You are on page 1of 35

______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.

2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

REFORMASI PERENCANAAN KEPEGAWAIAN

Prijono Tjiptoherijanto
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
E-mail: prijonoth@yahoo.com

Abstract

Good governance will only happen if the politicians tworking with honesty and responsibility and the state apparatus,
including its civil servants (PNS), working efficiently and productively. There are still many problems in the civil
service administration and this happens not only in Indonesia but also in surrounding countries. Efforts to get out of
the problems of bureaucracy needs to be done through a reformof ways of thinking (mindset) and behavior of the
civil servants themselves. One way that might be done is through a change of paradigm(paradigmshift) that need to
be understood and addressed by the civil servants as the actor of the government administration. To support this,
need to set up an institution that specialized in public sector human resource management, namely the Civil Service
Commission. Successful establishment of this institute can be seen fromthe Civil Service Commission of the
Philippine government and South Korea.

Key words: reform, mindset, paradigmshift, civil service commission


Abstrak

Good governance hanya akan terjadi jika para politisi bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab serta para
aparatur negara-nya termasuk pegawai negeri sipil (PNS) bekerja secara efisien dan produktif. Masih banyak
persoalan-persoalan dalam kepegawaian pemerintahan dan ini terjadi bukan hanya di Indonesia saja tapi juga di
negara-negara sekitarnya. Upaya untuk keluar dari persoalan yang melingkup tatanan birokrasi pemerintahan, perlu
dilakukan melalui suatu reformasi cara berpikir (mindset) dan cara bertindak (behaviour) dari para PNS itu sendiri.
Salah satu cara yang mungkin dilakukan melalui perubahan paradigm (paradigm shift) yang perlu dimengerti dan
disikapi para PNS sebagai pengelola suatu administrasi pemerintahan. Untuk mendukung hal ini perlu dibentuk
suatu lembaga yang khusus menangani manajemen sumberdaya manusia disektor publik, yaitu Komisi
Kepegawaian Negeri. Contoh-contoh keberhasilan dari pembentukan lembaga ini adalah Civil Service Commission
dari pemerintahan Filipina dan Korea Selatan.

Kata Kunci: reformasi, cara berpikir, perubahan paradigma, komisi kepegawaian negara

The true bureaucrat is a man of remarkable talents. He writes a kind of English that is unknown else where in the
world, and he has an almost infinite capacity for forming complicated and unworkable rules .
(Henry Mencken, 1930)

PENDAHULUAN

Tata kelola pemerintahan yang baik atau
sering disebut good governance bukan
hanya akan bisa terjadi bila para politisi
benar-benar jujur dan bertanggung jawab,
tetapi juga bila pegawai negeri atau sering
disingkat sebagai PNS (Pegawai Negeri
Sipil) bekerja secara efisien dan produktif.
Sejak semua kualitas pemerintahan se-
bagian besar tergantung pada kualitas
personalia yang mengelola pemerintahan
tersebut, yang tidak lain adalah para PNS.
Amat disayangkan bahwa reputasi para
pejabat publik ini persis seperti yang
diungkapkan oleh Henry Mencken lewat
pernyataannya diatas lebih dari delapan
puluh tahun yang lalu, masih juga ditemui
sampai saat ini. Kenyataan tersebut juga
berlaku pada beberapa Negara ASEAN
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

yang menjadi tetangga dekat Indonesia.
Oleh karenanya perlu ada perubahan pola
pikir (mindset) dan perilaku para PNS
tersebut.

PENUTUP

Reformasi kepegawaian merupakan
suatu kegiatan yang mahal dan sulit secara
politis, sehingga seringkali di luar
kemampuan sebagian besar negara-negara
miskin dan yang sedang membangun.
Namun kebijakan reformasi kepegawaian ini
harus dijalankan sebagai bagian penting
dari keseluruhan program reformasi yang
harus dilakukan suatu pemerintahan. Bagi
masyarakat luas, tindakan yang cepat dan
tepat serta pelayanan prima menjadi idaman
bersama. Masyarakat tidak mau pusing
dengan konflik internal dan persoalan politik
yang mungkin terjadi dalam suatu
pemerintahan. Oleh karenanya, reformasi
kepegawaian harus bebas dari kepentingan
politik dan tekanan dari partai-partai politik
tertentu. Persyaratan semacam itu sejalan
dengan keinginan menegakkan PNS yang
profesional dan netral serta semata-mata
berlandaskan pada kompetensi perorangan.
Sehingga baik dalam proses penerimaan
pegawai ,penempatan pejabat maupun
promosi untuk jabatan yang lebih tinggi,
hanya semata-mata berdasar pada per-
saingan yang wajar serta standar
kompetensi yang telah ditetapkan. Bukan
atas dasar koneksi dan pertemanan. Apa-
lagi bila reformasi kepegawaian memang
diarahkan dan ditujukan untuk mengurangi
terjadinya tindak pidana korupsi di
lingkungan birokrasi pemerintahan, seperti
yang sering ditemui dewasa ini.



REFERENSI

Dayag, CC and MGS Lopez. (1993). Survey
Updates on Civil Servants and the
Civil Service. Social Weather
Bulletin, 14 July 1993, pp.1-11
Kong. D (2005). Reinventing South Koreas
bureaucracy toward open and
accountable govermance. Paper
presented at the Asian Public
Reform Forum, Nanning, China.
Patricia, Sto Thomas and Mangahas, Joel V
(2002). Public Administration and
Governance : How Do They Affect
Government Efficiency and Effec-
tiveness. Paper presented at the
International Conference on Public
Administration Plus Governance,
21-23 October 2002, Manila Hotel,
Philippines.
Philippines Civil Service Commission
(2002). Updated : The Civil Service
: Building Its Own Integrity. The
Civil Service Commission Strategic
Plan for 2002-2009, CSC, Manila,
Philippines.
Prachapruit, Tin (1986) . Thailand Elite Civil
Servant and their Development
Oriented : An Empirical Test of
National Data,. Social Research
Institute, Chulalongkorn University,
Bangkok, Thailand.
Riggs, Fred. (1966). Thailand, The Modernization of
a Bureaucratic Polity. Honolulu,
East West Center Press.
United Nations (2005) World Public, Sector
Report 2005, Unlocking the human
potential for public sector performance.
New York : Department of Economic
and Social Affairs (UN-DESA).
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

FAMILY FRIENDLY POLICY DAN PRODUKTIVITAS
PEGAWAI NEGERI SIPIL

Agus Pramusinto
Ketua Pengelola ProgramMagister Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada
Email: guspram2001@yahoo.com; agus_pramusinto@map.ugm.ac.id

Abstract

Family Friendly Policy (FFP) is an instrument of policy that enables employees to balance and integrate between the
demands of workplace and of personal or family life. This policy is important due to the current development that
requires different responses to avoid a conflict between work and family to maintain the productivity of employees. In
Indonesia, there are many policies that are not sensitive to family matters, leading to problems for both the
employees and the employers. This paper discusses the importance of FFP, its practices in many other countries
and the possibility of adopting such a policy in Indonesia.
Key Words: family friendly policy, workplace-family, productivity


Abstrak

Family Friendly Policy (FPP) merupakan kebijakan yang memungkinkan pegawai menyeimbangkan dan
mengintegrasikan antara tuntutan tempat kerja dan tuntutan kehidupan pribadi atau keluarga. Kebijakan ini penting
mengingat perkembangan yang terjadi menuntut respon kebijakan yang berbeda agar tidak ada konflik antara kerja
dan keluarga (work and family) sehingga produktivitas pegawai tetap terjaga. Selama ini, di Indonesia banyak
kebijakan yang tidak sensitif kepada persoalan keluarga sehingga berakibat kerugian pada individu karyawan dan
juga organisasi yang memperkerjakannya. Paper ini mendiskusikan pentingnya FFP dan bagaimana praktiknya di
banyak negara serta kemungkinan adopsi kebijakan tersebut di Indonesia.
Kata Kunci: family friendly policy, workplace-family, produktivitas

PENDAHULUAN

Paper ini mendiskusikan pentingnya
Family Friendly Policy (FFP) dalam konteks
peningkatan produktivitas Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di Indonesia. Dalam literatur
internasional di bidang manajemen sumber-
daya manusia (human resource mana-
gement), hubungan industrial, psikologi
industri dan sosiologi, isu tentang FFP
sudah lama didiskusikan (lihat Remery et
al., 2003; Whitehouse et all., 2007). Dilema
antara pekerjaan dan keluarga (work and
family) merupakan fenomena serius yang
dialami di banyak negara maju sehingga
harus direspon dengan kebijakan publik
berupa pengaturan yang tidak merugikan
antara karyawan dan organisasi yang
mempekerjakannya. Banyak kajian yang
menunjukkan bahwa kehadiran FFP penting
dalam rangka meningkatkan kinerja
organisasi maupun individual karyawan
(Dex and Scheibl, 1999; Den Dulk, 2001;
Tunny, 2001; Gornick dan Hegewisch,
2010).
Sementara itu, di Indonesia isu FFP
belum banyak didiskusikan baik di kalangan
akademisi maupun praktisi. Kajian PNS
selama ini lebih banyak pada proses
rekrutmen, pelatihan, pengembangan, dan
sistem pensiun. Walaupun disadari bahwa
isu-isu tersebut sangat penting dalam
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

rangka meningkatkan kualitas PNS,
kebijakan tentang hal tersebut tidak memiliki
arti signifikan ketika kebijakan pendukung-
nya tidak tersedia. Dalam praktiknya,
aktivitas yang dilakukan PNS seringkali
terkendala kondisi di luarnya. Misalnya,
ketika tidak ada yang bisa merawat anggota
keluarganya, seorang PNS dihadapkan
pada dilema antara menjaga karier dan
urusan rumah tangganya. Akibatnya, se-
orang PNS seringkali terganggu aktivitas
kantornya sehingga menyebabkan produk-
tivitas kerja dan kariernya terhambat.
Karena itu, isu hubungan antara
pekerjaan dan keluarga (work and family)
perlu serius untuk didiskusikan. Istilah FFP
mengacu pada kebijakan yang ditujukan
untuk memberi kesempatan kepada
seseorang agar bisa mengharmonisasikan
antara kepentingan karir dan kehidupan
keluarga. Tulisan ini mencoba mewacana-
kan isu tersebut mengingat ke depan isu ini
akan semakin menguat. Setidaknya ada
beberapa alasan terkait dengan pentingnya
FFP: (1) adanya pergeseran nilai dari model
extended family ke nuclear family, yang
berakibat hilangnya ketergantungan se-
seorang kepada keluarga besarnya dalam
hal pembagian beban kerja; (2) semakin
meluasnya partisipasi perempuan dalam
bidang pekerjaan dan semakin kuatnya
tekanan hidup yang mengharuskan
perempuan ikut terlibat sebagai pencari
nafkah; (3) adanya tuntutan demokratisasi
dan kuatnya gerakan gender yang men-
dorong pembagian peran yang seimbang
antara laki-laki dan perempuan. Pembagian
kerja secara konvensional bahwa
perempuan hanya menangani urusan
domestik dan laki-laki urusan publik tidak
lagi relevan.
Untuk membahas isu FFP dalam paper ini,
bagian berikut ini akan membahas berbagai
konsep dan pendekatan FFP. Selanjutnya
berbagai kebijakan dan praktik akan di-
bahas dengan memberikan contoh di ber-
bagai negara. Bagian akhir akan didiskusi-
kan kemungkinan untuk mengadopsi FFP di
Indonesia.

PENUTUP

Berdasarkan diskusi di atas, ada
beberapa poin penting yang bisa di-
simpulkan dalam paper ini. Pertama,
kebijakan FPP sebagai instrumen untuk
mengharmoniskan pekerjaan dan keluarga
sangat penting. Kebijakan ini bukan saja
bermanfaat untuk karyawan, tetapi juga
menguntungkan pihak employer. Kedua,
praktik FFP di banyak negara sudah sangat
maju dalam bentuk penyediaan penitipan
anak, pengaturan waktu kerja yang
bervariasi serta penyediaan transportasi
umum dan bis sekolah. Ketiga, FFP belum
menjadi mainstream dalam kebijakan
kepegawaian di Indonesia. Untuk itu,
Indonesia perlu mewacanakan pentingnya
FFP di sektor publik agar produktivitas PNS
bisa terjaga.
Untuk itu, adopsi FFP di Indonesia
bukan hanya tanggungjawab dari Badan
Kepegawaian Negara. Kementrian lain yang
harus terlibat antara lain: Kementrian
Perhubungan untuk transportasi umum,
Kementrian Pendidikan yang menyediakan
bis sekolah, Kementrian Tenaga Kerja yang
mengatur hubungan industrial antara
karyawan dan organisasi yang mem-
pekerjakannya, serta Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi yang bertanggungjawab
untuk masalah hak dan kewajiban PNS.



______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


REFERENSI

Budd, J.W. dan Mumford, K., 2004. Trade
Unions and Family-Friendly Policies
in Britain, Industrial and Labor
Relations Review, Vol. 57, No. 2:
204-222.
Cardenas, R.A. dan Major, D.A., 2005.
Combining Employment and
Breastfeeding: Utilizing a Work-
Family Conflict Framework to Understand
Obstacles and Solutions, J ournal of
Business and Psychology, Vol. 20,
No. 1: 31-51
Davis, A.E. dan Kalleberg, A.L., 2006.
Family-Friendly Organizations? Work
and Family Programs in the 1990s, Work
and Occupations, Vol.33, No. 2: 191-
223.
Den Dulk, I., 2001. Work Family Arrangements in
Organisations, Rozenberg
Publishers, Amsterdam.
Dex, S. dan Scheibl, F., 1999. Business
performance and family friendly
policies, J ournal of General
Management, Vol. 24, No. 4, pp. 22-37.
Glass, J. dan Fujimoto, T., 1995. Employer
characteristics and the provision of
family responsive policies, Work
and Occupations, Vol. 22, No. 4:
380-411.
Glass, J. & Estes, S. (1997). The Family
Responsive Workplace, Annual
Review of Sociology, Vol. 23: 289-
314.
Goodstein, J.D., 1994. Institutional pressures and
strategic responsiveness: employer
involvement in work-family issues,
Academy of Management J ournal,
Vol. 37 No. 2: 350-82.
Gornick, J.C. dan Hegewisch, A., 2010.
The Impact of Family Friendly
Policies on Womens Employment
Outcomes and on the Costs and
Benefits of Doing Business, A
Commissioned Report for the World
Bank, Institute for Womens Policy
Research (IWPR)
Guthrie, D. dan Roth, L.M., 1999. The State, Courts,
and Maternity Policies in U.S.
Organizations: Specifying Institutional
Mechanisms, American Sociological
Review, Vol.64, 1: 41-63.
Remery, C., Van Doorne-Huiskes, A.,
Schippers, J., 2003. Family-
Friendly Policies in the Netherland:
The Tripartite Involvement,
Personnel Review, Vol 32 No. 4:
456-473
Schwartz, D. B., 1994. An Examination of
the Impact of Family-Friendly
Policies on the Glass Ceiling,
Federal Publications. Paper 126.
http://digitalcommons.ilr.cornell.edu/
key_workplace/126
Smith, G.C. dan Waltman, J.A., 2006.
Designing and Implementing
Family-Friendly Policies in Higher
Education, The Centre for the
Education of Women, University of
Michigan
Tunny, G., 2001. Family Friendly Policies
and Firm Performance: Review of
the Relevant Literture, Working
Paper No. 5. Labour Market
Research Unit, Department of
Employment and Training.
Whitehouse, G., Haynes, M., MacDonald,
F., Arts, D.. 2007. Reassessing the
Family-Friendly Workplace: Trends
and influences in Britain, 1998-
2004", Employment Relations
Research Series No. 76,
Department for Business,
Enterprise & Regulatory Reform
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Wong C-K, Tang K-L, Ye S., 2010. The
perceived importance of family-friendly
policies to childbirth decision among Hong
Kong women, International Journal of
Social Welfare, 1-12
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

PROBLEMREKRUTMENDAN SELEKSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Slamet Rosyadi
Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisip Universitas Jenderal Soedirman
Email: slametrosyadi@yahoo.com

Abstract

One of the Indonesian public service basic problemis the weakness of the civil servant recrutmen and selection
system. Up till this present, the government still havent develop merit based recrutment and selection seriously yet.
This kind of situation had only been simply responded with civil servant recrutment moratoriumpolicy. Ironically, in
this only one year moratoriumtime, recrutment programfor the honorary employees which are not obtained fromthe
competitive selection, is still going to be held. Consequently, government bureaucracy just going to be fulfilled with
unstandard aparatus qualification. Desentralization that expected to attract prospective local civil servants who are
highly qualified turned out to be a means to recruit employees as much as possible without considering the ability of
the budget. In the future, the government should immediately realize the establishment of independent institutions
like the civil service commission so that the civil service management would be able to effectively attract the interest
of civil servants candidates who highly qualified and have integrity, effectively
Key words: recrutment, selection, moratoriumpolicy


Abstrak

Akar masalah buruknya pelayanan publik di Indonesia diantaranya adalah lemahnya sistem rekruitmen dan seleksi
pegawai negeri sipil (PNS). Pemerintah hingga saat ini belum serius untuk mengembangkan sistem rekruitmen dan
seleksi yang berbasis merit (prestasi). Situasi ini baru sekedar ditanggapi dengan kebijakan moratorium perekrutan
PNS. Ironisnya, perekrutan pada masa moratorium yang hanya berlaku satu tahun justru kembali diprioritaskan
untuk para aparatur bukan hasil seleksi kompetitif (honerer). Akibatnya, birokrasi pemerintah hanya dipenuhi oleh
para aparatur yang tidak berkualifikasi tinggi. Otonomi daerah yang diharapkan dapat menjaring calon-calon PNS di
daerah yang berkualifikasi tinggi ternyata hanya menjadi sarana untuk merekrut pegawai sebanyak mungkin tanpa
mempertimbangkan kemampuan anggaran. Di masa yang akan datang, pemerintah hendaknya segera
merealisasikan pembentukan lembaga independen semacam komisi kepegawaian negara agar manajemen
kepegawaian efektif menarik animo calon-calon PNS yang berkualifikasi tinggi dan memiliki integritas.

Kata kunci: rekruitmen, seleksi, kebijakan moratorium


PENDAHULUAN

Moratorium atau penghentian se-
mentara perekrutan pegawai negeri sipil
(PNS) akhirnya ditetapkan pemerintah
melalui surat keputusan bersama Menteri
Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi dan Menteri
Dalam Negeri. Kebijakan moratorium
tersebut sebenarnya sangat terlambat
karena beban anggaran untuk menopang
4,7 juta PNS masih terlampu sangat berat.
Dalam hal ini pemerintah kurang tegas
untuk melakukan rasionalisasi birokrasi.
Kebijakan moratorium sebenarnya sudah
dilakukan pada saat Faisal Tamim memimpin
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1999-
200). Namun, pengangkatan pegawai honorer
kembali dilakukan pada saat Kementrian
PAN dipimpin oleh Taufiq effendi. Tindakan
inilah yang menunjukkan inkonsistensi
pemerintah dalam menata birokrasi publik.
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Yang lebih ironis adalah rekrutmen
PNS di luar tenaga fungsional (seperti
dokter, tenaga pengajar, dll) pada masa
moratorium hanya ditujukan kepada para
pegawai honorer dengan syarat tertentu.
Masalahnya, bukan sekedar menambah
beban anggaran pemerintah tetapi proses
pengangkatan PNS yang tidak melalui
seleksi kompetitif hanya akan menghasilkan
aparatur pemerintah yang tidak kompeten
dan tidak profesional. Di samping itu,
diskriminasi pengangkatan PNS dari tenaga
honorer juga akan menimbulkan kecemburuan
atau bahkan gejola konflik di kalangan pegawai
honorer lainnya.
Sistem perekrutan PNS yang ber-
masalah menunjukkan bahwa pemerintah
belum memiliki arah kebijakan pengadaan
pegawai yang jelas. Yang nampak justru
pemerintah memanfaatkan kebijakan peng-
adaan PNS sebagai upaya untuk mendapat-
kan dukungan politis daripada calon-calon
pegawai yang kompeten dan handal. Hal ini
setidaknya terlihat dari tidak tegasnya
kebijakan moratorium yang hanya berlaku
selama satu tahun (1 September 2011
hingga 31 Desember 2012). Padahal sangat
jelas bahwa jumlah PNS yang telah
mencapai 4,7 juta orang belum memberikan
dampak signifikan terhadap peningkatan
layanan publik. Bahkan belanja PNS yang
cenderung meningkat telah menggerogoti
anggaran publik sehingga sangat meng-
hambat implementasi berbagai program
pem-bangunan sosial ekonomi (Rosyadi,
2011).
Sebagai perbandingan, sistem rekruitmen
PNS di Singapura tidak sekedar untuk
mendapatkan calon-calon pegawai yang
berkualifikasi tinggi tetapi juga untuk
memperoleh para kandidat pemimpin di
sektor publik (Neo dan Chen, 2007). Untuk
mencapai tujuan tersebut, sistem rekruitmen
didasarkan pada kriteria yang berbasis pada
merit (prestasi) dan kompetitif. Dengan
demikian, proses pengadaan pegawai tidak
sekedar tambal sulam tetapi lebih dari itu
yaitu menjaring para calon pemimpin yang
dapat meningkatkan reputasi lembaga
pemerintah.

KESIMPULAN

Jeda perekrutan PNS selama satu
tahun hanya merupakan upaya pemerintah
untuk mengurangi beban anggaran akibat
gap yang cukup lebar kemampuan
anggaran dengan beban aparatur yang
berlebihan. Bahkan tidak cukup kuat
digolongkan sebagai upaya rasionalisasi
karena hanya dilakukan selama satu tahun
dan masih akan merekrut pegawai honorer
dengan klasifikasi tertentu menjadi PNS.
Hingga saat ini belum ditemukan
formulasi kebijakan yang tepat untuk secara
efektif merekrut calon-calon aparatur yang
berkualifikasi tinggi dan memiliki integritas.
Pendekatan rekruitmen yang masih
tradisional dan sarat dengan campur tangan
pejabat terbukti hanya mampu menjaring
para aparatur yang bermental korup dan
berkinerja rendah. Desentralisasi perekrutan
pegawai negeri sipil juga belum efektif
untuk mendapatkan calon-calon aparatur
yang kompeten. Yang terjadi justru lonjakan
jumlah aparatur yang tidak didukung dengan
kemampuan finansial daerah.
Di masa yang akan datang, peme-
rintah hendaknya segara merealisasikan
amanat UU No.43 Tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian khususnya dalamhal
pembentukan Komisi Kepegawaian Negara.
Pengalaman beberapa negara Asia yang
telah memiliki Public Service Commisison
terbukti efektif untuk mengelola dan
menghasilkan tenaga-tenaga aparatur yang
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

kompeten. Pendek kata, sentralisasi
rekruitmen dan seleksi Pegawai Negeri Sipil
oleh lembaga independen yang dibentuk
negara menjadi salah satu solusi dalam
program reformasi birokrasi.

REFERENSI

Cayer, N. Joseph and Sandra J. Parkes.
2001. Human Resource Mana-
gement Change in State and Local
Government. Dalam Kuotsam Tom
Liou (edt). Handbook of Public
Management Practice and Reform.
Mercel Dekker Inc., New York.
Effendi, Sofian, Mustopadidjaja, dan Sapta
Nirwendar. 1999. Reformasi Administrasi
Dan Kepegawaian Di Jepang, Korea
Selatan Dan Muangthai. Laporan
Studi Banding.
Indonesia Corruption Watch. 2010. Laporan
Hasil Penelitian Tren Korupsi 2010
Semester Kedua. ICW, Jakarta
Neo, Boon Siong dan Geraldine Chen. 2007.
Dynamic Governance: Embedding
Culture, Capabilities and Change in
Singapore. World Scientific
Publishing Ltd, Singapore.
Quah, Jon T. 1986. Towards Productivity
and Excellence: A Comparative
Analysis of the Public Personnel
Systems in the ASEAN Countries.
Asian Journal of Public Adminis-
tration, Vol. 8, No. 1 (June): pp. 64-
99.
Rosyadi, Slamet. 2011. Analisis Belanja
Daerah Pasca UU No. 32 Tahun
2004 dan Beberapa Dampaknya
terhadap Kinerja Pembangunan
Daerah. Makalah Simposium
Nasional 1
th
Ilmuwan Administrasi
Negara Indonesia, Universitas
Negeri Yogyakarta.
Wanous, John P. 1992. Organizational
entry: recruitment, selection, orien-
tation, and socialization of
newcomers. Addison-Wesley Pub.
Co.
Yuliyanti, Ellyta. 2008. Kajian pengaruh
proses rekrutmen dan seleksi
terhadap kinerja pegawai pada
sekretariat jenderal departemen
energi dan sumber daya
mineral. Thesis,
http://eprints.lib.ui.ac.id/id/eprint/303
7.
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

EVALUASI REFORMASI BIROKRASI : MASALAH POLITISASI BIROKRASI
DALAMPOLITIK INDONESIA

M. Adian Firnas
Dosen FISIP Universitas IslamNegeri Jakarta
E-mail: adian_03@yahoo.com
dan
Indah Wahyu Maesarini
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI)
E-mail: indah.wm@stiami.ac.id

Abstract

This article will describe the evaluation of bureaucratic reformin Indonesia, especially how the government
bureaucracy that is separate frompolitical interests. The fall of the NewOrder regime showed howwell the process
of spreading democracy throughout the territory of Indonesia. Civil society tried to create and reconstruct the political
systembased on democratic principles, including howto make an independent bureaucracy. In fact, in the reformera
there were many cases of political co-optation in the bureaucratic system. Indonesian Bureaucracy is highly
politicized, the shape-also vary, such as the use of public facilities for the activities of political parties, political
mobilization in the elections, based on the interests of the promotion campaign for the recruitment of public officials,
and the removal of career officers of the government institutions that is highly political.
Key Words: politicized bureaucracy, civil servants, bureaucratic reform


Abstrak

Artikel ini akan menjelaskan evaluasi reformasi birokrasi di Indonesia, terutama mengenai bagaimana birokrasi
pemerintah yang terpisah dari kepentingan politik. Jatuhnya rezim orde baru menunjukkan seberapa baik proses
penyebaran demokrasi ke seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat sipil mencoba untuk menciptakan dan
merekonstruksi sistem politik berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk bagaimana membuat birokrasi yang
independen. Kenyataannya, di era reformasi banyak ditemukan kasus kooptasi politik dalam sistem birokrasi.
Birokrasi di Indonesia sangat kental dengan politisasi, bentuknya-pun bermacam-macam, seperti misalnya
penggunaan fasilitas umum untuk kegiatan partai politik, mobilisasi politik dalam pemilihan umum, promosi
berdasarkan kepentingan promosi untuk rekrutmen pejabat publik, dan pencopotan jabatan karir petugas lembaga
pemerintah yang sangat kental dengan nuansa politik.

Kata Kunci: birokrasi yang dipolitisasi, PNS, reformasi birokrasi

PENDAHULUAN

Pemilu tahun 2009 yang lalu telah
usai dan menghasilkan anggota DPR RI
terpilih dan Presiden/Wapres terpilih.
Pelaksanaan pemilu berlangsung di tengah
kekhawatiran akan mengalami kegagalan
mengingat persiapan pemilu dianggap
kurang memadai, meskipun harus diakui
bahwa pemilu legislatif saat itu banyak
terjadi kekurangan khususnya persoalan
Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam konteks
hubungan politik dan birokrasi, sebenarnya
pemilu merupakan ujian untuk menilai
apakah birokrasi telah bersikap profesional,
netral, dan betul-betul berfungsi sebagai
pelayan publik bukan alat kekuasaan yang
mudah terkooptasi oleh kepentingan politik
kelompok tertentu dan bersifat jangka
pendek. Jauh sebelum pemilu pun di kantor-
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

kantor pemerintah di pasang spanduk yang
mengusung netralitas KORPRI dalam
pemilu. Ini menunjukkan komitmen kuat dari
KORPRI sebagai bagian dari birokrasi untuk
bersikap netral dalam pemilu. TNI/Polri pun
bersikap sama, netral, tidak memihak partai
tertentu sebagaimana yang ditegaskan
Panglima TNI dan Kapolri pada saat itu.
Realitanya masih banyak pelanggaran yang
dilakukan oleh para oknum birokrat
khususnya yang berkaitan dengan netralitas
mereka. Pelanggaran itu bisa terjadi karena
paksaan dari atasan mereka yang politisi ,
ada ekspetasi jabatan dari politisi atau
parpol yang didukung, maupun ikatan
emosional oknum birokrat terhadap salah
satu parpol atau politisi. Hal ini bisa terjadi
karena birokrat mempunyai hak pilih, dan
mereka diberikan kebebasan untuk memilih.
Di lain pihak, birokrat juga merupakan target
potensial, dengan jumlah jutaan dan
perangkat yang dimilikinya jelas
mengundang selera parpol atau politisi
untuk memanfaatkan mereka. Ada
beberapa pertanyaan yang akan diajukan
dalam tulisan ini adalah; (1) Bagaimana
hubungan politik dan birokrasi dalam kultur
politik Indonesia? (2) Faktor-Faktor apa
yang menyebabkan politisasi birokrasi? (3)
Bagaimana kebijakan pemerintah dalam
mewujudkan netralitas birokrasi dalam
sistem politik Indonesia ?

KESIMPULAN

Sejarah birokrasi Indonesia bila
dirunut kebelakang sejak zaman prakolonial,
kolonial, kemerdekaan sampai zaman Orde
Baru tidak bisa lepas dari pengaruh politik.
Birokrasi selalu menjadi alat penguasa dan
digunakan untuk kepentingan penguasa.
Akibatnya, persentuhan birokrasi dan politik
yang demikian lama telah menjadi budaya
yang merusak mentalitas dan kinerja aparat
birokrasi. Reformasi yang bergulir sejak
1998 membawa pesan akan terjadinya
perubahan mendasar terhadap aspek-aspek
kehidupan demokrasi di Indonesia, ter-
masuk pula di dalamnya perubahan
terhadap birokrasi. Reformasi birokrasi yang
dicanangkan kemudian diharapkan sebagai
titik awal untuk membangun birokrasi yang
profesional, netral, dan bersih dari KKN.
Semangat inilah yang membuat masyarakat
optimis bahwa era reformasi akan mengikis
habis segala bentuk kebobrokan birokrasi
seperti yang terjadi pada era sebelumnya.
Melalui semangat good governance
masyarakat menuntut pemerintah untuk
mewujudkan dan melaksanakan good
governance. Pola-pola lama penyelenggara-
an pemerintahan harus ditinggalkan diganti
dengan pola-pola baru penyelenggaraan
pemerintahan yang berdasarkan pada
prinsip-prinsip good governance. Se-
anjutnya munculah berbagai produk
perundangan sebagai payung hukum untuk
melakukan reformasi birokrasi seperti UU
No 43 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri,
PP Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan
PNS menjadi Anggota Partai Politik, dan PP
Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.
Bagaimana implementasi peraturan
tersebut di lapangan ?tulisan ini menemu-
kan bahwa implementasi peraturan tersebut
belum efektif. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya kasus politisasi birokrasi dalam
pemilu. Ada tiga pemilu yang terlaksana
pada era reformasi ini dan dalam ketiga
pemilu tersebut selalu ditemukan kasus-
kasus politisasi birokrasi. Pelanggaran yang
dilakukan PNS ini biasanya terkait dengan
penggunaan fasilitas negara untuk ke-
pentingan partai tertentu, mobilisasi atasan
agar PNS memilih calon atau partai tertentu,
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

penggunaan atribut PNS dalam kampanye,
atau pun kampanye terselubung yang
dilakukan oleh PNS di instasinya masing-
masing dengan mem-pengaruhi rekan-rekan
kerjanya untuk memilih calon atau partai
tertentu.

SARAN

1. Agar kasus-kasus politisasi birokrasi
dapat diminimalisir sehingga nantinya
birokrasi betul-betul steril dari kooptasi
politik maka segala aturan yang
mengatur tentang netralitas PNS harus
ditegakkan. Semua PNS harus memiliki
komitmen untuk menjalankan peraturan
tersebut. Selain itu stakeholder lainnya,
seperti partai politik harus ikut juga
untuk menjaga dan menjamin keutuhan,
kekompakan dan persatuan PNS.
Upaya yang bisa di-lakukan untuk
mewujudkan hal tersebut melalui
sosialisasi yang menyeluruh terhadap
seluruh PNS tentang keharusan untuk
netral, pengawasan baik internal
maupun eksternal, dan penegakan
hukum yang tegas bagi PNS yang
melanggar ketentuan tersebut.
2. Etika birokrasi yang didasarkan pada
nilai-nilai akuntabel, responsif, bebas
KKN, netral, tidak diskriminatif, dan
profesional harus menjadi corporate
culture birokrasi. Visi ini harus jelas
sampai kepada seluruh jajaran birokrasi
dari pusat sampai daerah. Pola
pembinaan yang terintegratif mulai dari
proses rekrutmen sampai pelatihan dan
pengembangan sumber daya harus
menjamin terciptanya coorporate cultur
tersebut.
3. Sistem merit harus betul-betul dijamin
penerapannya dalam pola pengem-
bangan karir aparat birokrasi, sehingga
jenjang karir PNS betul-betul dilakukan
atas pertimbangan profesional dan
prestasi. Pola-pola lama yang selalu
mengaitkan penempatan jabatan ber-
dasarkan loyalitas seseorang terhadap
atasannya atau dukungan yang di-
berikannya terhadap parpol tertentu
harus dihilangkan.

REFERENSI

Afadhal. 2003. Dinamika Birokrasi Lokal Era
Otonomi Daerah. Jakarta : P2P
LIPI.
Effendy, Bahtiar. 2009. Pangreh Praja
During the J apanese Occupation.
Jakarta : Center for the Study of
Islamand Society.
Firnas, Muhamad Adian.2004.Konsep Masyarakat
Madani dan Relevansinya Terhadap
Masyarakat Indonesia. Jurnal ISIP
Vol.1.No.1.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia : Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Hikam, AS. 1997. Demokratisasi dan Civil
Society. Jakarta : LP3ES.
Ismail, HM. 2009. Politisasi Birokrasi.
Malang: Ash-Shiddiqy Press.
Masoed, Mohtar. 1997. Politik, Birokrasi
dan Pembangunan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pramusinto, Agus. 2009. Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik :
Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia. Yogyakarta :
Penerbit Gava Media.
Prasojo, Eko. 2006. Reformasi Birokrasi di
Indonesia : Beberapa Catatan Kritis.
Jurnal Bisnis &Birokrasi Vol.XIV/Nomor
1. Jakarta : FISIP UI.
Rakhmawanto, Ajib. 2007. Netralitas
Pegawai Negeri Sipil : Implikasinya
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Terhadap Kinerja dan Pelayanan
Publik. J urnal Civil Service Vol.1,
No 1. Jakarta : Badan Kepegawaian
Negera.
Rozi, Syapuan.2006. Zaman Bergerak, Birokrasi
Dirombak : Potret Birokrasi dan Politik di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Said, M Masud. 2009. Birokrasi di Negara
Birokratis : Makna, Masalah dan
Dekontruksi Birokrasi di Indonesia.
Malang : UMM Press.
Sinambela, Lijan Poltak, dkk. 2010. Reformasi
Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan, dan
Implementasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Supriyadi, Gering. 2004. Membangun Good
Governance Sebagai Upaya Dalam
Mewujudkan Cita-Cita Bangsa.
J urnal Kebijakan Publik dan
Hubungan Internasional, Vol. I,
No.2.
Thoha, Miftah. 2008. Birokrasi Pemerintah
Indonesia di Era Reformasi. Jakarta
: kencana.
Tim Redaksi Fokusmedia.2007. Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian. Bandung:
Fokusmedia.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 2000. Good Governance :
Paradigma Baru Pembangunan. Jakarta
: UI Press.
Wicaksono, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan
Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Jurnal Civil Service Vol.1, No 1. 2007. Jakarta:
Badan Kepegawaian Negara.
Jurnal Civil Service Vol.2.No.2. 2008. Jakarta:
Badan Kepegawaian Negara.
Kompas, Februari 2009
_______, 12 April 2009
_______, 13 April 2009
_______, 22 April 2009
_______, 5 Mei 2009
www. kpu.go.id
www.bawaslu.go.id
www.birokrasi.com
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

MORATORIUMPENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAN ASPEK HUKUMNYA

Mustaqiem
Dosen Kopertis V/DIY dpk pada Universitas IslamIndonesia
E-mail: mustaqiemsh@yahoo.com

Abstract

PNS as the human resources of the government organization has an important and strategic position in policy
making and public service. Nevertheless, in 2011 the state government established civil servant moratoriumpolicy to
make sure the arrangement or rightsizing of the civil servant is done. Moratoriumpolicy reviewed fromthe aspect of
the lawof state administrative, can be justified, because the policy maker is the government (executive) as a formof
freies ermessen. Moratoriumdoes not apply to the recruitment fromthe honorary workers, because they have the
right to be appointed as civil servant candidates if they met certain requirements and passed the selection process.
Key Words: Civil servant, state, moratorium, freies ermessen.


Abstrak

PNS yang merupakan SDM organisasi negara memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembuatan
kebijakan dan pelayanan publik. Meskipun demikian, tahun 2011 pemerintahan negara membuat kebijaksanaan
moratorium penerimaan CPNS yang disebabkan berbagai hal, semisal akan dilakukan penataan. Kebijakan
moratorium ditinjau dari aspek hukum administrasi negara dapat dibenarkan karena yang membuat kebijakan adalah
pemerintah (eksekutif) sebagai bentuk freies ermessen. Kebijaksanaan moratorium tersebut tidak berlaku bagi
tenaga honorer pemerintahan Negara, karena memiliki hak untuk diangkat sebagai CPNS meskipun harus melalui
seleksi dan memenuhi persyaratan tertentu.

Kata Kunci: PNS, negara, moratorium, dan freies ermessen.

PENDAHULUAN

Dalam suatu bidang hukum, mora-
torium (dari Latin, morari yang berarti
penundaan), adalah otorisasi legal untuk
menunda pembayaran utang atau kewajiban
tertentu selama batas waktu yang
ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan
untuk mengacu ke waktu penundaan
pembayaran itu sendiri, sementara
otorisasinya disebut sebagai undang-
undang moratorium (Wikipedia.org). Istilah
moratorium di Indonesia saat ini
dipergunakan juga dalam kebijaksanaan
rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS). Karena 4 September 2011 tiga
Kementerian (Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Keuangan dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara) telah
sepakat menghentikan sementara
(moratorium) dalam penerimaan Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Kesepakatan
ini berlaku 1 September 2011 31
Desember 2012. Namun demikian Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara
mengatakan bahwa meski aturan
moratorium ini berlaku, akan dilakukan
pengecualian terutama untuk
memperhitungkan kebutuhan pelayanan
publik, salah satunya adalah sisa tenaga
honorer yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun2005 tetap
akan diangkat menjadi CPNS; demikian
pula pegawai tidak tetap, akan diperhatikan
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

juga. Meskipun sampai saat ini (Per 13 Mei
2011) jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
tercatat sebanyak 4.708.330 orang (1,98 %
dari jumlah 237 juta penduduk). Jumlah
Pegawai Negeri Sipil yang ada dibedakan
PNS Pusat 916.493 0rang (19,5 %), dan
PNS Daerah 3.791.837 orang (80,5 %).
Perbedaan status PNS tidak terlepas dari
sistem pemerintahan di Indonesia yang
menggunakan sistem desentralisasi. Tentu
saja, pilihan terhadap desentralisasi harus
dilandasai argumentasi yang kuat baik
secara teoritik atau secara empirik
(Syaukani, dkk. 2002:19). Dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi dalam
mengadopsi dan mewujudkan pemerintahan
yang federalistik, maka memang sebagai
alternatif adalah dengan memilih bentuk
negara kesatuan dengan penyelenggaraan
peme-rintahan atas dasar prinsip-prinsip
desen-tralisasi, yang menyangkut hubungan
kekuasaan dengan segala demensinya
antara Pemerintahan Nasional dengan
Pemerintah Daerah (Syaukani, dkk.
2002:19). Diantara berbagai argumentasi
dalam memilih desentralisasi, adalah
efisiensi-efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan. Organisasi negara
merupakan sebuah entitas yang sangat
kompleks. Pemerintah negara mengelola
berbagai demensi kehidupan, misalnya
seperti bidang sosial, kesejahteraan
masyarakat, ekonomi, keuangan, politik,
integrasi sosial, pertahanan, keamanan
dalam negeri, dan lain-lainnya
(Syaukani, dkk., 2002: 19). Pemerintah
negara juga mempunyai fungsi distributif
hal-hal yang telah di-ungkapkan, juga fungsi
regulatif baik yang menyangkut penyediaan
barang dan jasa ataupun yang berhubungan
dengan kompetensi dalam rangka
penyediaan tersebut. Selain itu, pemerintah
negara juga memiliki fungsi ekstraktif guna
memobilisasi sumber daya keuangan dalam
rangka membiayai aktivitas
penyelenggaraan negara, semua itu
dilakukan dalam kompleksitas yang juga
mencakup demensi demografi dan geografik
(Syaukani, dkk. 202:19). Kalau kita
membayangkan sebuah negara yang
memiliki penduduk puluhan juta jiwa,
dengan berbagai macam karakteristik dan
membentang dalam wilayah geografik yang
sangat luas, yaitu ribuan bahkan ratusan
ribu kilometer. Memberikan pelayanan dan
perlindungan kepada masyarakat, menjaga
keutuhan negara-bangsa, serta
mempertahankan diri dari kemungkinan
serangan dari negara lain, merupakan tugas
pemerintahan yang bersifat universal. Oleh
Karena itu, tidaklah mungkin hal itu dapat
dilakukan dengan cara yang sentralistik,
karena kalau hal itu sampai terjadi maka
akan menimbulkan implikasi yang negatif,
yaitu pemerintah negara menjadi tidak
efisien dan tidak akan mampu menjalankan
tugas dengan baik.
Pemberian kewenangan (devolution of
authority) kepada unit-unit atau satuan-
satuan pemerintahan yang lebih rendah dan
lebih kecil merupakan suatu kebutuhan
yang mutlak dan tidak dapat dihindari.
Mengingat begitu tinggi tingkat
fragmentation social dalam sebuah negara,
maka ada hal-hal tertentu yang harus
diselenggarakan secara lokal di mana
Pemerintah Daerah akan lebih baik
menyelenggarakannya ketimbang dilakukan
secara nasional dan sentralistik. Dalam
melaksanakan tugas pemerintahan negara
untuk mewujudkan tujuan negara,
diperlukan berbagai faktor pendukung yang
meliputi: Struktur organisasi negara,
Sumber Daya Manusia (Pegawai Negara),
peraturan perundang-undangan, maupun
sumber sumber pendapatan negara. Dari
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

berbagai faktor yang diperlukan dapat dinilai
semua penting dan strategis. Sehingga
faktor-faktor tersebut memang harus ada
pada setiap negara (termasuk Indonesia).

KESIMPULAN

1. Pegawai Negeri Sipil dalam organisasi
negara memiliki posisi penting dan
strategis, karena terkait dengan me-
wujudkan tujuan negara melalui pem-
buatan kebijaksanaan dan pelayanan
publik.
2. Kebijaksanaan moratorium penerimaan
CPNS ditinjau dari aspek Hukum
Administrasi Negara merupakan ke-
bijaksanaan yang sah, karena dibuat
oleh pihak pemerintah (eksekutif)
sebagai bentuk freies ermessen.
3. Kebijaksanaan moratorium penerimaan
CPNS tidak menghilangkan hak tenaga
honorer untuk diangkat sebagai CPNS
dengan persyaratan tertentu.



REFERENSI

Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI,
Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia, Jilid II, CV Haji
Masagung, Jakarta, 1992.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI;
Modul Latihan Dan Pendidikan
Kepe-mimpinan Tingkat III,
Telaahan Staf Paripurna, 2008.
Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi
Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
SF.marbun, dkk, 1987, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, liberty,Yogyakarta.
SF.Marbun, dkk, 2001, Demensi-Demensi
Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, UII Press, Yogyakarta.
Sufian Hamim, dkk, 2005, Administrasi,
Organisasi Dan Manajeme(Suatu
Ilmu,Teori, Konsep dan Aplikasi).
Syaukani,dkk.;2002, Otonomi Daerah
(DalamNegara Kesatuan), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Undang Undang Dasar 1945.
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2005 Tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil.
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

MENGHADAPI PENSIUN DAN KESEJAHTERAAN
PSIKOLOGIS PEGAWAI NEGERI SIPIL

Muh. Kadarisman
Dosen Kopertis Wilayah III Jakarta dpk Universitas Muhammadiyah Jakarta
E-mail: kadarisman.bkn@gmail.com

Abstract

Entering the age of retirement is a process of expiration of the period of routine work life and begin to enter the
pension time. Retirement sometimes can be a period of considerable concern, because of lack of proper perception
in giving the meaning of retirement issues. Impacts that often arise when retire is due to unpreparedness of someone
who facing retirement. Such conditions are usually also accompanied by pshysical change and deterioration. While in
service, beside material rewards in the forms of salaries, wealth and all sorts of material facilities, one also gaining
non material rewards such as social status and prestige. Pride that came fromthe rank, position, respect, and the
symbol of greatness is a strong incentives for someone to love the job. Retiement can be referred as the transition to
a newlife pattern. In this context, pension is always about changing roles, desires, and values. Support and
understangding fromthose closest to, especially family, would be very helpful in adjusment time to revive the spirit
and confidence in facing the reality of life.
Key words: Age Pension, Welfare Psychological, Civil Servants


Abstrak

Memasuki usia pensiun adalah suatu proses berakhirnya masa kerja secara rutin dan mulai memasuki masa
pensiun. Masa pensiun, kadang merupakan masa yang cukup memprihatinkan, karena adanya persepsi yang
kurang tepat dalam memaknai masalah pensiun. Dampak yang sering muncul saat pensiun adalah sebagai akibat
ketidaksiapan seseorang menghadapi pensiun. Kondisi demikian biasanya juga diikuti oleh adanya perubahan, dan
kemunduran fisik. Saat aktif berdinas, di samping mendapat imbalan material dalam bentuk gaji, kekayaan dan
macam-macam fasilitas material, juga memperoleh social reward yang non material yaitu status sosial dan prestis
sosial. Maka rasa kebanggaan dan minat besar terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan, penghormatan,
dan simbol-simbol kebesaran menjadi insentif kuat bagi seseorang untuk mencintai pekerjaan. Masa pensiun
merupakan akhir dari pola hidup seseorang dalam dinas, atau dapat pula disebut sebagai masa transisi ke pola
hidup yang baru. Dalam konteks ini, pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai.
Dukungan dan pengertian dari orang-orang terdekat, khususnya keluarga akan sangat membantu pensiunan dalam
menyesuaikan dirinya sehingga membangkitkan kembali semangat serta rasa percaya dirinya dalam menghadapi
realitas kehidupan.

Kata Kunci: Usia Pensiun, Kesejahteraan Psikologis, Pegawai Negeri Sipil


PENDAHULUAN

Pembangunan nasional dilaksana-
kan dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya, dan seluruh masyarakat Indonesia
secara berkesinambungan sejak muda
sampai lanjut usia. Setiap orang idealnya
tidak hanya memikirkan kesejahteraan di
saat bekerja, namun juga memikirkan
kesejahteraan di masa tua atau pensiun.
Bergesernya pola kehidupan akibat
globalisasi akan terus berlangsung. Dahulu,
orang tua merasakan bahwa sebagai balas
budi, seseorang sebagai anak harus
menjaga dan menghidupi orang tuanya di
saat orang tuanya tidak lagi produktif. Kini
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

semua ini sudah semakin memudar,
ditambah lagi Pemerintah Indonesia belum
bisa mem-berikan jaminan hari tua kepada
seluruh masyarakat Indonesia yang telah
memasuki lanjut usia atau masa pensiun.
Oleh karenanya, masing-masing sekarang
haruslah bertanggungjawab terhadap ke-
hidupannya sendiri, baik di masa produktif
umumnya dan masa pensiun khususnya.
Guna menghadapi kondisi demiki-
an, maka salah satu prasarana yang mutlak
dibutuhkan adalah tersedianya jaminan hari
tua atau pensiun. Jaminan hari tua pada
hakikatnya adalah memberikan kesejahtera-
an di hari tua dalam time frame lanjut usia,
yang akan dinikmati oleh seseorang yang
saat ini masih muda. Wujud nyata dari
jaminan hari tua adalah program pensiun,
yang di Indonesia dikenal dengan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) atau
Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK)
(Subianto, 2002).
Memasuki usia pensiun adalah
suatu proses berakhirnya masa kerja secara
rutin dan mulainya untuk memasuki masa
beristirahat, karena masa kerja secara aktif
telah berakhir. Masa pensiun tersebut, kadang
merupakan masa yang cukup memprihatinkan,
karena adanya persepsi yang kurang tepat
dalam memaknai masalah pensiun tersebut.
Dampak yang sering muncul pada
masa pensiun adalah sebagai akibat
ketidaksiapan seseorang menghadapi
pensiun, misalnya adanya gangguan
psikologis dan ketidaksehatan dalam bentuk
kecemasan, stres, bahkan mungkin depresi.
Kondisi demikian biasanya juga diikuti oleh
adanya perubahan, dan kemunduran fisik
misalnya dalam bentuk munculnya berbagai
gangguan penyakit, antara lain hipertensi,
diabetes, jantung dan lain-lain. Namun
sebaliknya, juga tidak sedikit seseorang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memasuki
masa usia pensiun ternyata tetap dalam
kondisi prima, baik secara jasmani maupun
rokhani. Dapat dikatakan, bahwa bekerja
merupakan salah satu kebutuhan manusia.
Hal demikian karena dengan bekerja
manusia akan dapat memenuhi kebutuhan-
nya, yaitu Pertama, kebutuhan fisik dan rasa
aman yang diartikan sebagai pemuasan
terhadap rasa lapar, haus, tempat tinggal,
dan perasaan aman dalam menikmati
semua hal tersebut. Kedua, kebutuhan
sosial, yang menunjukkan ketergantungan
satu sama lain sehingga beberapa
kebutuhan dapat terpuaskan karena
ditolong orang lain. Ketiga, kebutuhan ego
yang berhubungan dengan keinginan untuk
bebas mengerjakan sesuatu sesuai
kemauan sendiri dan merasa puas bila
berhasil menyelesaikannya. Dalam kaitan ini
dapat dijelaskan bahwa dengan bekerja
tersebut, di samping memberikan imbalan
material dalam bentuk gaji, kekayaan dan
macam-macam fasilitas material, juga
memberikan ganjaran sosial yang
nonmaterial yaitu status sosial dan prestis
sosial. Maka rasa kebanggaan dan minat
besar terhadap pekerjaan dengan segala
pangkat, jabatan, penghormatan, dan
simbol-simbol kebesaran menjadi insentif
kuat bagi seseorang untuk mencintai
pekerjaan.
Pada masa aktif bekerja, individu
PNS mengikuti tahap-tahap perkembangan
karier yang dimulai dari penentuan karier,
pemantapan karier, perawatan karier,
sampai pada tahap kemunduran karier.
Tahap kemunduran karier merupa-
kan tahap terakhir dalam berkarier yaitu
individu menghadapi masa akhir kerjanya
dan memasuki masa pensiun. Dengan
demikian masa pensiun merupakan akhir
dari pola hidup seseorang dalam bekerja,
atau dapat pula disebut sebagai masa
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

transisi ke pola hidup yang baru. Dalam
konteks ini, pensiun selalu menyangkut
perubahan peran, perubahan keinginan dan
nilai, serta perubahan secara keseluruhan
terhadap pola hidup setiap individu.
Setiap pensiunan tentunya ber-
harap dapat menjalani masa tuanya dengan
bahagia. Ketika memasuki masa tua
tersebut, sebagian para pensiunan dapat
menjalaninya dengan bahagia, namun tidak
sedikit dari para pensiunan yang mengalami
hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan
rasa ketidak-bahagiaan, sehingga menye-
babkan rasa ketidaknyamanan. Kondisi
pensiunan mengalami berbagai penurunan
atau kemunduran baik fungsi biologis
maupun psikis, yang nantinya dapat
mempengaruhi mobilitas dan juga kontak
sosial, salah satunya adalah isolation atau
rasa kesepian (loneliness), terkucil, merasa
tidak diperhatikan lagi, kesepian atau yang
lebih serius adalah depresi.
Diperoleh informasi bahwa
sebagian besar pensiunan menunjukkan
berbagai macam gejala atau bentuk perilaku
seperti sering menjadi pemurung yang
disebabkan tidak adanya teman untuk ber-
bagi cerita, sering merasa sakit-sakitan
disebabkan usia yang sudah lanjut karena
mudah merasa lelah setiap selesai
malakukan aktivitas, secara psikologis lebih
cepat tersinggung dan menarik diri dari
lingkungan di sekitar. Para pensiunan pun
terkadang tampak malu untuk bertemu
dengan orang lain dengan statusnya yang
sudah tidak sebagai PNS.
Dalam lingkup PNS, sesuai ketentuan yang
berlaku bahwa Batas Usia Pensiun (BUP)
adalah 56 tahun. BUP ini dapat di-
perpanjang menjadi 58 tahun, 60 tahun, 63
tahun, 65 tahun, atau pun 70 tahun.
Perpanjangan usia pensiun dari normalnya
56 tahun dapat terjadi karena berbagai
alasan, seperti karena memangku suatu
jabatan tertentu. Misalnya, seorang pegawai
yang memangku jabatan struktural eselon I
atau eselon II dapat tetap memangku
jabatannya meski telah melewati BUP
normal, yaitu 56 tahun. Hal ini juga berlaku
bagi jabatan-jabatan lainnya seperti hakim,
guru, dosen atau pun jabatan lainnya yang
ditentukan oleh presiden. Setiap pegawai
yang akan memasuki masa pensiun atau
purnabhakti, agar sejak dini mempersiapkan
diri baik mental maupun spritual. Hal ini
penting karena terkadang masa usia
pensiun terlupakan, atau tidak terpikirkan
pada saat mereka aktif sebagai pegawai
dan akibatnya mereka tidak siap saat
memasuki masa pensiun. Insya Allah rasa
syukur dan ikhlas akan kita rasakan, apabila
persiapan secara lebih dini masa pensiun
sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

KESIMPULAN

1. PNS sebagai unsur Aparatur Negara
dan Abdi Masyarakat adalah salah satu
unsur penting dalam melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan, khususnya
dalam melaksanakan tugas-tugas pem-
bangunan nasional. Keberhasilan PNS
melaksanakan tugas-tugas pemerintah-
an dan pembangunan tersebut ditentu-
kan oleh beberapa faktor, antara lain
adalah faktor jaminan sosial untuk PNS
dan keluarganya. Pemberian jaminan
sosial yang memadai pada masa aktif
saja belum menjamin sepenuhnya
ketenaga-kerjaan PNS. Oleh karena itu
jaminan hari tua PNS dan keluarganya
mutlak diperlukan mengingat mem-
punyai kaitan yang erat dengan
ketenangan, semangat/motivasi, disiplin
kerja, dan dedikasi terhadap tugas yang
diembannya.
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

2. Dampak yang sering muncul pada
masa pensiun adalah sebagai akibat
ketidaksiapan seseorang menghadapi
pensiun, misalnya adanya gangguan
psikologis dan ketidaksehatan dalam
bentuk kecemasan, stres, bahkan
mungkin depresi. Namun sebaliknya,
tidak sedikit pula PNS yang memasuki
masa usia pensiun ternyata tetap dalam
kondisi sehat baik secara jasmani
maupun rokhani. Oleh karenanya,
sebelum memasuki masa pensiun,
keluarga sebaiknya sudah mempersiap-
kan diri, seperti menabung, atau
merintis bisnis sampingan dan lain-lain.
Hal ini penting untuk mencegah pen-
deritaan psikologis akibat beban
finansial yang umumnya dialami oleh
pensiunan.
3. Saat memasuki masa pensiun, manusia
memerlukan penyesuaian diri. Baik
buruknya penyesuaian diri dipengaruhi
oleh berbagai faktor, di antaranya
adalah dukungan keluarga dan
sosial/masyarakat. Adanya dukungan
dan pengertian dari orang-orang
terdekat, khususnya keluarga akan
sangat membantu pensiunan dalam
menye-suaikan dirinya. Dukungan
tersebut sangat penting diciptakan guna
membangkitkan kembali semangat
serta rasa percaya dirinya dalam
menghadapi realitas kehidupan yang
sedang dialami. Seseorang yang
tengah menghadapi masa pensiun
membutuhkan orang lain yang dapat
membuatnya merasa dicintai, diperhatikan,
serta tidak merasa sendirian dalam
menghadapi masa usia senja tersebut.
Keluarga perlu menekankan kepada
pensiunan bahwa meskipun tidak lagi
aktif berdinas, seseorang tetap
bermanfaat bagi keluarga maupun
masyarakat. Tanamkan kepada pensiunan
bahwa pensiun itu membuka pintu
untuk sesuatu yang baru.


REFERENSI

Rivai, Veithzal, 2005, Manajemen Sumber
Daya Manusia, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada.
Simamora, Henry, 1997, Manajemen Sumber
Daya Manusia, Yogyakarta, Penerbit:
Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi YKPN, Cetakan Pertama.
Nugrahanto, Purwadi, dkk, 2002, Restruk-
turisasi ProgramPensiun Pegawai
Negeri Sipil, Tim Peneliti BKN,
Penerbit: Puslitbang Badan Kepe-
gawaian Negara, Cetakan Pertama.
Direktorat Asuransi, Ditjen Lembaga Keuangan-
Depkeu, 2002,Kebijakan Asuransi
dalamRangka Mendukung Pengem-
bangan Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial, Makalah disajikan
dalam Seminar Sistem Perlindungan
dan Jaminan Sosial di Bappenas.
Direksi PT Taspen (Persero), 2002,Materi
Presentasi Direksi PT Taspen
(Persero), Makalah disajikan dalam
Seminar Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial di Bappenas.
Direktur Dana Pensiun, Depkeu, 2002,
Kebijakan Dana Pensiun dalam
Rangka Mendukung Pengembangan
SistemPerlindungandanJaminanSosial,
Makalah disajikan dalam Seminar
Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial di Bappenas.
Direktur PT Taspen (Persero), 2002,Sistem
J aminan Sosial PNS dalam Era
Korpri Paradigma Baru, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas.
Hindrayono, Mahar, Ari, 2002,Sistem
Perlindungan Sosial di Indonesia
dan Permasalahannya, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas.
Kantor Menteri Kependudukan & UNFPA,
1999,Rencana Aksi Nasional Dukungan
Keluarga dan Masyarakat terhadap
kehidupan Lansia. Jakarta.
Subianto, Achmad, 2002,J aminan Sosial
Pegawai Negeri Sipil, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
sebagai-mana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969
tentang Pensiun Pegawai dan
Pensiun J anda/Duda Pegawai.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1981 tentang Asuransi Sosial
Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
1981 tentang Pengalihan Bentuk
Peru-sahaan Umum Dana
Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri Sipil Menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero).
Dukungan Sosial Terhadap Penyesuaian
Diri Di Masa Pensiun, http://repo-
sitoryv.usu.ac.id, diakses 23
Oktober 2011
Penerapan Budaya Korporasi Pada PT.
Taspen (Persero) Kantor Cabang
Surakarta, http://digilib.uns.ac.id,
diakses 23 Oktober 2011
Pengaruh Dukungan Sosial Dari Keluarga
Terhadap Penyesuaian Diri Di
Masa Pensiun
Pada Pegawai Negeri Sipil, http://repo-
sitory.usu.ac.id, diakses 23 Oktober
2011
Dukungan Sosial Dengan Kesepian Pensiunan,
http://blog.binadarma.ac.id/Itryah
Definisi Keluarga. (http://creasoft.
wordpress.com/2008/04/15/k
eluarga), diakses tanggal 23
Oktober 2011
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

KEBIJAKAN MORATORIUMDAN PENATAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
BAGIAN DARI REFORMASI BIROKRASI

Ajib Rakhmawanto
Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
E-mail: ajib_mami@yahoo.com

Abstract

One of the goalsof bureaucratic reformis to achieve good governance. As advanced, needs to be done a variety of
changes to administrative systems, such aspolitical system, the clarity of the functions of government agencies as
well ashuman resource management of civil servants. Moratoriumpolicy is issued because of uneven distribution of
civil servants, both in terms ofquantity and quality, in addition to saving state finances. Cumulation of employees in
some government institutions and the unequal distribution of employees are the reasons that has caused
bureaucracy performance become sluggish and ineffective, so that the structuring/rightsizing of civil servants is
required. It is expected that by rationally structuring employee, there will be harmony between the organization and
composition of civil servants in all government institutions.
Key woods: moratorium, structuring employee, bureaucratic reform


Abstrak

Salah satu tujuan reformasi birokrasi adalah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Sebagai tindaklanjutnya perlu dilakukan berbagai perubahan pada sistem pemerintahan, seperti; sistem politik,
kejelasan fungsi dan lembaga pemerintahan, serta manajemen SDM PNS. Kebijakan moratorium dikeluarkan karena
distribusi PNS yang tidak merata, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya disamping untuk menghemat keuangan
negara. Terjadinya penumpukan pegawai di beberapa lembaga negara dan distribusi pegawai yang tidak merata
menjadi salah satu aspek lemahnya birokrasi yang telah menyebabkan kinerjanya menjadi lamban dan tidak efektif,
sehingga perlu penataan PNS. Dengan penataan pegawai secara rasional diharapkan terjadinya keserasian antara
organisasi dengan komposisi PNS di semua lembaga pemerintahan.

Kata kunci: moratorium, penataan PNS, reformasi birokrasi


PENDAHULUAN

Reformasi politik pada tahun 1998
adalah merupakan pintu masuk bagi
bangsa Indonesia menuju sejarah baru
dalam dinamika politik nasional. Reformasi
politik yang menuntut adanya reformasi di
birokrasi pemerintahan diharapkan dapat
membawa arah angin perubahan. Fokus
dalam melakukan reformasi birokrasi antara
lain ada tiga hal, yaitu lembaga birokrasi,
tata laksana, dan Sumber Daya Manusia
(SDM). Tujuan utama reformasi birokrasi adalah
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik
(good governance). Sebagai konsekuensi
reformasi birokrasi, harus dilakukan berbagai
perubahan pada aspek pemerintahan, seperti;
pertamasistempolitik, karena melalui partai
politik ada wakil rakyat yang nantinya akan
memimpin lembaga pemerintah; kedua
sistem pemerintahan, karena model
pemerintahan yang akan diterapkan dalam
suatu negara akan menentukan efektif
tidaknya suatu pemerintah; ketiga lembaga
pemerintah (Kementerian), karena lembaga
pemerintah merupakan wadah organisasi
pemerintahan yang sangat strategis dan
berpengaruh terhadap jalannya roda
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

pemerintahan; keempat pola manajemen
aparatur negara dalam hal ini PNS, karena
para PNS inilah yang banyak menjalankan
roda pemerintahan dan sekaligus menentu-
kan berhasil atau sukses tidaknya suatu
pemerintah. Fakta sosial menunjukan
bahwa reformasi birokrasi mengalami
hambatan yang sangat signifikan hingga
kini, akibatnya masyarakat tidak banyak
memetik manfaat nyata dari adanya
reformasi tersebut.
Beberapa hal mengenai reformasi birokrasi
diharapkan dapat menjadi sebuah tawaran
alternatif solusi untuk memperbaiki design
awal reformasi seperti; (1) moral, yang
merupakan masalah asasi yang bersumber
pada pola nalar dan agama manusia dalam
memandang kehidupan secara proposional;
(2) etika, sebagai rambu-rambu dan arah
nyata yang menentukan alur pikir; dan (3)
sikap, yang merupakan bentuk tingkah laku
dalam mengambil suatu tindakan. Guna
mewujudkan arah reformasi birokrasi yang
nyata harus dilaksanakan peningkatkan
kualitas SDM PNS, menciptakan netralitas
birokrasi, menerapkan merit sistem, dan
pengembangan e-government dalam
pelayanan online kepada masyarakat untuk
mencegah terjadinya mal-praktek dalam
penyelenggara pemerintahan. Salah satu
prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam
manajemen kepegawaian adalah penerapan
merit sistem, hal ini untuk mewujudkan PNS
yang profesional. PNS yang profesional
harus memiliki wawasan luas dan dapat
memandang masa depan, punya integritas,
memiliki kompetensi dibidangnya, mampu
bersaing secara jujur dan sportif, serta
menjunjung etika profesi.




PENUTUP

Kebijakan reformasi birokrasi
khususnya di bidang kepegawaian yang
sudah berjalan lebih dari 12 tahun ternyata
berjalan sangat lamban. Pemerintah tidak
berhasil dengan cepat melakukan beberapa
perubahan dibidang kepegawaian seperti
rekrutmen PNS yang transparan,
penempatan pegawai sesuai dengan
kompetensi, peningkatan kualitas pegawai,
perbaikan tatalaksana, dan perampingan
kelembagaan birokrasi pemerintahan.
Dilihat dari peningkatan keahlian SDM PNS
belum begitu nampak secara jelas
kompetensi yang dibutuhkan. Di bidang tata
laksana belum banyak dilakukan pem-
benahan, sehingga fungsi lembaga belum
kelihatan perubahanya dan masih terjadi
tumpang tindih tupoksi (overlap) kepentingan
diantara lembaga pemerintahan. Struktur
birokrasi semakin gemuk, dengan
menjamurnya beberapa lembaga negara
setingkat Kementerian dan lembaga negara
yang lain seperti Komisi dan sebagainya.
Dengan kebijakan moratorium PNS yang
diikuti dengan penataan PNS dengan tujuan
untuk menghemat anggaran pemerintah
harus dipandang sebagai pintu masuk guna
membenahi desain reformasi birokrasi
dibidang kepegawaian. Selama moratorium
PNS dilakukan harus disertai dengan
perbaikan manajemen PNS seperti pening-
katan kualitas SDM PNS, perampingan
lembaga negara setingkat Kementerian dan
Non Kementerian, perampingan pegawai
yang tidak produktif, rasio jumlah pegawai
yang ideal, indikator kinerja pegawai yang
jelas, standar pelayanan yang baku,
pengawasan pegawai, serta adanya
perbaikan dalam sistem penggajian PNS.


______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


REFERENSI

Affandi, M. Joko, 2002; Pegawai Negeri Sipil
Di Era Revolusi dan Otonomi,
Jakarta: Puslitbang BKN.
Thoha, Miftah, 2000; Perilaku Organisasi:
Konsep dan Aplikasinya, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Hamalik, Oemar dan Utomo, 2000;
Pengembangan Sumber Daya
Manusia, Manajemen Ketenaga-
kerjaan Pendekatan Terpadu,
Jakarta: Bumi Aksara
Jurnal Civil Service; Volume 4 Nomor 3
November 2010
Suara Merdeka, 29/11/04
Kompas, 4 Agustus 2011
Seputar Indonesia, 5 Agustus 2011
http://ahok.org/laporan-kerja
http://asaborneo.blogspot.com/2011/08
http://bisniskeuangan.kompas.com
Peraturan bersama Menteri Keuangan
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
PAN dan RB; Nomor 02/SPB/M.
PAN-RB/8/2011, Tentang Penundaan
Sementara Calon Pegawai Negeri
Sipil, Jakarta: 2011
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

SISTEMPENGADAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG EFEKTIF

Anang Pikukuh Purwoko
Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
E-mail: lefty_app@yahoo.com

Abstract

The process of civil servants procurement until this very present time is still not effective, inefficient (in terms of cost
and time), even some identified still do KKN practices. By using an effective civil servants procurement system,
highly competence human resources that met the organization needs and also has not been infected by the
counter-productive cultures or habits in the organization, will be obtained. To ensure the effectiveness of the civil
servants procurement, the establishment of the Civil Service Commission is required. Further, provision of space for
the public is crucial so that people can actively participate in the procurement process.
Key Words: Procurement of civil servants, Effective, Competence


Abstrak

Selama ini proses pengadaan PNS masih tidak efektif (tepat sasaran), tidak efisien (dari segi biaya dan waktu),
bahkan sebagian diidentifikasikan masih melakukan praktek-praktek KKN karena kurang transparan dan akuntabel.
Dengan sistem pengadaan PNS yang efektif mulai dari perencanaan hingga pengangkatan menjadi PNS, akan
didapat sumber daya manusia yang secara kompetensi memadai dan sesuai dengan kebutuhan organisasi serta
belum tertular oleh budaya-budaya atau kebiasan dalam organisasi yang kontra produktif. Untuk lebih memastikan
efektivitas pengadaan PNS, diperlukan pembentukan Komisi Kepegawaian. Kemudian, penting juga untuk
menyediakan ruang bagi publik agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengadaan.

Kata Kunci: Pengadaan PNS, Efektif, Kompetensi

PENDAHULUAN

Organisasi atau instansi pemerintah
sampai saat ini masih dipandang sebagai
organisasi yang tidak efisien serta penuh
dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Ketidakefisienan organisasi-
organisasi pemerintah antara lain disebab-
kan oleh struktur organisasinya yang masih
terlalu besar, sarana dan prasarana
penunjang yang masih belum memadai dan
ketinggalan jaman, serta kualitas sumber
daya manusia (SDM) nya, yang dalam hal
ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang
masih rendah. Permasalahan SDM PNS
sudah sejak lama menjadi sorotan berbagai
kalangan masyarakat, mulai dari ke-
disiplinan yang terbilang rendah, jumlah
pegawai yang dirasa terlampau banyak
karena distribusi dan komposisi yang tidak
tepat, sampai dengan kinerja yang rendah
dan tidak efisien.
Jumlah PNS menurut data dari
Badan Kepegawaian Negara (BKN) sampai
dengan bulan Juni 2011 mencapai
4.637.999 orang. Jumlah ini menurut be-
berapa kalangan dirasa terlalu banyak,
apalagi ditambah kenyataan bahwa
anggaran negara (APBN) yang dialokasikan
untuk belanja pegawai terhitung besar dan
terus meningkat. Alokasi APBN untuk
belanja pegawai pada tahun 2005 adalah
sebesar Rp. 54,3 Trilun. Pada tahun 2006
meningkat menjadi menjadi Rp. 73,3 Triliun,
kemudian 2007 Rp. 90,4 Triliun, 2008 Rp.
112,8 Triliun, 2009 Rp. 127,7 Triliun, 2010
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Rp. 162,7 Triliun, dan 2011 menjadi 180,6
Triliun atau sebesar 14,1% dari APBN,
bahkan pada RAPBN 2012 anggaran
belanja pegawai direncanakan meningkat
lagi menjadi Rp. 215,7 Triliun.
Gambaran dari anggaran daerah
(APBD) lebih memprihatinkan lagi, 396
daerah Kabupaten/Kota mengalokasikan
sekitar 40% anggarannya untuk belanja
pegawai, 294 daerah di antaranya meng-
anggarkan lebih dari 50%, bahkan 124
daerah menganggarkan lebih dari 60% dan
yang tertinggi adalah Kabupaten Demak
yaitu mencapai 83% dari APBD (Firmanzah,
2011). Jika dibandingkan dengan besarnya
anggaran yang dikeluarkan, kinerja PNS
dirasa masih jauh dari yang diharapkan.
Kualitas pelayanan dari segi efisiensi waktu,
kesigapan dan bahkan keramahan dalam
melayani masih di-kategorikan rendah oleh
masyarakat.
Untuk memenuhi tuntutan ini,
peme-rintah telah mengeluarkan dan
menerapkan berbagai kebijakan untuk
melaksanakan reformasi birokrasi. Salah
satu langkah yang diambil oleh pemerintah
adalah penataan pegawai. Penataan
pegawai dilakukan untuk menghitung secara
pasti berapa jumlah PNS yang sebenarnya
dibutuhkan beserta komposisi dan distribusi
yang tepat bagi masing-masing instansi baik
pusat maupun daerah. Kemudian untuk
mendukung penataan pegawai tersebut
dilakukan moratorium atau penundaan
sementara penerimaan Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS). Moratorium dilakukan
agar penataan pegawai dapat berjalan
dengan lancar. Perhitungan jumlah serta
penentuan komposisi serta distribusi
pegawai berdasarkan analisis jabatan,
struktur organisasi, dan beban kerja di
masing-masing instansi akan lebih efektif
jika sementara pengadaan pegawai baru
(CPNS) tidak dilakukan.
Apabila dilihat dari kenaikan alokasi
anggaran untuk belanja pegawai pada
RAPBN 2012 yang meningkat sebanyak Rp.
35,1 Triliun, maka kebijakan moratorium
diambil bukan untuk menghemat anggaran
secara signifikan (meskipun tanpa adanya
moratorium tentu saja alokasi anggaran
untuk belanja pegawai akan menjadi lebih
besar), tapi lebih sebagai langkah awal dan
pendukung efektivitas penataan pegawai
dan restruk-turisasi birokrasi. Hal ini juga
disebutkan dalam Peraturan Bersama
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Keuangan Nomor
02/SPB/M.PAN-RB/8/2011 tentang
Penundaan Sementara Calon Pegawai
Negeri Sipil yang menyebutkan bahwa
untuk melaksanakan penataan organisasi
dan penataan PNS, perlu dilakukan
penundaan penerimaan CPNS. Selain itu
menurut Farhan (2011), kebijakan
moratorium tidak berpengaruh besar bagi
upaya penghematan anggaran, karena
besarnya anggaran bukan dari jumlah
pegawainya tapi karena belanja pegawai. Ini
terlihat dari tingkat laju pertumbuhan PNS
rata-rata dalam lima tahun terakhir hanya
2% sedangkan peningkatan belanja
pegawai rata-rata mencapai 20%.
Penataan pegawai yang
dijadwalkan berjalan selama masa
moratorium harus benar-benar dilakukan
dengan serius, selain itu struktur birokrasi
yang besar dan tidak efisien terutama
karena cukup banyak lembaga yang tugas
dan kewenangannya tumpang tindih, harus
segera dilakukan restrukturisasi. Dengan
menjalankan program reformasi birokrasi
secara sungguh-sungguh dan menyeluruh
diharapkan PNS akan berada pada jumlah,
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

komposisi, dan distribusi yang tepat serta
kesejahteraan yang memadai, sehingga
meningkatkan kinerja PNS secara signify-
kan, dimana hal ini menyebabkan kinerja
pemerintah juga akan mengalami pening-
katan yang akhirnya akan berpengaruh
terhadap perekonomian dan daya saing
nasional negara kita. Jadi beban anggaran
yang dikeluarkan untuk belanja pegawai
akan berada pada tingkat yang lebih sesuai
dengan hasilnya.
Reformasi birokrasi merupakan
proses yang berkelanjutan, sedangkan
sesuai dengan namanya, kebijakan
moratorium hanya berlaku sementara,
yaitu selama 16 bulan (1 September
2011 sampai dengan 31 Desember 2012),
Untuk menerapkan reformasi birokrasi yang
berkelanjutan dan demi kelangsungan hidup
organisasi, pengadaan pegawai harus terus
dilakukan sesuai kebutuhan jika masa
moratorium pegawai sudah selesai. Selain
itu jika dilihat dari segi jumlah, PNS
sebanyak 4.637.999 dikurangi PNS yang
pensiun pada tahun 2011 sebanyak kurang
lebih 150.000 orang, dibandingkan dengan
sekitar 237 juta jiwa jumlah penduduk
Indonesia, rasionya adalah 1,86, yang mana
masih berada pada level moderat jika
dibandingkan dengan negara-negara lain
seperti Malaysia yang berada pada level
2,7, Vietnam 2,9, China 2,7 dan Korea
Selatan 2. Namun jika dilihat dari segi
distribusi, komposisi, dan kualitas masih
diperlukan banyak peningkatan. (Biro
Hukum dan Humas Kemenpan, 2011)
Lebih jauh, seperti yang sudah kita
ketahui, pemerintah sudah sejak lama
melakukan usaha-usaha dalam rangka
meningkatkan kualitas SDM PNS. Berbagai
macam diklat diselenggarakan untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan,
selain itu beragam peraturan perundang-
undangan ditetapkan untuk meningkatkan
etos dan perilaku kerja PNS, seperti
peraturan mengenai kode etik PNS dan
disiplin PNS. Hasilnya seperti yang juga
sudah kita ketahui dan rasakan, kualitas dan
terutama perilaku kerja PNS tidak
mengalami perubahan yang berarti. Hal ini
bisa disebabkan oleh banyak faktor, antara
lain penempatan pegawai dan pemberian
diklat yang tidak tepat, serta kurangnya
motivasi karena penghasilan yang rendah
dan sistem karir yang kurang jelas. Selain
itu, faktor dari diri (internal) PNS itu sendiri
juga mempunyai pengaruh yang cukup
besar, antara lain faktor kompetensi
(pengetahuan dan kemampuan/keahlian)
diri yang memang rendah, ditambah sikap
dan perilaku yang memang tidak menyukai
perubahan karena terbiasa dengan budaya
malas dan tidak disiplin yang sudah
mengakar.
Karena alasan-alasan inilah
reformasi dalam sistem pengadaan PNS
juga harus mendapat perhatian dengan
sungguh-sungguh. Dengan sistem pengadaan
PNS yang efektif akan didapat sumber daya
manusia yang secara kompetensi memadai
dan sesuai dengan kebutuhan organisasi,
yaitu sumber daya manusia yang cerdas,
profesional, netral, mempunyai komitmen
tinggi, dan memiliki semangat pengabdian,
serta belum tertular oleh budaya-budaya
atau kebiasan dalam organisasi yang kontra
produktif. Lebih lanjut, dengan diperolehnya
SDM PNS seperti yang disebutkan di atas,
akan meningkatkan efektivitas kegiatan-
kegiatan kepegawaian selanjutnya seperti
penempatan dan orientasi, pengembangan,
serta pembinaan disiplin dan karir.
Selama ini proses pengadaan PNS
masih tidak efektif (tepat sasaran), tidak
efisien (dari segi biaya dan waktu), bahkan
sebagian diidentifikasikan masih melakukan
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

praktek-praktek KKN karena kurang
transparan dan akuntabel. Hal ini
disebabkan antara lain karena pola
pengadaan PNS masih diwarnai oleh
kebijakan politis, family system, ego
sektoral (kedaerahan), dan komersialisasi.
Kemudian di tingkat teknis, pelak-
sanaan pengadaan juga masih asal-asalan.
Tidak dilakukannya analisis kebutuhan
pegawai yang benar menyebabkan
penetapan formasi yang hanya berdasarkan
kuota jumlah, bahkan jumlah disini
bukanlah jumlah yang memang diperlukan,
tapi diinginkan oleh penguasa.
Dalam pelaksanaan rekrutmen,
meskipun sebagian besar instansi pusat dan
daerah telah menggunakan teknologi
informasi seperti menginformasikan pene-
rimaan CPNS dan mengumumkan hasil
seleksi melalui internet, namun kejelasan
informasinya masih kurang. Pencantuman
informasi lowongan masih hanya sebatas
nama formasi dan kualifikasi pendidikan
yang dibutuhkan, tanpa mencantumkan
uraian singkat mengenai pekerjaan yang
akan diisi (uraian tugas dan tanggung
jawabnya), termasuk kondisi kerja dan
resiko pekerjaan, agar calon pelamar benar-
benar mengerti kompetensi seperti apa
yang diperlukan dan butuh untuk mereka
siapkan.
Pelaksanan ujian seleksi juga masih
menggunakan sistem manual yang beresiko
tinggi seperti kebocoran soal dan
kecurangan dalam pengoreksian jawaban,
serta cen-derung merupakan proses yang
berbiaya tinggi. Demikian pula dalam
penentuan calon-calon yang lolos tes
seleksi, masih didapat instansi, terutama
instansi daerah, yang keputusannya
dipolitisasi, meskipun sudah bekerja sama
dengan perguruan tinggi sebagai lembaga
independen dalam melaksanakan ujian dan
pengoreksian hasilnya. Kemudian yang
tidak kalah penting adalah keterlibatan
masyarakat dalam proses pengadaan
sebagai alat kontrol hampir tidak ada,
padahal masyarakat merupakan alat kontrol
yang sangat efektif karena selain objektif,
sekaligus meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap birokrasi, tapi tentu
saja harus didukung dengan penyediaan
ruang bagi partisipasi publik yang diatur
secara jelas dalam peraturan-peraturan
yang terkait.
Melihat deskripsi di atas, jelaslah bahwa
diperlukan suatu sistem pengadaan PNS
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh,
terintegrasi dengan fungsi-fungsi intern
maupun ektstern organisasi agar PNS yang
diperoleh nantinya memenuhi standar
kompetensi yang dibutuhkan serta mem-
punyai perilaku kerja yang baik/tinggi. Dari
sini akhirnya timbul pertanyaan, yaitu
Bagai-manakah sistem pengadaan PNS
yang efektif?


KESIMPULAN

1. Meskipun kebijakan moratorium telah
diterapkan, namun sesuai dengan
namanya, kebijakan moratorium hanya
berlaku sementara. Jadi setelah
kebijakan tersebut berakhir, pengadaan
pegawai harus terus dilakukan sesuai
kebutuhan. Pemerintah sudah sejak
lama melakukan usaha-usaha dalam
meningkatkan kualitas SDM PNS.
Namun kualitas dan perilaku kerja PNS
tidak mengalami perubahan yang
berarti. Dengan sistem pengadaan PNS
yang efektif akan didapat sumber daya
manusia yang secara kompetensi
memadai dan sesuai dengan
kebutuhan organisasi serta belum
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

tertular oleh budaya-budaya atau
kebiasan dalam organisasi yang kontra
produktif.
2. Pengadaan PNS yang efektif dimulai
dari perencanaan yang benar
berdasarkan analisis kebutuhan
pegawai sebagai hasil dari analisis
beban kerja yang tepat. Rekrutmen
harus dibuka seluas-luasnya dan
transparan, disertai informasi yang
lengkap mengenai lowongan termasuk
uraian singkat jabatan, serta kondisi
dan resiko kerja. Sumber rekrutmen
juga harus diperhatikan dengan baik
sebagai pertimbangan strategi
rekrutmen. Dalam proses seleksi,
materi-materi ujian yang dipakai harus
bisa memprediksi kompetensi (tidak
menyimpang) peserta ujian berdasar-
kan hasil ujian mereka. Penyediaan
materi ujian juga bisa bekerja sama
dengan universitas-universitas ternama
yang sudah teruji keterlibatannya dalam
pembuatan soal-soal ujian seleksi
CPNS. Soal-soal ujian dijamin
keamanannya dari kebocoran. Sarana
dan prasarana ujian dijamin
ketersediaannya. Pengawasan dalam
pelaksanaan ujian harus dilaksanakan
dengan benar. Penggunaan metode
seleksi manual selain memakan biaya
dan waktu yang lama, resiko keamanan
soal ujian serta kemungkinan untuk
memanipulasi hasil ujian juga tinggi.
Masalah ini bisa diatasi dengan bekerja
sama dengan pihak universitas, artinya
penyelenggaraan ujian sepenuhnya
dilakukan oleh pihak universitas
sebagai pihak ketiga yang independen,
termasuk pengoreksian hasilnya. Selain
itu, metode seleksi yang patut ditiru
adalah Computer Assisted Test (CAT)
yaitu suatu metode seleksi dengan
menggunakan alat bantu computer.
Selain praktis, hasil ujian menggunakan
metode ini bisa langsung diumumkan
beberapa saat setelah ujian selesai
dilaksanakan, sehingga tingkat keamanan
soal-soal ujian serta transparansi hasil tes
dapat ditingkatkan dan kemungkinan
adanya praktek KKN dalam proses
seleksi CPNS dapat diminimalkan.
Perlu dilakukan penentuan standar
minimal nilai hasil ujian yang
dinyatakan lolos, jadi bukan hanya
dipilih berdasarkan nilai yang paling
tinggi, sehingga diharapkan kompetensi
calon pegawai yang diperoleh
memenuhi standar yang diinginkan.
3. Perlu disediakan ruang bagi partisipasi
publik beserta pengaturannya yang
tertuang dengan jelas dalam peraturan-
peraturan kepegawaian dan pem-
bentukan segera komisi kepegawaian
agar proses pengadaan dapat di-
laksanakan dengan bebas tanpa ada
pengaruh atau campur tangan politik
dan kekuasaan.


REFERENSI

Bhatt, V.V. dan Kim, Hyung Ki. (2000).
J apanese Civil Service System:
Relevance For Developing
Countries. Economic and Political
Weekly Vol. 35, No. 23 (Jun 3-9,
2000), pp. 1937-1943
Biro Hukum dan Humas Kemenpan, 2011.
Penataan Kepegawaian J angan
Timbulkan Masalah. Dalam http://
www.menpan.go.id/index.php/berita
-index/644-penataan-kepegawaian-
jangan-timbulkan-masalah-baru
(diakses 7 November 2011, 14.30
WIB)
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Cardoso, Faustino Gomes, (2003).
Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: CV. Andi Offset
Davis, Keith. 2004. Human Behavior at
Work Organizational Behavior Sixth
Edition. Tata McGraw-Hill Company
Ltd New Delhi
Effendi, Sofyan. (2006). Reformasi Aparatur
Negara Untuk Melaksanakan Tata
Pemerintahan yang Baik. Dalam
http://usupress.usu.ac.id/files/Refor
masi%20Birokrasi%20dan%20
Korupsi%20di%20Indonesia_Final_
normal_bab%201.pdf (diakses 14
November 2011, 13.51 WIB)
Farhan, Yuna. (2011). Moratorium(Belanja)
Pegawai. SKH Kompas hal.7, 7
September 2011
Firmanzah.(2011). Menyikapi RAPBN 2012.
http://metrotvnews.com/read/analis
detail/2011/08/23/197/Menyikapi-
RAPBN-2012 (diakses 7 November
2011, 14.00 WIB)
Republik Indonesia. Undang-Undang
Nomor 43 tahun 1999 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor
98 Tahun 2000 Tentang
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor
97 Tahun 2000 Tentang Formasi
Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2002 Tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 98
Tahun 2000 Tentang Pengadaan
Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2003 Tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 97
Tahun 2000 Tentang Formasi
Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Bersama Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, Menteri
Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan Nomor 02/SPB/M.PAN-
RB/8/2011 Tentang Penundaan
Sementara Calon Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Kepala Badan Kepe-
gawaian Negara Nomor 30 Tahun
2007 Tentang Pedoman Pelaksana-
an Pengadaan CPNS
Peraturan Kepala Badan Kepe-
gawaian Negara Nomor 9 Tahun
2010 Tentang Pedoman Ujian
Penyaringan Calon Pegawai Negeri
Sipil di Lingkungan Badan Ke-
pegawaian Negara
Peraturan Kepala Badan Kepe-
gawaian Negara Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pedoman Pelaksana-
an Analisis J abatan
Peraturan Kepala Badan Kepe-
gawaian Negara Nomor 19 Tahun
2011 Tentang Pedoman Umum
Penyu-sunan Kebutuhan Pegawai
Negeri Sipil
Rivai, Veithzal dan Sgala, Eva J. (2009).
Manajemen Sumber Daya Manusia
untuk Perusahaan: Dari Teori ke
Praktik. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Schuler, Randall S. (1987). Personnel and
Human Resource Management 3
rd

Edition. USA
Sedarmayanti. (2011). Manajemen Sumber
Daya Manusia, Reformasi Birokrasi,
dan Manajemen Pegawai Negeri
Sipil. Refika Aditama Bandung.
Setyowati, Endah. (2009). Partisipasi Publik
dan Transparansi dalamRekrutmen
Pegawai Negeri Sipil. Jurnal
Kebijakan dan Manajemen PNS
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Civil Service. Vol.3 No.2
November 2009 p.21-32
Subagyo, Agus. (2009). Reformasi Sistem
Rekrutmen Pegawai Negeri di
Korea Selatan: Belajar Sistem
Meritokrasi dari Negeri Ginseng.
Jurnal Kebijakan dan Manajemen
PNS Civil Service. Vol.3 No.2
November 2009 p.9-20
Suwatno dan Priansa, Donni Juni (2011).
Manajemen SDM dalamOrganisasi
Publik dan Bisnis. Penerbit
Alfabeta. Bandung
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

BIODATA PENULIS



Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto, lahir di Malang tanggal 3 April 1948. Menamatkan pendidikan
S1 Ekonomi di Universitas Indonesia pada tahun 1974, Pendidikan S2 Ekonomi (MA) di
University of the Philippines, Diliman - Quezon City pada tahun 1977, Pendidikan S3 Ekonomi
(Ph.D) di University of Hawaii - USA pada tahun 1981. Menjadi Penasihat pada Badan Pelaksana
Harian (BPH) Universitas Al-Azhar Indonesia, Anggota Dewan Pengurus Universitas Bakrie,
Anggota Komisi Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jakarta dan sejak tahun 1998 hingga
sekarang menjadi Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Agus Pramusinto, MDA, Ph.D, lahir di Pemalang, 10 Desember 1963 menyelesaikan
pendidikan Sarjana dari FISIPOL di Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta, serta menyelesaikan
master dan doktoralnya di The Australian National University, dalam bidang Policy and
Governance (2005). Posisi sekarang adalah Ketua Pengelola Program Magister Administrasi
Publik Universitas Gadjah Mada. Saat ini mengajar mata kuliah Governance dan Kebijakan
Publik, Reformasi Birokrasi dan Desain Pelayanan Publik. Aktif dalam kegiatan penelitian yang
dibiayai oleh Pemerintah (Bappenas, Kemendiknas, Pemerintah Daerah) dan lembaga
internasional (GTZ, Bank Dunia, ADB, UNDP, World Vision International, Save The Children).

Dr. Slamet Rosyadi, lahir di Majalengka tanggal 4 Juli 1972. Menamatkan pendidikan S1
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Jenderal Sudirman (UNSOED) Purwokerto pada
tahun 1995, S2 Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang pada tahun
1997, dan memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Studi Pembangunan dari University of
Goettingen Jerman pada tahun 2003. Bekerja sebagai staf pengajar dan Ketua Jurusan Ilmu
Administrasi Negara dan Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Sudirman (UNSOED)
Purwokerto.

M. Adian Firnas, S.IP, M.Si, Lahir di Jakarta tanggal 5 Juli 1974. Menamatkan S1 Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1997,
Pascasarjana (S2) Jurusan Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2000,
Sekarang bekerja sebagai staf pengajar di FISIP UIN Jakarta dan dibeberapa Perguruan Tinggi
Swasta di Jakarta.

Indah Wahyu Maesarini, S.IP, M.Si, Lahir di Surabaya tanggal 30 April 1976. Pada tahun 1999
menamatkan S1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, kemudian pada tahun 2001 menyelesaikan S2 di Program Magister Administrasi
Publik Universitas Gadjah Mada, saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI).

Dr. Mustaqiem, SH., M.Si, lahir di lahir di Bantul tanggal 6 Juni 1953, Menamatkan pendidikan
S1 Ilmu Hukum di Universitas Islam Yogyakarta pada tahun 1979, S2 Ilmu Administrasi Negara di
______________________________________Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.5, No.2 November 2011

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1995, sedangkan S3 Ilmu Hukum di Iniversitas
Airlangga Surabaya pada tahun 2005. Bekerja sebagai Dosen Fakultas Hukum Jurusan Hukum
Administrasi Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Dr. Muh. Kadarisman, lahir di Kulon Progo, 25 Januari 1959. Menamatkan pendidikan S1 (SH)
di FH Universitas Islam Indonesia (UII) tahun 1985. S2 (M.Si) Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia (UI) tahun 2002. Memperoleh gelar Doktor (Dr) Social Sciences Universitas
Padjadjaran (UNPAD) Bandung tahun 2008. Di samping bekerja sebagai PNS Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan ditugaskan sebagai dosen Kopertis Wilayah III Jakarta dpk pada
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), juga dosen di beberapa perguruan
tinggi di Jakarta al Universitas Trisakti, Universitas Nasional, Universitas Terbuka, Universitas
Kristen Indonesia, dan Universitas Panca Sila.

Ajib Rakhmawanto, S.IP, M.Si, lahir di Yogyakarta tanggal 10 April 1972. Menamatkan
pendidikan Sarjana/S1 (S.IP) Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada tahun 1997. Pendidikan Pascasarjana/S2 (M.Si) dari
Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta diselesaikan pada tahun 2003. Sekarang bekerja sebagai peneliti (researcher) pada
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) Jakarta.

Anang Pikukuh Purwoko, S.E, MM, lahir di Yogyakarta tanggal 30Juli 1977. Menamatkan
pendidikan S1 (2002) Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, pendidikan S2 (2008) Program Studi Magister Manajemen Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Pusat
Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara Jakarta.

You might also like