You are on page 1of 191

JEJAK-JEJAK

Antologi Cerpen dan Puisi


Mahasiswa BSI 2009
Epilog:
Ahda Imran
2012
Bahasa dan Sastra Inggris
UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Kerjasama:
JEJAK-JEJAK
Antologi Cerpen dan Puisi Mahasiswa BSI 2009
Hak Cipta 2012, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati
Hak cipta dilindungi undang-undang.
All right reserved.
Kurator:
Ahda Imran.
Desain Sampul:
Tim Penerbit SIRARU
Layout:
Tim Penerbit SIRARU
ISBN: 978-602-18345-2-7
Diterbitkan atas kerja sama antara
Penerbit SIRARU,
Jln. A.H. Nasution, No. 33 RT. 03 RW. 05 Desa Cipadung Kecamatan Cibiru
Kota Bandung 40614 Telp. 081220131313 - surel: penerbit.siraru@email.com
dengan Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati
Bandung,dan ELSA.
3
D DA AF FT TA AR R I IS SI I
DAFTARISI 3
DEDI SULAEMAN,M.HUM
PROLOG 11
PUISI
JUWITA RACHMAWATI HERMAWAN PUTRI
SAWAH 15
ANA ROSDIANA
SANG DEWI 16
RAPTI INDRAYANI
KOTA TUA 17
ARIF IMAM GHOZALI
PEMUJA DEWA 18
PATUNG BERTELANJANG BADAN 19
NADIA FITRI SUMIRAT
MALIOBORO 20
ELAN ALBIRUDIN
KISAH RAMAYANA 21
NITA NURAENI
BINTANG DAN KERINDUAN 22
NINA SURYANI
CUMULUS SENDU 24
BAYU MOCHAMAD
YANG BODOH DIBODOHI 25
MOCH LUTHFI HAKIEM
LEMBAYUNG PERAK 26
AI RIN RIN ANDRIANI
PANAS 27
RENI KARTIKA
KISAH SEEKOR ANJING 28
4
AI SRI NURYANI
ISTANA AIR TAMAN SARI 29
HERNAWATI
MILIK KITA 30
HANDRI PRASETIA
PASAR JALANAN 31
UMAR FARUK
0KM 32
DESY AMDIASARI
WATER CASTLE 33
PEMUDA 09 34
RESA RAHMADANI
BOROBUDUR 35
EKA ARI ASTUTI
KENANGAN CANDI ITU 36
ICHWAN DANURI PRATAMA
SENJA LANGIT PRAMBANAN 37
RIANA YUSUF
BUS MELAJU TAK MAU TAHU 38
AZKUR CHIMAWAN
HIDUP ADALAH BATU 39
MELLYRACHMAWATI
MAWAR 40
ARRY PURNAMA
KEN 41
AKAR TUA 42
DINI NURDINIYATI
BARONG YANG TERLEWATKAN 43
DI MANA INDONESIA? 44
SUSANDI
BATIK JUVENTUS 45
NAGA JADI KUYA 46
SITI NUROHMAH
SANG TUGU 47
RAMA SHINTA 48
5
TYAS SAMESTI
KMSB 49
YENI ELMI
JUBIR CANDI 50
NIKIE MEINIKA
BOROBUDUR 51
EUIS FATIMAH
PATUNG BATU DI SAMPINGKU 52
KOKOM RATNASARI
MALIOBORO CINTAKU 53
SITI AISAH
PESONA PRAMBANAN 54
SUARA MALIOBORO MALAM 55
KESETIAAN KECIL 56
DINI PITRIANI
YOGYAKARTA 57
DADANG ISKANDAR
BOROBUDUR 58
YOGYAKARTA 59
ASEP TAOPIK HUSNA
TERATAI UNGU TAK BERBAJU 60
BUNGA-BUNGA DI SUBUH TERANG 61
ALI MUKSIN
PANAS KOTA 62
PIPIT FITRIA
JEJAK-JEJAK 63
SAJAK PERJALANAN 64
JAYA PRASETIA
HAMPA 65
AJEM YUSTIKA
KAU INDAH 66
SITI AISYAH
...LELAH... 67
DEWI R.AHDAWIAH
MAHA KUASA 68
6
ASEP RIDWAN
SONGSONGAN FAJAR 69
SITI KHOIRI INAYAH
MAHAKARYA 70
RIZAL DARMAWAN
JAM DUA BELAS 71
DIAN NURENDAH
PADANG RAJA-RAJA 72
LIA MARLIAWATI
TAMAN SARI 73
YUSANTHIYA WINDHIANITA
MALAM DI MALIOBORO 74
MESJID BAWAH TANAH DI YOGYAKARTA 75
HERI NURJAYA
MALAM DI PRAMBANAN 76
BOROBUDUR 77
CANTING COKLAT 78
ARI SUHARTO
KOPI JOSS 79
RIZKI FAUZI
KERTAS KOSONG YOGYAKARTA 80
MALAM DI MALIOBORO 81
PIPIT NURUL FITRIAH
DALAM BIS 82
INTAN WULAN KUSTIANI
BOROBUDUR 83
SANTI RAMDHANI
TAHTA UNTUK RAKYAT 84
MEREKA YANG MENGABDI 85
DERRY RIZKIANA
MALAM DI MALIOBORO 86
LISDA PALUPI UTAMI
DI UJUNG HARI KALA PRAMBANAN MEMBAYANG 87
MAISAROH
LONG DISTANCE (JOGJA,...ANTARA BANDUNG DAN SURABAYA) 88
7
SISKA HARDIANA SAFITRI
--- 89
SADAM HUSEN
PACAR SEHARI 90
YUDA RAHMAT HIDAYAT
KENANGAN 91
NONOH MARDIYANAH
LAYAKNYA BATIK 92
SHOBAHUL FUTUH
HABIS API TERBITLAH MATAHARI 94
YASHINTA PRADINA SAPUTRA
JALANAN JOGJA 95
IDAS DASIMAH
GELAPNYA BERNYAWA 96
DIAN PURNAMA
SAWANG 97
MEDUSA 98
JASMARYADI
TAKAPA KAU PANGGIL AKU HANOMAN 99
KATA DI ANTARA PRAMBANAN DAN BOROBUDUR 100
ASEP KOSWARA
KICAUAN BURUNG PAGI 101
FOURUS HUZNATUL A
CINTA ABADI 102
EKA AYU WAHYUNI
RUSAK 103
INGIN 104
RENREN SITI NURHASANAH
DI JENDELA BIS 105
SITI HALWA MARDIAH
HENING BOROBUDUR 106
WAWI JUMANTARI
PENGAMEN BUS KOTA 107
ITA MUSTAPA
SUDUT MALAM MALIOBORO 108
8
ARIEF LUQMAN
MELODI PAYAU 109
INSAN PURNAMA
PRAMBANAN BUKAN CERITA 110
BIRU DI SENDRATARI RAMAYANA 111
YUDHA APRIANSYAH
TAKDIR 112
BOROBUDUR 113
SOFIA
SUASANA MALAM 114
IKA NURHOSNA F
MALIOBORO 115
ERISKA FITRIANI
SENDU 116
AHMAD FUAD HANIF
KICAUAN BURUNG GEREJA 117
DEVI LUTFIANI S
BECAK 118
ELIS NURSITA
CANDI PRAMBANAN 119
IMMA JANATY
HUJAN DI PRAMBANAN 120
ARI MARGONO
AKU 121
AI YENI
WAYAI TANAH AIRKU 122
WIDIYARTI NUR BEKTI
ISTIMEWA BOROBUDUR 123
SITI PATIMAH
CERITA LUKA JOGJA 124
AL IKHLAS ARDIANSYAH
JALAN 125
AZZIS FAMEIA
SULTAN 126
9
DANIEL ANDREW
NUSANTARA 127
DIAN NUGRAHA RAMDANI
JAMPARING;TI RAHWANA KEUR SINTA 128
DIBA PRAJAMITHA A.
SELAMAT ULANG TAHUN! 129
DWI AGUSTIAN
MERAJUT ESOK 130
KIKI AMELIA
KRATON 131
MAYMA AMALIA DEWI
PANAS 132
MUHAMMAD SIDIK
REMANG MALAM MALIOBORO 133
NENENG
CERITA DARI ZEBRA-CROSS 134
NURUL FAUZIYYAH
SETUMPUK BATU 135
SILVINA NUGRAHAWATI
DI BAWAH SAYIDAN 136
YUSANTI
JALAN TAK BERUJUNG 137
IMAN IMANULHAKIM
MALIOBORO 138
MARIAH NURAENI
SANG DEWI SHINTA 139
NURLIANA RACHMAWATI
RINDU,ELEGI DAN KAU 140
DINAR SAEFULLOH AKBAR
DI DALAM SOBEKAN WAKTU 141
DINI TRI HANDAYANI
BATU KESAKITAN 142
FADHILAH JUWITA LESTARI
PENCARIAN SEJATI 143
10
FAISAL AMIR MALIK I.
BAYANG KESEDIHAN 144
ISYE MUSTIKA
WAHAI PENAKU... 145
MOH.FAUZAN RAHMAN
SETENGAH JIWA MENGHAMBAKAN APA 146
NURUL AINALKHOMSAH
SEPERTI KISAH RAMA SHINTA 147
ARIEF MAULANA
GELANGGANG CITRA DI MALAM JOGJAKARTA 148
INEU SRI WAHYUNI
ABDI DALEM 149
CERPEN
INEU SRI WAYHUNI
UANG 5000 153
DANI KRISDIANA
SAPU TANGAN MERAH MUDA DI BIS YOGYA 159
LULU MAR ATUN SHALIHAH
PENANTIAN 164
NASRUL AFIDIN
DALAM MIMPI:MENJADI RAJA 170
ESSAY
JAYA
KUDA:APA BEDANYA AKU? 179
EPILOG
AHDA IMRAN
MELANCONG KE YOGYA,MELAWAT KE DALAM BAHASA 185
11
P PR RO OL LO OG G
Dedi Sulaeman, M.Hum.
Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim.
Segala bentuk puja-puji adalah milik Dia, sang Raja manusia. Dia-lah
sang Maha Pengasih-Penyayang yang senantiasa memberikan segala
nikmat yang tak terhingga. Dia-lah yang menciptakan kita dari
ketiadaan, menjadi ada, dan menjadi tiada lagi. Dia-lah yang memiliki
cerita hidup manusia, dan kita sedang menulis cerita hidup kita di
atasnya.
Alhamdulillah, setelah hasil baca-periksa serta proses editing yang
lumayan lama, akhirnya buku kumpulan karya mahasiswa Bahasa dan
Sastra Inggris angkatan 2008 ini selesai jua.
Antologi ini merupakan buah karya mahasiswa dari Praktek Profesi
Lapangan (PPL) berupa travel-writing. Adapun tema yang diusung
untuk tahun ini adalah: Waldenizing Jogjakarta. Kata Walden diambil
dari karya Henry David Thoreaudengan tentunyamengacu pada
konsep beliau terkait sebuah perjalanan yang inspiratif dan bias
menghasilkan masterpiece. Jogjakarta merupakan tujuan perjalanan
untuk menghasilkan karya bagi mahasiswa yang akan menuang
gagasannya. Dengan demikian, karya-karya mahasiswa ini merupakan
buah karya dari sebuah perjalanan menuju dan dari Jogjakarta dengan
objek inspirasi Jogjakarta dan sebudarannya.
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan banyak terima kasih
kepada panitia Waldening Jogjakarta, BSI 2012, kepada dewan redaksi,
editor serta kepada semua pihak yang telah memberikan segala
bantuan dan dukungannya atas lancarnya dan terbitnya karya ini.
Akhirul kalam, semoga PPL tahun ini lebih baik dari tahun-tahun
sebelumnya, dan semoga PPL tahun depan lebih baik dari tahun ini.
Semoga karya ini bias menjadi bekal dan bahan nostalgia karya
berserta konteksnyabagi para pembaca dan penikmat karya. Kami
dari pihak Jurusan BSI mohon maaf apabila ada ketidaknyamanan
12
selama pra-kegiatan, pelaksanaan kegiatandan paska-kegiatan. Semoga
segala aktivitas kita bias menjadi amal shaleh. Amin.
AlhamdulillahiRabbil Alamiin.
Bandung, Juli 2012
KetuaJurusan BSI,
DediSulaeman, M. Hum.
NIP. 197912292008011011
P P U U I I S S I I
15
S SA AW WA AH H
Juwita Rachmawati Hermawan Putri
Semburan angin membuatnya bergerak
Menjadikannya seolah tak kuasa untuk menahan
Lambaian angin itu semakin membuat riuk padi bersenggama
Satusama lainnya bersentuhan
Namun tetap tanpa langkah, tanpa nada
Hanya terlihat indah karena geraknya berirama
Ingin rasanya menari bersama padi-padi
Merasakan hangatnya surya
Hingga membuatnya kian menguning
Kini pandang tak lagi berbatas
Ciamis, 14 Mei 2012
16
S SA AN NG G D DE EW WI I
Ana Rosdiana
Kau
Kecantikanmu menyerupai rembulan
Senyumanmu menyerupai kehangatan matahari
Anginpun tak kuasa melambai-lambaikan tangannya hanya untuk
sekedar mencari perhatianmu
Matahari terus memanaskan bumi siang hari hanya untuk menyinari
kecantikanmu
Hingga membuat batu-batu bersatu padu membuat benteng istanamu
demi melindungi tubuh gemulaimu agar tak terjamah oleh tangan-
tangan yang bermain
Namun, keangkuhan dan kesombonganmu membuatmu terpuruk dan
abadi dengan lumuran-lumuran tanah keras
17
K KO OT TA A T TU UA A
Rapti Indrayani
Angin malam terasa menyapu
Bahkan panasnya yang terasa semakin menusuk
dan merasuk pori-pori kulitku
Menembus hingga jajaran tulang-tulangku
dan bahkan menetralisir darah merahku
di sini aku menghabiskan waktuku
di kota yang sarat makna dan budaya
indahmu tak sebanding cuacamu
perjalananku menembus berabad-abad yang lalu
saksi bisu tentang kerajaan-kerajaan kuno
tentang bangunan-bangunan tua
yang masih sedikit menempel pada anak cucunya di masa kini
dan tentang budaya jawa dengan disuguhi ornamen-ornamen lama
ingin sekali rasanya aku menembus lorong waktu
untuk sesekali menyaksikannya
18
P PE EM MU UJ J A A D DE EW WA A
Arif Imam Ghozali
Tangan-tangan sudra
Mengukir aksara sejarah suci di atas batu
Lukisan beberapa peradaban agung
Dari sang wangsa
Tangan-tangan telanjang
Ruas-ruas kaki yang berkerut
Menata batu peranakan bumi dan langit
Dan terciptalah rumah maha untuk sang trimurti
Keyakinan menembus ruang hampa
Dari satu bubuk batu yang tak berguna
Menjadi pusat kesejarahan dunia
Aksara dan symbol suci di tiap batu sisi
Terpahat bersama relief bercandu nafsu
Singa yang bermahkotakan vagina
Dengan penis yang mengacung
Pemuja dewa kesuburan
Pemuja dewa tarian
19
P PA AT TU UN NG G B BE ER RT TE EL LA AN NJ J A AN NG G B BA AD DA AN N
Arif Imam Ghozali
Satu tangan terlipat
Kaki batu yang bersila
Menjaga kesucian stupa
Yang tumbuh di atasnya
Dari peradaban wangsa
Mahakarya tercipta persembahan dua dunia
Para pemuja Darta
Bertepuk kea rah syailendra
Teratai bermandikan air langit
Terapung di atas dewat-dewat keyakinan
Tumbuh di antara lembah-lembah kenistaan
Dawai terurai dari para pemuja
20
M MA AL LI IO OB BO OR RO O
Nadia Fitri Sumirat
Goresan kuno yang indah
angka yang tak terlihat
mata yang terbelalak dalam kehiruk-pikukan
berbincang-bincang
orang berlalu-lalang,
mondar-mandir,
di jalan yang panjang
dan, jalan yang tergores kuno itu
namanya Malioboro
21
K KI IS SA AH H R RA AM MA AY YA AN NA A
Elan Albirudin
Kami di sini berkumpul saat gelap
Membawa mata jiwa yang kehausan
Kami menunggu suapan
Menembus jauhnya sejarah budaya
Kami duduk pada kursi kembar sejuta
Dengan mata terbuka berpendengar di udara
Datanglah kau sang pembuka suasana
Kami terbius terdiam sejak awalmu
Meski indra tak mengerti tiap jiwa menikmati
Oh,
Ternyata hujan menyerang
Kau pulang, kamupun pulang
22
B BI IN NT TA AN NG G D DA AN N K KE ER RI IN ND DU UA AN N
Nita Nuraeni
langit malam itu masih saja sendu.
bintang-bintang bersinar bertaburan, tetap saja terasa kalbu.
cahaya bulanpun tak mampu menyamarkan suasana yang teramat
sangat pilu.
Dia masih duduk di sana,
di loteng tak beratap. Agar dia lebih leluasa memandang langit sendu.
Dia menatap langit, memandang bulan.
Sesekali dia mencoba berbicara pada bintang.
Dengan bahasa yang tak mampu dimengerti oleh bulan dan langit.
Dia berbicara pada bintang.
Dengan bahasa kerinduan.
Sesekali ia menyapu airmata yang meleleh di pipinya.
Dibacanya kembali surat itu,
Dia mencoba mencerna setiap goresan tinta yang terukir di atas kertas
putih itu.
Semakin dia mengerti, semakin dia tak kuasa menahan air matanya.
Air mata itu bukanlah air mata bahagia,
namun bukan pula air mata duka.
Air mata itu air mata rindu.
Rindu yang tak bisa terbendung lagi,
Rindu yang tak bisa diungkapkan oleh beribu kata indah,
Rindu yang tak bisa dilukiskan oleh lagu merdu.
Surat itu masih digenggamnya,
namun tak kembali ia baca.
Kini dia sedang mencoba mengendalikan perasaannya,
menata kerinduannya.
23
kepalanya kembali menengadah,
menatap langit dan berbicara kembali dengan bintang.
masih dengan bahasa kerinduan.
Rindu yang takkan pernah ada habisnya,
Rindu yang takkan pernah berujung.
Kini dia mencoba untuk tersenyum,
bukan karena terpaksa,
tetapi karena Rindu.
24
C CU UM MU UL LU US S S SE EN ND DU U
Nina Suryani
Sekawanan Cumulus sendu
Menangis di pelipis jogja
Tangisannya mengembun di balik jendela kaca
Kutempelkan jemariku di baliknya
Merasakan luruhan tangisnya
Sekawanan Cumulus sendu
Lekukan tanah terisi genangan air, keruh
Menganggu sekelompok Lumbicus Terrestris
yang sedang sibuk berselimut tanah
Sekawanan Cumulus sendu
Memberikan guratan kebahagiaan di wajah mereka
Yang berdiri di atas hamparan tanah retak, kering
Sekawanan Cumulus sendu
Memberikan kekesalan pada mereka yang berjalan di sepanjang trotoar
Meneduh di ketiak warung-warung kecil, mengeluh
Sekawanan Cumulus sendu
Bagiku bagaikan arti yang mempunyai makna
25
Y YA AN NG G B BO OD DO OH H D DI IB BO OD DO OH HI I
Bayu Mochamad
Aku tak tahu itu
Yang aku tahu itu hanya Batu
Aku tak tahu itu antik
Yang ku tahu itu hanya batik
Aku tak tahu itu Khas
Yang aku tahu itu sama dengan beras
Semua Yang kalian tahu
Sedikit yang aku tak tahu
26
L LE EM MB BA AY YU UN NG G P PE ER RA AK K
Moch Luthfi Hakiem
Kilauan batu tangan tuhan
Mengukir tubuh para perawan
Membasuh kulit dengan lembayung perak
Sebuah tempahan para pencipta
Ini bukanlah sebuah prosa
Bukan juga sebuah sastra para pujangga
Tak termasuk tulisan tinta pena
Tapi ini tempahan tangan jiwa
Kau asalkan ini tanah mulia
Warisan Tuhan atas kita manusia
Sebagai umat yang berkarya
Di tanah indah Yogyakarta
Inilah tempahan lembayung perak
Persembahan indah pemenuh hasrat
Pengunci hati sejuta misteri
Lembayung perak penikmat hasrat
27
P PA AN NA AS S
Ai Rin Rin Andriani
Terbakar sudah tubuh ini
Kobaran api seperti dekat dan melekat pada tubuh ini
Serangan air muncul dari pori-pori kulit
Basah dan membasahi tubuh
Akan kuatkah kaki yang melangkah
Agak tegakkan tulang yang menopang
Gema suara itu semakin terdengar
Mulut-mulut itu bergerak serempak
Panas
28
K KI IS SA AH H S SE EE EK KO OR R A AN NJ J I IN NG G
Reni Kartika
Jika liurku begitu najis,
Untuk apa aku memiliki liur?
Sesosok tubuh terguncang kaget
Ada seekor kucing hitam lewat dari balik tirai jendela
Anjing, ada kucing lewat!
Ah, kulihat seekor anjing tersenyum dengan sangat
sederhana
Menikmati perannya, sebagai si air liur bernajis.
29
I IS ST TA AN NA A A AI IR R T TA AM MA AN N S SA AR RI I
Ai Sri Nuryani
Tempat pemandian sang ratu, ah itu dulu
istana air sekarang hanyalah reruntuhan
dan mungkin tiap rumah adalah bulir-bulir penyangga sang raja
Bisakah melihatnya lagi
taman sari terdahulu
tak rela melihatnya menjadi karat
tapi tak dapat dipungkiri
runtuhmu sisakan banyak legenda
30
M MI IL LI IK K K KI IT TA A
Hernawati
Teriknya matahari di siang hari
Tak menyusutkan aku untuk melihat sebuah karya
Mereka terus berjalan untuk menyusuri sebuah karya berupa
bangunan
Bangunan yang menyadarkan kita
Darimana kita berasal
Dahaga, keringat bukanlah suatu halangan
Untukku tetap mencari tahu
Dan itu semua membuatku yakin
Bahwa kita memiliki sesuatu
Yang orang lain tak ada dapat memilikinya
31
P PA AS SA AR R J J A AL LA AN NA AN N
Handri Prasetia
Langit hitam pekat
Jalanan gelap namun terlihat indah
Gemerlap bintang tak tampak di langit
Namun kau tetap terlihat indah
Di sepanjang jalan yang ku lalui
Terlihat makhluk-makhluk yang menikmati sebatang tembakau
Menciptakan awan di sana dan di sini
Membuat indahmu hanya dapat dilihat dalam kalbu
32
0 0 K KM M
Umar Faruk
Hamparan pasir terbentang di alam raya
Terpahat dan terpatri menjadi bangunan kokoh
Terapit di antara Vredeburg dan Istana Raja
Saat sore tiba kumpulan sepeda ontel
Menyapa dan menyinggahimu
Dengan suara klasik era 70an
Lalu burung-burung bernyanyi dengan riangnya
Di antara hiruk pikuk kebisingan kota
Lampu-lampu jalanan bersinar terang
Menghidupi relung-relung kota budaya
2 jam berselang aku terduduk menikmati pesonamu
Ditemani gumpalan asap yang menyepul dari mulutku
Betapa tersihirnya mataku
Melihat orang-orang 0 km beriringan bernyanyi
33
W WA AT TE ER R C CA AS ST TL LE E
Desy Amdiasari
Dulu..
Wilayah ini penuh dengan pasukan kodok
Air melingkari istana bagai perisai di kota kecil
Dikisahkan di dalamnya banyak tawanan
Wanita-wanita dijadikan selir
Sindrom tawanan saat sultan melontar bunga dari atap istana
Yang lainnya berbeda,
Sindrom ratu lebah namanya
Tetap senang-senang hidupnya
34
P PE EM MU UD DA A 0 09 9
Desy Amdiasari
Pemuda 09,
Bergerak lebih cepat
Mengarah pada garis ketepatan
Waldenizing,
Awannya berliuk bergelombang
Saat ini mual itu masih terasa mengombang-ambing
Langit Borobudur indah dipandang dari bawah sini
Keterpaduan warna putih danbiru adalah kuasa Tuhan
Jika damai itu bias terlukis di mana-mana, aku pilih aku pilih
Aku mau di sini di sini, di hatiku
Pemuda 09,
Mari berjalan seiring jarum jam
Bersama jangan sampai melawan arah jarum jam
35
B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Resa Rahmadani
Semilir angin menghembus mengalun
Tak lekang oleh zaman
Mengabarkan kemegahan para kesatria
Menjulang menembus cakrawala
Dia bukti keagungan. Dan,
Dia bukti kemegahan masa silam.
36
K KE EN NA AN NG GA AN N C CA AN ND DI I I IT TU U
Eka Ari Astuti
Bongkahan batu sejarah
Tersusun rapi nan megah
Menjulang tinggi bak cendawan di musim hujan
Berdiri kokoh nan rupawan
Relief-relief terpahat indah
Bercerita berbagai kisah
Dinasti Sanjaya menjadi saksi
Kemegahan bangunan seksi
Pit ontel, vespa hingga kendaraan besi
Turut merubah cerita narasi
Namun bongkahan batu itu kian legit
Berdiri tegap mencakar langit
Pori-pori seringkali harus berpura-pura ceria
Di tengah degap degup harapan di dada
Mari kita sulam serat-serat harapan
Tuk dikenang para wisatawan
37
S SE EN NJ J A A L LA AN NG GI IT T P PR RA AM MB BA AN NA AN N
Ichwan Danuri Pratama
Masih terdengar suara hujan
Wewangian khas membuatku merindukan saat itu
Di mana saat kamu memelukku di tengah hujan yang deras
Mustahil bila kau tak ingin dating lagi menemuiku
Nampaknya hujan tiada henti, semakin lama semakin deras
Air mataku sudah kubiarkan jatuh sebelum rintik itu terjatuh
Aku di sini kedinginan, apakah kau ingin memelukku lagi seperti dulu?
Tentu tidak!!
Kau takkan kembali lagi ke masa lalu yang dulu bersamaku
Kau akan pergi menembus awan dan terbang bersama luluhnya
hasratku
Tak kusangka harapku sirna di tengah kota kecil dengan hujan yang
deras ini
38
B BU US S M ME EL LA AJ J U U T TA AK K M MA AU U T TA AH HU U
Riana Yusuf
Bus baru saja melaju
Dan mereka mulai saling mengobrol
Bus masih melaju
Dan mereka masih bercanda di antara satu dan yang lainya
Bus tetap melaju
Dan aku pun masih terdiam
Bus terus melaju seakan tak mau tahu
Dan aku mulai merasa
Bus ya, dia masih seperti itu melaju
Dan aku semakin yakinakan apa yang ku rasa
Bus yang melaju
Dan kalian yang bergembira seiring tertinggalnya Bandung
Bus yang melaju
Dan tawa kalian yang tak tahu akan derita ku
Pada siapa aku mengadu
Pada bus yag melaju kah?
Atau pada pak sopirkah?
Ditengah kegalauan itu tiba-tiba
Sang panitia berdiri dan berucap,
Bagi yang ingin buang air siap-siap sebentar lagi kita akan berhenti di
SPBU terdekat
Dan kalimat itulah yang sedikit membuatku tenang
Sedikit lebih lega dan terjawab sudah tanya
Kapan bus kan berhenti melaju ?
Namun bus masih tetap melaju tak mau tahu
39
H HI ID DU UP P A AD DA AL LA AH H B BA AT TU U
Azkur Chimawan
Hidup bagaikan batu
Keras dan kaku
Kau tidak bias melawannya dengan kekerasan
Hanya air yang dapat melumpuhkannya
40
M MA AW WA AR R
Meli Rachmawati
Jogja Jogja
Sihir apa yang kau pakai
Hingga sang mawar dapat takluk pada kumbang?
Hingga mereka tidak dapat menutupi warna indahnya
Jogja Jogja
Sihir apa yang kau pakai
Hingga para kumbang ini berebutan ingin mendapatkan mawar indah
itu
Jogja Jogja
41
K KE EN N
Arry Purnama
Meminta, mengiba; mencoba bertegursapa.
Menjaja,
Mencari dunia.
42
A AK KA AR R T TU UA A
Arry Purnama
Berjalan dengan kulit merenta
Sambil menatap kerasnya tempurung dunia.
Berserakan,
Sambil menelanjangi tubuh renta kota tua.
Di antara puing-puing reruntuhan,
Di sela-sela lapuknya bebatuan,
Di sudut-sudut kusam jalanan,
Di berbagai tempat yang kini tak lagi jadi lamunan,
Akar tua berirama:
Terus menerus mengumbar lamunan
Agar pendahulunya tak terlupakan.
Dan guratan sejarah lagi-lagi menjadi kunci
Agar kisahnya tak lagi jadi basi.
Sedangkan,
Pucuk muda sudah lupa:
Hanya berdiri tanpa suara
Tanpa gerak liar bak sang akar tua.
Hanya bisu, tanpa mau tau
Rapunya kota yang dihinggapi berbagai benalu.
43
B BA AR RO ON NG G Y YA AN NG G T TE ER RL LE EW WA AT TK KA AN N
Dini Nurdiniyati
Kutawarkan yang terendah
Barongpun mulai merendah
Kutawarkan lebih rendah
Semakin barong merendah
Kurogoh tas yang selalu kuapit
Ingatku melayang dengan dompet yang semakin tipis
Tak sepeserpun kudapatkan di dalamnya
Dengan pelan, kutinggalkan barong yang sudah kupegang
Lambayan tangan dan teriakan teman semakin jelas terdengar
Mengingatkanku lekas beranjak
Barongku tersayang
Barongku yang malang
Barongku yang terlewatkan
44
D DI I M MA AN NA A I IN ND DO ON NE ES SI IA A? ?
Dini Nurdiniyati
Di manakah Indonesia?
Di saat semua berteriak Holland
Di manakah Indonesia?
Di saat semua berseru Italy
Di manakah Indonesia?
Di saat semua berkata Jepang
Di mana?
Di mana?
Di mana Indonesia?
Tak terlihat tanda kehadirannya
Tak terdengar walau hanya dengan bisikan
Di sini
Kota tua pun tak mampu menjawabnya
45
B BA AT TI IK K J J U UV VE EN NT TU US S
Susandi
Keris adalah keris
Dan parang untuk menyabit
Baju adalah baju
Layaknya belang pada harimau
Kini, kata adalah berubahik
Menjadi bagian dari ekonomi kapitalis
Namun pun menguntungkan
Cangkul kini bekerja di museum
Batik sekarang di jalanan
Katanya, gagasan adalah gagasan
Dan emang itulah kenyataannya,
Menjadi bagian ekonomi kapitalis
Namun pun menguntungkan
Bagaimana bisa sorabi kini dipenuhi coklat
Pun halnya batik pekalongan dipenuhi gambar Juventus
Berubahkan kini gagasan itu
Adalah dulunya warisan budaya
Dan dipakai hanya oleh golongan tua
Tapi hei jangan heran kawan
Pabila kamu nampak ada balita
Ngesot dengan batik Juventus
Memang, menjadi bagian dari ekonomi kapitalis
Namun pun menguntungkan
46
N NA AG GA A J J A AD DI I K KU UY YA A
Susandi
Entah siapa yang pantas bilang
Entah siapa yang pantas berkuasa
Tapi, adalah bagian yang berkuasa kiranya
Tidakkah yang berkuasa itu heran
Bahwasannya kuasanya itu telah berubah
Menjadi kekuasaan yang lain
Bukanlah heran kalau ada ribuan korban jatuh di satu lapangan
Karena itu lambang kekuasaannya
Ini jamansudah modern
Kekuasaan itu ada pada salah satu kaki kecilnya di seberang Parang
Tritis dan Gunung Merapi
Seperti kata pemandu waktu itu, ini adalah puser
Tempat filosofi hidup, di mana pusat dunia berada
Entah siapa yang telah sadar
Bahwa sebagus apapun itu filosofi,
Dia adalah pemandu
Dan hanya menawarkan jasa
Kataku sudah bilang
Ini jaman sudah modern
Di mana keanehan itu adalah apabila ada ribuan korban jatuh di satu
lapangan
Karena, orang-orang datang ke sini, untuk hanya sekedar lihat-lihat
Lalu menuliskan informasi yang didapatnya dalam sehelai kertas
Itu sudah biasa
Ke manakah kekuasaanmun keraton
Tak sadarkah, entah siapa yang tlah tersadar
Bahwa sebagus apapun filosofimu (yang dikatakan orang)
Kini kamu hanya warisan budaya
Yang bernaung di bawah departemen pariwisata
Tahukah kamu arti pariwisata?
Itu adalah tempat orang-orang melampiaskan penatnya.
47
S SA AN NG G T TU UG GU U
Siti Nurohmah
A
k
u
tu
gu
tanda
zaman
lampau
memukau
mengiringi
memori demi memori
masa perlawanan
dan pengorbanan
demi kesatupaduan
jua tak terkalahkan
tanah, darah, tanah
sudah mereka tumpah ruah
bukan karna mereka pamrih
dengan menerus menahan perih
semangat Sang Mangkubumi
kobarkan asa untuk tanah ini
jadi hanya milik sang pribumi
48
R RA AM MA A S SH HI IN NT TA A
Siti Nurohmah
Desau sang angin hentikan detak di dinding
Dengan tiupan suara dawai-dawai bening
Ukir rasa juga asa mengawang tak berbentuk
Umpama awan di awang-awang haus terbentuk
Hapuslah gurat duka luka tak pernah terbuka
Hadirkan kerinduan akan bahagia tawa suka
Lantunan rasa insani sehati sejiwa berdua
Layaknya Rama dan Shinta kembali bersua
Tunjukanlah arah pada pengisi celah ruang hampa
Tunjukan langkahnya mengikuti alunan harpa
Sampai ia berada di tempat semestinya
Sampai siang dapat bertemu malam di langit-Nya
49
K KM MS SB B
Tyas Samesti
Kemarin sore...
Masih terasa bau lembab kosan
Kemarin sore...
Masih berbaring di atas kasur lipat
Kemarin sore...
Masih menunggu cempaka
Kemarin sore...
Masih bermimpi menjamah kota stuva
Sekarang..
Bau lembab kosan berubah jadi bau AC
Sekarang..
Kasur lipat jadi kursi lipat
Sekarang
Cempaka berubah jadi lestari
Sekarang
Kota stuva ku jelajahi
50
J J U UB BI IR R C CA AN ND DI I
Yeni Elmi
Masuklah dan dapati apa yang kau inginkan
Kau tak kan terlihat bodoh karena tak tahu apa yang kau perhatikan
Masuklah dan temui dia yang sudah menunggumu sejak lama
Ikat apa yang diucapkannya dalam tulisan agar kau tak lupa
Bahasa asingnya tetap berlogat Jawa
Tidak heran soal dia bisa karena biasa
Irilah engkau terhadapnya
Mungkin dia hanya lulusan sekolah dasar saja
Dialah jubir candi yang sederhana
Pengetahuannya melebihi siapapun jua
Ilmunya dia dapat secara cuma-cuma
Gayanya jenaka dan ia senang membuatmu tertawa
51
B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Nikie Meinika
Puingan bebatuan
Takkan pernah terlupakan
Riuh suara angin
Menyapu semua keletihan
Titik-titik sudut batu dan arca
Bernyanyi indah
Tetes demi tetes air
Membasmi peluh lelah
Seruan suara indah
Telah membekas dalam jiwa
Ke mana kami menuju?
Tak ada yang tau
Rahasia yang nyata
Selalu terbersit indah di kepala
Goresan Tuhan akan membawa kami kembali ke sana
52
P PA AT TU UN NG G B BA AT TU U D DI I S SA AM MP PI IN NG GK KU U
Euis Fatimah
Kau kawan seperti patung batu yang diam
Tapi menyimpan semua tingkah aku
Kau diam tanpa kata
Tapi kita bahagia
Kau kawan tak risihkan dengan aku yang berisik
Tapi ku tau kau bahagia
Apa yang kau lihat?
Karena kau kawan terimakasih membuat perjalananku bahagia
Untukmu kawan untuk kau yang ada di sampingku
53
M MA AL LI IO OB BO OR RO O C CI IN NT TA AK KU U
Kokom Ratnasari
Kala itu malam tiba
Lampu-lampu kota berikan senyuman
Menyambut kehadiranku
Memberikan pesona keindahan malam jalan Malioboro
Ku bahagia kau sambut aku
Dengan keramahan suasana malam
Berjalan bergenggam tangan menyusuri sudut kota
Pesona keindahan jalan Malioboro
Pertama ku lihat ceriamu di malam hari
Hatiku jatuh cinta pada keindahanmu
Sebuah jalan yang penuh arti untukku
Suatu saat nanti aku pasti akan kembali
54
P PE ES SO ON NA A P PR RA AM MB BA AN NA AN N
Siti Aisah
Ribuan batu bertumpuk
Di antara Shiwa dan Brahmana
Angsa dan Elang bersahut
Melambai pada Ganesha
Dewi Durga pun menyerka
Menghiasi jajaran batu tak bernyawa
Di antara surga dan kebahagiaan
Ribuan batu bertumpuk
Menjadi saksi untuk para Dewa
55
S SU UA AR RA A M MA AL LI IO OB BO OR RO O M MA AL LA AM M
Siti Aisah
Lampu gemerlap, baju-baju berkerlip
Batik terhampar dan hiasan candi terjajar
Orang-orang begitu berisik
Menawarkan dan ditawarkan berbagai pelik
Aku pun melewati batas
Melihat ke sisi lain yang sepi namun tak sunyi
Lantunan gitar dan bass bersahutan
Lagu-lagu keroncong menjerit bebas
Hiburan malam yang tak perlu dibayar
Mereka tersenyum
Mereka bahagia
Mendengar suara lain
Di Malioboro Malam
56
K KE ES SE ET TI IA AA AN N K KE EC CI IL L
Siti Aisah
Duduk dan menunggu
Termenung dan bersendu
Berguyon dan berlakon
Menghadap istana yang dijuluki keraton
Sultan datang mereka bersorak
Sultan pergi mereka tak berkerak
Demi untuk menjaga lestarinya amanat
Mereka rela untuk memeras keringat
57
Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A
Dini Pitriani
Kota ini penuh sesak orang-orang luar
Keramahan penduduk asli menyapa para pendatang
Beragam tempat menarik ditawarkan oleh kota ini
Ada satu yangtak menarik
Saat aku harus selalu dekat dengan Aqua
Dan selalu membawa kipas
Namun itu semua terlupakan
Kala aku menyaksikan tumpukan-tumpukan batu yang tersusun rapi
Di kelilingi pohon-pohon yang menari
Dan bunga-bunga yang tersenyum
Juga para penghasil buah karya
Mereka bersatu padu menjadi satu
Dalam sepenggal kisah masa lalu
Yang patut orang tahu
58
B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Dadang Iskandar
terdengar dari kejauhan
tumpukan batu bernyanyi
tertimpa dedaunan tertiup angin
melambaikan tangan mengajak berkelana pengemis tua
ke masa yang penuh derita
batu itu terus bernyanyi
menyusun kata menguntai makna
diterjang badai
diselimuti kabut
disengat panas matahari
tapi ia tetap bernyanyi tanpa henti
seorang pengemis tua berjalan mendekat
mendengarkan nyanyiannya dengan hidmat
menjulurkan tangannya membelai wajah tumpukan batu
tapi ia tak peduli
ia terus bernyanyi
59
Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A
Dadang Iskandar
engkau bagaikan kawah candradimuka
tak pernah lelah sepanjang masa
tak pernah mati dalam sepi
tak pernah mengeluh dalam duka
kawahmu tak pernah padam
selalu menyala dalam kelam
meski angin dan badai menghantam
engkau semakin meradang
60
T TE ER RA AT TA AI I U UN NG GU U T TA AK K B BE ER RB BA AJ J U U
Asep Taopik Husna
Teratai unguk tak berbaju
Merah, kelam, beku, ungu sampai bau
Merah, kelam, ungu, bau sampai beku
Menyebar dalam pori-pori tersumbat
Teratai ungu tak berbaju
Jatuh, jatuh, satu dan dua
Tersangkut, diam, satu dan setengah
Pagar-pagar tengadah payah
Teratai ungu tak berbaju
Melebur hina nanah-nanah langit
Daun, wangi dan bunga masa
Darma yang tak terjaga
61
B BU UN NG GA A- -B BU UN NG GA A D DI I S SU UB BU UH H T TE ER RA AN NG G
Asep Taopik Husna
Subuh itu terang seperti siang
Bunga-bunga layu terkikis embun panas
Nyanyian kebesaran tak lagi merasuk dalam raga
Burung hantu pun cepat menutup mata
Lambat laun mereka tak merekah
Marah pada subuh yang terang
Kau ini seperti yang tidak mengerti, ujar subuh
Aku mengintip mereka tanpa berkedip
Namun berlinang
Bunga itu menoleh pada jendelaku
Aku tahu kau di sana, begitu bisiknya
Aku terkejut namun badan ini tak pernah kejut-kejut
Ku buka jendelanya namun kosong
Bunga, subuh ternyata mimpi masa depan
62
P PA AN NA AS S K KO OT TA A
Ali Muksin
Di sini
Di kota ini
Aku berjalan di bawah kilauan sinar matahari
Matahari serasa berada di ujung rambut
Tubuh tak henti-hentinya menangis
Bercucuran tanpa henti
Basah, tubuh ini basah dengan air tubuhku
Tak ada satupun yang bisa mencegahnya
Seperti inikah hari-hari di kota ini?
Mereka, bisakah mereka merasakannya?
Panas, gerah, lengket
Semua menjadi satu di tubuhku
Mungkinkah ini hanya sebatas perasaan
Perasaan sebagai seorang pendatang
Yang belum bisa bersahabat
Dengan panasnya kota ini
63
J J E EJ J A AK K- -J J E EJ J A AK K
Pipit Fitria
: Teguhpati
Pernah kita bertelanjang kaki, menapaki pasir-pasir nakal parangtritis
yang mengelitiki kaki. Kita saling membuat jejak, namun angin
perselisihan mengikisnya. kembali kita membuat jejak. Seakan kita
tidak pernah menyerah untuk selalu bercerita, tentang kita, tentang
cinta kita.
Namun, kini ombak pertengkaran yang menghapus jejakjejak kita.
Meniadakan cinta kita. Akhirnya kita menyerah untuk membuat jejak.
Membiarkan buih ombak menggantikannya. Dan kita hilang bersama
jejak yang terganti buih-buih kesendirian.
Aku masih bersama jingga matahari sore di Parangtritis. Menunggumu
kembali. kemudian kita membuat jejakjejak baru. Berharap sekalipun
angin dan ombak menggilasnya, kita akan kembali membuat jejakjejak
baru. Jejakjejak kita, jejak cinta kita berdua.
20 Mei 2012
64
S SA AJ J A AK K P PE ER RJ J A AL LA AN NA AN N
Pipit Fitria
: Perwangsa
Untuk sampai ke kotamu, aku rela dingin ac bus membekukan
jemariku. Karena aku yakin, besok jemari kita akan saling berpagut,
menghangatkan kebekuanjenuh selama kita tak bertemu. senyum kita
akan menghangatkan rasa yang mulai meng'es.
Tak terelak, dalam perjalanan ke kotamu. Sering kujumpai kota-kota
yang menarik hatiku. Menggelitik hati untuk sejenak singgah. Meneguk
kopi hangat di Tasikmalaya, atau sekedar merebahkan batinku di
Banyumas.
Tapi aku tahu ke mana sebenarnya aku harus berhenti. Kota terakhirku
adalah Jogya. Di mana aku selalu setia menunggu jemputanmu di pom
bengsin sebelah terminal Giwangan.
65
H HA AM MP PA A
Jaya Prasetia
Ku tak tahu rasa apa yang sedang ku rasa kini
Ku tak tahu mengapa
Hanya sepenggal rasa
yang ada kekal di hati
Tapi semua kini seakan telah sirna berlalu
Tiada lagi kini harapan di hati
Harapan yang ku yakini
kan jadi nyata kelak dalam hidupku
Tapi harapan itu telah hampa kini
Dan hanya meninggalkan angan yang pasti
kan berlalu
66
K KA AU U I IN ND DA AH H
Ajem Yustika
Perjalanan menuju istana kejayaan silam
Berpikir damai meski dicambuk terik dan panas
Keluhan terkalahkan hasrat ingin tau yang tak kalah panasnya sinar
matahari di ujung ubun-ubun
Siapa yang tak ingin mengabadikanmu
Melihat sosokmu yang indah saja sudah membuatku ingin
membawamu pulang
Andai kau bisa kubawa
Kan kupamerkan kau pada mereka
Biar mereka tau kau bukan hanya tumpukan batu lapuk yang berlumut
Kau indah di atas bukit hijau
Kau indah seindah warisan alam
67
. .. .. .L LE EL LA AH H. .. .. .
Siti Aisyah
Sudah kutelusuri hutan belantara
Hanya sepi dan sunyi yang kudapatkan
Diriku seolah dikejar siang danmalam
Yang membuatku lelah dan terkapar
Hingga ku pertaruhkan harapan dan kebahagiaanku
Jika setiap langkahku adalah Doa
Dan jika tatapanku adalah harapan
Mungkin aku tidak akan terjebak yang mencekram diriku dari
kelelahan
68
M MA AH HA A K KU UA AS SA A
Dewi R. Ahdawiah
Batu-batu keras itu bertumpuk jadi satu
Tersusun rapi dengan pengait yang entah terbuat dari apa
Katanya ini buatan manusia kerajaan pada zaman kuno sana
Tapi aku tetap merasa mereka bukan siapa-siapa tanpa Kuasa-Mu
Wahai yangMaha Kuasa
Batu-batu prasasti ini buatku adalah bukti nyata bahwa Kau tiada dua
Aku benar-benar kecil adanya ternyata
69
S SO ON NG GS SO ON NG GA AN N F FA AJ J A AR R
Asep Ridwan
Fajar menyongsong di ufuk timur
Masuk di celah-celah jendela kamar
Pancarannya memaksaku untuk membuka mata
Walau rasanya tak biasa
Tapi ada satu alasan yang memaksa
Nyanyian itu
Teriakan itu
70
M MA AH HA AK KA AR RY YA A
Siti Khoiri Inayah
Matahari tiada henti memancarkan sinarnya
Aku tetap lincah mengikuti sinarmu
Berlari ke sana kemari
Berjalan tiada henti
Sesekali mencurahkan ekspresiku
Dengan gaya yang tak tentu atau hanya itu-itu saja
Tak bosan dan tak jenuh untuk singgah hanya sekedar menatap
mahakarya
Indah, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata
Ku pejamkan mata ini hanya untuk beristirahat sejenak
Batu-batu itu sangat memukau
Disusun dari ribuan batu bahkan jutaan
Hari kulalui untuk menggapaimu
Walau harus selalu ditemani air yang selalu memberiku tenaga
Lorong demi lorong ku lewati
Sebagai bukti alangkah terpukaunya diriku
Sunyi senyap benar-benar tak berpenghuni
Gelap tak bernyawa
Gersangnya cuaca tak sedikitpun kuhiraukan
Hanya berbalut keringat yang membasahi raga ini
Takjub, indah, namun sesak terasa hampa
Tak ada kehidupan lagi sekarang
Hanya tinggal sejarah
Tinggal kenangan
71
J J A AM MD DU UA A B BE EL LA AS S
Rizal Darmawan
Jam dua belas malam, saluran di televisi
Lekuk tubuh wanita pembawa acara
Ada sesuatu hendak dibaca
Dari tajam gurat alis matanya
Terbelalak mata atas kemolekannya
Kering kerongkongan menjaring seketika
Lalu kubilas dengan segelas teh
Hangat, menghangatkan udara sekitar
Tetesan keringat ini
Sisa pergulatan dua belas jam yang lalu
2012
72
P PA AD DA AN NG G R RA AJ J A A- -R RA AJ J A A
Dian Nurendah
Panas mentari menempa kemegahan granit-granit hitam
Kokoh berdiri di atas padang terberkati Syailendra
Menebar keagungan akan cita rasa Tuhan melalui tangan-tangan
pemahat
Wujudnya terpatri dalam sanubari pertiwi,
Mengelana dalam dimensi kemegahan waktu
Aku tengadah, seakan menatap altar suci
Menyisir tiap inci karya kearifan masa lalu dalam regukan rasa kagum
Merasakan kekuatan magis antara waktu dan keluhuran sang raja akan
kehadiran sebuah ramalan kebanggaan
Kuasa ramalan yang dibuktikan Samaratungga
Melintasi berbagai generasi, musim dan peradaban
Kebanggaan, dan keluhuran yang akan tetap menjadi milik padang Raja
Sejauh apapun zaman mengejar dan semiris apapun budaya tercerabut
dari ranah peradaban
Dia tetap menduduki singgasana agung dari tahta kebijaksanaan
Abadi dalam ingatan alam
73
T TA AM MA AN N S SA AR RI I
Lia Marliawati
Dahulu adalah pemandian
Sekarang adalah reruntuhan
Toko-toko dan rumah-rumah
Mungkin penyanggah sang raja
Saat istri menjadi selir
Dalam setiap basah malam
Taman Sari adalah karat
Di mana menjadi tempat sakral
Hingga runtuhnya masih belum terlepas
Dari sebuah keagungan
Runtuhmu sisakan banyak legenda
Yang menjadi kenangan
74
M MA AL LA AM MD DI I M MA AL LI IO OB BO OR RO O
Yusanthiya Windhianita
Mata tak jemu memandang,
Kerlip dunia Jogjakarta di Malioboro,
Senyum-senyum gencar mengintai,
Setiap pejalan yang menyisir pinggiran jalan
Aku merekam jejak di setiap simpang,
Jalan yang redup di bias lampu pertigaan,
Ketukan-ketukan berlipat dari alas sepatu hewan,
Menambah riuh suasana malam
Berkali-kali aku mengerjapkan mata,
Meyakinkan diri sedang menginjak,
Bumi malam di Malioboro,
Pesonanya tak meredup,
Meski sketsanya hilang diikat kenangan
Yogyakarta, 14 Mei 2012
75
M ME ES SJ J I ID D B BA AW WA AH H T TA AN NA AH H D DI I Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A
Yusanthiya Windhianita
Hening adalah jawaban,
Suara hanya alat tambahan sebagai pembentuk suasana,
Berkeliling,
Aku hanya mendapati tembok melingkar yang tak berujung
Tengah bangunan tua yang cukup kokoh,
Anak tangga membentuk menuju satu pusara,
Dari langit yang memancarkan cahaya,
Tak sanggup menerangi sisi ruang gelap lainnya,
Lampu-lampu putih, dingin,
Membisu merangkai setiap sudut ruangan,
Cerita religi yang berbau dua dunia,
Segera membuatku tak ingin berlama...
Hening adalah jawaban,
Dari setiap pertanyaan yang muncul di benakku tiap kali kaki ini
melangkah melalui celah berpintu,
Bahkan ketika ragaku sampai di tempat peristirahatan raja dari dua
ratu, yang terpahat di dinding atas pintu,
Senyumku kemudian mengalir,
Seperti kolam besar yang indah di kelilingi pot besar berbunga,
Sejuk, nyaman, namun tetap mengukir misteri...
Yogyakarta, 15 Mei 2012
76
M MA AL LA AM MD DI I P PR RA AM MB BA AN NA AN N
Heri Nurjaya
Malam yang sama,
Bulan bintang yang sama,
hanya berselimut mendung.
Cahaya silih menyerat
Arena pertunjukan
dang.. dang.. ting.. ting..
Dang.. dang.. ting.. ting..
Dewi Sinta menari
Dewa hujan bertamu
15 Mei 2012
77
B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Heri Nurjaya
Nyanyian
Saksi seorang tua.
16 Mei 2012
78
C CA AN NT TI IN NG G C CO OK KL LA AT T
Heri Nurjaya
Kompornya hangat
Rebusan kemiri pun matang
Gasir bunga-bunga kain
Di atas paha,
Berakar tapak-tapak harapan
Terpupuk mimpi keinginan
Pribadi merdeka, bernyanyi
Dalam kubangan canting coklat
Buruh batik nusantara
16 Mei 2012
79
K KO OP PI I J J O OS SS S
Ari Suharto
Kopi pun habis
Segera kupesan kembali
Rokok mengepul
Berasap dan putih keruh
Arang dalam gelas basah
Hitam pekat tercampur air mendidih
Tarasa kesat di lidah
Namun menghangatkan
Menghangatkan malam
Joss tenan dab!!!
80
K KE ER RT TA AS S K KO OS SO ON NG G Y YO OG GY YA AK KA AR RT TA A
Rizki Fauzi
Aku adalah kertas kosong
Kubawa kertas kosong ini
Tujuanku Yogyakarta
Kertas pun mulai terisi coretan
Banyak coretan-coretan yang salah
Lalu kucoret lagi
Kubuka dan kutulis semua yang ada
Kualami apa yang tak orang alami
Kertasku mulai terisi penuh
Dengan perjalanan, masalah
Kesenangan, kepahitan kualami
Semua adalah tinta dalam kertas
Dari hotel, Malioboro, Borobudur
Prambanan, Krator, Giring Harjo
Batik, perak, masjid bawah tanah
Semuanya telah ada dalam kertas
81
M MA AL LA AM MD DI I M MA AL LI IO OB BO OR RO O
Rizki Fauzi
Seekor raksasa kutunggangi
Dan berhenti di sebuah kota
Berhenti sejenak di persimpangan
Persimpangan Malioboro
Kulewati semua kehidupan malam
Pernak-pernik pembalut badan
Hiasan-hiasan yang kerlap-kerlip
Membuat mata berkedip-kedip
Bisa saja aku hampiri mereka
Dan membawanya pulang
Bisa saja ku tak menarik mereka
Dan kutinggalkan dengan malang
Sesekali ada yang menyapaku
Meraihku untuk membeli segudang keringat
Dari pagi hingga malam menjelang
Akhirnya ku pilih satu jerih payah mereka
82
D DA AL LA AM MB BI IS S
Pipit Nurul Fitriah
Bayangmu terseret masuk
dalam pantulan kaca jendela yang bergoyang
bersama angin yang merasuk
lewat ventilasi yang bersekat berlubang
hadirmu menjelma nyaring
seperti deru klakson dalam bis antar kota
lalu perjalanan ini semakin berguling
83
B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Intan Wulan Kustiani
Bangunan-bangunan kunoprasejarah
Menobatkan WAJRADHA dalam Budur
Tidar, Sumbing, Merbabu tertancap mengitari
Ruphadata berjajar dalam relung-relung senja
84
T TA AH HT TA A U UN NT TU UK K R RA AK KY YA AT T
Santi Ramdhani
Sebuah tahta adalah jiwa
Yang secara ikhlas
Memberi kekuatan bagi sesama,
Dengan tongkat-tongkat keimanan,
Kesetiaan dan kegigihan nurani
Memberikan darah demi sebuah gairah
Gairah akan sebuah kemerdekaan
Merdeka jiwa dan raga;
Dari api-api belenggu nafsu
Keserakahan dan keculasan,
Itu murni sebuah ganjalan.
Merdekakanlah hatimu, sebelum
Kau merdekakan Negara dan rakyatmu,
Itulah sebenar-benarnya
Sebuah Tahta untuk Rakyat.
85
M ME ER RE EK KA A Y YA AN NG G M ME EN NG GA AB BD DI I
Santi Ramdhani
Sebut saja mereka,
Abdi Dalem
Mengabdi sepenuh hati
Kepada seorang Sultan.
Pengabdian mereka baktikan,
Dengan blangkon di kepala, dan
Pakaian khusus adat Jawa,
Mereka duduk bersila
Duduk rapih berjajar sambil bercerita.
Tak jarang dengan ketidaktahuannya,
Orang bertanya, untuk apa mereka di situ?
Mengesankan orang-orang tanpa agenda,
Dan jawabannya tetap mengabdi.
Kecintaan mereka kepada Sultan,
Sebagai tanda hormat,
Pada tanah mereka,
Yogyakarta yang penuh sejarah.
Di dalam keraton kesultanan
Mereka ada,
Untuk terus memupuk rasa cinta,
Ini sebagai ciri bahwa
Mereka punya tradisi.
Karena sebagai orang Jawa,
Mereka merasa Indonesia, dan
Abdi Dalem
Akan selalu setia mengabdi.
86
M MA AL LA AM MD DI I M MA AL LI IO OB BO OR RO O
Derry Rizkiana
Siur angin begitu dingin
Seakan mengiris paru-paruku ini
Aku hirup pelan-pelan
Rasanyamalam ini berbeda
Dari malam yang kujumpai sebelumnya
Di sekitar jalan pak kusir dengan kudanya
Asyik merenung menikmati malam itu
kelab-kelob lampu jalan Malioboro
setia menemani orang-orang di sudut kota Jogja
87
D DI I U UJ J U UN NG G H HA AR RI I K KA AL LA A P PR RA AM MB BA AN NA AN N
M ME EM MB BA AY YA AN NG G
Lisda Palupi Utami
Hujan malam itu memaksaku untuk diam
memaknai setiap tetes yang membasahi bumi
memaknai setiap detik yang kian mengakrabkan
setiap debar yang meraja terasa lebih bermakna
kala itu aku hanya terdiam
mencoba tersenyum dan mencairkan suasana
rintik hujan lalu semakin tak beraturan
berirama dengan degup jantungku jantungmu
kala itu kau tersenyum
mencoba menatap kedua bola mataku
mencari-cari secercah cahaya
yang sudah kupancarkan dari dalam hati
hingga Prambananitu membayang
semua terasa begitu menyenangkan
kemudian semua hilang dalam kegelapan
mengukir semua rasa yang mengesankan
Jogjakarta, 15 Mei 2012
88
L LO ON NG G D DI IS ST TA AN NC CE E
( (J J o og gj j a a, , . .. .. . a an nt ta ar r a a B Ba an nd du un ng g d da an n S Su ur r a ab ba ay ya a) )
Maisaroh
Jogja, ...antara Bandung dan Surabaya
Cinta, ...yang terpisah ruang dan waktu
Menghadirkan berjuta Tanya dan harap,
Begitu juga engkau, ...teramat jauh bahkan
Sampai camar putihku tak sanggup membawa rasa yang kuselipkan
Cinta ku rasa egois, karena ia begitu sinis dan agresif
Aku berdiri di sisi menilik malam sepi tuk menghampiri khayalku
Kau tahu, ... menunggu itu mengesalkan, begitu mengesalkan
Hingga ilalang di istanaku merunduk mengering tanpa daya
Tapi senyummu menuai benih
Suburkan kembali ketandusan
Semaikanrindu yang tertanam di lembah penantian
89
- -- -- -
Siska Hardiana Safitri
Namamu terpatri di mata-mata yang haus akan kenikmatan duniawi
Mata-mata bak mata sang elang yang siap untuk mencengkram
mangsanya
Cakar para pemburu telah bersiaga untuk mencabik setiap helai kain
Dan setiap yang berkilauan dari pantulan yang menyilaukan hingga
menusuk bahkan menembus mata terdalam
Semakin malam pancaran auramu semakin tidak dapat dielakkan
Cahaya lampu menambah suasana menjadi lebih mempesona
Angin malam pun seakan membuai hati para pecinta dan mengajak
berdansa untuk bersantai dan tak tergesa-gesa
Namun gejolak hati berkata lain
Para pemburu semakin sesak dan tak kuasa untuk menyaliurkan hasrat
mereka
Hasrat yang sudah membara dan tak kunjung usai walaupun telah
mendapatkan apa yang mereka inginkan
Teman, ini satu dari sekian banyak surga di Indonesia!!!
Pandangan pertama begitu memikat
Walau sekejap mata kureguk kenikmatanmu
Tak kuragukan pesona malammu
Memberikan bekas yang amat melekat dalam hati dan pikiranku
Oh Malioboro... Nantikan aku untuk kembali mengecupmu dalam
naungan hasrat belanjaku!
14 Mei 2012
90
P PA AC CA AR R S SE EH HA AR RI I
Sadam Husen
Berjalan telusuri surga hijau
Lewati Jembatan Sayyidan nan memukau
Bak permadani hantarkan suka
Menuju istana
Aku dan dia
Menari di hamparan taman bunga
Yang menutupi prambanan dan borobudur
Yang hiasi hiasan nan khas
Tersimpan dalam kain nan khas
Aku dan dia
Dia milik raja
Aku milik permaisuri
Namun aku dan dia ibarat mawar dan duri
Dari terbit fajar hingga terbenamnya mentari
Aku dan dia
Bahagia bersama dalam romansa cinta
Yang terbatas oleh ruang hampa
Dan tertutup dua dunia
Aku dan dia
Bercinta dari terbit fajar hingga adzan magrib menggema
91
K KE EN NA AN NG GA AN N
Yuda Rahmat Hidayat
Dulu kita sering berdua
Di samping jalan Malioboro
Kemudian
Kita mengabdikan kenangan saat berada di Jogja dan
Kenangan itu masih membekas di hatiku
Jogja kota penuh kenangan bersamamu
22 Mei 2012
92
L LA AY YA AK KN NY YA A B BA AT TI IK K
Nonoh Madriyanah
Aku tak mau hanya hitam
Cukup langit malam saja yang berwajah kelam
Membuat sang raja enggan berdampingan
Menarik diri masuk ke peraduan
Aku pun tak ingin hanya putih
Membuat hati menjadi onggokan emas
Atau membuat hati tercipta dari rangkaian bunga
Menebar keindahan dari setiap mata yang tertuju
Aku ingin semua warna
Tercampur menjadi satu dengan keindahan yang nyata
Dengan corak dan motif yang menari-nari dengan gemulainya
Yang semua garis berhenti pada satu titik
Layaknya seperti batik
Yang tak hanya mengenal satu warna saja
Mereka menyatu dalam irama yang tak bernada
Cinta bukan sembarang cinta
Terkadang mata dan hati berada di lain pihak
Tatkala menerjemahkan sebuah kata cinta
Mata tetap mata bukan hati
Rasa pun menjelma jadi kata yang berbaris rapi
Membingkai berjuta imajinasi
Menguak sebuah misteri yang terisolasi
Hati tetap hati bukan mata
Meski keduanya mampu berbicara
Masihkan berbicara ketika dihadirkan kesucian cinta Shinta
Yanghadir sebagai bumbu cerita Ramayana
Cinta bukan sembarang cinta
93
Para dewa pun ikut peran dengan kembalinya cinta sang Rama
Dewa api yang panas perkasa
Tak mampu melumat kesucian cinta sang Dewi
Mengantarkan cintanya pada keabadian
94
H HA AB BI IS S A AP PI I T TE ER RB BI IT TL LA AH H M MA AT TA AH HA AR RI I
Shobahul Futuh
Berjalan setapak tiada henti
Menyusuri jejak masa lalu
Yang penuh dengan api dan petir
Batu-batu menjadi saksi
Ketika matahari terbit
Seluruh api sudah mulai padam
Semua itu bukan tanpa hujan
Karena kita tahu
Api harus dilawan dengan air
Kini masa itu sudah lama berlalu
Kota yang dulu selalu tersambar petir
Kini menjadi sebuah bingkai kenangan yang indah
Yang harus burung-burung tahu
Betapa hebatnya api pada saat itu
95
J J A AL LA AN NA AN N J J O OG GJ J A A
Yashinta Pradina Saputra
Berwarna dan tak polos kembali
Menjadi sebuah fantasi dalam keyakinan
Kini kulihat tak lagi dapat terbagi
Emosional bertaruh kebatinan
Sepanjang jalan yang rapih dan bersahaja
Kurasa tak putih bagai bidadari
Berwarna ceria menyatu saja
Coretan warna terberi
Taruhan warna dan bentuk lihai
Mengisi jejalanan kota ini
Berwarna bersama kejutan pandai
Berlalu begitu bersama jiwa yang hilang ini
Bubuhan warna yang berasal dari pikiran jernih
Di sepanjang jalan Jogja
Yang amat berwarna lirih
Jalanan Jogja
96
G GE EL LA AP P B BE ER RN NY YA AW WA A
Idas Dasimah
Gelap ini
Hitam pekat berlumut
Di bawah tanah menyeruak suara
Dahulu kala naungan adzan menggema
Walau sunyi dan gelap
Merekatetap bernyawa
97
S SA AW WA AN NG G
Dian Purnama
Terbang ke sawang
Menudung mendung
Nyanyikan kidung
Lelah waktu
Menikam semu
Meluluh belenggu
Nyata, kau kata
akan berpisah
Ambang terlihat
Waktumu datang
kau betina marah
Menukik tajam
Menjangkau ranah
Merah menyala
Matamu membara
Bagaimana bisa?
Kau wanita...
Bersembunyilah kembali
Di balik awan putih
Poles Bibir bergincu merah
Menguncup tangan yang terbuka
Kembali ke sawang
Tempat kau berada
98
M ME ED DU US SA A
Dian Purnama
Saat yang dinanti akan tiba, perasaan berada di ambang titik jenuh.
Kilatan-kilatan kebosanan mulai muncul mewarnai haru biru kisah
yang dirajut selama sewindu. Mengapa tak kau biarkan saja tangan ini
mencakar-cakar kebisuan yang kau biarkan bebas mengambang
sedemikian lamanya. Aku tak tahan menahan rasa gatal melihat semua
kepalsuan yang kau iyakan sebagai kesetiaan. Aku sengaja menyeduh
benih kebencian di depan mata sendumu itu. Tidak peduli apakah kau
sedang demam kerinduan akan sikap lemahku yang selalu kau
banggakan. Tak peduli lagi, kau lihat semua barut hatiku yang kian
membusuk. Iya busuk karena tercemar oleh kebusukan yang lebih
busuk. Aku muak, menelan semua racun bertuliskan cinta. Setiap hari
aku menenggak satu botol kebohongan tanpa kau sadari aku menyadari
sikap curang itu. Aku tak bisa menahan semburan bisa racun
mematikan, ingin rasanya aku telan namun tak ada lagi ruang yang
tersisa kini semuanya aku kembalikan lagi pada tempatnya, dirimu
yang tersayang.
99
T TA AK K A AP PA A K KA AU U P PA AN NG GG GI IL L A AK KU U H HA AN NO OM MA AN N
Jasmaryadi
Selalu saja ada rasa malu saat bermain wayang-wayangan. Dan kau
mendapat peran sebagai Hanoman. Ada apa denganmu? Mendengar
namanya saja kau tak sudi. Apa karena dia monyet? Teganyakau.
Lantas, serahkan saja peran Hanoman itu kepadaku. Setidaknya aku
yang akan menyelamatkan Dewi Sinta.
100
K KA AT TA A D DI I A AN NT TA AR RA A P PR RA AM MB BA AN NA AN N D DA AN N
B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Jasmaryadi
Jika kau tahu tentang sejarah
Pasti kau tahu dari apa Candi Prambanan dibuat
Bagiku kau Siwa
Kau telah menghancurkan hariku
Tak ada hari yang kulepaskan untuk tidak memikirkanmu
Tak mimpi yang terbebas dari bayanganmu
Sungguh indah
Tapi terasa menyesakkan
Cintaku seperti Prambanan
Terwujud secara alami
Kasihku tidak seperti Borobudur
Aku tak mengenal kasta
Bersama angin yang datang menghampiri
Kutitipkan sepenggal nada indah
Nada cinta yang tak sempat terucap saat di Prambanan
Justru terlelap saat tiba di Borobudur
101
K KI IC CA AU UA AN N B BU UR RU UN NG G P PA AG GI I
Asep Koswara
Kicauan burung itu
Meninggi, berteriak semakin tinggi
Seakan meronta harap ditolong
Mungkin tanda ingin bebas sendiri
Lari, pergi mencari dan menikmati
Hidup bebas di alam mandiri
Lelap tidurku sedikit terusik
Hingga kupaksa mata ini tuk menelisik
Lalu kugisik dengan tanganku
Kubuka bantal dan selimutku
Kulangkahkan kaki dan kubukakan pintu
Kuarahkan mataku ke arah kiri
Kulihat burung itu semakin tak diam
Terbang tak karuan dalam penjara sangkar
Sangkar kecil itu
Mengunci dan menahan kebebasannya
Lalu,
Tikus itu mendekat,
Mengancam seakan mau menerkam
Imajinasiku berkeliaran
Mencari, mereferensi suatu kenyataan
Teringat tikus negeri ini yang tak berkemanusiaan
102
C CI IN NT TA A A AB BA AD DI I
Fourus Huznatul A
Butiran air seolah-olah tak mau kalah menyaksikan lakon yang
dimainkan
Semakin deras
Wajahku pias
Semakin ku membisu dalam guyuran hujan
Sepi... hening... tak ada suara... bagai sang abdi dalem tunduk di bawah
titahan sang raja
Mengapa tak banyak orang yang menyaksikannya
Aku rela tubuhku menggigil
Aku rela menyatu dengan candi
Menyaksikan berjuta kisah
Rama dan Shinta dengan cintanya
103
R RU US SA AK K
Eka Ayu Wahyuni
Berdiri menantang langit
Tiga dewa tegak dengan tampang sengit
Bagai puncak Himalaya menyentuh langit
Pancang tertinggi menahan pahit
Panas bara membakar sukma
Ketegangan menyayat rasa
Sang Maha Dewa merusak dunia
Meledakkan jagad raya
104
I IN NG GI IN N
Eka Ayu Wahyuni
Putih, bersih
Kilau, berkilau
Gemerlap bagai gugusan bintang
Persis sama seperti gugusan bintang
Kagum
Mengagumi
Terkagum-kagum
Gemerlap bagai gugusan bintang
Persis sama seperti gugusan bintang
Indah...
Jauh...
Tidak tersentuh...
Hanya bisa menaruh kagum lewat tatapan mata yang berbinar
Hanya bisa mengagumi dalam ruang bingar
Hanya bisa terkagum-kagum dalam rentang kilauan sinar
Jauh...
Tidak tersentuh...
Sungguh hasratku meletup-letup
Ingin mengecup
Sayang begitu jauh
Benar-benar tidak tersentuh
105
D DI I J J E EN ND DE EL LA A B BI IS S
Renren Siti Nurhasanah
Pagi dingin membelah kebekuan tubuhku. Ke arah debu jalanan yang
masih samar untuk dilihat, pepohonan yang masih semilir mengibaskan
tetesan embun paginya. Aku menoleh ke arah luar, masih terasa sama
seperti bendungan yang tak terjamah, rapi tak ada sapaan apapun.
Masih saja wajahmu yang ada menemani kekosongan ini. Melihatmu
bercanda hebat dengan teman lelakimu, aku ingin disapa dalam
keheningan ini.
Toko-toko yang berderet di sepanjang jalanan. Membuatku semakin
miris melihatmu dari jendela bis yang berbeda. Aku kembali melihat
senyuman indah itu, sekilas beradu untuk sengaja diperlihatkan
padaku. Aku tertegun dalam keramaian orang-orang yang sibuk
mencari posisi tempat duduk yang nyaman. Suara klakson bis sengaja
dibunyikan menambah bisingnya perjalanan ini. Selalu senyumanmu
yang menjadi pemandangan terindah untuk aku lihat di sepanjang
perjalanan ini.
Selain musik yang beradu dalam kemacetan jalanan. Nyanyian cinta
diputar di sepanjang jalan. Arus kecepatan yang semakin melaju
kencang, menabrak pusat kota yang bergemuruh dalam lipatan roda bis
yang berputar.
106
H HE EN NI IN NG G B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Siti Halwa Mardiah
Surya senja kala
Menyirami lekuk istana Borobudur
Merangkul sejuta rahasia
Berdendang serangga malam
Menapaki setiap anak tangga
Langkah menuju puncak mimpi
Hening. Biarkan jiwa bersenggama
Kekuatan sakral biarkan menyeruak sukma
Meraih masa silam
Langkahi setiap detak jantung waktu
Melompat menuju keindahan yang abadi.
107
P PE EN NG GA AM ME EN N B BU US S K KO OT TA A
Wawi Jumantari
Alunan musik gitar mengusir kepenatanku
Kelelahan yang menyerang separuh raga
Kantuk mata yang hampir mengatup
Sirna hanya sekejap mata
Tubuh tinggi dan kurus itu
Dengan jari-jari handalnya
Memetip tiap senar gitar
Menjadi melodi yang menyejukkan
Dengan wajah penuh harapan
Dan gitar usangnya
Terlantunkan bait-bait lagu Pop
Meruntuhkan jiwa yang sepi
Sejenak khayalan tenggelam dalam mimpi
Mimpi yang tenggelam dalam lamunan
Menghanyutkan suasana yang suram
Memecahkan kesunyian yang terasingkan
Tersentak ku melihat kantung Relaxa depan mata
Kepingan receh berbunyi nyaring masuk ke dalamnya
Ku telah tersadar akan semuanya
Bahwa kehidupan mempunyai duri-duri kehidupan yang nyata
Yogya, 15 Mei 2012
108
S SU UD DU UT T M MA AL LA AM MM MA AL LI IO OB BO OR RO O
Ita Mustapa
Bulan terlihat malu menampakkan kecantikannya malam ini
Seolah bulan enggan menemani bintang hiasi langit Malioboro
Dan hanya bintanglah yang temaniku menapaki malamku di Malioboro
Menapaki jalan-jalan di sudut kota ini
Malioboro... tempat yang tetap sama seperti 5 tahun lalu
Dengan para pedagang kaki lima, andong, dan becak
Yang berderet di sepanjang jalan ini
Terlihat satu bintang menghiasi sudut jalan
Cahayanya memudar terkalahkan oleh
Sorot lampu-lampu jalanan
Yang seolah berlomba menjadi yang paling terang
Namun keduanya tetap menjadi penghiasan malam
Yang menambah kecantikan
Wajah Malioboro malam ini
109
M ME EL LO OD DI I P PA AY YA AU U
Arief Luqman
Rayuan musik mulai mengalun
Petikan demi petikan mulai terdengar
Merdu dan berkharisma
Kudendangkan satu bait lagu
Mengalir begitu sempurna
Rayuan itu bertemu dengan alunan lain
Tetap terdengar indah walau payau
Alunan lama kini menghilang perlahan
Dan berhenti di permukaan
110
P PR RA AM MB BA AN NA AN N B BU UK KA AN N C CE ER RI IT TA A
Insan Purnama
Panas yang menyengat
Musnahkan setiap keringat
Tidak lagi ia hangat
Namun menjadi jahat
Batu yang tersusun itu
Hanya terbujur kaku
Dan terus saja membisu
Tak pernah mencari tahu
Berjualan dalam debu
Yang menguasai perjalananku
Menyusuri cerita Prambanan
Termakan oleh zaman
Menjelang kekar
Namun diam terlantar
Runtuh ia
Tersusun kembali oleh cerita
Aku tetap tidak mengerti
Mengapa begitu berarti
Tumpukan batu bergambar
Terukir danberjajar
Memiliki setiap nama
Yang entah apa makna
Yang terkandung di dalamnya
Yang kutahu hanya batu purba
Tak bercerita
Tak bermakna
Tapi nyata
Tapi ada
111
B BI IR RU U D DI I S SE EN ND DR RA AT TA AR RI I R RA AM MA AY YA AN NA A
Insan Purnama
Seharusnya tidak begini
Hal yang tidak aku ingini
Sekejap semua sirna
Bermandikan hujan saja
Sungguh kecewa
Tak ingin tertawa
Mata mulai berpaling
Dan malam semakin dingin
Tak ada lagi kata
Tertelan dalam kecewa
Sungguh petaka
Ini malam yang sia-sia
Malam di Sendratari Ramayana
Ilalang yang bergoyang merana
112
T TA AK KD DI IR R
Yudha Apriansyah
Jika bumi bulat membungkus takdir kehidupan
Takdirku berbentuk persegi panjang
Melaju ke pelataran-pelataran tertuju
Bukan tangan dan kakiku yang bergerak
Semua bergantung pada sekotak raksasa takdir berwarna merah yang
melaju mengejar waktu
Jika segalanya telah dituliskan untuk apa merasa khawatir?
Karena takdir persegi panjang ini berputar melaju dan diputarkan oleh
roda-roda
Sepertinya takdir tak bisa berbentuk lain selain putaran bulat
Putaranku, sebuah karma
Shio ular mengejar-ngejar buntutnya
113
B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Yudha Apriansyah
Sebenarnya aku ingin bertelanjang dada menuju Borobudur. Sensasi
penyatuan diri dengan alam sekitar. Magis rasanya, akuingin sendirian
saja bermeditasi dengan hanya tubuh yang dibungkus sehelai kain
sutra.
Inilah peradaban
Kakiku bak serabut akar
Menyerap asi ibu pertiwi
Kepalaku bercabang
Rimbun rambutku daun-daun terhelai
Di pelataran yang anggun
Aku menjadi beringin yang dingin
Biar pun matahari menyinari, tetap kusimpan
Bayang hitam ini untukku membaca diri
Aku tak ingin menjadi terik
Yang begitu kemilau
Di mana hitamku lenyap tersirap
Tidak, bumi ini punya siapa?
Hingga aku tak berhak berdiri.
114
S SU UA AS SA AN NA A M MA AL LA AM M
Sofia
Cahaya lampu menyinari sepanjang penjajak kaki lima
Para penjual menjajaki dagangannya
Sepanjang jalan kota
Semut-semut mulai bergerombolan
Haus akan kemanisan dan keindahan
115
M MA AL LI IO OB BO OR RO O
Ika Nurhosna F.
Mendengar namamu aku sudah bernafsu
Merasakan arusmu, tubuhku tak mampu menahan gejolaknya
Kau begitu cantik nan mempesona
Karena itulah tak seorang pun ingin mengabaikanmu
Aku singkirkan semua angka yang bertebaran di hadapanku
Aku lucuti beberapa lembaran kertas ini
Dan akhirnya aku merasakan kepuasan akan pesonamu
Malioboro, 16 Mei 2012
116
S SE EN ND DU U
Eriska Fitriani
Aku terhempas dalam hangat matahari
Membayangkan apa yang harusnya terjadi
Tak kuasa akan menggapai harap,
Duka yang meradang
Berharap suka mereka bisa aku rasa
117
K KI IC CA AU UA AN N B BU UR RU UN NG G G GE ER RE EJ J A A
Ahmad Fuad Hanif
Awan cerah bersinar
membuka asa yang
pernah terlupakan
Sejenak terdengar suara
kicauan burung gereja
membawa kabar gembira
esok tersenyum
menatap tanah Jawa
14 Mei 2012
118
B BE EC CA AK K
Devi Lutfiani S
Kayuh lagi,
Lelah lagi
Penumpang senang,
Penumpang riang
Ayunan kedua kaki
Menjadi saksi
Tawaran Malioboro
Tawaran Beringharjo
Dua ribu, itu sudah jadi
Dan lima ribu pun jadi
Kesana kemari sesuai alamat
Abang becak mengayuh dengan selamat
119
C CA AN ND DI I P PR RA AM MB BA AN NA AN N
Elis Nursita
Candi Prambanan
Tertumpuk satu demi satubebatuan
Menjulangtinggi
Membentuk hamparankemegahanbangunan
Denganketakjuban yang tercipta
Setiap orang yang memandangnya
Jikahanyasatubatusaja
Mungkintak akan se-megahdan se-luar biasaini
Karenasatusama lain bebatuanbertumpuk
Bekerjasamasalingmenopang
Makaterjadilahbangunankokoh nan indah
Hinggaberabad-abadlamanya
Taktergoyahkan
Karenamerekaselalubersatuselalu
Menopangantarasatudan yang lainnya
120
H HU UJ J A AN N D DI I P PR RA AM MB BA AN NA AN N
Imma Janaty
Aku ingin segera menyaksikan
tarian Sendratari Ramayana Prambanan
Duduk termenung diiringi rasa kesal
Menunggu beberapa detik, menit, bahkan jam
Sekedar ingin mengetahui
cerita Prabu Janaka di Negeri Mantili
Namun aku tercekat dalam pekatnya hujan
Aku berniat untuk hendak pulang
Sebab hujan terus menyekapku
Hingga aku menggigil kedinginan
Tapi aku masih menunggu
Dan akhirnya bisa menikmati indahnya
tarian yang mengisahkan tentang Dewi Shinta
Meski hanya sejenak
Namun sedikit puaskan mata
Karena langit pun tetap angkuh
Masih mengundang gerimis
Untuk segera hujan lagi
121
A AK KU U
Ari Margono
Aku bukan aku
Karena aku bukan aku bukan dia
Bukan mereka
Aku karena aku
Bukan karena dia
Bukan karena mereka
Biarkan aku menjadi diriku
Karena aku adalah aku
122
W WA AH HA AI I T TA AN NA AH H A AI IR RK KU U
Ai Yeni
Wahai tanah airku
Dengarkanlah citaku untukmu
Ku ingin kau bersih dari serakan sampah yang memilu
Ku ingin kau patuh terhadap pimpinan hasil pemilu
Wahai tanah airku
Dengarkan tuturku untuk mu
Hasrat ingin dirimu bagai kota batik terasa syahdu
Jagalah budaya bangsa tiada beradu
Wahai tanah airku
Ku rasakan nikmatnya Gudeg dan Bakpiakhasnya terasa nikmat
Memang beragam kuliner di negeri ini semakin memikat
Namun tiada dua khas jogja ku terpikat
Wahai tanah airku
Ingin ku berlama duduk berdendang di atas candi walau terik mentari
terasa panas
Ingin ku berlama disana jelajahi pernak-pernik serta batik yang tertata
hias
Ingin ku berlama melihat ragam alam raya terlihat kontras
Namun apalah daya semua itu hanyalah tugas
Wahai tanah airku
Jangan kau gundah gulana jangan kau pasrah
Ayunkan langkah kaki selalu terarah
Wahai tanah airku
Petuah ku padamu hanyalah tugas
Sekali lagi, hanyalah tugas..
123
I IS ST TI IM ME EW WA A B BO OR RO OB BU UD DU UR R
Widiyarti Nur Bekti
Berisik pasar menyapa langkah
Menggoda mata, berlalu atau singgah lantai
Berundak menyita nafas
Ketukan kaleng pengemis menghiba balas
Terbuka loket menakar kemampuan
Memilah antrian kasta dan jurusan
Arca-arca terdiam membatu
Secarik kesadaran teruji di setiap pintu
Lantai berundak menguras nafas
Ketukan kaleng pengemis semakin jelas
Pencapaian tertinggi gelisah menunggu
Menanti cahaya mendamparkan laju
Ritual beringas berebut kesempatan
Pemujaan riuh menuju stasiun tujuan
124
C CE ER RI IT TA A L LU UK KA A J J O OG GJ J A A
Siti Patimah
Dua malam kulepas
Dengan kesepian yang terus mengambil alih malam
Hingga pagi menjelang dan makin terang
Dengan tetap terkuasakan malam
Kini kubercerita namun tak berbahasa
Meresapi luka yang kian mendera
Luka yang kubuat percuma
Karena ia sudah menjadi bangkai yang tak terendus baunya
Dari Jogja
125
J J A AL LA AN N
Al Ikhlas Ardiansyah
Kau yang selalu ada
Sajakmu yang tersisa
Sajak abadi dalam hati
Sampai saatnya tiba
Sang ajal kan menjemputmu
Sang malaikat membawamu
Menuju abadinya sogra-MU
Kau kan selalu ada
Dalam benakku
126
S SU UL LT TA AN N
Azzis Fameia
Udara hilang
Melihat Sultan Kelantan, Menyiksa Si Manohara
Semua terlihat hitam di ruangan itu
Hingga hanya jam weker saja yang tetap berdetak
Udara datang
Hingga bisa kueja dan kuhapal setiap molekul udara
Lalu datang beliau dengan gagah;
Sebagai Sultan yang dicintai manusia
Mengejar tahta untuk mereka.
127
N NU US SA AN NT TA AR RA A
Daniel Andrew
Menarik tempat menyorot mata
Sari jiwa terpikat citra
Indah elok sang dimata
Akrab di mata dan telinga
Cinta dalam alunan budaya
Aneka ragam adat mengarungi
Dengan berlari mengejar pesona
Mendapat indah sautan nusantara
128
J J A AM MP PA AR RI IN NG G
t ti i R Ra ah hw wa an na a k ke eu ur r S Si in nt ta a
Dian Nugraha Ramdani
Panon po nyangsaya belah kulon.
Kawih lirihna anu teu liren-liren
ngageterkeun mutan supados muguran sapertos hujan,
Nyakclakan kana sajak nu barontak lelembaran.
Angin ngahiliwir ti lebah gawir
Nolan imut anjeun nu sumarambah mapay wayah.
Teras hiber ka hibar layung, ngalayang hahalimunan
Ngaguratan langit mh ngarupi katumbiri uumpakan,
Palipur nu ngempur.
Nanging geuning,
Wanci teras ngagulidag lir walungan,
Ngocor kana sorot soca anjeun, beuki lami, beuki
Nambihan gumuruh, nambihanseukeut, sangkan janten
jamparing Sri Rama nu tingbelesat tina gondewa kakeueung.
Manahan ieu hat supados ngajelegur jiga kembang api
Lajeng tiwas taya tilas, ngeprul sarupa kebul.
Prambanan, Mi 12
129
S Se el l a am ma at t U Ul l a an ng g T Ta ah hu un n! !
Diba Prajamitha A.
Cicak-cicak saling berbisik pada dinding langit sunyi
Nyamuk pekerja terus bersenandung dalam nyenyaknya tidur
Ada yang memohon terhenti pada dua belas kali loceng berbunyi
Ada yang terbangun tepat sebelum hari berganti pagi
Ada detik-detik lengang berbaris mengumpulkan suara
Ada bisu yang malu-malu berjejer membagikan doa
Tiga buah lilin kecil menerangi mimpi yang selalu terjaga
Sepotong kue rasa cokelat menjadi saksi atas manisnya bertambah usia
Ada detik-detik lengang berbaris mengumpulkan suara
Ada bisu yang malu-malu berjejer membagikan doa
Sayup-sayup dinding menyanyikan lagu ulang tahun
Memantulkan kebahagiaan dari wajah-wajah yang tersenyum
Semoga ksatria berkuda putih datang tepat waktu
Membumikan harapanmu,
Menyatukan puing-puing sisa dari sedetik yang telah berlalu
Berharap, berusaha, berdoa
Selamat ulang tahun, semoga bahagia jadi harimu!
130
M ME ER RA AJ J U UT T E ES SO OK K
Dwi Agustian
Mentari cerah menyambut pagi
Memancarkan kilauan hati
Langit biru membahana
Awan putih yang berbaris beriringan
Semoga mentari cerah pun menyinari indahnya kota jogja
Hidup adalah realita
Mengalah pada takdir yang Kuasa
Tetap tunduk dan mensyukuri nikmat
Semuanya akan menjadi indah kelak
Memintal kasih
Merajut keimanan
Merenda hari esok
Membangun pengharapanhidup.
131
K Kr r a at to on n
Kiki Amelia
Bangunan yang begitu megah
Berdiri sangat megah
Menyimpan sejuta sejarah
Abdi-abdi dalem yang ramah
Seolah menarik tangan
Menggugah hati untuk menjamah
Tempat berteduhpara sultah
Menunjukan simbol kebangsawanan
Dinding-dinding yang dipenuhi kenangan
Tak terlepas dari pandangan
Menarik para wisatawan
Mengetahui akan rahasia dibalik bangunan
132
P PA AN NA AS S
Mayma AmaliaDewi
Mendayuh kaki di siang hari
Tak sedikit pun aku mengalahkan matahari
Tetap meraja walau peluh telah menari
Sungguh panas bola cahaya yang menghampiri diri
Bisikan berita membuat panasnya mendahsyat
Hatiku dan panasnya udara serasa merekat
Tak satu pun hati berani mendekat
Karna takut akan ku sikat
133
R RE EM MA AN NG G M MA AL LA AM MM MA AL LI IO OB BO OR RO O
Muhammad Sidik
Sepenggal bulan menghadap tiga bintang berdiskusi tentang lara
Bercerita tentang arti cinta dan duka
Ketika tiada lagi makna yang tertangkap percaya,
ketika setia hanya menyisakan kata
tiga bintangpun pergi acuh meninggalkan bulan yang lebih dulu
ditinggal belahannya
bertengger setengah diri mengintip malu remang malioboro dibalik
kumulus tipis
kau masih saja tetap ramai dalam remang malammu teriaknya
sepasang remaja disudut lain bercumbu rayu diatas becak pembawa
misi toko tetangga
kumpulan manusia bahagia bersama dua malaikat surga bercanda
diatas tikar pelataran halamanmu
meski remang dan malam semakin tua kau tetap dicinta kau tetap
dimanja
mendengar kisah duka pemuda lara, hingga pedagang renta
menjadi simbol berharga dua cinta bertautan mesra
hingga akhirnya harus kurela,
remangmu dari kejauhanku menyisakan sejumut cemburu tak berupa
pada setiap lekuk muka yang jarang tercengkrama.
134
C CE ER RI IT TA A D DA AR RI I Z ZE EB BR RA A- -C CR RO OS SS S
Neneng
Sungguh, aku melihatnya!!
Ditempat aku berada saat ini
Dimana aku berpijak
Pada tanah yang tak bergeming
Dengan langit sebening hati
para nestapa yang mengharapkembali ke pelukan Tuhan,
Yang kulihat kelam didalamnya
Ketika tawa itu ada
Karena lelucon tak terdengar
Tentang bangsaku
Bangsa tawa dalam tangis
dan tentang tanah air yang entah siapa yang menemukan
135
S SE ET TU UM MP PU UK K B BA AT TU U
Nurul Fauziyyah
Terik matahari siang
Menemaniku, mengunjungimu.
Kau masih sama
Seperti satu tahun yang lalu
Tetap diam membisu
Tetap menjulang tinggi
Hingga terkesan angkuh.
Tapi,
Itulah kau
Dengan sejuta misteri di dalammu
Meski hanya setumpuk batu
136
D DI I B BA AW WA AH H S SA AY YI ID DA AN N
Silvina Nugrahawati
Jembatan Sayidan menjadi saksi
Dulu kita pernah berjanji
Meraung asa pada ikrar setia
Jalan bersama meraih suka
Tapi suka tak lagi ada
Ketika kehancuran kian melanda
Kini, bening-bening sukma
Tak seindah serial drama
Jembatan sayidan menjadi saksi
Kini aku tak lagi suci
Kau kotori tiada henti
Hingga ku kehilangan jati diri
Aku tetap gemericik
Seperti halnya aku berbisik
Kepada sayidan
Dalam rindang kegelapan
Mei, 2012
137
J J A AL LA AN N T TA AK K B BE ER RU UJ J U UN NG G
Yusanti
Berjalan terus menelusuri angin disetiap detik-detik waktu
Melangkah menjajaki setiap sisi jalan dalanm lorong waktu
Hingga sang mentari berganti dengan sang raja malam
Disetiap sudut jalan pun mulai terlihat kelam
Tanpa cahaya dan tanpa jejak yang merata
Hingga semuanya hampir tak bisa terjaga
Ku terus berjalan menelusuri lorong waktu
Tanpa tau dimana ujung perjalananku
Bintang-bintangpun bersinar seakan ingin menerangi jalanku
Hembusan angin pun mulai menusuk tulang-tulangku
Langkah kaki ini terus menajajaki setiap jalan tanpa tau dimanakah
ujung perjalanan ini
138
M MA AL LI IO OB BO OR RO O
Iman Imanul Hakim
Tua, berbudaya dan bersahaja
Dia terlukis oleh seni
Diterangi lampu tua
Tak pernah sunyi dan sepi
Membuat harum nama raja
Dari citra budaya kita
Adakah cinta dari sang raja
Pada budaya bangsa kita
139
S SA AN NG G D DE EW WI I S SH HI IN NT TA A
Mariah Nuraeni
Kisahmu adalah roman setangkai bunga
Kisah yang tak berubah alurnya
Tentang benih dan tunas yang bersemi
Tentang kerajaan yang bersemi
Kisahmu melegenda
Kisah yang terselip dalam fiksi catatanku
140
R RI IN ND DU U, , E EL LE EG GI I D DA AN N K KA AU U
Nurliana Rachmawati
rindu itu seperti hujan
menebar bau basa di tanah kering
cepat meresap dan meninggalkan basah
tetapi menumbuhkan rindangnya pepohonan
menciptakan kesejukkan
hujan dan pelangi adalah satu paket kehidupan
hujan datang bersama badai
mengoyak elegi
yang mengalun indah dari riuhnya suara dedaunan
membuat patah pijar-pijar kehidupan yang hendak membumbung
tinggi menjulang
hingga kemudian hujan menjelma pelangi
merias angkasa menjadi warna warni
menorehkan rona merah pada awan dan bias air di dedaunan yang
terjatuh
abu-abu adalah elegi hujan
seperti rona merah kala senja
nikmati saja alunannya
biarkan rasamu tenggelam dalam alunan kehidupan
menari ditengah nada-nada minor perasaan
hingga kau menutup mata dan memimpikan ia yang kau rindu
melepas malam bersama ia yang kau mau
dalam asa mimpimu
141
D DI I D DA AL LA AM MS SO OB BE EK KA AN N W WA AK KT TU U
Dinar Saefulloh Akbar
Entah bagaimana angin mengabarkannya
Tapi aku yakin kau tahu
Aku menuliskanmu dalam puisi-puisi
Saat halilintar menyambar sepi
Bersama angin yang berbisik
Aku berlagu bersama rindu
Di kegelapan aku cerna kata jadi cahaya
Yang lama melelehkan segenaphati
Aku menulis di dalam sobekan waktu
Aku berjalan di antara ingatan lalu
142
B BA AT TU U K KE ES SA AK KI IT TA AN N
Dini Tri Handayani
Coba kau tengok sekitarmu
Matahari saja terpenggal tak berdaya
Kagumi bebatuan di depanmu, belakangmu
Sisi kirimu sisi kananmu
Bagaimana bisa?
Bayanganmupun mengalahkan peristiwa itu
Dahulu temui para pundak kesakitan
O Tulang-tulang yang rapuh
Kau sanggup mengabadikannya
Menjamah batuan keras nan megah
Penuh makna dan tinggalkan keagungan peradaban
143
P PE EN NC CA AR RI IA AN N S SE EJ J A AT TI I
Fadhilah Juwita Lestari
Lelah aku bertumpu pada sumbu tanpa pilinan
Kapas-kapas putih semakin menggunung berdesakan
Di atas bahu tanpa alas
Merenung yang tak kunjung bertemu ujung
Membuat penantian yang tak pasti tentang sejati
Yang sesungguhnya telah terpatri jauh di dalam sanubari
Namun pengembaraan panjang dalam pencarian Sang hakiki
Membuat kegigihan terkadang
Berlutut kelelahan
Ia tahu takkan pernah ada ujung
Tapi sang ujung aka tetap dijunjung
Meski tak berpenghujung
Selalu berharap demikian
Meski tak tahu berapa yang kesekian
144
B BA AY YA AN NG G K KE ES SE ED DI IH HA AN N
Faisal Amir Malik I.
Hening yang mencekam
Kau tepat berdiri didepanku
Kau lemparkan tatapan tajam
Bayangbayang kosong tercermin dalam raut wajahmu
Tetesan air mata membawa pilu
Kebisuan dirimu mengutarakan akan harapan-harapan pada
anakmu
Sungguh malang anaku
Miris akan kekosonganku
Ayahmu yang kau peruntukan
Hanya bisa mengisi kekosongan tak tentu
Isi batinmu
HAMBAR
Teriaku.
Ku panggil namamu(ibu)
Tiga langkah jarak kau dan aku
Nampak buram
Gerlap gerlap kesedihan
Tercucur dalam senyumu
Kini.
Hidup dalam dua sisi
Hilang akan interaksi
145
W Wa ah ha ai i P Pe en na ak ku u
Isye Mustika
Seluruh kata ku tulis
Kusimpan dalam butir-butir bait
Terungkap dengan jiwa dan sepenuh hati
Disertai nafas yang seakn terhenti
Keindahan. Kekaguman
Ku taburkan tanpa kata tiada bersuara
Canda tawa
Ku daki dengan menutuo mata
Wahai penaku
Kau menjadi teman setiaku
Menyimpan seuntai rasa dihatiku
Tiada pernah lelah memeluk tanganku
Meski kau hanya diam membisu
Jangan pernah pergi dari gengagamanku
Wahai penaku
Tanpa dirimutiada yang bisa mengerti aku
Engakulah penawar sepiku
146
S Se et te en ng ga ah h j j i iw wa a m me en ng gh ha am mb ba ak ka an n a ap pa a
Moh. Fauzan Rahman
Setiap hentakan nadi bermuruh didepan wajah lusuh
Sesaat dan mungkin selamanya, nada yang seakan sama berbunyi
seirama
Dihamparan bisingnya orang-orang dan teriknya sang penerang
Dia berjalan, memangku harap bagi sebongkah karat yang belum
berbentuk apa
Padahal, di dalam sana gundukan emas berserakan bak debu
Terjaga tanpa pengawasan dan kekal dalam setiap pandangan.
Jelas tertancap wajah lusuh dan kumuhnya jiwa yang terseok-
seok kebusukan
Apa yang mesti dicarikanbagi wong cilik tak beretika ?
Mungkin itukah gumamnya sang penabuh megahnya istana
Bolehkah ku mintakan seteguk air untuk baluri jiwa kering biar hanya
untuk sejam saja?
Ternyata itu hanya mempetakan aku yang seakan serupa orang
berbalutkan keringat
Dihadapan mereka, semua yang bermuara hanya sanggul dan sarung
sutera petanda jiwa unggul
Megah dihadapan pemuka jiwa baru.
Siapa yang lebih utama dalam pandangan awam manusia kusut seperti
kita?
Semua senada dan seirama mengarungi waktu tak terbatas akal dan
nuraninya.
Lantas mengapakah mereka merengek ditengah megahnya dunia
kedigjayaan yang telah lama usai?
147
S SE EP PE ER RT TI I K KI IS SA AH H R RA AM MA A S SH HI IN NT TA A
Nurul Ainal Khomsah
Desiran angin menyibak wajahku yang kusut
Tak membuatku mendayuh larut
Menerawang melewati imaji-imaji burut
Perjalanan pun tak kunjung mengkrucut
Ku terpaku dalam duka penuh parut
Dalam hari penuh kabut
Gundahku semakin semeraut
Mengapa hanya aku yang tersudut
Melawan hidup yang carut-marut
Akankah tawa renyah dan senyuman manis hadir kembali
tenggelamkan kalut?
Ahh.. itu hanya sebuah asa yang tak patut
Andai aku seperti Sintha dalam penantiannya tak kunjung surut
Dan kesetiaan Rama membuatku salut
Mungkin saat in aku akan menyambut
Pilihan hatiku yang dulu tertaut
148
G GE EL LA AN NG GG GA AN NG G C CI IT TR RA A D DI I M MA AL LA AM M
J J O OG GJ J A AK KA AR RT TA A
Arief Maulana
Gelanggang citra di malam Jogjakarta;
Arena rindu yang berhembus dari puncak menara;
Saat ketika cinta menyakiti diri ia sendiri;
Saat ketika gelap mencakar aroma surga.
Sunyi bernyanyi pulang dan kemudian pergi;
Menelanjangi indah pelita dalam selimut hitam;
Nyata gulita persembahan awan-awan kelam;
Hingga binar rembulan pun tak jua aku pandang.
Mengapa engkaunampak teramat semu?
Sedangkan aku terasa begitu nyata;
Kala engkauterduduk di atas rangkulan hangat kesepian;
Kala dikaubersenandung sendu di satu malam Jogjakarta.
149
A AB BD DI I D DA AL LA AM M
Ineu Sri Wahyuni
Dalam jejak
Berjalan setiap tetes penak
Ada saat yang terasa
Ada waktu yang mendera
Dalam damai
Irama dunia mendawai
Walau bayang
Tiada untuk datang
Batas peristiwa
Bayang realita dunia
Tersungkur kesekian lama
Akan mereka terus bertanya
Daun yang berguguran
Berirama nada gamelan
Tuan duduk di pelataran
Muka tuan tiada nian
Bapak telah berkata
Bukan kita tak bertuhan
Namun kita berpendirian
Yang berbeda dengan tuan
Tuan duduk
Kita hanya menunduk
Tuan berkata
Kita tiada terpaksa melaksana
C C e e r r p p e e n n
153
U UA AN NG G 5 50 00 00 0
Ineu Sri Wahyuni
Anak dalam pelukan Yuni belum diam. Yuni berusaha menenang-
kannya, tangis anak itu semakin keras. Yuni mulai kewalahan untuk
membujuknya.
Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang. Bujuk Yuni sambil
menimang-nimang dalam pelukannya.
Mungkin dia lapar, Yuni.
iya, Mbak.
Tadi anakmu sudah makan belum ?
Belum.
Kalau begitu cepat kasih dia makan.
Yuni tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang
sejak kemarin belum makan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan
hidupnya.
Kok malah senyam-senyum. Anak sedang rewel kok dibiarkan.
Hmmm, Mbak. Saya belum masak hari ini. Jawab Yuni dengan suara
tercekat. Kening Yarmin berlipat seketika. Matanya menatap jam
dinding yang sedangbergerak menunju angka sepuluh.
Sampai siang begini belum masak? Kenapa?
Emmmm Yuni agak canggung meneruskan kalimatnya. Beras kami
habis, mba Yarmin mulai menanggapinya. Yuni, sudah dianggap
sebagai adiknya. Nasibnya dengan Yuni tidak jauh berbeda. Hanya saja
Yarmin belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima
tahun.
Kalau habis, kenapa tidak beli Yun? Pancing Yarmin.
Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi kami sedang tidak punya uang.
Wajah Yuni menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah
menjadi teman dalam kesehariannya. Yuni tahu, tak ada gunanya
154
berpura-pura di depan Yarmin. Wanita itu tahu persis bagaimana
kehidupannya. Hanya saja Yuni tidak enak hati kalau dengan
keterusterangannya membuat Yarmin iba dan ikut bingung mencari
jalan keluarnya. Walau bagaimanapun Yuni juga menyadari kalau nasib
Yarmin juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari
kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Yogyakarta. Hanya
saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.
Kami menunggu Bapaknya Arman pulang. Ucapnya lirih. Tangan
kusamnya mengelus kening Arman, anak semata wayangnya yang telah
tenang. Sebenarnya Yuni tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan
suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat.
Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan
becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air
putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat
bubur untuk anaknya. Dan hari ini Yuni benar-benar tidak memiliki
apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Yuni dan suaminya
memilih mengalah. Air gula yang ada, mereka berikan untuk Arman.
Yuni. Sapa Yarmin lembut. Kamu tidak biasa hutang?
Yuni menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya
agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa
mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan
untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah
prinsip yang ditekankan suaminya.
Yarmin terlihat sedih. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya.
Apalagi saat matanya menatap Arman yang telah tidur pulas dalam
gendongan Yuni. Arman begitu pucat. Wajahnya pucat dengan perut
yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin.
Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening
tenggelam dalam angan masing-masing.
Aku ada uang lima ribu. Yarmin menyodorkan selembar lima ribuan
kepada Yuni. Pakailah.
Yuni terkejut. Ia pandangi wajah Yarmin dan uang yang berada di
tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga
sedang membutuhkan uang. Suami Yarmin baru saja sakit. Pasti belum
155
bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan
pesan suaminya.
Jangan, Mbak. Pasti Mbak Yarmin juga membutuhkannya. Insya Allah
saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Arman pulang.
Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan
Arman? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Yuni. Kalau sampai itu
terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu
kapan suamimu pulang.
Yuni mendesah. Ibu mana yang tega melihat anaknya sampai
kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Arman.
Ditatapnya wajah Arman yang begitu tenang. Sebutir cairan bening
mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.
Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Yarmin?
Tenang Yuni. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin
juga sudah sembuh. Insya Alah besok sudah bisa narik lagi. Jawaban
Yarmin tidak membuat Yuni lega. Tapi Yuni benar-benar tidak punya
pilihan saat itu.
Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Arman dapat uang akan
segera ku kembalikan.
Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung
kalau aku tidak segera pulang.
Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.
* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap
jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu memberikan harapan
bagi Yuni dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup
bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang di
bawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas.
Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat
untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti.
156
Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar, bergerak
menggelinding.meski perlahan.
Assalamualaikum. Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu
triplek.
Waalaikumsalam. Yuni segera menyambut dan mencium tangan
suaminya.
Yuni menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak
enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
Maafkan aku, ya. Suara Yanto tedengar berat. Ternyata hari ini pun
aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.
Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Yuni tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan
suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan
sekaligus ruang tidur.
Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu. Ajak
Yuni lembut sambil membukatudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya.
Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan
beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang
kakinya telah lapuk.
Dari mana semua makanan ini, Yun? Tanya yanto dengan suara
gagap. Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin kan belum
makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.
Tangan Yuni telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan
cekatan, Yuni menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di
atasnya.
Tapi semua ini dari mana, Yuni? Tanya Yanto sekali lagi.
Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring.
Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Yuni
bercerita.
157
Mas, tadi Mbak Yarmin sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.
Yuni diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Terlihat mengalirlah kisah
hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat
tersaji di meja makan mereka.
Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Yuni menuangkan air putih ke gelas plastik
yang di dekatnya. Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak
kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap
terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela
menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat
yang dialaminya sebelum pulang ke rumah. Rasa nikmat yang baru
didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak
lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan
lidahnya saat ini.
Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Yarmin? Jelas terdengar
suara Yanto begitu berat.
Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Yarmin memaksa. Ia tidak
tega melihat Arman, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Arman
jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh
uang lebih banyak untuk mengobati Arman. Akhirnya aku pun
menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak
suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan. Ada rasa bersalah
dalam nada bicara Yuni. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera
untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.
Yuni, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin. Tak
kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Yarmin yang
meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci. Yanto diam
sejenak. Mengatur nafas yang semakin tidak teratur. Aku semakin
tidak tega saat melihat Mbak Yarmin diomeli pemilik warung ketika
akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Yuni? Yanto
berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.
Mas Yanto mau kemana?
158
Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Yarmin. Yanto
melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Yuni terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh
keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu
mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut
matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makanannya. Tak ada cara lain,
Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Yarmin.
Mbak Yarmin, maafkan aku. Ucap Yuni hampir tak terdengar.
* * *
159
S SA AP PU U T TA AN NG GA AN N M ME ER RA AH H M MU UD DA A D DI I B BI IS S Y YO OG GY YA A
Dani Krisdiana
Sedikit tergesa-gesa Bayu memasuki bis. Langkahnya lebar-lebar
menuju pojok kursi bis yang besar itu. Dengan ransel besar dan
sebungkus rokok di tangannya dia membenahi kursi duduknya. Bis
akan berangkat 15 menit lagi. Terdengar kerumunan orang lain
berjalan memasuki bis yang hampir terisi penuh itu.
Sejenak matanya menatap seisi bis. Ransel biru-hitam miliknya
diletakkan di samping kursinya. Bayu memejamkan matanya dan mulai
memasang earphone, memutar lagu Yogyakarta milik Kla Project. Lagu
penuh kenangan akan seseorang yang pernah dia cintai. Sampai saat
ini, tepatnya. Namun, Bayu harus rela mengubur cintanya karena sang
gadis, Nunik, minggu depan akan menikah dengan lelaki lain. Padahal,
Bayu merasa hubungannya dengan Nunik belum berakhir.
Nunik. Mereka bertemu di bangku sekolah SMA. Kedekatan itu
berlanjut hinga hari-harinya sebagai pelajar berlangsung. Bayu
menyatakan cintanya kepada Nunik dan si gadis menyambut dengan
suka cita. Hari-hari indahnya pun dimulai, duka, prahara dan
kebahagiaan mereka jalani bersama. Selepas mereka lulus SMA, mereka
melanjutkan kuliah di Universitas yang sama di Yogyakarta untuk
menggapai mimpi yang mereka idam-idamkan dari dulu. Mimpi yang
bisa memberikan kebahagiaan untuk mereka bagikan kembali pada
orang-orang yang mereka cintai.
Kisah itu telah bermula sejak enam tahun lalu. Setelah mereka lulus
kuliah, liba bulan lalu, Nunik mendapat pekerjaan di sebuah
perusahaan swasta di Surabaya. Dia sangat mendukung apa pun yang
baik untuk Nunik. Aku terima pekerjaan ini untuk kita berdua, Bayu,
ucap Nunik dalam hati. Sementara itu, Bayu yang menyukai dunia
jurnalistik memilih untuk bekerja sebagai wartawan pada sebuah surat
kabar di Bandung.
Awalnya Bayu percaya cinta mereka begitu kuat hingga jarak tak akan
sanggup menjauhkan hati Nunik darinya, dia merasa perasaan mereka
160
sudah menyatu dan mungkin tak kan pernah bisa terpisahkan. Tetapi,
mungkin dia terlalu yakin. Seiring berjalannya waktu, setiap orang bisa
berubah. Nunik rupanya tidak cukup kuat. Gadis itu menukar cinta
tulus Bayu sejak enam tahun lamanya dengan masa depan yang
ditawarkan manajer di perusahaan tempatnya bekerja yang baru
dikenalnya lima bulan belakangan.
Dua bulan yang lalu, mereka bertemu di Bandung. Kebetulan mereka
berdua libur dan meluangkan waktu untuk bisa bertemu di sana. Kala
itu, tak seperti biasa, Nunik lebih banyak diam. Tak banyak kata-kata
yang terlontar dari bibir manisnya. Sesekali dia meminta maaf kepada
Bayu. Kata maaf yang Bayu tak tahu sebabnya. Bayu baru
mengetahuinya ketika dua minggu lalu Nunik meneleponnya. Dia
mengatakan kalau hubungan mereka harus berakhir. Dia merasa kalau
dengan keadaan sekarang dia tak mungkin lagi bisa hidup bahagia
bersama Bayu, dan lebih memilih orang lain yang bisa menjamin
kebahagiaannya kelak, yakni atasan di tempat dia bekerja.
Bayu seketika luluh, hatinya roboh. Cintanya yang selalu ia jaga kini
meninggalkannya. Dia sudah tidak bisa lagi mengejar cintanya. Hari ini
dia memutuskan lari ke Yogya, kota yang banyak meninggalkan
kenangan tentang Nunik. Ketika masih bersama, dia dan Nunik sering
menghabiskan masa libur kuliah di kota itu. Jalan-jalan di Malioboro,
nongkrong di angkringan, menikmati kota Yogya saat malam diiringi
musisi jalanan.
Permisi Mas, tasnya, seorang gadis berambut ikal kecokelatan muncul
di sebelahnya sambil menunjuk ransel Bayu. Tanpa tersenyum, Bayu
memindahkan ranselnya ke bawah. Gadis itu duduk di sebelah Bayu.
Dia beberapa kali menoleh ke arah Bayu. Ke Yogya mau pulang atau
liburan, Mas? sapanya ramah.
Jalan-jalan, jawab Bayu singkat. Oh, Mas orang Bandung asli berarti
ya? Kuliah di sini atau di Yogya? tanya gadis itu lagi. Udah lulus, Bayu
tetap pelit kata-kata. Wah, udah lulus? Dari kampus mana? Aku lagi
nyari tempat kuliah yang bagus di Bandung, Mas. Lagi survei nih.
Sebenarnya, aku lulus SMA tahun lalu. Cuma, nggak langsung kuliah.
Aku pengin di Bandung. Mungkin Mas bisa kasih referensi kampus
161
bagus. Oh iya, Mas namanya siapa? Gadis itu bertanya. Pupil mata
bundarnya membesar saking antusias.
Bayu menatapnya sebentar, lalu tersenyum dan mengulurkan tangan.
Bayu. Kamu? Lana, ucap gadis itu tersenyum. Bayu jadi tahu bahwa
gadis itu punya lesung pipit ketika tersenyum. Kamu mau ambil
jurusan apa? Nanti aku kasih masukan kampus mana yang sesuai sama
jurusan pilihanmu, Bayu yang memang sudah mengenal kota Bandung
berusaha membantu Lana.
Tanpa disadari, obrolan mereka berlanjut ke banyak hal. Cita-cita, hobi,
kota Yogya, film, musik, dan banyak lainnya. Mereka sama-sama suka
nonton FTV, sama-sama punya album Kla Project, sama-sama suka
makanan pedas, sama-sama takut tokek, dan banyak lagi. Ami tipe gadis
periang. Dia tidak pernah melepaskan senyum ketika berbicara.
Mengobrol bersama Ami membuat Bayu mengakhiri puasa bicaranya
sejak dapat telepon dari Nunik kemarin.
Tanpa sadar, Bayu menceritakan alasan sebenarnya kenapa dia
mendadak ingin ke Yogya. Bayu bercerita tentang Nunik, tentang masa-
masa indah mereka selama enam tahun, tentang hatinya yang remuk,
tentang semua. Ami mendengarkan dengan penuh perhatian. Jadi,
Mbak Nunik itu pinter nyanyi ya? Orangnya lembut banget ya? He he
he, komentar Lana.
Bayu ikut tersenyum. Mas Bayu berapa lama nanti di Yogya? Kalo
perlu ditemenin atau dianter ke mana gitu, bilang aja. Aku sering
nganggur kok. Nanti kita naik Trans Yogya aja, keliling kota Yogya
seharian. Aku khawatir kalo Mas Bayu sendirian, malah stress terus
tiba-tiba aku baca ceritanya Mas Bayu di koran kriminal. He he,
candaan Ami membuat Bayu ikut tertawa.
Patah hati memang sakit rasanya. Apalagi udah enam tahun kaya Mas
Bayu. Belum putus, malah ditinggal nikah. Tapi, daripada menyesali
keadaan, sakit hati atau depresi, mending bersyukur aja, Mas.
Ditunjukin kalau Mbak Nunik bukan jodoh Mas Bayu. Eh, siapa tahu
nanti pas di Yogya, Mas Bayu ketemu orang baru yang bisa jadi jodoh.
Kayak cerita-cerita di FTV itu, lagi-lagi Ami tersenyum memamerkan
lesung pipitnya.
162
Iya Lana. Makasih nasihatnya. Oh iya, aku ada sapu tangan. Buat kamu
aja, kata Bayu sambil membuka ranselnya. Dia mengambil sapu tangan
biru dari dalam tas, lalu menyerahkannya kepada Lana. Sapu tangan itu
milik Nunik. Wah, bagus banget. Ini pasti punya Mbak Nunik. Nggak
apa-apa deh, biar Mas Bayu nggak keinget terus sama dia. Makasih ya,
Mas, ucap Lana.
Dik, bangun. Udah sampai di Yogya, suara seorang ibu sambil
menepuk bahu Bayu. Bayu mengucek mata. Earphonemasih melekat di
kupingnya memutar lagu-lagu Kla Project. Dia langsung terkesiap.
Ranselnya ada di bangku sebelahnya. Tak ada Ami di situ. Ibu, cewek
yang duduk di sebelah saya ke mana? Sudah turun duluan ya? tanya
Bayu kepada ibu di depannya. Cewek yang mana, Mas? Saya duduk di
sini sejak dari Bandung. Di sebelah Mas ya ditempati tas itu. Mas mimpi
mungkin, jawab si ibu sambil merapikan barang-barangnya, lalu
beranjak turun.
Bayu masih berusaha mengingat-ingat. Dia merasa perkenalannya
dengan Ami bukan mimpi. Bayu teringat sesuatu. Dia membuka ransel.
Sapu tangan merah muda yang tadinya ada di tumpukan paling atas
baju-bajunya sudah tak ada. Aku yakin itu bukan mimpi. Sapu
tangannya sudah aku kasih ke Lana, gumamnya. Dia lalu mengikuti
langkah orang-orang yang turun dari Bis. Bayu berjalan pelan sambil
mencerna apa yang baru saja dia alami. Dia menyesal tidak sempat
mencatat nomor ponsel Lana.
Tiba-tiba dia melihat seseorang yang duduk di bangku terminal. Gadis
berambut ikal kecokelatan. Mengenakan jins dan cardigan biru muda.
Yang menarik perhatian adalah sapu tangan biru yang dia pegang. Bayu
mengenali sapu tangan itu. Dia berjalan mendekat ke arah si gadis.
Kamu kok turun duluan, nggak bangunin aku tadi di Bis? kata Bayu.
Gadis itu menoleh, lalu memandang Bayu dengan tatapan bingung.
Mas ini siapa? Mungkin salah orang. Saya lagi nunggu Bis, jawab si
gadis. Kamu mau kuliah di Bandung? Mau survei kampus kan?
berondong Bayu. Iya, tapi Mas tahu dari mana? gadis itu makin
bingung.
163
Sapu tangan itu punyamu? Bayu bertanya lagi. Entah. Tiba-tiba
nyangkut di bangku ini. Karena warnanya sama kaya cardigan saya,
saya pakai deh. Sapu tangan ini punya Mas? Ini saya kembalikan, gadis
itu tersenyum.
Bukan. Sapu tangan ini sudah jadi milik kamu. Namamu Ami kan?
tanya Bayu. Gadis itu makin terkejut. Emm... maaf, mungkin aku lupa
pernah kenal sama Mas, ucapnya. Kamu jangan ke Surabaya sekarang.
Kamu harus temani aku jalan-jalan naik Trans Yogya dulu. Minggu
depan kita ke Bandung bareng. Yuuk, sambar Bayu sambil menarik
tangan Lana.
164
P PE EN NA AN NT TI IA AN N
Lulu Mar Atun Shalihah
Ryana masih diam membisu di salah satu sudut jalan, berharap
menanti seseorang yang sudah lama tak ia jumpai. Sambil terus
memandangi jam tangannya, Ryana terlihat sangat resah. Ia menunggu
Cipto kekasihnya, yang sudah empat tahun tak ia ketahui kabarnya.
Hari itu, Malioboro empat tahun yang lalu. Semula tak ada tegur sapa,
hanya bisik hati yang saling menyapa. Pertemuan singkat di sebuah
toko cindera mata khas Yogyakarta. Ryana yang jatuh hati saat
pandangan pertama tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.
Begitu pun Cipto, ia tak bisa menahan matanya untuk terus
memandangi wajah manis Ryana. Hati mereka diliputi perasaan yang
tak biasa saat pertama bertemu, setetes embun seakan-akan
membasahi hati mereka, dan cess... pandangan pertama membuat hati
mereka berbunga-bunga.
Cipto tak kuat menahan dirinya untuk tidak mengetahui siapa gadis
manis yang telah membuat hatinya tak karuan. Ia pun mencari cara
untuk dapat berkenalan dengannya. Sejurus kemudian, Cipto
mendekati Ryana yang sedang duduk melihat-lihat kerajinan tangan
khas Yogyakarta yang terbuat dari kayu. Dengan tiba-tiba Cipto
melontarkan sebuah pertanyaan pada Ryana.
Permisi Mba, boleh tanya? tanya Cipto tiba-tiba.
Emm... Iya, ada apa Mas? Ryana menyahut sedikit kaget.
Punya palu Mba?
Mmmmaksudnya? Palu?
Belum sempat Ryana menyelesaikan kallimatnya, Cipto memotong,
Iya palu
Oohh.. maaf gak punya Mas
Oohh.. tapi kalau nomor telepon punya kan?
165
Ryana tersenyum geli mendengar pertanyaan terakhir.
Nama saya Cipto, saya asli Yogya Mba.
Ryana kaget mendengar keberanian Cipto memperkenalkan dirinya
sesingkat ini, Ryana pun tak bisa menahan rona bahagia yang terpancar
di wajahnya. Ia hanya tersenyum membalas sapaan perkenalan Cipto.
Lho kok cuman senyum-senyum aja Mba?
Ryana pun membalas jabat tangan Cipto sambil menyebutkan
namanya.
Ryana, ia membalas singkat.
Oohh.. Mba Ryana toh namanya, pantesan manis banget orangnya
Emang hubungannya nama Ryana sama manisnya wajah apa?
Gak ada hubungannya sih Mba, cuman... kaitan nama Ryana sama
wajah Mba yang ayu pas aja gitu
Ah Mas... eemm...
Cipto Mba... Cipto memotong.
Oohh.. iya, Mas Cipto bisa aja
Dari Bandung ya Mba?
Iya
Orang Bandung manis-manis kayak Mba, tapi Mba yang paling manis
deh
Mas Cipto gombal terus dari tadi
Saya ga gombal Mba, seriusan...
Maaf Mas, saya harus cepet balik ke hotel sekarang. Udah larut malem
nih
Oohh silahkan Mba. Hati-hati di jalan ya!!! Semoga besok kita masih
bisa ketemu
Ryana menoleh dan tersenyum pada Cipto sambil berlalu.
Saya berharap seperti itu juga Ryana menjawab dalam hati.
166
Keesokan harinya, tanpa sengaja Ryana dan Cipto bertemu. Kini tak ada
bisik hati yang menyeruak, tak ada lagi malu yang menyelimuti.
Keduanya sibuk dengan obrolan-obrolan hangat sambil bertukar
pikiran mengenai pengalaman masing-masing. Ryana bercerita maksud
kedatangannya ke kota gudeg ini. Ia sedang melakukan penelitian
terhadap beberapa tempat wisata di kota ini. Begitu pun Cipto, ia
menceritakan panjang lebar mengenai dirinya. Cipto adalah salah satu
mahasiswa di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Dan dengan
penuh semangat, Cipto menceritakan semua hal yang berkaitan dengan
Yogyakarta pada Ryana. Entah rasa apa yang hinggap di hati keduanya,
keduanya pun diliputi rasa yang berbeda yang tak pernah dirasakan
sebelumnya. Keduanya hanyut dalam sebuah rasa yang hanya dapat
dirasakan oleh mereka berdua.
Sedikit banyak Cipto banyak membantu Ryana dalam melakukan
penelitiannya, sehingga selama di kota gudeg ini Ryana banyak
menghabiskan waktunya bersama Cipto. Rasa aneh yang hinggap
semenjak pertemuan pertama pun semakin aneh dirasa oleh keduanya.
Satu pekan sudah Ryana melakukan penelitian di kota gudeg ini, besok
ia harus kembali ke Bandung, kota asalnya. Sangat berat ia rasa ketika
harus berpisah dengan Cipto, sehingga ia berniat untuk mengajak Cipto
makan malam di malam terakhirnya berada di Yogyakarta, sebagai
tanda perpisahan.
Ryana memilih restoran yang menyediakan makanan khas Yogya yang
ia pilih sebagai tempat makan malamnya bersama Cipto. Selain ia ingin
tahu banyak juga mengenai kuliner Yogyakarta, Ryana rasa suasana
Yogyakarta di restoran itu sangat kental sehingga bisa membuat Cipto
lebih bersemangat lagi menceritakan semua hal tentang Yogya.
Pukul 19.24 WIB mereka tiba di restoran. Keduanya asyik berdiskusi
mengenai kuliner khas Yogyakarta, sampai-sampai sambutan hangat
para pelayan restoran pun tak lagi mereka hiraukan. Setelah memesan
beberapa makanan dan minuman, mereka asyik kembali larut dalam
obrolan-obrolan hangat khas dua insyan yang sedang dimabuk asmara.
Di tengah asyiknya percakapan, Ryana terkejut dengan pertanyaan
Cipto yang menanyakan isi hati Ryana terhadapnya.
167
Dek, kalau boleh jujur, sejak pertemuan pertama aku sudah merasakan
hal yang berbeda di hati ketika melihatmu, apakah kamu merasakan hal
yang sama? Melihat matamu, aku merasa bahwa apa yang aku rasa
tidak jauh berbeda dengan apa yang Adek rasa.
Tidak ada panggilan Mba Ryana lagi kali ini, kini panggilan Adek yang
Cipto ucap menandakan ada hubungan yang berbeda di antara
keduanya.
Ryana pun tetap diam membisu, lidahnya kelu untuk berucap meskipun
satu kata. Dan Cipto merasa tidak nyaman dengan keadaan Ryana yang
terus diam membisu. Ia pun berusaha mencairkan suasana dengan
mengalihkan pembicaraan.
Ya sudah... jangan dianggap aja Mba omongan yang tadi, anggap aja
angin lalu. Oohh iya, rencananya besok pulang ke Bandung mau jam
berapa? Cipto berusaha mencairkan suasana.
Aku pun punya perasaan yang sama seperti Mas Cipto, hanya saja aku
takut Mas, dengan sedikit bergetar Ryana menjawab.
Cipto yang sudah berusaha mengalihkan perhatian terkejut mendengar
jawaban Ryana, dan ia pun berusaha menjawab apa yang ditakutkan
Ryana.
Adek pasti merasa ragu akan ketulusan hatiku ya?
Bukan Mas, aku yakin akan ketulusan hati Mas Cipto. Apa yang telah
Mas Cipto perbuat selama ini terhadapku itu sudah membuktikannya.
Hanya saja aku takut oleh jarak yang memisahkan.
Jika kau percaya dengan ketulusanku, mengapa harus takut oleh jarak?
Percayalah dek, aku di sini akan menunggumu. Dan nanti giliranmu
yang harus menjelaskan semua tentang Bandung kepadaku, jika aku
kelak berkunjung ke sana. Percayalah dek!!!
Dengan senyumanmengembang, Ryana mengangguk pelan.
Hari itu pun tiba, Ryana harus kembali ke kotanya. Ryana diantar Cipto
menuju bandara Adisucipto, di sana keduanya tak bisa
menyembunyikan rasa kehilangan yang mendalam. Meskipun janji
telah terucap, keduanya tetap sajadiliputi kegelisahan yang mendalam.
168
Dan akhirnya mereka harus benar-benar terpisah, Ryana kembali ke
kotanya dan Cipto tetap tinggal di Yogya melanjutkan aktivitasnya.
Cipto memenuhi janjinya, ia tidak pernah lupa untuk tetap selalu
mengabari Ryana melalui telepon genggam atau email. Komunikasi
berjalan sangat baik sehingga keduanya tidak lagi gelisah ketika ada
jarak yang memisahkan. Dan untuk kedua kalinya Cipto memenuhi
janjinya, diam-diam Cipto pergi ke Bandung untuk menemui Ryana.
Dan alangkah terjekutnya Ryana ketika mendapati Cipto sedang duduk
rapih menunggunya di depan rumah.
Dengan perasaan bahagia yang tak terkira Ryana dan Cipto
menghabiskan waktu bersama di Bandung, meskipun sebentar itu
membuat keduanya menembus kerinduan lima bulan terakhir ini. Sama
seperti perpisahan sebelumnya di Yogya, mereka harus dengan berat
hati melepaskan satu sama lain. Dan kali ini air mata Cipto pun tak
kuasa ditahannya, di depan Ryana ia meneteskan air mata. Melihat itu,
Ryana tak kuasa untuk tidak ikut serta dalam tangis sedih perpisahan,
hingga akhirnya mereka benar-benar harus berpisah karena bus yang
akan membawa Cipto harus berangkat.
Hari-hari pun berlanjut seperti biasa. Keduanya tetap bisa menjaga
komunikasi antara keduanya. Hingga suatu hari, satu minggu berlalu
tak ada kabar sedikit pun dari Cipto. Ini benar-benar membuat Ryana
gelisah, ia sudah mencoba berkali-kali menghubungi Cipto dengan
berbagai cara namun hasilnya tetap nihil, hingga berlanjut satu bulan
tetap tak ada kabar dari Cipto. Mendapati ketidak pastian dari Cipto,
Ryana tak tahan untuk tidak menyusulnya. Ia pergi sendiri untuk
memastikan kabar Cipto, sesampainya di sana Ryana harus menelan
kekecewaan kembali ia tidak mendapati Cipto di rumahnya. Kemudian
ia bertanya kepada semua tetangga dekat Cipto, menanyakan ke mana
perginya Cipto. Cipto hanya tinggal sendiri di rumah, sehingga tak ada
informasi yang didapat selain dari tetangga-tetangganya itu.
Ryana tak kehilangan akal, ia kemudian berusaha mencari ke tempat di
mana Cipto menimba ilmu, di sana ia bertanya ke sana ke mari
mengenai keberadaan Cipto, dan hasilnya tetap mengecewakan. Tak
ada satu pun orang tahu di mana keberadaan Cipto. Ryana tidak
menyerah, ia tetap mencari Cipto di setiap sudut kota Yogyakarta
169
hingga sepekan lamanya. Karena tak kunjung mendapat titik terang
mengenai Cipto, akhirnya Ryana kembali ke kotanya berusaha
melanjutkan kehidupannya meskipun dirasa sangat berat harus
meninggalkan kota Yogya.
Kini Ryana sudah tak ada gairah untuk terus melanjutkan aktivitas
seperti biasanya, ia tak punya semangat lagi untuk terus berjalan.
Namun di hati kecilnya tersimpan secercah harapan bahwa ia masih
dapat bertemu Cipto, meskipun dalam jangka waktu yang panjang.
Hingga ia tak lepas terus berdoa agar masih diberi kesempatan untuk
dapat bertemu Cipto. Juga, Ryana berusaha dengan tetap mengunjungi
Yogya untuk tetap mencari kepastian mengenai Cipto. Ryana dengan
setia menunggu Cipto di salah satu sudut jalan Malioboro, selama
empat tahun, Ryana tetap setia menunggu Cipto.
* * *
170
D DA AL LA AM MM MI IM MP PI I: : M ME EN NJ J A AD DI I R RA AJ J A A
Nasrul Afidin
Sore itu, dengan penuh semangat, Dani mendatangi kakeknya yang
tidak jauh dari rumahnya. Sengaja ia datang hanya sekedar
menanyakan ada kisa apa saja yang terdapat di Jogjakarta. Pasalnya,
esok hari ia akan pergi ke sana bersama teman-teman sekelas, PPL
ceritanya. Untung saja kakek ada di rumah, biasanya jam segini ia
masih di kebun.
Hari ini adalah hari keberuntungannya. Meskipun pagi, Kakek memang
sudah hilang dan waktu mundur tinggal menghitung, tetapi semangat
belajar dan pengetahuannya segudang. Entah dulu kakek orangnya
seperti apa, yang Dani tahu, kakek adalah sosok yang patut
dibanggakan. Di rumahnya banyak penghargaan-penghargaan yang
diraihnya, karena prestasinya ia sempat berkeliling Indonesia, bahkan
dunia. Betapa bangganya mempunyai kakek seperti Pak Marzuki.
Kek, saya mau minta tolong, ceritakan apa saja yang berkaitan dengan
Jogjakarta, besok aku mau ke sana bersama teman-teman, pinta Dani.
Ohhh, kamu mau cerita tentang Jogja toh, sebenarnya kamu tinggal
cari saja di internet, kan banyak tuh! jawab kakek dingin.
Iya kek, saya sudah baca, hampir semua malah, tetapi saya kurang
puas kalau belum mendengar cerita dari kakek, saya kan tahu kakek
ahlinya bercerita dari mulai runtut sejarahnya, sampai ke detail-
detailnya. Pokoknya saya kagum ke kakek. Yah... tolong yah kek... buat
bahan kajian dan tambahan ilmu saja kek.
Baiklah kalau begitu... kakek bangga ke kamu Dan. Masih muda,
semangat mencari informasi sangat tinggi. Kakek doakan kamu menjadi
anak yang pintar yah nak.
Kemudian kakek bercerita tentang mesjid bawah tanah. Tepatnya di
sebelah timur keraton, ada sebuah mesjid yang kini sudah tidak
terpakai lagi. Dibangun pada tahun 1758, masjid itu terletak di bawah
danau, di sampingnya ada pemandian para selir dan raja itu sendiri. Sri
171
Sultan Hamengku Buwono nama rajanya. Ia terkenal arif dan bijaksana.
Mampu mengatasi kemiskinan warganya dan ia adalah seorang yang
tangguh, gagah berani. Hampir semua musuhnya takluk padanya. Saat
itu Islam sudah masuk ke daerahnya, namun masih kental dengan adat
kejawen, jadi tidak aneh kalau saja banyak sesaji di setiap sudut,
padahal Islam melarangnya. Namun, inilah cara para wali menyebarkan
agama Islam ke daerah yang masih terselubung dengan ajaran Budha,
mereka mengajarkan Islam tanpa meninggalkan tradisi yang dilakukan
oleh warga setempat. Bahkan sampai sekarang, tradisi itu masih
dilestarikan, katanya untuk menghormati para leluhurnya.
Oh begitu kek. Lalu? tanya Dani penasaran.
Konon, dulu ketika masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah, kita
harus memasuki lorong panjang terlebih dahulu, ya sekitar 10 meter.
Rupa bentuknya melingkar seperti loyang, cetakan bolu. Posisi atau
penempatan shalat bagi perempuan di bawah, sementara para lelaki di
atas, lantai 2. Karena dikhawatirkan, jika terjadi penyerangan dadakan
para lelaki melakukan pertahanan, sedangkan para perempuan masuk
ke lorong yang tembus langsung ke keraton, bersembunyi.
Wah.. wah... sungguh hebat strategi pertahanannya kek, lalu mesjid itu
sekarang masih ada kek?
Masih, namun sudah tidak dipakai lagi, sekarang beralih fungsi
menjadi salah satu tempat pariwisata di Jogja
Oh iya kek, saya masih bingung dengan nama panggilan Jogja. Ada
yang bilang Ngayogyakarta, terus Yogyakarta, Djogja, dan lain-lain kek.
Sebenarnya mana sih yang benar?
Kamu mau nguji kakek, atau memang benar-benar tidak tahu Dan? He..
he..
Beneran saya tidak tahu kek! Pertanyaan itu baru muncul sedetik yang
lalu
Ya sudah kalau begitu, kakekcoba jawab
Penamaan Jogja, memang beragam. Kakek pernah hitung ada enam
kalau tidak salah. Ngayogyakarta, Yogyakarta, Jogjakarta, Jogja, Yogya,
dan Djogja. Pada dasarnya semua penamaan itu merucut ke satu lokasi,
172
yaitu Jogjakarta. Kata sebagian orang, nama Jogja itu unik. Mau disebut
apapun bisa, dan semua orang tahu maksudnya. Faktor fonemik lidah
dan daerah yang mempengaruhinya. Itu sebabnya banyak orang
menyebut ragam penamaan Jogja jadi banyak. Penamaan
Ngayogyakarta, pernah digunakan dalam piagam yang ada di keraton,
sedangkan Yogyakarta, mungkin hanya menghilangkan prefiks nga di
awal. Seperti pada penamaan DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan
lain-lainnya kakek lupa lagi. Maklum sudah berumur, ada sedikit
memori yang terkelupas.
Makanya secara lengkap kamu cari informasi lagi di sana ya nak! Hari
sudah petang, tuh adzan magrib berkumandang, ayo kita sembahyang
dulu Dan! ajak kakek.
Dani sembahyang di rumah saja kek, sekalian mandi dan istirahat.
Besok kan berangkat ke Jogja pagi-pagi kek.
Setelah puas mendengar cerita kakek, Dani berpamitan, meminta doa
keselamatan untuk esok.
Tiba di rumah lepas magrib. Di masjid, terdengar imam sudah masuk
rakaat ke dua. Ia lalu bergegas menuju kamar mandi dan bersiap untuk
sembahyang. Secepat kilat ia bereskan semua urusannya. Nampaknya
Dani lelah benar hari ini, dari pagi sampai petang, ia mencari informasi
seputar Jogja. Di warnet, baca buku, dan datang langsung ke kakek.
Kemudian ia terbaring lunglai di springbed.
Andai saja apa yang diceritakan kakek tadi sore menjadi kenyataan
dalam hidupku, lirihnya sebelum tidur.
* * *
Dalam tidur, otaknya berkelana. Nampaknya masih ada rasa penasaran
yang belum ia selesaikan tadi sore. Perihal mesjid bawah tanah, ia
terheran-heran, mana mungkin sebuah mesjid berada di bawah danau.
Lalu seorang raja mempunyai istri lebih dari dua, dan sebundel
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ia bawa itu semua ke dalam mimpi.
173
Tiba-tiba saja Dani berada persis di gerbang danau menuju mesjid
bawah tanah, dengan berpakaian ala keraton, rapi, harum dan seakan
terlihat arif bijaksana, seperti Sultan Hamengku Buwono pada
zamannya. Di sampingnya dayang-dayang dan para punggawa
mengawal langkahnya. Lalu ia berjalan diiringi gamelan merdu khas
Jogjakarta. Ia menuju tempat pemandian kerajaan. Untuk ke sana, ia
harus melewati danau terlebih dahulu dengan perahu yang sudah
disiapkan oleh abdi kerajaan. Danau itu terletak di antara sungai Joge
dan Winongo. Di pemandian, ia melihat dalam kolam, istri-istrinya
berenang dan mandi dengan santainya. Lalu ia masuk ke gedung
semacam loteng, memilih salah satu istri untuk menemaninya mandi
siang itu. Nampaknya kali ini ia tertarik pada istri ke-nya, nyai
Sumenep. Di tempat khusus mereka berdua silih bermanja-manja.
* * *
Sementara itu, Dani berubah menjadi salah satu kapten perang. Ia
hendak menjajah dan menguasai kerajaan yang terkenal istimewa itu.
Hai pasukan, siapkan senjata. Angkat ke langit. Hari ini, demi tanah
dan negeri kita di seberang, dan demi meluasnya kekuasaan negeri kita,
ayo kita hancur leburkan Jogjakarta, buat mereka menangis dan tunduk
pada kita. Hati-hati, mereka terkenal dengan pertahanan yang bagus.
Oleh karena itu, kita siapkan strategi serangan mendadak! serunya di
depan prajurit.
Ayo...!!! gemuruh suara prajurit.
* * *
Adzan dzuhur berkumandang, tiba saatnya untuk sembahyang dengan
ditemani dayang-dayangnya, ia berangkat ke mesjid bawah tanah.
Memasuki lorong sekitar 10 meter, di tengahnya ada sumur gemuling
sedalam 8 meter, difungsikan khusus untuk wudlu. Di atas sumur ada 5
anak tangga dari 4 sudut. Mungkin maksudnya mengingatkan pada
panca Islam yang menjadi rukun.
174
Dayang-dayangku, dan para prajurit. Ayo segera ambil wudlu. Mari
kita sholat berjamaah! serunya.
Prajurit yang sedari dari siaga, kini secara bergantian mengambil air
wudlu. Lalu sembahyang berjamaah.
Memasuki rakaat kedua, mereka dikagetkan oleh suara dentuman
meriam yang sangat keras. Dalam keadaan sembahyang, mereka
bertanya-tanya. Namun, mereka akhirnya menyelesaikan sembahyang
terlebih dahulu.
Apa yang terjadi? tanya raja.
Ampun, pangjenengan. Kita diserang penjajah secara mendadak
jawab salah satu kesatuan Sumoatmojo.
Ayo lekas siapkan pertahanan!! tegasnya.
Dayang-dayang, ajak semua perempuan ke keraton. Masuk lewat
lorong itu, dan sembunyi di tempat rahasia. Kami akan bertempur
melawan mereka.
Baik tuan raja!!! Mereka lalu berbondong-bondong memasuki lorong
yang menembus ke keraton.
Pertempuran pun tak bisa dihindari. Mereka saling baku hantam, tusuk
menusuk, penjajah dengan peralatan modernnya nyaris merobohkan
bangunan mesjid yang hanya terbuat dari batu bata merah dan kapur.
Sekitar kurang lebih lima jam bertempur, akhirnya pihak penjajah
meminta kesepakatan secara tertulis. Mereka saling adu argumen
membagi wilayah kekuasaan. Bukan raja tak ingin berpihak pada
rakyat, tetapi karena ia terdesak, dan demi rakyatnya selamat, akhirnya
ia menyepakati semua yang ditawarkan penjajah. Tentara keraton
dibubarkan, beralih menjadi rakyat biasa, menderita. Namun Sultan
tidak tinggal diam, ia mencari celah agar kekuasaannya kembali diraih
oleh pribumi. Karena menurutnya, tahta adalah untuk rakyat,
sepertinya jika ditanamkan dalam sistem pemerintahan negeri ini,
rakyat akan sejahtera.
* * *
175
Bangun shubuh. Pagi-pagi sekali ia berangkat ke kampus. Rupanya tiga
mobil bus sudah berbaris rapi di marka parkir. Dani masuk bis nomor
dua, ia duduk di bangku paling belakang. Dalam perjalanan menuju
Jogja, ia bercerita ulang tentang apa yang ia alami dalam mimpinya.
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak seakan ia orator pada stand
up comedy.
Kalian boleh percaya, tidak percaya pun ya harus. Ha.. ha.. maksa.
Karena apa yang saya ceritakan ini hanyalah mimpi. Ketika Marshanda
bilang, mudah-mudahan ini hanya mimpi, tetapi saya berharap ini
menjadi kenyataan, canda Dani menghibur teman-temannya.
Setibanya di Jogja, ia langsung menuju lokasi yang kakek ceritakan
kemarin. Nampak semua persis dengan apa yang ada dalam mimpi.
Namun sayang, sejarah hanya tinggal kenangan, tinggal cerita, tak bisa
diputar meski menggunakan lorong waktu. Yang ada hanya bayangan
kejadian pada masa itu.
Bandung, 22 Mei 2012
E E s s s s a a y y
179
K KU UD DA A: : A AP PA A B BE ED DA AN NY YA A A AK KU U? ?
Jaya
KUDA memang aku seekor kuda sejak dahulu leluhurku sudah menjadi
teman para raja. Derajat kaumku dahulu sangat tinggi. Bagaimana
tidak, ketika ada peperangan penting aku mengambil andil di dalam
kesuksesannya dan itu menjadi suatu kebanggaan pribadi bagiku juga
sebagai seekor kuda. Memang kali ini ceritaku berbeda dari cerita
leluhurku dahulu kala. Karena aku seekor kuda biasa yang bekerja di
keramaian Malioboro kota Jogja. Ya, aku bekerja di Malioboro sebagai
kuda penarik beban atau yang akrab di telinga mereka disebut dokar.
Di sini aku akan bercerita tentang sedikit rasa yang berbeda lain dari
yang kau duga.
Uang seharga lima ribu rupiah yang diberikan sebagai upah jasaku
setelah mereka aku bawa ke mana-mana dari tempat yang satu ke
lainnya, itu selalu menusuk-nusuk hatiku, perih rasanya jiwa ini ketika
usaha yang aku lakukan dengan susah payah dan memerlukan tenaga
yang luar biasa mereka hanya memberikanku lima ribu rupiah, sesuatu
yang sangat tidak setimpal bagiku, bahkan ada saja penumpang yang
jahil ketika mereka sudah aku antarkan ke mana-mana dari Malioboro,
kemudian ke toko kaos terkenal di Jogja, dagadu, kemudian ke keraton
dan aku antar lagi ke Malioboro, mereka malahan menawar untuk
membayar jasaku hanya dengan harga tiga ribu rupiah, serasa tubuh ini
ingin berontak dan melepas semua tali yang mengikat tubuh ini dan
langsung menabrak si penumpang itu, tapi sekali lagi pemilikku
sekaligus yang mengendalikanku hanya protes sebentar tapi kemudian
langsung menerimanya karena memang dia tidak mau berdebat
panjang lebar karena dia juga memang membutuhkan uang itu dan
tidak ada penghasilan tambahan yang lain baginya selain menarik
dokar.
Damai hati ini seakan sulit sekali terpenuhi apalagi ketika sepatu kuda
yang terbuat dari besi itu ditancapkan di telapak kakiku, aku masih
ingat jelas suaranya, tak... tak... tak... Pukulan demi pukulan palu
180
menghujamkan paku yang berukuran besar ke telapak kakiku. Satu
pukulan itu kurasakan seakan sedang menusuk-nusuk hatiku dan
merobek-robek jantungku. Bahkan ketika kondisi badanku tidak vit
pergantian sepatu kuda pun terus dilakukan ketika sepatu kuda yang
lama sudah licin dan harus diganti dengan sepatu baru sehingga air
mata di balik jendela mataku ini keluar dengan sendirinya karena rasa
sakit tubuhku yang terasa berat ditambah rasa sakit yang datang dari
setiap hunusan paku-paku itu sangat menyakitkanku.
Aku sebagai binatang ingin juga seperti manusia ketika badanku yang
sudah lemah dan letih karena satu hari penuh bekerja di jalan mondar-
mandir menarik beban tentunya ingin sekali istirahat tapi apa malahan
ketika aku mencoba untuk istirahat sejenak dengan berjalan agak
lambat ketika sedang bekerja, tar... tar... tar... suara cemeti yang sedang
asik menyentuh badanku dengan kecepatan yang semakin terulang
semakin kencang. Perih sekali badan ini sampai terlihat samar garis
merah-merah salur di bagian samping tubuhku. Aku dipaksa untuk
terus bekerja dan harus tetap kuat untuk menarik beban kalau tidak
cemeti itu akan terus menerus menyentuh dengan brutalnya
bergantian ke badanku.
Aku memang tidak berteriak ketika rasa sakit jengkal demi sejengkal
menjalar ke setiap tubuhku ketika suara cemeti itu terus menerus
mengiringi langkahku, orang-orang yang mendengar suara itu merasa
sesuatu yang biasa di telinga mereka. Mungkin bagi mereka ketika aku
malas untuk bekerja, pecutan cemeti itu menjadi obat dari
kemalasanku. Padahal aku bukan malas, tapi aku merasa lelah sama
seperti mereka. Apalagi sekarang ini jalan Malioboro sudah tidak
seluang dahulu. Dahulu aku bisa berjalan melenggang sana-sini
disebabkan ruas jalan yang cukup luas bagiku dikarenakan kendaraan
bermesin seperti motor dan mobil tidak sebanyak pada saat ini. Apalagi
saat ini aku harus bersaing dengan mereka dalam bekerja. Mereka
menggunakan rem dan kopling yang otomatis pada saat berhenti
mendadak, sedangkan aku masih mengandalkan tumpuan kaki depan
dengan sepatu kuda yang seadanya. Maka tidak jarang kakiku terkilir
bahkan terluka ketika berhenti.
181
Pada saat kakiku terluka akibat terkilir atau ada yang tidak benar di
dalam badanku membuat kinerjaku tidak karuan, sehingga pemilikku
yang menyadari kondisi badanku tahu apa yang harus diperbaiki dari
diriku. Seperti biasanya ketika aku dalam kondisi tersebut, langsung ia
membawaku ke tempat mbah Joko, tukang urut spesial untuk kuda. Dia
yang bertempat tinggal tidak jauh dari jalan Malioboro sudah sangat
terkenal di kalangan kami para kuda di Malioboro, walaupun usianya
sudah tidak muda lagi, tetapi akurasinya dalam memeriksa berbagai
penyakit yang kita punyai masih tetap tidak diragukan lagi dengan
menyentuh dan melihat kondisi lidah dan air liurku dia tahu penyakit
apa yang sedang aku alami. Apalagi pijatan dari mbah Joko, walaupun
tangannya kecil tetapi bisa membuatku mengeram karena terasa sekali
bagian-bagian yang dipijat olehnya dan bagian itu tepat sekali.
Akhirnya setelah mbah Joko menangani badanku yang tadinya tidak
karuan karena bercampur rasa pegal, letih dan sakit menjadi satu
sekarang kembali normal. Aku pun bisa kembali lagi ke jalan untuk
bekerja dan kembali ke penderitaanku. Rasanya hanya mbah Joko yang
dapat memahami perasaan kaumku bukan para pemilik kami yang
sepanjang hari bekerja bersama kami, mereka hanya tahu kami harus
bekerja dengan baik. Mereka akan memberi makan, kemudian
membersihkan kami dan apabila ada yang tidak benar dari kami
langsung menyerahkannya ke mbah Joko. Bekerja, bekerja, dan terus
bekerja tanpa ada waktu istirahat untuk aku dan kaumku.
Bedanya apa aku dengan manusia? Kenapa dibedakan, padahal aku dan
kaumku sama-sama diciptakan oleh sang pencipta, Allah SWT yang
Maha Esa. Hanya saja derajatku mungkin sedikit lebih rendah dari
manusia karena aku seekor kuda yang tidak diberikan akal pikiran
seperti manusia. Tapi ingat aku punya hati dan perasaan sama seperti
manusia, dan aku pun tidak meminta lahir ke dunia ini menjadi seekor
kuda. Itu mungkin sudah menjadi kodratku. Kadang kalanya aku
merasa kesal juga ketika melihat tidak sedikit orang-orang yang aku
temui berperilaku seperti binatang bahkan melebihi binatang. Mereka
berbuat kerusakan, perkelahian, dan ketidaktentraman. Padahal
kurang nikmat seperti apalagi yang diberikan Allah SWT untuk mereka.
Mulai dari penciptaan makhluk yang paling sempurna di dunia, derajat
182
yang tinggi, segala macam kebutuhan untuk hidup sudah disediakan
dan nikmat yang paling besar diberikan yaitu akal pikiran.
Enak sekali kehidupan manusia di dunia ini, menjadikan semua
makhluk di dunia ini iri termasuk diriku merasa iri pada mereka. Pada
suatu hari, mbah Joko pernah juga berkata padaku dengan Bahasa Jawa
yang kurang lebih artinya bagiku manusia itu sama dengan kuda
seperti penyedot tinja, makhluk kotor yang ke mana-mana selalu
membawa kotoran cuma yang membedakan, manusia itu membuang
kotorannya di tempat tertutup, sedangkan kuda membuang kotoran di
mana saja semaunya, mau di jalan yang ramai, di pasar, di taman dan
tempat-tempat lainnya tanpa rasa malu mungkin kuda itu tidak
munafik seperti manusia.
Dan aku yakin dari dahulu yang namanya manusia secantik dan
setampan apapun tetap saja kotor, karena seperti yang sudah dikatakan
oleh mbah Joko, mereka semuanya membawa kotoran. Jadi tidak ada
sesuatu hal yang patut untuk disombongkan oleh manusia dalam diri
mereka terhadap sesama ciptaannya, apalagi dengan sang Pencipta.
Kita semua sama, dan yang membedakan kita di mata sang pencipta
hanyalah keimanan dan ketakwaan kita terhadapnya, dan itu benar apa
adanya.
Akhir dari kisahku tidak berhenti sampai sini saja, aku akan
menceritakan perihnya menjadi diriku ini, sampai akhir hayatku pun
tidak ada kedamaian yang aku rasakan. Apakah kalian semua tahu
bagaimana akhir kehidupanku di dunia yang fana dan perih ini? Akhir
hidupku dan kaumku di dunia sangatlah tragis dan menyedihkan sekali.
Seperti ketika salah satu dari kita sudah tidak bagus lagi untuk
dipekerjakan sebagai dokar, maka sang pemilik dari kita akan segera
menggantikannya oleh salah satu dari kita yang lebih muda, kuat dan
segar, agar dapat bekerja dengan baik lagi, dan nasib kita yang sudah
tidak dapat digunakan dengan maksimal akan diputuskan oleh mereka.
Dan keputusan itu yang rasanya sudah menjadi pedoman bagi mereka.
Nantinya dari kita yang sudah tua tak berdaya akan menghadapi fase
yang paling bengis dalam kehidupan ini, yaitu ketika hari di mana tidak
pernah ingin membayangkannya, bahkan memimpikannya itu datang.
Kita yang tereliminasi oleh waktu dan kondisi akan mati dalam kondisi
183
yang sangat kejam, kita akan dikirim ke pejagalan untuk dikebiri oleh
manusia-manusia itu. Tinggal menunggu giliran untuk penjagalan,
ketika sudah tiada nyawa-nyawa ini, kulit-kulit dari kita pun akan
dikelupasi satu per satu terlepas inci per inci, centi per centi dan
akhirnya terlepas semuayang menempel dalam badan ini.
Yah, segalanya yang sudah aku perbuat dahulu, yaitu bekerja dengan
susah payah membantu mereka mencari nafkah, membanting tulang,
dan menahan semua rasa sakit, tidak ada apa-apanya bagi mereka
ketika mereka memberi kami tempat tinggal dan membersihkan kami,
itu bagi mereka sebuah imbalan yang setimpal bagi kami. Haruskah
mereka sekejam ini padaku dan kaumku? Tidak hanya karena faktor
usia yang menyebabkan salah satu dari kita akan dikebiri, tapi juga ada
ketika salah satu dari kita patah kakinya sebelah sehingga tidak bisa
berjalan dengan normal, itu dijadikan salah satu alasan mereka
menjegal kami. Sungguh sakit sekali jiwa ini yang tidak berdaya
menyuarakan keadilan.
Apalagi dari kami harus ditakdirkan jangan pernah berpikir atau
bermimpi akan pergi dari dunia ini atau mati dengan kondisi setenang,
sebaik, senyaman, dan sewajar meninggalnya mereka. Kebanyakan dari
mereka bebas dari dunia ini dengan cara yang sangat-sangat enak, yaitu
meninggal dalam keadaan sakit sedang berbaring di kasur, ada juga
yang meninggal dalam kondisi yang damai karena menikmati hari tua
sampai ajal menjemput mereka. Adapun yang mati di jalan karena
kecelakaan, hanyalah segelintir dari mereka, dan bagiku itu sesuatu
yang wajar karena tidak bisa diduga. Beda halnya dengan kami yang
tidak akan pernah merasakan kedamaian di hari-hari tua, karena
mereka telah memberikan satu pilihan yang membuat kami berbeda
dengannya.
Aku memang sengaja menceritakan semua kisahku ini sampai
sekarang, karena aku ingin semua tahu tentang ceritaku. Tapi aku tidak
bisa mengira-ngira cerita kehidupanku ini, apakah sebuah cerita
kesombongan karena pernah menjadi berharganya dahulu kala,
ataukah kebahagiaan karena pernah singgah di dunia ini atau malahan
semua kisahku ini adalah kesedihan karena akhirnya hanya sebuah
pembantaian. Pembantaian yang aku sendiri tidak yakin apakah ini
184
semua akan berakhir atau malah akan menjadi sebuah cerita yang lebih
tragis lagi dari kisah yang sedang kucoba paparkan ini. Di satu sisi
ketika aku mencoba mengupas kisahku ini dengan sesuatu yang
berbeda tidak jarang ku terdiam ketika ingat kembali tentang akhir dari
hidupku.
Kucoba untuk menghibur diri ini ketika mendengar kata penjagalan
terpintas di benakku dengan mengingat para leluhurku yang lebih
dahulu meninggalkan dunia ini. Mereka semua sudah pergi jauh dengan
meninggalkan kisah-kisah manis bagi kami semua. Bahkan ketika aku
mengingat kisah-kisah mereka, ingin sekali kuputar waktu ini, jaman
itu dapat kembali lagi atau aku yang pergi ke jaman itu, cerita di mana
para leluhurku mati dalam kondisi yang sangat berbeda dengan kami
saat ini, yaitu seperti yang sudah aku katakan di awal mereka mati di
medan perang denga para kesatria gagah berani yang menghargai
tinggi seekor kuda sehingga banyak dari leluhur kami yang dijadikan
simbol kebesaran manusia pada jaman dahulu kala.
Untuk saat ini, cerita manis tentang aku dan kaumku mungkin hanya
bisa dinikmati dari dongeng-dongeng yang seiring jaman mulai pudah,
dari film-film tentang sebuah kerajaan pada jaman dahulu yang
menggambarkan sebuah kebanggaan yang sangat besar, ketika ada
adegan yang adegan keselarasan antar kaumku. Kami dengan mereka
sehingga menjadi teman terbaik mereka di film itu, walaupun pada saat
ini, itu berbeda sekali dengan apa yang sedang aku ceritakan ini. Aku
seekor kuda mencoba menceritakan pelbagai fase kehidupan yang
memang apa adanya seperti itu yang aku alami. Setidaknya dengan
kisahku ini bisa menyampaikan semua rasa yang dimiliki oleh aku dan
kaumku saat ini. Mudah-mudahan bagi mereka tidak ada lagi manusia-
manusia yang munafik, pura-pura tuli dan tidak mau membagi kasih
yang sebenar-benarnya kasih kepada kami. Tidak hanya memanfaatkan
kami yang akhirnya berujung pada sebuah kebengisan saja, yaitu
penjegalan.
185
E EP PI IL LO OG G
M Me el l a an nc co on ng g k ke e Y Yo og gj j a a, , M Me el l a aw wa at t k ke e D Da al l a am m
B Ba ah ha as sa a
--- Ahda Imran
Menaranya cukup tinggi
tapi menggapai sia-sia.
Pintunya mulut sepi
rapat terkunci
derita lumat dikunyahnya.
(Rendra, Sajak Gereja Ostankino, Moskwa)
SAJAK Rendra di atas merupakan satu dari sejumlah sajaknya yang
menjadi jejak perjalanannya ke Moskow, yang di tahun 1970-an itu
masih menjadi ibu kota Uni Sovyet (sekarang Rusia). Seperti Strenski
Boulevard atau Di Sebuah Restoran, Moskwa, sajak di atas itu
menyuguhkan pengalaman seorang penyair (Indonesia) ketika ia
berada di kota dan negeri asing. Pengalaman memandang Gereja
Ostankino yang ditulis ke dalam bentuk puisi, tidaklahdiniatkan untuk
mengalihkan pengalaman indrawi itu menjadi tulisan. Puisi itu sama
sekali tak menyuguhkan pada pembaca bayangan visual sebuah gereja.
Kecuali menara dan pintu, tak ada deskripsi lebih jauh ihwal bangunan
dan keindahan arsitektur gereja Kristen Ortodoks yang dibangun
tahun 1692 itu.
Malah, puisi itu hanya terdiri dari lima baris. Hanya melukiskan menara
dan pintunya, tak lebih dari itu. Namun, meski hanya dengan lima
baris, dengan menara dan pintu itu Rendra sesungguhnya tengah
melukiskan sebuah situasi yang lebih besar. Ia bahkan tidak sedang
menulis puisi tentang Gereja Ostankino tersebut. Bagi mereka yang
memiliki referensi ihwal sejarah rezim pemerintahan komunis di Uni
Sovyetsebelum negara ini runtuh dan bubar tahun 1990paham
benar bagaimana rezim itu memperlakukan agama: agama adalah
sesuatu yang terlarangagama adalah sebuah dosa.
186
Dengan memakai menara dan pintu Gereja Ostankino, puisi Rendra
telah lebih dari cukup melukiskan pengalamannya melihat nasib agama
di sebuah negara komunis seperti Uni Sovyet. Menaranya yang
menjulang tapi sia-sia, juga pintunya yang terkunci. Pintu yang
dibungkam dan tak bersuara, demi menegaskan terlarangnya agama
hadir dan bicara di tengah manusia. Seluruhnya menyuguhkan
panorama yang getir ihwal ideologi kuasa negara yang menolak kodrat
manusia.
Gereja Ostankino, Moskwa, dengan begitu, bukanlah puisi yang ditulis
dengan semangat seorang pelancong. Puisi itu bukanlah kiriman kartu
pos bergambar Gereja Ostankino atau serupa foto kenangan perjalanan.
Tapi jejak pengalaman dan pemikiran seorang penyair ihwal sebuah
tempat asing yang dikunjunginya. Puisi ini merupakan contoh menarik
dari sebuah karya sastra tentang suatu tempat yang ditulis oleh
sastrawan dalam berbagai perjalanan dan perlawatannya.
Dalam khazanah kesusastraan, karya sastra yang ditulis sebagai hasil
perlawatan seorang sastrawan, tentu bukanlah sesuatu yang baru.
Bahkan sejak masa Yunani kuno karya sastra semacam ini telah
muncul. Di situ, karya sastra menjadi semacam warta tentang negeri-
negeri jauh, adat kebiasaan masyarakatnya, juga iklimnya. Sastrawan
dengan begitu tak hanya menuliskan pengalamannya, melainkan
menghadirkan sejumlah data, juga sejarah, dan ilmu pengetahuan. Pula
demikian dalam khazanah sastra modern di Indonesia. Puisi-puisi
perjalanan bisa dengan mudah kita temukan, sejak generasi Hamzah
Fansuri, Sitor Situmorang, Subagyo Sastrowadoyo, Rendra, Taufiq
Ismail, Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, hingga generasi Acep Zamzam
Noor, Agus R.Sarjono, atau Afrizal Malna. Pula begitu dengan Hamka,
Idrus, Ramadhan K.H., Umar Khayam, N.H. Dini, Seno Gumira Ajidarma,
Budi Darma, dan sejumlah cerpenis dan novelis lainnya.
Dalam karya sastra perlawatan itu, terasa bahwa kota atau tempat
asing yang mereka kunjungi bukanlah melulu sebagai setting. Tapi
menjadi ruang pengalaman seorang sastrawan ketika ia berinteraksi di
kota tersebut. Hadir di situ, mengamati orang-orang di sekelingnya,
merasakan degup dan denyut kota dan orang-orangnya, masa lalu dan
sejarahnya.
187
Menjadi orang asing di kota yang asing selalu menjadi pengalaman
yang menarik. Pengalaman yang membawa keingintahuan kita pada
berbagai hal, mulai dari tempat, masakan, pemandangan, bahasa,
kebiasaan, hingga orang-orangnya. Mengabadikan pengalaman berada
di tempat yang unik dan menarik lewat tulisan, tentu saja berbeda
dengan mengabadikannya lewat kamera. Bahasa, bagaimanapun,
senantiasa menawarkan berbagai bayangan ihwal pengalaman
seseorang yang dihadirkan kembali. Bayangan yang berbeda ketika
pengalaman itu divisualisasikan. Bayangan yang memberi leluasa
memberi tempat pada pemikiran, permenungan, dan berbagai kesan
serta tanggapan.
Dan menulis adalah kerja memperlakukan bahasa. Bahasa di situ
menjadi utusan yang di dalamnya pengalaman di hadirkan kembali.
Begitu pula manakala pengalaman itu dihadirkan kembali melalui
karya sastra. Menghadirkan kembali pengalaman di suatu tempat yang
asing dalam karya sastra ialah kerja memperlakukan bahasayang
berlainan dengan menuliskannya sebagai catatan perjalanan, buku
harian, atau dalam beragam tulisan jurnalistik.
* **
SEROMBONGAN mahasiswa dari Bandung berangkat ke Yogyakarta.
Bukan sekadar untuk melancong, tapi demi memenuhi kewajiban
akademis, yakni, Praktik Profesi Lapangan (PPL). Sepulangnya dari
situ, mereka diwajibkan menuangkan kunjungan tersebut ke dalam
puisi dan cerpen. Sebentuk tugas yang menarik. Menghadapkan
mereka pada ihwal hubungan bahasa dan pengalaman manusia.
Terlebih lagi mereka bukan mahasiswa Fak. Elektro atau Peternakan.
Tapi mahasiswa Fak. Sastra. Melalui puisi dan cerpen, tugas itu ingin
agar pengalaman selama PPL itu dihadirkan kembali. Bukan melulu
dalam rupa catatan perjalanan, reportase, paper, atau sebagai laporan
yang lazimnya ditemui dalam dunia akademik. Melalui puisi dan
cerpen, tugas itu meminta mereka kini melakukan perlawatan ke dalam
bahasa. Bahasa yang memiliki tabiatnya sendiri.
Maka menulislah para mahasiswa itu. Hasilnya berupa puisi dan
cerpenyang seluruhnya berkonsentrasi pada pengalaman selama
188
berada di kota yang didirikan oleh Pangeran Mangkubumi itu. Sejak
perjalanan dalam bus, ketakjuban menatap Candi Prambanan, suasana
Maliboro, udara yang panas, keraton yang eksotis, ketabahan para abdi
dalem, tukang bcecak, tuturan cerita selama perjalanan. Seluruhnya itu
berbaur dengan berbagai suasana, cara menatap, merangkai cerita dan
kisahan.
Ringkasnya, lebih dari sekadar menuturkan pelancongan, puisi dan
cerpen mereka juga minta disebut sebagai hasil perlawatan ke dalam
bahasa. Tabiat bahasa yang berlainan dalam karya sastra, tentu
bukanlah pengetahuan yang baru buat mereka. Karena mereka bukan
mahasiswa Fak. Teknik Sipil atau Teknik Elektro. Tapi mahasiswa dari
fakultas yang berurusan dan mengurusi bahasa.
Karya-karya dalam buku ini jadi menarik karena ditulis dari ruang
pengalaman geografis yang sama, yakni, sejumlah tempat selama
mengikuti PPL. Sehingga mengandaikan adanya sudut yang berbagai-
bagai, meski ia berkonsentrasi Subjek Matter yang samaMalioboro,
Prambanan, keraton, atau peristiwa dalam bus atau hotel. Kalau
Rabindranath Tagore pernah bilang, sastra bukanlah menghadirkan
dunia seperti apa adanya tapi bagaimana dunia itu menampak ke dalam
diri seorang penulis; maka kumpula ini ingin menampilkan bagaimana
sebenarnya Yogjakarta hadir dalam diri setiap penulis yang masing-
masing tentu berlainan.
Meski begitu, sebagai karya-karya perjalanan, secara keseluruhan
kumpulan ini terkesan melakukan pembelahan diri. Selain karya-karya
yang secara gamblang merujuk atau yang mentautkan dirinya pada
suatu tempat, tak sedikit pula karya yang terkesan hanya meletakan
tempat tersebut sebagai latar atau setting. Pada jenis yang pertama,
penulis sepenuhnya berkonsentrasi pada momen-momen
pertemuannya dengan sebuah tempatKeraton, Candi Prambanan,
Malioboro, batik, tukang becak, abdi dalem, atau cerita dalam bus atau
hotel. Terutama pada puisi, penulis hanya bertutur ihwal subjek yang
ada hadapannyamulai dari gambaran fisikal, suasana, dan orang-
orangnya, serta kesan yang diberikan terhadapnya.
Sedang pada jenis yang kedua, penulis hanya memperlakukan tempat
sebagai latar atau setting. Ia tak menulis puisi atau cerpen ihwal tempat
189
tersebut, tapi menulis dengan beragam tema, mulai dari cinta,
ketuhanan, atau kritik sosial. Namun keduanya tetaplah
memperlihatkan kualitas penguasaan penulisbaik referensi terhadap
data tempat yang ditulisnya, teknik penulisan, atau penguasaan bahasa.
Hal ini amat terasa pada impresi dan logika sudut pandang, gagasan
kesadaran, perluasan tema, pilihan diksi, musikalitas bahasa, plot,
bangun konflik, hingga penokohan.
* **
MESKI pada beberapa karya sayup tercium jejak keakrabannya dengan
ruang geografis dan bahasanamun umumnya kumpulan ini masih
berjarak dengan keduanya. Karena itulah menjadi tak aneh, misalnya,
kerap ditemukan suasana pelukisan yang nyaris samaudara yang
panas, Yogja kota seni dan budaya, ketakjuban pada susunan batu
candi, atau Malioboro yang ramai dan kegembiraan berbelanjadan di
sana sini ditemukan pelukisan suasana yang mirip lirik lagu KLA
Projek. Terutama pada puisi, nyaris tak ditemukan sudut pandang atau
gagasan ihwal suatu tempat dari apa yang telah menjadi umum.
Prambanan, keraton, Malioboro, tidak dihadirkan kembali sebagai
upaya membuka pengalaman yang lebih luas ihwal sejarah, karakter
sosial, dan seterusnya. Pula begitu pada cerpen, yang umumnya banyak
menating tema percintaan a lasinetron.
Terkesan benar bagaimana para penulis tak berupaya melengkapi
pelancongannya ke berbagai tempat itu dengan sejumlah referensi.
Padahal sejatinya, menulis puisi atau cerpen, pada prinsipnya
bertumpu pada dua hal; referensi biografis dan referensi tekstual.
Referensi biografis ialah pengalaman personal seorang penulis, sedang
referensi tekstual berupa data ihwal segala sesuatu yang kita tulis demi
memperluas gagasan tematiknya. Ketiadaan referensi tekstual inilah
yang membuat sejumlah sajak menjadi tak logis, misalnya, ketakjuban
memandang keindahan Candi Prambanan dengan rasa syukur pada
ciptaan Tuhan.
Pada soal yang lain, terjarak dari bahasa membuat sejumlah karya
hadir denganbentuk ungkap yang memperlihatkan penguasaan penulis
pada tabiat bahasa dalam puisi dan cerpen. Setidaknya, terasa benar
190
adanya tarik menarik antara isi dan bentuk; antara menghadirkan
gagasan dan pengalaman serta kemampuan mengolah bahasa. Pada
cerpen, jarak terhadap bahasa banyak membuat deskripsi penceritaan
jadi kelewat nyinyir, boros, dan kedodoran. Bahkan, tak jarang
dijumpai kegagapan penulis dalam menerapkan kaidah-kaidah bahasa
tulisan yang paling elementerpemakaian huruf kecil diawal tulisan
setelah titik belum lagi pengetahuan menerapkan imbuhan awalan di
atau ke. Tentu saja ini soal yang mengganggu sekaligus menjelaskan
kelekatan penulis dengan tradisi menulis.
Tapi apapun, inilah proses awal yang menarik dalam perlawatan ke
dalam bahasa. Lazimnya sebuah proses, niscaya di situ berlangsung
semacam pencarian. Dan sejumlah karya tampaknya memberi gelagat
bahwa pencarian itu tidak akan sia-sia. Setidaknya gelagat itu bisa
dijumpai pada sejumlah karya yang menyiasati jaraknya dengan bahasa
lewat kebersahajaan.
Terutama pada puisi, kebersahajaan bahasa semacam ini umumnya
terasa pada karya-karya yang tidak mentautkan dirinya pada satu
tempat, atau yang hanya memosisikan tempat itu semata sebagai latar.
Kebersahajaan juga terasa pada gagasan atau cara pandangnya, yang
tidak dibebani oleh ide-ide besar yang malah sering terjebak jadi
klise.
Kebersahajaan merupakan langkah awal yang penting untuk melawat
ke dalam bahasa. Memperlakukan bahasa dalam komunikasi yang tidak
digagah-gagahkan atau dibuat agar terkesan puitisatau
menghadirkan kembali pengalaman dengan tema-tema besar yang
malah jadi klise. Ia meluncur begitu saja tanpa beban apapun. Contoh
kebersahajaan ini, misalnya, terasa pada sajak Borubudur (Heri
Nurjaya); Kopi Joss (Ari Suharto).
Melancong ke Yogjakarta dan menghadirkan kembali pelancongan itu
ke dalam puisi dan cerpen, akhirnya, adalah melawat ke dalam bahasa.
Bagaimana hasil dan mutu dari perlawatan itu tampaknya bukanlah
sesuatu yang penting benar. Sepanjang ia dimaknai sebagai proses
mempraktikan tabiat bahasa dalam puisi dan cerpen. Bukan semata-
mata demi tugas akademis, sebagaimana Acep Zamzam Noor penyair
Tasikmalaya menulis puisi di bawah ini:
191
DI MALIOBORO
Di antara kereta yang beranjak ke timur
Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda
Kita berjalan ke luar meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak aspal yang mengkilat, trotoar yang bersih
Juga bentangan rel yang ujungnya menghilang ditelan gelap
Kausedikit sempoyongan menghirup candu kata-kataku
Sedang wajahku membiru oleh kalimat-kalimat tanggung
Dari cerita pendek yang tak kunjung kauselesaikan
Di sebuah warung segalanya menjadi lebih terbuka
Seperti majalah lama. Aku mengingat kembali namamu
Mencatat alamatmu, menghitung tahi lalatmu dan membaca
Isyaratmu. Gambar kupu-kupu hijau di atas payudaramu
Membuatku paham bahwa kau memang keturunan peri
Bahwa parasmu cantik sekali. Mungkin pelipismu tak serata
Jembatan yang menyatukan patahan garis di lengkung alis mata
Namun rambutmu yang segimbal musim hujan, serimbun ucapan
Telah membuat napasku menjadi begitu tidak keruan
Kau menciumku seperti gempa bumi yang pelan dan sopan
Lalu aku membalas ciumanmu layaknya tanah kerontang
Yang diberkati hujan. Rasa tembaga kucecap dari bibirmu
Seperti asin darah yang bercampur dengan buih-buih ludah
Aku menelan semuanya bagaikan menelan setiap peristiwa
Dalam kehidupan. Tapi di sebuah warung yang terbuka
Di majalah lama yang mulai sobek halaman-halamannya
Ceritamu menjadi terlampau pendek untuk sebuah kisah cinta
Yang panjang. Untuk sebuah kota yang selalu digenangi kesedihan
Cilame, September 2012.
Ahda Imran, penyair dan esais
* * *

You might also like