Epidemiologi infeksi aliran darah pada pasien dengan leukemia mieloid akut yang
menjalani profilaksis levofloksasin
Abstrak Latar belakang: Infeksi merupakan penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan leukemia mieloid akut (AML). Bukti atas keefektifan antibiotik profilaksis dalam mengurangi tingkat mortalitas dan insidens infeksi bakteri juga dilaporkan dalam tinjauan sistematis yang diterbitkan Cochrane pada tahun 2012. Tujuan penelitian kami adalah melaporkan insidens dan etiologi infeksi aliran darah pada pasien dengan AML yang menjalani profilaksis levofloksasin saat episode neutropenia.
Cara Kerja: Ini merupakan penelitian retrospektif pada pasien dengan diagnosis AML selama tahun 2001-2007.
Hasil: Sebanyak 81 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Dipelajari 291 episode neutropenia, dimana 181 darinya dalam keadaan febril. Bakteri yang diisolasi dari kultur darah umumnya adalah bakteri Gram positif saat tahap induksi (80%) dan Gram negatif saat tahap konsolidasi (72,4%) dalam kemoterapi. Resistensi terhadap ciprofloksasin ditemukan pada 78,9% E.coli yang diisolasi dan ini lebih tinggi saat konsolidasi serta lebih tinggi daripada tingkat rumah sakit. Produksi extended spectrum betalactamase (ESBL) pada strain E.coli dilaporkan sebesar 12,1%, di bawah tingkat rumah sakit yang dilaporkan selama periode penelitian.
Kesimpulan: Pengawasan mikrobiologi secara rutin dibutuhkan untuk lebih memahami pengaruh profilaksis levofloksasin pada pasien neutropenia. Penelitian kami menunjukkan bahwa bakteri Gram positif merupakan bakteri predominan saat fase induksi dan Gram negatif saat fase konsolidasi dalam kemoterapi. Tingkat resistensi fluoroquinolone di fase konsolidasi, yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat rumah sakit, dapat menjadi pertimbangan ulang dalam pemberian profilaksis levofloksasin.
Latar belakang Leukemia mieloid akut (AML) adalah leukemia akut yang paling umum pada orang dewasa. Perawatan standarnya dibagi menjadi fase induksi dengan anthracycline dan cytarabine dan terapi konsolidasi yang meliputi siklus kemoterapi atau transplantasi sel punca. Tingkat kelangsungan hidup dipengaruhi oleh pencegahan dan penanganan komplikasi infeksius. Infeksi adalah penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan AML. Pemeriksaan resiko infeksi pada pasien neutropenia menurut panduan IDSA dibagi menjadi resiko tinggi (neutropenia jangka panjang, >7 hari; jumlah neutrofil 100/mm 3 ; komorbiditas signifikan yang bersamaan; tidak stabil secara klinis) dan resiko rendah (neutropenia diperkirakan sembuh dalam 7 hari, tidak ada komorbiditas medis aktif, stabilitas klinis saat onset episode febril; sebagian besar dari mereka adalah pasien dengan tumor solid yang menerima terapi konvensional). Profilaksis levofloksasin saat neutropenia untuk pasien beresiko tinggi telah diperlihatkan efektif untuk mencegah semua peristiwa yang berkaitan dengan infeksi menurut penelitian yang dipublikasikan tahun 2005 oleh kelompok GIMEMA dan dikonfirmasi oleh tinjauan sistematis Cochrane pada tahun 2012. Walau demikian terapi antijamur empiris dan penelitian untuk infeksi jamur invasif harus dipertimbangkan bagi pasien dengan demam yang persisten atau rekuren setelah 4-7 hari antibiotik dan yang durasi neutropenianya diperkirakan > 7 hari. Perawatan antijamur preventif dapat diterima sebagai suatu alternatif terhadap terapi antijamur empiris dalam kelompok pasien neutropenia yang beresiko tinggi. Tujuan utama penelitian ini adalah melaporkan insidens demam dan infeksi bakteri atau jamur yang terbukti secara klinis atau mikrobiologis saat episode neutropenia pada pasien dengan AML yang menjalani profilaksis levofloksasin. Perhatian utama kami adalah pada infeksi aliran darah.
Cara kerja Analisis retrospektif ini dilakukan di Departemen Hematologi 2, Rumah Sakit San Giovanni Battista di Turin antara Juni 2001 dan Desember 2007. Persetujuan komite etika tidak diperlukan karena penelitian bersifat retrospektif dan diloloskan dengan persetujuan dari Badan Medis Rumah Sakit untuk pasien yang diberikan profilaksis dengan levofloksasin sebelum tahun 2006. Mulai tahun 2006, pasien dewasa berurutan dengan AML dilibatkan secara prospektif dalam penelitian AML 02/06 multi-center (EudraCT nomor 2006-003817-429) oleh pusat perawatan kami, yang tergabung ke Northern Italy Leukaemia Group (NILG) dan disetujui oleh Komite Etika. Semua pasien yang terlibat dirawat dengan kemoterapi ICE induksi standar diikuti oleh terapi pasca-remisi melalui siklus konsolidasi berulang dengan cytarabine dosis tinggi (HDAraC) ditambah dukungan sel progenitor periferal. Setiap pasien menandatangani persetujuan untuk terlibat dalam penelitian dan untuk menerima kemoterapi, terapi anti-infeksi dan nutrisi. Seperti yang dijelaskan dalam protokol, semua pasien menerima profilaksis antibiotik dengan levofloksasin oral dosis 500 mg/die, yang diberikan saat fase induksi mulai dari awal perawatan-inap hingga pemulihan jumlah neutrofil darah lebih dari 1000/ul, setelah kemoterapi. Dalam siklus kemoterapi selanjutnya levofloksasin dalam dosis sama diberikan dari hari pertama setelah kemoterapi berakhir hingga pemulihan jumlah neutrofil darah di atas 1000/ul. Profilaksis antijamur diberikan kepada semua pasien dengan itraconazole oral 200 mg dua kali sehari. Pada pasien dengan neutropenia ( 500/mm3) dan demam (didefenisikan sebagai suhu eksternal 38C) dilakukan penelitian diagnostik baseline berikut: ronsen paru, kultur darah, kultur sputum dan urin, antigen galactomannan serum, antigen urin Streptococcus pneumoniae dan Legionella spp. Perawatan empiris, berdasarkan rekomendasi internasional pada saat itu, dapat bervariasi antara pusat perawatan, menurut epidemiologi lokal. Pasien febril neutropenia dirawat melalui terapi antibiotik empiris dengan piperacillin-tazobactam atau meropenem. Vancomycin dan/atau amikacin ditambahkan bila demam dianggap terkomplikasi, seperti kemungkinan infeksi yang berkaitan dengan kateter intravaskuler, kolonisasi MRSA, hipotensi dan/atau kegagalan organ. Data yang dikumpulkan meliputi demografi, keberadaan dan karakteristik kateter vena sentral (tipe, daerah, insersi dan pelepasan), durasi antibiotik profilaksis yang diterima, deskripsi atas episode febril (durasi, jumlah neutrofil awal, tekanan darah, SO 2 %, pernafasan, suhu tubuh), jenis dan durasi antibiotik, hasil penelitian (ronsen paru dan CT scan, ultrasonografi, CT scan otak) dan tes mikrobiologi (daerah infeksi, bahan yang dianalisa, isolasi mikroorganisme). Data dimasukkan ke basis data elektronik dan dianalisa dengan Microsoft Excel. Analisis statistik dilakukan dengan program STATA 11 (Stata Corporation, AS). Uji chi square digunakan untuk variabel kategoris. Variabel kontinu diperbandingkan melalui uji t Student jika terdistribusi secara normal dan uji U Mann-Whitney jika tidak terdistribusi secara normal. Semua nilai p two sided, nilai p < 0,05 dianggap signifikan. Nilai untuk variabel kontinu disajikan sebagai rata-rata SD dan variabel kategoris sebagai median (IQR) atau persentase kelompok asalnya.
Hasil Sebanyak 81 pasien dengan diagnosis AML diamati selama periode penelitian (46 pria dan 35 wanita). Median usia adalah 49,7 11,4 tahun (kisaran 23-69 tahun). Ada 291 episode neutropenik, 81 (27,8%) saat fase induksi dan 210 (72,2%) saat fase konsolidasi; demam tercatat pada 181 episode, 69 saat siklus induksi (85,2%) dan 112 (53,4%) saat siklus konsolidasi. Dari 112 episode tersebut, 32 (28,6%) terjadi saat siklus kedua; 25 (22,3%), 27 (24,1%), 17 (15,2%) dan 11 (9,8%) masing-masing saat siklus konsolidasi ketiga, keempat, kelima dan keenam. Karakteristik dilaporkan di Tabel 1. Rata-rata durasi neutropenia adalah 14 (kisaran 13-19) hari untuk fase induksi (ICE), 7 (kisaran 5-11) dan 5 (kisaran 4-7) hari untuk siklus konsolidasi kedua dan ketiga. Median durasi neutropenia setelah transplantasi sel punca perifer adalah 12 hari. Median jumlah hari demam secara signifikan lebih tinggi di fase induksi kemoterapi daripada konsolidasi (9 vs 4 hari, p<0,001). Semua pasien membawa kateter vena sentral Hohn dalam fase induksi maupun konsolidasi. Sebanyak 24 pasien menjalani transplantasi alogenik (29,6%). Pada 26 pasien (32,1%), citarabine dosis tinggi diikuti oleh transplantasi sel punca periferal (didahului oleh penyelamatan sel progenitor darah perifer). Pneumonia (termasuk jamur) merupakan manifestasi klinis yang paling umum: saat kemoterapi induksi pada 69 pasien dengan demam (19 kasus; 27,5%) dan saat kemoterapi konsolidasi pada 112 episode neutropenia febril (12 kasus; 10,7%). Piperacillin/tazobactam diadministrasikan terutama sebagai perawatan empiris, diikuti oleh meropenen atau ceftazidime dalam hubungan dengan amikacin; vancomycin ditambahkan secara empiris di 21, 11 dan 4 kasus. Resolusi demam saat kemoterapi induksi diamati pada 47,6% pasien yang dirawat dengan piperacillin/tazobactam, pada 42,9% pasien dengan ceftazidime dan amikacin, dan 40% dengan meropenem. Tingkat keberhasilan klinis yang lebih tinggi (hilangnya demam atau resolusi manifestasi klinis) dilaporkan saat fase konsolidasi pada 91,7% pasien yang dirawat dengan meropenem, 88,9% yang dirawat dengan meropenem dan glicopeptide, 75% dengan ceftraixone dan pada 68,7% dari pasien yang menerima ceftazidime dan amikacin. Durasi neutropenia yang lebih rendah saat konsolidasi mungkin menjelaskan tingkat penyembuhan demam yang lebih tinggi pada fase konsolidasi dibandingkan fase induksi (79,5% versus 52,2%; p=0,00018). Di antara episode neutropenik febril, 29% berhubungan dengan bakterimia saat induksi (20 kultur darah positif untuk bakteri pada 69 episode neutropenik febril) dan 51% saat fase konsolidasi (59 kultur darah positif untuk bakteri pada 112 episode neutropeni febril). Di antara berbagai isolat aliran darahn, semua Staphylococci koagulase-negatif bersifat resisten terhadap methicillin dan resisten terhadap fluoroquinoline. Isolat Enterococcus faecalis resisten terhadap ampicillin namun sensitif terhadap vancomycin dan teicoplanin. Di antara Entercoccus faecium, vancomycin dan teicoplanin bersifat aktif secara in vitro terhadap dua dari tiga isolat (66,6%). Resistensi terhadap fluoroquinolin juga penuh terhadap strain Corynebacterium spp dan 78% pada Escherichia coli, yang merupakan produsen ESBL pada 12,1% kasus (N=4), semuanya di fase konsolidasi. Temuan utama dari penelitian ini adalah isolat aliran darah didominasi oleh bakteri Gram positif, 80% vs 27,6% (16 kasus dari 20 vs 17 kasus dari 59) atau oleh Gram negatif, 20% vs 72,4% (4 kasus dari 20 dan 42 kasus dari 59) saat fase induksi atau konsolidasi (p<0,001) (Tabel 2). Ada 10 kasus infeksi jamur, semuanya kecuali satu terjadi saat fase induksi (2 kemungkinan kecil, 3 kemungkinan besar dan 5 terbukti). Aspergillosis pulmoner invasif yang terbukti didiagnosa di empat kasus. Selama penelitian enam pasien meninggal (7,4%): empat dengan penyakit jamur invasif, satu dengan Legionella pneumonia dan penyakit refraktori, dan satu dengan penyakit refraktori tanpa tanda infeksi.
Pembahasan Profilaksis episode febril melalui levofloksasin pada pasien neutropenia telah diperlihatkan bersifat efektif dalam penelitian GIMEMA tahun 2005. Di artikel yang sama para penulisnya juga menekankan kebutuhan pengawasan atas kemungkinan perkembangan resistensi antibiotik. Dalam tahun-tahun berikutnya panduan IDSA maupun tinjauan Cochrane dari 109 uji klinis acak mengkonfirmasi manfaat profilaksis levofloksasin pada populasi pasien terseleksi dengan penyakit oncohaematologi. Dalam penelitian ini kami secara retrospektif mengevaluasi episode neutropeni pada pasien dengan AML yang menerima profilaksis levofloksasin. Kami menemukan prevalensi bakteri Gram positif yang signifikan secara statistik saat kemoterapi induksi dan Gram negatif saat fase konsolidasi. Pemakaian levofloksasin profilaksis di setiap siklus kemoterapi mungkin memiliki peranan dalam pemilihan strain yang terisolasi, seperti yang dikemukakan Bucaneve dkk dalam artikelnya. Tinjauan sistematis baru-baru ini terhadap RCT dan quasi-RCT oleh Cochrane pada 2012 menunjukkan bahwa profilaksis levofloksasin secara signifikan mengurangi mortalitas segala-penyebab dan mortalitas yang berkaitan dengan infeksi, dibandingkan terhadap plasebo dan juga secara signifikan mengurangi episode febril. Menurut hasil tersebut, profilaksis quinolone tidak meningkatkan insidens bakteremia Gram positif dan yang lebih penting lagi, tidak ada perbedaan signifikan pada jumlah pasien yang mengalami infeksi akibat organisme yang resisten terhadap quinolone. Spektrum pencakupan dari fluoroquinolone mungkin bertanggung jawab atas insidens bakteremia Gram negatif yang lebih rendah pada fase induksi dalam penelitian kami, dimana isolasi bakteri Gram positif dapat dijelaskan oleh keefektifan sebagian dari regimen profilaksis, kecuali strain resisten multi-obat. Prevalensi Gram negatif yang secara signifikan lebih tinggi saat fase konsolidasi dapat dijelaskan oleh administrasi profilaksis levofloksasin sebelumnya, karena 73,7% Gram negatif resisten terhadap fluoroquinolone (78,9% E.coli resisten terhadap ciprofloksasin), membentuk 59,6% dari total jumlah Gram positif dan Gram negatif. Di fase induksi bakteri Gram negatif yang resisten terhadap fluoroquinolone hanya mencakup 15,4% dari total jumlah bakteri. Tentunya kita tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa perbedaan etiologi dapat disebabkan oleh faktor lain seperti komorbiditas dan perawatan di rumah sakit. Walau demikian saat periode penelitian terdapat tingkat resistensi fluoroquinolone yang lebih rendah di antara isolat E.coli aliran darah di rumah sakit (29-38%) dan hanya ada sedikit kasus infeksi aliran darah yang disebabkan oleh E.coli produsen ESBL, dengan resistensi terhadap fluoroquinolone pada 76,3% strain. Pada pasien yang menjalani transplan alogenik dan profilaksis levofloksasin, staphylococci koagulase negatif merupakan patogen Gram positif yang paling umum diisolasi dan E.coli merupakan bakteri Gram negatif yang paling umum diisolasi. Resistensi terhadap fluoroquinolone adalah 87% di antara isolat Gram positif dan 50% di antara bakteri batang Gram negatif. Masalah bertambahnya tingkat resistensi fluoroquinolone dan produksi ESBL oleh Gram negatif mungkin membutuhkan perhatian khusus bahkan pada perawatan rumah sakit di populasi pasien terseleksi dimana skor resiko klinis mungkin berguna. Akan tetapi karena demam menghilang lebih cepat saat fase konsolidasi kemoterapi, akibat pengurangan durasi neutropenia bersama dengan kemungkinan efek dari perawatan antibiotik empiris, administrasi profilaksis levofloksasin dapat dibahas di bawah pertimbangan epidemiologi lokal, khususnya ketika administrasi multipel atau jangka panjang diperkirakan.
Kesimpulan Profilaksis fluoroquinolone seringkali digunakan di seluruh dunia pada pasien neutropenia beresiko tinggi. Walau demikian hanya sedikit laporan yang telah mempelajari tingkat resistensi antara isolat Gram positif dan Gram negatif dalam aliran darah saat fase induksi dan konsolidasi. Dalam penelitian kami tingkat dan resistensi Gram negatif secara signifikan lebih tinggi saat fase konsolidasi, dimana durasi neutropenia lebih rendah dan resolusi demam setelah perawatan antibiotik empiris lebih tinggi. Jika data tersebut dikonfirmasi, profilaksis levofloksasin mungkin setidaknya akan diberikan lebih sedikit saat kemoterapi konsolidasi. Pengawasan secara kontinu atas resistensi fluoroquinolone pada bakteri Gram negatif dibutuhkan untuk mempertahankan efektifitas levofloksasin profilaksis.