You are on page 1of 34

Periodisasi Sastra Indonesia Dan Latar Belakang serta Ciri Khas

Periodisasi
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
lisan
tulisan
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
Angkatan Pujangga Lama
Angkatan Sastra Melayu Lama
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 1945
Angkatan 1950 - 1960-an
Angkatan 1966 - 1970-an
Angkatan 1980 - 1990-an
Angkatan Reformasi
Angkatan 2000-an
















Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang
dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun,
gurindam dan hikayat.
Di Nusantara,
budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai
Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting
berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan.
Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga
Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya,
yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta
Nuruddin ar-Raniri.
Karya Sastra Pujangga Lama
Sejarah
Sejarah Melayu (Malay Annals)
Hikayat
Hikayat Abdullah
Hikayat Aceh
Hikayat Amir Hamzah
Hikayat Andaken Penurat
Hikayat Bayan Budiman
Hikayat Djahidin
Hikayat Hang Tuah
Hikayat Iskandar Zulkarnain
Hikayat Kadirun
Hikayat Kalila dan Damina
Hikayat Masydulhak
Hikayat Pandawa Jaya
Hikayat Pandja Tanderan
Hikayat Putri Djohar Manikam
Hikayat Sri Rama
Hikayat Tjendera Hasan
Tsahibul Hikayat
Syair
Syair Bidasari
Syair Ken Tambuhan
Syair Raja Mambang Jauhari
Syair Raja Siak
Kitab agama
Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri












Sastra Melayu Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang
dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah
Sumatera lainnya", serta orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa.
Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan
terjemahan novel barat.
Karya Sastra Melayu Lama
Robinson Crusoe (terjemahan)
Lawan-lawan Merah
Mengelilingi Bumi dalam 80 hari
(terjemahan)
Graaf de Monte Cristo
Nona Leonie
Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
Cerita Rossina
Nyai Isah oleh F. Wiggers
(terjemahan)
Kapten Flamberger (terjemahan)
Rocambole (terjemahan)
Nyai Dasima oleh G. Francis
(Indo)
Bunga Rampai oleh A.F van
Dewall
Kisah Perjalanan Nakhoda
Bontekoe
Kisah Pelayaran ke Pulau
Kalimantan
Kisah Pelayaran ke Makassar dan
lain-lainnya
Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R
Kommer (Indo)
Cerita Nyi Paina
Cerita Nyai Sarikem
Cerita Nyonya Kong Hong Nio
Drama Raden Bei Surioretno
Syair Java Bank Dirampok
Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
Tambahsia
Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
Nyai Permana
Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)
dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra
Melayu-Lama lainnya







Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920,
yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama)
dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah
sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul
dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian
(cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar).
Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa
Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa
Madura.
Nur Sutan I skandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" karena ada
banyak sekali karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para
pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah
"Novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting.
Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.
Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya
pada masa itu.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:
Merari Siregar
Azab dan Sengsara (1920)
Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
Cinta dan Hawa Nafsu
Marah Roesli
Siti Nurbaya (1922)
La Hami (1924)
Anak dan Kemenakan (1956)
Muhammad Yamin
Tanah Air (1922)
Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
Nur Sutan Iskandar
Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923)
Cinta yang Membawa Maut (1926)
Salah Pilih (1928)
Karena Mentua (1932)
Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
Hulubalang Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
Tulis Sutan Sati
Tak Disangka (1923)
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak Membalas Guna (1932)
Memutuskan Pertalian (1932)
Djamaluddin Adinegoro
Darah Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati
Pertemuan (1927)
Abdul Muis
Salah Asuhan (1928)
Pertemuan Djodoh (1933)
Aman Datuk Madjoindo
Menebus Dosa (1932)
Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)


Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman
Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar
Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia.
Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan
Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru

Sutan Takdir Alisjahbana
o Dian Tak Kunjung Padam (1932)
o Tebaran Mega - kumpulan sajak
(1935)
o Layar Terkembang (1936)
o Anak Perawan di Sarang Penyamun
(1940)
Hamka
o Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
o Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
(1939)
o Tuan Direktur (1950)
o Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
Armijn Pane
o Belenggu (1940)
o Jiwa Berjiwa
o Gamelan Djiwa - kumpulan sajak
(1960)
o Djinak-djinak Merpati - sandiwara
(1950)
o Kisah Antara Manusia - kumpulan
cerpen (1953)
o Habis Gelap Terbitlah Terang -
Terjemahan Surat R.A. Kartini
(1945)
Sanusi Pane
o Pancaran Cinta (1926)
o Puspa Mega (1927)
o Madah Kelana (1931)
o Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
o Kertajaya (1932)
Tengku Amir Hamzah
o Nyanyi Sunyi (1937)
o Begawat Gita (1933)
o Setanggi Timur (1939)
Roestam Effendi
o Bebasari: toneel dalam 3
pertundjukan
o Pertjikan Permenungan
Sariamin Ismail
o Kalau Tak Untung (1933)
o Pengaruh Keadaan (1937)
Anak Agung Pandji Tisna
o Ni Rawit Ceti Penjual Orang
(1935)
o Sukreni Gadis Bali (1936)
o I Swasta Setahun di
Bedahulu (1938)
J.E.Tatengkeng
o Rindoe Dendam (1934)
Fatimah Hasan Delais
o Kehilangan Mestika (1935)
Said Daeng Muntu
o Pembalasan
o Karena Kerendahan Boedi
(1941)
Karim Halim
o Palawija (1944)











Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan
Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru
yang romantik-idealistik.
Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut
kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep
seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang".
Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai
alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa
Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
Chairil Anwar
o Kerikil Tajam (1949)
o Deru Campur Debu (1949)
Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
o Tiga Menguak Takdir (1950)
Idrus
o Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
o Aki (1949)
o Perempuan dan Kebangsaan
Achdiat K. Mihardja
o Atheis (1949)
Trisno Sumardjo
o Katahati dan Perbuatan (1952)
Utuy Tatang Sontani
o Suling (drama) (1948)
o Tambera (1949)
o Awal dan Mira - drama satu babak (1962)
Suman Hs.
o Kasih Ta' Terlarai (1961)
o Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
o Pertjobaan Setia (1940)


Angkatan 1950 - 1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri
angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.
Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya,
Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam
Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah
perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik
praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an
Pramoedya Ananta Toer
o Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)
o Bukan Pasar Malam (1951)
o Di Tepi Kali Bekasi (1951)
o Keluarga Gerilya (1951)
o Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
Toto Sudarto Bachtiar
o Etsa sajak-sajak (1956)
o Suara - kumpulan sajak 1950-
1955 (1958)
Ramadhan K.H
o Perburuan (1950)
o Cerita dari Blora (1952)
o Gadis Pantai (1965)
Nh. Dini
o Dua Dunia (1950)
o Hati jang Damai (1960)
Sitor Situmorang
o Dalam Sadjak (1950)
o Djalan Mutiara: kumpulan tiga
sandiwara (1954)
o Pertempuran dan Saldju di Paris
(1956)
o Surat Kertas Hidjau: kumpulan
sadjak (1953)
o Wadjah Tak Bernama: kumpulan
sadjak (1955)
Mochtar Lubis
o Tak Ada Esok (1950)
o Jalan Tak Ada Ujung (1952)
o Tanah Gersang (1964)
o Si Djamal (1964)
Marius Ramis Dayoh
o Putra Budiman (1951)
o Pahlawan Minahasa (1957)
Ajip Rosidi
o Tahun-tahun Kematian (1955)
o Ditengah Keluarga (1956)
o Sebuah Rumah Buat Hari Tua
(1957)
o Cari Muatan (1959)
o Pertemuan Kembali (1961)
Ali Akbar Navis
o Robohnya Surau Kami - 8 cerita
pendek pilihan (1955)
o Bianglala - kumpulan cerita pendek
(1963)
o Hujan Panas (1964)
o Kemarau (1967)
o Priangan si Jelita (1956)
W.S. Rendra
o Balada Orang-orang Tercinta
(1957)
o Empat Kumpulan Sajak
(1961)
o Ia Sudah Bertualang (1963)
Subagio Sastrowardojo
o Simphoni (1957)
Nugroho Notosusanto
o Hujan Kepagian (1958)
o Rasa Sajang (1961)
o Tiga Kota (1959)
Trisnojuwono
o Angin Laut (1958)
o Dimedan Perang (1962)
o Laki-laki dan Mesiu (1951)
Toha Mochtar
o Pulang (1958)
o Gugurnya Komandan Gerilya
(1962)
o Daerah Tak Bertuan (1963)
Purnawan Tjondronagaro
o Mendarat Kembali (1962)
Bokor Hutasuhut
o Datang Malam (1963)













Angkatan 1966 - 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.
Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan
ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik,
arus kesadaran, arketip, dan absurd.
Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra
pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah
Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan
Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra
Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta,
Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad
Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966
Taufik Ismail
o Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
o Tirani dan Benteng
o Buku Tamu Musim Perjuangan
o Sajak Ladang Jagung
o Kenalkan
o Saya Hewan
o Puisi-puisi Langit
Sutardji Calzoum Bachri
o O
o Amuk
o Kapak
Abdul Hadi WM
o Meditasi (1976)
o Potret Panjang Seorang Pengunjung
Pantai Sanur (1975)
o Tergantung Pada Angin (1977)
Sapardi Djoko Damono
o Dukamu Abadi (1969)
o Mata Pisau (1974)
Goenawan Mohamad
o Parikesit (1969)
o Interlude (1971)
o Potret Seorang Penyair Muda
Sebagai Si Malin Kundang (1972)
o Seks, Sastra, dan Kita (1980)
Umar Kayam
o Seribu Kunang-kunang di
Manhattan
o Sri Sumarah dan Bawuk
o Lebaran di Karet
o Pada Suatu Saat di Bandar
Sangging
o Kelir Tanpa Batas
o Para Priyayi
Djamil Suherman
o Perjalanan ke Akhirat (1962)
o Manifestasi (1963)
Titis Basino
o Dia, Hotel, Surat Keputusan
(1963)
o Lesbian (1976)
o Bukan Rumahku (1976)
o Pelabuhan Hati (1978)
o Pelabuhan Hati (1978)
Leon Agusta
o Monumen Safari (1966)
o Catatan Putih (1975)
o Di Bawah Bayangan Sang
Kekasih (1978)
o Hukla (1979)
Iwan Simatupang
o Ziarah (1968)
o Kering (1972)
o Merahnya Merah (1968)
o Keong (1975)
o RT Nol/RW Nol
o Tegak Lurus Dengan Langit
M.A Salmoen
o Masa Bergolak (1968)
Parakitri Tahi Simbolon
o Ibu (1969)
Chairul Harun
o Warisan (1979)
Kuntowijoyo
o Khotbah di Atas Bukit (1976)
M. Balfas
o Lingkaran-lingkaran Retak
o Jalan Menikung
Danarto
o Godlob
o Adam Makrifat
o Berhala
Nasjah Djamin
o Hilanglah si Anak Hilang (1963)
o Gairah untuk Hidup dan untuk Mati
(1968)
Putu Wijaya
o Bila Malam Bertambah Malam
(1971)
o Telegram (1973)
o Stasiun (1977)
o Pabrik
o Gres
o Bom
(1978)
Mahbub Djunaidi
o Dari Hari ke Hari (1975)
Wildan Yatim
o Pergolakan (1974)
Harijadi S. Hartowardojo
o Perjanjian dengan Maut
(1976)
Ismail Marahimin
o Dan Perang Pun Usai (1979)
Wisran Hadi
o Empat Orang Melayu
o Jalan Lurus










Angkatan 1980 - 1990an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya
roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T.
Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan
umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah:
Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,
Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi
Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada
dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La
Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada
novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama
biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi
romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka
adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi
oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop,
yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial
Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang
kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani
Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka
Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an
Ahmadun Yosi Herfanda
o Ladang Hijau (1980)
o Sajak Penari (1990)
o Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
o Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
o Sembahyang Rumputan (1997)
Y.B Mangunwijaya
o Burung-burung Manyar (1981)
Darman Moenir
o Bako (1983)
o Dendang (1988)
Budi Darma
o Olenka (1983)
o Rafilus (1988)
Sindhunata
o Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
Arswendo Atmowiloto
o Canting (1986)
Hilman Hariwijaya
o Lupus - 28 novel (1986-2007)
o Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
o Olga Sepatu Roda (1992)
o Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
Dorothea Rosa Herliany
o Nyanyian Gaduh (1987)
o Matahari yang Mengalir (1990)
o Kepompong Sunyi (1993)
o Nikah Ilalang (1995)
o Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
Gustaf Rizal
o Segi Empat Patah Sisi (1990)
o Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
o Ben (1992)
o Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
Remy Sylado
o Ca Bau Kan (1999)
o Kerudung Merah Kirmizi (2002)
Afrizal Malna
o Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
o Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
o Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
o Dinamika Budaya dan Politik (1991)
o Arsitektur Hujan (1995)
o Pistol Perdamaian (1996)
o Kalung dari Teman (1998)





Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu
KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang
"Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-
karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar
reformasi.
Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-
sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan
buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada
akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai
pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan
novel -- pada saat itu.
Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji
Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat
dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-
sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
Widji Thukul
o Puisi Pelo
o Darman












Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak
berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002
melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000".
Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia,
Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra
dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak
1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang
muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
Ahmad Fuadi
o Negeri 5 Menara (2009)
o Ranah 3 Warna (2011)
Andrea Hirata
o Laskar Pelangi (2005)
o Sang Pemimpi (2006)
o Edensor (2007)
o Maryamah Karpov (2008)
o Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
Ayu Utami
o Saman (1998)
o Larung (2001)
Dewi Lestari
o Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
o Supernova 2: Akar (2002)
o Supernova 3: Petir (2004)
o Supernova 4: Partikel (2012)
Habiburrahman El Shirazy
o Ayat-Ayat Cinta (2004)
o Diatas Sajadah Cinta (2004)
o Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
o Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o Dalam Mihrab Cinta (2007)
Herlinatiens
o Garis Tepi Seorang Lesbian (2003)
o Dejavu, Sayap yang Pecah (2004)
o Jilbab Britney Spears (2004)
o Sajak Cinta Yang Pertama (2005)
o Malam Untuk Soe Hok Gie (2005)
o Rebonding (2005)
o Broken Heart, Psikopop Teen Guide (2005)
o Koella, Bersamamu dan Terluka (2006)
o Sebuah Cinta yang Menangis (2006)
Raudal Tanjung Banua
o Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
o Ziarah bagi yang Hidup (2004)
o Parang Tak Berulu (2005)
o Gugusan Mata Ibu (2005)
Seno Gumira Ajidarma
o Atas Nama Malam
o Sepotong Senja untuk Pacarku
o Biola Tak Berdawai














CIRI DAN LATAR BELAKANG BERBAGAI
PERIODISASI SASTRA INDONESIA

Periodisasi sastra ialah pembagian sastra atau pembabakan sastra berdasarkan atas kurun
waktu atau zamannya. Terjadinya periode sastra karena terjadinya perubahan zaman, pola pikir,
serta gaya hidup yang akhirnya menghasilkan perubahan hasil sastra.

Sebelum tahun 1966 telah ada empat pembagian sastra yang disebabkan oleh perubahan
pandangan dan kurun waktu. Namun, semuanya masih berdasarkan pandangan yang
disampaikan oleh Abdullah bin Abdul Kadir Mumsyi dan Angkatan '45.

A. Angkatan 20 (Angkatan Balai Pustaka/ Siti Nurbaya).

Latar Belakang:
1. Pemerintahan jajahan mendirikan taman bacaan rakyat.
2. Mengumpulkan/membukukan cerita rakyat.
3. Memberi kesempatan kepada pengarang untuk lebih kreatif.
Ciri-ciri:
1. Merupakan tuntunan budi pekerti.
2. Mengumpulkan/membukukan cerita rakyat.
3. Pelakunya sebagian besar meninggal dunia.
4. Bertema kedaerahan dan kawin paksa.
5. Nama pengarangnya dibukukan.
6. Romantis sentrimentil (berlebihan).
Pengarang dan Beberapa Karyanya:
1. Merari Siregar: Azab dan Sengsara, Si Jamin dan Si Johan, Binasa Karena Gadis
Priangan.
2. Marah Roesli: Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, La Nami (Roman Sejarah).
3. Abdul Muis: Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Robert Anak Surapati (Roman Sejarah).

B. Angkatan 30(Angkatan Pujangga Baru/Majalah)


Latar Belakang:
1. Pertemuan dengan Bangsa Eropa yang berpengaruh pada politik, jalan pikiran, pola
hidup, dan hasil sastra.
2. Lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mengangkat Bahasa Melayu sebagai
bahasa resmi sekolah.
Ciri-ciri:
1. Bertema nasional.
2. Romantis idealis (penuh cita-cita).
3. Impresimisme (penuh kesan).
4. Meniru kebudayaan Belanda.
5. Bentuk puisinya berbaris: distikon, quin, kuatrin, cektek, tersina, septina, oktat, syair,
soneta.
6. Nama pengarang ditulis.
7. Bahasa klise ditinggalkan.
8. Ada permainan bunyi.
Pengaran dan Beberapa Karyanya:
1. STA (Sultan Takdir Alisjahbana): Layar Terkembang (Roman), Anak Perawan di Sarang
Penyamun (Roman), Tebaran Mega (kumpulan puisi).
2. Armijn Pane: Habis Gelap Terbitlah Terang (kumpulan terjemahan surat), Belenggu
(Roman), Jiwa Berjiwa (kumpulan puisi).
3. Amir Hamzah: Buah Rindu (kumpulan puisi), Nyanyi Suci (berisi kerinduan seseorang
pada Tuhannya/puisi), Bhagawat Gita (prosa).

C. Angkatan 45

Latar Belakang:
1. Kekejaman penjajah terhadap rakyat/sastra.
2. Penderitaan rakyat akibat revolusi.
Ciri-ciri:
1. Ekspresionisme
2. Romantis realistis.
3. Lebih mementingkan isi daripada bahasa.
4. Humanisme Universal.
5. Sinisme.
6. Realita (sesuai kenyataan).
Pengarang dan Beberapa Karyanya:
1. Chairil Anwar (Raja Puisi): Aku, Kerawang Bekasi, Diponegoro, Beta Pattirajawane.
2. Mochtar Lubis: Harimau! Harimau! (Roman), Jalan Tak Ada Ujung (Roman), Tak Ada
Esok (Roman).
3. Idrus (Raja Prosa): Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah, Dari Ave Maria ke Jalan Lain
ke Roma

D. Angkatan 50
Nama angkatan ini diusulkan oleh W.S. Rendra, namun tidak mendapat sambutan karena
latar belakang, ciri-ciri, dan pengarang sebagian besar sama dengan Angkatan '45.

Pengarang dan Beberapa Karyanya:
1. W.S. Rendra (Raja Penyair dan Dramawan): Balada Orang-orang Tercinta (kumpulan
puisi), Balada Terbunuhnya Atma Karpo (kumpulan puisi), Odipus Sang Raja (Drama).
2. Ajip Rosidi: Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen), Surat Cinta Endang Rosidin,
Pesta (kumpulan puisi).
3. NH. Dini: Dua Dunia (kumpulan cerpen), Namaku Hiroko (Roman), Padang Halang di
Belakang Rumah (Roman), Pada Sebuah Kapal.

E. Angkatan 66

Latar Belakang:
1. Penyelewengan oleh pemimpin rakyat.
2. Korupsi merajalela.
3. Pengangkapan dan kekejaman terhadap orang-orang yang menentang pemerintahan
Ciri-ciri:
1. Bentuknya puisi bebas dan cerpen.
2. Isinya protes terhadap pemimpin yang lupa daratan.
3. Bahsanya panjang-panjang.
4. Temanya penderitaan rakyat.
5. Munculnya kelaguan
Pengaran dan Beberapa Karyanya:
1. Taufik Ismail: Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini, Dari Ibu Seorang Demonstran,
Yang Kami Minta Hanyalah Sebuah Bendungan Saja, Malu Aku Jadi Orang Indonesia.
2. Masyur Samin: Pidato Seorang Demonstran, Pernyataan, Ode Pemakaman.
3. Buur Raswanto: Telah Gugur Beberapa Nama, Tirani, Bumi yang Berpeluh, Mereka
Telah Bangkit.




RINGKASAN KARYA SASTRA
Balai Pustaka
Azab Dan Sengsara oleh Merari Siregar
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang terkenal
kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat segan dan hormat kepada
keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong
anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya termasuk keluarga
bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh
miskin dan meninggal dalam keadaan demikian.

Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap bersahabat
dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat
hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan,
mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak
mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan
jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada
kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.

Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu
berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup
bahagia.

Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak
berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka,
jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai
salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.

Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala
kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat.
Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh
karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan
merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud
menggagalkan niat putranya.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun
untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu
daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu
memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar
perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan
Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut
suaminya baik bagi kehidupan anaknya.

Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang
menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang
berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan
penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon
istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di
stasiun.

Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera
mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan
segera terobati.

Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan
membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu,
sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat
berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung
dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya
pada Mariamin.

Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah.
Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.

Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran
Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa
Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri.
Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa
menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja
menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.

Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu
belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila
keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika
suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran
dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan
kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya
dengan kejam.

Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin
dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan
senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin
mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-
jadinya.

Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan
melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun
harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.

Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama
kemudian, penderitaay yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan
kematiannya. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad
yang kasar itu.

Siti Nurbaya oleh Marah Rusli

Diceritakan seorang gadis cantik bernama Siti Nurbaya anak Baginda Sulaiman. Suatu hari
Baginda Sulaiman meminjam uang kepada Datuk Marnggih, seorang saudagar tua yang kaya.
Baginda Sulaiman membangun usaha toko dengan uang hasil pinjamannya itu, namun musibah
melanda. Setelah toko Baginda ramai, toko tersebut terbakar habis. Baginda Sulaiman bangkrut.
Di tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih hutangnya kepadanya. Tentu saja
Baginda Sulaiman tidak mempu membayarnya.

Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Siti Nurbaya, Putri Baginda
Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran Datuk Maringgih ini diterima, maka
hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya diserahkan untuk
menadi istri Datuk Maringgih. Waktu itu Samsulbahri, kekasih Siti Nurbaya sedang bersekolah
di Jakarta. Namun begitu, Samsul Bahri tahu bahwa kekasihnya menikah dengan orang lain. Hal
tersebut dia ketahui dari surat yang dikirim oleh Siti Nurbaya kepadanya. Dia sangat terpukul
oleh kenyataan itu.

Tidak lama kemudian, ayah Siti Nurbaya jatuh sakit karena derita yang menimpanya begitu
beruntun. Kebetulan saat itu Samsulbahri sedang berlibur, sehingga dia punya waktu untuk
mengunjungi keluarganya di Padang. Di samping kepulangnya kekampung pada waktu liburan
karena kangennya pada keluarga, namun sebenarnya dia juga sekaligus hendak mengunjungi Siti
Nurbaya yang sangat dia rindukan. Ketika Samsulbahri dan Siti Nurbaya sedang duduk di bawah
pohon, tiba-tiba muncul Datuk Maringgih di depan mereka.

Datuk Maringgih begitu marah melihat mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau
itu, sehingga Datuk maringgih berusaha menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau
membiarkan kekasihnya dianiaya, maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh
ketanah. Karena saking kaget dan takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga terdengar
oleh ayahnya di rumah yang sedang sakit keras.

Mendengar teriakan anak yang sangat dicinatianya itu, dia berusaha bangun, namun karena
dia tidak kuat, ayah Siti Nurbaya kemudian jatuh terjerembab di lantai. Dan rupanya itu juga
nyawa Baginda Sulaiman langsung melayang.

Karena kejadian itu, Siti Nurbaya oleh datuk Maringgih diusir, karena dianggap telah
mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke kampunyanya
danm tinggal bersama bibinya. Sementara Samsulbahri yang ada di Jakarta hatinya hancur dan
penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut kekasihnya. Siti Nurbaya menyusul
kekasihnya ke Jakarta, naumun di tengah perjalanan dia hampir meninggal dunia, ia terjatuh
kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya.

Tetapi Siti Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga dia
tidak jadi jatuh ke laut.Rupanya, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi
marabahaya sberikutnye menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta, Siti Nurbaya ditangkap
polisi, karena surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah Siti Nurbaya bahwa dia ke
Jakarta telah membawa lari emasnya atau hartanya.

Samsulbahri berusaha keras meolong kekasihnya itu agar pihak pemerintah mengadili Siti
Nirbaya di Jakarta saja, bukan di Padang seperti permintaan Datuk Maringgih. Namun usahanya
sia-sia, pengadilan tetap akan dilaksanakan di Padang. Namun karena tidak terbukti Siti Nurbaya
bersalah akhirnya dia bebas. Beberapa waktu kemudian.

Samsulbahri yang sudah naik pangkat menjadi letnan dikirim oleh pemerintah ke Padang
untuk membrantas para pengacau yang ada di daerah padang. Para pengacau itu rupanya salah
satunya adalah Datuk Maringgih, maka terjadilah pertempuran sengit antara orang-orang Letnan
Mas (gelar Samsulbahri) dengan orang-orang Datuk Maringgih.

Letnan Mas berduel dengan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dihujani peluru oleh
Lentan Mas, namun sebelum itu datuk Maringgih telah sempat melukai lentan Mas dengan
pedangnya. Datuk Maringgih meninggal ditempat itu juga, sedangkan letan mas dirawat di
rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit, sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan
dengan ayahnya untuk minta maaf atas segala kesalahannya.

Samsulbahripun meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta kepada
orangtuanya agar nanti di kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya.
Perminataan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan
kuburan kekasihnya Siti Nurbaya. Permintan itupun dikabulkan.



Salah Asuhan oleh Abdul Muis
Hanafi adalah seorang amak pribumi yang berasal dari Solok. Ibu hanafi adalah seorang
janda, yang suaminya sudah meninggal semenjak hanafi masih kecil. Ibu hanafi sangat
menyayanginya. Meskipun sudah menjanda, ibunya berkeinginan untuk memandaikan anaknya.
Ibunya mengirim Hanafi ke Betawi untuk bersekolah di HBS. Ibunya selalu berusaha keras
untuk selalu memenuhi segala biaya Hanafi. Selama bersekolah di Betawi, Hanafi dititipkan
kepada keluarga Belanda. Sehingga pergaulan Hanafi tidak lepas daro orang-orang Belanda.

Setelah lulus sekolah di HBS, pergaulannya juga tidak lepas dari orang-orang Eropa,
karena ia bekerja di Kantor BB sebagai asisten residen di Solok. Meskipun Hanafi seorang
pribumi asli, tingkah lakunya serta gaya hidupnya sudah berubah menjadi kebarat-baratan.
Bahkan terkadang tingkah lakunya melebihi orang Belanda asli. Selama ia bergaul dengan
orang-orang eropa dan setiap hari bersekolah di HBS, Hanafi dekat dengan gadis eropa yang
bernama Corrie.

Dalam kesehariannya Hanafi dan Corrie memanglah sangat dekat, hubungan keduanya
seperti kakak dengan adiknya. Mereka sering jalan-jalan berdua, main tenis bahkan duduk-duduk
sambil menikmati segelas teh pun juga berdua. Karena hubungan mereka sangat amat dekat,
maka Hanafi pun menganggap pertemanan itu dianggap lain. Hanafi sayang kepada Corrie,
namun perasaan itu bukan sekedar hanya rasa sayang seorang kakak kepada adiknya, melainkan
rasa sayang sebagai pacar.

Setiap hari Hanafi selalu bertemu dengan Corrie meskipun hanya sebentar saja. Sikap
Corrie kepada Hanaffi juga masih nampak seperti biasanya. Hingga akhirnya Hanafi
memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Corrie. Namun ketika Hanafi
mengungkapkan isi hatinya, Corrie tidak langsung memberi jawaban kepada Hanafi, melainkan
segera berpamitan pulang dengan alasan yang tidak jelas. Keesokan harinya, Corrie pergi
meninggalkan Solok menuju Betawi. Maka dikirimkan surat kepada Hanafi, yang isinya
penolakan secara halus mengenai pernyataan Hanafi pada tempo hari.

Corrie merasa sangat tidak mungkin menerima Hanafi, karena perbedaan budaya antara
bangsa melayu dengan bangsa eropa. Selain itu Corrie juga ditentang oleh ayahnya jika menikah
dengan orang melayu. Karena penolakan tersebut, Hanafi jatuh sakit selama beberapa hari.
Selama dia sakit, Hanafi hanya dirawat oleh ibunya, dan selama itu pula Hanafi sering mendapat
nasihat dari ibunya.

Ibunya menasihati dan membujuk Hanafi agar menikah dengan Rapiah, yaitu anak
mamaknya. Karena pada saat Hanafi bersekolah di HBS, mamaknyalah yang mencukupi
kebutuhan Hanafi. Mendengar bujukan Ibunya, Hanafi sangat amat marah, karena Hanafi
sungguh tidak mengetahui siapakah Rapiah itu dan Hanafi hanya suka kepada Corrie, yang telah
menolak cintanya. Maka Ibu Hanafi menjelaskan bahwa Rapiah adalah anak mamak, Sultan
Batuah. Perjodohan itu dikarenakan Ibu Hanafi berhutang budi kepada Sultan Batuah. Setelah
mendapat bujukan dari Ibunya, akhirnya Hanafi menerima perjodohan itu, meskipun dengan
sangat terpaksa.

Dua tahun sudah usia pernikahan Hanafi dan Rupiah, dan mereka dikaruniai seorang anak
laki-laki yang bernama Syafei. Pernikahan yang tidak didasari dengan rasa cinta itu membuat
rumah tangga mereka tidak pernah tentram. Setiap hari Hanafi selalu memaki-maki istrinya
karena hal yang sepele. Namun Rapiah hanya diam dan tidak pernah melawan semua perlakuan
suaminya. Hal itulah yang membuat Ibu Hanafi kagum kepada Rapiah, hingga suatu hari Hanafi
murka kepada Ibunya.

Dengan tidak sengaja Ibunya menyumpahi Hanafi. Tiba-tiba anjing gila mengigit
pergelangan Hanafi hingga Hanafi harus berobat ke Betawi. Sampai di Betawi Hanafi
bertabrakan dengan seorang gadis eropa, yang tidak lain adalah Corrie. Dengan amat senang
mereka berdua menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan berdua menggunakan sepeda angin.
Sudah satu minggu Hanafi meninggalkan Solok, setelah itu Hanafi mencari kerja di Kantor BB
sebagai commies.

Meskipun gaji awal cukup kecil, namun hanafi sangat senang. Karena dia dapat bertemu
dengan Corrie setiap hari. Hanafi berusaha keras untuk mendapatkan Corrie, hingga hanafi rela
berubah kewarganegaraan menjadi Eropa. Setelah itu, Hanafi memohon kepada Corrie untuk
menerima ajakan pertunangannya. Karena rasa ibanya kepada Hanafi, Corrie terpaksa
menermanya. Meskipun Corrie harus menerima resiko, yaitu dijauhi oleh teman-teman eropanya,
Pesta pertunangan mereka dilakukan dikediaman rumah teman Belandanya, namun tuan rumah
nampak tidak begitu suka dengan pertunangan itu.

Karena dia tidak suka bergaul dengan orang Belanda berkulit sawo matang. Meskipun
Rapiah dan Ibunya tahu jika Hanafi akan menikah Corrie, namun Rapiah tetap menunggu
kedatangan Hanafi. Karena Ibu Hanafi sangat sayang kepada Rapiah, bahkan sayangnya
melebihi rasa sayangnya kepada Hanafi. Hanafi dan Corrie sudah menjadi suami istri, maka
tinggalah mereka dalam satu rumah.

Namun seiring berjalannya waktu, rumah tangga Hanafi dan Corrie sudah tidak tentram
lagi. Karena sifat Hanafi yang keterlaluan, sampai menuduh Corrie berzina dengan orang lain.
Karena kehidupannya yang dalam kondisi tidak jelas, Bangsa Eropa maupun Bangsa Melayu
sudah tidak mau mengakui Hanafi, karena keangkuhan dan kesombongannya. Pada akhirnya
Corrie pergi ke Semarang untuk menghindari Hanafi.

Namun pada suatu hari, Hanafi menerima surat yang memberi tahukan bahwa Corrie
berada di Semarang. Setelah beberapa hari, Hanafi nekat pergi ke Semarang untuk mencari
Corrie dirumah seorang pengusaha anak-anak yatim. Namun sampai disana justru berita buruk
yang diterima oleh Hanafi.

Bahwa Corrie masuk rumah sakit karena sakit keras, yaitu kolera. Hingga akhirnya nyawa
Corrie ridak dapat ditolong lagi. Setelah kepergian Corrie, Hanafi pulang ke Solok untuk
menemui Ibunya. Setelah beberapa hari Hanafi sampai di Solok, ia jatuh sakit karena menelan 6
butir sublimat, yang menyebabkan Hanafi terus muntah darah dan akhrinya merenggutnyawanya.







Pujangga Baru
LAYAR TERKEMBANG oleh Sultan Takdir Alisyahbana

Tuti dan Maria merupakan anak dari Raden Wiriatmajda, anak sulungnya yaitu Tuti
memiliki sifat yang teguh pendiriannya, pendiam dan aktif dalam berbagai organisasi wanita.
Sebaliknya dengan anak bungsu Wiriatmajda, Maria cenderung periang, lincah dan orang yang
mudah kagum.

Hari minggu ini mereka akan mengunjungi akuarium di sebuah pasar ikan, ketika mereka
hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar seorang pemuda menghampiri mereka yang
kebetulan sepeda pemuda itu bersebelahan dengan sepeda mereka. Akhirnya mereka berkenelan
dengan pemuda tersebut. Pemuda tersebut bernama Yusuf dia merupakan mahasiswa kedokteran
dan putra dari Demang Munaf, yang tinggal di Martapura Kalimantan Selatan. Setelah
berkenalan Yusuf mengantar Tuti dan Maria sampai depan rumah.

Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis tersebut, terutama
Maria gadis yang cantik, lincah dan periang. Yusuf telah menaruh hati kepada Maria sejak
pertama mereka bertemu. Keesokan hainya Yusuf, Maria dan Tuti bertemu di depan hotel Des
Indes semenjak pertemuan mereka yang kedua itu Yusuf sering sekali menjemput Maria untuk
berangkat bersama ke sekolah. Hubungan mereka semakin dekat, Yusuf pun sudah berani
berkunjung ke rumah Wiriatmadja untuk menemui Maria. Di sana dia di sambut dengan lembut
dan sopan, sering sekali dia berkunjung ke sana. Tuti pun sedang di sibukkan dengan kongres
Putri Sedar yang di pimpinnya.

Yusuf memutuskan untuk berlibur sebentar di kampong halamannya. Selama berlibur
Maria dan Yusuf saling berkirim surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan telah pindah ke
Bandung. Surat-surat yang dikirim oleh Maria membuat Yusuf semakin rindu kepadanya,
sehingga dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf
di sambut hangat oleh Maria dan Tuti. Yusuf mengajak mereka berjalan-jalan, tetapi Tuti tidak
dapat meninggalkan kesibukannya. Mereka menuju ke air terjun, di bahaw air terjun Maria
merasa kedinginan dalam kesempatan itu Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.

Hari-hari Maria penuh dengan kehangatan dengan Yusuf. Sebaliknya hari-hari Tuti
dihabiskan dengan membaca buku. Melihat kemesraan yang di alami adiknya Tuti pun ingin
mengalami hal yang sama. Tetapi Tuti memiliki kekawatiran terhadap hubungan Maria dan
Yusuf. Tuti menasehati Maria jangan terlalu diperbudak oleh cinta, nasehat Tuti justru memicu
pertengkaran di antara mereka. Maria bahkan menyinggung akibat putusnya hubungan Tuti
dengan tunangannya Hambali. Pertengkatan antara mereka memberikan pukulan keras terhadap
Tuti.

Dari kejadian itu Tuti merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya. Di tempat kerjanya
Tuti mendapat teman baru yaitu Supomo. Supomo sempat menyatakan cintanya kepadanya.
Sekarang Tuti dihadapkan pada dua pilihan antara menikah dengan organisasi Putri Sedar yang
tidak dapat dia tinggalkan. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan Supomo meskipun
dia telah berusia 27 tahun.

Maria terserang sakit yang cukup parah, yaitu muntah darah dan TBC. Keluarga
Wiriatmadja akhirnya memutuskan agar Maria di rawat di rumah sakit Pacet. Tuti pun kembali
memperhatikan Maria, Ia sangat khawatir akan keadaan adiknya. Setiap hari Yusuf juga
mengunjungi Maria, secara langsung Yusuf selalu bertemu dengan Tuti. Tuti dan Yusuf sudah
mulai dekat. Semakin hari keadaan Maria semakin menurun, dan keadaannya berakhir dengan
kematian.

Sebelum meninggal Maria telah berpesan kepada Tuti, supaya apabila jiwanya tidak
terselamatkan kakaknya bersedia menjadi istri kekasihnya yang sekarang ini. Tuti dan Yusuf
telah kehilangan seseorang yang amat mereka sayangi. Sepeninggal Maria, Tuti merasa bahwa
Yusuf dapat di cintainya dengan tulus,. Sebaliknya Tuti juga merasakan bahwa cinta Yusuf
kepadanya juga tulus. Sekarang Tuti merasa yakin bahwa Yusuf adalah calon suami yang baik
dan bisa di cintainya.


Belenggu oleh Arjmin Pane
Sukartono adal ah seorang dokter yang dikenal budi pekertinya, sedia
membantu meskiun pasiennya tidak mempunyai uang untuk membayar
biaya pengobatan. Samgat jaranga ada dokter seperti dokter Sukartono,
dia sudah berumah tangga, Tini, nama istrinya. Mereka hidup kurang
harmonis karena pernikahan mereka tidak didasari cinta, akan hal itu
mereka sering bertengkar. Tini sering marah-marah sendiri dan yang
sering jadi sasaran kemarahan Tini adal ah Karno, pembantunya,
meskipun marah tanpa sebab Karno sering kena marah majikannya si Tini.
Seusai kerja Kartono langsung menuju meja kecil, diruang tengah
mencari bloc-notenya siapa tahu ada pasien. Dia langsung bergegas ketika
mengetahui ada pasien yang sedang membutuhkan dia, setelah beberapa
menit kemudian Kartono masih mencari alamat pasien yang ternyat a
bertempat tinggal dihotel. Sesegera mungkin dokter kartono menghampiri
kamar pasien yang bernama Ny. Eni. Berawal dari pemeriksaan hingga
terjal in sebuah hubungan gel ap, Kartono tak jarang berkunjung kerumah
Ny. Eni yang kemudian ia panggil Yah, hari -hari Kartono sering ia isi
dengan berada dirumah Yah seusai kerja.
Tono sering menghabiskan waktunya dengan Yah daripada dengan
istrinya sendiri, Tono sel alu merasa damai ketika berada dirumah Yah, dia
merasakan tenang dan hil ang semua kepenatannya. Hubungan Tono
dengan istrinya menjadi berantakan, suatu ketika paman Tini datang
berusaha mendamaikan Tono dan Tini agar hidup rukun.
Seiring berjalannya waktu Tini mengetahui hubungan gelap Tono
dengan Yah, Tini berencana mendatangi Yah dan akhirnya Tini bertemu
Yah disebuah hotel, akan tetapi niat Tini yang awalnya ingin mel abrak
Yah gagal karena sikap yang lemah lembut, ironisnya Yah mengetahui
kehidupan gel ap Tini dahulu sebelum menikah dengan Kartono. Tini
tertegun begitu saja ketika ia mengetahui kal au Yah tahu banyak masa lalu
Tini yang gel ap. Tini merasa malu dan menyesal selama ini tidak bisa
menjadi isteri yang baik bagi Tono, kemudian Tini meminta Yah untuk
bersedia menjadi isteri Tono.
Peristiwa di hotel itu menyadarkan Tini kalau dia gagal menjadi
seorang isteri, akhirnya dia meminta cerai dan keputusannya itu
sudah bul at. Dia memutuskan mengabdikan hidupnya di Surabaya,
disebuah panti asuhan, perceraian Tono dan Tini membuat Tono sangat
sedih. Ditambah lagi Yah meninggalkan sepucuk surat yang isinya
meninggalkan Kartono. Sekarang Kartono hanya hidup sebatang kara.

















Angkatan 45
Deru Campur Debu kumpulan puisi oleh Chairil Anwar
Beberapa pilihan puisi Chairil Anwar dalam Deru Campur Debu


Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi




Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
Tujukan perahu ke pangkuanku saja.

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ku mati, dia mati iseng sendiri.
Kawanku dan Aku

Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti


Kepada Kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!



ATHEIS oleh Achdiat K. Mihardja
Hasan, yang lahir di Panyeredan di keluarga penganut Tarekat Naqsyabandiyah, adalah siswa yang
lumayan pandai dan tinggal bersama keluarga dan adik angkat, Fatimah. Seusai masa sekolah, Hasan
berusaha untuk melamar temannya Rukmini untuk menjadi istri. Namun, Rukmini, yang mempunyai
kedudukan sosial lebih tinggi, sudah dijanjikan untuk seseorang kaya di Batavia (sekarang Jakarta).
Sebagai ganti, orang tua Hasan minta agar dia menikah dengan Fatimah. Hasan menolak, lalu mulai
sangat mendalami Islam bersama ayahnya. Dia lalu berpindah ke Bandung untuk bekerja sebagai pegawai
pemerintah.
Di Bandung, Hasan bekerja untuk pemerintah pendudukan Jepang dan hidup secara asketik; dia
sering berpuasa berhari-hari dan memasukkan tubuhnya ke dalam sungai berulang kali dini pagi. Saat di
Bandung, dia bertemu dengan sahabatnya semasa kecil, Rusli, yang memperkenalkan seorang gadis
bernama Kartini. Karena melihat bahwa Rusli dan Kartini adalah Marxis-Leninis yang atheis, Hasan
merasa seakan dipanggil untuk mengembalikan mereka ke agama Islam. Namun, dia tidak dapat
mengatasi argumentasi Rusli yang menolak agama, sampai Hasan pun mulai meragukan keimanannya.
Lama-kelamaan Hasan menjadi semakin sekuler, sampai pada suatu hari dia lebih memilih menonton film
di bioskop bersama Kartini daripada sholat Maghrib. Melalui Rusli, Hasan diperkenalkan dengan
berbagai orang yang menganut berbagai macam ideologi, termasuk Anwar, seorang nihilis yang suka
main wanita; Hasan juga mulai mendekati Kartini.
Pada suatu hari, Hasan kembali ke Panyeredan bersama Anwar untuk mengujungi keluarganya.
Saat di sana, Anwar melihat dua penjaga malam yang ketakutan dekat suatu pemakaman. Ketika diberi
tahu bahwa penjaga malam itu melihat hantu, Anwar masuk ke pemakaman itu bersama Hasan untuk
membuktikan bahwa tidak ada hantu di sana. Namun, Hasan merasa bahwa ada sesuatu yang
mengincarnya; hal ini membuat dia melarikan diri dari pemakaman tersebut. Ketika Anwar tertawa atas
reaksi Hasan, Hasan merasa imannya sudah patah. Dia akhirnya bertengkar heboh dengan keluarganya
tentang soal agama, sehingga dia diusir dari rumah. Sekembali ke Bandung, dia menikah dengan Kartini.
Tiga tahun kemudian, hubungan Hasan dengan Kartini sudah memburuk. Mereka saling
mencurigai. Akhirnya, Hasan melihat Kartini meninggalkan hotel bersama Anwar dan menduga kalau dia
selingkuh - dugaan ini tidak benar. Hasan segera mencerai istrinya itu dan meninggalkan rumah. Tidak
lama kemudian, dia jatuh sakit dengan tuberkulosis. Setelah beberapa minggu, dia kembali ke Panyeredan
karena mendengar bahwa ayahnya sangat sakit. Biarpun dia hendak berbaikan, ayahnya mengusir Hasan
sebagai godaan setan. Dalam keadaan putus asa, Hasan kembali ke Bandung.
Dalam keadaan sakit-sakitan, Hasan mendekati seorang jurnalis dan menyerahkan suatu tulisan
berisi riwayat hidupnya; jurnalis ini bersedia menerbitkan karya Hasan itu bilamana terjadi sesuatu
kepada Hasan. Tak lama kemudian, Hasan keluar rumah setelah jam malam dan tertembak oleh patroli
Jepang. Dia lalu meninggal setelah disiksa, dengan kata terakhirnya "Allahu Akbar". Hari berikutnya,
Rusli dan Kartini menjemput mayatnya

You might also like