You are on page 1of 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai
oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin
secara relatif maupun absolut. Pada umumnya dikenal 2 tipe diabetes, yaitu
diabetes tipe 1 (tergantung insulin), dan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin).
Ada pula diabetes dalam kehamilan, dan diabetes akibat malnutrisi. Diabetes tipe
1 biasanya dimulai pada usia anak-anak sedangkan diabetes tipe 2 dimulai pada
usia dewasa pertengahan (40-50 tahun). Kasus diabetes dilaporkan mengalami
peningkatan di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia (1)
Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003,
jumlah penderita DM mencapai 194 juta jiwa dan diperkirakan meningkat
menjadi 333 juta jiwa di tahun 2025 mendatang, dan setengah dari angka tersebut
terjadi di negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Angka kejadian DM di
Indonesia menempati urutan keempat tertinggi di dunia yaitu 8,4 juta jiwa. Jumlah
populasi yang meningkat tersebut berkaitan dengan hal faktor genetika, life
ekpectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola
hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. DM perlu
2

diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin
meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan (1,2)
Distribusi penyakit ini juga menyebar pada semua tingkatan masyarakat
dari tingkat sosial ekonomi rendah sampai tinggi, pada setiap ras, golongan etnis
dan daerah geografis. Gejala DM yang bervariasi yang dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun, gejala tersebut berlangsung lama tanpa memperhatikan diet, olah raga,
pengobatan sampai orang tersebut memeriksakan kadar gula darahnya (1,2)
DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya
komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, jantung, ginjal, pembuluh
darah kaki, syaraf dan lain-lain. Penderita DM dibandingkan dengan penderita
non DM mempunyai kecenderungan 25 kali terjadi buta, 2 kali terjadi penyakit
jantung koroner, 7 kali terjadi gagal ginjal kronik, dan 5 kali menderita ulkus
diabetika. Komplikasi menahun DM di Indonesia terdiri atas neuropati 60%,
penyakit jantung koroner 20,5%, ulkus diabetika 15%, retinopati 10%, dan
nefropati 7,1% (3)

B. Permasalahan
Apakah diabetes mellitus itu dan bagaimana penatalaksanaannya?


3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Diabetes melitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes melitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit
vaskular mikroangiopati. Diabetes melitus adalah kumpulan gejala yang timbul
pada seseorang akibat kadar glukosa darah yang tinggi yang disebabkan jumlah
hormone insulin kurang atau jumlah insulin cukup bahkan kadang-kadang lebih,
tetapi kurang efektif (3,4)
WHO menyatakan Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronis
yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama,
mempunyai karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi
dapat dikontrol dan menurut American Diabetes Association (ADA) Diabetes
melitus merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Melitus
adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan kadar gula dalam darah yang
mengakibatkan gangguan metabolisme dan berkembang menjadi gangguan
multisistem karena keterbatasan insulin di dalam tubuh seseorang (2,3).
4


B. Faktor-Faktor Penyebab Diabetes Melitus
Faktor-faktor penyebab diabetes melitus antara lain genetika, faktor
keturunan memegang peranan penting pada kejadian penyakit ini. Apabila orang
tua menderita penyakit diabetes melitus maka kemungkinan anak-anaknya
menderita diabetes melitus lebih besar. Virus hepatitis B yang menyerang hati dan
merusak pankreas sehingga sel beta yang memproduksi insulin menjadi rusak.
Selain itu peradangan pada sel beta dapat menyebabkan sel tidak dapat
memproduksi insulin. Faktor lain yang menjadi penyebab diabetes melitus yaitu
gaya hidup, orang yang kurang gerak badan, diet tinggi lemak dan rendah
karbohidrat, kegememukan dan kesalahan pola makan. Kelainan hormonal,
hormon insulin yang kurang jumlahnya atau tidak diproduksi (2,4).

C. Klasifikasi Diabetes Melitus
American Diabetes Assosiation (2005) dalam Aru Sudoyo (2006)
mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi : (4,5)
Diabetes melitus tipe 1
Dibagi dalam 2 subtipe yaitu autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kerusakan sel-sel beta dan idiopatik tanpa bukti autoimun dan tidak diketahui
sumbernya.


5

Diabetes melitus tipe 2
Bervariasi mulai yang predominan resisten insulin disertai defisinsi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resisten insulin.
Diabetes melitus gestasional
Faktor resiko terjadinya diabetes melitus gestasional yaitu usia tua,etnik, obesitas,
multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat gestasional terdahulu.Karena terjadi
peningkatan sekresi beberapa hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap
toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik.
Diabetes melitus tipe lain
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin : resisten insulin tipe A,leprechaunism, sindrom
rabson mandenhall, diabetes loproatrofik, dan lainnya.
c. Penyakit eksokrin pankreas : pankreastitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, dan
lainnya.
d. Endokrinopati : akromegali, sindron cushing, feokromositoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, dan lainnya.
e. Karena obat atau zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxic,agonis adrenergic, tiazid, dilantin,
interferon alfa, dan lainnya.
f. Infeksi : rubella konginetal, dan lainnya.
6

g. Immunologi (jarang) : sindrom stiff-man , antibody antireseptor insulin, dan
lainnya.
h. Sindroma genetik lain : sindrom down, sindrom klinefilter, sindrom turner,
sindrom wolframs, ataksia friedriechs, chorea Huntington, sindrom
Laurence/moon/biedl, distrofi miotonik,porfiria, sindrom pradelwilli, dan
lainnya

D. Patofisiologi Diabetes Melitus
Menurut Brunner & Sudddart (2002) patofisiologi terjadinya penyakit
diabetes melitus tergantung kepada tipe diabetes yaitu : (5,6)
Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel
pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi
glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua
glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin
(glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).


7

Diabetes Tipe II
Resistensi insulin menyebabkan kemampuan insulin menurunkan kadar
gula darah menjadi tumpul. Akibatnya pankreas harus mensekresi insulin lebih
banyak untuk mengatasi kadar gula darah. Pada tahap awal ini, kemungkinan
individu tersebut akan mengalami gangguan toleransi glukosa, tetapi belum
memenuhi kriteria sebagai penyandang diabetes melitus. Kondisi resistensi insulin
akan berlanjut dan semakin bertambah berat, sementara pankreas tidak mampu
lagi terus menerus meningkatkan kemampuan sekresi insulin yang cukup untuk
mengontrol gula darah. Peningkatan produksi glukosa hati, penurunan pemakaian
glukosa oleh otot dan lemak berperan atas terjadinya hiperglikemia kronik saat
puasa dan setelah makan. Akhirnya sekresi insulin oleh beta sel pankreas akan
menurun dan kenaikan kadar gula darah semakin bertambah berat.
Diabetes Gestasional
Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya.
Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormone-hormon plasenta.
Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita
diabetes gestasional akan kembali normal.

E. Gejala
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi.Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa
akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang
8

air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena
ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita
sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat poliuri maka
penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi).
Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan
berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan
lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi) (3,5).
Dengan memahami proses terjadinya kelainan pada diabetes melitus
tersebut diatas, mudah sekali dimengerti bahwa pada penderita diabetes melitus
akan terjadi keluhan khas yaitu lemas, banyak makan, (polifagia) , tetapi berat
badan menurun, sering buang air kecil (poliuria), haus dan banyak minum
(polidipsia). Penyandang diabetes melitus keluhannya sangat bervariasi, dari
tanpa keluhan sama sekali, sampai keluhan khas diabetes melitusseperti tersebut
diatas. Penyandang diabetes melitus sering pula datang dengan keluhan akibat
komplikasi seperti kebas, kesemutan akibat komplikasi saraf, gatal dan keputihan
akibat rentan infeksi jamur pada kulit dan daerah khusus, serta adapula yang
datang akibat luka yang lama sembuh tidak sembuh (3,5).

E. Diagnosis
Diagnosis diabetes dipastikan bila terdapat keluhan khas diabetes (poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya) disertai dengan satu nilai pemeriksaan glukosa darah tidak normal
9

(glukosa darah sewaktu 200 mg/dl atau glukosa darah puasa 126 mg/dl ).
Selain itu terdapat keluhan khas yang tidak lengkap atau terdapat keluhan tidak
khas (lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus vulvae)
disertai dengan dua nilai pemeriksaan glukosa darah tidak normal (glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl atau glukosa darah puasa 126 mg/dl yang diperiksa pada
hari yang berbeda (6).

F. Komplikasi
Kerusakan saraf (Neuropathy)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sum-sum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf
tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah
kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan
saraf mana yang terkena (4,6).
10

Kerusakan ginjal (Nephropathy)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah.
Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan
yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak
dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor
ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan
darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.
Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf (4,6)
Kerusakan mata (Retinopathy)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab
utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh
diabetes, yaitu: (4,5,6)
a. retinopati, retina mendapatkn makanan dari banyak pembuluh darah kapiler
yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah
retina.
b. katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh
sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya
glukosa darah yang tinggi.
11

c. glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola matasehingg merusak saraf
mata.
Penyakit jantung
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan
penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah.
Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat,
sehingga kematian mendadak bisa terjadi (5).
Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang
dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat
hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,
atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila
penderita diabetes juga terkena hipertensi (5,6).
Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak
mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa
sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan
wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping
diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
12

pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung
(4,5).
Gangguan pada hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan
gula bisa bisa mengalami kerusakan hati. Anggapan ini keliru, hati bisa terganggu
akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita
diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau
hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit
hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan
hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi
karena infeksi tau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang
sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver,
biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini
jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di
jaringan tubuh lainnya (3,4).
Penyakit paru-paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru-paru
dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosio-
ekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru-paru, demikian pula sakit
paru-paru akan menaikkan glukosa darah (3).


13

Gangguan saluran makan
Gangguan saluran makan pada penderita diabetes disebabkan karena
kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gngguan saraf otonom yang mengenai
saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena
infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai
pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal
serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare
juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan
usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat-
obatan yang diminum (4,5).
Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam
menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah
terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-
paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang
tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita
terhadap adanya infeksi (4,5).

G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penyandang diabetes (6,7).

14

1. Tujuan penatalaksanaan
a. Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM (6,7).
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku
(6,7).
2. Langkah-langkah penatalaksanaan penyandang diabetes
Evaluasi medis meliputi: (6,7)
a. Riwayat Penyakit
gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk
A1C, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM
pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan
DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi
kesehatan
15

pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani
riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia,
hipoglikemia)
riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis
gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,
mata, saluran pencernaan, dll.)
pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain)
riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi
kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.
b. Pemeriksaan fisik
pengukuran tinggi dan berat badan
pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik
pemeriksaan funduskopi
pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
pemeriksaan jantung
16

evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis
tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
c. Evaluasi Laboratoris/penunjang lain
glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
A1C
profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
kreatinin serum
albuminuria
keton, sedimen dan protein dalam urin
elektrokardiogram
foto sinar-x dada
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
17

mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(5,7).
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi (5,7).
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan
pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin (5,7).
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
18

pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti:
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (6,7).
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Berdasarkan cara
kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: (7)
pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
penghambat glukoneogenesis (metformin)
penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
19

berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang (6,7).
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat, yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (6,7).
Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer (6,7).
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
20

dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan (6,7).
Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens (6,7).
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal.
Sulfonilurea generasi I dan II : 15 30 menit sebelum makan, Glimepirid :
sebelum/sesaat sebelum makan, Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan,
Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan, Penghambat glukosidase
(Acarbose) : bersama makan suapan pertama, Tiazolidindion : tidak bergantung
pada jadwal makan (6,7).
Insulin diperlukan pada keadaan: (6,7)
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
21

Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan
kombinasi tiga OHO (6,7).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
22

cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja (6,7).
3. Pemantauan
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: (6,7)
Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai
dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat
diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam posprandial.
Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
23

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang
umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik
dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan.
Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan
dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan
insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,
tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan,
2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur
(untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami
gejala seperti hypoglycemic spells (6,7).
Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.
Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar
glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat
bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka
waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak
dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi (6,7).


24

Penentuan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah
> 300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang
diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,
sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini
telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah
secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta
hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut
ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar
glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya
penyulit akut diabetes, khususnya KAD (6,7).
4. Kriteria pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali
baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar
lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi
dan tekanan darah. Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi,
sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125
mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan
darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini
dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk
25

mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat
(6,7).


26

BAB III
KESIMPULAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai
oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolism karbohidrat,
lemak, dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif
maupun absolut. Pada umumnya dikenal 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1
(tergantung insulin), dan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin). Ada pula
diabetes dalam kehamilan, dan diabetes akibat malnutrisi.
Gejala DM yang bervariasi yang dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun,
gejala tersebut berlangsung lama tanpa memperhatikan diet, olah raga, pengobatan
sampai orang tersebut memeriksakan kadar gula darahnya. DM jika tidak
ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai
organ tubuh seperti mata, jantung, ginjal, pembuluh darah kaki, syaraf dan lain-
lain.
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah
meningkatnya kualitas hidup penyandang diabetes. Untuk mencapai tujuan
tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan
dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

You might also like