You are on page 1of 16

1

CASE REPORT




Pembimbing:
dr. Djoko T. Basuki, Sp. OG
dr. Petrus Juntu, Sp. OG

Oleh:
Kevin Kristian (2012.061.144)
Christanto Suryo (2012.061.150)
Johana Dianita (2012.061.151)




Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
Rumah Sakit Umum Santo Antonius, Pontianak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Katolik Atma Jaya
3 Juni 2014 - 28 Juni 2014
2

BAB I
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 36 tahun
Etnis : Jawa
Agama : Kristen
Alamat : Landak Ngabang
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Tanggal masuk : 2 Juni 2014

Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan utama keluar darah dari kemaluan sejak 5 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang
2 bulan SMRS, pasien mengeluhkan terlambat datang bulan, dan setelah itu pasien
melalukan test pack dengan hasil (+). Pasien mengeluhkan keluarnya darah dari
kemaluan tanpa disertai nyeri sejak 5 hari SMRS. Darah tersebut berwarna merah
kecoklatan berupa bercak- bercak tanpa disertai adanya daging yang menyertai. Lalu
pasien berkonsultasi ke dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan, dan dikatakan
hamil anggur. Kemudian pasien dirujuk ke RSU St.Antonius. Selama kehamilan, pasien
merasakan mual dan muntah, namun masih dapat makan serta minum. Keluhan demam
disangkal.
3


Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat alergi
Riwayat asma
Riwayat trauma

Riwayat haid
Menarche pada usia 13 tahun
Siklus menstruasi: 28 hari
Reguler, lama haid 7 hari, dismenore disangkal
HPHT: Akhir Maret 2014







4

Riwayat Kehamilan
No. Tahun
Usia
kehamilan
Metode
persalinan
BBL
(gram)
Jenis
kelamin
ASI/PASI
1. 2012 9 bulan
Spontan per
vaginam
2700 gram Laki- laki ASI
2. INI

Antenatal Care
ANC dilakukan di dokter spesialis kebidanan dan kandungan

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Tanda-tanda Vital:
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Laju Nadi : 76 x/menit
Laju Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,0 C
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 158 cm
BMI : 20,03 (Normal)
Mata: konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Mulut: mukosa oral basah
Toraks:
Cor: BJ I & II reguler, murmur gallop
Pulmo: Suara napas vesikular +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: tampak cembung
P: supel, nyeri tekan
P: timpani pada seluruh regio abdomen
A: bising usus (+) 4x/menit
5

Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, reflek fisiologis +/+/+/+, reflek
patologis -/-

Pemeriksaan Ginekologi
Alat kelamin luar : vulva-vagina tidak tampak ada kelainan
Inspekulo : -
Vaginal Toucher : -
HPHT : Akhir Maret 2014
TFU : 12 cm

Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Kimia Klinik Imunologi
Hemoglobin 9,5 g/dL GDS 122 mg/dL HbsAg
(kromatografi)
-
Hematokrit 28,6 % SGOT 24 U/L HCV -
Eritrosit 4,4 x 106 /L SGPT 38 U/L HIV -
Leukosit 14.400 /mcL Kolesterol total 139 mg/dL
Trombosit 259.000 /l Ureum 19 mg/dL
Gol.darah AB/ Rh (+) Kreatinin 0,47 mg/dL
MCV 64,6 fL
MCH 21,4 pg
MCHC 33,2 g/dL
BT 2 menit
CT 8 menit



Assessment
G2P1A0, usia 36 tahun, gravid 8-9 minggu menurut HPHT dengan perdarahan per
vaginam et causa suspek mola hidatidosa

Planning
Pro USG
6


USG


Sikap
Stabilkan keadaan umum
Pro Histerektomi

Assesment post-operasi
P1A0, 36 tahun post Transabdominal Hysterectomy Bilateral Salphyngo-Oophorectomy
atas indikasi mola hidatidosa
Terapi post-operasi
IVFD RL:D
5
2:3 20 tpm
Cefotaxime 3 dd 1g IV
Metronidazole 3 dd 1 g supp
Ketorolac 3 dd 30 mg IV
Asam Tranexamat 3 dd 500 mg IV






7

Follow Up
6 Juni 2014, 05.00
S : nyeri luka
operasi (+), flatus
(+)
O :
KU: Tampak sakit ringan
Kes : Compos mentis
TD: 120/80 mmHg
HR: 88x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36 C
Pemeriksaan fisik
Mata: konjungtiva anemis -/-
Mulut dan thorax dbN
Abdomen
I: tampak luka post-op di regio hipogastrium,
rembesan (-)
P: nyeri pada luka post-op (+)
P: timpani
BU: (+) 4x/min
Ekstremitas : dbN
A : P1A1, 36 tahun post
TAHBSO a/i mola
hidatidosa POD-1
P :
- Terapi lanjutkan
- Boleh minum
sedikit- sedikit

Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
Hb 10,8 g/dL MCV 66,3 fL
Ht 32 % MCH 22,4 pg
Eritrosit 4,8 x 10
6
/L MCHC 33,8 g/dL
Leukosit 15.100 /mcL
Trombosit 266.000 /l

7 Juni 2014, 05.00
S : nyeri luka
operasi (+), flatus
(+)
O :
KU: Tampak sakit ringan
Kes : Compos mentis
TD: 110/70 mmHg
HR: 76x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36 C
Pemeriksaan fisik
Mata: konjungtiva anemis -/-
Mulut dan thorax dbN


A : P1A1, 36 tahun post
TAHBSO a/i mola
hidatidosa POD-2
P :
- Boleh minum
sedikit- sedikit
- Ganti terapi oral
dengan :
- Cefadroxyl 3 dd
500 mg
- Metronidazole 3
dd 500 mg
- Asam
mefenamat 3 dd
500 mg
- Aff kateter
8



Abdomen
I: tampak luka post-op di regio hipogastrium,
rembesan (-), terpasang drain pada regio iliac
sinistra, perdarahan (-)
P: nyeri pada luka post-op (+)
P: timpani
BU: (+) 5x/min
Ekstremitas : dbN

8 Juni 2014 05.00
S : nyeri luka
operasi (+), flatus
(+), BAK baik
O :
KU: Tampak sakit ringan
Kes : Compos mentis
TD: 110/70 mmHg
HR: 76x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36 C
Pemeriksaan fisik
Mata: konjungtiva anemis -/-
Mulut dan thorax dbN
Abdomen
I: tampak luka post-op di regio hipogastrium,
rembesan (-), terpasang drain pada regio iliac
sinistra, perdarahan (-)
P: nyeri pada luka post-op (+)
P: timpani
BU: (+) 5x/min
Ekstremitas : dbN
A : P1A1, 36 tahun post
TAHBSO a/i mola
hidatidosa POD-3
P :
- Boleh makan
- Terapi oral lanjut
- Aff drain

9 Juni 2016, pkl 05.00
S : nyeri luka
operasi minimal
O :
KU: Tampak sakit ringan
Kes : Compos mentis
TD: 110/70 mmHg
HR: 76x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36 C
Pemeriksaan fisik
Mata: konjungtiva anemis -/-
Mulut dan thorax dbN
Abdomen
I: tampak luka post-op di regio hipogastrium,
rembesan (-)
P: nyeri pada luka post-op (+)
P: timpani
BU: (+) 5x/min
Ekstremitas : dbN
A : P1A1, 36 tahun post
TAHBSO a/i mola
hidatidosa POD-4
P :
- Boleh pulang
- Obat pulang :
- Cefadroxyl 3 dd
500 mg
- Metronidazole 3
dd 500 mg
- Asam mefenamat
3 dd 500 mg
- Kontrol dalam 5
hari


9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Mola Hidatidosa merupakan sebuah kelainan trofoblas, yang memiliki
karakteristik histologi vili korionik yang abnormal, yaitu proliferasi trofoblas dan edema
stroma vili.
1
Trofoblas normal terdiri dari sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas
intermedia. Sinsitiotrofoblas akan menginvasi stroma endometrium dan implantasi
blastocyst, yang menghasilkan human chorionic gonadotropin (hCG). Sitotrofoblas
berfungsi untuk memberikan sel kedalam sinsitium untuk membentuk vili korion yang
membungkus kantung korion. Vili korion, endometrium, dan lapisan basal endometrium
tersebut akan membentuk hubungan intim antara fetus dan ibu, yang disebut dengan
plasenta.
2,3


Faktor Risiko
Faktor risiko untuk terjadinya mola hidatidosa meningkat 10 kali lipat pada
wanita hamil dengan usia dibawah 16 tahun atau diatas 40 tahun, risiko ini meningkat
menjadi 20 kali lipat pada wanita usia 45 sampai 50 tahun. Riwayat mola hidatidosa
pada kehamilan sebelumnya juga dapat meningkatkan risiko rekurensi sebesar 20
sampai 40 kali lebih sering dibandingkan dengan wanita yang tidak mempunyai riwayat
mola.
4
Faktor gizi sebagai faktor risiko mola hidatidosa, berasal dari teori yang diajukan
Parazzini dan Berkowitz, yaitu mola hidatidosa banyak terjadi pada individu dengan
defisiensi -karoten.
5

Faktor genetik juga dapat berperan dalam perkembangan terjadinya mola
hidatidosa. Hasil penelitian Kaiji et al dan Lawler et al menunjukkan bahwa pada kasus
mola hidatidosa lebih banyak ditemukan kelainan balance translocation dibandingkan
dengan populasi normal (4,6 % dengan 0,6 %). Ada kemungkinan, pada wanita dengan
kelainan sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis
berupa nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau yang
intinya tidak aktif.
5


10

Penyebab dan Genetika
Pada mola hidatidosa komplit umumnya terjadi karena ovum tanpa kromosom
maternal yang di fertilisasi oleh satu sperma, yang kemudian akan terjadi duplikasi DNA
sehingga menghasilkan kariotipe androgen 46XX (paternal). Hanya sekitar 10% dari
mola hidatidosa komplit yang memiliki kariotip 46XY, karena difertilisasi oleh 2
sperma. Sedangkan pada mola hidatidosa parsial, hampir seluruhnya triploid,
dikarenakan 2 sperma membuahi ovum sehat.
2

Penelitian membuktikan bahwa pada beberapa keluarga terdapat gen khusus,
yaitu pada kromosom 19q13.3-13.4, dan mutasi pada NLRP7. Data menunjukan bahwa
regio NLRP7 sangat krusial untuk fungsi normal.
2


Patogenesis
Banyak teori yang mempelajari mengenai patogenesis mola hidatidosa, namun
teori terbaik hingga saat ini adalah teori sitogenetik, dimana disebutkan bahwa mola
disebabkan karena adanya ovum tidak berinti, atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi
oleh sperma haploid 23X. Kromosom ini kemudian akan melakukan endoreduplikasi
menjadi 46XX, jadi tidak terdapat unsur maternal, karena seluruh kromosom berasal
dari unsur paternal, sehingga disebut juga Diploid Androgenetik.
5

Pada kondisi normal, kehamilan harus terdiri dari unsur maternal, dimana akan
membentuk bagian embrional (anak), dan unsur paternal yang akan membentuk bagian
ekstra embrional (plasenta, air ketuban, dan lain-lain) secara seimbang. Pada mola
hidatidosa, yang ada hanya bagian ekstra embrional yang patologis, yaitu vili korialis
yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur. Ovum yang kosong disebabkan
karena ada gangguan proses miosis, yang disebut non dysjunction, dimana diploid
46XX, yang harusnya dipecah menjadi 23XX dan 23XX, dipecah menjadi 46XX dan 0.
Pada mola hidatidosa, 0 inilah yang dibuahi. Selain itu, dapat juga ovum kosong tersebut
dibuahi oleh 2 sperma 23X atau 23X dan 23Y, sehingga terbentuk 46XX heterozigot
atau 46XY. Ada penelitian yang menganggap bahwa 46XX heterozigot lebih berpotensi
terhadap keganasan.
5

Histopatologi
Secara gambaran histopatologi, karakteristik antara bentuk mola hidatidosa
komplit dan inkomplit berbeda. Trimester pertama, menunjukkan gambaran abnormal
11

pada struktur villus dengan adanya hiperplasia trofoblas, debris stromal karioretik dan
kolaps pembuluh darah. Gambaran ini berlainan dengan bentuk inkomplit, di mana
nampak gambaran villus yang patchy dengan bentuk villi yang ireguler, pseudoinklusi
trofoblastik, dan hiperplasia trofoblas. Pada bentuk inkomplit, gambaran villus patchy
dapat tidak disertai hiperplasia trofoblas, sehingga bentuk ini sulit dibedakan dengan
abortus.

Koriokarsinoma merupakan tumor epitel yang memproduksi HCG, dan
memberikan gambaran nekrosis sentral dan nampak seperti sitotrofoblas dan
multinukleasi.
2

Klasifikasi
1. Mola Hidatidosa Komplit
Pada mola hidatidosa komplit, vili korialis diubah menjadi masa vesikel
yang ukurannya bervariasi. Masa vesikel tersebut dapat terus membesar hingga
membuat uterus membesar melebihi usia kehamilan. Secara histologi, terjadi
degenerasi hidropik dan edema vili, absennya pembuluh darah vili, dan berbagai
jenis proliferasi dari epitel trofoblas. Pada mola hidatidosa komplit, tidak ada
elemen embrionik, seperti fetus dan amnion. Mola hidatidosa komplit memiliki
insidensi maligna lebih tinggi dibanding parsial.
1


2. Mola Hidatidosa Parsial
Pada mola parsial, terdapat adanya elemen jaringan fetal dan perubahan
mola yang lokal dan tidak berlanjut. Progresifitas pembesaran uterus pada mola
parsialis terjadi lambat pada stroma vili korialis yang avaskular, dimana vili yang
vaskular masih berfungsi dengan baik.
1

Manifestasi Klinis
1. Mola hidatidosa komplit
3,5

- Perdarahan pervaginam pada usia gestasi 6-16 minggu (80-90%), dapat
berupa bercak sedikit, intermiten, ataupun banyak hingga menyebabkan syok
hipovolemik
- Pembesaran uterus melebihi usia gestasi (28%)
- Hiperemesis (8%)
- Hipertensi karena kehamilan pada trimester pertama atau kedua (1%)
12

- Kadar hCG melebihi 100.000 mIU/mL
- Denyut jantung janin tidak ada
- Balooning pada segmen bawah rahim
2. Mola hidatidosa parsial
3

- 90% pasien dengan mola parsial memiliki gejala abortus inkompletus
- Diagnosa didapat setelah pemeriksaan histologis
- Gejala-gejala pada mola hidoatidosa komplit tidak selalu didapat
Diagnosa
1. Anamnesis
5

Adanya keluhan:
- Terlambat haid (amenorea)
- Perdarahan pervaginam
- Perut merasa lebih besar dari lamanya amenorea
- Walaupun perut besar, tidak dirasakan gerakan anak
2. Pemeriksaan ginekologis
5

Ditemukan pada pemeriksaan:
- Uterus lebih besar dari usia gestasi
- Tidak ditemukan tanda pasti kehamilan, seperti denyut jantung janin,
balotemen, atau gerakan anak
3. Pemeriksaan penunjang
5

Laboratorium : Kadar hCG lebih tinggi dari usai gestasi
5

USG : Gambaran vesikuler pada kavum uteri, sehingga tampak
gambaran lubang multipel; tampak gambaran gelembung mola
3,5

Untuk diagnosa pasti, dapat digunakan pemeriksaan patologi, dimana dilakukan
pemeriksaan pada spesimen kuretase. Akan tampak edema stroma vili korialis tanpa
vaskularisasi, hiperplasi sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.
5
Selain itu dapat juga
pewarnaan imunohistologi untuk p57 yang dapat membedakan mola hidatidosa komplit
dan parsialis. Flow cytometry dapat membedakan diploid komplit dan triploid parsial
mola.
3


13

Tatalaksana
Prinsip terapi dari mola terbagi menjadi 4 tahap, yaitu:
1. Perbaiki keadaan umum
2. Evakuasi jaringan
3. Profilaksis
4. Follow up
Setelah diagnosa telah ditegakan, pasien di evaluasi mengenai keadaan umum
(keadaan vital, tes laboratorium seperti tes darah dan foto thoraks) dan komplikasi
lainnya (anemia, preeklamsia, hipertiroid). Kemudian, dilakukan evakuasi jaringan.
Evakuasi jaringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kuret vakum dan histerektomi
totalis. Pada kuretase, sebelumnya diberikan infus dekstrose 5% + uterotonika dan
diberikan narkoleptik: pethidin 50 mg + Valium 5-10 mg IV, baru kemudian dilakukan
tindakan kuretase.
5
Selain itu, terdapat juga tindakan dengan menggunakan suction.
Sebelumnya dianjurkan penggunaan oksitosin secara IV untuk meningkatkan
kontraktilitas uterus, kemudian setelah dilakukan suction, dilanjutkan dengan kuretase.
3

Histerektomi totalis hanya dilakukan untuk golongan resiko tinggi, yaitu usia 35 tahun
dengan jumlah anak cukup. Selain itu, histerektomi dilakukan sebagai profilaksis
terjadinya keganasan uterus dan untuk sterilisasi permanen.
3,5

Profilaksis diberikan Metotrexat (MTX) 20 mg/hari secara IM, diberikan
berbarengan dengan asam folat sebagai antidot MTX, dan Cursil sebagai
hepatoprotektor. Atau dapat juga diberikan Actinomycin D sebanyak 1 flakon/hari
selama 5 hari, tanpa diberikan hepatoprotektor dan antidot.
4
Pemberian profilaksis harus
dibatasi, pada keadaan tertentu, seperti apabila follow-up hCG tidak terkontrol.
3

Kemudian follow-up dilakukan karena 15-20% pasien mola hidatidosa komplit dapat
menjadi keganasan. Kemudian follow up bertujuan untuk melihat apakah proses involusi
berjalan secara normal, baik anatomis, laboratoris maupun fungsional, turunnya kadar
hCG, dan fungsi haid. Kedua, untuk menentukan apakah ada transformasi keganasan.
Follow-up dilakukan selama 1 tahun, dengan 3 bulan pertama diminta kontrol setiap 2
minggu, kemudian 3 bulan selanjutnya setiap 1 bulan, dan 6 bulan terakhir, kontrol
dilakukan setiap 2 bulan.
5

14

BAB III
ANALISIS KASUS

No. Kasus Teori
1. Faktor risiko pasien :
- Hamil pada usia 36 tahun
- Mongoloid
Faktor risiko:
- Umur: < 20 tahun atau > 35 tahun
- Gizi: defisiensi protein, asam folat, histidin,
dan beta-carotene
- Etnik: kaukasian < mongoloid
- Riwayat Obstetri: pernah MH, gemelli
- Genetik: balance translocation
2. Keluhan:
- Terlambat haid (amenorea)
- Perdarahan pervaginam
Keluhan:
- Terlambat haid (amenorea)
- Perdarahan pervaginam
- Perut merasa lebih besar dari lamanya
amenorea
- Walaupun perut besar, tidak dirasakan
gerakan anak
3. Pemeriksaan Fisik:
- TFU: 12 cm pada usia
gestasi 8-9 minggu menurut
HPHT
- DJJ belum dapat ditentukan
- Balotemen (-)
- Gerakan anak belum dapat
ditentukan

Pemeriksaan Fisik:
- Uterus lebih besar dari usia gestasi
- Tidak ditemukan tanda pasti kehamilan,
seperti denyut jantung janin, balotemen,
atau gerakan anak
3. Pemeriksaan Penunjang:
- USG: tampak snow storm
appearance
- Patologi: belum ada hasil
Pemeriksaan Penunjang:
- Laboratorium : kadar hCG lebih tinggi
dari usai gestasi
- USG: gambaran vesikuler pada kavum
15

uteri, sehingga tampak gambaran lubang
multipel; tampak gambaran gelembung
mola
- Patologi: stroma vili korialis tanpa
vaskularisasi, hiperplasi sel sitotrofoblas
dan sinsitiotrofoblas
4. Tatalaksana:
1. Perbaiki keadaan umum:
pantau keadaan vital,
pemberian Whole blood,
foto thoraks
2. Histerektomi
3. Pemberian MTX tidak
dilakukan untuk profilaksis
Tatalaksana:
5. Perbaiki keadaan umum: keadaan vital, tes
laboratorium seperti tes darah dan foto
thoraks
6. Evakuasi jaringan: kuretase dan
histerektomi
7. Profilaksis
8. Follow up



























16



DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, et al.Gestational Trophoblastic
Disease Williams Obstetrics 23
rd
Edition. 2010. McGrawhill: New York. 257-
65.
2. Seckl MJ, Sebire NJ, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic disease. Lancet.
2010; 376: 717- 29.
3. Lurian JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical
presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and management
of hydratidiform mole. Am J Obs Gyn. 2010; 531-9.
4. Martaadisoebrata D. Mola Hidatidosa. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit
Trofoblas Gestasional. 2004. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 7-41.

You might also like