You are on page 1of 6

Psikoanalisa Erich Fromm : Menelusuri Akar Kekerasan

Manusia
Apakah kekerasan itu suatu potensi bawaan atau
bukan? Fromm meninjau kembali konsep agresi
psikonalisa Freud, membandingkannya dengan
berbagai gejala sifat destruktif individu dan
masyarakat.
Fenomena kekerasan pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan manusia. Sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah
kekerasan telah ditampilkan oleh anak turun Adam!a"a, dengan
te"asnya !abil di tangan #obil. $nilah tragedi kekerasan pertama yang
disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur
sejarah peradaban manusia. %ahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan
menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan &kedaulatan&
seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.Setidaknya, ornamen
kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban
manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi
peperangan. 'amun peperangan yang paling destrukti( dan paling kejam,
menurut Fromm dalam catatan kakinya, adalah adanya perang saudara
yang tidak saja akan menghancurkan secara (isik, namun lebih jauh akan
saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang
saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan
menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa
terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang
dirasakan. )an kenyataan membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung
mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya.
*antas dari sisi psikologi ditanyakan, mengapa manusia selalu muncul
si(at destrukti(nya dan menjadi begitu tak terkendalikan+ )an mengapa
pula manusia berani berbaku hantam sesamanya demi mempertahankan
kondisi subjekti( narsistiknya+ Kondisi itulah yang akan dijelaskan Erich
Fromm dalam buku setebal ,-- halaman ini.)alam buku yang mencoba
mengupas akar kekerasan pada diri manusia ini diketengahkan analisa
Sigmund Freud dengan teori instingnya maupun Konrad *oren. dengan
teori agresinya, yang mendapat kritik tajam Erich Fromm. Manusia, kata
Freud, tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting
seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui
kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros
/kehidupan0 dan insting kematian. Para penganut Freud
mengkompromikan insting destrukti( sebagai kutub lain dari insting
seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau
kecenderungan merusak pihak lain. !al ini merupakan pengembangan dari
asumsi dasar bah"a manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk
merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut terbatas.
Sehingga kecenderungan agresi, bagi Freud, bukan reaksi atas stimulan
yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri.
Pendek kata, bah"a perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari
hasratnya sebagai manusia.Sedangkan *oren. mengupas sebab adanya
kekerasan adalah dari (aktor biologis di luar kendali manusia yang
disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh
manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak,
meski tanpa adanya stimulan. )engan kata lain, bah"a sebenarnya agresi
sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan
paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan
mencari pelampiasan. Malah menurut *oren. dibentuknya partai politik
oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi
agresi yang tertekan. %ila pernyataan Freud atau *oren. benar, bah"a
perilaku manusia tidak akan menyimpang dari insting kemanusiaannya
dan respon agresi dari (aktor eksternal, lantas apa bedanya he"an dengan
manusia+ %ukankah keduanya samasamamemiliki insting kehidupan dan
kematian+ Karena he"an pun mempunyai insting kehidupan, bertahan diri
dari serangan atau ancaman dari luar. 'ampaknya inilah yang akan
menjadi sasaran kritik Fromm. Menurutnya, Freud tak cukup konsek"en
dengan konsepnya. Agresi yang tercermin dalam perilaku manusia tak
cukup hanya dirangkum dalam satu hasrat. Antara insting pelestarian diri
libido dan insting kehidupankematian adalah berla"anan satu sama lain.
)engan demikian Freud telah menyatukan kecenderungankecenderungan
yang pada kenyataannya bukan merupakan satu kesatuan. Sedangkan teori
*oren. pada intinya ada dua. Pertama, bah"a agresi pada dasarnya sudah
tertanam pada diri manusia. )an yang kedua adanya dorongan tenaga
hidrolik, sebagai tenaga pelampiasan melakukan hal keji dan kejam.
Menurut Fromm tidak cukup bukti pendukung yang bisa diketengahkan
teori tersebut. Karena teori tersebut bersimpul pada satu kategori, yaitu
agresi. Sedangkan Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan
psikoanalisis. Psikoanalisis tersebut pada dasarnya adalah teori tentang
upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan
subjekti(, harapan, karakter dan kon(lik antara upayaupaya berhasrat yang
terkandung di dalam ciri pemba"aan dengan tuntutan pemertahanandiri.
Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya
tergantung pada (aktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi.
)engan demikian agresi sama sekali bukan satusatunya bentuk reaksi
terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu
timbulnya perilaku agresi( adalah ancaman terhadap kepentingan hayati.
)alam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan
akan ruang (isik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok.Pada
struktur masyarakat modern yang konsumti( sangat membutuhkan sistem
sosial di mana ia memiliki tempat tinggal hubungan dengan sesamanya
relati( stabil serta didukung oleh nilainilai dan gagasan yang diterima
secara umum. 1api yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masyarakat
industri yang terjadi adalah hilangnya tradisi, nilainilai sosial dan
keterikatan sosial dengan sesama. Fromm menegaskan, yang menjadi
penyebab agresi manusia tidak cuma kepadatan penduduk, namun juga
rusaknya struktur sosial dan ikatan sosial murni. )ilain pihak, perilaku
agresi muncul juga karena kondisi sosial, psikologis, ekonomi, budaya dan
politik.)alam bab 2$$$ /Antropologi0, bagian kedua buku ini, Fromm
membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter
sosialnya.Pertama, adalah sistem A, yaitu masyarakatmasyarakat pecinta
kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh citacita, menjaga
kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya.
)alam sistem masyarakat seperti ini, kedestrukti(an atau kekejaman sangat
jarang terjadi, tidak didapati hukuman (isik yang merusak. 3paya kerja
sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai. Kedua,
sistem %, yaitu masyarakat nondestrukti( agresi(. Masyarakat ini
memiliki unsur dasar tidak destrukti(, meski bukan hal yang utama,
masyarakat ini memandang keagresi(an dan kedestrukti(an adalah hal
biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang la.im ditemui. Masyarakat
ini tidak memiliki kelemahlembutan, dan saling percaya. Ketiga, sistem
4, yaitu masyarakat destrukti(. Karakter sosialnya adalah destrukti(,
agresi(, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan
permusuhan. %iasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terjadi
persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk
materi berupa mengunggulkan simbol. )itinjau dari hasrat dan kondisi
sosial manusia, baik itu dalam struktur sosial maupun sistem kelompok,
akan mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam kepentingan
hayatinya. 'amun untuk memahami (enomena kedestrukti(an manusia
tersebut, kata Fromm, yang perlu menjadi perhatian adalah diabaikannya
makna dan moti5asi spiritual religius ketika dalam suasana dan kondisi
yang berkecamuk. %angsa, negara dan kehormatan "arganya menjadi
sesuatu yang disembahsembah, dan kedua pihak yang saling bertikai
dengan rela mengorbankan dirinya, anaknya serta harta bendanya demi
&sesembahan& tersebut. )i sini Fromm menganalogikan sebuah ritual
keagamaan /sekte0 ke dalam situasi tak menentu massa, yaitu dengan
menggambarkan &seseorang atau kelompok berani bertaruh apa saja demi
apa yang dibelanya meski absurd&. Fromm menekankan bah"a untuk
memahami semua (enomena kedestrukti(an dan kekejaman perlu
mendalami moti5asi religius yang mungkin ada di dalamnya, bukannya
moti5asi kedestrukti(an dan kekejaman itu sendiri.Mengapa manusia
cenderung menggunakan kekerasan+ Apakah kedestrukti(an kelompok
yang saling bertikai merupakan hasil dari hasrat mempertahankan diri+
)alam pembahasan agresi yang banyak percabangannya, disinggung
adanya agresi dan narsisisme. 6rang yang mempunyai narsistik tinggi
merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. 7ika citra diri itu terancam,
akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa
memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Sedangkan pada narsisme
kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. )ikatakan
bah"a narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama
keagresi(an manusia. %ila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan
kelompok lain, maka reaksi kemarahan yang sedemikian besar akan terjadi
bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan
pemimpinnya. 'amun tentunya ini bikan (aktor tunggal, ada moti5asi lain
yang mungkin lebih dari sekedar demi citra diri kelompok, bertahan
maupun penegasan diri atau kelompok.Secara sederhana dapat dikatakan,
bah"a kedestrukti(an maupun kekerasan dalam masyarakat tak jauh dari
karakter sosial masyarakat sendiri. Sebab karakter merupakan ciri khas di
mana energi manusia ditata untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu
bertindak secara naluriah. Kelompokkelompok manusia sedari dulu hidup
dalam suasana keragaman. Konsep karakter sosial didasarkan pada
pemahaman bah"a tiap bentuk masyarakat perlu menggunakan kelebihan
manusia /dibandingkan dengan he"an0 dengan caracara yang khas yang
diperlukan untuk peranan masyarakat itu sendiri. Proses perubahan energi
psikis umum menjadi energi psikososial khusus dijembatani oleh karakter
sosial. Pendek kata, masyarakat harus memiliki dan mengetahui keinginan
untuk melakukan apa yang harus mereka kerjakan jika ingin tertata baik.
Sedangkan sarana pembentuk karakter, menurut Fromm, pada dasarnya
bersi(at budaya.'ampaknya buku tebal yang terbagi menjadi tiga bagian
dan 89 bab ini enak dibaca. 'amun patut pula dicermati, dalam sebuah
psikoanalisis, bah"a si(at pemba"aan manusia yang cenderung destrukti(
jika dianggap sebagai kela.iman, berarti si(at destrukti( pada manusia
adalah suatu ke"ajaran. Artinya karakter yang memang sudah tertanam
pada manusia itu bisa dimaklumi+ Sehingga dengan demikian apa yang
pernah dilakukan !itler /%ab :$$$ mengulas !itler0 bisa dimaklumi karena
memang sudah tertanam karakter jahat dan destrukti( pada diri !itler+ Pun
dalam sebuah pertikaian kelompok sosial. Karena mereka mempunyai
&agresi& masingmasing dalam kelompok, meski bisa dihentikan sementara
dengan kelebihannya sebagai manusia, maka tidak tertutup kemungkinan
kekerasan yang lebih dahsyat akan terjadi lagi. Karena dalam pertikaian
sosial antar kelompok dibutuhkan kelompok lain yang lebih tinggi lagi
/negara0 untuk menengahi dan mengatasi kekerasan massal tersebut. Maka
membaca buku Erich Fromm ini kita diajak berdiskusi mengenai jutaan
karakter manusia yang mungkin akan selalu berubah sesuai kondisi
objekti( yang melingkupinya. Karena, memang, buku ini bukan pensuplai
tunggal "acana mencari akar kekerasan dan karena buku ini sematamata
lebih bersi(at psikoanalisis. Sehingga kita masih membutuhkan "acana
lain pembongkar asal mula terjadinya kekerasan. 'amun buku ini masih
tetap memberi kelayakan pengetahuan yang lebih dari sekedar
pengetahuan, meski analisa kondisi subjekti( masuk di dalamnya.
Judul : Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak
Manusia
Pengarang : Erich Fromm

You might also like