Jakarta (ANTARA News) - Penelitian mengenai anomali gelombang elektromagnetik (EM)
berkaitan dengan terjadinya gempa semakin dilirik para ilmuwan geologi dan geofisika, meskipun ramalan gempa dengan metode ini belum bisa diterima sebagai suatu metode ilmiah.
"Tapi sebenarnya sejak 15 tahun penelitian intensif tentang seismo-electromagnetics ini sudah dilakukan di banyak negara seperti Jepang, Rusia, Taiwan, China, Yunani, Perancis, Itali, India, Meksiko dan AS, hanya kemajuannya lambat," kata pakar geofisika LIPI dari Puslit Geoteknologi LIPI Dr. Djedi S. Widarto yang dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Bahkan, lanjut dia, Perancis pada Juni 2004 telah meluncurkan satelit observasi seismo- electromagnetic (Demeter) atas dasar fakta bahwa gangguan elektromagnetik dan ionosfer berkaitan dengan terjadinya gempa seringkali teramati.
Menurut dia, kemunculan anomali medan elektromagnetik itu diduga berkaitan dengan persiapan pelepasan energi gempa, yang biasanya antara 20-30 hari untuk sensor pemantauan di daratan.
"Tetapi, untuk sensor di satelit, anomali medan elektromagnetik di ionosfer terjadi umumnya antara 3-6 hari sebelum terjadi gempa," katanya.
Dengan kata lain, pada medan elektromagnetik frekuensi ultra rendah (very-low frequency), anomali muncul 20-30 hari sebelum gempa dan untuk medan EM frekuensi tinggi (very-high frequency), kemunculan anomali itu 3-6 hari sebelum gempa terjadi.
Namun untuk disebut bahwa anomali gelombang EM bisa dipakai untuk meramal gempa, menurut dia, terlalu jauh, karena masih harus diuji berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.
Menurut dia, kesuksesan di suatu wilayah tertentu, belum tentu dapat diperoleh di tempat lainnya karena kondisi geologi dengan proses dinamikanya berbeda-beda di setiap wilayah.
"Itulah mengapa sangat penting penelitian yang berkontribusi pada pemecahan dan bagaimana mekanisme fenomena seismo-EM dengan menganalisis data gangguan geomagnetik, geoelektrik, dan ionosfer pada satelit Demeter ini," katanya.
Apa lagi, lanjut dia, Indonesia sebagai negara yang berada di perbatasan lempeng-lempeng Indoaustralia, Eurasia dan Indopasifik sangat rawan terhadap kehancuran akibat gempa.
Karena itulah LIPI dan Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) akan menggelar International Workshop on Seismo-Electromagnetic Phenomena (IWSEP) di Bandung, 6-8 November 2007 yang akan membahas mengenai kemajuan dalam bidang seismo-EM di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Ini juga melibatkan tidak saja ilmuwan geofisika padat (solid earth geophysics), tetapi juga ahli fisika, matematika statistik, dan ilmu-ilmu bahan, serta ilmuwan sains fisika antariksa (space physics ), kata Chairman IWSEP 2007 itu.
Para ahli yang akan berbicara pada workshop tersebut antara lain, Dr. Katsumi Hattori dari Chiba University, Jepang, Jann-Yenq Liu dari National Central University, Taiwan, Dr. Jaques Zlotnicki dari CNRS Perancis, Dr. Birbal Singh dari India, Dr. Dimitar Ouzounov dari Rusia, dan lain-lain. (*) Editor: Bambang