You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari
sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak
merupakan penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik oleh negara.
Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh
Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.Dari
tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan
penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat
dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peraturan
perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan
wajib pajak maupun menggali sumber hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang
dilakukan belum menunjukkan perubahan yang signifikan bagi penerimaan Negara.
Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis
ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan
di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar
berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan
berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.namun dalam hal ini masih saja
banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti
lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini
bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat
merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak
yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan
aparat penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan
keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak
bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak. Dalam hal ini saya
akan membahas mengenai salah kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT
Asian Agri Group yang telah terungkap namun belum jelas mengenai tuntutan
hukum dan proses peradilan bagi tersangkanya.


RUMUSAN MASALAH

1.Siapakah Pemilik dari PT.Asian Agri Group ?
2.Berapakah Kerugian Negara yang di Derita Akibat dari Penggelapan Pajak yang
dilakukan Oleh PT Asian Agri Group ?
3.Bagaimana Awal Mula Kasus Penggelapan Pajak yang dilakukan Oleh PT
Asian Agri Group hingga Bisa Terbongkar dan Diketahui Oleh Negara ?
4.Bagaimana Penyelesaian dalam kasus ini ?






BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat
perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di
antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL),
Indorayon, PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT
AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina,
Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak
sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak
sawit mentah selain tiga pabrik minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG yang mengetahui seluk-
beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan
ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur
ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut.
Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan
wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia
menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1
Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan
keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data
digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales), disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah
harga pasar untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi.
Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah
perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan
menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak karena memang
permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal
tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus
yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung.
Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan termasuk
penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa),
ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak
penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga "bahwa dalam
tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi.
Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun.
mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan
Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak
penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian
Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir
menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara
hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN,
EL, LBH, dan SL.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari
pemberitaan investigatif Tempo baik koran maupun majalah dan pengungkapan
dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut
tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan
sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih
memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan
tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang
pencucian uang karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba
mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun
penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra
wartawan Tempo disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di
kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya
dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara
pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang
komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG yang
menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus penggelapan pajak
tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI yang
melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG menyimpulkan bahwa pers
(pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara
etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk
memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya
merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian
ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang
yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya.
Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan
intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum baik perdata maupun
pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria
Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang
dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam
pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan penggelapan pajak
oleh PT AAG.











BAB III
PROSES PENYELESAIAN KASUS

Majelis kasasi menghukum Manajer Perpajakan PT Asian Agri, Suwir Laut dengan
hukuman penjara selama dua tahun dengan masa percobaan tiga tahun. Dalam
putusannya, majelis kasasi juga mencantumkan syarat khusus yakni dalam jangka
waktu satu tahun, 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group
diharuskan membayar 2 kali pajak terhutang Rp1.259.977.695.652, sehingga
totalnya sekitar Rp2,519 triliun.

Putusan itu sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang
menguatkan putusan PN Jakarta Pusat, tutur Kepala Biro Hukum dan Humas MA,
Ridwan Mansyur di Gedung MA, Jumat (28/12).

Putusan kasasi bernomor 2239 K/PID.SUS/2012 ini diputus oleh majelis hakim yang
diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota masing-masing Prof Komariah E
Sapardjaja dan Sri Murwahyuni.

Ridwan mengatakan Suwir Laut alias Lie Che Sui terbukti secara sah melakukan
tindak pidana menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap secara berlanjut. Perbuatan itu mengakibatkan
negara rugi sekitar Rp1,259 triliun.

Perbuatan terdakwa memasukkan data yang tidak sebenarnya (palsu) melanggar
prinsip pemungutan pajak (self assesment system), wajib pajak menghitung atau
menyetor dan melaporkan hutang pajaknya sendiri, jelas Ridwan.

Menurut Ridwan, putusan ini cukup menarik karena walaupun penggelapan pajak
biasanya dianggap sebagai administration penal (pidana administratif). Namun,
majelis kasasi langsung menjatuhkan sanksi pidana yang seharusnya sifatnya
ultimum remedium (upaya terakhir).

Bisa dikatakan perkara kejahatan pajak yang dilakukan eks manager pajak PT
Asian Agri itu merupakan terobosan baru dalam hukum, kata Ridwan.

Awalnya, Suwir didakwa telah melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c jo Pasal 43 ayat
(1) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan UU No 16 Tahun 2000
tentang Tata Cara Prosedur Pembayaran Pajak jo Pasal 64 KUHP untuk dakwaan
primer. Atau melanggar Pasal 38 huruf b jo Pasal 43 ayat (1) UU No 16 Tahun 2000
jo Pasal 64 KUHP sebagai dakwaan subsider.

Terdakwa didakwa telah memanipulasi Surat Pemberitahuan Laporan Pajak Tahun
(SPT) Asian Agri Group dalam kurun waktu 2002-2005. Suwir diduga mengubah
dokumen pada beberapa pendapatan anak perusahaan (fiktif). Dengan begitu,
keuntungan Asian Agri berkurang, sehingga pembayaran pajak mereka pun menjadi
ikut berkurang.

Akibatnya, pendapatan negara dirugikan sekitar Rp1,25 triliun. Rinciannya: tahun
2002 sebesar Rp301,4 miliar, 2003 sebesar Rp309,6 miliar, 2004 sebesar Rp358,7
miliar, dan tahun 2005 sebesar Rp280,4 miliar. Kasus ini juga telah menyeret tujuh
orang direktur dan tiga orang staf Ditjen Pajak.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Martin Ponto
Bidara justru membebaskan Suwir Laut pada 15 Maret 2012 lalu. Putusan itu
dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 23 Juli 2012. Tak puas
dengan vonis bebas itu, jaksa mengajukan kasasi

Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax
evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara
senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini
sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas
teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat
kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara
justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.

Celah Keluar dari Pengadilan
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan
dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada
celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di
pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court
settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa
atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan.
Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah
melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif
berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak
pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis
tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk Perlawanan Pasif
terhadap Pajak, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai
niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan
tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku
untuk Perlawanan Aktif terhadap Pajak yang perbuatannya dilakukan lewat cara-
cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski
masuk kategori Perlawanan Aktif terhadap Pajak sekalipun tetap dapat
diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung
pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan
dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.

Tidak Hanya Urusan Pajak
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-
satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group.
Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana
pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian
Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana
pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri
sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara
untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari
kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi
salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar
dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar
negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Modus semacam itu
memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga
diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi
keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro
TV, 8/1/2008). Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group
semakin didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi
wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui
perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke
afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu
perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan
pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan
hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile transaksi keuangan yang
tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti
permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana
pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga
tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Penempatan (placement) yang dimulai
dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara
lain.

Berujung di Pengadilan
Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak
pidana pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk
menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik dapat
melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana
pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar. Akhirnya,
lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi catatan lembaga
legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan
tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan jelas
tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita bersama terhadap filosofi
pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak
diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga
negara di hadapan hukum.












BAB IV
ANALISA DAN PENDAPAT DARI BEBERAPA SUMBER

Judul : Pakar Hukum Ingatkan Kejagung Hati-hati Eksekusi Asian Agri
Tanggal :12-11-2013 09:37
Media :Bisnis.com
Jurnalis : Ismail Fahmi
Page/URL : http://news.bisnis.com/read/20131112/16/185838/pakar-hukum-
ingatkan-kejagung-hati-hati-eksekusi-asian-agri
Bisnis.com, JAKARTAPakar hukum mengingatkan Kejagung agar berhati-hati
dalam mengeksekusi aset Asian Agri Group (AAG), menyusul pemblokiran tanah
dan bangunan milik kelompok usaha itu di sejumlah tempat pascaputusan
Mahkamah Agung.
Aset berupa tanah dan bangunan sudah diblokir, kata Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Mahfud Manan, Senin (11/11/2013) sore.
Jaksa Agung Basrief Arief sebelumnya menyatakan akan tetap mengeksekusi aset
14 perusahaan kelapa sawit yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG), setelah
diputus oleh MA bersalah atas kasus pajak senilai Rp2,5 triliun.
Tapi, pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, mengingatkan Kejagung agar
mempertimbangkan beberapa hal supaya proses eksekusi asset AAG tidak menjadi
perbuatan melawan hukum.
Menurut Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran ini, Kejagung perlu meminta
MA mempercepat proses peninjauan kembali (PK) kasus AAG karena ada masalah
di sana.
Ia menyebutkan dari 14 perusahaan AAG, ada delapan perusahaan yang telah
diputus oleh Pengadilan Pajak yang sifatnya final dan mengikat. Ini harus
dipertimbangkan agar tidak salah mengeksekusi dan menimbulkan persoalan baru di
kemudian hari.
Romli berpendapat eksekusi memang dimungkinkan, tetapi akan menjadi persoalan
jika putusan PK nantinya berbeda dengan kasasi karena sita aset telah dilakukan.
Sambil menunggu proses PK, tambahnya, Kejagung sebenarnya bisa meneliti aset-
aset milik AAG agar tidak bermasalah.
Perlu pertimbangan matang ketika melakukan sita aset korporasi karena berbeda
dengan pidana badan, tegasnya.
Sementara itu General Manager PT Asian Agri Freddy Widjaya menyatakan secara
hukum, Asian Agri bukan pihak yang terkait dalam perkara Suwir Laut. Asian Agri,
katanya, tidak pernah diperiksa, tidak pernah diadili maupun diberi kesempatan
untuk membela diri di muka pengadilan. Namun dikaitkan sebagai syarat khusus
dalam putusan Suwir Laut tersebut.
Asian agri yang saat ini mempekerjakan 25.000 orang dan membina 29.000
keluarga petani plasma, tetap melakukan kegiatan operasional sebagaimana
mestinya, tutur Freddy. (Antara)
Judul : Eksekusi Dinilai Butuh Pertimbangan Matang
Tanggal : 2013-11-12 05:50
Media : Metrotvnews
Jurnalis : Edwin Tirani
Page/URL : http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/11
/5/193850 /-Eksekusi- Dinilai- Butuh-Pertimbangan-Matang
Metrotvnews.com, Jakarta: Pakar hukum mengingatkan Kejagung agar berhati-hati
dalam pelaksanaan proses eksekusi sebagaimana Kejaksaan Agung berencana
akan mengeksekusi 14 perusahaan dalam kelompok Asian Agri pada Februari 2014.
Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita meminta Kejagung mempertimbangkan
beberapa hal agar proses eksekusi itu tidak menjadi perbuatan melawan hukum.
Guru Besar Emeritus dari Universitas Padjadjaran ini meminta Kejagung mendesak
Mahkamah Agung (MA) untuk mempercepat proses peninjauan kembali (PK) karena
ada masalah di sana.
Ia menyebutkan dari 14 perusahaan, ada delapan perusahaan yang telah diputus
oleh Pengadilan Pajak yang sifatnya final dan mengikat. Ini harus dipertimbangkan
agar tidak salah mengeksekusi dan menimbulkan persoalan baru di kemudian hari,
kata Romli Senin (11/11).
Romli berpendapat eksekusi memang dimungkinkan, tetapi akan menjadi persoalan
jika putusan PK nantinya berbeda dengan kasasi karena sita aset telah dilakukan.
Sambil menunggu proses PK, tambahnya, Kejagung sebenarnya bisa meneliti aset-
aset milik perusahaan itu agar tidak bermasalah di kemudian hari. Perlu
pertimbangan matang ketika melakukan sita aset korporasi karena berbeda dengan
pidana badan, katanya menambahkan.
Sementara itu General Manager PT Asian Agri Freddy Widjaya menyatakan secara
hukum, Asian Agri bukan pihak dalam perkara Bapak Suwir Laut. Asian Agri tidak
pernah diperiksa, tidak pernah diadili maupun diberi kesempatan untuk membela diri
di muka pengadilan namun dikaitkan sebagai syarat khusus dalam putusan Suwir
Laut tersebut.
Asian agri yang saat ini mempekerjakan 25.000 orang dan membina 29.000
keluarga petani plasma, tetap melakukan kegiatan operasional sebagaimana
mestinya, ujar Freddy.
Seperti diketahui, putusan MA menuntut Suwir Laut dengan hukuman 2 tahun
penjara dengan masa percobaan 3 tahun dan memerintahkan 14 perusahaan dalam
Asian Agri Group untuk membayar ganti rugi sebesar Rp2,5 triliun atau setara dua
kali lipat pajak yang dituduhkan tidak dilaporkan dengan benar.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, disaat
negara membutuhkan peran partisipasi swasta/ pengusaha terutama saat kita butuh
investor ataupun devisa, pemerintah seharusnya bersikap bijak dan hati-hati.
Termasuk dalam mengambil sikap dan pernyataan, khususnya kasus pajak seperti
Asian Agri yang masih ada proses keberatan dan banding pajak. Jangan sampai
para investor jadi tidak nyaman atau ketakutan karena ketidapastian berusaha,
jelasnya.
Sofjan mengingatkan, pemerintah juga tidak bisa seenaknya melakukan tekanan
dengan ancaman akan membekukan aset anak perusahaan ketika ada persoalan
pajak. AAG sudah memenuhi sebagian kewajibannya, namun tetap ada tekanan
untuk membekukan aset perusahaan, kata Sofjan.
Menurut Sofjan, pengusaha mempunyai peran penting karena membuka peluang
kerja dan memberi kontribusi bagi perekonomian di Indonesia. Jadi tidak bisa
seenaknya langsung mengancam untuk membekukan aset anak perusahaan karena
ada ribuan tenaga kerja di dalamnya, tuturnya.
Pemerintah, kata Sofjan, harus memahami bahwa masalah yang dihadapi dunia
usaha tidak ringan. Dunia usaha apalagi perusahaan-perusahaan besar pastinya
mempunyai komitmen untuk melakukan usahanya secara benar,kata Sofjan.
Judul : Romli: Kasus Asian Agri Masuk Ranah Administrasi
Tanggal : 2013-10-28 13:41
Media : Investor.co.id
Jurnalis : hrb
Page/URL : http://www.investor.co.id/national/romli-kasus-asian-agri-masuk-
ranah-administrasi/71509
JAKARTA Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menilai kasus yang menimpa
PT Asian Agri (AA) merupakan administrasi pajak karena masalahnya berawal dari
sengketa pajak.
Tidak benar, kalau menyebut kasus ini sebagai pidana pajak karena Dirjen Pajak
tidak pernah memeriksa SPT Asian Agri, katanya dalam siaran pers yang diterima
di Jakarta , Minggu.
Selain itu, lanjutnya, jika hal itu merupakan pidana pajak, kedua belah pihak
seharusnya diperiksa, artinya sudah dapat dipastikan ada oknum pajak yang terlibat.
Hingga kini tidak ada oknum pajak yang diperiksa dalam kasus tersebut, katanya.
Romli mengungkapkan, masih banyak persoalan yang mengganjal dalam keputusan
tersebut, misalnya, pengadilan mendakwa perusahaaan bersalah tanpa
mengadilinya, sehingga ada kesan keputusan MA lebih merupakan opini daripada
produk hukum.
Mereka mengganggap karena perusahaan memperoleh keuntungan dari tindakan
hukum yang dilakukan Suwir Laut dan langsung memutuskan perusahaan bersalah,
katanya.
Padahal, menurut dia, dalam UU Perseroan Terbatas (PT), sanksi hukum terhadap
korporasi hanya bisa dilakukan jika pelanggaran dilakukan Dewan Komisaris.
Suwir Laut hanya pegawai dan bukan dewan komisaris. UU PT juga tidak
menyebutkan tanggung jawab perdata tidak menimbulkan pidana, kata dia.
Sekali lagi, kata Romli, putusan tersebut, hanya ingin mengesankan bahwa Dirjen
Pajak telah bekerja keras untuk memperoleh pendapatan negara, namun
mengindahkan aturan hukum yang ada.
Putusan ganjil lain, tambahnya, adalah sanksi terhadap 8 perusahaan dalam
kelompok Asian Agri yang telah diadili.
Ini membingungkan. Apakah keputusan ini merupakan terobosan hukum atau
pelanggaran karena keputusannya begitu progesif dengan semangatnya hanya
untuk menghukum korporasi, katanya.
Menurut Romli, jika semangat ini dibiarkan, setiap perusahaan punya potensi untuk
dibenturkan dengan hukum dan dunia usaha semakin tidak mempunyai kepastian
hukum.
Romli mengingatkan, bahwa UU pajak sebagai produk hokum perlu diharmonisasi
dengan melibatkan praktisi hukum. Banyak kelemahan dalam UU pajak karena
disusun oleh pegawai pajak dan Kadin, tanpa melibatkan praktisi hukum sehingga
bias.
Sebagai produk hukum, seharusnya UU Pajak harus tegas, pasti serta tidak
multitafsir, katanya.
Pendapat senada diungkapkan pengamat pajak, Yustinus Prastowo, bahwa UU
pajak harus mendukung kepatuhan Wajib Pajak (WP) untuk mengumpulkan
penerimaan negara.
Sanksi pidana merupakan upaya terakhir, jika seluruh upaya sudah dilakukan.
Artinya, sanksi itu bisa dilakukan jika kesempatan membayar sanksi finansial sudah
maksimal oleh kedua belah pihak, katanya.
Prastowo meragukan putusan Pengadilan negeri (PT) , pegadilan tinggi (PT) dan
Mahkamah Agung (MA) dalam pengujian kebenaran kerugian negara.
Saya tidak yakin apakah PN, PT dan MA benar-benar telah menguji dari kebenaran
negara yang didakwakan, katanya.
Menurut dia, putusan MA membingungkan karena tidak menjelaskan apakah sanksi
denda yang ditetapkan sudah termasuk pokok dana terutang.
Kalau putusan MA sudah inkrah kenapa Dirjen Pajak mengeluarkan SAPKBP atas
dasar putusan MA atas jenis pajak sehingga perlu pembuktian material atas transfer
pricing, katanya.(*/hrb)
This entry was posted in Kliping Berita on December 20, 2013.
Pakar: Korporasi Asian Agri Tidak
Bisa Dituntut
Judul: Pakar: Korporasi Asian Agri Tidak Bisa Dituntut
Tanggal: 2013-10-26 11:32
Media: beritasatu.com
Jurnalis: E-11
Page/URL: http://www.beritasatu.com/nasional/146752-pakar-korporasi-asian-
agri-tidak-bisa-dituntut.html
Jakarta Pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita mengatakan, PT Asian Agri
Group tidak bisa dituntut secara korporasi, apalagi dalam perkara pajak. Alasannya
menurut Romli, Asian Agri sudah dikenakan denda oleh Mahkamah Agung (MA)
sebagaimana dalam putusan Suwir Laut.
Dituntut untuk apa lagi? Penuntutan itu ada tujuannya. Mungkin untuk negara.
Tetapi kenapa tidak dulu-dulu didakwa bersama-sama? kata Romli, di Jakarta,
Jumat (25/10).
Menurut Romli, tidak mudah menuntut korporasi dalam tindak pidana. Selain karena
payung hukum yang tidak memadai, hal itu juga disebabkan pertimbangan
pendapatan negara.
Di negara maju juga sangat hati-hati menuntut korporasi. Apalagi jika korporasi itu
menghasilkan devisa yang besar. Kalau kebijakan korporasi dihabisi, akan
diambilalih oleh perusahaan asing yang lebih besar. Ini yang disebut pendekatan
ekonomi dalam perspektif hukum. Tidak ada yang membuat efek jera, ujarnya.
Diketahui, MA menjatuhkan pidana denda pajak terhadap Asian Agri sebesar Rp2,5
triliun, dan juga harus membayar kewajiban pajak kepada Dirjen Pajak Rp1,29
triliun. Sementara untuk terdakwa Suwir Laut, dijatuhkan hukuman 3 tahun penjara
dengan masa percobaan 2 tahun. MA menilai perbuatan Suwir Laut menguntungkan
korporasi, sehingga membebankan denda dua kali lipat dari kekurangan pajak
kepada korporasinya.
Romli memaparkan, jika Kejaksaan Agung (Kejagung) ingin menuntut Asian Agri
dengan kejahatan korporasi, seharusnya itu dilakukan sejak awal. Termasuk juga
dengan menjerat jajaran direksinya. Dijatuhkannya denda kepada Asian Agri sendiri
menurutnya merupakan terobosan hukum dari MA.
Sementara, Ketua Satgassus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi Kejagung,
Chuck Suryosumpeno mengakui, putusan MA terhadap Suwir Laut dan Asian Agri
memang membingungkan. Namun, dengan adanya putusan tersebut, maka
pihaknya wajib melakukan eksekusi.
Sejauh ini, ujar Chuck, pihaknya telah melakukan pembekuan terhadap pabrik dan
kebun sawit milik 14 perusahaan di bawah bendera Asian Agri Group, yang dapat
dikembalikan jika perusahaan milik Sukanto Tanoto itu membayar denda Rp2,5
triliun.
Kita telah melacak, dan kita petakan aset-aset 14 perusahaan ini kekayaannya
berapa. Ketemu beberapa, kita lakukan pengamanan. Proses masih berjalan.
Namun, kalau Asian Agri mau membayar, ya, kita kembalikan, jelasnya.
Suara Pembaruan
Penulis: E-11/SIT
This entry was posted in Kliping Berita on December 20, 2013.
Perkara Asian Agri Merupakan
Administrasi Perpajakan
Judul: Perkara Asian Agri Merupakan Administrasi Perpajakan
Tanggal: 2013-10-07 14:16
Media: Investor.co.id
Jurnalis: *
Page/URL: http://www.investor.co.id/national/perkara-asian-agri-merupakan-
administrasi-perpajakan/70232
JAKARTA- Kuasa Hukum Asian Agri, Sahari Banong menegaskan bahwa perkara
Asian Agri merupakan persoalan administrasi perpajakan dan bukan kasus korupsi.
Kasus Asian Agri murni permasalahan administrasi perpajakan. Putusan
Mahkamah Agung (MA) secara jelas menyatakan Saudara Suwir Laut, Mantan
Manajer Pajak Asian Agri, dihukum 2 tahun dengan masa percobaan 3 tahun karena
dianggap mengisi laporan SPT dengan tidak benar. Jadi bukan
permasalahan korupsi,kata , Sahari Banong dalam keterangan tertulis, Senin
(7/10).
Pernyataan tersebut disampaikan Sahari Banong untuk mengklarifikasi pemberitaan
di media masa yang menyebutkan bahwa perkara yang dihadapi oleh Asian Agri
adalah kasus korupsi.
Sahari mengungkapkan, dalam kasus tersebut, pihak Asian Agri bukanlah pihak
yang berperkara. Kami tidak pernah didakwa, tidak pernah diadili serta tidak pernah
diberi kesempatan untuk membela diri namun telah dikaitkan dalam perkara tersebut
serta diperintahkan membayar denda sebesar 2,5 triliun sebagai bagian syarat
khusus hukuman terhadap Saudara Suwir Laut, lanjut Sahari Banong.
Sahari Banong menambahkan, Asian Agri yang saat ini membina lebih dari 29 ribu
petani plasma yang menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa sawit dari grup
Asian Agri dan memperkerjakan lebih dari 25 ribu karyawan.
Oleh karena itu, Sahari Banong berkeyakinan bahwa pihak Kejaksaan Agung
tentunya senantiasa menjalankan tugas berlandaskan pranata hukum yang berlaku
di Indonesia tanpa dipengaruhi oleh pihak-pihak manapun. Menurut Sari Dalam
kesempatan itu Sari Banongjuga menyampaikan apresiasi kepada pihak-pihak yang
telah menyadari permasalahan ini secara jernih dan benar.(*/hrb)
This entry was posted in Kliping Berita on December 20, 2013.
Putusan MA Soal Asian Agri Dianggap
Salah Alamat
Judul: Putusan MA Soal Asian Agri Dianggap Salah Alamat
Tanggal: 2013-07-13 08:30
Media: JPNN.com
Jurnalis: Awa
Page/URL: http://www.jpnn.com/read/2013/07/12/181506/Putusan-MA-Soal-
Asian-Agri-Dianggap-Salah-Alamat-
JAKARTA Pakar hukum pidana Prof Romli Atmasasmita mengatakan putusan
Mahkamah Agung (MA) dalam perkara pajak Asian Agri Group merupakan gugatan
yang dialamatkan kepada orang yang salah. Menurutnya, kasus yang menimpa
Asian Agri masuk kategori pidana pajak bukan korupsi pajak.
Romli menjelaskan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan (KUP) Tahun 1983 yang bisa dikenai dakwaan korupsi pajak adalah
petugas pajak (fiscus) bukan wajib pajaknya.
Apalagi ini wajib pajaknya sudah kooperatif dengan bersedia membayar denda.
Pengadilan harus memutuskan suatu perbuatan yang didakwakan kepada
seseorang dalam hal ini Suwir Laut, bukan Asian Agri Group, kata Romli ketika
dihubungi wartawan, Kamis (11/7).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu menjelaskan sejak awal
pihak Asian Agri tidak pernah diperiksa hingga diadili oleh pihak pengadilan. Namun,
mendadak MA memutuskan bahwa Asian Agri bersalah dan harus membayar denda
pajak.
Kasus ini aneh karena PT Asian Agri Group tidak pernah didakwa sebelumnya.
Yang didakwa Suwir Laut (mantan Manager Pajak Asian Agri yang kini divonis 2
tahun penjara dengan masa percobaan 3 tahun), katanya.
Pada 18 Desember 2012 lalu, MA sudah memutus bersalah Asian Agri karena
melanggar Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
Tahun 1983. Asian Agri dinilai telah menggelapkan pajak sepanjang 2002-2005 total
sebesar Rp1,25 triliun. MA pun menghukum Asian Agri membayar pajak sebesar Rp
2,5 triliun kepada kelompok perusahaan yang bernaung dalam bendera Asian Agri
Group.
Atas putusan kasasi MA itu, mantan Dirjen Adiministrasi Hukum Umum (AHU)
Kementerian Hukum dan HAM ini menilai error in persona atau suatu
dakwaan/gugatan dialamatkan kepada orang yang salah. Oleh karena itu, menurut
Romli, aset perusahaan tidak boleh disita karena tidak terkait. (awa/jpnn)
This entry was posted in Kliping Berita on December 20, 2013.
Pakar Hukum: Putusan MA Atas Asian
Agri, Non Executable
Judul: Pakar Hukum: Putusan MA Atas Asian Agri, Non Executable
Tanggal: 2013-07-13 08:21
Media: beritasatu.com
Jurnalis: Markus Junianto Sihaloho
Page/URL: http://www.beritasatu.com/nasional/125508-pakar-hukum-putusan-
ma-atas-asian-agri-non-executable.html
Jakarta Pakar Hukum, Romli Atmasasmita, menilai aneh soal keluarnya putusan
perkara pajak PT Asian Agri Group dari Mahkamah Agung (MA), yang memutuskan
perusahaan itu harus membayar denda pajak.
Kasus ini aneh karena PT Asian Agri Group tidak pernah didakwa sebelumnya.
Yang didakwa Suwir Laut, yang mantan Manager Pajak Asian Agri yang kini divonis
2 tahun penjara, kata Romli di Jakarta, Jumat (12/7).
Guru Besar Unpad Bandung itu menyatakan kasus Asian Agri bukan korupsi pajak
melainkan pidana pajak.
Dikatakan Romli, dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan (KUP) Tahun 1983, yang bisa dikenai dakwaan korupsi pajak adalah
petugas pajak (fiscus) bukan wajib pajak.
Apalagi ini wajib pajaknya sudah kooperatif dengan bersedia membayar denda,
lanjut Romli. Pengadilan harus memutuskan suatu perbuatan yang didakwakan
kepada seseorang dalam hal ini Suwir Laut, bukan Asian Agri Group.
Seperti diberitakan, pada 18 Desember 2012 lalu, MA sudah memutus bersalah
Asian Agri karena melanggar Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan Tahun 1983.
Asian Agri dinilai telah menggelapkan pajak sepanjang 2002-2005 total sebesar
Rp1,25 triliun. MA pun menghukum Asian Agri membayar pajak sebesar Rp 2,5
triliun kepada kelompok perusahaan yang bernaung dalam bendera Asian Agri
Group.
Atas putusan kasasi MA itu, Romli, menyatakan ada error in persona atau suatu
dakwaan atau gugatan dialamatkan kepada orang yang salah. Oleh karena itu, aset
perusahaan tidak boleh disita karena tidak terkait.
Lebih jauh dia menilai situasi dilematis seperti ini bisa menjadi ancaman bagi iklim
usaha pada umumnya. Tentunya pengusaha akan menjadi takut berinvestasi karena
tidak adanya ketidakpastian hukum.
Lebih lanjut Romli mengatakan putusan MA tersebut non executable atau tidak
berdasar karena dari 14 perusahaan yang bernaung di bawah Asian Agri Group, 8
perusahaan sudah membayar pajak sedangkan 6 perusahaan masih dalam proses
penyelesaian pajaknya. Bahkan, putusan MA itu bisa jadi preseden buruk ke
depannya.
Jadi cukup bayar denda saja, tegasnya. Diapun menyarankan pihak Asian Agri
mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Machfud Sidik mengatakan sebelum Dirjen
Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) biasanya ada closing conference.
Jika Wajib Pajak (WP) keberatan dinyatakan kurang bayar ia akan menandatangani
closing conference kemudian bisa mengajukan banding sampai tingkat kasasi.
Dalam kasus Asian Agri, Machfud mengkategorikan kasus pajak Asian Agri
bukanlah tergolong dalam kasus pidana melainkan kasus administrasi pajak.
Kalau melihat urutannya dari pengadilan pajak sampai ke MA itu merupakan kasus
administrasi pajak. Kalau Asian Agri sudah membayar pajak berikut dendanya kasus
itu dianggap selesai, jelas Mahfud.
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/FER
This entry was posted in Kliping Berita on December 20, 2013.
Putusan Pengadilan Sering Subjektif
Judul: Putusan Pengadilan Sering Subjektif
Tanggal: 2013-08-12
Media: Suara Karya Online
Jurnalis: Budi Seno
Page/URL: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=332229
JAKARTA (Suara Karya): Dalam sebuah sengketa pajak, keputusan pengadilan
kerap subjektif. Banyak putusan ditetapkan hanya dengan mengacu pada pendapat
pegawai pajak. Padahal, pegawai itu belum tentu mempunyai pengetahuan pajak
yang mumpuni.
Pewrnyataan itu dilontarkan pengamat Pajak Prijohandojo Kristanto, usai diskusi
bertajuk Pajak Sebagai Modal Pembangunan, yang digelar Perhimpunan Jurnalis
Indonesia (PJI) DKI Jakarta, di Jakarta, belum lama ini.
Jangankan MA, keputusan yang ditetapkan pengadilan pajak sering subjektif,
ujarnya. Dicontohkannya, putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menghukum Asian
Agri membayar pajak sebesar Rp 2,5 triliun merupakan keputusan yang tidak lazim
dan satu-satunya di dunia.
Ketidaklaziman itu, kata Prijohandojo, karena persoalan pajak adalah lex spesialis
dan hanya bisa diputuskan oleh orang-orang pajak, yang sangat mengerti betul
mengenai seluk beluk perpajakan.
Jadi sangat tidak rasional orang di luar pajak, tiba-tiba mengerti dan menjatuhkan
putusan atas denda pajak terhadap wajib pajak (WP), tutunya.
Karenanya, terkait putusan pajak Asian Agri, Prijohandojo yang juga Wakil Ketua
Komite Tetap Pajak Kadin menilai, keputusan itu lebih bermuatan politis. Walau
begitu, ujarnya, masih terbuka peluang untuk mengajukan peninjauan kasasi (PK)
karena dalam pajak berlaku prinsip keadilan.
Wajib pajak berhak untuk menyatakan keberatan dan banding, jika memang
keputusan itu merugikan wajib pajak.
Dirjen Pajak harus membuka pintu bagi wajib pajak yang menyatakan keberatan.
Menurut dia, dalam keputusan pajak, segala sesuatu harus dapat dibicarakan
karena metode yang diterapkan Dirjen Pajak dalah self assessment. (Budi Seno)
This entry was posted in Kliping Berita on December 20, 2013.
Putusan Pajak Asian Agri Dinilai Tak
Masuk Akal
Judul: Putusan Pajak Asian Agri Dinilai Tak Masuk Akal
Tanggal: 2013-08-06 07:57
Media: Neraca.co.id
Jurnalis: red
Page/URL:
http://www.neraca.co.id/harian/article/31492/Putusan.Pajak.Asian.Agri.Dinilai.T
ak.Masuk.Akal
Jakarta Pengamat Pajak Prijohandojo Kristanto menilai putusan Mahkamah Agung
(MA) untuk menghukum Asian Agri membayar pajak sebesar Rp 2,5 triliun
merupakan keputusan yang tidak lazim dan satu-satunya di dunia.
Ketidaklaziman itu, kata Prijohandojo karena persoalan pajak adalah lex spesialis
dan hanya bisa diputuskan oleh orang-orang pajak yang sangat mengerti betul
mengenai seluk beluk perpajakan. Jadi sangat tidak rasional orang di luar pajak
tiba-tiba mengerti dan menjatuhkan putusan atas denda pajak terhadap wajib Pajak
(WP).
Prijohandojo yang juga Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kadin menilai, dalam
banyak kasus sengketa pajak, putusan pengadilan pajak kerap subyektif.
Jangankan MA, keputusan yang ditetapkan pengadilan pajak sering subyektif. Ini
karena banyak putusan ditetapkan hanya dengan mengacu kepada pendapat
pegawai pajak yang juga belum tentu mempunyai pengetahuan pajak yang
mumpuni, kata Prijohandojo seusai diskusi bertajuk Pajak Sebagai Modal
Pembangunan yang digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) DKI Jakarta di
Jakarta, pekan lalu.
Terkait putusan pajak Asian Agri, Prijohandojo menilai keputusan itu lebih
bermuatan politis, tapi masih terbuka peluang untuk mengajukan peninjauan kasasi
(PK) karena dalam pajak berlaku prinsip keadilan.
Wajib pajak berhak untuk menyatakan keberatan dan banding jika memang
keputusan itu merugikan wajib pajak. Dirjen Pajak harus membuka pintu bagi wajib
pajak yang menyatakan keberatan, ujarnya.
Menurut dia, dalam keputusan pajak, segala sesuatu harus dapat dibicarakan
karena metode yang diterapkan Dirjen Pajak dalah self assessment. Penentuan
kesalahan dalam mengisi SPT baik itu kekurangan bayar atau kelebihan harus bisa
dibicarakan karena tidak ada yang baku dengan penghitungan self assessment,
tuturnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, sanksi denda dan
pembayaran pajak Asian Agri sangat tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin Asian Agri dinilai telah menggelapkan pajak sepanjang 2002-
2005 total sebesar Rp1,25 triliun yang sama dengan pendapatannya pada tahun
bersangkutan. Ini tidak rasional dan berpeluang untuk ditinjau kembali, tukasnya.
Faisal mengatakan, dia dapat menjelaskan berapa seharusnya pajak yang harus
dibayar Asian Agri jika diminta. Perhitungannya harus mengacu kepada laporan
keuangan perusahaan agar tidak ada sentimen tertentu, kata Faisal.
Dia menduga, dalam banyak sengketa pajak, ada pihak tertentu yang sengaja
menggiring opini publik untuk menyalahkan wajib pajak, sehingga harus dilihat latar
belakang permasalahan dan melihat latar belakang orang-orang yang
memutuskannya.
Faisal menyebut, Asian Agri masih jauh lebih baik dibandingkan dengan
kebanyakan perusahaan sawit lainnya karena merupakan salah satu pembayar
pajak yang cukup besar. Masih banyak perusahaan sawit yang besar membayar
pajak dengan nilai sangat kecil, tegasnya.

















































BAB V
PENUTUP

KESIMPULAN

kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ
tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan,
malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat
melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan
dengan cara mengorbankan orang yang lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas
Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan
pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto.
Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat bersemangat
mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu,
hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah
yang membongkar dugaan penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian
Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih kepada mereka. Dugaan penggelapan
pajak itu bukannya mengada-ada. Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan hina
anggota direksi Asian Agri sebagai tersangka kasus pidana pajak. Jika kasus ini
segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara yang bisa
diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan
penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan
pajak tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka
seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian
Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil "penghematan" pajak ke
berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan dibanding membidik
orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak.

SARAN

BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Marpaung, Leden, S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya
Bagian kedua. Sinar Grafika : Jakarta
2. Simanjuntak, B, S.H., 1981. Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino :
Bandung
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

You might also like