You are on page 1of 12

JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO.

1, APRIL 2002: 49-60

Strategi Belajar Kooperatif dalam


Belajar Mengajar Kontektual
A. Syukur Ghazali

Abstract: contextual approach is teaching-learning conception, which helps teachers


relate their teaching materials to be presented with their pupils real life. This
approach also encourages the pupils to relate the knowledge they receive with their
real life, such as family, society, and work world. Contextual Teaching-Learning is
characterized with five basic concepts, i.e. problems-based learning, learning through
project, practical application, learning through work situation, and cooperative
learning. By cooperative learning, the pupils can improve their linguistic competence
and integrate it with the teaching content, that is to enhance their communication
activity.
Kata kunci: belajar mengajar kontekstual, belajar kooperatif, komunikasi aktif

Pada tahun 1983, telah terjadi diskusi yang hanya di kalangan ahli pendidikan di Amerika Serikat tentang cara mengajar yang baik untuk mencapai kemampuan siswa yang
lebih tinggi. Diskusi tersebut muncul ke permukaan akibat laporan National Commission on Excellent in Education yang menyebutkan bahwa kemampuan siswa di bidang
matematika, kemampuan membaca, dan IPA di AS selalu diukur dengan alat ukur baku
(tes standar). Agaknya hal tersebut mengganggu pikiran ahli pendidikan karir dan teknik. Selain itu, faktor ekonomi global, tuntutan pasar yang semakin kompetitif, teknologi yang semakin berkembang, dan dunia kerja yang acapkali berubah dipertimbangkan
sebagai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berubahnya kurikulum Career and
Technical Education (CTE). Lebih dari itu, perubahan karakter demografis siswa, dan
bertumbuhnya ilmu pengetahuan tentang bagaimana belajar serta apa saja yang menyebabkan mengajar itu menjadi efektif, menyebabkan ahli pendidikan karier dan teknik
meninjau kembali prinsip dasar dan metodologi pendidikan teknik dan karier.
BELAJAR BAHASA MELALUI KONTEKS: PEMIKIRAN VYGOTSKY

Telah sejak lama Lev Semenovich Vygotsky (1978: 118) menyatakan bahwa metode yang paling baik untuk mengajarkan membaca dan menulis bukanlah melalui
pengajaran formal di dalam kelas, melainkan melalui situasi permainan. Selain itu,
Vygotsky menyatakan keyakinannya bahwa keterampilan menulis dan berbicara akan
A. Syukur Ghazali adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

49

50 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 1, APRIL 2002: 49-60

berkembang apabila siswa dicelupkan dalam pemakaian bahasa ketika siswa berada
dalam situasi bermain. Pikiran yang dilontarkan oleh Vygotsky ini menyarankan bahwa
pembelajaran kemampuan berbahasa akan menjadi mudah dan menarik jika siswa
dibawa ke dalam dunia bermain yang tanpa disadari telah mendorong siswa untuk
menggunakan bahasa yang dipelajarinya secara alamiah. Ketika bermain dan berbahasa
itulah telah terjadi proses belajar bahasa yang sebenarnya. Dikatakan demikian karena
pada saat itu anak dihadapkan pada penggunaan bahasa yang utuh, berhubungan langsung dengan kebutuhan dunia anak (relevant), bahasa yang dihadapinya bersifat fungsional, anak berhadapan langsung dengan tujuan sebenarnya dari kegiatan berbahasa,
dan dengan penggunaan bahasa alami tersebut anak mengontrol penggunaan bahasanya.
Mengapa dunia bermain begitu berarti bagi proses belajar bahasa anak-anak?
Menurut Edelsky (1986), jika di dalam peristiwa bahasa otentik (alami) terdapat peristiwa-peristiwa yang mempunyai makna pribadi, kesan bagi dirinya, dan makna yang
signifikan bagi diri pemakai bahasa, maka akan terjadi transaksi antara pembaca dan
teks yang dibacanya. Ketika transaksi itu terjadi, seorang pembaca akan terus-menerus
melakukan pemecahan masalah, dan sekaligus ia membangun dan meningkatkan strategi psikolinguistik yang digunakannya dalam belajar bahasa. Melalui transaksi inilah
teks yang dibaca itu berfungsi sebagai perantara bagi perkembangan membaca dan
menulis pembelajar bahasa. Transaksi antara teks dan pembacanya ini didasarkan pada
pendapat konsep teks Halliday dan Hasan (1976:293-295) yang berpendapat bahwa teks
merupakan unit semantik dari sebuah interaksi bahasa. Di dalam teks terdapat kesatuan
makna dengan konteks, sebuah jalinan yang menggambarkan adanya hubungan yang
utuh antara fakta dengan lingkungan darimana fakta tersebut berasal.
Lebih lanjut Vygotsky melihat proses belajar bahasa sebagai sebuah aktivitas kultural yang kompleks (a complex cultural activity). Dikatakan demikian karena di dalam
proses belajar bahasa seorang anak dicelupkan ke dalam kawah budaya yang memperkenalkan anak ke dalam pemakaian bahasa, baik lisan maupun tulis. Di dalam masyarakat berbudaya, anak tidak asing dengan lingkungan yang penuh dengan hasil cetakan.
Di dalam lingkungannya tersebut anak berinteraksi dan bermain dengan barang cetakan
jauh sebelum ia masuk ke sekolah. Sekolah merupakan lingkungan baru yang semestinya melanjutkan peran lingkungan anak yang asli. Lebih dari itu, sekolah seharusnya
mampu mengembangkan dan memperluas proses pencelupan anak ke dalam pencapaian
kemampuan keberaksaraan (immersion in literacy). Sekolah dapat menjadikan lingkungan yang berada di dalamnya sebagai lingkungan keberaksaraan yang lebih kaya
dari lingkungan asal anak sebelumnya. Di sinilah guru dapat menjadi mediator bertangan dingin yang mampu menjadikan anak betah berada di sekolah, karena sekolah
diubah suasananya menjadi kawah pencelupan keberaksaraan yang lebih kaya dan lebih
menarik bagi anak. Kegiatan berbahasa di sekolah dikondisikan sebagai dunia yang penuh dengan suasana berbahasa, baik lisan maupun tulis, yang otentik (authentic speech
or literary event).
BELAJAR DI DALAM KONTEKS PENCELUPAN KEBERAKSARAAN

Sebuah pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab ialah apakah belajar di luar
kelas berbeda dengan belajar di dalam kelas? Mungkin saja salah satu jawabnya adalah
berbeda, karena belajar di luar kelas adalah belajar secara spontan, sedangkan belajar di
dalam kelas adalah belajar yang teratur, terencana, dan ilmiah. Jika itu menjadi pilihan
kita, maka kita tergolong ke dalam golongan yang beranggapan bahwa konsep-konsep

Ghazali, Strategi Belajar Kooperatif dalam Belajar Mengajar Kontekstual 51

ilmu yang dapat dipelajari di dalam lingkungan kelas secara substantif harus berbeda
dengan apa yang dapat dipelajari di luar kelas.
Goodman dan Goodman (dalam Moll, 1993: 229) berpendapat bahwa belajar di
dalam kelas dan di luar tidak seharusnya berbeda. Ada faktor yang mengikat keduanya,
sehingga pembelajar dengan kondisi yang berbeda itu menjadi sama. Faktor yang
dimaksud adalah bahwa pebelajar dibelajarkan melalui pengalaman-pengalaman berbahasa, skemata kebahasaannya ditumbuhkan, dan kemampuan berbahasanya ditumbuhkan. Dari pengalaman dan penumbuhan skemata itulah kemudian tumbuh pemahaman
pribadi tentang fungsi dan kaidah bahasa, juga tumbuh pula pemahaman seorang anak
tentang pengaruh lingkungan sekitar terhadap proses belajar bahasa.
Perkembangan kemampuan berbahasa dalam diri anak dibentuk oleh dua kekuatan. Pertama, kekuatan dalam diri anak yang mendorongnya untuk mengekspresikan
dirinya. Kekuatan yang kedua terletak pada kebutuhan untuk berkomunikasi dengan
orang lain yang kemudian mampu mengarahkan pertumbuhan bahasa anak agar sesuai
dengan bahasa keluarga atau bahasa di lingkungan sekitar anak. Pembentukan kemampuan berbahasa ini dapat berlangsung akibat adanya transaksi bahasa dua arah
(myriad language transaction) antara anak dengan anggota masyarakat yang lain, baik
di sekolah maupun di luar sekolah. Di dalam transaksi itu, bahasa yang tumbuh dalam
diri anak menghadapi lahan pengujian, yaitu melalui pemahaman atau ketidakpahaman
pihak-pihak yang berinteraksi, dan juga dari respons-respons yang disampaikan oleh
peserta transaksi tersebut. Jadi, kehadiran orang tua, saudara, anak tetangga seusia,
pembantu yang mengasuh anak amat besar perannya di dalam mendorong tumbuhnya
perkembangan bahasa dalam diri anak melalui proses transaksi. Adapun di sekolah,
kehadiran guru kelas, teman sebangku, teman sekelas, kakak kelas yang berperan
sebagai pembimbing merupakan pelaku transaksi yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kemampuan berbahasa siswa dalam peristiwa transaksi. Anak tidak meniru
bahasa orang dewasa dan anak pun tidak pernah belajar kaidah bahasa di luar konteks
pemakaiannya. Kaidah bahasa dan kaidah sosial penggunaannya ditemukan oleh anak
secara individual di dalam konteks pemakaian bahasa, dan pada gilirannya kaidah-kaidah tersebut oleh anak diadaptasikan ke dalam kaidah sosial ketika ia belajar menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya itu.
MEMBANGUN IKLIM KOLABORATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
KONTEKSTUAL

Yang menjadi hal kritis yang penting dilakukan adalah menciptakan iklim belajar
siswa. Berns dan Erickson (2001) menegaskan bahwa terciptanya lingkungan yang
mendorong terjadinya self regulated-learning merupakan persyaratan dasar terwujudnya
pembelajaran kontekstual. Iklim belajar tersebut diharapkna makna menghubungkan isi
pelajaran dengan konteks kehidupan siswa, sebagai diungkapkan oleh Berns dan Erickson (2001), bahwa connecting content with context is an important part of bringing
meaning to the learning process.
Di dalam kelas pembelajaran bahasa kontekstual, transaksi guru dan siswa bersifat
resiprokal. Artinya, sikap tradisional guru yang menyatakan bahwa setiap pengajaran
yang dilakukan oleh guru sepenuhnya dapat mengontrol pembelajaran dianggap terlalu
menyederhanakan persoalan belajar. Pembelajaran bahasa kontekstual mempersyaratkan terjadinya perubahan sikap guru, sebagaimana ditekankan oleh Vygotsky (Weltsch,
1985), bahwa guru harus mulai menyadari kekuatan transaksi yang terjadinya di dalam

52 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 1, APRIL 2002: 49-60

kelas. Karena itu, guru harus merencanakan dengan baik transaksi tersebut, di antaranya
dengan cara membangun respek yang bersifat timbal balik antara guru dan siswa. Di
sinilah, peristiwa pembelajaran itu merupakan cerminan peristiwa berbahasa yang terjadi di dalam masyarakat: Guru menghargai upaya yang dilakukan oleh siswa, membimbing siswa untuk mampu menilai dirinya sendiri dan saling menghargai satu sama lain,
dan dengan penciptaan kondisi yang demikianlah akan terwujud sikap saling menghormati tersebut. Hal ini senada dengan pernyataan Goodman dan Goodman (dalam Moll,
1993: 235) yang menyatakan bahwa, One key to teachers success is building an
atmosphere of mutual respect in their belajar kooperatif classroom. These become
social communities where teachers value each learner, help the learners to value
themselves and each other, and win the respect of their students.
Perubahan sikap guru seperti disebutkan di atas tidak dapat diartikan sebagai
menurunkan otoritas dan tanggung-jawab guru. Perubahan sikap yang diinginkan terhadap guru ialah agar guru membimbing siswanya dengan kesadaran bahwa ia hadir di
lingkungan siswa dengan pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak dari mereka,
dan ia hadir di situ karena ia menghormati hak siswanya. Oleh karena itu, ketika hadir
di antara siswanya, guru akan berusaha untuk memahami siwanya, mengetahui apakah
siswanya mengalami belajar atau tidak, dan guru siap menyediakan dorongan dan fasilitas yang diperlukan oleh siswanya. Guru untuk kelas dengan pendekatan kontekstual
adalah guru yang menjalin kerja sama dengan siswanya, dan kreatif menciptakan suasana belajar (learning atmosphere).
Untuk membangun iklim belajar di dalam kelas bahasa, guru dapat mengubahubah perannya sesuai dengan iklim yang diinginkan. Ada 4 macam peran yang dapat
dijalankan oleh guru:
1. Guru sebagai pengambil inisiatif
Guru yang baik adalah orang yang penuh dengan inisiatif. Dengan begitu guru tidak
boleh pasif. Di antara hal yang harus dilakukan oleh guru adalah menciptakan
secara kreatif konteks belajar. Selain itu, guru harus berinisiatif dalam mendorong
semangat siswanya untuk belajar memecahkan masalah, mengidentifikasi, serta
menemukan kebutuhan mereka.
2. Guru sebagai pengamat siswa
Guru yang baik harus terampil mengamati siswa, baik ketika anak asuhannya itu
bekerja atau bermain. Guru di kelas dengan pendekatan kontekstual ini harus mengetahui perkembangan kemampuan siswanya. Menurut Vygotsky (Goodman dan
Goodman, 1993), guru harus berusaha mengetahui Zone of Proximal Development
dari masing-masing siswanya.
3. Guru sebagai mediator
Pendefinisian kembali istilah belajar memerlukan redefinisi istilah mengajar.
Belajar yang optimal memerlukan kemampuan mengajar yang dapat mendukung
dan memudahkan belajar, tanpa mengawasi dengan ketat, tanpa memberikan
tekanan, tanpa merusak, atau menghalangi terwujudnya belajar. Sebagai mediator,
guru hadir di tengah-tengah siswanya untuk mendorong terjadinya interaksi.
Sebagai mediator dalam pelajaran membaca dan menulis, guru boleh berada di
antara siswa dan teks. Guru dapat mengajukan pertanyaan yang jawabannya akan
membimbing siswa ke persoalan yang ada dalam teks, memberikan pancingan,
mengarahkan perhatian siswa kepada hal-hal yang janggal, mengajak siswa untuk

Ghazali, Strategi Belajar Kooperatif dalam Belajar Mengajar Kontekstual 53

lebih teliti mengamati bagian-bagian tertentu dari teks, membantu siswa dengan
konsep atau skema yang dapat memperluas cakrawala berpikir siswa.
4. Guru sebagai pembebas
Perbedaan antara peran guru sebagai mediator dan guru mengintervensi terletak
pada ada atau tidaknya kebebasan yang diberikan oleh guru kepada siswa, atau ada
atau tidaknya tekanan yang diberikan oleh guru terhadap siswanya. Intervensi
terjadi jika guru mengendalikan kelas dengan kontrol yang ketat, memberikan
rambu-rambu pedoman yang sangat mengekang proses belajar, sehingga perlakuan
guru tersebut menghambat tumbuhnya keyakinan diri siswa. Paolo Freire (1970)
membedakan antara pandangan pendidikan sebagai memperlakukan siswa seperti
seseorang menyimpan uang di bank dan memperlakukan siswa sebagai pembebas. Jika siswa sebagai bank, gurulah yang meletakkan pengetahuan ke kepala
siswa sedikit demi sedikit, dan siswa tidak melakukan daya apa pun. Berbeda halnya jika guru sebagai pembebas, maka ia memberikan kebebasan kepada siswanya,
sehingga siswa merasa diberdayakan.
STRATEGI BELAJAR KOOPERATIF DALAM KELAS BELAJAR BAHASA
KONTEKSTUAL

Strategi belajar mengajar merupakan hal yang penting dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas, karena dengan strategi tersebut guru dapat menciptakan kondisi
belajar yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Selain itu, strategi belajara
mengajar yang dipilih dan dipergunakan dengan baik oleh guru dapat mendorong siswa
untuk aktif mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas (Oxford, 1990: 1).
Pemilihan strategi belajar mengajar harus dilandaskan pada pertimbangan menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang tidak hanya menerima secara pasif apa yang
disampaikan oleh guru. Guru harus menempatkan siswanya sebagai insan yang secara
alami memiliki pengalaman, pengetahuan, keinginan, dan pikiran yang dapat dimanfaatkan untuk belajar, baik secara individual maupun berkelompok. Strategi yang dipilih
oleh guru adalah strategi yang dapat membuat siswa mempunyai keyakinan bahwa
dirinya mampu belajar, yang dapat memanfaatkan potensi siswa seluas-luasnya. Strategi
belajar mengajar yang mempunyai karakteristik demikian adalah strategi Cooperative
Learning.
Cooperative Learning adalah sejenis belajar berkelompok yang melibatkan empat
sampai enam orang siswa. Di dalam kelompok ini, siswa bekerja bersama-sama siswasiswa yang lain di bawah pengawasan guru untuk menyelesaikan persoalan yang disediakan oleh guru. Di dalam diskusi kelompok tersebut, siswa-siswa dapat mengemukakan pendapatnya dan seorang siswa yang diangkat sebagai pimpinan kelompok dapat
mengambil inisiatif untuk menyimpulkan hasil diskusi.
Shepardson (1997: 1-10) menyebutkan beberapa ciri Cooperative Learning (belajar
kooperatif) seperti berikut ini:
1. Guru harus selalu mengupayakan adanya interaksi antarsiswa yang berada dalam
sebuah kelompok (student-to-student interaction). Strategi belajar kooperatif tidak
membenarkan guru membiarkan seorang siswa terlalu mendominasi jalannya diskusi. Guru mempunyai kewajiban untuk mengendalikan jalannya kegiatan belajar
berkelompok ini. Guru harus dapat menciptakan kondisi yang mampu memberikan
kesempatan yang merata kepada masing-masing anggota kelompok untuk pendapat,

54 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 1, APRIL 2002: 49-60

menyampaikan ringkasan, mempertahankan pendapat, atau pun memberikan jalan


keluar jika diskusi mengalami kemacetan.
2. Guru harus menciptakan interdependensi positif di kalangan anggota kelompok.
Artinya, masing-masing anggota kelompok harus diupayakan terlibat dalam kegiatan belajar ini. Dengan cara memberikan giliran yang telah diatur sebelumnya, guru
dapat membuat siswa memaksa diri ikut berperan dalam kelompoknya. Guru perlu
menjelaskan kepada kelompok bahwa masing-masing anggota harus membiasakan
diri mendengarkan dengan baik pendapat anggota lain, dan harus belajar menerima
pendapat orang lain jika pendapat orang lain itu lebih baik dari pendapat dirinya.
Karena itu, siswa yang pandai dapat membantu teman lain untuk ikut menyumbangkan pikirannya.
3. Kemampuan masing-masing anggota kelompok diperhitungkan secara adil (individual accountability). Di dalam belajar kooperatif tidak ada peserta kelompok yang
diperbolehkan mengemukakan pendapatnya secara sukarela. Berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, masing-masing anggota kelompok akan menyampaikan pendapatnya. Karena itu, pada gilirannya, seorang anggota kelompok
akan menerima tugas gari guru, misalnya sebagai pemimpin kelompok, sebagai
perumus hasil diskusi, atau sebagai penyampai hasil diskusi.
4. Strategi belajar kooperatif menekankan pada pencapaian tujuan bersama (group
process skill). Strategi ini mengajarkan kepada siswa untuk saling memberi informasi, saling mengajar anggota kelompok yang belum mampu, dan saling menghargai pendapat anggotanya. Proses mencapai kesepakatan kelompok ini dipraktikkan
dan ditumbuhkan selama diskusi berlangsung.
Anggota kelompok belajar kooperatif ini sebaiknya tidak terlalu besar, bergerak
dari 4 sampai 6 orang. Kelompok dengan anggota sebesar ini memberikan kemungkinan
bagi anggotanya untuk saling bertukar pikiran. Selain itu, guru juga mudah mengawasi
proses belajar yang menekankan pada kerja sama antar anggota kelompok ini. Dengan
kelompok yang tidak terlalu besar, siswa yang mempunyai hambatan mental, pemalu,
atau kurang berinisiatif, dapat meminta bantuan kepada anggota lainnya, atau secara
bertahap akan terdorong untuk ikut aktif dalam proses belajar kelompok (Shepardson,
1997; Johnson dkk., 1992)
Tahapan Pelaksanaan Belajar Kooperatif

Tahapan yang dapat ditempuh untuk menggunaan strategi belajar koperatif ini di
kelas dengan pendekatan kontekstual meliputi: (1) pembagian kelompok, (2) pembagian
tugas, (3) pelaksanaan diskusi kelompok, (4) pelaksanaan diskusi kelas.
Pembagian Kelompok

Sesuai dengan salah satu prinsip pembelajaran kooperatif, pembagian kelompok


didasarkan pada heterogenitas siswa. Anggota kelompok harus diupayakan agar berbeda
kemampuannya dengan maksud agar anggota-anggota kelompok yang berkemampuan
lebih rendah dapat meningkat kemampuannya setelah berinteraksi dengan anggota berkemampuan lebih tinggi. Dengan kata lain, pengelompokan siswa melalui belajar kooperatif ini mengupayakan agar siswa dengan kemampuan yang lebih tinggi harus memberi pengaruh positif kepada yang lebih rendah. Upaya ini sesuai dengan pernyataan
yang dipopulerkan oleh Johnson dan Johnson (2001), yaitu swim or sink together.

Ghazali, Strategi Belajar Kooperatif dalam Belajar Mengajar Kontekstual 55

Selain pengaturan anggota kelompok berdasarkan kemampuan, pembagian anggota kelompok juga memperhatikan besarnya jumlah anggota di dalam sebuah kelompok.
Kelompok belajar kooperatif sebaiknya mengusahakan agar jumlah anggota dalam
sebuah kelompok tidak terlalu besar, berkisar antara 4-5 orang, agar terjadi interaksi
belajar yang intensif antaranggota kelompok dan guru lebih mudah melakukan kontrol.
Salah seorang ditunjuk sebagai koordinator yang mendapatkan tanggung-jawab membagi tugas kepada anggota kelompoknya, antara lain tugas sebagai pencatat, penyampai
hasil diskusi, dan penjawab untuk pertanyaan kelompok lain. Tugas-tugas yang telah
diberikan kepada masing-masing anggota tersebut hanyalah berlaku untuk satu putaran,
atau selesainya sebuah tugas yang diberikan oleh guru kepada kelompok.
Untuk mempertahankan agar siswa tidak bergantung kepada siswa yang lain, pada
putaran berikutnya tugas-tugas sebagai ketua, pencatat, dan penyampai hasil diskusi
dapat digilirkan kepada anggota yang lain. Yang sangat perlu mendapatkan perhatian
guru pada saat pergantian tugas ialah bahwa perputaran ini dimaksudkan untuk membiasakan seorang siswa mendapatkan tugas yang sama berat. Lebih penting dari itu, agar
pengalaman yang berharga itu tidak hanya diperoleh siswa yang pandai saja yang
biasanya mendominasi kesempatan dalam kelompok.
Pembagian Tugas

Pada awal pelaksanaan diskusi kelompok, guru kembali menekankan pentingnya


prinsip cooperative learning, yaitu, bahwa masing-masing anggota kelompok harus
mempunyai perasaan yang sama, yaitu sink or swim together (Johnson dan Johnson,
2001). Melalui prinsip ini, diharapkan tumbuh kesadaran dari masing-masing anggota
kelompok untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki,
menghargai pendapat orang lain, dan bersedia mengulurkan tangan untuk menolong
anggota kelompok agar kelompoknya berhasil menyelesaikan tugas kelompoknya
masing-masing.
Setelah membagi kelas dalam kelompok-kelompok, langkah berikutnya adalah
memberi tugas kepada kelompok-kelompok tersebut. Tugas kelompok yang dimaksudkan adalah tugas yang disiapkan oleh guru untuk didiskusikan oleh siswa di dalam
sebuah kelompok. Dalam diskusi ini, guru berusaha mewujudkan sembilan langkah
pembelajaran yang disebut oleh Nunan (1992: 17-24) sebagai negotiation continuum
seperti berikut ini.
Dalam kelompok kecil ini, guru, pertama-tama menggali pemahaman siswa terhadap tujuan kelompok yang hendak mereka capai bersama. Kembali prinsip pembelajaran belajar kooperatif diingatkan untuk diindahkan bersama. Selanjutnya, dengan pemahaman mereka itulah, masing-masing kelompok bergerak untuk mulai berdiskusi.. Pada
langkah ketiga, guru membiarkan pertukaran pikiran terjadi. Pada tahap ini, siswa
dibiarkan berdiskusi sesuai dengan tangkapan pemahaman dan tingkatkan kemampuan
yang mereka miliki masing-masing. Keterlibatan guru diperkenankan hanya untuk
menjaga agar diskusi kelompok tahap pertama ini tidak mengalami kebuntuan atau
macet. Jika bantuan terpaksa diberikan, guru harus menjaga agar siswa tetap berhak
memutuskan sendiri apa yang mereka anggap benar. Bantuan guru boleh mereka anggap
sebagai salah satu alternatif yang dapat mereka kembangkan lebih lanjut. Apabila
sebuah kelompok terlihat aktif dan lancar, maka guru hanya bersikap sebagai pengamat
(observer). Jika keadaan yang demikian tercipta, maka belajar kooperatif telah mencapai langkah keempat, yaitu menjaga agar kepercayaan diri masing-masing anggota

56 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 1, APRIL 2002: 49-60

kelompok terus tumbuh. Masing-masing kelompok harus menyadari bahwa belajar


dapat terjadi apabila masing-masing anggota kelompok merasa yakin bahwa dirinya
mampu. Belajar kooperatif akan terwujud jika anggota kelompok yang lebih mampu
mau menyumbangkan kemampuannya tersebut agar anggota kelompok yang lainnya
tidak tenggelam. Langkah kelima ialah menolong siswa mengidentifikasi gagasan,
pendapat, lontaran pikiran yang telah mereka lakukan dalam diskusi. Ini perlu dilakukan
agar siswa terbiasa berpikir sistematik dan runtut. Dengan bimbingan guru, pikiran,
lontaran ide, atau pun komentar itu dapat menjadi senarai identifikasi pikiran yang lebih
dapat dipahami dengan baik. Akan tetapi perlu dipertegas di mana kedudukan guru pada
tahap ini: guru hanya berkedudukan sebagai pemberi alternatif, dan keputusan tetaplah
berada di dalam keputusan kelompok. Hal ini sejalan dengan langkah keenam dan
ketuju dari Nunan (1992: 22), bahwa guru harus encourage learner choice dan allow
learners to generate their own task. Selanjutnya, pada langkah kedelapan, siswa diberi
kesempatan untuk merumuskan kesimpulannya masing-masing. Dalam kegiatan ini,
siswa didorong untuk berani mengemukakan kesimpulannya, dan siswa yang lain didorong untuk mengomentari kesimpulan rekan sekelompoknya. Setidak-tidaknya, anggota
kelompok yang lain memberikan persetujuan terhadap kesimpulan temannya. Akhirnya,
pada langkah kesembilan siswa diberi kesempatan untuk berlaku sebagai seorang peneliti, yakni menyingkronkan catatan masing-masing anggota kelompok untuk kemudian
disatukan untuk dijadikan sebuah laporan kelompok. Ini sejalan dengan pendapat Heath
yang dikutip oleh Nunan (1994: 23) bahwa Students were asked to work together as
a community of ethnographers, collecting, interpreting, and building a data bank of
information They had access to knowledge I wanted, and the only way I could get
that knowledge was for them to write to me. Laporan inilah yang dijadikan dasar untuk
tahapan berikutnya, yaitu mempertemukan sebuah kelompok dengan kelompok lain
yang membahas puisi yang sama dengan pendekatan yang sama pula. Dua kelompok
pembahas puisi yang sama itu dipertemukan dalam diskusi antar kelompok.
Diskusi Kelompok dengan Strategi Belajar Kooperatif

Untuk menyelesaikan tugas kelompok dengan baik, guru kelas dengan strategi
belajar kooperatif harus mengelola tahap pembagian tugas ini dengan baik. Untuk itu,
dalam pembagian tugas ini, menurut Johnson dan Johnson (2000), guru harus menekankan agar siswa berusaha menciptakan kerjasama dengan anggota kelompoknya. Seorang
anggota kelompok harus berusaha berpegang pada pedoman bahwa di antara masingmasing anggota kelompok perlu ada kesalingtergantungan secara positif (positive interdependence) yang dapat ditampakkan dalam perbuatan seperti berbagi sumber belajar
yang menunjang, memberikan dukungan terhadap pendapat yang dilontarkan oleh anggota kelompoknya, dan merayakan bersama keberhasilan kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompok. Selain itu, empat unsur dasar belajar kooperatif yang lain, yaitu
penghargaan terhadap sumbangan individual (individual accountability), berusaha bersemuka di dalam membangun interaksi positif (face-to-face promotive interaction), berusaha berinteraksi sosial, dan selalu terlibat dalam kelompok harus selalu dijaga dalam
proses penyelesaian tugas masing-masing kelompok Untuk itu, setelah kelompok di
tempat anggota-anggota dan tugas-tugasnya masing, guru menetapkan mekanisme kerja
kelompok, agar tanggung-jawab masing-masing anggota kelompok terjalin dengan baik.
Masing-masing anggota kelompok, pada latihan awal, mempunyai tugas yang telah
ditetapkan sejak awal (predetermained), yaitu seorang menjadi ketua, seorang menjadi

Ghazali, Strategi Belajar Kooperatif dalam Belajar Mengajar Kontekstual 57

pencatat, seorang atau lebih anggota menjadi nara sumber, dan sisanya menjadi penyampai hasil diskusi, atau penjawab pertanyaan dari kelompok lain. Pembagian tugas
demikian tidak serta-merta terwujud dengan sempurna. Karena itu, individual accountability dan group anccountability dapat diterapkan secara berjenjang, sesuai dengan
kondisi masing-masing kelas.
Pembagian kelompok dengan anggota yang tidak terlalu besar bertujuan menciptakan interaksi bersemuka agar mereka saling mengenal lebih dekat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah cara duduk siswa agar tidak sama dengan kebiasaan mereka
sehari-hari yaitu duduk dalam sebuah baris dan tidak berhadapan muka. Dalam strategi
belajar kooperatif, hubungan batin antarsiswa memegang peran penting agar kerja-sama
antaranggota kelompok dapat terwujud. Oleh karena itu, masing-masing kelompok diletakkan dalam posisi duduk melingkar dan berdekatan, sehingga mereka tampak lebih
akrab. Dengan cara duduk seperti ini banyak upaya kerja-sama yang bisa dicapai,
misalnya, bertanya, mengecek jawaban dalam buku, menanyakan makna sebuah kata
atau ungkapan, saling-meminjam sumber informasi yang tidak dimiliki oleh salah seorang anggota kelompok. Bahkan tidak jarang salah seorang anggota kelompok menyuruh temannya untuk menanyakan sesuatu kepada guru pembina. Setelah tugas dibagikan
kepada setiap kelompok, guru mengingatkan kembali aspek-aspek apa saja yang harus
diselesaikan secara kooperatif.
Di dalam melaksanakan diskusi kelompok, siswa diberi kebebasan untuk memilih
tempat, di dalam kelas atau di luar kelas. Maksudnya, supaya mereka lebih santai, tidak
canggung atau takut ketika mengemukakan pendapat, dan penafsirannya muncul dari
pemikiran individu dalam kelompok, atau pun dari hasil diskusi di antara anggotaanggota kelompok, atau kesimpulan dari individu atau kelompok setelah mereka saling
berargumentasi.
Pelaksanaan diskusi kelompok diupayakan berjalan secara alamiah. Pengaruh guru
diupayakan sesedikit mungkin. Kehadiran guru dalam kelompok tidak lebih untuk
memonitor jalannya diskusi. Guru berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lainnya
untuk memberi motivasi, memberikan arahan jika siswa menghadapi persoalan yang
tidak dapat diselesaikan oleh semua anggota kelompok, menjawab pertanyaan yang
tidak menyangkut substansi isi tugas, dan hal-hal teknis lainnya menyangkut pelaksanaan diskusi kelompok agar berjalan maksimal. Pendek kata, guru hanya berperan
sebagai fasilitator. Jika guru terpaksa menjawab pertanyaan yang mengarah ke jawaban
soal, guru dapat terlebih dahulu memancing pengetahuan siswa, memberikan kemungkinan jawaban yang bisa muncul dari pertanyaan, dan akhirnya, guru membiarkan siswa
mengambil keputusan sendiri.
Di dalam proses mengamati, memfasilitasi, dan menggerakkan mekanisme kerjasama di dalam belajar kelompok dengan Strategi Belajar kooperatif, guru mengupayakan agar memperhatikan 5 hal yang ditekankan oleh Johnson dkk. (1990: 71-72):
1. Masing-masing anggota kelompok diupayakan untuk saling mengingatkan agar
selalu memperhatikan pertanyaan-pertanyan yang harus dijawab bersama. Setiap
anggota kelompok harus yakin bahwa dirinya mengerti apa yang harus dijawab
dalam belajar kelompok tersebut, dan juga harus sadar bahwa anggota lain dalam
kelompoknya juga memiliki pengertian yang sama.
2. Kerja sama antar antaranggota kelompok harus ditingkatkan dengan berbagai cara,
misalnya menyampaikan pertanyaan atau tafsiran tentang makna sebuah kata atau
larik dalam puisi, menambahkan pendapat pada pikiran-pikiran teman sekelompok

58 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 1, APRIL 2002: 49-60

yang sudah dilontarkan sebelumnya, atau cara lain yang muncul pada saat diskusi
berlangsung.
3. Guru mencatat semua upaya kelompok yang mengarah kepada kerja-sama antaranggota kelompok. Upaya-upaya yang positif kemudian ditularkan kepada kelompok lain agar tingkat kekooperatifan yang dicapai oleh suatu kelompok juga dapat
dirasakan oleh kelompok lain. Misalnya, sutau kelompok berupaya memahami
makna keseluruhan puisi dengan cara membaca bergantian puisi yang menjadi
tugas kelompoknya. Dengan dibaca bersuara, sebua puisi dapat dipahami dengan
lebih baik, sebab dengan dibaca dengan cara yang tepat, pendengar dapat menemukan makna yang terkandung dalam puisi; pemilihan warna suara, tekanan, ekspresi
muka, dan gerakan-gerakan pembaca puisi ketika membaca berpengaruh besar
terhadap pemaha man puisi.
4. Teknik-teknik bekerja sama masing-masing kelompok yang dianggap baik dicatat
oleh guru. Selanjutnya, teknik-teknik itu dibicarakan pada jeda pertama dalam
sebuah pertemuan yang dihadiri oleh dua kelompok yang menganalisis puisi dengan teknik yang sama. Pada putaran berikutnya, teknik-teknik baru itu dicobakan
dan diamati keefektifannya.
5. Kelompok yang sudah selesai menjawab soal-soal yang dibuat oleh guru sebagai
pertanyaan pengarah ditugasi menuliskan hasil diskusinya. Kemudian, anggota
yang telah ditunjuk sebelumnya diminta menyampaikan hasil diskusinya di depan
kelas. Pada kesempatan ini, tingkat kekooperatifan siswa tidak hanya berada pada
kerja-sama kelompok kecil, melainkan kerja-sama dalam sebuah kelompok yang
lebih besar.
Diskusi Antar-Kelompok yang Sama

Di dalam diskusi antar kelompok yang sama, dua kelompok pembahas masalah
yang sama saling dipertemukan. Maksudnya adalah untuk melihat perbedaan hasil antara dua kelompok dimaksud. Misalnya, Kelompok 1 dihadapkan kepada Kelompok 2,
Kelompok 3 dihadapkan kepada Kelompok 4, Kelompok 5 dihadapkan kepada Kelompok 6, dan Kelompok 7 dihadapkan kepada Kelompok 8.
Diskusi antar kelompok dapat mencatat perbedaan hasil penafsiran yang antara
lain disebabkan oleh (1) ketidakcermatan memahami tugas/pertanyaan, (2) perbedaan
persepsi mengenai konsep, hal, istilah, dan (3) perbedaan/keragaman pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki. Akan tetapi, melalui bimbingan guru semua kendala itu bisa
diatasi dan penafsiran siswa tetap diakui sebagai penafsiran yang orisinal.
Dari diskusi antarkelompok ini diperoleh hasil belajar yang baru karena telah
mengalami sharing dengan kelompok lain. Dalam pertemuan antarkelompok yang
membahas masalah yang sama ini, suasana belajar diperluas. Hubungan batin antaranggota kelompok yang sudah padu dicoba dipertemukan dengan kelompok lain. Tindakan ini tentu saja mengubah suasana batin yang sudah tenang. Diperlukan upaya
tertentu agar persaingan antarkelompok tidak muncul, sebab pertemuan ini bisa mengarah ke upaya mempertahankan hasil diskusi kelompok. Guru kembali menerangkan
pentingnya bekerja bersama dan belajar bersama. Guru menekankan pentingnya diktum
Strategi Belajar Kooperatif, yaitu Swim or Sink together. Bekerja samalah dengan baik
agar tugas kelompok bisa diselesaikan dengan baik dan dengan hasil yang lebih baik
dari hasil yang dicapai oleh satu kelompok.

Ghazali, Strategi Belajar


dalam 2002:
Belajar
Mengajar Kontekstual 59
60 JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN,
VOL. Kooperatif
9, NO. 1, APRIL
49-60

kelompok
Hasillain
diskusi
untukdari
memahami
dua kelompok
persoalan
ini dipresentasikan
dan menyelesaikan
di dalam
tugasdiskusi
yang menjadi
kelas.
tanggung-jawab
Sementara itu, hasil
kelompok.
belajar sebelumnya juga tetap menjadi dokumen penting bagi
4. Strategi
diskusiiniselanjutnya.
juga dapat menunjukkan
Hasil konkret bahwa
dari diskusi
kemampuan
antarkelompok
masing-masing
adalah meningkatnya
siswa yang
jarang
kemampuan,
sekali muncul
keberanian,
ketikadan
belajar
inisiatif
secara
peserta
klasikal
yangternyata
sebelumnya
secaratampak
perlahan-lahan
pasif.
berani ditampilkan melalui dorongan kelompok.
5. Strategi
Belajar
Diskusi
Kelas kooperatif juga dapat menunjukkan bahwa belajar dalam kelompok
kecil yang padu dan mau bekerja sama mampu mendorong siswa berani mencobaBerdasarkan diskusi
antarkelompok
siswapersoalan
telah mendapatkan
coba mengeluarkan
pendapat,
menawarkan yang
jalan sama,
keluarpara
terhadap
yang
pemahaman
dan
pengalaman
yang
lain
dari
pemahaman
sebelumnya.
Langkah
dihadapi kelompok, dan berani mengambil tindakan yang berisiko salah,
sebabberikutnya adalah
diskusi kelas. Diskusi
kelas dimaksudkan
untuk memperoleh
masukan
kesalahan
orang-per-orang
tidak ditampakkan
dalam strategi
belajar ini. Yang
ada lain
dari
kelompok-kelompok
yang
berbeda.
Dengan
demikian,
perolehan
belajar
siswa
adalah hasil belajar bersama. Dengan sikap seperti ini, semua anggota diharapkan
semakin
kaya, luas,yang
dansama:
mendalam.
Sebelum
diskusi
kelas, lebihadalah
dahulu
ditetapkan
me
miliki perasaan
keberhasilan
atau
pun kegagalan
milik
bahwa
dua
kelompok
yang
membahas
persoalan
yang
sama
dijadikan
satu
kelompok.
kelompok.
Jadi, diskusi kelas diikuti oleh empat kelompok. Meskipun menjadi anggota kelompok,
hak bertanya atau menyanggah tetap ada pada masing-masing individu. Ini dimasudkan
DAFTAR RUJUKAN
untuk menumbuhkan tanggung jawab individu dan kelompok sekaligus.
Berns, R.G.Secara
& Erickson,
ringkas,
P.M.
belajar
2001.
kooperatif
Contextual
dalam
Teaching
kelas and
kontekstual
Learning:
memiliki
Preparing
ciri-ciri
berikut. Pertama,
Students
for The New
belajar
Economy.
kooperatif
Thedapat
Highlight
meningkatkan
Zone: Research
frekuensi
@ Work
kerja no.
sama
5, antar(Online),
(http://www.nccte.com/publications/infosynthesis/highlightzone/highlig/
anggota kelompok.
Kedua, belajar kooperatif dapat mengurangi dorongan berkompetisi,
highlight05-CTL.htm,
26 Agustus
sehingga siswa tidak diakses
keberatan
berbagi 2001.
pengetahuan dan kemampuan yang mereka
Berns,miliki.
R.G. &
Oleh
Erickson,
karena P.M.
guru 2001.
memberikan
Contextual
kredit
Teaching
terhadapand
semua
Learning:
upayaCTL
bekerja sama, siswa
pun terdorong
untuk
melibatkan
anggota
kelompok
dalam
upaya memahami tugas atau
Constructs.
Ohio:
Bowling
Green State
University,
(Online),
(http://www.bgsu/
menga mbil kesimpulan terhadap hasil-hasil
organization/ctl/constructs-data.html,
diakses 25diskusi
Oktobermereka.
2001). Ketiga, suasana belajar
Goodman,
kelompok
Y.M. tampak
& Goodman,
lebih menyenangkan
K.S. 1993. Vygotsky
karenain
beban
a Whole
kesulitan
Language
tidak Perspective.
ditanggung sendiri
oleh individu
Dalam
L.C. Moll.
siswa.
1993.
Kelompok
Vygotsky
belajar
and Education,
ini, secara tidak
Instructional
disadariImplications
oleh siswa, menggiring
and
setiap anggotaofkelompok
Applications
Sociohistorical
melakukan
Psychology.
tugas untuk
New York:
kepentingan
Cambridge
kelompok.
University
Keempat,
belajar kooperatif membantu meningkatkan kemampuan bekerja sama dalam tim,
Press.
Johnson,
berlatih
D.W.menghargai
& Johnson,pendapat
R.T. 2000.
anggota
Methods
kelompok
of Cooperative
lain, danLearning:
mendorong
What
menciptakan
Can We rasa
percayaWorks
Prove
diri anggota
Cooperative
kelompok:
Learning
bahwa
Methods:
dirinyaAbisa
Meta-Analysis.
menyumbangkan
Minneapolis,
pikirannya untuk
kepentinganUniversity
Minnesota:
penyelesaian
of Minnesota,
tugas kelompok.
(Online),
Kelima,
(http://www.clcrc.com,
belajar kooperatif dapat
diakses
meningkat18
kan hasil
Juni
2001).
belajar lebih optimal karena pendapat dan kesimpulan yang keluar adalah
Johnson,
pendapat
D.W.,dan
Johnson,
kesimpulan
R.T. &kelompok.
Holubec, E.J.
Keenam,
1990.belajar
Circle of
kooperatif
Learning,
memberikan
Cooperation
pengalaman
in
The yang
Classroom.
bermanfaat,
Edina,bahwa
Minnesota:
mengerjakan
Interaction
sesuatu
Book
bersama-sama
Company. dan saling mengMoll, hargai
L.C. 1993.
satu-sama-lain
Vygotsky and
akanEducation,
memberikan
Instructional
hasil yangImplications
lebih baik. and Applications
of Sociohistorical Psychology. New York: Cambridge University Press.
Vygotsky,
L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge, Massachusetts: Harvard University
KESIMPULAN
Press.
Sebagai
pertemuan
kelompok
yangMassachusetts:
diperbesar secara
Vygotsky, L.S.
1962.kesimpulan,
Thought and
Language.
Cambridge,
Thebertahap
M.I.T. ini
membuah
sikap
belajar
bersama
seperti
di
bawah
ini.
Press.
1. Belajar
kooperatif
dapat
diriCambridge,
seseorang yang
Werstch,
J.W. 1985.
Vygotsky
andmengurangi
The Socialketidakpercayaan
Formation of Mind.
MA:merasa
kurang
mampu.Press.
Harvard
University
2. Dorongan dari anggota kelompok mampu menumbuhkan rasa percaya diri seorang
siswa, bahwa ia mampu menyumbangkan pikiran yang berguna bagi penyelesaian
tugas kelompok.
3. Untuk siswa yang relatif berkemampuan lebih, Strategi Belajar kooperatif berhasil
mengurangi kecenderungan berkompetisi. Sikap lain yang berhasil ditumbuhkan
pada siswa golongan ini ialah timbulnya dorongan untuk membantu anggota

You might also like