You are on page 1of 21

Umboro Lasminto IX - 1

MODUL 9
PENELURUSAN BANJIR ( FLOOD ROUTING )


Tujuan Instruksional Khusus modul ini adalah mahasiswa dapat mengetahui
dan memahami dasar pemikiran dan cara-cara penelusuran banjir, mengitung
penelusunan banjir leawt palung sungai dan lewat reservoir.

9.1. Cara-cara Penelusuran Banjir
Penelusuran banjir adalah merupakan peramalan hidrograf di suatu titik pada
suatu aliran atau bagian sungai yang didasarkan atas pengamatan hidrograf di titik
lain. Hidrograf banjir dapat ditelusur lewat palung sungai atau lewat waduk.
Tujuan penelusuran banjir adalah untuk :
a. Peramalan banjir jangka pendek.
b. Perhitungan hidrograf satuan untuk berbagai titik sepanjang sungai dari
hidrograf satuan disuatu titik disungai tersebut.
c. Peramalan terhadap kelakuan sungai setelah terjadi perubahan keadaan
dalam palung sungai (misalnya karena adanya pembangunan bendungan
atau pembuatan tanggul)
d. Derivasi hidrograf sintetik.
Pada dasarnya penelusuran banjir lewat palung sungai adalah merupakan
persoalan aliran tidak tunak (non steady flow), sehingga dapat dicari
penyelesaiannya. Karena pengaruh gesekan tidak dapat diabaikan, maka penyelesaian
persamaan dasar alirannya akan sangat sulit. Dengan menggunakan cara karakteristik
Umboro Lasminto IX - 2
atau finite element akan dapat diperoleh penyelesaian yang memadai, tetapi masih
memerlukan usaha yang sangat besar.
Cara penelusuran banjir yang akan diuraikan disini tidak didasarkan atas
hukum-hukum hidrolika melainkan hanya hukum kontinuitas, sedangkan persamaan
keduanya didapatkan secara empiris dari pengamatan banjir. Oleh karenanya
berlakunya cara ini harus diperiksa untuk setiap kasus khusus.
Penelusuran lewat waduk, dimana penampungnya adalah merupakan fungsi
langsung dari aliran keluar (outflow), maka cara penyelesaiannya dapat ditempuh
dengan cara yang lebih exact.

9.2. Penelusuran Banjir Lewat Palung Sungai
Dasar-dasar cara penelusuran banjir yang akan dibahas disini adalah metode
Muskingum. Metode ini hanya berlaku dalam kondisi sebagai berikut :
Tidak ada anak sungai yang masuk kedalam bagian memanjang palung
sungai yang ditinjau.
Penambahan atau kehilangan air oleh curah hujan, aliran masuk atau
keluar air tanah dan evaporasi, yang kesemuanya ini diabaikan.
Untuk merumuskan persamaan kontinuitas, waktu t harus dibagi menjadi
periode-periode t yang lebih kecil, yang dinamakan periode penelusuran (routing
period). Periode penelusuran ini harus dibuat lebih kecil dari waktu tempuh dalam
bagian memanjang sungai tersebut, sehingga selama periode penelusuran t tersebut,
puncak banjirnya tidak dapat menutup bagian memanjang sungai secara menyeluruh.
Persamaan kontinuitas yang umum dipakai dalam penelusuran banjir adalah
sebagai berikut :
I Q =
dt
dS
( 9.1 )
Umboro Lasminto IX - 3
dimana :
I =debit yang masuk kedalam permulaaan bagian memanjang palung sungai
yang ditinjau ( m/detik )
Q =debit yang keluar adri akhir bagian memanjang palung sungai yang
ditinjau ( m/detik )
S =besarnya tampungan (storage) dalam bagian memanjang palung sungai
yang ditinjau ( m )
dt =periode penelusuran (detik, jam, atau hari)
Kalau periode penelusurannya dapat diubah dari dt menjadi t, maka :
I =
2
2 1
I I +

Q =
2
2 1
Q Q +

dS =S
2
S
1
sehingga rumus (9.1) dapat diubah menjadi
2
2 1
I I +
+
2
2 1
Q Q +
=S
2
S
1
(9.2)
dalam mana indeks-indeks 1 merupakan keadaan pada saat permulaa periode n
penelusuran, dan indeks-indeks 2 merupakan keadaan pada akhir periode penelusuran.
Dalam persamaan (9.2) tersebut I
1
dan I
2
dapat diketahui dari hidrograf debit
masuk yang diukur besarnya Q
1
dan S
1
diketahui dari periode sebelumnya Q
2
dan S
2

tidak diketahui. Ini berarti diperlukan persamaan kedua. Kesulitan terbesar dalam
penelusuran banjir lewat palung sungai ini terletak pada mendapatkan persamaan
kedua ini. Pada penelusuran banjir lewat waduk, persamaan tersebut lebih sederhana,
yaitu Q
2
=f ( S
2
). Tetapi pada penelusuran lewat palung sungai besarnya tampungan
tergantung kepada debit masuk dan debit keluar. Persamaaan yang menyangkut
Umboro Lasminto IX - 4
hubungan S dan Q pada palung sungai hanya berlaku untuk hal-hal yang khusus, yang
bentuknya adalah sebagai berikut :
S =k { x . I +(1 x) . Q } (9.3)
K dan x ditentukan oleh hidrograf debit masuk dan debit keluar yang masing-masing
diamati pada saat yang bersamaan,sehingga hanya berlaku untuk bagian memanjang /
palung sungai yang ditinjau.
Faktor x merupakan faktor penimbang (weight) yang besarnya berkisar antara
0 dan 1, biasanya lebih kecil dari 0,5 dan dalam banyak hal besarnya kira-kira sama
dengan 0,3 serta tidak berdimensi.
Karena S mempunyai dimensi volume, sedangkan I dan Q berdimensi debit,
maka k harus dinyatakan dengan dimensi waktu (jam atau hari).
Dari persamaan (9.2) dapat dibuat persamaan berikut ini :
S
1
= k { x I
1
+(1-x) Q
1
} (9.4)
S
2
= k { x I
2
+(1-x) Q
2
} (9.5)
Dari persamaan-persamaan (9.2), (9.4) dan (9.5) didapat :
Q
2
=c
o
I
2
+c
1
I
1
+c
2
Q
1
(9.6)
t 0,5 kx k
t 0,5 kx
c
o
+

= (9.7)
t 0,5 kx k
t 0,5 kx
c
1
+
+
= (9.8)
t 0,5 kx k
t 0,5 kx - k
c
2
+

= (9.9)
dan
c
o
+c
1
+c
2
=1 (9.10)


Umboro Lasminto IX - 5
a. Penenentuan Konstanta-konstanta Penelusuran
Konstanta-konstanta penelusuran k dan x harus ditentukan secara empiris dari
pengamatan debit masuk dan debit keluar dalam waktu yang bersamaan.
Dengan demikian dapat digambarkan hydrograph I dan Q serta lengkung S
seperti berikut ini :

Gambar 9.1. Lengkung Massa I-O

Lengkung S (gambar 9.1.c) adalah merupakan lengkung massa dari
lengkung I Q, sehingga untuk setiap saat dapat dihitung S. dari gambar 9.1.b
dan c dapat dilihat bahwa S akan maksimum bila Q sama dengan 0. besarnya
S pada saat t adalah :
S
t
= (I Q)
t
t (9.11)
Sebagai langkah lebih lanjut untuk mendapatkan x dan k, kita harus
menggambar grafik yang menyatakan hubungan antara S dengan x I +(1
Umboro Lasminto IX - 6
x)Q, yaitu dengan memasukkan berbagai harga x sedemikian rupa hingga
didapat garis yang mendekati garis lurus lihat Gambar 9.2 ).

Gambar 9.2. Kemiringan garis K
Kalau untuk mendapatkan garis lurus tersebut secara analitis (atau
kalau akan menyiapkan program computer untuk maksud tersebut), maka
sambil memberikan berbagai harga x (sebaiknya dimulai dari x = 0,20),
diperiksa pula koefisien korelasi r antara S dan x I + (1-x)Q, sampai
didapatkan r yang terbesar. Bila r terbesar mempunyai harga lebih kecil dari
0,7 berarti tidak ada korelasi antara kedua factor tersebut diatas, sehingga
tidak mungkin diketemukan hubungan garis lurus. Rumus untuk mendapatkan
koefisien korelasi r tersebut adalah sebagai berikut :
( )
( ) ( ) [ ] ( ) ( ) [ ]
2 2 2 2
X X n Y Y n
X Y XY n
r


= (9.12)
dalam mana :
X =S
Y =x I + (1 x) Q
n =banyaknya titik untuk dihitung harga S dan x I + (1 x)Q nya


Umboro Lasminto IX - 7
Dari kemiringan garis tersebut didapat harga k, yaitu

( ) Q x 1 I x
S
tg k
+
= = (9.13)
J ika dimasukkan harga x yang tidak betul akan didapat didapat suatu loop
seperti yang terlihat pada Gambar 9.2.a dan b, yaitu pada x =x
1
dan x =x
2
.
Konstanta-konstanta k dan x yang telah didapat tersebut hanyalah
berlaku untuk bagian memanjang alur sungai yang dituinjau saja. Sekali harga
k dan x didapat untuk alur tersebut, jika diketahui hydrograph debit masuknya,
maka dapat diramalkan bentuk hydrograph keluarnya.

















Umboro Lasminto IX - 8
Pada suatu bagian memanjang alur sebuah sungai dilakukan
pangukuran debit secara bersamaan di A untuk untuk debit masuk dan di B
untuk debit keluar (lihat gambar 9.3). Hasil pengukuran tersebut adalah
sebagai berikut :
Contoh 9.1
Waktu t
(hari)
Debit masuk
(m
3
/det)
Debit keluar
(m
3
/det)
0,00
0,25
0,50
0,75
1,00
1,25
1,50
1,75
2,00
2,25
2,50
2,75
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
4,25
4,50
4,75
5,00
5,25
22
23
35
71
103
111
109
100
86
71
59
47
39
32
28
24
22
21
20
19
19
18
22
21
21
26
34
44
55
66
75
82
85
84
80
73
64
54
44
36
30
25
22
19

Umboro Lasminto IX - 9

Gambar 9.3. Bagian memanjang alur sungai
Carilah konstanta-konstanta k dan x, setelah itu hitunglah hydrograph debit
keluar di B jika diketahui hydrograph debit masuk di A seperti berikut :
t Debit
masuk
T Debit
masuk
T Debit
masuk
(hari) (m
3
/det) (hari) (m
3
/det) (hari) (m
3
/det)
0,00 31,0 2,00 113,0 4,00 31,0
0,25 50,0 2,25 95,0 4,25 27,0
0,50 86,0 2,50 79,0 4,50 25,0
0,75 123,0 2,75 65,0 4,75 24,0
1,00 145,0 3,00 55,0 5,00 23,0
1,25 150,0 3,25 46,0 5,25 22,0
1,50 144,0 3,50 40,0
1,75 120,0 3,75 35,0













Umboro Lasminto IX - 10
Tabel 9.1. Mencari S
Penyelesaian :
t I Q S =(I-Q)t
S
rata
2
S
akumulatip
(hari) (m
3
/det) (m
3
/det) (m
3
/det. 1/4 hr) (m
3
/det. 1/4 hr) (m
3
/det. 1/4 hr)
0 22 22
0 0 0
0,25 23 21
2 1 1
0,5 35 21
14 8 9
0,75 71 26
45 29,5 38,5
1 103 34
69 57 95,5
1,25 111 44
67 68 163,5
1,5 109 55
54 60,5 224
1,75 100 66
34 44 268
2 86 75
11 22,5 290,5
2,25 71 82
-11 0 290,5
2,5 59 85
-26 -18,5 272
2,75 47 84
-37 -31,5 240,5
3 39 80
-41 -39 201,5
3,25 32 73
-41 -41 160,5
3,5 28 64
-36 -38,5 122
3,75 24 54
-30 -33 89
4 22 44
-22 -26 63
4,25 21 36
-15 -18,5 44,5
4,5 20 30
-10 -12,5 32
4,75 19 25
-6 -8 24
5 19 22
-3 -4,5 19,5
5,25 18 19
-1 -2 17,5

Setelah didapat S (dalam hal ini S
akumulatip
dari table 9.1) maka dengan
memasukkan berbagai harga x, dicari hubungan S dengan x I +(1 x)Q,
sedemekian rupa sehingga didapat hubungan garis lurus. Ini berarti kita
harus mencari koefisien korelasi terbesar diantara kedua besaran tersebut.
Hal ini dapat kita lakukan secara cepat dengan pertolongan komputer,
yang memberikan hasil x =0,2488 dengan koefisien korelasi r =0,97.
hubungan antara S dengan x I +(1 - x)Q dapat dilihat pada gambar 9.4.
Umboro Lasminto IX - 11

Gambar 9.4. Grafik hubungan S dan x I +(1 - x)Q
Dari gambar 9.4 dapat dicari k secara grafis, yang besarnya sama dengan
tangent dari sudut sebagai berikut :
hari 1,7
25
hari 1,70
tg k
det
m
4
1
det
m
3
3
=

= =
Dengan k =1,7 dan x =0,2488, maka jika diketahui hydrograph debit
masuk di A (=I), dapat diramalkan hydrograph debit banjir di B (=Q)
dengan cara sebagai berikut :
Dengan menggunakan rumus-rumus =(9.7) : c
o
=-0,2125
=(9.8) : c
1
=0,3908
=(9.9) : c
2
=0,8217
Umboro Lasminto IX - 12
dengan rumus (9.6) dihitung Q
2
yang dikerjakan dalam Tabel 7.2
berikut ini :
Tabel 9.2 mencari hydrograph debit keluar
t (hari) I (m3/dt)
C
o
I
2

(m3/dt)
C
1
I
1

(m3/dt)
C
2
Q
1

(m3/dt)
Q
2

(m3/dt)
0.00 31.00 31.00
0.25 50.00 -10.63 12.11 25.50 26.99
0.50 86.00 -18.28 19.54 22.10 23.37
0.75 123.00 -26.14 33.61 19.20 26.67
1.00 145.00 -30.81 48.07 21.90 39.16
1.25 150.00 -31.88 56.67 32.20 56.99
1.50 144.00 -30.60 58.62 46.80 74.82
1.75 120.00 -25.50 56.28 61.50 92.28
2.00 113.00 -24.01 46.90 75.80 98.68
2.25 95.00 -20.19 44.16 81.10 105.07
2.50 79.00 -16.79 37.13 86.30 106.64
2.75 65.00 -13.81 30.87 87.60 104.66
3.00 55.00 -11.69 25.40 86.00 99.71
3.25 46.00 -9.78 21.49 81.90 93.62
3.50 40.00 -8.50 17.98 76.90 86.38
3.75 35.00 -7.44 15.63 70.90 79.09
4.00 31.00 -6.59 13.68 65.00 72.09
4.25 27.00 -5.74 12.11 59.30 65.68
4.50 25.00 -5.31 10.55 54.00 59.24
4.75 24.00 -5.10 9.77 48.70 53.37
5.00 23.00 -4.89 9.38 43.90 48.39
5.25 22.00 -4.68 8.99 39.70 44.01

Hydrograph- hydrograph debit masuk (I) dan debit keluar (Q) dari hasil
perhitungan yang dilakukan dalam Tabel 9.2 dapat dilihat pada Gambar
9.5.
Karena adanya tampungan (strorage) disepanjang palung sungai antara A
dan B, maka puncak banjir di B menjadi lebih kecil dari pada di A.
Umboro Lasminto IX - 13

Gambar 9.5. Grafik hubungan waktu dan debit inflow dan outflow

9.3. Penelusuran Banjir Lewat Waduk
Persamaan 9.2 dapat ditulis sedemikian rupa, sehingga factor-faktor yang
diketahui ditempatkan diruas kiri seperti berikut ini :

+ =

+
+
t
2
Q
S t
2
Q
S t
2
I I
2
2
1
1
2 1

atau

+ =

+
+
2
Q
t
S

2
Q

t
S
t
2
I I
2 2 1 1 2 1

jika
dan
2
Q

t
S
1
1 1
=

2
Q

t
S
2
2 2
= + maka rumus (9.2) dapat ditulis menjadi berikut :
Umboro Lasminto IX - 14

2 1
2 1
2
I I
= +
+

I
1
dan I
2
diketahui dari hydrograph debit masuk kewaduk jika periode
penelusuran (routing period) t telah ditentukan (lihat Gambar 9.6)

Gambar 9.6. Hidrograf inflow
S
1
merupakan tampungan waduk pada permulaan periode penelusuran yang
diukur dari datum fasilitas pengeluaran (puncak bangunan pelimpah atau
spillway, atau sumbu terowongan outlet), yang untuk jelasnya lihat gambar 9.7
dan 9.8.







Gambar 9.7. lengkung kapasitas waduk (pelimpah) Gambar 9.8. lengkung kapasitas
waduk (terowongan)
Umboro Lasminto IX - 15
Q
1
adalah debit keluar dari permulaan periode penelusuran. Kalau fasilitas
pengeluarannya berupa bangunan pelimpah (spillway), maka digunakan rumus
sebagai berikut :

2
3
H B C Q= (9.15)
Dimana :
C =koefisien debit bangunan pelimpah (1,7 2,2 m
1/2
/detik)
B =panjang ambang bangunan pelimpah (m)
H =tinggi energi diatas ambang bangunan pelimpah =
2g
v
h
2
+
h =tinggi air diatas ambang bangunan pelimpah (m)
=koefisien pembagian kecepatan aliran
v =kecepatan rata-rata aliran didepan ambang banguna pelimpah (m/detik)
q =percepatan gravitasi =9,81 m/detik
2

Pada umumnya kecepatan air waduk didepan ambang bangunan pelimpah
sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Oleh karenanya dapat dianggap bahwa H
=h. Dengan demikian dapat dibuat lengkung debit (rating curve) bangunan
pelimpah seperti terlihat pada Gambar 9.9.

Gambar 9.9. Rating curve bangunan pelimpah
Umboro Lasminto IX - 16
Kalau fasilitas pengeluarannya berupa terowongan, harus diperhitungkan
terhadap dua macam keadaan :
a. Pada saat seluruh panjang terowongan belum terisi penuh oleh air sehingga
masih berupa aliran alur terbuka (open channel flow). Dalam hal ini
digunakan rumus :
Q =v . A (9.16)
Dimana :
v = kecepatan air dalam terowongan (m/detik), dapat dihitung dengan
rumus
manning

2
1
3
2
S R
n
1
v= (9.17)
n = angka kekasaran profil aliran
R = radius hidrolik (m) =
P
A

A = luas profil aliran (m
2
)
P = keliling basah profil aliran (m)
S = kemiringan alur terowongan
b. Pada saat seluruh panjang terowongan penampang atau profil alirannya terisi
penuh aleh air, sehingga terjadi aliran tekanan atau aliran pipa (pressure
flow atau pipe flow). Dalam hal demikian kecepatan airnya ditentukan oleh
perbedaan tinggi tekanan (head) dipermulaan dan diujung terowongan.
Perbedaan tekanan tersebut yang merupakan penjumlahan dari kehilangan-
kehilangan energi, dipengaruhi oleh bentuk inlet terowongan, kekasaran
dinding terowongan, adanya penyempitan atau pelebaran dalam terowongan,
adanya belokan-belokan dalam terowongan dan bentuk outlet terowongan.
J adi
Umboro Lasminto IX - 17
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2g
v
f
2g
v
f f f
D
L
f f
5 4 3 2 1
2g
v
f
2g
v
f
2g
v
f
2g
v

D
L
f
2g
v
f H
2
2
o b c e
2
o
2
b
2
c
2 2
e

+ + + + =
+ + + + =
(9.18)
(1) =kehilangan energi saat masuk inlet (m), v adalah kecepatan air
dalam terowongan (m/detik), f
e
adalah koefisien kehilangan energi
yang besarnya tergantung kepada bentuk inlet
(2) =kehilangan energi akibat geseran (m), dimana
f = koefisien geseran, yang dapat dihitung dengan rumus
DARCY WEISBACH atau THYSSE
L =panjang terowongan (m)
D =diameter terowongan (m)
(3) =kehilangan energi akibat adanya perubahan penampang didalam
terowongan (m), f
c
adalah koefisien kehilangan energi karena
adanya perubahan penampang
(4) kehilangan energi akibat adanya belokan (m), f
b
adalah koefisien
kehilangan energi akibat adanya belokan, yang besarnya
dipengaruhi oleh sudut belokan dan jari-jari belokan
(5) kehilangan energi pada saat keluar dari outlet (m), f
o
adalah
koefisien kehilangan energi yang besarnya tergantung pada bentuk
outlet.

Umboro Lasminto IX - 18

Gamabr 9.10 kehilangan energi pada gorong-gorong
Dari persamaan 9.18 didapat

=
f
H g 2
v (9.19)
dan dengan persamaan 9.16 menjadi :

=
f
H g 2
A Q (9.20)
Dari persamaan 9.16, 9.17 dan 9.20 akan dapat dibuat lengkung debit
sebagai yang tertera pada Gambar 9.11.

Gambar 9.11. Lengkung debit
Umboro Lasminto IX - 19
Kurang lebih pada suatu elevasi muka air setinggi kurang lebih 1,5 kali
diameter terowongan diatas sumbu terowongan dihulu inlet terjadi peralihan
dari aliran alur bebas menjadi aliran tekanan. Karena peralihan tersebut tidak
dapat ditentukan pada ketinggian yang tepat, maka pada Gambar 9.11
digambarkan sebagai garis putus-putus.
Persamaan 9.14 diatas dikembangkan oleh L.G. PULS dari U.S.Army Corp
of Engineers.
Dengan dapat dihitungnya ruas kiri persamaan 9.14, maka
2
dapat dihitung,
yang dengan demikian S
2
dan Q
2
dapat dihitung juga, karena pada dasarnya
S
2
dan Q
2
merupakan fungsi H, seperti halnya S
1
dan Q
1
. Oleh karena itu
sebelum perhitungan penelusuran banjir dimulai haruslah dianalisa terlebih
dahulu hubungan S
1
, Q
1
, S
2
dan Q
2
dengan H, seperti terlihat pada Gambar
9.12.

Gambar 9.12. Grafik hubungan antara H dan S


Umboro Lasminto IX - 20
Fasilitas pelepasan bendungan Lahor (salah satu bendungan dalam sistem
Kali Brantas) berupa bangunan pelimpah tidak berpintu dan tidak berpilar,
dengan puncak ambang yang berelevasi El.272,70 m dan panjang ambang
32 m. Koefisien debit diambil konstan C =2 m
1/2
/detik. Pada saat permulaan
terjadi banjir (t =0) elevasi air waduk setinggi ambang bangunan pelimpah.
Besarnya tampungan (storage) diatas ambang bangunan pelimpah pada
elevasi-elevasi tertentu adalah seperti tercantum pada kolom 3 tabel 9.3.
Sedangkan hydrograph debit masuk kedalam waduk seperti tercantum pada
kolom 2 Tabel 9.4. Tentukan
elevasi waduk maksimum dan
debit keluar keluar maksimum,
jika periode penelusurannya t
= 0,5 jam dan aliran keluar
pada t = 0 jam dianggap 6
m
3
/detik.
Contoh 9.2



Tabel 9.3. Hubungan elevasi tampungan debit (H S Q)
Penyelesaian
2
3
2
3
H 64 H B C Q = = t =0,5 jam =1800 detik
Tabel 9.4 penelusuran banjir lewat waduk dengan bangunan pelimpah t =
0,5 jam
Gambar 9.13. Pelimpah

Umboro Lasminto IX - 21
Dari perhitungan diatas didapat elvasi waduk maksimum tercapai pada El.
272,70 +1,94 =El. 274,64 m. Sedang debit terbesar yang melimpah lewat
bangunan pelimpah adalah 172 m
3
/detik. Ini adalah lebih kecil dari pada
debit puncak 441 m
3
/detik yang masuk kedalam waduk. Dengan telah
diselesaikannya perhitungan diatas dapat dibuat hydrograph debit masuk dan
debit keluar, seperti terlihat pada Gambar 9.14

Gambar 9.14. Hidrograf debit masuk dan keluar.

You might also like