintik tersebut menghilang.
Namun bila seseorang tertular, gejala penyakit tidak langsung tampak. Gejala baru timbul kira-
kira 14 21 hari kemudian. Selain itu, campak lebih lama proses penyembuhannya sementara
rubella hanya 3 hari, karena itu pula rubella sering disebut campak 3 hari.

d. Patogenesis
Penularan terjadi melalui droplet, dari nasofaring atau rute pernafasan. Selanjutnya virus rubela
memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum diketahui patogenesisnya.
Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada
sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama. Selain dari darah dan
sekret nasofaring, virus rubela telah diisolasi dari kelenjar getah bening, urin, cairan
serebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya dari 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi.
Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun dengan cepat, dan
berlangsung hingga menghilangnya erupsi.



e. Manifestasi Klinis
1. Masa inkubasi

Masa inkubasi berkisar 14 21 hari. Dalam beberapa laporan lain waktu inkubasi minimum 12
hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.

2. Masa prodromal
Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya; jarang disertai gejala dan tanda
masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda masa prodromal berlangsung 1-5 hari
dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorok, kemerahan pada konjungtiva,
rinitis, batuk dan limfadenopati. Gejala ini segera menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala
dan tanda prodromal biasanya mendahului 1-5 hari erupsi di kulit. Pada beberapa penderita
dewasa gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20%
penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi timbul suatu enantema, tanda
Forschheimer, yaitu makula atau petekiia pada palatum molle. Pembesaran kelenjar limfe bisa
timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular
dan servikal dan disertai nyeri tekan.

3. Masa eksantema
Seperti pada rubeola, eksantema mulai retro-aurikular atau pada muka dan dengan cepat meluas
secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh. Mula-mula berupa makula yang berbatas tegas
dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada
hari kedua eksantem di muka menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota
gerak. Pada 40% kasus infeksi rubela terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat
terjadi deskuamasi posteksantematik.
Limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada rubela. Biasanya pembengkakan
kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.
Pada penyakit rubela yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah dapat
bekerja seperti biasa pada hari ke-3. sebagian kecil penderita masih terganggu dengan nyeri
kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari

f. Diagnosis Banding
Penyakit yang memberikan gejala klinis dan eksantema yang menyerupai rubela adalah :
a.Penyakit virus : campak, roseola infantum, eritema mononukleosis infeksiosa dan Pityriasis
rosea
b.Penyakit bakteri : scarlet fever (Skarlatina).
\c.Erupsi obat : ampisilin, penisilin, asam salisilat, barbiturat, INH, fenotiazin dan diuretik tiazid.
Bercak erupsi rubela yang berkonfluensi sulit dibedakan dari morbili, kecuali bila ditemukan
bercak koplik yang karakteristik untuk morbili. Erupsi rubela cepat menghilang sedangkan erupsi
morbili menetap lebih lama.
Bila terjadi kemerahan difus dan tampak bercak-bercak berwarna lebih gelap diatasnya, perlu
dibedakan dari scarlet fever. Tidak seperti scarlet fever, pada rubela daerah perioral terkena.
Erupsi pada infeksi mononukleosis dapat menyerupai rubela derajat berat, namun penyakit itu
dimulai dengan difteroid atau Plaut-Vincent-like tonsilitis, demam lebih tinggi, pembesaran
kelenjar getah bening umum serta pembesaran hepar dan limpa.
Pada sifilis stadium dua ditemukan juga eksantema yang menyerupai rubela, disertai pembesaran
kelenjar getah bening umum, kadang-kadang perlu pemeriksaan serologik untuk sifilis.
Erupsi obat menyerupai rubela yang dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening disebabkan
terutama oleh senyawa hidantoin. Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
hemogram dan serologik.

g. Diagnosis
Diagnosis klinis sering kali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh karena tidak ada tanda
atau gejala yang patognomik untuk rubela. Seperti dengan penyakit eksantema lainnya, diagnosis
dapat dibuat dengan anamnesis yang cermat. Rubela merupakan penyakit yang epidemik
sehingga bila diselidiki dengan cermat, dapat ditemukan kasus kontak atau kasus lain di dalam
lingkungan penderita.sifat demam dapat membantu dalam menegakkan diagnosis, oleh karena
demam pada rubela jarang sekali di atas 38,5C.

Pada infeksi tipikal, makula merah muda yang menyatu menjadi eritema difus pada muka dan
badan serta artralgia pada tangan penderita dewasa merupakan petunjuk diagnosis rubela.
Perubahan hematologik hanya sedikit membantu penegakan diagnosis. Peningkatan sel plasma
5-20% merupakan tanda yang khas. Kadang-kadang terdapat leukopenia pada awal penyakit
yang dengan segera segera diikuti limfositosis relatif. Sering terjadi penurunan ringan jumlah
trombosit.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologik yaitu adanya peningkatan titer anibodi
4 kali pada hemaglutination inhibition test (HAIR) atau ditemukannya antibodi Ig M yang
spesifik untuk rubela. Titer antibodi mulai meningkat 24-48 jam setelah permulaan erupsi dan
mencapai puncaknya pada hari ke 6-12. selain pada infeksi primer, antibodi Ig M spesifik rubela
dapat ditemukan pula pada reinfeksi. Dalam hal ini adanya antibodi Ig M spesifik rubela harus di
interpretasi dengan hati-hati. Suatu penelitian telah menunjukkan bahwa telah tejadi reaktivitas
spesifik terhadapp rubela dari sera yang dikoleksi, setelah kena infeksi virus lain.
Membedakan rubella dengan campak (q.v.), demam scarlet (lihat infeksi Streptokokus) dan
penyakit ruam lainnya (misalnya infeksi eritema dan eksantema subitum) perlu dilakukan karena
gejalanya sangat mirip. Ruam makuler dan makulopapuler juga terjadi pada sekitar 1-5%
penderita dengan infeksi mononucleosis (terutama jika diberikan ampisilin), juga pada infeksi
dengan enterovirus tertentu dan sesudah mendapat obat tertentu.
Diangosa klinis rubella kadang tidak akurat. Konfirmasi laboratorium hanya bisa dipercaya
untuk infeksi akut. Infeksi rubella dapat dipastikan dengan adanya peningkatan signifikan titer
antibodi fase akut dan konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau tes LA, atau dengan
adanya IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella sedang terjadi.
Sera sebaiknya dikumpulkan secepat mungkin (dalam kurun waktu 7-10 hari) sesudah onset
penyakit dan pengambilan berikutnya setidaknya 7-14 hari (lebih baik 2-3 minggu) kemudian.
Virus bisa diisolasi dari faring 1 minggu sebelum dan hingga 2 minggu sesudah timbul ruam.
Virus bisa ditemukan dari contoh darah, urin dan tinja. Namun isolasi virus adalah prosedur
panjang yang membutuhkan waktu sekitar 10-14 hari. Diagnosa dari CRS pada bayi baru lahir
dipastikan dengan ditemukan adanya antibodi IgM spesifik pada spesimen tunggal, dengan titer
antibodi spesifik terhadap rubella diluar waktu yang diperkirakan titer antibodi maternal IgG
masih ada, atau melalui isolasi virus yang mungkin berkembang biak pada tenggorokan dan urin
paling tidak selama 1 tahun. Virus juga bisa dideteksi dari katarak kongenital hingga bayi
berumur 3 tahu

h. Komplikasi
Komplikasi relatif tidak lazim pada anak. Neuritis dan artritis kadang-kadang terjadi. Resistensi
terhadap infeksi bakteri sekunder tidak berubah. Ensefalitis serupa dengan ensefalitis yang
ditemukan pada rubeola yang terjadi pada sekitar 1/6.000 kasus.
Kebanyakan anak-anak mengalami penyembuhan total. Anak laki-laki atau pria dewasa kadang
mengalami nyeri pada testis (buah zakar) yang bersifat sementara. Sepertiga wanita mengalami
nyeri sendi atau artritis. Pada wanita hamil, campak jerman bisa menyebabkan keguguran,
kematian bayi dalan kandungan ataupun keguguran. Kadang terjadi infeksi telinga (otitis media).

i. Pengobatan
Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simtomatis. Adamantanamin
hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam menghambat stadium awal
infeksi rubella pada sel yang dibiakkan. Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita
rubela kongenital dengan obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita
hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil
yang terbatas.

j. Pencegahan
Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat diberikan secara
bervariasi dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum (GIS) yang diberikan dengan dosis
besar (0,25 0,50 mL/kg atau 0,12-0,20 mL/lb) dalam 7-8 hari pasca pemajanan. Efektivitas
globulin imun tidak dapat diramalkan. Tampaknya tergantung pada kadar antibodi produk yang
digunakan dan pada faktor yang belum diketahui. Manfaat GIS telah dipertanyakan karena pada
beberapa keadaan ruam dicegah dan manifestasi klinis tidak ada atau minimal walaupun virus
hidup dapat diperagakan dalam darah. Bentuk pencegahan ini tidak terindikasI, kecuali pada
wanita hamil nonimun.
Sejak tahun 1979 vaksin virus hidup RA 27/3 (fibroblas paru embrional manusia deretan WI-38)
telah digunakan hanya pada imunisasi aktif terhadap rubella di Amerika Serikat. Vaksin RA 27/3
mempunyai banyak manfaat melebihi vaksin rubela lain yang dahulu digunakan karena ia
menghasilkan antibodi nasofaring dan berbagai variasi antibodi serum, memberikan proteksi
yang lebih baik terhadap reinfeksi, dan sangat lebih menyerupai proteksi yang diberikan oleh
infeksi alamiah. Vaksin sensitif terhadap panas dan cahaya; karenanya vaksin harus disimpan
dalam lemari es pada suhu 4 dan digunakan sesegera vaksin ini dilarutkan kembali. Vaksin
diberikan sebagai satu injeksi subkutan.
Antibodi berkembang pada sekitar 98% dari mereka yang divaksinasi. Walaupun mungkin virus
menetap, terutama pada nasofaring, dan pelepasan terjadi dari 18-25 hari sesudah vaksinasi,
penularan nampaknya tidak merupakan masalah.
Lama persistensi antibodi rubela pasca vaksinasi dengan RA 27/3 tidak tentu tetapi mungkin
seumur hidup. Cara-cara pencegahan adalah paling penting untuk perlindungan janin. Vaksinasi
ini terutama penting sehingga wanita mempunyai imunitas terhadap rubela sebelum mencapai
usia subur, dengan penularan penyakit alamiah atau dengan imunisasi aktif. Status imun dapat
dievaluasi dengan uji serologis yang tepat.
Program vaksinasi rubela di Amerika Serikat mengharuskan untuk imunisasi semua laki-laki dan
wanita umur 12 dan 15 bulan serta pubertas dan wanita pasca pubertas tidak hamil. Imunisasi
adalah efektif pada umur 12 bulan tetapi mungkin tertunda sampai 15 bulan dan diberikan
sebagai vaksin campak-parotitis-rubela (measles-mumps-rubela /MMR). Imunisasi rubela harus
diberikan pada wanita pasca pubertas yang kemungkinan rentan pada setiap kunjungan
perawatan kesehatan. Untuk wanita yang mengatakan bahwa mereka mungkin hamil imunisasi
harus ditunda. Uji kehamilan tidak secara rutin diperlukan, tetapi harus diberikan nasehat
mengenai sebaiknya menghindari kehamilan selama 3 bulan sesudah imunisasi. Kebijakan
imunisasi sekarang telah berhasil memecahkan siklus epidemi rubela yang basa di Amerika
Serikat dan menurunkan insiden sindrom rubella kongenital yang dilaporkanpada hanya 20 kasus
pada tahun 1994. Namun imunisasi ini tidak mengakibatkan penurunan persentase wanita usia
subur yang rentan terhadap rubella. Semua orang rentan terhadap infeksi virus rubella setelah
kekebalan pasif yang didapat melalui plasenta dari ibu hilang. Imunitas aktif didapat melalui
infeksi alami atau setelah mendapat imunisasi; kekebalan yang didapat biasanya permanent
sesudah infeksi alami dan sesudah imunisasi diperkirakan kekebalan juga akan berlangsung
lama, bisa seumur hidup, namun hal ini tergantung juga pada tingkat endemisitas. Di AS, sekitar
10% dari penduduk tetap rentan. Bayi yang lahir dari ibu yang imun biasanya terlindungi selama
6-9 bulan,tergantung dari kadar antibodi ibu yang didapat secara pasif melalui plasenta.

k. Prognosis
Prognosis rubella anak adalah baik; sedang prognosis rubela kongenital bervariasi menurut
keparahan infeksi. Hanya sekitar 30% bayi dengan ensefalitis tampak terbebas dari defisit
neuromotor, termasuk sindrom autistik.


2. TIPOID FEVER


A. PENGERTIAN
Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini
masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari
orang yang terinfeksi kuman salmonella.( Bruner and Sudart,1994 ).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu , gangguan dari saluran pencernaan dan
gangguan kesadaran. (staff pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI).
B. ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi
B dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997). Ada dua sumber penularan salmonella typhi
yaitu pasien dengan demam tifoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh
dari demam tifoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama
lebih dari 1 tahun.
C. PATOFISIOLOGI
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu
Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada
orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia
bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam
disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari)
bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam
keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
D. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi: 10-14 hari.
* Penderita < 5 tahun, tanda klinisnya tidak khas.
* Penderita > 5 tahun:
1. Demam selama satu minggu atau lebih, terutama sore atau malam hari.
2. Lidah tifoid (tremor, di bagian tengah kotor, di bagian tepi hiperemis/memerah, lidah tampak
kering; dilapisi selaput tebal)
3. Pembesaran limpa/lien (splenomegali), pembesaran hati/liver (hepatomegali). Hepatomegali
lebih sering dijumpai daripada splenomegali.
4. Nyeri tekan/spontan di daerah McBurney (di perut kanan bawah), sedangkan di sisi kiri
normal/kurang nyeri.
5. Meteorismus (kembung; terdapatnya gas di perut dan usus)
6. Dapat disertai diare atau konstipasi (sembelit).
7. Dapat disertai batuk-batuk, anorexia (seleramakan menurun/menghilang), lethargy (sensasi
mengantuk yang hebat), delirium (mengigau), nyeri kepala, nyeri perut.
8. Dapat disertai penurunan kualitas/fungsi pendengaran (agak tuli).
9. Bila berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan
kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
sus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif
mansjoer & Suprohaitan 2000)
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam
tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului
oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering
ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh
organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan
arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering
terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap :
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula tau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan al setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan
SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3. Pemeriksaan Uji Widal : Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita
membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri
Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam
Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid.
(Widiastuti Samekto, 2001)
G. TERAPI
1. Kloramfenikol.
Anak : 50-75 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.
Bayi < 2 minggu : 25 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi tiap 6 jam. Berikan dosis lebih tinggi
untuk infeksi lebih berat. Setelah umur 2 minggu bayi dapat menerima dosis sampai 50
mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis tiap 6 jam.
1. Tiamfenikol.
2. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg
trimetoprim)
3. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
4. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama jam
per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
5. Golongan Fluorokuinolon
Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
1. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik,
peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam
organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)
H.PENATALAKSANAAN
Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan
menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya
komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan
dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk
mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama tiga hari hingga panas turun,
kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.
Selain obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa
pusing (Paracetamol), Untuk anak dengan demam tifoid maka pilihan antibiotika yang utama
adalah kloramfenikol selama 10 hari dan diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi kuman
serta waktu perawatan dipersingkat. Namun beberapa dokter ada yang memilih obat antibiotika
lain seperti ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kotrimoksazol, sefalosporin, dan
ciprofloxacin sesuai kondisi pasien. Demam berlebihan menyebabkan penderita harus dirawat
dan diberikan cairan Infus.
Cara pemberian kompres hangat pada anak dengan typhoid
Kompres hangat akan menurunkan suhu anak dalam waktu 30-45 menit. Oleh karena itu,
lakukanlah kompres hangat bila suhu anak sangat tinggi. Kompres hangat ini juga membantu
anak agar lebih comfortable.
Cara mengompres anak demam:
a) Kompres sebaiknya menggunakan air hangat, tidak menggunakan alkohol karena uap alkohol
sangat berbahaya dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
b) Kompres akan lebih efektif apabila dilakukan pada daerah yang mengandung banyak
pembuluh darah, seperti ketiak, lipat paha atau selangkangan dan dahi.
c) Taruh anak di bath up/ ember mandi yang diisi air hangat bersuhu 30-32 C.
d) Usapkan air hangat di sekujur tubuh bayi/ anak.
e) Bila anak menolak, suruh duduk di ember / bath up, beri mainan, ajak bermain
A. Medikamentosa
1. Pilihan antibiotik yang dapat digunakan:
a. Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg berat badan/hari, oral atau intravena, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari.
b. Amoksisilin 100 mg/kg berat badan/hari, oral atau intravena, selama 10 hari.
c. Kotrimoksasol 6 mg/kg berat badan/hari, oral, selama 10 hari.
d. Seftriakson 80 mg/kg berat badan/hari, intravena atau intramuskuler, sekali sehari, 5 hari.
e. Sefiksim 10 mg/kg berat badan/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
2. Antipiretik
Diberikan bila demam > 39C. Dapat diberikan lebih awal bila ada riwayat kejang
demam.
3. Kortikosteroid
Diberikan pada kasus berat yang disertai gangguan kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kg berat
badan/hari, intravena, dibagi 3 dosis, hingga kesadaran membaik.
4. Pembedahan
Diperlukan bila terjadi perforasi usus.
B. Pencegahan
1. Higiene, sanitasi, edukasi.
Mencegah demam tifoid adalah dengan meningkatkan higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan seperti: tidak jajan di sembarang tempat, mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan, pengamanan pembuangan limbah feses (tinja), pemberantasan lalat, penyediaan air
minum yang memenuhi syarat, penyuluhan masyarakat.
2. Imunisasi
Vaksin yang digunakan adalah:
a. Vaksin yang dibuat dari Salmonella typhosa yang dimatikan. Pada pemberian oral, vaksin ini
ternyata tidak memberikan perlindungan yang baik.
b. Vaksin yang dibuat dari strain Salmonella yang dilemahkan (Ty21-a). Diberikan secara oral,
pada usia > 6 tahun, dengan interval selang sehari (hari 1, 3, 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin
ini memberikan perlindungan 87-95% selama 1,5 tahun.
c. Vaksin polisakarida kapsular Vi (Typhi Vi) Vaksin ini disuntikkan sc atau im 0,5 mL dengan
booster (diulang setiap) 2-3 tahun.
MUMPS
PENGERTIAN
Penyakit Gondongan (Mumps atau Parotitis) adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan
pembengkakan satu atau lebih kelenjar ludah, biasanya kelenjar parotis.
ETIOLOGI
Penyebab parotitis adalah Paramyxovirus dengan ukuran sedang (diameter 120sampai
200nm.). virus ini mempunyai inti bagian dalam heliks yang erat (RNA beruntai tunggal)
tertutup dalam bungkus bagian luar lipid dan glikoprotein. Hanyasatu jenis antigenic yang
diketahui.
PATOGENESIS
Virus masuk melalui saluran nafas selama periode inkubasi 12 sampai 25 hari. Virus ini
kemungkinan bereplikasi di saluran nafas atas dan limfonodus servikalis, dari sinimenyebar
melalui aliran darah ke jaringan sasaran seperti kelenjar parotis danmeningen. Setel;ah
bereplikasi awal di tempat-tempat ini terjadi viremia sekunder.Hal ini menyebabkan terkenanya
berbagai organ, seperti gonad, pancreas, tiroid,mammae, hati, jantung, dan ginjal. Adenitis
kelenjar liur diduga oleh beberapa orangsebagai akibat sekunder viremia awal, tetapi penyebaran
lanngsung dari saluran nafastidak dikesampingkan sebagai mekanisme alternative. Viruria
biasanya terjadihamper di seluruh infeksi disertai gangguan fungsi ginjal yang dapat diketahui.
MANIFESTASI KLINIS
Kejadian Protitis terbagi menjadi dua stadium, yaitu Stadium Prodrom yang muncul pada
1 sampai 2 hari dan Stadium Pembengkakan yang muncul 7 sampai 9 hari.
Gejala pertama dari parotitis adalah nyeri ketika mengunyah atau menelan,terutama jika
menelan cairan asam. Jika kelenjar liur disentuh, maka akan timbulnyeri. Gejala parotitis muncul
dalam waktu 12 sampai 24 hari setelah terinfeksi.
Mulainya parotitis biasanya tiba-tiba, meskipun mungkin didahului oleh periode
prodromal seperti malaise, anoreksia, rasa menggigil, demam, nyeritenggorokan, dan nyeri pada
sudut rahang. Akan tetapi, pada beberapa kasus, pembengkakan parotis merupakan petunjuk
penyakit pertama. Kelenjar membesar secara progresif dalam waktu 1 sampai 3 hari, dan
pembengkakan menghilang dalamsatu minggu setelah pembengkakan maksimal. Kelenjar yang
membengkak meluas dari telinga sampai bagian bawah ramus mandibula dan sampai bagian
inferior arkus zygomaticus, seringkali menggeser telinga ke atas dan keluar. Kulit di atas
kelenjar biasanya tidak hangat atau eritema, berlawanan dengan tanda yang ditunjukkan
oleh bakteri parotitis.
Edema parotitis dijelaskan sebagai elatoinosa dan jika kelenjar yang terkenaterpuntir,
maka kelenjar menggulung seperti jelli. Pembengkakan dapat hannyamengenai kelenjar
submaksilaris dan sublingualis dan dapat meluas sampai bagian anterior dada, menimbulkan
edema parasternal. Terkenanya kelenjar submaksilarissaja sudah dapat menyebabkan kesulitan
dalam membedakan parotitis dari adenitis servikal akut. Pembengkakan glottis jarang terjadi,
tetapi jika terjadi akan membutuhkan trakeostomi. Umumnya, parotitis disertai dengan
temperature 37,8sampai 39,4
o
C (100 sampai 103
o
F), malaise, sakit kepala, dan anoreksia, tetapi
gejala sistemik mungkin tidak ada, khususnya pada anak. Pada sebagian besar pasien,keluhan
utama adalah kesulitan makan, menelan, dan berbicara.
Komplikasi Akibat Penyakit GondonganHampir semua anak yang menderita gondongan
akan pulih total tanpa penyulit, tetapi kadang gejalanya kembali memburuk setelah sekitar 2
minggu. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan komplikasi, dimana virus dapat menyerang
organ selain kelenjar liur. Hal tersebut mungkin terjadi terutama jika infeksi terjadi setelah masa
pubertas. Dibawah ini komplikasi yang dapat terjadi akibat penanganan atau pengobatan yang
kurang dini:
1. Orkitis : peradangan pada salah satu atau kedua testis. Setelah sembuh, testis yang
terkena mungkin akan menciut. Jarang terjadi kerusakan testis yang permanen
sehinggaterjadi kemandulan.
2. Ovoritis : peradangan pada salah satu atau kedua indung telus. Timbul nyeri perut yang
ringan dan jarang menyebabkan kemandulan.
3. Ensefalitis atau meningitis : peradangan otak atau selaput otak. Gejalanya berupa sakit
kepala, kaku kuduk, mengantuk, koma atau kejang. 5-10% penderita mengalami
meningitis dan kebanyakan akan sembuh total. 1 diantara 400-6.000 penderita
yangmengalami enserfalitis cenderung mengalami kerusakan otak atau saraf yang
permanen,seperti ketulian atau kelumpuhan otot wajah.
4. Pankreatitis : peradangan pankreas, bisa terjadi pada akhir minggu pertama. Penderita
merasakan mual dan muntah disertai nyeri perut. Gejala ini akan menghilang dalamwaktu
1 minggu dan penderita akan sembuh total.
5. Peradangan ginjal bisa menyebabkan penderita mengeluarkan air kemih yang
kentaldalam jumlah yang banyak
6. Peradangan sendi bisa menyebabkan nyeri pada satu atau beberapa sendi.
PENGOBATAN
Istirahatkan penderita selama masih demam dan pembengkakan kelenjar parotis masih
ada. Karenaterdapat gangguan menelan atau mengunyah, sebaiknya diberikan makanan lunak
dan hindari minuman asam karena dapat menimbulkan nyeri. Daerah pipi atau leher bisa juga
dikompres secara bergantian dengan panas dan dingin. Obat pereda nyeri (misalnya
asetaminofen dan ibuprofen) bisa digunakan untuk mengatasi sakit kepala dan tidak enak badan.
Aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak karena memiliki resiko terjadinya sindroma
Reye. Kortikosteroid diberikan selama 2-4 hari dan globulin gama dipikirkan apabila terdapat
orkitis. Jika terjadi pembengkakan testis, sebaiknya penderita menjalani tirah baring. Untuk
mengurangi nyeri, bisa dikompres dengan es batu.Jika terjadi mual dan muntah akibat
pankreatitis, bisa diberikan cairan melalui infus.
PENCEGAHAN
Vaksinasi gondongan merupakan bagian dari imunisasi rutin pada masa kanak-
kanak.Vaksin gondongan biasanya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan campak dan rubella
(MMR),yang disuntikkan melalui otot paha atau lengan atas. Diberikan pada umur 12-15 bulan,
MMR diulang umur 4-6 tahun
Vaksin mumps:
0,5 ml, tunggal/gabung (MMR)
Tingkat perlindungan: 95%
Masa protektif: 25 tahun


PERTANYAAN
1. Bagaimana pertolongan pertama yang anda lakukan untuk
mengobati pasien kejang demam?
a. Pemberian diazepam secara intravena
b. Pertahankan ABC, dan segera mungkin beri diazepam rectal
c. Beri Paracetamol
d. Semua benar
e. Semua salah
2. Seorang anak dgan gejala demam tinggi mendadak, nyeri sendi dan
otot, pusing. Pada pemeriksaan darah rutin terdapat
trombositopenia dan uji widal (-).. Apa diagnose kerja yang anda
pikirkan.
a. Demam thipoid
b. Demam malaria
c. DHF
d. Demam Influenza
e. Hepatitis




































.

You might also like