Mahasiswa BSI 2009 Epilog: Ahda Imran 2012 Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung Kerjasama: JEJAK-JEJAK Antologi Cerpen dan Puisi Mahasiswa BSI 2009 Hak Cipta 2012, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Hak cipta dilindungi undang-undang. All right reserved. Kurator: Ahda Imran. Desain Sampul: Tim Penerbit SIRARU Layout: Tim Penerbit SIRARU ISBN: 978-602-18345-2-7 Diterbitkan atas kerja sama antara Penerbit SIRARU, Jln. A.H. Nasution, No. 33 RT. 03 RW. 05 Desa Cipadung Kecamatan Cibiru Kota Bandung 40614 Telp. 081220131313 - surel: penerbit.siraru@email.com dengan Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung,dan ELSA. 3 D DA AF FT TA AR R I IS SI I DAFTARISI 3 DEDI SULAEMAN,M.HUM PROLOG 11 PUISI JUWITA RACHMAWATI HERMAWAN PUTRI SAWAH 15 ANA ROSDIANA SANG DEWI 16 RAPTI INDRAYANI KOTA TUA 17 ARIF IMAM GHOZALI PEMUJA DEWA 18 PATUNG BERTELANJANG BADAN 19 NADIA FITRI SUMIRAT MALIOBORO 20 ELAN ALBIRUDIN KISAH RAMAYANA 21 NITA NURAENI BINTANG DAN KERINDUAN 22 NINA SURYANI CUMULUS SENDU 24 BAYU MOCHAMAD YANG BODOH DIBODOHI 25 MOCH LUTHFI HAKIEM LEMBAYUNG PERAK 26 AI RIN RIN ANDRIANI PANAS 27 RENI KARTIKA KISAH SEEKOR ANJING 28 4 AI SRI NURYANI ISTANA AIR TAMAN SARI 29 HERNAWATI MILIK KITA 30 HANDRI PRASETIA PASAR JALANAN 31 UMAR FARUK 0KM 32 DESY AMDIASARI WATER CASTLE 33 PEMUDA 09 34 RESA RAHMADANI BOROBUDUR 35 EKA ARI ASTUTI KENANGAN CANDI ITU 36 ICHWAN DANURI PRATAMA SENJA LANGIT PRAMBANAN 37 RIANA YUSUF BUS MELAJU TAK MAU TAHU 38 AZKUR CHIMAWAN HIDUP ADALAH BATU 39 MELLYRACHMAWATI MAWAR 40 ARRY PURNAMA KEN 41 AKAR TUA 42 DINI NURDINIYATI BARONG YANG TERLEWATKAN 43 DI MANA INDONESIA? 44 SUSANDI BATIK JUVENTUS 45 NAGA JADI KUYA 46 SITI NUROHMAH SANG TUGU 47 RAMA SHINTA 48 5 TYAS SAMESTI KMSB 49 YENI ELMI JUBIR CANDI 50 NIKIE MEINIKA BOROBUDUR 51 EUIS FATIMAH PATUNG BATU DI SAMPINGKU 52 KOKOM RATNASARI MALIOBORO CINTAKU 53 SITI AISAH PESONA PRAMBANAN 54 SUARA MALIOBORO MALAM 55 KESETIAAN KECIL 56 DINI PITRIANI YOGYAKARTA 57 DADANG ISKANDAR BOROBUDUR 58 YOGYAKARTA 59 ASEP TAOPIK HUSNA TERATAI UNGU TAK BERBAJU 60 BUNGA-BUNGA DI SUBUH TERANG 61 ALI MUKSIN PANAS KOTA 62 PIPIT FITRIA JEJAK-JEJAK 63 SAJAK PERJALANAN 64 JAYA PRASETIA HAMPA 65 AJEM YUSTIKA KAU INDAH 66 SITI AISYAH ...LELAH... 67 DEWI R.AHDAWIAH MAHA KUASA 68 6 ASEP RIDWAN SONGSONGAN FAJAR 69 SITI KHOIRI INAYAH MAHAKARYA 70 RIZAL DARMAWAN JAM DUA BELAS 71 DIAN NURENDAH PADANG RAJA-RAJA 72 LIA MARLIAWATI TAMAN SARI 73 YUSANTHIYA WINDHIANITA MALAM DI MALIOBORO 74 MESJID BAWAH TANAH DI YOGYAKARTA 75 HERI NURJAYA MALAM DI PRAMBANAN 76 BOROBUDUR 77 CANTING COKLAT 78 ARI SUHARTO KOPI JOSS 79 RIZKI FAUZI KERTAS KOSONG YOGYAKARTA 80 MALAM DI MALIOBORO 81 PIPIT NURUL FITRIAH DALAM BIS 82 INTAN WULAN KUSTIANI BOROBUDUR 83 SANTI RAMDHANI TAHTA UNTUK RAKYAT 84 MEREKA YANG MENGABDI 85 DERRY RIZKIANA MALAM DI MALIOBORO 86 LISDA PALUPI UTAMI DI UJUNG HARI KALA PRAMBANAN MEMBAYANG 87 MAISAROH LONG DISTANCE (JOGJA,...ANTARA BANDUNG DAN SURABAYA) 88 7 SISKA HARDIANA SAFITRI --- 89 SADAM HUSEN PACAR SEHARI 90 YUDA RAHMAT HIDAYAT KENANGAN 91 NONOH MARDIYANAH LAYAKNYA BATIK 92 SHOBAHUL FUTUH HABIS API TERBITLAH MATAHARI 94 YASHINTA PRADINA SAPUTRA JALANAN JOGJA 95 IDAS DASIMAH GELAPNYA BERNYAWA 96 DIAN PURNAMA SAWANG 97 MEDUSA 98 JASMARYADI TAKAPA KAU PANGGIL AKU HANOMAN 99 KATA DI ANTARA PRAMBANAN DAN BOROBUDUR 100 ASEP KOSWARA KICAUAN BURUNG PAGI 101 FOURUS HUZNATUL A CINTA ABADI 102 EKA AYU WAHYUNI RUSAK 103 INGIN 104 RENREN SITI NURHASANAH DI JENDELA BIS 105 SITI HALWA MARDIAH HENING BOROBUDUR 106 WAWI JUMANTARI PENGAMEN BUS KOTA 107 ITA MUSTAPA SUDUT MALAM MALIOBORO 108 8 ARIEF LUQMAN MELODI PAYAU 109 INSAN PURNAMA PRAMBANAN BUKAN CERITA 110 BIRU DI SENDRATARI RAMAYANA 111 YUDHA APRIANSYAH TAKDIR 112 BOROBUDUR 113 SOFIA SUASANA MALAM 114 IKA NURHOSNA F MALIOBORO 115 ERISKA FITRIANI SENDU 116 AHMAD FUAD HANIF KICAUAN BURUNG GEREJA 117 DEVI LUTFIANI S BECAK 118 ELIS NURSITA CANDI PRAMBANAN 119 IMMA JANATY HUJAN DI PRAMBANAN 120 ARI MARGONO AKU 121 AI YENI WAYAI TANAH AIRKU 122 WIDIYARTI NUR BEKTI ISTIMEWA BOROBUDUR 123 SITI PATIMAH CERITA LUKA JOGJA 124 AL IKHLAS ARDIANSYAH JALAN 125 AZZIS FAMEIA SULTAN 126 9 DANIEL ANDREW NUSANTARA 127 DIAN NUGRAHA RAMDANI JAMPARING;TI RAHWANA KEUR SINTA 128 DIBA PRAJAMITHA A. SELAMAT ULANG TAHUN! 129 DWI AGUSTIAN MERAJUT ESOK 130 KIKI AMELIA KRATON 131 MAYMA AMALIA DEWI PANAS 132 MUHAMMAD SIDIK REMANG MALAM MALIOBORO 133 NENENG CERITA DARI ZEBRA-CROSS 134 NURUL FAUZIYYAH SETUMPUK BATU 135 SILVINA NUGRAHAWATI DI BAWAH SAYIDAN 136 YUSANTI JALAN TAK BERUJUNG 137 IMAN IMANULHAKIM MALIOBORO 138 MARIAH NURAENI SANG DEWI SHINTA 139 NURLIANA RACHMAWATI RINDU,ELEGI DAN KAU 140 DINAR SAEFULLOH AKBAR DI DALAM SOBEKAN WAKTU 141 DINI TRI HANDAYANI BATU KESAKITAN 142 FADHILAH JUWITA LESTARI PENCARIAN SEJATI 143 10 FAISAL AMIR MALIK I. BAYANG KESEDIHAN 144 ISYE MUSTIKA WAHAI PENAKU... 145 MOH.FAUZAN RAHMAN SETENGAH JIWA MENGHAMBAKAN APA 146 NURUL AINALKHOMSAH SEPERTI KISAH RAMA SHINTA 147 ARIEF MAULANA GELANGGANG CITRA DI MALAM JOGJAKARTA 148 INEU SRI WAHYUNI ABDI DALEM 149 CERPEN INEU SRI WAYHUNI UANG 5000 153 DANI KRISDIANA SAPU TANGAN MERAH MUDA DI BIS YOGYA 159 LULU MAR ATUN SHALIHAH PENANTIAN 164 NASRUL AFIDIN DALAM MIMPI:MENJADI RAJA 170 ESSAY JAYA KUDA:APA BEDANYA AKU? 179 EPILOG AHDA IMRAN MELANCONG KE YOGYA,MELAWAT KE DALAM BAHASA 185 11 P PR RO OL LO OG G Dedi Sulaeman, M.Hum. Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Segala bentuk puja-puji adalah milik Dia, sang Raja manusia. Dia-lah sang Maha Pengasih-Penyayang yang senantiasa memberikan segala nikmat yang tak terhingga. Dia-lah yang menciptakan kita dari ketiadaan, menjadi ada, dan menjadi tiada lagi. Dia-lah yang memiliki cerita hidup manusia, dan kita sedang menulis cerita hidup kita di atasnya. Alhamdulillah, setelah hasil baca-periksa serta proses editing yang lumayan lama, akhirnya buku kumpulan karya mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris angkatan 2008 ini selesai jua. Antologi ini merupakan buah karya mahasiswa dari Praktek Profesi Lapangan (PPL) berupa travel-writing. Adapun tema yang diusung untuk tahun ini adalah: Waldenizing Jogjakarta. Kata Walden diambil dari karya Henry David Thoreaudengan tentunyamengacu pada konsep beliau terkait sebuah perjalanan yang inspiratif dan bias menghasilkan masterpiece. Jogjakarta merupakan tujuan perjalanan untuk menghasilkan karya bagi mahasiswa yang akan menuang gagasannya. Dengan demikian, karya-karya mahasiswa ini merupakan buah karya dari sebuah perjalanan menuju dan dari Jogjakarta dengan objek inspirasi Jogjakarta dan sebudarannya. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada panitia Waldening Jogjakarta, BSI 2012, kepada dewan redaksi, editor serta kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan dan dukungannya atas lancarnya dan terbitnya karya ini. Akhirul kalam, semoga PPL tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, dan semoga PPL tahun depan lebih baik dari tahun ini. Semoga karya ini bias menjadi bekal dan bahan nostalgia karya berserta konteksnyabagi para pembaca dan penikmat karya. Kami dari pihak Jurusan BSI mohon maaf apabila ada ketidaknyamanan 12 selama pra-kegiatan, pelaksanaan kegiatandan paska-kegiatan. Semoga segala aktivitas kita bias menjadi amal shaleh. Amin. AlhamdulillahiRabbil Alamiin. Bandung, Juli 2012 KetuaJurusan BSI, DediSulaeman, M. Hum. NIP. 197912292008011011 P P U U I I S S I I 15 S SA AW WA AH H Juwita Rachmawati Hermawan Putri Semburan angin membuatnya bergerak Menjadikannya seolah tak kuasa untuk menahan Lambaian angin itu semakin membuat riuk padi bersenggama Satusama lainnya bersentuhan Namun tetap tanpa langkah, tanpa nada Hanya terlihat indah karena geraknya berirama Ingin rasanya menari bersama padi-padi Merasakan hangatnya surya Hingga membuatnya kian menguning Kini pandang tak lagi berbatas Ciamis, 14 Mei 2012 16 S SA AN NG G D DE EW WI I Ana Rosdiana Kau Kecantikanmu menyerupai rembulan Senyumanmu menyerupai kehangatan matahari Anginpun tak kuasa melambai-lambaikan tangannya hanya untuk sekedar mencari perhatianmu Matahari terus memanaskan bumi siang hari hanya untuk menyinari kecantikanmu Hingga membuat batu-batu bersatu padu membuat benteng istanamu demi melindungi tubuh gemulaimu agar tak terjamah oleh tangan- tangan yang bermain Namun, keangkuhan dan kesombonganmu membuatmu terpuruk dan abadi dengan lumuran-lumuran tanah keras 17 K KO OT TA A T TU UA A Rapti Indrayani Angin malam terasa menyapu Bahkan panasnya yang terasa semakin menusuk dan merasuk pori-pori kulitku Menembus hingga jajaran tulang-tulangku dan bahkan menetralisir darah merahku di sini aku menghabiskan waktuku di kota yang sarat makna dan budaya indahmu tak sebanding cuacamu perjalananku menembus berabad-abad yang lalu saksi bisu tentang kerajaan-kerajaan kuno tentang bangunan-bangunan tua yang masih sedikit menempel pada anak cucunya di masa kini dan tentang budaya jawa dengan disuguhi ornamen-ornamen lama ingin sekali rasanya aku menembus lorong waktu untuk sesekali menyaksikannya 18 P PE EM MU UJ J A A D DE EW WA A Arif Imam Ghozali Tangan-tangan sudra Mengukir aksara sejarah suci di atas batu Lukisan beberapa peradaban agung Dari sang wangsa Tangan-tangan telanjang Ruas-ruas kaki yang berkerut Menata batu peranakan bumi dan langit Dan terciptalah rumah maha untuk sang trimurti Keyakinan menembus ruang hampa Dari satu bubuk batu yang tak berguna Menjadi pusat kesejarahan dunia Aksara dan symbol suci di tiap batu sisi Terpahat bersama relief bercandu nafsu Singa yang bermahkotakan vagina Dengan penis yang mengacung Pemuja dewa kesuburan Pemuja dewa tarian 19 P PA AT TU UN NG G B BE ER RT TE EL LA AN NJ J A AN NG G B BA AD DA AN N Arif Imam Ghozali Satu tangan terlipat Kaki batu yang bersila Menjaga kesucian stupa Yang tumbuh di atasnya Dari peradaban wangsa Mahakarya tercipta persembahan dua dunia Para pemuja Darta Bertepuk kea rah syailendra Teratai bermandikan air langit Terapung di atas dewat-dewat keyakinan Tumbuh di antara lembah-lembah kenistaan Dawai terurai dari para pemuja 20 M MA AL LI IO OB BO OR RO O Nadia Fitri Sumirat Goresan kuno yang indah angka yang tak terlihat mata yang terbelalak dalam kehiruk-pikukan berbincang-bincang orang berlalu-lalang, mondar-mandir, di jalan yang panjang dan, jalan yang tergores kuno itu namanya Malioboro 21 K KI IS SA AH H R RA AM MA AY YA AN NA A Elan Albirudin Kami di sini berkumpul saat gelap Membawa mata jiwa yang kehausan Kami menunggu suapan Menembus jauhnya sejarah budaya Kami duduk pada kursi kembar sejuta Dengan mata terbuka berpendengar di udara Datanglah kau sang pembuka suasana Kami terbius terdiam sejak awalmu Meski indra tak mengerti tiap jiwa menikmati Oh, Ternyata hujan menyerang Kau pulang, kamupun pulang 22 B BI IN NT TA AN NG G D DA AN N K KE ER RI IN ND DU UA AN N Nita Nuraeni langit malam itu masih saja sendu. bintang-bintang bersinar bertaburan, tetap saja terasa kalbu. cahaya bulanpun tak mampu menyamarkan suasana yang teramat sangat pilu. Dia masih duduk di sana, di loteng tak beratap. Agar dia lebih leluasa memandang langit sendu. Dia menatap langit, memandang bulan. Sesekali dia mencoba berbicara pada bintang. Dengan bahasa yang tak mampu dimengerti oleh bulan dan langit. Dia berbicara pada bintang. Dengan bahasa kerinduan. Sesekali ia menyapu airmata yang meleleh di pipinya. Dibacanya kembali surat itu, Dia mencoba mencerna setiap goresan tinta yang terukir di atas kertas putih itu. Semakin dia mengerti, semakin dia tak kuasa menahan air matanya. Air mata itu bukanlah air mata bahagia, namun bukan pula air mata duka. Air mata itu air mata rindu. Rindu yang tak bisa terbendung lagi, Rindu yang tak bisa diungkapkan oleh beribu kata indah, Rindu yang tak bisa dilukiskan oleh lagu merdu. Surat itu masih digenggamnya, namun tak kembali ia baca. Kini dia sedang mencoba mengendalikan perasaannya, menata kerinduannya. 23 kepalanya kembali menengadah, menatap langit dan berbicara kembali dengan bintang. masih dengan bahasa kerinduan. Rindu yang takkan pernah ada habisnya, Rindu yang takkan pernah berujung. Kini dia mencoba untuk tersenyum, bukan karena terpaksa, tetapi karena Rindu. 24 C CU UM MU UL LU US S S SE EN ND DU U Nina Suryani Sekawanan Cumulus sendu Menangis di pelipis jogja Tangisannya mengembun di balik jendela kaca Kutempelkan jemariku di baliknya Merasakan luruhan tangisnya Sekawanan Cumulus sendu Lekukan tanah terisi genangan air, keruh Menganggu sekelompok Lumbicus Terrestris yang sedang sibuk berselimut tanah Sekawanan Cumulus sendu Memberikan guratan kebahagiaan di wajah mereka Yang berdiri di atas hamparan tanah retak, kering Sekawanan Cumulus sendu Memberikan kekesalan pada mereka yang berjalan di sepanjang trotoar Meneduh di ketiak warung-warung kecil, mengeluh Sekawanan Cumulus sendu Bagiku bagaikan arti yang mempunyai makna 25 Y YA AN NG G B BO OD DO OH H D DI IB BO OD DO OH HI I Bayu Mochamad Aku tak tahu itu Yang aku tahu itu hanya Batu Aku tak tahu itu antik Yang ku tahu itu hanya batik Aku tak tahu itu Khas Yang aku tahu itu sama dengan beras Semua Yang kalian tahu Sedikit yang aku tak tahu 26 L LE EM MB BA AY YU UN NG G P PE ER RA AK K Moch Luthfi Hakiem Kilauan batu tangan tuhan Mengukir tubuh para perawan Membasuh kulit dengan lembayung perak Sebuah tempahan para pencipta Ini bukanlah sebuah prosa Bukan juga sebuah sastra para pujangga Tak termasuk tulisan tinta pena Tapi ini tempahan tangan jiwa Kau asalkan ini tanah mulia Warisan Tuhan atas kita manusia Sebagai umat yang berkarya Di tanah indah Yogyakarta Inilah tempahan lembayung perak Persembahan indah pemenuh hasrat Pengunci hati sejuta misteri Lembayung perak penikmat hasrat 27 P PA AN NA AS S Ai Rin Rin Andriani Terbakar sudah tubuh ini Kobaran api seperti dekat dan melekat pada tubuh ini Serangan air muncul dari pori-pori kulit Basah dan membasahi tubuh Akan kuatkah kaki yang melangkah Agak tegakkan tulang yang menopang Gema suara itu semakin terdengar Mulut-mulut itu bergerak serempak Panas 28 K KI IS SA AH H S SE EE EK KO OR R A AN NJ J I IN NG G Reni Kartika Jika liurku begitu najis, Untuk apa aku memiliki liur? Sesosok tubuh terguncang kaget Ada seekor kucing hitam lewat dari balik tirai jendela Anjing, ada kucing lewat! Ah, kulihat seekor anjing tersenyum dengan sangat sederhana Menikmati perannya, sebagai si air liur bernajis. 29 I IS ST TA AN NA A A AI IR R T TA AM MA AN N S SA AR RI I Ai Sri Nuryani Tempat pemandian sang ratu, ah itu dulu istana air sekarang hanyalah reruntuhan dan mungkin tiap rumah adalah bulir-bulir penyangga sang raja Bisakah melihatnya lagi taman sari terdahulu tak rela melihatnya menjadi karat tapi tak dapat dipungkiri runtuhmu sisakan banyak legenda 30 M MI IL LI IK K K KI IT TA A Hernawati Teriknya matahari di siang hari Tak menyusutkan aku untuk melihat sebuah karya Mereka terus berjalan untuk menyusuri sebuah karya berupa bangunan Bangunan yang menyadarkan kita Darimana kita berasal Dahaga, keringat bukanlah suatu halangan Untukku tetap mencari tahu Dan itu semua membuatku yakin Bahwa kita memiliki sesuatu Yang orang lain tak ada dapat memilikinya 31 P PA AS SA AR R J J A AL LA AN NA AN N Handri Prasetia Langit hitam pekat Jalanan gelap namun terlihat indah Gemerlap bintang tak tampak di langit Namun kau tetap terlihat indah Di sepanjang jalan yang ku lalui Terlihat makhluk-makhluk yang menikmati sebatang tembakau Menciptakan awan di sana dan di sini Membuat indahmu hanya dapat dilihat dalam kalbu 32 0 0 K KM M Umar Faruk Hamparan pasir terbentang di alam raya Terpahat dan terpatri menjadi bangunan kokoh Terapit di antara Vredeburg dan Istana Raja Saat sore tiba kumpulan sepeda ontel Menyapa dan menyinggahimu Dengan suara klasik era 70an Lalu burung-burung bernyanyi dengan riangnya Di antara hiruk pikuk kebisingan kota Lampu-lampu jalanan bersinar terang Menghidupi relung-relung kota budaya 2 jam berselang aku terduduk menikmati pesonamu Ditemani gumpalan asap yang menyepul dari mulutku Betapa tersihirnya mataku Melihat orang-orang 0 km beriringan bernyanyi 33 W WA AT TE ER R C CA AS ST TL LE E Desy Amdiasari Dulu.. Wilayah ini penuh dengan pasukan kodok Air melingkari istana bagai perisai di kota kecil Dikisahkan di dalamnya banyak tawanan Wanita-wanita dijadikan selir Sindrom tawanan saat sultan melontar bunga dari atap istana Yang lainnya berbeda, Sindrom ratu lebah namanya Tetap senang-senang hidupnya 34 P PE EM MU UD DA A 0 09 9 Desy Amdiasari Pemuda 09, Bergerak lebih cepat Mengarah pada garis ketepatan Waldenizing, Awannya berliuk bergelombang Saat ini mual itu masih terasa mengombang-ambing Langit Borobudur indah dipandang dari bawah sini Keterpaduan warna putih danbiru adalah kuasa Tuhan Jika damai itu bias terlukis di mana-mana, aku pilih aku pilih Aku mau di sini di sini, di hatiku Pemuda 09, Mari berjalan seiring jarum jam Bersama jangan sampai melawan arah jarum jam 35 B BO OR RO OB BU UD DU UR R Resa Rahmadani Semilir angin menghembus mengalun Tak lekang oleh zaman Mengabarkan kemegahan para kesatria Menjulang menembus cakrawala Dia bukti keagungan. Dan, Dia bukti kemegahan masa silam. 36 K KE EN NA AN NG GA AN N C CA AN ND DI I I IT TU U Eka Ari Astuti Bongkahan batu sejarah Tersusun rapi nan megah Menjulang tinggi bak cendawan di musim hujan Berdiri kokoh nan rupawan Relief-relief terpahat indah Bercerita berbagai kisah Dinasti Sanjaya menjadi saksi Kemegahan bangunan seksi Pit ontel, vespa hingga kendaraan besi Turut merubah cerita narasi Namun bongkahan batu itu kian legit Berdiri tegap mencakar langit Pori-pori seringkali harus berpura-pura ceria Di tengah degap degup harapan di dada Mari kita sulam serat-serat harapan Tuk dikenang para wisatawan 37 S SE EN NJ J A A L LA AN NG GI IT T P PR RA AM MB BA AN NA AN N Ichwan Danuri Pratama Masih terdengar suara hujan Wewangian khas membuatku merindukan saat itu Di mana saat kamu memelukku di tengah hujan yang deras Mustahil bila kau tak ingin dating lagi menemuiku Nampaknya hujan tiada henti, semakin lama semakin deras Air mataku sudah kubiarkan jatuh sebelum rintik itu terjatuh Aku di sini kedinginan, apakah kau ingin memelukku lagi seperti dulu? Tentu tidak!! Kau takkan kembali lagi ke masa lalu yang dulu bersamaku Kau akan pergi menembus awan dan terbang bersama luluhnya hasratku Tak kusangka harapku sirna di tengah kota kecil dengan hujan yang deras ini 38 B BU US S M ME EL LA AJ J U U T TA AK K M MA AU U T TA AH HU U Riana Yusuf Bus baru saja melaju Dan mereka mulai saling mengobrol Bus masih melaju Dan mereka masih bercanda di antara satu dan yang lainya Bus tetap melaju Dan aku pun masih terdiam Bus terus melaju seakan tak mau tahu Dan aku mulai merasa Bus ya, dia masih seperti itu melaju Dan aku semakin yakinakan apa yang ku rasa Bus yang melaju Dan kalian yang bergembira seiring tertinggalnya Bandung Bus yang melaju Dan tawa kalian yang tak tahu akan derita ku Pada siapa aku mengadu Pada bus yag melaju kah? Atau pada pak sopirkah? Ditengah kegalauan itu tiba-tiba Sang panitia berdiri dan berucap, Bagi yang ingin buang air siap-siap sebentar lagi kita akan berhenti di SPBU terdekat Dan kalimat itulah yang sedikit membuatku tenang Sedikit lebih lega dan terjawab sudah tanya Kapan bus kan berhenti melaju ? Namun bus masih tetap melaju tak mau tahu 39 H HI ID DU UP P A AD DA AL LA AH H B BA AT TU U Azkur Chimawan Hidup bagaikan batu Keras dan kaku Kau tidak bias melawannya dengan kekerasan Hanya air yang dapat melumpuhkannya 40 M MA AW WA AR R Meli Rachmawati Jogja Jogja Sihir apa yang kau pakai Hingga sang mawar dapat takluk pada kumbang? Hingga mereka tidak dapat menutupi warna indahnya Jogja Jogja Sihir apa yang kau pakai Hingga para kumbang ini berebutan ingin mendapatkan mawar indah itu Jogja Jogja 41 K KE EN N Arry Purnama Meminta, mengiba; mencoba bertegursapa. Menjaja, Mencari dunia. 42 A AK KA AR R T TU UA A Arry Purnama Berjalan dengan kulit merenta Sambil menatap kerasnya tempurung dunia. Berserakan, Sambil menelanjangi tubuh renta kota tua. Di antara puing-puing reruntuhan, Di sela-sela lapuknya bebatuan, Di sudut-sudut kusam jalanan, Di berbagai tempat yang kini tak lagi jadi lamunan, Akar tua berirama: Terus menerus mengumbar lamunan Agar pendahulunya tak terlupakan. Dan guratan sejarah lagi-lagi menjadi kunci Agar kisahnya tak lagi jadi basi. Sedangkan, Pucuk muda sudah lupa: Hanya berdiri tanpa suara Tanpa gerak liar bak sang akar tua. Hanya bisu, tanpa mau tau Rapunya kota yang dihinggapi berbagai benalu. 43 B BA AR RO ON NG G Y YA AN NG G T TE ER RL LE EW WA AT TK KA AN N Dini Nurdiniyati Kutawarkan yang terendah Barongpun mulai merendah Kutawarkan lebih rendah Semakin barong merendah Kurogoh tas yang selalu kuapit Ingatku melayang dengan dompet yang semakin tipis Tak sepeserpun kudapatkan di dalamnya Dengan pelan, kutinggalkan barong yang sudah kupegang Lambayan tangan dan teriakan teman semakin jelas terdengar Mengingatkanku lekas beranjak Barongku tersayang Barongku yang malang Barongku yang terlewatkan 44 D DI I M MA AN NA A I IN ND DO ON NE ES SI IA A? ? Dini Nurdiniyati Di manakah Indonesia? Di saat semua berteriak Holland Di manakah Indonesia? Di saat semua berseru Italy Di manakah Indonesia? Di saat semua berkata Jepang Di mana? Di mana? Di mana Indonesia? Tak terlihat tanda kehadirannya Tak terdengar walau hanya dengan bisikan Di sini Kota tua pun tak mampu menjawabnya 45 B BA AT TI IK K J J U UV VE EN NT TU US S Susandi Keris adalah keris Dan parang untuk menyabit Baju adalah baju Layaknya belang pada harimau Kini, kata adalah berubahik Menjadi bagian dari ekonomi kapitalis Namun pun menguntungkan Cangkul kini bekerja di museum Batik sekarang di jalanan Katanya, gagasan adalah gagasan Dan emang itulah kenyataannya, Menjadi bagian ekonomi kapitalis Namun pun menguntungkan Bagaimana bisa sorabi kini dipenuhi coklat Pun halnya batik pekalongan dipenuhi gambar Juventus Berubahkan kini gagasan itu Adalah dulunya warisan budaya Dan dipakai hanya oleh golongan tua Tapi hei jangan heran kawan Pabila kamu nampak ada balita Ngesot dengan batik Juventus Memang, menjadi bagian dari ekonomi kapitalis Namun pun menguntungkan 46 N NA AG GA A J J A AD DI I K KU UY YA A Susandi Entah siapa yang pantas bilang Entah siapa yang pantas berkuasa Tapi, adalah bagian yang berkuasa kiranya Tidakkah yang berkuasa itu heran Bahwasannya kuasanya itu telah berubah Menjadi kekuasaan yang lain Bukanlah heran kalau ada ribuan korban jatuh di satu lapangan Karena itu lambang kekuasaannya Ini jamansudah modern Kekuasaan itu ada pada salah satu kaki kecilnya di seberang Parang Tritis dan Gunung Merapi Seperti kata pemandu waktu itu, ini adalah puser Tempat filosofi hidup, di mana pusat dunia berada Entah siapa yang telah sadar Bahwa sebagus apapun itu filosofi, Dia adalah pemandu Dan hanya menawarkan jasa Kataku sudah bilang Ini jaman sudah modern Di mana keanehan itu adalah apabila ada ribuan korban jatuh di satu lapangan Karena, orang-orang datang ke sini, untuk hanya sekedar lihat-lihat Lalu menuliskan informasi yang didapatnya dalam sehelai kertas Itu sudah biasa Ke manakah kekuasaanmun keraton Tak sadarkah, entah siapa yang tlah tersadar Bahwa sebagus apapun filosofimu (yang dikatakan orang) Kini kamu hanya warisan budaya Yang bernaung di bawah departemen pariwisata Tahukah kamu arti pariwisata? Itu adalah tempat orang-orang melampiaskan penatnya. 47 S SA AN NG G T TU UG GU U Siti Nurohmah A k u tu gu tanda zaman lampau memukau mengiringi memori demi memori masa perlawanan dan pengorbanan demi kesatupaduan jua tak terkalahkan tanah, darah, tanah sudah mereka tumpah ruah bukan karna mereka pamrih dengan menerus menahan perih semangat Sang Mangkubumi kobarkan asa untuk tanah ini jadi hanya milik sang pribumi 48 R RA AM MA A S SH HI IN NT TA A Siti Nurohmah Desau sang angin hentikan detak di dinding Dengan tiupan suara dawai-dawai bening Ukir rasa juga asa mengawang tak berbentuk Umpama awan di awang-awang haus terbentuk Hapuslah gurat duka luka tak pernah terbuka Hadirkan kerinduan akan bahagia tawa suka Lantunan rasa insani sehati sejiwa berdua Layaknya Rama dan Shinta kembali bersua Tunjukanlah arah pada pengisi celah ruang hampa Tunjukan langkahnya mengikuti alunan harpa Sampai ia berada di tempat semestinya Sampai siang dapat bertemu malam di langit-Nya 49 K KM MS SB B Tyas Samesti Kemarin sore... Masih terasa bau lembab kosan Kemarin sore... Masih berbaring di atas kasur lipat Kemarin sore... Masih menunggu cempaka Kemarin sore... Masih bermimpi menjamah kota stuva Sekarang.. Bau lembab kosan berubah jadi bau AC Sekarang.. Kasur lipat jadi kursi lipat Sekarang Cempaka berubah jadi lestari Sekarang Kota stuva ku jelajahi 50 J J U UB BI IR R C CA AN ND DI I Yeni Elmi Masuklah dan dapati apa yang kau inginkan Kau tak kan terlihat bodoh karena tak tahu apa yang kau perhatikan Masuklah dan temui dia yang sudah menunggumu sejak lama Ikat apa yang diucapkannya dalam tulisan agar kau tak lupa Bahasa asingnya tetap berlogat Jawa Tidak heran soal dia bisa karena biasa Irilah engkau terhadapnya Mungkin dia hanya lulusan sekolah dasar saja Dialah jubir candi yang sederhana Pengetahuannya melebihi siapapun jua Ilmunya dia dapat secara cuma-cuma Gayanya jenaka dan ia senang membuatmu tertawa 51 B BO OR RO OB BU UD DU UR R Nikie Meinika Puingan bebatuan Takkan pernah terlupakan Riuh suara angin Menyapu semua keletihan Titik-titik sudut batu dan arca Bernyanyi indah Tetes demi tetes air Membasmi peluh lelah Seruan suara indah Telah membekas dalam jiwa Ke mana kami menuju? Tak ada yang tau Rahasia yang nyata Selalu terbersit indah di kepala Goresan Tuhan akan membawa kami kembali ke sana 52 P PA AT TU UN NG G B BA AT TU U D DI I S SA AM MP PI IN NG GK KU U Euis Fatimah Kau kawan seperti patung batu yang diam Tapi menyimpan semua tingkah aku Kau diam tanpa kata Tapi kita bahagia Kau kawan tak risihkan dengan aku yang berisik Tapi ku tau kau bahagia Apa yang kau lihat? Karena kau kawan terimakasih membuat perjalananku bahagia Untukmu kawan untuk kau yang ada di sampingku 53 M MA AL LI IO OB BO OR RO O C CI IN NT TA AK KU U Kokom Ratnasari Kala itu malam tiba Lampu-lampu kota berikan senyuman Menyambut kehadiranku Memberikan pesona keindahan malam jalan Malioboro Ku bahagia kau sambut aku Dengan keramahan suasana malam Berjalan bergenggam tangan menyusuri sudut kota Pesona keindahan jalan Malioboro Pertama ku lihat ceriamu di malam hari Hatiku jatuh cinta pada keindahanmu Sebuah jalan yang penuh arti untukku Suatu saat nanti aku pasti akan kembali 54 P PE ES SO ON NA A P PR RA AM MB BA AN NA AN N Siti Aisah Ribuan batu bertumpuk Di antara Shiwa dan Brahmana Angsa dan Elang bersahut Melambai pada Ganesha Dewi Durga pun menyerka Menghiasi jajaran batu tak bernyawa Di antara surga dan kebahagiaan Ribuan batu bertumpuk Menjadi saksi untuk para Dewa 55 S SU UA AR RA A M MA AL LI IO OB BO OR RO O M MA AL LA AM M Siti Aisah Lampu gemerlap, baju-baju berkerlip Batik terhampar dan hiasan candi terjajar Orang-orang begitu berisik Menawarkan dan ditawarkan berbagai pelik Aku pun melewati batas Melihat ke sisi lain yang sepi namun tak sunyi Lantunan gitar dan bass bersahutan Lagu-lagu keroncong menjerit bebas Hiburan malam yang tak perlu dibayar Mereka tersenyum Mereka bahagia Mendengar suara lain Di Malioboro Malam 56 K KE ES SE ET TI IA AA AN N K KE EC CI IL L Siti Aisah Duduk dan menunggu Termenung dan bersendu Berguyon dan berlakon Menghadap istana yang dijuluki keraton Sultan datang mereka bersorak Sultan pergi mereka tak berkerak Demi untuk menjaga lestarinya amanat Mereka rela untuk memeras keringat 57 Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A Dini Pitriani Kota ini penuh sesak orang-orang luar Keramahan penduduk asli menyapa para pendatang Beragam tempat menarik ditawarkan oleh kota ini Ada satu yangtak menarik Saat aku harus selalu dekat dengan Aqua Dan selalu membawa kipas Namun itu semua terlupakan Kala aku menyaksikan tumpukan-tumpukan batu yang tersusun rapi Di kelilingi pohon-pohon yang menari Dan bunga-bunga yang tersenyum Juga para penghasil buah karya Mereka bersatu padu menjadi satu Dalam sepenggal kisah masa lalu Yang patut orang tahu 58 B BO OR RO OB BU UD DU UR R Dadang Iskandar terdengar dari kejauhan tumpukan batu bernyanyi tertimpa dedaunan tertiup angin melambaikan tangan mengajak berkelana pengemis tua ke masa yang penuh derita batu itu terus bernyanyi menyusun kata menguntai makna diterjang badai diselimuti kabut disengat panas matahari tapi ia tetap bernyanyi tanpa henti seorang pengemis tua berjalan mendekat mendengarkan nyanyiannya dengan hidmat menjulurkan tangannya membelai wajah tumpukan batu tapi ia tak peduli ia terus bernyanyi 59 Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A Dadang Iskandar engkau bagaikan kawah candradimuka tak pernah lelah sepanjang masa tak pernah mati dalam sepi tak pernah mengeluh dalam duka kawahmu tak pernah padam selalu menyala dalam kelam meski angin dan badai menghantam engkau semakin meradang 60 T TE ER RA AT TA AI I U UN NG GU U T TA AK K B BE ER RB BA AJ J U U Asep Taopik Husna Teratai unguk tak berbaju Merah, kelam, beku, ungu sampai bau Merah, kelam, ungu, bau sampai beku Menyebar dalam pori-pori tersumbat Teratai ungu tak berbaju Jatuh, jatuh, satu dan dua Tersangkut, diam, satu dan setengah Pagar-pagar tengadah payah Teratai ungu tak berbaju Melebur hina nanah-nanah langit Daun, wangi dan bunga masa Darma yang tak terjaga 61 B BU UN NG GA A- -B BU UN NG GA A D DI I S SU UB BU UH H T TE ER RA AN NG G Asep Taopik Husna Subuh itu terang seperti siang Bunga-bunga layu terkikis embun panas Nyanyian kebesaran tak lagi merasuk dalam raga Burung hantu pun cepat menutup mata Lambat laun mereka tak merekah Marah pada subuh yang terang Kau ini seperti yang tidak mengerti, ujar subuh Aku mengintip mereka tanpa berkedip Namun berlinang Bunga itu menoleh pada jendelaku Aku tahu kau di sana, begitu bisiknya Aku terkejut namun badan ini tak pernah kejut-kejut Ku buka jendelanya namun kosong Bunga, subuh ternyata mimpi masa depan 62 P PA AN NA AS S K KO OT TA A Ali Muksin Di sini Di kota ini Aku berjalan di bawah kilauan sinar matahari Matahari serasa berada di ujung rambut Tubuh tak henti-hentinya menangis Bercucuran tanpa henti Basah, tubuh ini basah dengan air tubuhku Tak ada satupun yang bisa mencegahnya Seperti inikah hari-hari di kota ini? Mereka, bisakah mereka merasakannya? Panas, gerah, lengket Semua menjadi satu di tubuhku Mungkinkah ini hanya sebatas perasaan Perasaan sebagai seorang pendatang Yang belum bisa bersahabat Dengan panasnya kota ini 63 J J E EJ J A AK K- -J J E EJ J A AK K Pipit Fitria : Teguhpati Pernah kita bertelanjang kaki, menapaki pasir-pasir nakal parangtritis yang mengelitiki kaki. Kita saling membuat jejak, namun angin perselisihan mengikisnya. kembali kita membuat jejak. Seakan kita tidak pernah menyerah untuk selalu bercerita, tentang kita, tentang cinta kita. Namun, kini ombak pertengkaran yang menghapus jejakjejak kita. Meniadakan cinta kita. Akhirnya kita menyerah untuk membuat jejak. Membiarkan buih ombak menggantikannya. Dan kita hilang bersama jejak yang terganti buih-buih kesendirian. Aku masih bersama jingga matahari sore di Parangtritis. Menunggumu kembali. kemudian kita membuat jejakjejak baru. Berharap sekalipun angin dan ombak menggilasnya, kita akan kembali membuat jejakjejak baru. Jejakjejak kita, jejak cinta kita berdua. 20 Mei 2012 64 S SA AJ J A AK K P PE ER RJ J A AL LA AN NA AN N Pipit Fitria : Perwangsa Untuk sampai ke kotamu, aku rela dingin ac bus membekukan jemariku. Karena aku yakin, besok jemari kita akan saling berpagut, menghangatkan kebekuanjenuh selama kita tak bertemu. senyum kita akan menghangatkan rasa yang mulai meng'es. Tak terelak, dalam perjalanan ke kotamu. Sering kujumpai kota-kota yang menarik hatiku. Menggelitik hati untuk sejenak singgah. Meneguk kopi hangat di Tasikmalaya, atau sekedar merebahkan batinku di Banyumas. Tapi aku tahu ke mana sebenarnya aku harus berhenti. Kota terakhirku adalah Jogya. Di mana aku selalu setia menunggu jemputanmu di pom bengsin sebelah terminal Giwangan. 65 H HA AM MP PA A Jaya Prasetia Ku tak tahu rasa apa yang sedang ku rasa kini Ku tak tahu mengapa Hanya sepenggal rasa yang ada kekal di hati Tapi semua kini seakan telah sirna berlalu Tiada lagi kini harapan di hati Harapan yang ku yakini kan jadi nyata kelak dalam hidupku Tapi harapan itu telah hampa kini Dan hanya meninggalkan angan yang pasti kan berlalu 66 K KA AU U I IN ND DA AH H Ajem Yustika Perjalanan menuju istana kejayaan silam Berpikir damai meski dicambuk terik dan panas Keluhan terkalahkan hasrat ingin tau yang tak kalah panasnya sinar matahari di ujung ubun-ubun Siapa yang tak ingin mengabadikanmu Melihat sosokmu yang indah saja sudah membuatku ingin membawamu pulang Andai kau bisa kubawa Kan kupamerkan kau pada mereka Biar mereka tau kau bukan hanya tumpukan batu lapuk yang berlumut Kau indah di atas bukit hijau Kau indah seindah warisan alam 67 . .. .. .L LE EL LA AH H. .. .. . Siti Aisyah Sudah kutelusuri hutan belantara Hanya sepi dan sunyi yang kudapatkan Diriku seolah dikejar siang danmalam Yang membuatku lelah dan terkapar Hingga ku pertaruhkan harapan dan kebahagiaanku Jika setiap langkahku adalah Doa Dan jika tatapanku adalah harapan Mungkin aku tidak akan terjebak yang mencekram diriku dari kelelahan 68 M MA AH HA A K KU UA AS SA A Dewi R. Ahdawiah Batu-batu keras itu bertumpuk jadi satu Tersusun rapi dengan pengait yang entah terbuat dari apa Katanya ini buatan manusia kerajaan pada zaman kuno sana Tapi aku tetap merasa mereka bukan siapa-siapa tanpa Kuasa-Mu Wahai yangMaha Kuasa Batu-batu prasasti ini buatku adalah bukti nyata bahwa Kau tiada dua Aku benar-benar kecil adanya ternyata 69 S SO ON NG GS SO ON NG GA AN N F FA AJ J A AR R Asep Ridwan Fajar menyongsong di ufuk timur Masuk di celah-celah jendela kamar Pancarannya memaksaku untuk membuka mata Walau rasanya tak biasa Tapi ada satu alasan yang memaksa Nyanyian itu Teriakan itu 70 M MA AH HA AK KA AR RY YA A Siti Khoiri Inayah Matahari tiada henti memancarkan sinarnya Aku tetap lincah mengikuti sinarmu Berlari ke sana kemari Berjalan tiada henti Sesekali mencurahkan ekspresiku Dengan gaya yang tak tentu atau hanya itu-itu saja Tak bosan dan tak jenuh untuk singgah hanya sekedar menatap mahakarya Indah, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata Ku pejamkan mata ini hanya untuk beristirahat sejenak Batu-batu itu sangat memukau Disusun dari ribuan batu bahkan jutaan Hari kulalui untuk menggapaimu Walau harus selalu ditemani air yang selalu memberiku tenaga Lorong demi lorong ku lewati Sebagai bukti alangkah terpukaunya diriku Sunyi senyap benar-benar tak berpenghuni Gelap tak bernyawa Gersangnya cuaca tak sedikitpun kuhiraukan Hanya berbalut keringat yang membasahi raga ini Takjub, indah, namun sesak terasa hampa Tak ada kehidupan lagi sekarang Hanya tinggal sejarah Tinggal kenangan 71 J J A AM MD DU UA A B BE EL LA AS S Rizal Darmawan Jam dua belas malam, saluran di televisi Lekuk tubuh wanita pembawa acara Ada sesuatu hendak dibaca Dari tajam gurat alis matanya Terbelalak mata atas kemolekannya Kering kerongkongan menjaring seketika Lalu kubilas dengan segelas teh Hangat, menghangatkan udara sekitar Tetesan keringat ini Sisa pergulatan dua belas jam yang lalu 2012 72 P PA AD DA AN NG G R RA AJ J A A- -R RA AJ J A A Dian Nurendah Panas mentari menempa kemegahan granit-granit hitam Kokoh berdiri di atas padang terberkati Syailendra Menebar keagungan akan cita rasa Tuhan melalui tangan-tangan pemahat Wujudnya terpatri dalam sanubari pertiwi, Mengelana dalam dimensi kemegahan waktu Aku tengadah, seakan menatap altar suci Menyisir tiap inci karya kearifan masa lalu dalam regukan rasa kagum Merasakan kekuatan magis antara waktu dan keluhuran sang raja akan kehadiran sebuah ramalan kebanggaan Kuasa ramalan yang dibuktikan Samaratungga Melintasi berbagai generasi, musim dan peradaban Kebanggaan, dan keluhuran yang akan tetap menjadi milik padang Raja Sejauh apapun zaman mengejar dan semiris apapun budaya tercerabut dari ranah peradaban Dia tetap menduduki singgasana agung dari tahta kebijaksanaan Abadi dalam ingatan alam 73 T TA AM MA AN N S SA AR RI I Lia Marliawati Dahulu adalah pemandian Sekarang adalah reruntuhan Toko-toko dan rumah-rumah Mungkin penyanggah sang raja Saat istri menjadi selir Dalam setiap basah malam Taman Sari adalah karat Di mana menjadi tempat sakral Hingga runtuhnya masih belum terlepas Dari sebuah keagungan Runtuhmu sisakan banyak legenda Yang menjadi kenangan 74 M MA AL LA AM MD DI I M MA AL LI IO OB BO OR RO O Yusanthiya Windhianita Mata tak jemu memandang, Kerlip dunia Jogjakarta di Malioboro, Senyum-senyum gencar mengintai, Setiap pejalan yang menyisir pinggiran jalan Aku merekam jejak di setiap simpang, Jalan yang redup di bias lampu pertigaan, Ketukan-ketukan berlipat dari alas sepatu hewan, Menambah riuh suasana malam Berkali-kali aku mengerjapkan mata, Meyakinkan diri sedang menginjak, Bumi malam di Malioboro, Pesonanya tak meredup, Meski sketsanya hilang diikat kenangan Yogyakarta, 14 Mei 2012 75 M ME ES SJ J I ID D B BA AW WA AH H T TA AN NA AH H D DI I Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A Yusanthiya Windhianita Hening adalah jawaban, Suara hanya alat tambahan sebagai pembentuk suasana, Berkeliling, Aku hanya mendapati tembok melingkar yang tak berujung Tengah bangunan tua yang cukup kokoh, Anak tangga membentuk menuju satu pusara, Dari langit yang memancarkan cahaya, Tak sanggup menerangi sisi ruang gelap lainnya, Lampu-lampu putih, dingin, Membisu merangkai setiap sudut ruangan, Cerita religi yang berbau dua dunia, Segera membuatku tak ingin berlama... Hening adalah jawaban, Dari setiap pertanyaan yang muncul di benakku tiap kali kaki ini melangkah melalui celah berpintu, Bahkan ketika ragaku sampai di tempat peristirahatan raja dari dua ratu, yang terpahat di dinding atas pintu, Senyumku kemudian mengalir, Seperti kolam besar yang indah di kelilingi pot besar berbunga, Sejuk, nyaman, namun tetap mengukir misteri... Yogyakarta, 15 Mei 2012 76 M MA AL LA AM MD DI I P PR RA AM MB BA AN NA AN N Heri Nurjaya Malam yang sama, Bulan bintang yang sama, hanya berselimut mendung. Cahaya silih menyerat Arena pertunjukan dang.. dang.. ting.. ting.. Dang.. dang.. ting.. ting.. Dewi Sinta menari Dewa hujan bertamu 15 Mei 2012 77 B BO OR RO OB BU UD DU UR R Heri Nurjaya Nyanyian Saksi seorang tua. 16 Mei 2012 78 C CA AN NT TI IN NG G C CO OK KL LA AT T Heri Nurjaya Kompornya hangat Rebusan kemiri pun matang Gasir bunga-bunga kain Di atas paha, Berakar tapak-tapak harapan Terpupuk mimpi keinginan Pribadi merdeka, bernyanyi Dalam kubangan canting coklat Buruh batik nusantara 16 Mei 2012 79 K KO OP PI I J J O OS SS S Ari Suharto Kopi pun habis Segera kupesan kembali Rokok mengepul Berasap dan putih keruh Arang dalam gelas basah Hitam pekat tercampur air mendidih Tarasa kesat di lidah Namun menghangatkan Menghangatkan malam Joss tenan dab!!! 80 K KE ER RT TA AS S K KO OS SO ON NG G Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A Rizki Fauzi Aku adalah kertas kosong Kubawa kertas kosong ini Tujuanku Yogyakarta Kertas pun mulai terisi coretan Banyak coretan-coretan yang salah Lalu kucoret lagi Kubuka dan kutulis semua yang ada Kualami apa yang tak orang alami Kertasku mulai terisi penuh Dengan perjalanan, masalah Kesenangan, kepahitan kualami Semua adalah tinta dalam kertas Dari hotel, Malioboro, Borobudur Prambanan, Krator, Giring Harjo Batik, perak, masjid bawah tanah Semuanya telah ada dalam kertas 81 M MA AL LA AM MD DI I M MA AL LI IO OB BO OR RO O Rizki Fauzi Seekor raksasa kutunggangi Dan berhenti di sebuah kota Berhenti sejenak di persimpangan Persimpangan Malioboro Kulewati semua kehidupan malam Pernak-pernik pembalut badan Hiasan-hiasan yang kerlap-kerlip Membuat mata berkedip-kedip Bisa saja aku hampiri mereka Dan membawanya pulang Bisa saja ku tak menarik mereka Dan kutinggalkan dengan malang Sesekali ada yang menyapaku Meraihku untuk membeli segudang keringat Dari pagi hingga malam menjelang Akhirnya ku pilih satu jerih payah mereka 82 D DA AL LA AM MB BI IS S Pipit Nurul Fitriah Bayangmu terseret masuk dalam pantulan kaca jendela yang bergoyang bersama angin yang merasuk lewat ventilasi yang bersekat berlubang hadirmu menjelma nyaring seperti deru klakson dalam bis antar kota lalu perjalanan ini semakin berguling 83 B BO OR RO OB BU UD DU UR R Intan Wulan Kustiani Bangunan-bangunan kunoprasejarah Menobatkan WAJRADHA dalam Budur Tidar, Sumbing, Merbabu tertancap mengitari Ruphadata berjajar dalam relung-relung senja 84 T TA AH HT TA A U UN NT TU UK K R RA AK KY YA AT T Santi Ramdhani Sebuah tahta adalah jiwa Yang secara ikhlas Memberi kekuatan bagi sesama, Dengan tongkat-tongkat keimanan, Kesetiaan dan kegigihan nurani Memberikan darah demi sebuah gairah Gairah akan sebuah kemerdekaan Merdeka jiwa dan raga; Dari api-api belenggu nafsu Keserakahan dan keculasan, Itu murni sebuah ganjalan. Merdekakanlah hatimu, sebelum Kau merdekakan Negara dan rakyatmu, Itulah sebenar-benarnya Sebuah Tahta untuk Rakyat. 85 M ME ER RE EK KA A Y YA AN NG G M ME EN NG GA AB BD DI I Santi Ramdhani Sebut saja mereka, Abdi Dalem Mengabdi sepenuh hati Kepada seorang Sultan. Pengabdian mereka baktikan, Dengan blangkon di kepala, dan Pakaian khusus adat Jawa, Mereka duduk bersila Duduk rapih berjajar sambil bercerita. Tak jarang dengan ketidaktahuannya, Orang bertanya, untuk apa mereka di situ? Mengesankan orang-orang tanpa agenda, Dan jawabannya tetap mengabdi. Kecintaan mereka kepada Sultan, Sebagai tanda hormat, Pada tanah mereka, Yogyakarta yang penuh sejarah. Di dalam keraton kesultanan Mereka ada, Untuk terus memupuk rasa cinta, Ini sebagai ciri bahwa Mereka punya tradisi. Karena sebagai orang Jawa, Mereka merasa Indonesia, dan Abdi Dalem Akan selalu setia mengabdi. 86 M MA AL LA AM MD DI I M MA AL LI IO OB BO OR RO O Derry Rizkiana Siur angin begitu dingin Seakan mengiris paru-paruku ini Aku hirup pelan-pelan Rasanyamalam ini berbeda Dari malam yang kujumpai sebelumnya Di sekitar jalan pak kusir dengan kudanya Asyik merenung menikmati malam itu kelab-kelob lampu jalan Malioboro setia menemani orang-orang di sudut kota Jogja 87 D DI I U UJ J U UN NG G H HA AR RI I K KA AL LA A P PR RA AM MB BA AN NA AN N M ME EM MB BA AY YA AN NG G Lisda Palupi Utami Hujan malam itu memaksaku untuk diam memaknai setiap tetes yang membasahi bumi memaknai setiap detik yang kian mengakrabkan setiap debar yang meraja terasa lebih bermakna kala itu aku hanya terdiam mencoba tersenyum dan mencairkan suasana rintik hujan lalu semakin tak beraturan berirama dengan degup jantungku jantungmu kala itu kau tersenyum mencoba menatap kedua bola mataku mencari-cari secercah cahaya yang sudah kupancarkan dari dalam hati hingga Prambananitu membayang semua terasa begitu menyenangkan kemudian semua hilang dalam kegelapan mengukir semua rasa yang mengesankan Jogjakarta, 15 Mei 2012 88 L LO ON NG G D DI IS ST TA AN NC CE E ( (J J o og gj j a a, , . .. .. . a an nt ta ar r a a B Ba an nd du un ng g d da an n S Su ur r a ab ba ay ya a) ) Maisaroh Jogja, ...antara Bandung dan Surabaya Cinta, ...yang terpisah ruang dan waktu Menghadirkan berjuta Tanya dan harap, Begitu juga engkau, ...teramat jauh bahkan Sampai camar putihku tak sanggup membawa rasa yang kuselipkan Cinta ku rasa egois, karena ia begitu sinis dan agresif Aku berdiri di sisi menilik malam sepi tuk menghampiri khayalku Kau tahu, ... menunggu itu mengesalkan, begitu mengesalkan Hingga ilalang di istanaku merunduk mengering tanpa daya Tapi senyummu menuai benih Suburkan kembali ketandusan Semaikanrindu yang tertanam di lembah penantian 89 - -- -- - Siska Hardiana Safitri Namamu terpatri di mata-mata yang haus akan kenikmatan duniawi Mata-mata bak mata sang elang yang siap untuk mencengkram mangsanya Cakar para pemburu telah bersiaga untuk mencabik setiap helai kain Dan setiap yang berkilauan dari pantulan yang menyilaukan hingga menusuk bahkan menembus mata terdalam Semakin malam pancaran auramu semakin tidak dapat dielakkan Cahaya lampu menambah suasana menjadi lebih mempesona Angin malam pun seakan membuai hati para pecinta dan mengajak berdansa untuk bersantai dan tak tergesa-gesa Namun gejolak hati berkata lain Para pemburu semakin sesak dan tak kuasa untuk menyaliurkan hasrat mereka Hasrat yang sudah membara dan tak kunjung usai walaupun telah mendapatkan apa yang mereka inginkan Teman, ini satu dari sekian banyak surga di Indonesia!!! Pandangan pertama begitu memikat Walau sekejap mata kureguk kenikmatanmu Tak kuragukan pesona malammu Memberikan bekas yang amat melekat dalam hati dan pikiranku Oh Malioboro... Nantikan aku untuk kembali mengecupmu dalam naungan hasrat belanjaku! 14 Mei 2012 90 P PA AC CA AR R S SE EH HA AR RI I Sadam Husen Berjalan telusuri surga hijau Lewati Jembatan Sayyidan nan memukau Bak permadani hantarkan suka Menuju istana Aku dan dia Menari di hamparan taman bunga Yang menutupi prambanan dan borobudur Yang hiasi hiasan nan khas Tersimpan dalam kain nan khas Aku dan dia Dia milik raja Aku milik permaisuri Namun aku dan dia ibarat mawar dan duri Dari terbit fajar hingga terbenamnya mentari Aku dan dia Bahagia bersama dalam romansa cinta Yang terbatas oleh ruang hampa Dan tertutup dua dunia Aku dan dia Bercinta dari terbit fajar hingga adzan magrib menggema 91 K KE EN NA AN NG GA AN N Yuda Rahmat Hidayat Dulu kita sering berdua Di samping jalan Malioboro Kemudian Kita mengabdikan kenangan saat berada di Jogja dan Kenangan itu masih membekas di hatiku Jogja kota penuh kenangan bersamamu 22 Mei 2012 92 L LA AY YA AK KN NY YA A B BA AT TI IK K Nonoh Madriyanah Aku tak mau hanya hitam Cukup langit malam saja yang berwajah kelam Membuat sang raja enggan berdampingan Menarik diri masuk ke peraduan Aku pun tak ingin hanya putih Membuat hati menjadi onggokan emas Atau membuat hati tercipta dari rangkaian bunga Menebar keindahan dari setiap mata yang tertuju Aku ingin semua warna Tercampur menjadi satu dengan keindahan yang nyata Dengan corak dan motif yang menari-nari dengan gemulainya Yang semua garis berhenti pada satu titik Layaknya seperti batik Yang tak hanya mengenal satu warna saja Mereka menyatu dalam irama yang tak bernada Cinta bukan sembarang cinta Terkadang mata dan hati berada di lain pihak Tatkala menerjemahkan sebuah kata cinta Mata tetap mata bukan hati Rasa pun menjelma jadi kata yang berbaris rapi Membingkai berjuta imajinasi Menguak sebuah misteri yang terisolasi Hati tetap hati bukan mata Meski keduanya mampu berbicara Masihkan berbicara ketika dihadirkan kesucian cinta Shinta Yanghadir sebagai bumbu cerita Ramayana Cinta bukan sembarang cinta 93 Para dewa pun ikut peran dengan kembalinya cinta sang Rama Dewa api yang panas perkasa Tak mampu melumat kesucian cinta sang Dewi Mengantarkan cintanya pada keabadian 94 H HA AB BI IS S A AP PI I T TE ER RB BI IT TL LA AH H M MA AT TA AH HA AR RI I Shobahul Futuh Berjalan setapak tiada henti Menyusuri jejak masa lalu Yang penuh dengan api dan petir Batu-batu menjadi saksi Ketika matahari terbit Seluruh api sudah mulai padam Semua itu bukan tanpa hujan Karena kita tahu Api harus dilawan dengan air Kini masa itu sudah lama berlalu Kota yang dulu selalu tersambar petir Kini menjadi sebuah bingkai kenangan yang indah Yang harus burung-burung tahu Betapa hebatnya api pada saat itu 95 J J A AL LA AN NA AN N J J O OG GJ J A A Yashinta Pradina Saputra Berwarna dan tak polos kembali Menjadi sebuah fantasi dalam keyakinan Kini kulihat tak lagi dapat terbagi Emosional bertaruh kebatinan Sepanjang jalan yang rapih dan bersahaja Kurasa tak putih bagai bidadari Berwarna ceria menyatu saja Coretan warna terberi Taruhan warna dan bentuk lihai Mengisi jejalanan kota ini Berwarna bersama kejutan pandai Berlalu begitu bersama jiwa yang hilang ini Bubuhan warna yang berasal dari pikiran jernih Di sepanjang jalan Jogja Yang amat berwarna lirih Jalanan Jogja 96 G GE EL LA AP P B BE ER RN NY YA AW WA A Idas Dasimah Gelap ini Hitam pekat berlumut Di bawah tanah menyeruak suara Dahulu kala naungan adzan menggema Walau sunyi dan gelap Merekatetap bernyawa 97 S SA AW WA AN NG G Dian Purnama Terbang ke sawang Menudung mendung Nyanyikan kidung Lelah waktu Menikam semu Meluluh belenggu Nyata, kau kata akan berpisah Ambang terlihat Waktumu datang kau betina marah Menukik tajam Menjangkau ranah Merah menyala Matamu membara Bagaimana bisa? Kau wanita... Bersembunyilah kembali Di balik awan putih Poles Bibir bergincu merah Menguncup tangan yang terbuka Kembali ke sawang Tempat kau berada 98 M ME ED DU US SA A Dian Purnama Saat yang dinanti akan tiba, perasaan berada di ambang titik jenuh. Kilatan-kilatan kebosanan mulai muncul mewarnai haru biru kisah yang dirajut selama sewindu. Mengapa tak kau biarkan saja tangan ini mencakar-cakar kebisuan yang kau biarkan bebas mengambang sedemikian lamanya. Aku tak tahan menahan rasa gatal melihat semua kepalsuan yang kau iyakan sebagai kesetiaan. Aku sengaja menyeduh benih kebencian di depan mata sendumu itu. Tidak peduli apakah kau sedang demam kerinduan akan sikap lemahku yang selalu kau banggakan. Tak peduli lagi, kau lihat semua barut hatiku yang kian membusuk. Iya busuk karena tercemar oleh kebusukan yang lebih busuk. Aku muak, menelan semua racun bertuliskan cinta. Setiap hari aku menenggak satu botol kebohongan tanpa kau sadari aku menyadari sikap curang itu. Aku tak bisa menahan semburan bisa racun mematikan, ingin rasanya aku telan namun tak ada lagi ruang yang tersisa kini semuanya aku kembalikan lagi pada tempatnya, dirimu yang tersayang. 99 T TA AK K A AP PA A K KA AU U P PA AN NG GG GI IL L A AK KU U H HA AN NO OM MA AN N Jasmaryadi Selalu saja ada rasa malu saat bermain wayang-wayangan. Dan kau mendapat peran sebagai Hanoman. Ada apa denganmu? Mendengar namanya saja kau tak sudi. Apa karena dia monyet? Teganyakau. Lantas, serahkan saja peran Hanoman itu kepadaku. Setidaknya aku yang akan menyelamatkan Dewi Sinta. 100 K KA AT TA A D DI I A AN NT TA AR RA A P PR RA AM MB BA AN NA AN N D DA AN N B BO OR RO OB BU UD DU UR R Jasmaryadi Jika kau tahu tentang sejarah Pasti kau tahu dari apa Candi Prambanan dibuat Bagiku kau Siwa Kau telah menghancurkan hariku Tak ada hari yang kulepaskan untuk tidak memikirkanmu Tak mimpi yang terbebas dari bayanganmu Sungguh indah Tapi terasa menyesakkan Cintaku seperti Prambanan Terwujud secara alami Kasihku tidak seperti Borobudur Aku tak mengenal kasta Bersama angin yang datang menghampiri Kutitipkan sepenggal nada indah Nada cinta yang tak sempat terucap saat di Prambanan Justru terlelap saat tiba di Borobudur 101 K KI IC CA AU UA AN N B BU UR RU UN NG G P PA AG GI I Asep Koswara Kicauan burung itu Meninggi, berteriak semakin tinggi Seakan meronta harap ditolong Mungkin tanda ingin bebas sendiri Lari, pergi mencari dan menikmati Hidup bebas di alam mandiri Lelap tidurku sedikit terusik Hingga kupaksa mata ini tuk menelisik Lalu kugisik dengan tanganku Kubuka bantal dan selimutku Kulangkahkan kaki dan kubukakan pintu Kuarahkan mataku ke arah kiri Kulihat burung itu semakin tak diam Terbang tak karuan dalam penjara sangkar Sangkar kecil itu Mengunci dan menahan kebebasannya Lalu, Tikus itu mendekat, Mengancam seakan mau menerkam Imajinasiku berkeliaran Mencari, mereferensi suatu kenyataan Teringat tikus negeri ini yang tak berkemanusiaan 102 C CI IN NT TA A A AB BA AD DI I Fourus Huznatul A Butiran air seolah-olah tak mau kalah menyaksikan lakon yang dimainkan Semakin deras Wajahku pias Semakin ku membisu dalam guyuran hujan Sepi... hening... tak ada suara... bagai sang abdi dalem tunduk di bawah titahan sang raja Mengapa tak banyak orang yang menyaksikannya Aku rela tubuhku menggigil Aku rela menyatu dengan candi Menyaksikan berjuta kisah Rama dan Shinta dengan cintanya 103 R RU US SA AK K Eka Ayu Wahyuni Berdiri menantang langit Tiga dewa tegak dengan tampang sengit Bagai puncak Himalaya menyentuh langit Pancang tertinggi menahan pahit Panas bara membakar sukma Ketegangan menyayat rasa Sang Maha Dewa merusak dunia Meledakkan jagad raya 104 I IN NG GI IN N Eka Ayu Wahyuni Putih, bersih Kilau, berkilau Gemerlap bagai gugusan bintang Persis sama seperti gugusan bintang Kagum Mengagumi Terkagum-kagum Gemerlap bagai gugusan bintang Persis sama seperti gugusan bintang Indah... Jauh... Tidak tersentuh... Hanya bisa menaruh kagum lewat tatapan mata yang berbinar Hanya bisa mengagumi dalam ruang bingar Hanya bisa terkagum-kagum dalam rentang kilauan sinar Jauh... Tidak tersentuh... Sungguh hasratku meletup-letup Ingin mengecup Sayang begitu jauh Benar-benar tidak tersentuh 105 D DI I J J E EN ND DE EL LA A B BI IS S Renren Siti Nurhasanah Pagi dingin membelah kebekuan tubuhku. Ke arah debu jalanan yang masih samar untuk dilihat, pepohonan yang masih semilir mengibaskan tetesan embun paginya. Aku menoleh ke arah luar, masih terasa sama seperti bendungan yang tak terjamah, rapi tak ada sapaan apapun. Masih saja wajahmu yang ada menemani kekosongan ini. Melihatmu bercanda hebat dengan teman lelakimu, aku ingin disapa dalam keheningan ini. Toko-toko yang berderet di sepanjang jalanan. Membuatku semakin miris melihatmu dari jendela bis yang berbeda. Aku kembali melihat senyuman indah itu, sekilas beradu untuk sengaja diperlihatkan padaku. Aku tertegun dalam keramaian orang-orang yang sibuk mencari posisi tempat duduk yang nyaman. Suara klakson bis sengaja dibunyikan menambah bisingnya perjalanan ini. Selalu senyumanmu yang menjadi pemandangan terindah untuk aku lihat di sepanjang perjalanan ini. Selain musik yang beradu dalam kemacetan jalanan. Nyanyian cinta diputar di sepanjang jalan. Arus kecepatan yang semakin melaju kencang, menabrak pusat kota yang bergemuruh dalam lipatan roda bis yang berputar. 106 H HE EN NI IN NG G B BO OR RO OB BU UD DU UR R Siti Halwa Mardiah Surya senja kala Menyirami lekuk istana Borobudur Merangkul sejuta rahasia Berdendang serangga malam Menapaki setiap anak tangga Langkah menuju puncak mimpi Hening. Biarkan jiwa bersenggama Kekuatan sakral biarkan menyeruak sukma Meraih masa silam Langkahi setiap detak jantung waktu Melompat menuju keindahan yang abadi. 107 P PE EN NG GA AM ME EN N B BU US S K KO OT TA A Wawi Jumantari Alunan musik gitar mengusir kepenatanku Kelelahan yang menyerang separuh raga Kantuk mata yang hampir mengatup Sirna hanya sekejap mata Tubuh tinggi dan kurus itu Dengan jari-jari handalnya Memetip tiap senar gitar Menjadi melodi yang menyejukkan Dengan wajah penuh harapan Dan gitar usangnya Terlantunkan bait-bait lagu Pop Meruntuhkan jiwa yang sepi Sejenak khayalan tenggelam dalam mimpi Mimpi yang tenggelam dalam lamunan Menghanyutkan suasana yang suram Memecahkan kesunyian yang terasingkan Tersentak ku melihat kantung Relaxa depan mata Kepingan receh berbunyi nyaring masuk ke dalamnya Ku telah tersadar akan semuanya Bahwa kehidupan mempunyai duri-duri kehidupan yang nyata Yogya, 15 Mei 2012 108 S SU UD DU UT T M MA AL LA AM MM MA AL LI IO OB BO OR RO O Ita Mustapa Bulan terlihat malu menampakkan kecantikannya malam ini Seolah bulan enggan menemani bintang hiasi langit Malioboro Dan hanya bintanglah yang temaniku menapaki malamku di Malioboro Menapaki jalan-jalan di sudut kota ini Malioboro... tempat yang tetap sama seperti 5 tahun lalu Dengan para pedagang kaki lima, andong, dan becak Yang berderet di sepanjang jalan ini Terlihat satu bintang menghiasi sudut jalan Cahayanya memudar terkalahkan oleh Sorot lampu-lampu jalanan Yang seolah berlomba menjadi yang paling terang Namun keduanya tetap menjadi penghiasan malam Yang menambah kecantikan Wajah Malioboro malam ini 109 M ME EL LO OD DI I P PA AY YA AU U Arief Luqman Rayuan musik mulai mengalun Petikan demi petikan mulai terdengar Merdu dan berkharisma Kudendangkan satu bait lagu Mengalir begitu sempurna Rayuan itu bertemu dengan alunan lain Tetap terdengar indah walau payau Alunan lama kini menghilang perlahan Dan berhenti di permukaan 110 P PR RA AM MB BA AN NA AN N B BU UK KA AN N C CE ER RI IT TA A Insan Purnama Panas yang menyengat Musnahkan setiap keringat Tidak lagi ia hangat Namun menjadi jahat Batu yang tersusun itu Hanya terbujur kaku Dan terus saja membisu Tak pernah mencari tahu Berjualan dalam debu Yang menguasai perjalananku Menyusuri cerita Prambanan Termakan oleh zaman Menjelang kekar Namun diam terlantar Runtuh ia Tersusun kembali oleh cerita Aku tetap tidak mengerti Mengapa begitu berarti Tumpukan batu bergambar Terukir danberjajar Memiliki setiap nama Yang entah apa makna Yang terkandung di dalamnya Yang kutahu hanya batu purba Tak bercerita Tak bermakna Tapi nyata Tapi ada 111 B BI IR RU U D DI I S SE EN ND DR RA AT TA AR RI I R RA AM MA AY YA AN NA A Insan Purnama Seharusnya tidak begini Hal yang tidak aku ingini Sekejap semua sirna Bermandikan hujan saja Sungguh kecewa Tak ingin tertawa Mata mulai berpaling Dan malam semakin dingin Tak ada lagi kata Tertelan dalam kecewa Sungguh petaka Ini malam yang sia-sia Malam di Sendratari Ramayana Ilalang yang bergoyang merana 112 T TA AK KD DI IR R Yudha Apriansyah Jika bumi bulat membungkus takdir kehidupan Takdirku berbentuk persegi panjang Melaju ke pelataran-pelataran tertuju Bukan tangan dan kakiku yang bergerak Semua bergantung pada sekotak raksasa takdir berwarna merah yang melaju mengejar waktu Jika segalanya telah dituliskan untuk apa merasa khawatir? Karena takdir persegi panjang ini berputar melaju dan diputarkan oleh roda-roda Sepertinya takdir tak bisa berbentuk lain selain putaran bulat Putaranku, sebuah karma Shio ular mengejar-ngejar buntutnya 113 B BO OR RO OB BU UD DU UR R Yudha Apriansyah Sebenarnya aku ingin bertelanjang dada menuju Borobudur. Sensasi penyatuan diri dengan alam sekitar. Magis rasanya, akuingin sendirian saja bermeditasi dengan hanya tubuh yang dibungkus sehelai kain sutra. Inilah peradaban Kakiku bak serabut akar Menyerap asi ibu pertiwi Kepalaku bercabang Rimbun rambutku daun-daun terhelai Di pelataran yang anggun Aku menjadi beringin yang dingin Biar pun matahari menyinari, tetap kusimpan Bayang hitam ini untukku membaca diri Aku tak ingin menjadi terik Yang begitu kemilau Di mana hitamku lenyap tersirap Tidak, bumi ini punya siapa? Hingga aku tak berhak berdiri. 114 S SU UA AS SA AN NA A M MA AL LA AM M Sofia Cahaya lampu menyinari sepanjang penjajak kaki lima Para penjual menjajaki dagangannya Sepanjang jalan kota Semut-semut mulai bergerombolan Haus akan kemanisan dan keindahan 115 M MA AL LI IO OB BO OR RO O Ika Nurhosna F. Mendengar namamu aku sudah bernafsu Merasakan arusmu, tubuhku tak mampu menahan gejolaknya Kau begitu cantik nan mempesona Karena itulah tak seorang pun ingin mengabaikanmu Aku singkirkan semua angka yang bertebaran di hadapanku Aku lucuti beberapa lembaran kertas ini Dan akhirnya aku merasakan kepuasan akan pesonamu Malioboro, 16 Mei 2012 116 S SE EN ND DU U Eriska Fitriani Aku terhempas dalam hangat matahari Membayangkan apa yang harusnya terjadi Tak kuasa akan menggapai harap, Duka yang meradang Berharap suka mereka bisa aku rasa 117 K KI IC CA AU UA AN N B BU UR RU UN NG G G GE ER RE EJ J A A Ahmad Fuad Hanif Awan cerah bersinar membuka asa yang pernah terlupakan Sejenak terdengar suara kicauan burung gereja membawa kabar gembira esok tersenyum menatap tanah Jawa 14 Mei 2012 118 B BE EC CA AK K Devi Lutfiani S Kayuh lagi, Lelah lagi Penumpang senang, Penumpang riang Ayunan kedua kaki Menjadi saksi Tawaran Malioboro Tawaran Beringharjo Dua ribu, itu sudah jadi Dan lima ribu pun jadi Kesana kemari sesuai alamat Abang becak mengayuh dengan selamat 119 C CA AN ND DI I P PR RA AM MB BA AN NA AN N Elis Nursita Candi Prambanan Tertumpuk satu demi satubebatuan Menjulangtinggi Membentuk hamparankemegahanbangunan Denganketakjuban yang tercipta Setiap orang yang memandangnya Jikahanyasatubatusaja Mungkintak akan se-megahdan se-luar biasaini Karenasatusama lain bebatuanbertumpuk Bekerjasamasalingmenopang Makaterjadilahbangunankokoh nan indah Hinggaberabad-abadlamanya Taktergoyahkan Karenamerekaselalubersatuselalu Menopangantarasatudan yang lainnya 120 H HU UJ J A AN N D DI I P PR RA AM MB BA AN NA AN N Imma Janaty Aku ingin segera menyaksikan tarian Sendratari Ramayana Prambanan Duduk termenung diiringi rasa kesal Menunggu beberapa detik, menit, bahkan jam Sekedar ingin mengetahui cerita Prabu Janaka di Negeri Mantili Namun aku tercekat dalam pekatnya hujan Aku berniat untuk hendak pulang Sebab hujan terus menyekapku Hingga aku menggigil kedinginan Tapi aku masih menunggu Dan akhirnya bisa menikmati indahnya tarian yang mengisahkan tentang Dewi Shinta Meski hanya sejenak Namun sedikit puaskan mata Karena langit pun tetap angkuh Masih mengundang gerimis Untuk segera hujan lagi 121 A AK KU U Ari Margono Aku bukan aku Karena aku bukan aku bukan dia Bukan mereka Aku karena aku Bukan karena dia Bukan karena mereka Biarkan aku menjadi diriku Karena aku adalah aku 122 W WA AH HA AI I T TA AN NA AH H A AI IR RK KU U Ai Yeni Wahai tanah airku Dengarkanlah citaku untukmu Ku ingin kau bersih dari serakan sampah yang memilu Ku ingin kau patuh terhadap pimpinan hasil pemilu Wahai tanah airku Dengarkan tuturku untuk mu Hasrat ingin dirimu bagai kota batik terasa syahdu Jagalah budaya bangsa tiada beradu Wahai tanah airku Ku rasakan nikmatnya Gudeg dan Bakpiakhasnya terasa nikmat Memang beragam kuliner di negeri ini semakin memikat Namun tiada dua khas jogja ku terpikat Wahai tanah airku Ingin ku berlama duduk berdendang di atas candi walau terik mentari terasa panas Ingin ku berlama disana jelajahi pernak-pernik serta batik yang tertata hias Ingin ku berlama melihat ragam alam raya terlihat kontras Namun apalah daya semua itu hanyalah tugas Wahai tanah airku Jangan kau gundah gulana jangan kau pasrah Ayunkan langkah kaki selalu terarah Wahai tanah airku Petuah ku padamu hanyalah tugas Sekali lagi, hanyalah tugas.. 123 I IS ST TI IM ME EW WA A B BO OR RO OB BU UD DU UR R Widiyarti Nur Bekti Berisik pasar menyapa langkah Menggoda mata, berlalu atau singgah lantai Berundak menyita nafas Ketukan kaleng pengemis menghiba balas Terbuka loket menakar kemampuan Memilah antrian kasta dan jurusan Arca-arca terdiam membatu Secarik kesadaran teruji di setiap pintu Lantai berundak menguras nafas Ketukan kaleng pengemis semakin jelas Pencapaian tertinggi gelisah menunggu Menanti cahaya mendamparkan laju Ritual beringas berebut kesempatan Pemujaan riuh menuju stasiun tujuan 124 C CE ER RI IT TA A L LU UK KA A J J O OG GJ J A A Siti Patimah Dua malam kulepas Dengan kesepian yang terus mengambil alih malam Hingga pagi menjelang dan makin terang Dengan tetap terkuasakan malam Kini kubercerita namun tak berbahasa Meresapi luka yang kian mendera Luka yang kubuat percuma Karena ia sudah menjadi bangkai yang tak terendus baunya Dari Jogja 125 J J A AL LA AN N Al Ikhlas Ardiansyah Kau yang selalu ada Sajakmu yang tersisa Sajak abadi dalam hati Sampai saatnya tiba Sang ajal kan menjemputmu Sang malaikat membawamu Menuju abadinya sogra-MU Kau kan selalu ada Dalam benakku 126 S SU UL LT TA AN N Azzis Fameia Udara hilang Melihat Sultan Kelantan, Menyiksa Si Manohara Semua terlihat hitam di ruangan itu Hingga hanya jam weker saja yang tetap berdetak Udara datang Hingga bisa kueja dan kuhapal setiap molekul udara Lalu datang beliau dengan gagah; Sebagai Sultan yang dicintai manusia Mengejar tahta untuk mereka. 127 N NU US SA AN NT TA AR RA A Daniel Andrew Menarik tempat menyorot mata Sari jiwa terpikat citra Indah elok sang dimata Akrab di mata dan telinga Cinta dalam alunan budaya Aneka ragam adat mengarungi Dengan berlari mengejar pesona Mendapat indah sautan nusantara 128 J J A AM MP PA AR RI IN NG G t ti i R Ra ah hw wa an na a k ke eu ur r S Si in nt ta a Dian Nugraha Ramdani Panon po nyangsaya belah kulon. Kawih lirihna anu teu liren-liren ngageterkeun mutan supados muguran sapertos hujan, Nyakclakan kana sajak nu barontak lelembaran. Angin ngahiliwir ti lebah gawir Nolan imut anjeun nu sumarambah mapay wayah. Teras hiber ka hibar layung, ngalayang hahalimunan Ngaguratan langit mh ngarupi katumbiri uumpakan, Palipur nu ngempur. Nanging geuning, Wanci teras ngagulidag lir walungan, Ngocor kana sorot soca anjeun, beuki lami, beuki Nambihan gumuruh, nambihanseukeut, sangkan janten jamparing Sri Rama nu tingbelesat tina gondewa kakeueung. Manahan ieu hat supados ngajelegur jiga kembang api Lajeng tiwas taya tilas, ngeprul sarupa kebul. Prambanan, Mi 12 129 S Se el l a am ma at t U Ul l a an ng g T Ta ah hu un n! ! Diba Prajamitha A. Cicak-cicak saling berbisik pada dinding langit sunyi Nyamuk pekerja terus bersenandung dalam nyenyaknya tidur Ada yang memohon terhenti pada dua belas kali loceng berbunyi Ada yang terbangun tepat sebelum hari berganti pagi Ada detik-detik lengang berbaris mengumpulkan suara Ada bisu yang malu-malu berjejer membagikan doa Tiga buah lilin kecil menerangi mimpi yang selalu terjaga Sepotong kue rasa cokelat menjadi saksi atas manisnya bertambah usia Ada detik-detik lengang berbaris mengumpulkan suara Ada bisu yang malu-malu berjejer membagikan doa Sayup-sayup dinding menyanyikan lagu ulang tahun Memantulkan kebahagiaan dari wajah-wajah yang tersenyum Semoga ksatria berkuda putih datang tepat waktu Membumikan harapanmu, Menyatukan puing-puing sisa dari sedetik yang telah berlalu Berharap, berusaha, berdoa Selamat ulang tahun, semoga bahagia jadi harimu! 130 M ME ER RA AJ J U UT T E ES SO OK K Dwi Agustian Mentari cerah menyambut pagi Memancarkan kilauan hati Langit biru membahana Awan putih yang berbaris beriringan Semoga mentari cerah pun menyinari indahnya kota jogja Hidup adalah realita Mengalah pada takdir yang Kuasa Tetap tunduk dan mensyukuri nikmat Semuanya akan menjadi indah kelak Memintal kasih Merajut keimanan Merenda hari esok Membangun pengharapanhidup. 131 K Kr r a at to on n Kiki Amelia Bangunan yang begitu megah Berdiri sangat megah Menyimpan sejuta sejarah Abdi-abdi dalem yang ramah Seolah menarik tangan Menggugah hati untuk menjamah Tempat berteduhpara sultah Menunjukan simbol kebangsawanan Dinding-dinding yang dipenuhi kenangan Tak terlepas dari pandangan Menarik para wisatawan Mengetahui akan rahasia dibalik bangunan 132 P PA AN NA AS S Mayma AmaliaDewi Mendayuh kaki di siang hari Tak sedikit pun aku mengalahkan matahari Tetap meraja walau peluh telah menari Sungguh panas bola cahaya yang menghampiri diri Bisikan berita membuat panasnya mendahsyat Hatiku dan panasnya udara serasa merekat Tak satu pun hati berani mendekat Karna takut akan ku sikat 133 R RE EM MA AN NG G M MA AL LA AM MM MA AL LI IO OB BO OR RO O Muhammad Sidik Sepenggal bulan menghadap tiga bintang berdiskusi tentang lara Bercerita tentang arti cinta dan duka Ketika tiada lagi makna yang tertangkap percaya, ketika setia hanya menyisakan kata tiga bintangpun pergi acuh meninggalkan bulan yang lebih dulu ditinggal belahannya bertengger setengah diri mengintip malu remang malioboro dibalik kumulus tipis kau masih saja tetap ramai dalam remang malammu teriaknya sepasang remaja disudut lain bercumbu rayu diatas becak pembawa misi toko tetangga kumpulan manusia bahagia bersama dua malaikat surga bercanda diatas tikar pelataran halamanmu meski remang dan malam semakin tua kau tetap dicinta kau tetap dimanja mendengar kisah duka pemuda lara, hingga pedagang renta menjadi simbol berharga dua cinta bertautan mesra hingga akhirnya harus kurela, remangmu dari kejauhanku menyisakan sejumut cemburu tak berupa pada setiap lekuk muka yang jarang tercengkrama. 134 C CE ER RI IT TA A D DA AR RI I Z ZE EB BR RA A- -C CR RO OS SS S Neneng Sungguh, aku melihatnya!! Ditempat aku berada saat ini Dimana aku berpijak Pada tanah yang tak bergeming Dengan langit sebening hati para nestapa yang mengharapkembali ke pelukan Tuhan, Yang kulihat kelam didalamnya Ketika tawa itu ada Karena lelucon tak terdengar Tentang bangsaku Bangsa tawa dalam tangis dan tentang tanah air yang entah siapa yang menemukan 135 S SE ET TU UM MP PU UK K B BA AT TU U Nurul Fauziyyah Terik matahari siang Menemaniku, mengunjungimu. Kau masih sama Seperti satu tahun yang lalu Tetap diam membisu Tetap menjulang tinggi Hingga terkesan angkuh. Tapi, Itulah kau Dengan sejuta misteri di dalammu Meski hanya setumpuk batu 136 D DI I B BA AW WA AH H S SA AY YI ID DA AN N Silvina Nugrahawati Jembatan Sayidan menjadi saksi Dulu kita pernah berjanji Meraung asa pada ikrar setia Jalan bersama meraih suka Tapi suka tak lagi ada Ketika kehancuran kian melanda Kini, bening-bening sukma Tak seindah serial drama Jembatan sayidan menjadi saksi Kini aku tak lagi suci Kau kotori tiada henti Hingga ku kehilangan jati diri Aku tetap gemericik Seperti halnya aku berbisik Kepada sayidan Dalam rindang kegelapan Mei, 2012 137 J J A AL LA AN N T TA AK K B BE ER RU UJ J U UN NG G Yusanti Berjalan terus menelusuri angin disetiap detik-detik waktu Melangkah menjajaki setiap sisi jalan dalanm lorong waktu Hingga sang mentari berganti dengan sang raja malam Disetiap sudut jalan pun mulai terlihat kelam Tanpa cahaya dan tanpa jejak yang merata Hingga semuanya hampir tak bisa terjaga Ku terus berjalan menelusuri lorong waktu Tanpa tau dimana ujung perjalananku Bintang-bintangpun bersinar seakan ingin menerangi jalanku Hembusan angin pun mulai menusuk tulang-tulangku Langkah kaki ini terus menajajaki setiap jalan tanpa tau dimanakah ujung perjalanan ini 138 M MA AL LI IO OB BO OR RO O Iman Imanul Hakim Tua, berbudaya dan bersahaja Dia terlukis oleh seni Diterangi lampu tua Tak pernah sunyi dan sepi Membuat harum nama raja Dari citra budaya kita Adakah cinta dari sang raja Pada budaya bangsa kita 139 S SA AN NG G D DE EW WI I S SH HI IN NT TA A Mariah Nuraeni Kisahmu adalah roman setangkai bunga Kisah yang tak berubah alurnya Tentang benih dan tunas yang bersemi Tentang kerajaan yang bersemi Kisahmu melegenda Kisah yang terselip dalam fiksi catatanku 140 R RI IN ND DU U, , E EL LE EG GI I D DA AN N K KA AU U Nurliana Rachmawati rindu itu seperti hujan menebar bau basa di tanah kering cepat meresap dan meninggalkan basah tetapi menumbuhkan rindangnya pepohonan menciptakan kesejukkan hujan dan pelangi adalah satu paket kehidupan hujan datang bersama badai mengoyak elegi yang mengalun indah dari riuhnya suara dedaunan membuat patah pijar-pijar kehidupan yang hendak membumbung tinggi menjulang hingga kemudian hujan menjelma pelangi merias angkasa menjadi warna warni menorehkan rona merah pada awan dan bias air di dedaunan yang terjatuh abu-abu adalah elegi hujan seperti rona merah kala senja nikmati saja alunannya biarkan rasamu tenggelam dalam alunan kehidupan menari ditengah nada-nada minor perasaan hingga kau menutup mata dan memimpikan ia yang kau rindu melepas malam bersama ia yang kau mau dalam asa mimpimu 141 D DI I D DA AL LA AM MS SO OB BE EK KA AN N W WA AK KT TU U Dinar Saefulloh Akbar Entah bagaimana angin mengabarkannya Tapi aku yakin kau tahu Aku menuliskanmu dalam puisi-puisi Saat halilintar menyambar sepi Bersama angin yang berbisik Aku berlagu bersama rindu Di kegelapan aku cerna kata jadi cahaya Yang lama melelehkan segenaphati Aku menulis di dalam sobekan waktu Aku berjalan di antara ingatan lalu 142 B BA AT TU U K KE ES SA AK KI IT TA AN N Dini Tri Handayani Coba kau tengok sekitarmu Matahari saja terpenggal tak berdaya Kagumi bebatuan di depanmu, belakangmu Sisi kirimu sisi kananmu Bagaimana bisa? Bayanganmupun mengalahkan peristiwa itu Dahulu temui para pundak kesakitan O Tulang-tulang yang rapuh Kau sanggup mengabadikannya Menjamah batuan keras nan megah Penuh makna dan tinggalkan keagungan peradaban 143 P PE EN NC CA AR RI IA AN N S SE EJ J A AT TI I Fadhilah Juwita Lestari Lelah aku bertumpu pada sumbu tanpa pilinan Kapas-kapas putih semakin menggunung berdesakan Di atas bahu tanpa alas Merenung yang tak kunjung bertemu ujung Membuat penantian yang tak pasti tentang sejati Yang sesungguhnya telah terpatri jauh di dalam sanubari Namun pengembaraan panjang dalam pencarian Sang hakiki Membuat kegigihan terkadang Berlutut kelelahan Ia tahu takkan pernah ada ujung Tapi sang ujung aka tetap dijunjung Meski tak berpenghujung Selalu berharap demikian Meski tak tahu berapa yang kesekian 144 B BA AY YA AN NG G K KE ES SE ED DI IH HA AN N Faisal Amir Malik I. Hening yang mencekam Kau tepat berdiri didepanku Kau lemparkan tatapan tajam Bayangbayang kosong tercermin dalam raut wajahmu Tetesan air mata membawa pilu Kebisuan dirimu mengutarakan akan harapan-harapan pada anakmu Sungguh malang anaku Miris akan kekosonganku Ayahmu yang kau peruntukan Hanya bisa mengisi kekosongan tak tentu Isi batinmu HAMBAR Teriaku. Ku panggil namamu(ibu) Tiga langkah jarak kau dan aku Nampak buram Gerlap gerlap kesedihan Tercucur dalam senyumu Kini. Hidup dalam dua sisi Hilang akan interaksi 145 W Wa ah ha ai i P Pe en na ak ku u Isye Mustika Seluruh kata ku tulis Kusimpan dalam butir-butir bait Terungkap dengan jiwa dan sepenuh hati Disertai nafas yang seakn terhenti Keindahan. Kekaguman Ku taburkan tanpa kata tiada bersuara Canda tawa Ku daki dengan menutuo mata Wahai penaku Kau menjadi teman setiaku Menyimpan seuntai rasa dihatiku Tiada pernah lelah memeluk tanganku Meski kau hanya diam membisu Jangan pernah pergi dari gengagamanku Wahai penaku Tanpa dirimutiada yang bisa mengerti aku Engakulah penawar sepiku 146 S Se et te en ng ga ah h j j i iw wa a m me en ng gh ha am mb ba ak ka an n a ap pa a Moh. Fauzan Rahman Setiap hentakan nadi bermuruh didepan wajah lusuh Sesaat dan mungkin selamanya, nada yang seakan sama berbunyi seirama Dihamparan bisingnya orang-orang dan teriknya sang penerang Dia berjalan, memangku harap bagi sebongkah karat yang belum berbentuk apa Padahal, di dalam sana gundukan emas berserakan bak debu Terjaga tanpa pengawasan dan kekal dalam setiap pandangan. Jelas tertancap wajah lusuh dan kumuhnya jiwa yang terseok- seok kebusukan Apa yang mesti dicarikanbagi wong cilik tak beretika ? Mungkin itukah gumamnya sang penabuh megahnya istana Bolehkah ku mintakan seteguk air untuk baluri jiwa kering biar hanya untuk sejam saja? Ternyata itu hanya mempetakan aku yang seakan serupa orang berbalutkan keringat Dihadapan mereka, semua yang bermuara hanya sanggul dan sarung sutera petanda jiwa unggul Megah dihadapan pemuka jiwa baru. Siapa yang lebih utama dalam pandangan awam manusia kusut seperti kita? Semua senada dan seirama mengarungi waktu tak terbatas akal dan nuraninya. Lantas mengapakah mereka merengek ditengah megahnya dunia kedigjayaan yang telah lama usai? 147 S SE EP PE ER RT TI I K KI IS SA AH H R RA AM MA A S SH HI IN NT TA A Nurul Ainal Khomsah Desiran angin menyibak wajahku yang kusut Tak membuatku mendayuh larut Menerawang melewati imaji-imaji burut Perjalanan pun tak kunjung mengkrucut Ku terpaku dalam duka penuh parut Dalam hari penuh kabut Gundahku semakin semeraut Mengapa hanya aku yang tersudut Melawan hidup yang carut-marut Akankah tawa renyah dan senyuman manis hadir kembali tenggelamkan kalut? Ahh.. itu hanya sebuah asa yang tak patut Andai aku seperti Sintha dalam penantiannya tak kunjung surut Dan kesetiaan Rama membuatku salut Mungkin saat in aku akan menyambut Pilihan hatiku yang dulu tertaut 148 G GE EL LA AN NG GG GA AN NG G C CI IT TR RA A D DI I M MA AL LA AM M J J O OG GJ J A AK KA AR RT TA A Arief Maulana Gelanggang citra di malam Jogjakarta; Arena rindu yang berhembus dari puncak menara; Saat ketika cinta menyakiti diri ia sendiri; Saat ketika gelap mencakar aroma surga. Sunyi bernyanyi pulang dan kemudian pergi; Menelanjangi indah pelita dalam selimut hitam; Nyata gulita persembahan awan-awan kelam; Hingga binar rembulan pun tak jua aku pandang. Mengapa engkaunampak teramat semu? Sedangkan aku terasa begitu nyata; Kala engkauterduduk di atas rangkulan hangat kesepian; Kala dikaubersenandung sendu di satu malam Jogjakarta. 149 A AB BD DI I D DA AL LA AM M Ineu Sri Wahyuni Dalam jejak Berjalan setiap tetes penak Ada saat yang terasa Ada waktu yang mendera Dalam damai Irama dunia mendawai Walau bayang Tiada untuk datang Batas peristiwa Bayang realita dunia Tersungkur kesekian lama Akan mereka terus bertanya Daun yang berguguran Berirama nada gamelan Tuan duduk di pelataran Muka tuan tiada nian Bapak telah berkata Bukan kita tak bertuhan Namun kita berpendirian Yang berbeda dengan tuan Tuan duduk Kita hanya menunduk Tuan berkata Kita tiada terpaksa melaksana C C e e r r p p e e n n 153 U UA AN NG G 5 50 00 00 0 Ineu Sri Wahyuni Anak dalam pelukan Yuni belum diam. Yuni berusaha menenang- kannya, tangis anak itu semakin keras. Yuni mulai kewalahan untuk membujuknya. Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang. Bujuk Yuni sambil menimang-nimang dalam pelukannya. Mungkin dia lapar, Yuni. iya, Mbak. Tadi anakmu sudah makan belum ? Belum. Kalau begitu cepat kasih dia makan. Yuni tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum makan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya. Kok malah senyam-senyum. Anak sedang rewel kok dibiarkan. Hmmm, Mbak. Saya belum masak hari ini. Jawab Yuni dengan suara tercekat. Kening Yarmin berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedangbergerak menunju angka sepuluh. Sampai siang begini belum masak? Kenapa? Emmmm Yuni agak canggung meneruskan kalimatnya. Beras kami habis, mba Yarmin mulai menanggapinya. Yuni, sudah dianggap sebagai adiknya. Nasibnya dengan Yuni tidak jauh berbeda. Hanya saja Yarmin belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun. Kalau habis, kenapa tidak beli Yun? Pancing Yarmin. Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi kami sedang tidak punya uang. Wajah Yuni menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Yuni tahu, tak ada gunanya 154 berpura-pura di depan Yarmin. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Yuni tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Yarmin iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Walau bagaimanapun Yuni juga menyadari kalau nasib Yarmin juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Yogyakarta. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan. Kami menunggu Bapaknya Arman pulang. Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Arman, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Yuni tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Yuni benar-benar tidak memiliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Yuni dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada, mereka berikan untuk Arman. Yuni. Sapa Yarmin lembut. Kamu tidak biasa hutang? Yuni menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya. Yarmin terlihat sedih. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Arman yang telah tidur pulas dalam gendongan Yuni. Arman begitu pucat. Wajahnya pucat dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening tenggelam dalam angan masing-masing. Aku ada uang lima ribu. Yarmin menyodorkan selembar lima ribuan kepada Yuni. Pakailah. Yuni terkejut. Ia pandangi wajah Yarmin dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Yarmin baru saja sakit. Pasti belum 155 bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya. Jangan, Mbak. Pasti Mbak Yarmin juga membutuhkannya. Insya Allah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Arman pulang. Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Arman? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Yuni. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang. Yuni mendesah. Ibu mana yang tega melihat anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Arman. Ditatapnya wajah Arman yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya. Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Yarmin? Tenang Yuni. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insya Alah besok sudah bisa narik lagi. Jawaban Yarmin tidak membuat Yuni lega. Tapi Yuni benar-benar tidak punya pilihan saat itu. Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Arman dapat uang akan segera ku kembalikan. Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang. Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak. * * * Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu memberikan harapan bagi Yuni dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang di bawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. 156 Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar, bergerak menggelinding.meski perlahan. Assalamualaikum. Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek. Waalaikumsalam. Yuni segera menyambut dan mencium tangan suaminya. Yuni menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya. Maafkan aku, ya. Suara Yanto tedengar berat. Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi. Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya. Yuni tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur. Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu. Ajak Yuni lembut sambil membukatudung nasi.. Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk. Dari mana semua makanan ini, Yun? Tanya yanto dengan suara gagap. Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin kan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot. Tangan Yuni telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Yuni menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya. Tapi semua ini dari mana, Yuni? Tanya Yanto sekali lagi. Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan. Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Yuni bercerita. 157 Mas, tadi Mbak Yarmin sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir. Yuni diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Terlihat mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka. Uhuk!Uhuk! Yanto tersedak. Buru-buru Yuni menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya. Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru. Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat yang dialaminya sebelum pulang ke rumah. Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini. Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Yarmin? Jelas terdengar suara Yanto begitu berat. Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Yarmin memaksa. Ia tidak tega melihat Arman, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Arman jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Arman. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan. Ada rasa bersalah dalam nada bicara Yuni. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang. Yuni, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin. Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Yarmin yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci. Yanto diam sejenak. Mengatur nafas yang semakin tidak teratur. Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Yarmin diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Yuni? Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi. Mas Yanto mau kemana? 158 Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Yarmin. Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang. Yuni terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya. Ia segera bergegas membungkus semua makanannya. Tak ada cara lain, Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Yarmin. Mbak Yarmin, maafkan aku. Ucap Yuni hampir tak terdengar. * * * 159 S SA AP PU U T TA AN NG GA AN N M ME ER RA AH H M MU UD DA A D DI I B BI IS S Y YO OG GY YA A Dani Krisdiana Sedikit tergesa-gesa Bayu memasuki bis. Langkahnya lebar-lebar menuju pojok kursi bis yang besar itu. Dengan ransel besar dan sebungkus rokok di tangannya dia membenahi kursi duduknya. Bis akan berangkat 15 menit lagi. Terdengar kerumunan orang lain berjalan memasuki bis yang hampir terisi penuh itu. Sejenak matanya menatap seisi bis. Ransel biru-hitam miliknya diletakkan di samping kursinya. Bayu memejamkan matanya dan mulai memasang earphone, memutar lagu Yogyakarta milik Kla Project. Lagu penuh kenangan akan seseorang yang pernah dia cintai. Sampai saat ini, tepatnya. Namun, Bayu harus rela mengubur cintanya karena sang gadis, Nunik, minggu depan akan menikah dengan lelaki lain. Padahal, Bayu merasa hubungannya dengan Nunik belum berakhir. Nunik. Mereka bertemu di bangku sekolah SMA. Kedekatan itu berlanjut hinga hari-harinya sebagai pelajar berlangsung. Bayu menyatakan cintanya kepada Nunik dan si gadis menyambut dengan suka cita. Hari-hari indahnya pun dimulai, duka, prahara dan kebahagiaan mereka jalani bersama. Selepas mereka lulus SMA, mereka melanjutkan kuliah di Universitas yang sama di Yogyakarta untuk menggapai mimpi yang mereka idam-idamkan dari dulu. Mimpi yang bisa memberikan kebahagiaan untuk mereka bagikan kembali pada orang-orang yang mereka cintai. Kisah itu telah bermula sejak enam tahun lalu. Setelah mereka lulus kuliah, liba bulan lalu, Nunik mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta di Surabaya. Dia sangat mendukung apa pun yang baik untuk Nunik. Aku terima pekerjaan ini untuk kita berdua, Bayu, ucap Nunik dalam hati. Sementara itu, Bayu yang menyukai dunia jurnalistik memilih untuk bekerja sebagai wartawan pada sebuah surat kabar di Bandung. Awalnya Bayu percaya cinta mereka begitu kuat hingga jarak tak akan sanggup menjauhkan hati Nunik darinya, dia merasa perasaan mereka 160 sudah menyatu dan mungkin tak kan pernah bisa terpisahkan. Tetapi, mungkin dia terlalu yakin. Seiring berjalannya waktu, setiap orang bisa berubah. Nunik rupanya tidak cukup kuat. Gadis itu menukar cinta tulus Bayu sejak enam tahun lamanya dengan masa depan yang ditawarkan manajer di perusahaan tempatnya bekerja yang baru dikenalnya lima bulan belakangan. Dua bulan yang lalu, mereka bertemu di Bandung. Kebetulan mereka berdua libur dan meluangkan waktu untuk bisa bertemu di sana. Kala itu, tak seperti biasa, Nunik lebih banyak diam. Tak banyak kata-kata yang terlontar dari bibir manisnya. Sesekali dia meminta maaf kepada Bayu. Kata maaf yang Bayu tak tahu sebabnya. Bayu baru mengetahuinya ketika dua minggu lalu Nunik meneleponnya. Dia mengatakan kalau hubungan mereka harus berakhir. Dia merasa kalau dengan keadaan sekarang dia tak mungkin lagi bisa hidup bahagia bersama Bayu, dan lebih memilih orang lain yang bisa menjamin kebahagiaannya kelak, yakni atasan di tempat dia bekerja. Bayu seketika luluh, hatinya roboh. Cintanya yang selalu ia jaga kini meninggalkannya. Dia sudah tidak bisa lagi mengejar cintanya. Hari ini dia memutuskan lari ke Yogya, kota yang banyak meninggalkan kenangan tentang Nunik. Ketika masih bersama, dia dan Nunik sering menghabiskan masa libur kuliah di kota itu. Jalan-jalan di Malioboro, nongkrong di angkringan, menikmati kota Yogya saat malam diiringi musisi jalanan. Permisi Mas, tasnya, seorang gadis berambut ikal kecokelatan muncul di sebelahnya sambil menunjuk ransel Bayu. Tanpa tersenyum, Bayu memindahkan ranselnya ke bawah. Gadis itu duduk di sebelah Bayu. Dia beberapa kali menoleh ke arah Bayu. Ke Yogya mau pulang atau liburan, Mas? sapanya ramah. Jalan-jalan, jawab Bayu singkat. Oh, Mas orang Bandung asli berarti ya? Kuliah di sini atau di Yogya? tanya gadis itu lagi. Udah lulus, Bayu tetap pelit kata-kata. Wah, udah lulus? Dari kampus mana? Aku lagi nyari tempat kuliah yang bagus di Bandung, Mas. Lagi survei nih. Sebenarnya, aku lulus SMA tahun lalu. Cuma, nggak langsung kuliah. Aku pengin di Bandung. Mungkin Mas bisa kasih referensi kampus 161 bagus. Oh iya, Mas namanya siapa? Gadis itu bertanya. Pupil mata bundarnya membesar saking antusias. Bayu menatapnya sebentar, lalu tersenyum dan mengulurkan tangan. Bayu. Kamu? Lana, ucap gadis itu tersenyum. Bayu jadi tahu bahwa gadis itu punya lesung pipit ketika tersenyum. Kamu mau ambil jurusan apa? Nanti aku kasih masukan kampus mana yang sesuai sama jurusan pilihanmu, Bayu yang memang sudah mengenal kota Bandung berusaha membantu Lana. Tanpa disadari, obrolan mereka berlanjut ke banyak hal. Cita-cita, hobi, kota Yogya, film, musik, dan banyak lainnya. Mereka sama-sama suka nonton FTV, sama-sama punya album Kla Project, sama-sama suka makanan pedas, sama-sama takut tokek, dan banyak lagi. Ami tipe gadis periang. Dia tidak pernah melepaskan senyum ketika berbicara. Mengobrol bersama Ami membuat Bayu mengakhiri puasa bicaranya sejak dapat telepon dari Nunik kemarin. Tanpa sadar, Bayu menceritakan alasan sebenarnya kenapa dia mendadak ingin ke Yogya. Bayu bercerita tentang Nunik, tentang masa- masa indah mereka selama enam tahun, tentang hatinya yang remuk, tentang semua. Ami mendengarkan dengan penuh perhatian. Jadi, Mbak Nunik itu pinter nyanyi ya? Orangnya lembut banget ya? He he he, komentar Lana. Bayu ikut tersenyum. Mas Bayu berapa lama nanti di Yogya? Kalo perlu ditemenin atau dianter ke mana gitu, bilang aja. Aku sering nganggur kok. Nanti kita naik Trans Yogya aja, keliling kota Yogya seharian. Aku khawatir kalo Mas Bayu sendirian, malah stress terus tiba-tiba aku baca ceritanya Mas Bayu di koran kriminal. He he, candaan Ami membuat Bayu ikut tertawa. Patah hati memang sakit rasanya. Apalagi udah enam tahun kaya Mas Bayu. Belum putus, malah ditinggal nikah. Tapi, daripada menyesali keadaan, sakit hati atau depresi, mending bersyukur aja, Mas. Ditunjukin kalau Mbak Nunik bukan jodoh Mas Bayu. Eh, siapa tahu nanti pas di Yogya, Mas Bayu ketemu orang baru yang bisa jadi jodoh. Kayak cerita-cerita di FTV itu, lagi-lagi Ami tersenyum memamerkan lesung pipitnya. 162 Iya Lana. Makasih nasihatnya. Oh iya, aku ada sapu tangan. Buat kamu aja, kata Bayu sambil membuka ranselnya. Dia mengambil sapu tangan biru dari dalam tas, lalu menyerahkannya kepada Lana. Sapu tangan itu milik Nunik. Wah, bagus banget. Ini pasti punya Mbak Nunik. Nggak apa-apa deh, biar Mas Bayu nggak keinget terus sama dia. Makasih ya, Mas, ucap Lana. Dik, bangun. Udah sampai di Yogya, suara seorang ibu sambil menepuk bahu Bayu. Bayu mengucek mata. Earphonemasih melekat di kupingnya memutar lagu-lagu Kla Project. Dia langsung terkesiap. Ranselnya ada di bangku sebelahnya. Tak ada Ami di situ. Ibu, cewek yang duduk di sebelah saya ke mana? Sudah turun duluan ya? tanya Bayu kepada ibu di depannya. Cewek yang mana, Mas? Saya duduk di sini sejak dari Bandung. Di sebelah Mas ya ditempati tas itu. Mas mimpi mungkin, jawab si ibu sambil merapikan barang-barangnya, lalu beranjak turun. Bayu masih berusaha mengingat-ingat. Dia merasa perkenalannya dengan Ami bukan mimpi. Bayu teringat sesuatu. Dia membuka ransel. Sapu tangan merah muda yang tadinya ada di tumpukan paling atas baju-bajunya sudah tak ada. Aku yakin itu bukan mimpi. Sapu tangannya sudah aku kasih ke Lana, gumamnya. Dia lalu mengikuti langkah orang-orang yang turun dari Bis. Bayu berjalan pelan sambil mencerna apa yang baru saja dia alami. Dia menyesal tidak sempat mencatat nomor ponsel Lana. Tiba-tiba dia melihat seseorang yang duduk di bangku terminal. Gadis berambut ikal kecokelatan. Mengenakan jins dan cardigan biru muda. Yang menarik perhatian adalah sapu tangan biru yang dia pegang. Bayu mengenali sapu tangan itu. Dia berjalan mendekat ke arah si gadis. Kamu kok turun duluan, nggak bangunin aku tadi di Bis? kata Bayu. Gadis itu menoleh, lalu memandang Bayu dengan tatapan bingung. Mas ini siapa? Mungkin salah orang. Saya lagi nunggu Bis, jawab si gadis. Kamu mau kuliah di Bandung? Mau survei kampus kan? berondong Bayu. Iya, tapi Mas tahu dari mana? gadis itu makin bingung. 163 Sapu tangan itu punyamu? Bayu bertanya lagi. Entah. Tiba-tiba nyangkut di bangku ini. Karena warnanya sama kaya cardigan saya, saya pakai deh. Sapu tangan ini punya Mas? Ini saya kembalikan, gadis itu tersenyum. Bukan. Sapu tangan ini sudah jadi milik kamu. Namamu Ami kan? tanya Bayu. Gadis itu makin terkejut. Emm... maaf, mungkin aku lupa pernah kenal sama Mas, ucapnya. Kamu jangan ke Surabaya sekarang. Kamu harus temani aku jalan-jalan naik Trans Yogya dulu. Minggu depan kita ke Bandung bareng. Yuuk, sambar Bayu sambil menarik tangan Lana. 164 P PE EN NA AN NT TI IA AN N Lulu Mar Atun Shalihah Ryana masih diam membisu di salah satu sudut jalan, berharap menanti seseorang yang sudah lama tak ia jumpai. Sambil terus memandangi jam tangannya, Ryana terlihat sangat resah. Ia menunggu Cipto kekasihnya, yang sudah empat tahun tak ia ketahui kabarnya. Hari itu, Malioboro empat tahun yang lalu. Semula tak ada tegur sapa, hanya bisik hati yang saling menyapa. Pertemuan singkat di sebuah toko cindera mata khas Yogyakarta. Ryana yang jatuh hati saat pandangan pertama tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Begitu pun Cipto, ia tak bisa menahan matanya untuk terus memandangi wajah manis Ryana. Hati mereka diliputi perasaan yang tak biasa saat pertama bertemu, setetes embun seakan-akan membasahi hati mereka, dan cess... pandangan pertama membuat hati mereka berbunga-bunga. Cipto tak kuat menahan dirinya untuk tidak mengetahui siapa gadis manis yang telah membuat hatinya tak karuan. Ia pun mencari cara untuk dapat berkenalan dengannya. Sejurus kemudian, Cipto mendekati Ryana yang sedang duduk melihat-lihat kerajinan tangan khas Yogyakarta yang terbuat dari kayu. Dengan tiba-tiba Cipto melontarkan sebuah pertanyaan pada Ryana. Permisi Mba, boleh tanya? tanya Cipto tiba-tiba. Emm... Iya, ada apa Mas? Ryana menyahut sedikit kaget. Punya palu Mba? Mmmmaksudnya? Palu? Belum sempat Ryana menyelesaikan kallimatnya, Cipto memotong, Iya palu Oohh.. maaf gak punya Mas Oohh.. tapi kalau nomor telepon punya kan? 165 Ryana tersenyum geli mendengar pertanyaan terakhir. Nama saya Cipto, saya asli Yogya Mba. Ryana kaget mendengar keberanian Cipto memperkenalkan dirinya sesingkat ini, Ryana pun tak bisa menahan rona bahagia yang terpancar di wajahnya. Ia hanya tersenyum membalas sapaan perkenalan Cipto. Lho kok cuman senyum-senyum aja Mba? Ryana pun membalas jabat tangan Cipto sambil menyebutkan namanya. Ryana, ia membalas singkat. Oohh.. Mba Ryana toh namanya, pantesan manis banget orangnya Emang hubungannya nama Ryana sama manisnya wajah apa? Gak ada hubungannya sih Mba, cuman... kaitan nama Ryana sama wajah Mba yang ayu pas aja gitu Ah Mas... eemm... Cipto Mba... Cipto memotong. Oohh.. iya, Mas Cipto bisa aja Dari Bandung ya Mba? Iya Orang Bandung manis-manis kayak Mba, tapi Mba yang paling manis deh Mas Cipto gombal terus dari tadi Saya ga gombal Mba, seriusan... Maaf Mas, saya harus cepet balik ke hotel sekarang. Udah larut malem nih Oohh silahkan Mba. Hati-hati di jalan ya!!! Semoga besok kita masih bisa ketemu Ryana menoleh dan tersenyum pada Cipto sambil berlalu. Saya berharap seperti itu juga Ryana menjawab dalam hati. 166 Keesokan harinya, tanpa sengaja Ryana dan Cipto bertemu. Kini tak ada bisik hati yang menyeruak, tak ada lagi malu yang menyelimuti. Keduanya sibuk dengan obrolan-obrolan hangat sambil bertukar pikiran mengenai pengalaman masing-masing. Ryana bercerita maksud kedatangannya ke kota gudeg ini. Ia sedang melakukan penelitian terhadap beberapa tempat wisata di kota ini. Begitu pun Cipto, ia menceritakan panjang lebar mengenai dirinya. Cipto adalah salah satu mahasiswa di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Dan dengan penuh semangat, Cipto menceritakan semua hal yang berkaitan dengan Yogyakarta pada Ryana. Entah rasa apa yang hinggap di hati keduanya, keduanya pun diliputi rasa yang berbeda yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Keduanya hanyut dalam sebuah rasa yang hanya dapat dirasakan oleh mereka berdua. Sedikit banyak Cipto banyak membantu Ryana dalam melakukan penelitiannya, sehingga selama di kota gudeg ini Ryana banyak menghabiskan waktunya bersama Cipto. Rasa aneh yang hinggap semenjak pertemuan pertama pun semakin aneh dirasa oleh keduanya. Satu pekan sudah Ryana melakukan penelitian di kota gudeg ini, besok ia harus kembali ke Bandung, kota asalnya. Sangat berat ia rasa ketika harus berpisah dengan Cipto, sehingga ia berniat untuk mengajak Cipto makan malam di malam terakhirnya berada di Yogyakarta, sebagai tanda perpisahan. Ryana memilih restoran yang menyediakan makanan khas Yogya yang ia pilih sebagai tempat makan malamnya bersama Cipto. Selain ia ingin tahu banyak juga mengenai kuliner Yogyakarta, Ryana rasa suasana Yogyakarta di restoran itu sangat kental sehingga bisa membuat Cipto lebih bersemangat lagi menceritakan semua hal tentang Yogya. Pukul 19.24 WIB mereka tiba di restoran. Keduanya asyik berdiskusi mengenai kuliner khas Yogyakarta, sampai-sampai sambutan hangat para pelayan restoran pun tak lagi mereka hiraukan. Setelah memesan beberapa makanan dan minuman, mereka asyik kembali larut dalam obrolan-obrolan hangat khas dua insyan yang sedang dimabuk asmara. Di tengah asyiknya percakapan, Ryana terkejut dengan pertanyaan Cipto yang menanyakan isi hati Ryana terhadapnya. 167 Dek, kalau boleh jujur, sejak pertemuan pertama aku sudah merasakan hal yang berbeda di hati ketika melihatmu, apakah kamu merasakan hal yang sama? Melihat matamu, aku merasa bahwa apa yang aku rasa tidak jauh berbeda dengan apa yang Adek rasa. Tidak ada panggilan Mba Ryana lagi kali ini, kini panggilan Adek yang Cipto ucap menandakan ada hubungan yang berbeda di antara keduanya. Ryana pun tetap diam membisu, lidahnya kelu untuk berucap meskipun satu kata. Dan Cipto merasa tidak nyaman dengan keadaan Ryana yang terus diam membisu. Ia pun berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan pembicaraan. Ya sudah... jangan dianggap aja Mba omongan yang tadi, anggap aja angin lalu. Oohh iya, rencananya besok pulang ke Bandung mau jam berapa? Cipto berusaha mencairkan suasana. Aku pun punya perasaan yang sama seperti Mas Cipto, hanya saja aku takut Mas, dengan sedikit bergetar Ryana menjawab. Cipto yang sudah berusaha mengalihkan perhatian terkejut mendengar jawaban Ryana, dan ia pun berusaha menjawab apa yang ditakutkan Ryana. Adek pasti merasa ragu akan ketulusan hatiku ya? Bukan Mas, aku yakin akan ketulusan hati Mas Cipto. Apa yang telah Mas Cipto perbuat selama ini terhadapku itu sudah membuktikannya. Hanya saja aku takut oleh jarak yang memisahkan. Jika kau percaya dengan ketulusanku, mengapa harus takut oleh jarak? Percayalah dek, aku di sini akan menunggumu. Dan nanti giliranmu yang harus menjelaskan semua tentang Bandung kepadaku, jika aku kelak berkunjung ke sana. Percayalah dek!!! Dengan senyumanmengembang, Ryana mengangguk pelan. Hari itu pun tiba, Ryana harus kembali ke kotanya. Ryana diantar Cipto menuju bandara Adisucipto, di sana keduanya tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan yang mendalam. Meskipun janji telah terucap, keduanya tetap sajadiliputi kegelisahan yang mendalam. 168 Dan akhirnya mereka harus benar-benar terpisah, Ryana kembali ke kotanya dan Cipto tetap tinggal di Yogya melanjutkan aktivitasnya. Cipto memenuhi janjinya, ia tidak pernah lupa untuk tetap selalu mengabari Ryana melalui telepon genggam atau email. Komunikasi berjalan sangat baik sehingga keduanya tidak lagi gelisah ketika ada jarak yang memisahkan. Dan untuk kedua kalinya Cipto memenuhi janjinya, diam-diam Cipto pergi ke Bandung untuk menemui Ryana. Dan alangkah terjekutnya Ryana ketika mendapati Cipto sedang duduk rapih menunggunya di depan rumah. Dengan perasaan bahagia yang tak terkira Ryana dan Cipto menghabiskan waktu bersama di Bandung, meskipun sebentar itu membuat keduanya menembus kerinduan lima bulan terakhir ini. Sama seperti perpisahan sebelumnya di Yogya, mereka harus dengan berat hati melepaskan satu sama lain. Dan kali ini air mata Cipto pun tak kuasa ditahannya, di depan Ryana ia meneteskan air mata. Melihat itu, Ryana tak kuasa untuk tidak ikut serta dalam tangis sedih perpisahan, hingga akhirnya mereka benar-benar harus berpisah karena bus yang akan membawa Cipto harus berangkat. Hari-hari pun berlanjut seperti biasa. Keduanya tetap bisa menjaga komunikasi antara keduanya. Hingga suatu hari, satu minggu berlalu tak ada kabar sedikit pun dari Cipto. Ini benar-benar membuat Ryana gelisah, ia sudah mencoba berkali-kali menghubungi Cipto dengan berbagai cara namun hasilnya tetap nihil, hingga berlanjut satu bulan tetap tak ada kabar dari Cipto. Mendapati ketidak pastian dari Cipto, Ryana tak tahan untuk tidak menyusulnya. Ia pergi sendiri untuk memastikan kabar Cipto, sesampainya di sana Ryana harus menelan kekecewaan kembali ia tidak mendapati Cipto di rumahnya. Kemudian ia bertanya kepada semua tetangga dekat Cipto, menanyakan ke mana perginya Cipto. Cipto hanya tinggal sendiri di rumah, sehingga tak ada informasi yang didapat selain dari tetangga-tetangganya itu. Ryana tak kehilangan akal, ia kemudian berusaha mencari ke tempat di mana Cipto menimba ilmu, di sana ia bertanya ke sana ke mari mengenai keberadaan Cipto, dan hasilnya tetap mengecewakan. Tak ada satu pun orang tahu di mana keberadaan Cipto. Ryana tidak menyerah, ia tetap mencari Cipto di setiap sudut kota Yogyakarta 169 hingga sepekan lamanya. Karena tak kunjung mendapat titik terang mengenai Cipto, akhirnya Ryana kembali ke kotanya berusaha melanjutkan kehidupannya meskipun dirasa sangat berat harus meninggalkan kota Yogya. Kini Ryana sudah tak ada gairah untuk terus melanjutkan aktivitas seperti biasanya, ia tak punya semangat lagi untuk terus berjalan. Namun di hati kecilnya tersimpan secercah harapan bahwa ia masih dapat bertemu Cipto, meskipun dalam jangka waktu yang panjang. Hingga ia tak lepas terus berdoa agar masih diberi kesempatan untuk dapat bertemu Cipto. Juga, Ryana berusaha dengan tetap mengunjungi Yogya untuk tetap mencari kepastian mengenai Cipto. Ryana dengan setia menunggu Cipto di salah satu sudut jalan Malioboro, selama empat tahun, Ryana tetap setia menunggu Cipto. * * * 170 D DA AL LA AM MM MI IM MP PI I: : M ME EN NJ J A AD DI I R RA AJ J A A Nasrul Afidin Sore itu, dengan penuh semangat, Dani mendatangi kakeknya yang tidak jauh dari rumahnya. Sengaja ia datang hanya sekedar menanyakan ada kisa apa saja yang terdapat di Jogjakarta. Pasalnya, esok hari ia akan pergi ke sana bersama teman-teman sekelas, PPL ceritanya. Untung saja kakek ada di rumah, biasanya jam segini ia masih di kebun. Hari ini adalah hari keberuntungannya. Meskipun pagi, Kakek memang sudah hilang dan waktu mundur tinggal menghitung, tetapi semangat belajar dan pengetahuannya segudang. Entah dulu kakek orangnya seperti apa, yang Dani tahu, kakek adalah sosok yang patut dibanggakan. Di rumahnya banyak penghargaan-penghargaan yang diraihnya, karena prestasinya ia sempat berkeliling Indonesia, bahkan dunia. Betapa bangganya mempunyai kakek seperti Pak Marzuki. Kek, saya mau minta tolong, ceritakan apa saja yang berkaitan dengan Jogjakarta, besok aku mau ke sana bersama teman-teman, pinta Dani. Ohhh, kamu mau cerita tentang Jogja toh, sebenarnya kamu tinggal cari saja di internet, kan banyak tuh! jawab kakek dingin. Iya kek, saya sudah baca, hampir semua malah, tetapi saya kurang puas kalau belum mendengar cerita dari kakek, saya kan tahu kakek ahlinya bercerita dari mulai runtut sejarahnya, sampai ke detail- detailnya. Pokoknya saya kagum ke kakek. Yah... tolong yah kek... buat bahan kajian dan tambahan ilmu saja kek. Baiklah kalau begitu... kakek bangga ke kamu Dan. Masih muda, semangat mencari informasi sangat tinggi. Kakek doakan kamu menjadi anak yang pintar yah nak. Kemudian kakek bercerita tentang mesjid bawah tanah. Tepatnya di sebelah timur keraton, ada sebuah mesjid yang kini sudah tidak terpakai lagi. Dibangun pada tahun 1758, masjid itu terletak di bawah danau, di sampingnya ada pemandian para selir dan raja itu sendiri. Sri 171 Sultan Hamengku Buwono nama rajanya. Ia terkenal arif dan bijaksana. Mampu mengatasi kemiskinan warganya dan ia adalah seorang yang tangguh, gagah berani. Hampir semua musuhnya takluk padanya. Saat itu Islam sudah masuk ke daerahnya, namun masih kental dengan adat kejawen, jadi tidak aneh kalau saja banyak sesaji di setiap sudut, padahal Islam melarangnya. Namun, inilah cara para wali menyebarkan agama Islam ke daerah yang masih terselubung dengan ajaran Budha, mereka mengajarkan Islam tanpa meninggalkan tradisi yang dilakukan oleh warga setempat. Bahkan sampai sekarang, tradisi itu masih dilestarikan, katanya untuk menghormati para leluhurnya. Oh begitu kek. Lalu? tanya Dani penasaran. Konon, dulu ketika masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah, kita harus memasuki lorong panjang terlebih dahulu, ya sekitar 10 meter. Rupa bentuknya melingkar seperti loyang, cetakan bolu. Posisi atau penempatan shalat bagi perempuan di bawah, sementara para lelaki di atas, lantai 2. Karena dikhawatirkan, jika terjadi penyerangan dadakan para lelaki melakukan pertahanan, sedangkan para perempuan masuk ke lorong yang tembus langsung ke keraton, bersembunyi. Wah.. wah... sungguh hebat strategi pertahanannya kek, lalu mesjid itu sekarang masih ada kek? Masih, namun sudah tidak dipakai lagi, sekarang beralih fungsi menjadi salah satu tempat pariwisata di Jogja Oh iya kek, saya masih bingung dengan nama panggilan Jogja. Ada yang bilang Ngayogyakarta, terus Yogyakarta, Djogja, dan lain-lain kek. Sebenarnya mana sih yang benar? Kamu mau nguji kakek, atau memang benar-benar tidak tahu Dan? He.. he.. Beneran saya tidak tahu kek! Pertanyaan itu baru muncul sedetik yang lalu Ya sudah kalau begitu, kakekcoba jawab Penamaan Jogja, memang beragam. Kakek pernah hitung ada enam kalau tidak salah. Ngayogyakarta, Yogyakarta, Jogjakarta, Jogja, Yogya, dan Djogja. Pada dasarnya semua penamaan itu merucut ke satu lokasi, 172 yaitu Jogjakarta. Kata sebagian orang, nama Jogja itu unik. Mau disebut apapun bisa, dan semua orang tahu maksudnya. Faktor fonemik lidah dan daerah yang mempengaruhinya. Itu sebabnya banyak orang menyebut ragam penamaan Jogja jadi banyak. Penamaan Ngayogyakarta, pernah digunakan dalam piagam yang ada di keraton, sedangkan Yogyakarta, mungkin hanya menghilangkan prefiks nga di awal. Seperti pada penamaan DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan lain-lainnya kakek lupa lagi. Maklum sudah berumur, ada sedikit memori yang terkelupas. Makanya secara lengkap kamu cari informasi lagi di sana ya nak! Hari sudah petang, tuh adzan magrib berkumandang, ayo kita sembahyang dulu Dan! ajak kakek. Dani sembahyang di rumah saja kek, sekalian mandi dan istirahat. Besok kan berangkat ke Jogja pagi-pagi kek. Setelah puas mendengar cerita kakek, Dani berpamitan, meminta doa keselamatan untuk esok. Tiba di rumah lepas magrib. Di masjid, terdengar imam sudah masuk rakaat ke dua. Ia lalu bergegas menuju kamar mandi dan bersiap untuk sembahyang. Secepat kilat ia bereskan semua urusannya. Nampaknya Dani lelah benar hari ini, dari pagi sampai petang, ia mencari informasi seputar Jogja. Di warnet, baca buku, dan datang langsung ke kakek. Kemudian ia terbaring lunglai di springbed. Andai saja apa yang diceritakan kakek tadi sore menjadi kenyataan dalam hidupku, lirihnya sebelum tidur. * * * Dalam tidur, otaknya berkelana. Nampaknya masih ada rasa penasaran yang belum ia selesaikan tadi sore. Perihal mesjid bawah tanah, ia terheran-heran, mana mungkin sebuah mesjid berada di bawah danau. Lalu seorang raja mempunyai istri lebih dari dua, dan sebundel pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ia bawa itu semua ke dalam mimpi. 173 Tiba-tiba saja Dani berada persis di gerbang danau menuju mesjid bawah tanah, dengan berpakaian ala keraton, rapi, harum dan seakan terlihat arif bijaksana, seperti Sultan Hamengku Buwono pada zamannya. Di sampingnya dayang-dayang dan para punggawa mengawal langkahnya. Lalu ia berjalan diiringi gamelan merdu khas Jogjakarta. Ia menuju tempat pemandian kerajaan. Untuk ke sana, ia harus melewati danau terlebih dahulu dengan perahu yang sudah disiapkan oleh abdi kerajaan. Danau itu terletak di antara sungai Joge dan Winongo. Di pemandian, ia melihat dalam kolam, istri-istrinya berenang dan mandi dengan santainya. Lalu ia masuk ke gedung semacam loteng, memilih salah satu istri untuk menemaninya mandi siang itu. Nampaknya kali ini ia tertarik pada istri ke-nya, nyai Sumenep. Di tempat khusus mereka berdua silih bermanja-manja. * * * Sementara itu, Dani berubah menjadi salah satu kapten perang. Ia hendak menjajah dan menguasai kerajaan yang terkenal istimewa itu. Hai pasukan, siapkan senjata. Angkat ke langit. Hari ini, demi tanah dan negeri kita di seberang, dan demi meluasnya kekuasaan negeri kita, ayo kita hancur leburkan Jogjakarta, buat mereka menangis dan tunduk pada kita. Hati-hati, mereka terkenal dengan pertahanan yang bagus. Oleh karena itu, kita siapkan strategi serangan mendadak! serunya di depan prajurit. Ayo...!!! gemuruh suara prajurit. * * * Adzan dzuhur berkumandang, tiba saatnya untuk sembahyang dengan ditemani dayang-dayangnya, ia berangkat ke mesjid bawah tanah. Memasuki lorong sekitar 10 meter, di tengahnya ada sumur gemuling sedalam 8 meter, difungsikan khusus untuk wudlu. Di atas sumur ada 5 anak tangga dari 4 sudut. Mungkin maksudnya mengingatkan pada panca Islam yang menjadi rukun. 174 Dayang-dayangku, dan para prajurit. Ayo segera ambil wudlu. Mari kita sholat berjamaah! serunya. Prajurit yang sedari dari siaga, kini secara bergantian mengambil air wudlu. Lalu sembahyang berjamaah. Memasuki rakaat kedua, mereka dikagetkan oleh suara dentuman meriam yang sangat keras. Dalam keadaan sembahyang, mereka bertanya-tanya. Namun, mereka akhirnya menyelesaikan sembahyang terlebih dahulu. Apa yang terjadi? tanya raja. Ampun, pangjenengan. Kita diserang penjajah secara mendadak jawab salah satu kesatuan Sumoatmojo. Ayo lekas siapkan pertahanan!! tegasnya. Dayang-dayang, ajak semua perempuan ke keraton. Masuk lewat lorong itu, dan sembunyi di tempat rahasia. Kami akan bertempur melawan mereka. Baik tuan raja!!! Mereka lalu berbondong-bondong memasuki lorong yang menembus ke keraton. Pertempuran pun tak bisa dihindari. Mereka saling baku hantam, tusuk menusuk, penjajah dengan peralatan modernnya nyaris merobohkan bangunan mesjid yang hanya terbuat dari batu bata merah dan kapur. Sekitar kurang lebih lima jam bertempur, akhirnya pihak penjajah meminta kesepakatan secara tertulis. Mereka saling adu argumen membagi wilayah kekuasaan. Bukan raja tak ingin berpihak pada rakyat, tetapi karena ia terdesak, dan demi rakyatnya selamat, akhirnya ia menyepakati semua yang ditawarkan penjajah. Tentara keraton dibubarkan, beralih menjadi rakyat biasa, menderita. Namun Sultan tidak tinggal diam, ia mencari celah agar kekuasaannya kembali diraih oleh pribumi. Karena menurutnya, tahta adalah untuk rakyat, sepertinya jika ditanamkan dalam sistem pemerintahan negeri ini, rakyat akan sejahtera. * * * 175 Bangun shubuh. Pagi-pagi sekali ia berangkat ke kampus. Rupanya tiga mobil bus sudah berbaris rapi di marka parkir. Dani masuk bis nomor dua, ia duduk di bangku paling belakang. Dalam perjalanan menuju Jogja, ia bercerita ulang tentang apa yang ia alami dalam mimpinya. Teman-temannya tertawa terbahak-bahak seakan ia orator pada stand up comedy. Kalian boleh percaya, tidak percaya pun ya harus. Ha.. ha.. maksa. Karena apa yang saya ceritakan ini hanyalah mimpi. Ketika Marshanda bilang, mudah-mudahan ini hanya mimpi, tetapi saya berharap ini menjadi kenyataan, canda Dani menghibur teman-temannya. Setibanya di Jogja, ia langsung menuju lokasi yang kakek ceritakan kemarin. Nampak semua persis dengan apa yang ada dalam mimpi. Namun sayang, sejarah hanya tinggal kenangan, tinggal cerita, tak bisa diputar meski menggunakan lorong waktu. Yang ada hanya bayangan kejadian pada masa itu. Bandung, 22 Mei 2012 E E s s s s a a y y 179 K KU UD DA A: : A AP PA A B BE ED DA AN NY YA A A AK KU U? ? Jaya KUDA memang aku seekor kuda sejak dahulu leluhurku sudah menjadi teman para raja. Derajat kaumku dahulu sangat tinggi. Bagaimana tidak, ketika ada peperangan penting aku mengambil andil di dalam kesuksesannya dan itu menjadi suatu kebanggaan pribadi bagiku juga sebagai seekor kuda. Memang kali ini ceritaku berbeda dari cerita leluhurku dahulu kala. Karena aku seekor kuda biasa yang bekerja di keramaian Malioboro kota Jogja. Ya, aku bekerja di Malioboro sebagai kuda penarik beban atau yang akrab di telinga mereka disebut dokar. Di sini aku akan bercerita tentang sedikit rasa yang berbeda lain dari yang kau duga. Uang seharga lima ribu rupiah yang diberikan sebagai upah jasaku setelah mereka aku bawa ke mana-mana dari tempat yang satu ke lainnya, itu selalu menusuk-nusuk hatiku, perih rasanya jiwa ini ketika usaha yang aku lakukan dengan susah payah dan memerlukan tenaga yang luar biasa mereka hanya memberikanku lima ribu rupiah, sesuatu yang sangat tidak setimpal bagiku, bahkan ada saja penumpang yang jahil ketika mereka sudah aku antarkan ke mana-mana dari Malioboro, kemudian ke toko kaos terkenal di Jogja, dagadu, kemudian ke keraton dan aku antar lagi ke Malioboro, mereka malahan menawar untuk membayar jasaku hanya dengan harga tiga ribu rupiah, serasa tubuh ini ingin berontak dan melepas semua tali yang mengikat tubuh ini dan langsung menabrak si penumpang itu, tapi sekali lagi pemilikku sekaligus yang mengendalikanku hanya protes sebentar tapi kemudian langsung menerimanya karena memang dia tidak mau berdebat panjang lebar karena dia juga memang membutuhkan uang itu dan tidak ada penghasilan tambahan yang lain baginya selain menarik dokar. Damai hati ini seakan sulit sekali terpenuhi apalagi ketika sepatu kuda yang terbuat dari besi itu ditancapkan di telapak kakiku, aku masih ingat jelas suaranya, tak... tak... tak... Pukulan demi pukulan palu 180 menghujamkan paku yang berukuran besar ke telapak kakiku. Satu pukulan itu kurasakan seakan sedang menusuk-nusuk hatiku dan merobek-robek jantungku. Bahkan ketika kondisi badanku tidak vit pergantian sepatu kuda pun terus dilakukan ketika sepatu kuda yang lama sudah licin dan harus diganti dengan sepatu baru sehingga air mata di balik jendela mataku ini keluar dengan sendirinya karena rasa sakit tubuhku yang terasa berat ditambah rasa sakit yang datang dari setiap hunusan paku-paku itu sangat menyakitkanku. Aku sebagai binatang ingin juga seperti manusia ketika badanku yang sudah lemah dan letih karena satu hari penuh bekerja di jalan mondar- mandir menarik beban tentunya ingin sekali istirahat tapi apa malahan ketika aku mencoba untuk istirahat sejenak dengan berjalan agak lambat ketika sedang bekerja, tar... tar... tar... suara cemeti yang sedang asik menyentuh badanku dengan kecepatan yang semakin terulang semakin kencang. Perih sekali badan ini sampai terlihat samar garis merah-merah salur di bagian samping tubuhku. Aku dipaksa untuk terus bekerja dan harus tetap kuat untuk menarik beban kalau tidak cemeti itu akan terus menerus menyentuh dengan brutalnya bergantian ke badanku. Aku memang tidak berteriak ketika rasa sakit jengkal demi sejengkal menjalar ke setiap tubuhku ketika suara cemeti itu terus menerus mengiringi langkahku, orang-orang yang mendengar suara itu merasa sesuatu yang biasa di telinga mereka. Mungkin bagi mereka ketika aku malas untuk bekerja, pecutan cemeti itu menjadi obat dari kemalasanku. Padahal aku bukan malas, tapi aku merasa lelah sama seperti mereka. Apalagi sekarang ini jalan Malioboro sudah tidak seluang dahulu. Dahulu aku bisa berjalan melenggang sana-sini disebabkan ruas jalan yang cukup luas bagiku dikarenakan kendaraan bermesin seperti motor dan mobil tidak sebanyak pada saat ini. Apalagi saat ini aku harus bersaing dengan mereka dalam bekerja. Mereka menggunakan rem dan kopling yang otomatis pada saat berhenti mendadak, sedangkan aku masih mengandalkan tumpuan kaki depan dengan sepatu kuda yang seadanya. Maka tidak jarang kakiku terkilir bahkan terluka ketika berhenti. 181 Pada saat kakiku terluka akibat terkilir atau ada yang tidak benar di dalam badanku membuat kinerjaku tidak karuan, sehingga pemilikku yang menyadari kondisi badanku tahu apa yang harus diperbaiki dari diriku. Seperti biasanya ketika aku dalam kondisi tersebut, langsung ia membawaku ke tempat mbah Joko, tukang urut spesial untuk kuda. Dia yang bertempat tinggal tidak jauh dari jalan Malioboro sudah sangat terkenal di kalangan kami para kuda di Malioboro, walaupun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi akurasinya dalam memeriksa berbagai penyakit yang kita punyai masih tetap tidak diragukan lagi dengan menyentuh dan melihat kondisi lidah dan air liurku dia tahu penyakit apa yang sedang aku alami. Apalagi pijatan dari mbah Joko, walaupun tangannya kecil tetapi bisa membuatku mengeram karena terasa sekali bagian-bagian yang dipijat olehnya dan bagian itu tepat sekali. Akhirnya setelah mbah Joko menangani badanku yang tadinya tidak karuan karena bercampur rasa pegal, letih dan sakit menjadi satu sekarang kembali normal. Aku pun bisa kembali lagi ke jalan untuk bekerja dan kembali ke penderitaanku. Rasanya hanya mbah Joko yang dapat memahami perasaan kaumku bukan para pemilik kami yang sepanjang hari bekerja bersama kami, mereka hanya tahu kami harus bekerja dengan baik. Mereka akan memberi makan, kemudian membersihkan kami dan apabila ada yang tidak benar dari kami langsung menyerahkannya ke mbah Joko. Bekerja, bekerja, dan terus bekerja tanpa ada waktu istirahat untuk aku dan kaumku. Bedanya apa aku dengan manusia? Kenapa dibedakan, padahal aku dan kaumku sama-sama diciptakan oleh sang pencipta, Allah SWT yang Maha Esa. Hanya saja derajatku mungkin sedikit lebih rendah dari manusia karena aku seekor kuda yang tidak diberikan akal pikiran seperti manusia. Tapi ingat aku punya hati dan perasaan sama seperti manusia, dan aku pun tidak meminta lahir ke dunia ini menjadi seekor kuda. Itu mungkin sudah menjadi kodratku. Kadang kalanya aku merasa kesal juga ketika melihat tidak sedikit orang-orang yang aku temui berperilaku seperti binatang bahkan melebihi binatang. Mereka berbuat kerusakan, perkelahian, dan ketidaktentraman. Padahal kurang nikmat seperti apalagi yang diberikan Allah SWT untuk mereka. Mulai dari penciptaan makhluk yang paling sempurna di dunia, derajat 182 yang tinggi, segala macam kebutuhan untuk hidup sudah disediakan dan nikmat yang paling besar diberikan yaitu akal pikiran. Enak sekali kehidupan manusia di dunia ini, menjadikan semua makhluk di dunia ini iri termasuk diriku merasa iri pada mereka. Pada suatu hari, mbah Joko pernah juga berkata padaku dengan Bahasa Jawa yang kurang lebih artinya bagiku manusia itu sama dengan kuda seperti penyedot tinja, makhluk kotor yang ke mana-mana selalu membawa kotoran cuma yang membedakan, manusia itu membuang kotorannya di tempat tertutup, sedangkan kuda membuang kotoran di mana saja semaunya, mau di jalan yang ramai, di pasar, di taman dan tempat-tempat lainnya tanpa rasa malu mungkin kuda itu tidak munafik seperti manusia. Dan aku yakin dari dahulu yang namanya manusia secantik dan setampan apapun tetap saja kotor, karena seperti yang sudah dikatakan oleh mbah Joko, mereka semuanya membawa kotoran. Jadi tidak ada sesuatu hal yang patut untuk disombongkan oleh manusia dalam diri mereka terhadap sesama ciptaannya, apalagi dengan sang Pencipta. Kita semua sama, dan yang membedakan kita di mata sang pencipta hanyalah keimanan dan ketakwaan kita terhadapnya, dan itu benar apa adanya. Akhir dari kisahku tidak berhenti sampai sini saja, aku akan menceritakan perihnya menjadi diriku ini, sampai akhir hayatku pun tidak ada kedamaian yang aku rasakan. Apakah kalian semua tahu bagaimana akhir kehidupanku di dunia yang fana dan perih ini? Akhir hidupku dan kaumku di dunia sangatlah tragis dan menyedihkan sekali. Seperti ketika salah satu dari kita sudah tidak bagus lagi untuk dipekerjakan sebagai dokar, maka sang pemilik dari kita akan segera menggantikannya oleh salah satu dari kita yang lebih muda, kuat dan segar, agar dapat bekerja dengan baik lagi, dan nasib kita yang sudah tidak dapat digunakan dengan maksimal akan diputuskan oleh mereka. Dan keputusan itu yang rasanya sudah menjadi pedoman bagi mereka. Nantinya dari kita yang sudah tua tak berdaya akan menghadapi fase yang paling bengis dalam kehidupan ini, yaitu ketika hari di mana tidak pernah ingin membayangkannya, bahkan memimpikannya itu datang. Kita yang tereliminasi oleh waktu dan kondisi akan mati dalam kondisi 183 yang sangat kejam, kita akan dikirim ke pejagalan untuk dikebiri oleh manusia-manusia itu. Tinggal menunggu giliran untuk penjagalan, ketika sudah tiada nyawa-nyawa ini, kulit-kulit dari kita pun akan dikelupasi satu per satu terlepas inci per inci, centi per centi dan akhirnya terlepas semuayang menempel dalam badan ini. Yah, segalanya yang sudah aku perbuat dahulu, yaitu bekerja dengan susah payah membantu mereka mencari nafkah, membanting tulang, dan menahan semua rasa sakit, tidak ada apa-apanya bagi mereka ketika mereka memberi kami tempat tinggal dan membersihkan kami, itu bagi mereka sebuah imbalan yang setimpal bagi kami. Haruskah mereka sekejam ini padaku dan kaumku? Tidak hanya karena faktor usia yang menyebabkan salah satu dari kita akan dikebiri, tapi juga ada ketika salah satu dari kita patah kakinya sebelah sehingga tidak bisa berjalan dengan normal, itu dijadikan salah satu alasan mereka menjegal kami. Sungguh sakit sekali jiwa ini yang tidak berdaya menyuarakan keadilan. Apalagi dari kami harus ditakdirkan jangan pernah berpikir atau bermimpi akan pergi dari dunia ini atau mati dengan kondisi setenang, sebaik, senyaman, dan sewajar meninggalnya mereka. Kebanyakan dari mereka bebas dari dunia ini dengan cara yang sangat-sangat enak, yaitu meninggal dalam keadaan sakit sedang berbaring di kasur, ada juga yang meninggal dalam kondisi yang damai karena menikmati hari tua sampai ajal menjemput mereka. Adapun yang mati di jalan karena kecelakaan, hanyalah segelintir dari mereka, dan bagiku itu sesuatu yang wajar karena tidak bisa diduga. Beda halnya dengan kami yang tidak akan pernah merasakan kedamaian di hari-hari tua, karena mereka telah memberikan satu pilihan yang membuat kami berbeda dengannya. Aku memang sengaja menceritakan semua kisahku ini sampai sekarang, karena aku ingin semua tahu tentang ceritaku. Tapi aku tidak bisa mengira-ngira cerita kehidupanku ini, apakah sebuah cerita kesombongan karena pernah menjadi berharganya dahulu kala, ataukah kebahagiaan karena pernah singgah di dunia ini atau malahan semua kisahku ini adalah kesedihan karena akhirnya hanya sebuah pembantaian. Pembantaian yang aku sendiri tidak yakin apakah ini 184 semua akan berakhir atau malah akan menjadi sebuah cerita yang lebih tragis lagi dari kisah yang sedang kucoba paparkan ini. Di satu sisi ketika aku mencoba mengupas kisahku ini dengan sesuatu yang berbeda tidak jarang ku terdiam ketika ingat kembali tentang akhir dari hidupku. Kucoba untuk menghibur diri ini ketika mendengar kata penjagalan terpintas di benakku dengan mengingat para leluhurku yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini. Mereka semua sudah pergi jauh dengan meninggalkan kisah-kisah manis bagi kami semua. Bahkan ketika aku mengingat kisah-kisah mereka, ingin sekali kuputar waktu ini, jaman itu dapat kembali lagi atau aku yang pergi ke jaman itu, cerita di mana para leluhurku mati dalam kondisi yang sangat berbeda dengan kami saat ini, yaitu seperti yang sudah aku katakan di awal mereka mati di medan perang denga para kesatria gagah berani yang menghargai tinggi seekor kuda sehingga banyak dari leluhur kami yang dijadikan simbol kebesaran manusia pada jaman dahulu kala. Untuk saat ini, cerita manis tentang aku dan kaumku mungkin hanya bisa dinikmati dari dongeng-dongeng yang seiring jaman mulai pudah, dari film-film tentang sebuah kerajaan pada jaman dahulu yang menggambarkan sebuah kebanggaan yang sangat besar, ketika ada adegan yang adegan keselarasan antar kaumku. Kami dengan mereka sehingga menjadi teman terbaik mereka di film itu, walaupun pada saat ini, itu berbeda sekali dengan apa yang sedang aku ceritakan ini. Aku seekor kuda mencoba menceritakan pelbagai fase kehidupan yang memang apa adanya seperti itu yang aku alami. Setidaknya dengan kisahku ini bisa menyampaikan semua rasa yang dimiliki oleh aku dan kaumku saat ini. Mudah-mudahan bagi mereka tidak ada lagi manusia- manusia yang munafik, pura-pura tuli dan tidak mau membagi kasih yang sebenar-benarnya kasih kepada kami. Tidak hanya memanfaatkan kami yang akhirnya berujung pada sebuah kebengisan saja, yaitu penjegalan. 185 E EP PI IL LO OG G M Me el l a an nc co on ng g k ke e Y Yo og gj j a a, , M Me el l a aw wa at t k ke e D Da al l a am m B Ba ah ha as sa a --- Ahda Imran Menaranya cukup tinggi tapi menggapai sia-sia. Pintunya mulut sepi rapat terkunci derita lumat dikunyahnya. (Rendra, Sajak Gereja Ostankino, Moskwa) SAJAK Rendra di atas merupakan satu dari sejumlah sajaknya yang menjadi jejak perjalanannya ke Moskow, yang di tahun 1970-an itu masih menjadi ibu kota Uni Sovyet (sekarang Rusia). Seperti Strenski Boulevard atau Di Sebuah Restoran, Moskwa, sajak di atas itu menyuguhkan pengalaman seorang penyair (Indonesia) ketika ia berada di kota dan negeri asing. Pengalaman memandang Gereja Ostankino yang ditulis ke dalam bentuk puisi, tidaklahdiniatkan untuk mengalihkan pengalaman indrawi itu menjadi tulisan. Puisi itu sama sekali tak menyuguhkan pada pembaca bayangan visual sebuah gereja. Kecuali menara dan pintu, tak ada deskripsi lebih jauh ihwal bangunan dan keindahan arsitektur gereja Kristen Ortodoks yang dibangun tahun 1692 itu. Malah, puisi itu hanya terdiri dari lima baris. Hanya melukiskan menara dan pintunya, tak lebih dari itu. Namun, meski hanya dengan lima baris, dengan menara dan pintu itu Rendra sesungguhnya tengah melukiskan sebuah situasi yang lebih besar. Ia bahkan tidak sedang menulis puisi tentang Gereja Ostankino tersebut. Bagi mereka yang memiliki referensi ihwal sejarah rezim pemerintahan komunis di Uni Sovyetsebelum negara ini runtuh dan bubar tahun 1990paham benar bagaimana rezim itu memperlakukan agama: agama adalah sesuatu yang terlarangagama adalah sebuah dosa. 186 Dengan memakai menara dan pintu Gereja Ostankino, puisi Rendra telah lebih dari cukup melukiskan pengalamannya melihat nasib agama di sebuah negara komunis seperti Uni Sovyet. Menaranya yang menjulang tapi sia-sia, juga pintunya yang terkunci. Pintu yang dibungkam dan tak bersuara, demi menegaskan terlarangnya agama hadir dan bicara di tengah manusia. Seluruhnya menyuguhkan panorama yang getir ihwal ideologi kuasa negara yang menolak kodrat manusia. Gereja Ostankino, Moskwa, dengan begitu, bukanlah puisi yang ditulis dengan semangat seorang pelancong. Puisi itu bukanlah kiriman kartu pos bergambar Gereja Ostankino atau serupa foto kenangan perjalanan. Tapi jejak pengalaman dan pemikiran seorang penyair ihwal sebuah tempat asing yang dikunjunginya. Puisi ini merupakan contoh menarik dari sebuah karya sastra tentang suatu tempat yang ditulis oleh sastrawan dalam berbagai perjalanan dan perlawatannya. Dalam khazanah kesusastraan, karya sastra yang ditulis sebagai hasil perlawatan seorang sastrawan, tentu bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan sejak masa Yunani kuno karya sastra semacam ini telah muncul. Di situ, karya sastra menjadi semacam warta tentang negeri- negeri jauh, adat kebiasaan masyarakatnya, juga iklimnya. Sastrawan dengan begitu tak hanya menuliskan pengalamannya, melainkan menghadirkan sejumlah data, juga sejarah, dan ilmu pengetahuan. Pula demikian dalam khazanah sastra modern di Indonesia. Puisi-puisi perjalanan bisa dengan mudah kita temukan, sejak generasi Hamzah Fansuri, Sitor Situmorang, Subagyo Sastrowadoyo, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, hingga generasi Acep Zamzam Noor, Agus R.Sarjono, atau Afrizal Malna. Pula begitu dengan Hamka, Idrus, Ramadhan K.H., Umar Khayam, N.H. Dini, Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan sejumlah cerpenis dan novelis lainnya. Dalam karya sastra perlawatan itu, terasa bahwa kota atau tempat asing yang mereka kunjungi bukanlah melulu sebagai setting. Tapi menjadi ruang pengalaman seorang sastrawan ketika ia berinteraksi di kota tersebut. Hadir di situ, mengamati orang-orang di sekelingnya, merasakan degup dan denyut kota dan orang-orangnya, masa lalu dan sejarahnya. 187 Menjadi orang asing di kota yang asing selalu menjadi pengalaman yang menarik. Pengalaman yang membawa keingintahuan kita pada berbagai hal, mulai dari tempat, masakan, pemandangan, bahasa, kebiasaan, hingga orang-orangnya. Mengabadikan pengalaman berada di tempat yang unik dan menarik lewat tulisan, tentu saja berbeda dengan mengabadikannya lewat kamera. Bahasa, bagaimanapun, senantiasa menawarkan berbagai bayangan ihwal pengalaman seseorang yang dihadirkan kembali. Bayangan yang berbeda ketika pengalaman itu divisualisasikan. Bayangan yang memberi leluasa memberi tempat pada pemikiran, permenungan, dan berbagai kesan serta tanggapan. Dan menulis adalah kerja memperlakukan bahasa. Bahasa di situ menjadi utusan yang di dalamnya pengalaman di hadirkan kembali. Begitu pula manakala pengalaman itu dihadirkan kembali melalui karya sastra. Menghadirkan kembali pengalaman di suatu tempat yang asing dalam karya sastra ialah kerja memperlakukan bahasayang berlainan dengan menuliskannya sebagai catatan perjalanan, buku harian, atau dalam beragam tulisan jurnalistik. * ** SEROMBONGAN mahasiswa dari Bandung berangkat ke Yogyakarta. Bukan sekadar untuk melancong, tapi demi memenuhi kewajiban akademis, yakni, Praktik Profesi Lapangan (PPL). Sepulangnya dari situ, mereka diwajibkan menuangkan kunjungan tersebut ke dalam puisi dan cerpen. Sebentuk tugas yang menarik. Menghadapkan mereka pada ihwal hubungan bahasa dan pengalaman manusia. Terlebih lagi mereka bukan mahasiswa Fak. Elektro atau Peternakan. Tapi mahasiswa Fak. Sastra. Melalui puisi dan cerpen, tugas itu ingin agar pengalaman selama PPL itu dihadirkan kembali. Bukan melulu dalam rupa catatan perjalanan, reportase, paper, atau sebagai laporan yang lazimnya ditemui dalam dunia akademik. Melalui puisi dan cerpen, tugas itu meminta mereka kini melakukan perlawatan ke dalam bahasa. Bahasa yang memiliki tabiatnya sendiri. Maka menulislah para mahasiswa itu. Hasilnya berupa puisi dan cerpenyang seluruhnya berkonsentrasi pada pengalaman selama 188 berada di kota yang didirikan oleh Pangeran Mangkubumi itu. Sejak perjalanan dalam bus, ketakjuban menatap Candi Prambanan, suasana Maliboro, udara yang panas, keraton yang eksotis, ketabahan para abdi dalem, tukang bcecak, tuturan cerita selama perjalanan. Seluruhnya itu berbaur dengan berbagai suasana, cara menatap, merangkai cerita dan kisahan. Ringkasnya, lebih dari sekadar menuturkan pelancongan, puisi dan cerpen mereka juga minta disebut sebagai hasil perlawatan ke dalam bahasa. Tabiat bahasa yang berlainan dalam karya sastra, tentu bukanlah pengetahuan yang baru buat mereka. Karena mereka bukan mahasiswa Fak. Teknik Sipil atau Teknik Elektro. Tapi mahasiswa dari fakultas yang berurusan dan mengurusi bahasa. Karya-karya dalam buku ini jadi menarik karena ditulis dari ruang pengalaman geografis yang sama, yakni, sejumlah tempat selama mengikuti PPL. Sehingga mengandaikan adanya sudut yang berbagai- bagai, meski ia berkonsentrasi Subjek Matter yang samaMalioboro, Prambanan, keraton, atau peristiwa dalam bus atau hotel. Kalau Rabindranath Tagore pernah bilang, sastra bukanlah menghadirkan dunia seperti apa adanya tapi bagaimana dunia itu menampak ke dalam diri seorang penulis; maka kumpula ini ingin menampilkan bagaimana sebenarnya Yogjakarta hadir dalam diri setiap penulis yang masing- masing tentu berlainan. Meski begitu, sebagai karya-karya perjalanan, secara keseluruhan kumpulan ini terkesan melakukan pembelahan diri. Selain karya-karya yang secara gamblang merujuk atau yang mentautkan dirinya pada suatu tempat, tak sedikit pula karya yang terkesan hanya meletakan tempat tersebut sebagai latar atau setting. Pada jenis yang pertama, penulis sepenuhnya berkonsentrasi pada momen-momen pertemuannya dengan sebuah tempatKeraton, Candi Prambanan, Malioboro, batik, tukang becak, abdi dalem, atau cerita dalam bus atau hotel. Terutama pada puisi, penulis hanya bertutur ihwal subjek yang ada hadapannyamulai dari gambaran fisikal, suasana, dan orang- orangnya, serta kesan yang diberikan terhadapnya. Sedang pada jenis yang kedua, penulis hanya memperlakukan tempat sebagai latar atau setting. Ia tak menulis puisi atau cerpen ihwal tempat 189 tersebut, tapi menulis dengan beragam tema, mulai dari cinta, ketuhanan, atau kritik sosial. Namun keduanya tetaplah memperlihatkan kualitas penguasaan penulisbaik referensi terhadap data tempat yang ditulisnya, teknik penulisan, atau penguasaan bahasa. Hal ini amat terasa pada impresi dan logika sudut pandang, gagasan kesadaran, perluasan tema, pilihan diksi, musikalitas bahasa, plot, bangun konflik, hingga penokohan. * ** MESKI pada beberapa karya sayup tercium jejak keakrabannya dengan ruang geografis dan bahasanamun umumnya kumpulan ini masih berjarak dengan keduanya. Karena itulah menjadi tak aneh, misalnya, kerap ditemukan suasana pelukisan yang nyaris samaudara yang panas, Yogja kota seni dan budaya, ketakjuban pada susunan batu candi, atau Malioboro yang ramai dan kegembiraan berbelanjadan di sana sini ditemukan pelukisan suasana yang mirip lirik lagu KLA Projek. Terutama pada puisi, nyaris tak ditemukan sudut pandang atau gagasan ihwal suatu tempat dari apa yang telah menjadi umum. Prambanan, keraton, Malioboro, tidak dihadirkan kembali sebagai upaya membuka pengalaman yang lebih luas ihwal sejarah, karakter sosial, dan seterusnya. Pula begitu pada cerpen, yang umumnya banyak menating tema percintaan a lasinetron. Terkesan benar bagaimana para penulis tak berupaya melengkapi pelancongannya ke berbagai tempat itu dengan sejumlah referensi. Padahal sejatinya, menulis puisi atau cerpen, pada prinsipnya bertumpu pada dua hal; referensi biografis dan referensi tekstual. Referensi biografis ialah pengalaman personal seorang penulis, sedang referensi tekstual berupa data ihwal segala sesuatu yang kita tulis demi memperluas gagasan tematiknya. Ketiadaan referensi tekstual inilah yang membuat sejumlah sajak menjadi tak logis, misalnya, ketakjuban memandang keindahan Candi Prambanan dengan rasa syukur pada ciptaan Tuhan. Pada soal yang lain, terjarak dari bahasa membuat sejumlah karya hadir denganbentuk ungkap yang memperlihatkan penguasaan penulis pada tabiat bahasa dalam puisi dan cerpen. Setidaknya, terasa benar 190 adanya tarik menarik antara isi dan bentuk; antara menghadirkan gagasan dan pengalaman serta kemampuan mengolah bahasa. Pada cerpen, jarak terhadap bahasa banyak membuat deskripsi penceritaan jadi kelewat nyinyir, boros, dan kedodoran. Bahkan, tak jarang dijumpai kegagapan penulis dalam menerapkan kaidah-kaidah bahasa tulisan yang paling elementerpemakaian huruf kecil diawal tulisan setelah titik belum lagi pengetahuan menerapkan imbuhan awalan di atau ke. Tentu saja ini soal yang mengganggu sekaligus menjelaskan kelekatan penulis dengan tradisi menulis. Tapi apapun, inilah proses awal yang menarik dalam perlawatan ke dalam bahasa. Lazimnya sebuah proses, niscaya di situ berlangsung semacam pencarian. Dan sejumlah karya tampaknya memberi gelagat bahwa pencarian itu tidak akan sia-sia. Setidaknya gelagat itu bisa dijumpai pada sejumlah karya yang menyiasati jaraknya dengan bahasa lewat kebersahajaan. Terutama pada puisi, kebersahajaan bahasa semacam ini umumnya terasa pada karya-karya yang tidak mentautkan dirinya pada satu tempat, atau yang hanya memosisikan tempat itu semata sebagai latar. Kebersahajaan juga terasa pada gagasan atau cara pandangnya, yang tidak dibebani oleh ide-ide besar yang malah sering terjebak jadi klise. Kebersahajaan merupakan langkah awal yang penting untuk melawat ke dalam bahasa. Memperlakukan bahasa dalam komunikasi yang tidak digagah-gagahkan atau dibuat agar terkesan puitisatau menghadirkan kembali pengalaman dengan tema-tema besar yang malah jadi klise. Ia meluncur begitu saja tanpa beban apapun. Contoh kebersahajaan ini, misalnya, terasa pada sajak Borubudur (Heri Nurjaya); Kopi Joss (Ari Suharto). Melancong ke Yogjakarta dan menghadirkan kembali pelancongan itu ke dalam puisi dan cerpen, akhirnya, adalah melawat ke dalam bahasa. Bagaimana hasil dan mutu dari perlawatan itu tampaknya bukanlah sesuatu yang penting benar. Sepanjang ia dimaknai sebagai proses mempraktikan tabiat bahasa dalam puisi dan cerpen. Bukan semata- mata demi tugas akademis, sebagaimana Acep Zamzam Noor penyair Tasikmalaya menulis puisi di bawah ini: 191 DI MALIOBORO Di antara kereta yang beranjak ke timur Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda Kita berjalan ke luar meninggalkan deretan bangku itu Dan segera nampak aspal yang mengkilat, trotoar yang bersih Juga bentangan rel yang ujungnya menghilang ditelan gelap Kausedikit sempoyongan menghirup candu kata-kataku Sedang wajahku membiru oleh kalimat-kalimat tanggung Dari cerita pendek yang tak kunjung kauselesaikan Di sebuah warung segalanya menjadi lebih terbuka Seperti majalah lama. Aku mengingat kembali namamu Mencatat alamatmu, menghitung tahi lalatmu dan membaca Isyaratmu. Gambar kupu-kupu hijau di atas payudaramu Membuatku paham bahwa kau memang keturunan peri Bahwa parasmu cantik sekali. Mungkin pelipismu tak serata Jembatan yang menyatukan patahan garis di lengkung alis mata Namun rambutmu yang segimbal musim hujan, serimbun ucapan Telah membuat napasku menjadi begitu tidak keruan Kau menciumku seperti gempa bumi yang pelan dan sopan Lalu aku membalas ciumanmu layaknya tanah kerontang Yang diberkati hujan. Rasa tembaga kucecap dari bibirmu Seperti asin darah yang bercampur dengan buih-buih ludah Aku menelan semuanya bagaikan menelan setiap peristiwa Dalam kehidupan. Tapi di sebuah warung yang terbuka Di majalah lama yang mulai sobek halaman-halamannya Ceritamu menjadi terlampau pendek untuk sebuah kisah cinta Yang panjang. Untuk sebuah kota yang selalu digenangi kesedihan Cilame, September 2012. Ahda Imran, penyair dan esais * * *