You are on page 1of 56

MAKALAH KEPERAWATAN DEWASA V

RETENSI FEKAL AKIBAT SPI NAL CORD INJ URY (SCI)





KELAS B
KELOMPOK 4
DIAN RAHMAWATI 1206218846
DWIANA INTAN RAHAYU PERTIWI 1206245140
NABILA DHEATAMI 1206218915
SHINTIA SILVANA 1206240543


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2014
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
kami, Kelompok 4, dapat menyelesaikan makalah yang memiliki topik Retensi
fekal akibat Spinal Cord Injury (SCI) dengan baik. Penulisan ini dilakukan
sebagai syarat pembelajaran mata kuliah Keperawatan Dewasa V di Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam
penyelesaian makalah ini dibutuhkan beberapa pihak yang turut membantu dalam
menyusun makalah sejak awal hingga selesai. Oleh karena itu, penulis ingin
memberikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Debie Dahlia selaku dosen pembimbing kelas B yang telah memberikan
waktu dan tenaga untuk membimbing kami.
2. Orang tua penulis yang telah mendoakan agar penulis dapat
menyeimbangkan waktu dan memberikan dukungan.
3. Teman-teman seperjuangan sivitas akademika Universitas Indonesia atas
kerja sama dan bantuannya dalam pengerjaan makalah ini.
Kiranya makalah ini dapat membantu mahasiswa dalam proses pembelajaran
Keperawatan Dewasa V. Selain itu, bermanfaat bagi mahasiswa untuk lebih
memahami pembelajaran pembuatan makalah.

Depok, Mei 2014
Penyusun


(Kelompok 4)
ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan................................................................................... 2
1.5 Sistematika Penulisan............................................................................ 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi............................................................................ 4
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum.................................................... 4
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Anus........................................................ 5
2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Tulang Servikal....................................... 7
2.2 Patofisiologi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord Injury (SCI)............... 8
2.3 Manifestasi Klinis Retensi Fekal Akibat Spinal Cord Injury (SCI)...... 12
2.4 Komplikasi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord Injury (SCI)................. 13
BAB 3 PEMBAHASAN..................................................................................... 14
3.1 Kasus...................................................................................................... 14
3.2 Pembahasan Kasus................................................................................. 14
3.3 Pengkajian.............................................................................................. 18
iii

3.3.1 Pemeriksaan Fisik........................................................................ 19
3.3.2 Pemeriksaan Diagnostik...............................................................21
3.4 Diagnosis dan Intervensi Keperawatan.................................................. 24
3.5 Penatalaksanaan Medis.......................................................................... 31
3.5.1 Pain Medications.......................................................................... 32
3.5.2 Cervical Collar / Collar Neck...................................................... 33
3.5.3 Cervical Traction......................................................................... 35
3.5.4 Spinal Surgery.............................................................................. 37
3.5.4.1 Vertebroplasty.................................................................... 38
3.5.4.2 Kyphoplasty....................................................................... 39
3.5.5 Laxative........................................................................................40
3.5.6 Enema.......................................................................................... 41
3.5.7 Suppository (glycerin, bisacodyl, Magic Bullet)...................... 44
3.5.8 Digital Stimulation....................................................................... 45
3.5.9 Abdominal Massage.....................................................................46
3.5.10 Bowel Program Guidelines........................................................ 46
BAB 4 PENUTUP.............................................................................................. 48
4.1 Kesimpulan............................................................................................ 48
4.2 Saran.......................................................................................................48
Daftar Pustaka..................................................................................................... iv
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sistem saraf merupakan suatu sistem jaringan yang saling berhubungan,
sangat khusus dan kompleks yang berfungsi mengendalikan, mengatur, dan
mengkoordinasikan interaksi antara sistem tubuh suatu individu maupun antara
individu dengan lingkungannya. Salah satu contoh fungsi dari sistem saraf adalah
mengatur proses pengeluaran eliminasi fekal atau pengontrolan sfingter ani yang
bekerja secara sadar dan tidak sadar. Eliminasi merupakan proses pengeluaran sisa
metabolisme yang dihasilkan oleh tubuh baik berupa urin maupun feses. Eliminasi
fekal merupakan hal yang paling umum dan normal yang sering kita dengar.
Banyak dari masyarakat menganggap masalah eliminasi fekal adalah hal yang
biasa. Namun sebenarnya jika ada masalah dalam sistem gastrointestinal, maka
akan ada masalah pula pada organ lainnya. Klien yang mengalami gangguan
eliminasi fekal akan dapat mengalami emosional karena ada perubahan dalam
citra tubuhnya (Perry & Potter, 2006).
Proses pengeluaran zat sisa atau elminisasi fekal ini sangat bergantung pada
banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dan fraktur pada servikal ke
7 inilah yang berhubungan langsung dengan sistem saraf dan berfungsi untuk
mempengaruhi proses pengeluaran feses. Masalah ini tentunya harus diselesaikan
guna klien tidak lagi mengalami retensi fekal akibat fraktur yang dialaminya.
Dengan demikian sebagai tenaga kesehatan kususnya perawat, kita harus
mengetahui bagaimana retensi fekal ini dapat terjadi, bagaimana anatomi dan
fisiologi dari patent ductus arterious sebelum dan setelah kelahiran, penyebab,
manifestasi klinis, bagaimana mengetahui seseorang yang mengalami fraktur pada
bagian cervical ke-7 mengalami retensi fekal , penatalaksanan medis serta asuhan
keperawatan yang tepat guna masalah retensi fekal yang disebabkan oleh fraktur
cervical ke 7 dapat terselesaikan.

2

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
a. Bagaimana anatomi dan fisiologi saraf cervical ke 7 dan sistem
gastrointestinal?
b. Bagaimana patofisiologi terjadinya retensi fekal?
c. Apa hubungannya fraktur kompresi cervical ke 7 dengan retensi fekal?
d. Apa etiologi, manifestasi klinis serta komplikasi dari retensi fekal?
e. Bagaimana pengkajian (pengkajian fisik dan pengkajian diagnostik) yang
harus dilakukan?
f. Bagaimana penatalaksanaan medik (farmakologi dan nonfarmakologi) dari
retensi fekal dan fraktur cervical ke 7?
g. Bagaimana asuhan keperawatan serta intervensi keperawatan dari retensi
fekal dan fraktur cervical ke 7?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami mengenai
mekanisme terjadinya retensi fekal yang diakibatkan oleh fraktur cervical ke 7,
serta mampu memberikan asuhan keperawatan individu dan keluarga melalui
pendekatan proses keperawatan secara sistematis.

1.4 Metode Penulisan
Penulis memakai metode studi literatur dan kepustakaan dalam penulisan
makalah ini. Referensi makalah ini bersumber dari buku dan media-media lain
seperti e-book, dan web.



3

1.5 Sistematika Penulisan
Makalah ini diawali dengan Bab I, pendahuluan, yang terdiri dari paragraf
yang menjabarkan latar belakang masalah yang akan dibahas, perumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Makalah
dilanjutkan dengan Bab II, isi, yang berisikan tinjauan pustaka meliputi anatomi
dan fisiologi dari cervical ke 7, dan sistem gastrointestinal, patofisiologi, etiologi,
tanda dan gejala yang mungkin timbul dari fraktur cervical ke-7 dan retensi fekal,
dan teori tentang pemeriksaan diagnostik. Selanjutnya BAB III, pembahasan yang
melingkupi asuhan keperawatan, intervensi keperawatan serta penatalaksanaan
medik dari patent ductus arteriosus. Kemudian dilanjutkan dengan Bab IV,
Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum
Makanan setelah masuk ke dalam tubuh melalui rongga mulut, akan
dilanjutkan ke kerongkongan (pharynx), kemudian esophagus, dicerna dalam
lambung, diteruskan ke usus halus (intestinum minor), dan usus besar (intestinum
mayor), serta berakhir pada rectum untuk pengeluaran berupa feses (defekasi).

Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dengan bentuk yang lurus atau
hampir lurus. Letaknya ada di dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os
koksigius. Rectum merupakan perpanjangan dari kolon sigmoid. Struktur rectum
serupa dengan colon (usus besar) yaitu lapisan serosa (bagian luar peritoneum),
lapisan muscular, Lapisan submukosa, yang mengandung pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan saraf, serta lapisan membrane mukosa. Namun pada rectum
dindingnya yang berotot lebih tebal dan membran mukosanya memuat lipatan-
lipatan membujur disebut dengan kolumna Morgagni. Saluran tersebut
menyambung dengan saluran anus. Di dalam saluran anus ini serabut otot sirkular
menebal membentuk otot sfingter ani interna. Sel-sel yang melapisi saluran anus
5

berubah sifanya; epithelium bergaris menggantikan sel-sel silinder. Sfingter ani
eksterna yang menjaga saluran anus dan orifisium supaya tertutup.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Anus

Anus merupakan saluran pencernaan makanan paling akhir yang
menghubungkan usus besar dengan dunia luar. Letaknya di abdomen bawah
bagian tengah di dasar pelvis setelah rectum. Dinding otot anus diperkuat oleh 3
sfingter yaitu:
1. Sfingter ani internus (tidak mengikuti keinginan)
2. Sfingter levator ani (tidak mengikuti keinginan)
3. Sfingter ani eksternus (mengikuti keinginan)
Eleminasi fekal merupakan mekanisme buang air besar. Untuk mengetahui
prosesnya, perlu untuk mengetahui apa saja sistem saraf autonom instrinsik pada
usus yaitu:
6

1. Pleksus Mienterikus (Auerbach), terletak diantara lapisan otot polos sirkuler
dan longitudinal.
2. Pleksus Meissner, terletak di sub mukosa.
Pleksus Mienterikus dan Meissner merupakan pleksus intrinsik karena
keduanya berada di dalam dinding saluran pencernaan.
3. Pleksus Henle, terletak disepanjang batas otot sirkuler.
Keinginan untuk bedefekasi muncul ketika tekanan rectum mencapai 18
mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani interna dan eksterna
akan melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah
refleks instrinsik yang diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rektum.
Ketika feses memasuki rektum, distensi dinding rectum akan mengirim sinyal
aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gerakan
peristaltik dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah
anus. Ketika gelombang perstaltik mendekati anus, sfingter ani interna direlaksasi
oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterna dalam
keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter
melemas sewaktu rectum teregang.
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksterna tercapai, defekasi
volunteer dapat dicapai secara volunteer melemaskan sfingter eksterna dan
mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi
merupakan suatu refleks spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan
menjaga agar sfingter eksterna tetap berkontraksi atau melemaskan sfingetr dan
mengontraksi otot abdomen.
Stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai refleks defekasi,
sehingga diperlukan refleks lain yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen
sacral medulla spinalis). Jika ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan
dikirimkan ke medulla spinalis kemudian secara refleks kembali ke kolon
descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus.
Sinyal ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan merelaksasi sfingter ani
interna. Sehingga mengubah refleks defekasi interna menjadi proses defekasi yang
kuat.

7

2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Tulang Servikal

Tulang belakang merupakan merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh
tulang-tulang yang tidak beraturan yang disebut vertebra, masing-masing vertebra
dipisahkan oleh diskus intervertebralis, yang berfungsi sebagai peredam kejut
(shock absorption) dan menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang. Kolumna
vertebralis adalah pilar utama tubuh, yang berfungsi melindungi medula spinalis
dan menunjang berat kepala dan batang tubuh yang diteruskan ke tulang-tulang
paha dan tungkai bawah. Di setiap ruas tulang belakang juga terdapat 2 buah
lubang di tepi kanan dan kiri belakang tulang bernama foramen invertebrate, yaitu
sebuah lubang tempat berjalannya akar saraf dari canalis vertebrata menuju
seluruh tubuh. Saraf-saraf tersebut keluar melalui lubang itu dan mempersarafi
seluruh tubuh baik dalam koordinasi gerakan maupun sensai sesuai daerah
persarafannya.
Tulang belakang terdiri dari 4 segmen yaitu
1. Segmen Servikal (terdiri dari 7 ruas tulang)
2. Semen Torakal (terdiri dari 12 ruas tulang)
3. Segmen Lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang)
4. Segmen Sakral (terdiri dari 5 ruas tulang)
Tulang servikal terdiri dari tujuh tulang vertebra yang dipisahkan oleh diskus
intervertebralis dan dihubungkan oleh jaringan ligamen yang komplek. Jaringan
ligamen tersebut menyebabkan tulang-tulang ini dapat bekerja sebagai satu
kesatuan unit yang utuh. Vertebra servikal memiliki karakter berupa tiap procesus
tranversus mempunyai foramen procesus tranversus untuk arteri dan vena
8

vertebralis, namun arteri vertebralis hanya melalui procesus transversus C16
saja.
Pada sistem saraf terdapat sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom (SSO)
merupakan sistem saraf campuran. Serabut-serabut aferennya membawa input dari
organ-organ visceral (mengatur denyut jantung, diameter pembuluh darah,
pernapasan, pencernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan, dan sebagainya)
saraf eferen motorik SSO mempersarafi otot polos, otot jantung, dan kelenjar-
kelenjar visceral. SSO terutama mengatur fungsi visceral dan interaksinya dengan
lingkungan internal. (Muttaqin, 2008). SSO dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Mediator stimulus simpatis adalah norepinefrin
sedangkan mediator impuls parasimpatis adalah asetikolin. Kedua zat kimia ini
mempunyai pengaruh yang berlawanan. Bagian simpatis meninggalkan sistem
saraf pusat dari daerah torakal dan lumbal (torakolumbal medulla spinalis.
Sedangkan bagian parasimpatis keluar dari otak (melalui komponen-komponen
saraf cranial) dan bagian sacral medulla spinalis (kraniosakral)

2.2 Patofisiologi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord I njury (SCI)
Pada hakikatnya, semua gerakan yang dilakukan oleh manusia diatur oleh
sistem saraf. Sistem saraf merupakan suatu sistem jaringan yang saling
berhubungan, sangat khusus dan kompleks yang berfungsi mengendalikan,
mengatur, dan mengkoordinasikan interaksi antara sistem tubuh suatu individu
maupun antara individu dengan lingkungannya. Sistem saraf dibagi atas dua yakni
sistem saraf pusat yang didalamnya ada otak dan medulla spinalis (sumsum tulang
belakang) dan sistem saraf tepi/perifer yang merupakan saraf yang mengubuhkan
antara sistem saraf pusat dengan organ tubuh lainnya. Dalam hal retensi fekal ini,
yang mengalami masalah pada intinya adalah berpusat pada sistem saraf tepi yang
tidak kondusif lagi kerjanya karena telah mengalami fraktur pada bagiannya,
khususnya cervical-7. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sistem saraf
perifer/tepi ini merupakan sistem saraf yang menghubungkan sistem saraf pusat
dengan organ tubuh lainnya, diantaranya kranial (yang menguhubungkan kinerja
9

otak dengan organ lainnya) dan spinal (yang menghubungkan kinerja sumsum
tulang/medulla spinalis dengan organ tubuh lainnya).

Potongan melintang spinal cord Potongan sagital spinal cord
Gangguan fungsi pencernaan adalah salah satu masalah terbesar bagi
seseorang yang mengalami cedera tulang belakang/medulla spinalis, khususnya
dalam mengontrol proses evakuasi (pengosongan usus). Hal ini akan bergantung
pula pada sistem saraf perifer yang bertugas menghubungkan kinerja sistem saraf
pusat dengan organ lainnya. Karena pada hakikatnya, gagguan usus merupakan
hal yang paling sering ditemukan dalam program rehabilitasi seseorang setelah
cedera tulang belakang, baik dalam hal kualitas hidup maupun morbiditas dan
mortality hidup seseorang. Dalam baru-baru ini belajar di populasi besar negara
Italia dengan pasien yang mengalami cedera tulang belakang (Spinal Cord Injury
atau SCI) mengatakan mereka tidak puas dengan manajemen usus mereka, dan
lebih dari setengah dari mereka mengatakan bahwa itu adalah beban berat pada
sosial mereka hidup dan lebih dari sepertiga darii mereka mengeluh bahwa
mereka tidak berhasil mencapai fungsi usus yang teratur , bahwa mereka malu dan
bahwa mereka tidak mandiri dalam mengelola bowels (sistem pencernaan) mereka
sendiri.
Medulla spinalis memiliki 31 pasang kolumna vetrebralis yang terdiri atas
cervical (7 pasang), thoracic (12 pasang), lumbar (5 pasang), dan sacral spinal (5
10

pasang). Medulla spinalis merupakan struktur lanjutan tunggal memanjang dari
medulla oblongata (batang otak) melalui foramen magnum dan terus ke bawah
melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbalis pertama atau L1
pada orang dewasa (Price & Wilson, 2012). Dalam kasus, klien berumur 25 tahun
ini mengalami fraktur cervical-7 yang berakibat mengalami gangguan pada fungsi
pencernaannya, yakni retensi fekal. Cervical merupakan bagian pada medulla
spinalis/sumsum tulang belakang yang berfungsi mengatur kinerja sfingter ani
yang melemah dan akhirnya berdampak pada retensi fekal.

Jalur impuls saraf medulla spinal
Berdasarkan arah impuls, saraf perifer yang merupakan saraf yang
menghubungkan kinerja saraf pusat dan organ lainnya terbagi atas saraf aferen
dan eferen. Saraf aferen bekerja membawa impuls dari reseptor ke saraf pusat dan
eferen bekerja membawa impuls dari saraf pusat ke efektor. Selanjutnya saraf
eferen terbagi atas sistem saraf somatis dan autonom. Pada saraf somatis bekerja
secara sadar dan tidak sadar dan berfokus pada respon motorik yang dihasilkan
oleh otot rangka. Sedangkan pada autonom berfokus pada pengendalian seluruh
respons involunteer organ-organ viseral seperti pengaturan denyut jantung,
diameter pembuluh darah, pencernaan, eliminasi dan berkaitan dengan otot polos,
otot jantung dan kelenjar dengan mentransmisikan impuls saraf. Pada saraf
autonom juga terbagi lagi menjadi saraf simpatis dan parasimpatis. Menurut Price
& Wilson (2012: 457) persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf autonom
dengan pengecualian sfingter eksterna karena bekerja secara volunter.
11

Serabut parasimpatis pada saraf autonom berjalan melalui saraf vagus ke
bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah
sakral menyuplai bagian distal. Sedangkan serabut simpatis meninggalkan
medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps melalui
saraf seliaka dan aortikorenalis, serabut pasca ganglionik (mengeluarkan
asetilkolin) menuju kolon. Rangsangan simpatis (mengeluarkan nonepineprin)
menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum, sementara
parasimpatis bekerja berkebalikan dengan simpatis. Efek stimulasi simpatis
adalah menurunkan motilitas atau gerakan pada traktus digestif, kontraksi sfingter
yang bermaksud mencegah gerakan maju isi saluran cerna dan inhibisi sekresi
pencernaan. Sementara stimulasi parasimpatis bekerja meningkatkan motilitas,
relaksasi sfingter (memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna) dan stimulasi
sekresi pencernaan (pengosongan usus) (Ganong, 2007., Sherwood, 2012).
Eliminasi fekal bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sfingter ani.
Gerakan kolon dan dilatasi sfingter ani ini khusus dikontrol oleh sistem saraf
parasimpatis. Gerakan kolon meliputi tiga gerakan yaitu gerakan massa kolon,
gerakan mencampur dan gerakan peristaltik. Gerakan massa kolon ini merupakan
gerakan tercepat yakni bekerja mendorong feses dari kolon ke rektum. Begitu ada
feses yang sampai di rektum, maka ujung saraf sensoris yang berada pada rektum
menjadi regang dan terangsang. Kemudian impuls ini diteruskan ke medula
spinalis. Setelah itu, impuls dikirim ke korteks serebri serta sakral II dan IV.
Impuls dikirim ke korteks serebri agar individu menyadari keinginan buang air
besar. Impuls dikirim ke sakral II dan IV, selanjutnya dikirim ke saraf
parasimpatis untuk mengatur pembukaan sfingter ani interna. Terbukanya sfingter
tersebut menyebabkan banyak feses yang masuk ke dalam rektum. Setelah itu,
sfingter ani eksterna secara volunter akan membuka kemudian terjadilah proses
defekasi.
Pada kasus, klien mengalami fraktur cervical-7 yang dengan ini sistem saraf
parasimpatis yang bekerja juga akan mengalami gangguan. Keadaan fraktur ini
akan dapat mengakibatkan kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula
spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material
diskus dari anterior yang dapat menyebabkan nekrosis dan menstimulasi
12

pelepasan mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson dan
terbentuknya radikal bebas yang berlebih dalam tubuh dan tidak terkontrol oleh
sistem enzim antioksidan, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik juga. Lesi
pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot-otot
abdominal, intake pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Respon saaf simpatis dalam hal ini ditunjukkan dengan mengurangi perfusi pada
traktus gastrointestinal dan juga produksi mucus lambung untuk melindungi organ
yang persarafannya rusak sehingga klien dapat mengalami pemunduran proses
defekasi atau retensi fekal.

2.3 Manifestasi Klinis Retensi Fekal Akibat Spinal Cord I njury (SCI)
Manifestasi klinis yang timbul pada klien yang mengalami retensi fekal
akibat fraktur kompresi C7 antara lain:
1. Perut kembung/distensi usus yang ditandai dengan banyaknya gerakan usus
yang tidak lazim dan mungkin merasa seperti tidak dapat mengeluarkan fetus
(gas/flatur) hal ini disebabkan oleh terlalu banyaknya tinja/feses di usus dan
rektum yang tidak dapat dikeluarkan.
2. Gerakan usus (gerakan massa kolon) yang bekerja mendorong feses dari
kolon ke rektum akan mengambil waktu yang jauh lebih lama dari biasanya
hal ini disebabkan oleh adanya fraktur pada cervical ke-7 dan menyebabkan
proses defekasi juga menjadi lebih lama (pada kasus satu kali sehari pada 5
hari yang lalu).
3. Ketidaknyamanan perut atau nyeri yang diakibatkan oleh distensi kandung
kemih.
4. Gejala dysreflexia otonom (berkeringat, sakit kepala) yang disebabkan
adanya rasa ingin melakukan proses defekasi damun tidak bisa mengeluarkan
(retensi fekal) dan akan segera pulih apabila sudah melakukan proses
defekasi.
5. Gerakan usus yang keras, disebabkan oleh kurangnya impuls yang diberikan
oleh saraf cervical-7 akibat fraktur yang dialami klien.
13

2.4 Komplikasi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord I njury (SCI)
Komplikasi yang mungkin terjadi pada klien yang mengalami retensi fekal
akibat fraktur kompresi C7 antara lain:
1. Konstipasi
Konstipasi merupakan kondisi dimana jarang untuk melakukan proses
defekasi. Hal ini akan terjadi ketika klien mengalami retensi fekal. Ada beberapa
karakteristik bagi seseorang yang diindikasikan konstipasi. Karakteristik tersebut
diantaranya; penurunan frekuensi defekasi dari kebiasaan, feses keras, kering dan
memiliki bentuk; mengejan saat dedekasi, defekasi terasa nyeri; merasa tidak
komplit dalam mengeluarkan feses; nyeri abdomen, kram; sudah menggunakan
laksatif; penurunan nafsu makan; dan, sakit kepala. (Kozier, 2011). Hal ini
disebabkan oleh pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga
memungkinkan tersedianya waktu yang cukup lama untuk melakukan proses
penyerapan cairan di usus besar.
2. Impaksi Fekal
Impaksi fekal adalah massa atau kumpulan feses yang mengeras didalam
rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi feses dalam waktu
lama. Impkasi fekal dapat diketahui dengan keluarnya feses cair (diare) dan bukan
feses yang normal. Bagian feses cair akan keluar dari pinggir massa feses yang
sudah mengalami impaksi (mengeras didalam rektum). Walaupun impaksi fekal
dapat dicegah secara umum, kadang kala dibutuhkan pengeluarannya secara
digital.
3. Inkontinensia Alvi
Inkontinensia alvi merupakan hilangnya kemampuan volunter untuk
mengontrol pengeluaran feses dan gas dari sfingter anal (Kozier, 2011). Hal ini
dapat terjadi ketika seseorang mengalami impaksi fekal dan terjadi penumpukan
feses di rektum sehingga menyumbat rektum, maka massa feses akan menutupi
seluruh permukaan rektum. Sensor syaraf yang ada di rektum menjadi tumpul dan
tidak dapat lagi membedakan antara cairan, flatus ataupun feses. Massa feses
keras juga dapat membuat iritasi dinding-dinding rektum sehingga mengakibatkan
pengeluaran cairan yang nantinya akan keluar yang merupakan feses cair.
14

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Kasus
Seorang laki-laki berusia 25 tahun, dirawat dengan suspect fraktur kompresi
servikal ke 7. keluhan saat ini pasien belum BAB sejak 5 hari yang lalu. Sebelum
sakit pasien mengatakan BAB 1x/hari.

3.2 Pembahasan Kasus
Tulang belakang merupakan hal terpenting dalam manusia karena fungsinya
dalam melindungi sistem syaraf perifer. Tulang belakang manusia terdiri dari 33
tulang yang terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
1. 7 tulang cervical (C)
2. 12 tulang thoracic (T)
3. 5 tulang lumbar (L)
4. 5 tulang sacral dan tulang coccygeal (fused)

15

C7 (cervical ke-7) merupakan salah satu bagian dari lower cervical region
yang berfungsi untuk menopang cranium, melindungi neuronneuron vital, dan
membantu pergerakan tubuh (Vaccaro, 2013). Selain fungsi fungsi tersebut, C7
juga merupakan salah satu sumber akson lateral cord atau awal dari neuron yang
mengatur muskulokutaneous.

Pada kasus yang tertera di awal, dikatakan bahwa pasien mengalami suspect
fraktur kompresi C7. Fraktur merupakan istilah untuk terputusnya kontinuitas
tulang (precalculus). Fraktur pada tulang belakang dapat terbagi menjadi beberapa
jenis yaitu (Cottrell, 2010).
1. Ekstensi, dapat dibagi menjadi tiga.
Distraksi ekstensi Ekstensi Ekstensi Kompresi




16

2. Kompresi, dapat dibagi menjadi dua.


3. Fleksi Kompresi


4. Fleksi Distraksi, dapat dibagi menjadi dua.
Distraksi Fleksi Fleksi


5. Distraksi

17

Berdasarkan gambargambar di atas, berikut ini merupakan beberapa jenis
fraktur yang dapat terjadi pada Subaxial Cervical (C3 C7) (Cottrell, 2010)

Cedera kompresi, sebagaimana terlihat pada gambar, dapat dibagi menjadi
dua jenis (Cottrell, 2010).
1. Wedge compression fracture pada umumnya terjadi di area thoracolumbar
dan pada fraktur kompresi ini, ligamen posterior masih berada dalam keadaan
utuh
2. Burst fracture merupakan fraktur kompresi yang sangat serius karena pada
fraktur kompresi ini, fragment tulang, ligament, dan disk material dapat
masuk ke kanal spinal dan kemudian dapat mengakibatkan kerusakan
neurologis yang serius

18

Pasien dengan fraktur kompresi C7 dapat menunjukkan gejalagejala umum
menyerupai gejala pada pasien dengan fraktur tulang seperti nyeri,
pembengkakan, deformitas tulang, pemendekan tulang, ekimosis, dan krepitus
(AAOS, 2011). Pasien dengan fraktur kompresi C7 memerlukan penanganan
khusus lainnya karena fraktur di area cervical merupakan jenis fraktur yang dapat
mengganggu fungsi tubuh lainnya dibandingkan fraktur di area lain di tulang
belakang. Hal ini dikarenakan hampir semua kontrol sistem dalam tubuh melewati
area cervical ini sehingga dikhawatirkan cedera pada area cervical dapat
menimbulkan cedera pada neuron yang melintasinya hingga menimbulkan
miskomunikasi antara pusat pengatur di hipotalamus dan sistem limbik yang
kemudian dapat mengganggu kinerja organorgan efektor di sistem syaraf
otonomi (Benzel, 2012). Salah satu contoh dari akibat suspect fracture
compression C7 adalah reflex neurogenic bowel dysfunction yang dapat
menyebabkan retensi fekal seperti yang tertera di awal pembahasan.
Reflex neurogenic bowel dysfunction merupakan kelainan eliminasi fekal
yang terjadi akibat cedera tulang belakang yang terjadi di atas T12 atau conus
medullaris (Garber, 2009). Menurut ApunaGrummer (2013), hampir pada semua
kasus cedera tulang belakang, disfungsi bowel merupakan prioritas tertinggi
karena disfungsi bowel selain dapat mengganggu fungsi organ tubuh, disfungsi
bowel juga dapat menimbulkan gangguan psikologis pada pasien. Individu dengan
cedera tulang belakang mengalami tertahannya sensasi rectal yang telah terisi
penuh dan kemampuan untuk mengosongkan bowel (ApunaGrummer, 2013).
Karakteristik dari reflex neurogenic bowel dysfunction adalah peningkatan tonus
atau tegangan otot pada dinding usus dan anal, menurunnya gerakan mendorong
pada kolon, kurangnya waktu singgah makanan di kolon, spastisitas pada external
anal sphincter (EAS), dan spastisitas otot (Dell, 2009).

3.3 Pengkajian
Pengkajian kesehatan fisik yang menyeluruh dapat dilakukan pada klien
mulai dari kepala dan dilanjutkan ke bawah secara sistematis. Meskipun
demikian, prosedur ini dapat bervariasi tergantung pada usia individu, tingkat
19

keparahan penyakit, keinginan perawat, lokasi pemeriksaan, dan priortas serta
prosedur yang berlaku di lembaga (Kozier, 2010).

3.3.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada prosesus spinosus vertebra servikalis ke tujuh (C-7),
yang disebut juga prominensia vertebra. Ketika klien melakukan fleksi anterior
pada leher, tonjolan prosesus dapat dilihat dan diraba (Kozier, 2010). Tonjolan
tersebut adalah prosesus spinosus vertebra servikalis ketujuh. Apabila terlihat dua
prosesus spinosus, sebelah atas adalah C-7 dan sebelah bawah adalah prosesus
spinosus vertebra tolakalis pertama (T-1). Perawat kemudian memalpasi dan
menghitung prosesus spinosus dari C-7 hingga T-3. Perhitungan ini juga
digunakan untuk mengidentifikasi lobus paru.

Sumber: Kozier (2010)
Telah dibahas bahwa fraktur kompresi C7 dapat menunjukkan gejalagejala
umum menyerupai gejala pada pasien dengan fraktur tulang seperti nyeri,
pembengkakan, deformitas tulang, pemendekan tulang, ekimosis, dan krepitus
(AAOS, 2011). Dengan demikian, dilakukan pengkajian pada tulang yang
20

ditujukan untuk menilai normalitas bentuk tulang. Pengkajian pada sendi
ditujukan untuk mengetahui adanya nyeri tekan, bengkak, penebalan, krepitasi
(bunyi gesekan antar tulang), nodul, dan rentang pergerakan sendi.
Pengkajian tulang dapat dilakukan dengan mengamati struktur normal rangka
dan perhatikan adanya kelainan (deformitas) pada rangka. Palpasi tulang untuk
menemukan area yang mengalami edema atau nyeri tekan. Jika terdapat kelainan
akan didapatkan letak tulang yang tidak sejajar dan terdapat nyeri tekan atau
bengkak yang dapat mengindikasikan fraktur. Pengkajian pada sendi dapat
dilakukan dengan mengamati adanya bengkak pada sendi. palpasi setiap sendi
untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan keluwesan gerak serta mengkaji rentang
pergerakan sendi.
Rentang pergerakan sendi yang dapat dilakukan terkait dengan lokasi padan
fraktur kompresi C7, yaitu di bagian leher yang merupakan sendi putar.
Pergerakannya yaitu fleksi (42-2),ekstensi (42-2), hiperekstensi(42-2), dan fleksi
lateral (42-3), serta rotasi (42-4).

Sumber: Kozier (2010)
21

Selain melalui inspeksi dan palpasi pada tulang serta inspeksi pada rentang
pergerakan sendi, pemeriksaan fisik juga dapat dilihat pada system neurologi,
yaitu berkaitan dengan pengkajian reflek. Pengkajian reflex otot trisep ditujukan
untuk menilai C-7, C-8 pada medulla spinalis. Prosedur tindakan ini dilakukan
dengan memfleksikan siku klien, dan sangga lengan klien dengan telapak tangan
nondominan, palpasi tendon trisep sekitar 2-5 cm di atas siku, ketukan palu
perkusi langsung pada tendon, kemudian inspeksi adanya ekstensi ringan normal
pada siku. Kelainanan yang terjadi terkait dengn C7, yaitu a) Kelemahan otot:
ekstensi siku, pergelangan tangan fleksi, ekstensi jari b) Perubahan Reflex: trisep.
c) Perubahan sensorik: jari tengah.

Sumber: Kozier (2010)

3.3.2 Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar-X
Pencitraan diagnostik dimulai dengan sinar-X dari wilayah yang terkena
dampak dari tulang belakang. Di beberapa hal, CT scan telah menggantikan sinar-
X biasa. Serangkaian pemeriksaaan X-ray biasanya yang pertama kali dilakukan
adalah bagian tulang belakang leher, dada dan panggul. X-Ray dari tulang
belakang dan leher yang ditunjukkan dalam setiap pasien setelah kepala dan
cedera wajah mempunyai kriteria sebagai berikut.
1) Tidak ada kelembutan serviks garis tengah
22

2) Tidak ada defisit neurologis fokal
3) Kewaspadaan normal
4) Tidak ada keracunan
5) Tidak menyakitkan, cedera mengganggu
Wilayah dari tulang belakang dan leher yang dianjurkan untuk pemeriksaan
yaitu: anteroposterior, lateral dan odontoid. Sinar-X dari dada dan lumbar tulang
belakang yang ditunjukkan oleh setiap pasien menunjukan rasa sakit atau nyeri,
penurunan yang signifikan, akibat kecelakaan lalu lintas jalan, adanya patah
tulang belakang lainnya. Radiografi harus cukup menggambarkan semua vertebra.

Sumber: www.eorthopod.com

2. CT Scan
Plain X-Ray tidak sensitif terhadap patah tulang belakang yang kecil. Secara
umum, CT scan harus menjadi pendekatan lini pertama pada pasien berisiko
tinggi dan sinar-X biasa harus disediakan untuk evaluasi awal pasien dengan
risiko rendah lesi traumatik. CT Scan dicadangkan untuk menggambarkan
kelainan tulang atau fraktur. Beberapa studi telah menyarankan bahwa CT Scan
dengan sagital dan koronal reformatting lebih sensitif dibandingkan sinar-X polos
untuk mendeteksi patah tulang belakang. CT/MRI dari tulang belakang dada dan
lumbar sangat penting bagi setiap pasien yang mengalami defisit neurologis
setelah trauma.

23

CT scan dapat dilakukukan jika dalam situasi sebagai berikut.
1) Plain radiografi tidak memadai.
2) Kenyamanan dan kecepatan.
Misalnya, jika CT Scan kepala diperlukan maka mungkin lebih sederhana
dan lebih cepat untuk mendapatkan CT dari cervical spine pada saat yang
sama.
3) Sinar-X menunjukkan kelainan yang mencurigakan dan/atau tak menentu.
4) Sinar-X menunjukkan fraktur atau perpindahan
CT Scan menyediakan visualisasi yang lebih baik dari tingkat dan
perpindahan fraktur.

Sumber: www.ceessentials.net
3. MRI
Jika radiografi serviks lateral dan CT Scan negatif, MRI merupakan
pemeriksaan pilihan untuk mengecualikan ketidakstabilan. Pasien dengan tanda-
tanda neurologis fokal, injury atau fraktur, dan pasien yang operasi memerlukan
pemeriksaan pra-operasi yang juga harus memiliki MRI Scan. Seluruh tulang
MRI diindikasikan untuk luka bertingkat atau ligamen, dan untuk luka cauda
equina. MRI yang terbaik untuk dicurigai lesi tulang belakang, kompresi tali
pusat, patah tulang belakang di berbagai tingkat dan cedera ligamen atau cedera
jaringan lunak lain atau patologi. MRI harus digunakan untuk mengevaluasi lesi
24

jaringan lunak, seperti hematoma ekstradural tulang belakang, abses atau tumor,
atau perdarahan sumsum tulang belakang, memar dan / atau edema. Kerusakan
neurologis biasanya disebabkan oleh cedera sekunder, yaitu edema atau
perdarahan. MRI adalah gambar diagnostik terbaik untuk menggambarkan
perubahan ini.

Sumber: www.ebmedicine.net


3.4 Diagnosis dan Intervensi Keperawatan
Prioritas masalah keperawatan yang dipilih berdasarkan kasus pemicu dimana
klien mengalami retensi fekal akibat fraktur kompresi servikal ke-7 antara lain:
1. Nyeri akut b.d fraktur kompresi servikal ke 7, kerusakan sistem saraf
penggunaan traksi, dan distensi abdomen
2. Konstipasi b.d hambatan defekasi karena fraktur kompresi servikal ke 7
3. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal
4. Potensial terhadap kerusakan integritas kulit b.d imobilitas fisik
5. Risiko Trauma Spinal Tambahan b.d komplikasi fraktur servikal
25

No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Nyeri akut b.d
fraktur kompresi
servikal ke 7,
kerusakan sistem
saraf, penggunaan
traksi, dan
distensi abdomen


Klien melaporkan
tingkat
ketidaknyamanan
berkurang.
Klien terlihat relaks;
istirahat dan tidur
adekuat.
Klien dapat
mendemonstrasikan
penggunaan teknik
relaksasi.
Mandiri
1) Menyediakan kenyamanan bagi
klien, seperti mengubah posisi,
masase punggung, latihan ROM,
kompres hangat dan dingin.
2) Mengajari klien untuk menerapkan
teknik relaksasi, seperti visualisasi
(membayangkan yang indah-
indah) dan napas dalam.
Kolaborasi
1) Memberikan obat sesuai indikasi,
sebagai contoh: relaksan otot,
seperti dantrolene (Dantrium) dan
baclofen (Lioresal); analgesik;
agen anti-ansietas, seperti
alprazalam (Xanax) dan diazepam
(Valium).

Tindakan yang dapat meningkatkan
kenyamananpada tubuh klien dapat
mengurangi kebutuhan pemakaian obat dan
dapat menyediakan dukungan sosial.
Relaksasi dan aktivitas dapat mengalihkan
perhatian klien dari rasa nyeri yang
dialaminya dan meningkatkan kemampuan
koping.

Obat-obat ini menurunkan spasme otot,
nyeri, kecemasan, dan meningkatkan
kualitas dan kuantitas istirahat.
26

2. Konstipasi b.d
hambatan
defekasi karena
fraktur kompresi
servikal ke 7
Konstipasi kien
menurun, yang
dibuktikan oleh pola
defekasi yang
normal.
Klien menunjukkan
pengetahuan
program defekasi
yang dibutuhkan.
Klien
memperlihatkan
hidrasi yang adekuat
(turgor kulit baik,
asupan cairan kira-
kira sama dengan
haluaran).
Klien dapat
menjelaskan secara
Mandiri
1) Menerapkan bowel program setiap
hari, diantaranya dengan
menerapkan digital stimulation
dan penggunaan pelunak feses.


2) Anjurkan diet yang seimbang dan
tingkatkan asupan cairan paling
sedikit 1.500-2000 mL/hari,
termasuk jus buah.
3) Batasi asupan makanan dan
minuman yang mengandung
kafein, misalnya kopi dan teh.

Kolaborasi
1) Memberikan obat-obatan sesuai
indikasi, seperti pelunak feses,

Bowel program penting untuk mengontrol
evakuasi feses. Catatan: Bowel program
pada klien dengan kerusakan motorik
bagian atas umumnya ditangani dengan
penggunaan supositoria atau digital
stimulation.
Konsumsi serat dan cairan yang tinggi
dapat mengubah konsistensi feses untuk
dapat berpindah melalui saluran
percernaan.
Efek diuretik dari kafein dapat menurunkan
ketersediaan cairan di usus, sehingga
meningkatkan risiko kekeringan dan keras
pada feses.

Pelunak feses, laksatif, supositoria, dan
enema menstimulasi gerakan peristalsis
27

verbal dan
menerapkan
individual bowel
program.
laksatif, supositoria, dan enema
(misalnya Therevac-SB).




2) Berkonsultasi dengan dietitian atau
nutritional support team.
dan evakuasi feses secara rutin. Supositoria
harus dihangatkan pada suhu ruangan
sebelum di insersi. Therevac-SB adalah
enema 4 mL dari bahan gliserin yang dapat
menurunkan waktu untuk bowel care
paling lama 1 jam.
Dukungan dari tim dietitian bermanfaat
dalam membuat rencama diet berdasarkan
kebutuhan nutrisi yang dibutkan klien.
3. Kerusakan
mobilitas fisik b.d
kerusakan
muskuloskeletal


Meningkatkan
kekuatan dan
kompensasi bagian
tubuh.
Klien ikut serta
dalam program
rehabilitasi dan
jadwal aktivitas.
Klien mencapai
Mandiri
1) Lakukan latihan rentang gerak
pasif dan ajarkan latihan rentang
gerak aktif untuk semua
ekstremitas secara lembut dan
dengan gerakan yang halus setiap 2
jam.
2) Menyediakan jarak antara istirahat
dan aktivitas.

ROM (range of motion) atau latihan
rentang pergerakan sendi meningkatkan
sirkulasi darah, mempertahankan tonus
otot, dan mencegah atrofi otot atau
kontraktur.

Istirahat yang adekuat dan aktivitas yang
optimal menyediakan kesempatan bagi
28

kembali mobilitas
sampai tingkat
optimal.
Klien melakukan
rentang gerak
dengan tepat.


3) Memonitor tekanan darah sebelum
dan setelah aktivitas.


4) Mengubah posisi klien bahkan
ketika sedang duduk di kursi.

Kolaborasi
1) Berkonsultasi dengan terapis fisik
dan okupasi serta tim rehabilitasi
lainnya.




2) Memberikan relaksan otot sesuai
klien untuk memaksimalkan usaha dan
berpartisipasi aktif.
Kehilangan inervasi saraf simpatis,
khususnya di T6 dan SCI pada bagian lebih
atas, menyebabkan kehilangan tonus
vaskular, yang berdampak pada hipotensi.
Perubahan posisi mengurangi tekanan pada
area yang tertekan dan meningkatkan
sirkulasi perifer.

Kolaborasi membantu dalam
merencanakan dan mengimplementasi
program latihan individu. Anggota tim
rehabilitasi mengidentifikasi dan
mengembangkan penggunaan alat-alat
bantu agar dapat meningkatkan fungsi
tubuh dan kepercayaan diri klien.
Relaksan otot berguna untuk membatasi
29

indikasi, seperti diazepam
(Valium), baclofen (Lioresal), dan
dantrolene (Dantrium).
dan mengurangi nyeri.

4. Potensial
terhadap
kerusakan
integritas kulit b.d
imobilitas fisik


Klien
mempertahankan
integritas kulit di
sekitar lokasi
pemasangan.
Klien dapat bergerak
di sekitar tempat
tidur dengan sering
dan
mempertahankan
kesejajaran tubuh.
Klien
mengungkapkan
pengertian tentang
alat imobilisasi yang
Mandiri
1) Ganti posisi secara rutin, baik
dalam keadaan tidur atau duduk.
Tempatkan dalam posisi prone
dalam beberapa periode waktu
2) Lakukan perawatan kulit dan
berikan masase serta gosok
punggung dengan lotion atau
minyak.
3) Jaga sprai agar tetap kering dan
bebas dari kotoran. Pertahankan
selimut alas bebas dari kerutan.
Kolaborasi
1) Menyediakan terapi kinetik atau
alternatif matras sesuai indikasi.

Pergantian posisi meningkatkan sirkulasi
darah dan menurunkan tekanan terutama
pada bagian kulit yang tertekan tulang.

Perawatan kulit dan masase meningkatkan
sirkulasi darah dan melindungi permukaan
kulit, sehingga menurunkan risiko luka
tekan.
Kondisi seperti ini mencegah kelembapan
yang berlebihan sehingga mengurangi
iritasi kulit.

Terapi kinetik dan alternatif matras
membantu mengubah sirkulasi sistemik
30

dibutuhkan. dan perifer serta mengurangi tekanan pada
kulit.
5. Risiko Trauma
Spinal Tambahan
b.d komplikasi
fraktur servikal
Tulang kembali
pulih tanpa
mengalami
kerusakan yang lebih
parah
Mandiri
1) Mempertahankan istirahat di
tempat tidur dan penggunaan alat-
alat imobilisasi (kantung pasir,
traksi, cervical collar keras dan
lunak).
2) Memeriksa alat-alat stabilisasi
eksternal, misalnya Gardner-Wells
tongs atau traksi skeletal lainnya.

Kolaborasi
1) Mempersiapkan untuk operasi
bedah stabilisasi internal, misalnya
spinal laminectomy, jika
diindikasikan.

Imobilisasi mencegah kolumna vertebra
dari kerusakan yang lebih parah. Catatan:
Traksi digunakan hanya untuk stabilisasi
servikal.

Alat-alat ini digunakan untuk dekompresi
fraktur spinal dan stabilisasi kolumna
vertebra selama fase akut kerusakan untuk
mencegah kerusakan yang lebih parah.

Operasi bisa diindikasikan untuk stabilisasi
spinal, dekompresi, atau menghilangkan
fragment tulang yang patah.
31

3.5 Penatalaksanaan Medis
Spinal Cord Injury (SCI) atau cedera tulang belakang merupakan cedera
mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya. Berdasarkan kasus
pemicu, klien mengalami retensi fekal (tidak dapat buang air besar) akibat
mengalami fraktur kompresi pada servikal ke 7. Cedera servikal tersebut
mengakibatkan terbloknya saraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia,
kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan
akut anestesi. Kerusakan korda spinalis dan cedera kepala akan menimbulkan
penurunan stimulus sensorik untuk defekasi. Apabila dibiarkan terus-menerus,
maka terjadi retensi fekal yang dapat menimbulkan konstipasi dan komplikasi
menuju impaksi fekal.
Konstipasi adalah keluarnya feses yang dikit, kering, keras atau tidak
keluarnya feses dalam jangka waktu lama. Konstipasi pada kasus ini disebabkan
karena terganggunya proses penyampaian impuls saraf dari usus dan rektum ke
sistem saraf pusat yang mengakibatkan tidak terjadinya proses defekasi. Impaksi
fekal adalah massa atau kumpulan feses yang mengeras di dalam rektum, terjadi
akibat retensi dan akumulasi materi feses dalam waktu lama, dan diketahui
dengan keluarnya feses cair (diare) dan bukan feses normal. Bagian feses yang
cair keluar dari pinggir massa feses yang mengalami impaksi.
Impaksi fekal umumnya dapat dicegah secara umum, namun kadang kala
dibutuhkan pengeluaran feses yang mengalami impaksi secara digital. Apabila
diperkirakan ada impaksi fekal, klien sering kali diberikan enema retensi minyak,
kemudian enema pembersih saat 2-4 jam sesudahnya, dan ditambah dengan
pelunak feses setiap hari. Apabila proses ini gagal, pengeluaran feses secara
manual sering diperlukan.
Berikut ini merupakan beberapa penatalaksanaan medis yang dapat
diterapkan pada kasus retensi fekal akibat fraktur kompresi servikal ke 7.




32

3.5.1 Pain Medications
1. Aspirin
Senyawa aspirin adalah obat yang dapat membantu meringankan rasa sakit
ringin dan sakit kambuh. Efek samping potensial yang paling utama dari aspirin
yaitu permasalahan pada perut, khususnya ulkus lambung dengan atau tanpa
perdarahan.
2. NSAID (Non-Steroidal Anti Inflamatory Drugs)
Obat anti-inflamasi non-steroid 9NSAID) termasuk penghilang nyeri seperti
ibuprofen dan naproxen. NSAID sangat efektif dalam mengurangi rasa sakit yang
terkait dengan ketegangan otot dan peradangan. Obat ini dapat menurunkan fungsi
ginjal jika dikonsumsi oleh pasien yang lebih tua dalam jumlah yang berlebihan.
3. COX-2 Inhibitors
Obat ini merupakan kelas baru dari NSAID untuk mengurangi peradangan.
NSAID baru ini bekerja secara selektif menghambat pembentukan bahan kimia
yang menyebabkan nyeri. COX-2 Inhibitors kebih mudah dicerna di perut sebab
tidak mengganggu enzim-enzim dalam perut seperti NSAID tradisional
sebelumnya. Celecoxib (Celebrex(r)) dan Refecoxib (Vioxx(r)) adalah dua jenis
obat ini yang paling sering diresepkan.
4. Non-Narcotic Prescription Pain Medications
Analgesik non-narkotik (penghilang rasa sakit) adalah pengobatan yang ideal
dalam menghilangkan nyeri ringan hingga kronis. Tylenol(tm) dan aspirin adalah
analgesik yang paling banyak digunakan. Obat-obat analgesik yang memerlukan
resep dari dokter mencakup NSAID, seperti Carprofen, Fenoprofen, Ketoprofen
dan Sulindac. Pasien yang mengonsumsi obat ini dianjurkan untuk tidak berbaring
selama 15 sampai 30 menit setelah minum obat. Jauhkan obat dari sinar matahari
langsung. Hindari penggunaan obat ini jika anda memiliki borok berulang atau
masalah hati.
5. Narcotic Pain Medications
Obat nyeri narkotika mengurangi rasa sakit dengan bertindak sebagai anastesi
mematikan ke sistem saraf pusat. Kekuatan dan panjang nyeri berbeda untuk
masing-masing obat. Contoh obat ini yaitu Kodein dan Morfin. Obat ini dapat
memiliki efek samping seperti mual, muntah, sembelit, dan sedasi (mengantuk).
33

Efek samping ini dapat diprediksi dan sering dapat dicegah. Langkah-langkah
pencegahan yang umum antara lain tidak meminum obat tidur atau anti-depresan
bersama dengan obat narkotika ini, menghindari konsumsi alkohol, meningkatkan
asupan cairan, makan-makanan berserat tinggi, dan menggunakan obat pencahar
serat atau pelunak tinja untuk mengobati sembelit. Perlu diingat bahwa
penggunaan narkotika dapat menimbulkan kecanduan jika digunakan secara
berlebihan dan tidak benar.
6. Muscle Relaxants
Relaksan otot dapat membantu meringankan rasa sakit ketika mengalami
kejang otot. Obat ini memiliki risiko yang signifikan sepeti rasa kantuk dan
depresi. Penggunaan relaksan otot dalam jangka panjang tidak disarankan,
biasanya hanya dianjurkan tiga sampai empat hari.
7. Anti-Depressants
Sakit punggung adalah gejala umum dari depresi dan bisa menjadi indikator
kehadirannya. Demikian pula nyeri punggung dapat menyebabkan gangguan
emosi dan depresi. Tampaknya reaksi kimia yang sama dalam sel-sel saraf yang
memicu depresi juga mengontrol jalur nyeri di otak. Anti-depresan dapat
meredakan stres emosional yang terkait dengan nyeri punggung. Beberapa jenis
anti-depresan membuat obat tidur yang baik. Jika mengalami kesulitan tidur
karena sakit punggung, dokter mungkin meresepkan anti-depresan untuk
membantu kita kembali ke rutinitas tidur. Efek samping dari obat ini antara lain
mengantuk, kehilangan nafsu makan, sembelit, mulut kering, dan kelelahan.

3.5.2 Cervical Collar / Collar Neck
Cervical Collar adalah alat untuk imobilisasi leher (mempertahankan tulang
servikal). Salah satu jenis collar yang banyak digunakan SOMI (Sternal Occipital
Mandibular Immobilizer). Ada juga yang menggunakan Xcollar Extrication
Collar yang dirancang untuk mobilisasi (pemindahan pasien dari tempat kejadian
kecelakaan ke ruang medis). Cervical Collar digunakan pada pasien yang
mengalami trauma leher atau fraktur tular servikal.


34

Tujuan pemasangan cervical collar yaitu:
1) Mencegah pergerakan tulang servikal yang patah (proses imobilisasi serta
mengurangi kompresi pada radiks saraf).
2) Mencegah bertambahnya kerusakan tulang servikal dan korda spinalis.
3) Mengurangi rasa sakit.
4) Mengurangi pergerakan leher selama proses pemulihan.
Collar digunakan selama 1 minggu secara terus-menerus siang dan malam
dan diubah secara intermiten pada minggu ke-2 atau bila mengendarai kendaraan.
Perlu diingat bahwa tujuan imobilisasi ini bersifat sementara dan harus dihindari
akibatnya, diantaranya atrofi otot serta kontraktur. Jangka waktu 102 minggu
biasanya cukup untuk mengatasi nyeri servikal non spesifik. Apabila disertai
dengan iritasi radiks saraf, collar perlu dipasang dalam waktu 2-3 bulan.
Hilangnya nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat
dijadikan indikasi pelepasan collar. Unit pelaksana yang umumnya melakukan
tindakan pemasangan collar antara lain Instalasi Gawat Darurat (IGD), rekam
medik, dan radiologi.

Cervical Collar terdiri dari beberapa jenis.

35


SOMI (Sternal Occipital Mandibular Immobilizer) . Xcollar Extrication Collar

3.5.3 Cervical Traction
Traksi adalah alat imobilisasi yang menggunakan kekuatan tarikan yang
diterapkan pada suatu bagian tubuh, sementara kekuatan yang kedua (disebut
kontertraksi) menarik ke arah yang berlawanan. Kekuatan tarikan didapat melalui
suatu sistem katrol, tali, dan pemberat yang dikaitkan ke klien.kontertraksi sering
didapat dengan mengelevasi kaki atau kepala tempat tidur dan kekuatannya
berasal dari tubuh klien. Klien yang terpasang traksi berada di tempat tidur
berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Oleh karena itu, implementasi
keperawatan meliputi aktivitas harian, pemeliharaan traksi, dan pencegahan
masalah imobilisasi seperti dekubitus.
Tujuan penggunaan traksi adalah:
1) Untuk mengurangi dan/atau imobilisasi fraktur tulang agar terjadi pemulihan.
2) Untuk mempertahankan kesejajaran tulang yang tepat.
3) Untuk mencegah cedera pada jaringan lunak.
4) Untuk memperbaiki, mengurangi, atau mencegah deformitas.
5) Untuk mengurangi spasme otot dan nyeri.
6) Untuk merawat kondisi inflamasi dengan imobilisasi sendi (misalnya artritis
atau tuberkulosis sendi).
Ada dua macam traksi servikal. Beban traksi yang diberikan sebaiknya jangan
melebihi 5 kg untuk maksimal waktu dua jam.
a. Traksi memakai pita kulit lebar yang disarungkan di dagu-oksiput (biasanya
untuk stabilisasi sementara) yang disebut Halter traction.
36




b. Traksi skeletal (Gardner-Wells tongs) yang dipasang pada tulang tengkorak.

37


Traksi skeletal dipasang di tengkorak pada lokasi di atas telinga, pada titik di
atas garis yang ditarik dari prosesus mastoid ke meatus auditorius eksternal.
Pemasangan pada lokasi yang lebih anterior akan membuat traksi leher menjadi
lebih ekstensi (untuk fraktur odontoid), sedangkan lokasi yang lebih posterior
akan menjadikan traksi leher yang fleksi (untuk membuka sendi faset).
Pedoman umum yang dipakai untuk menentukan berat beban traksi pada
awalnya adalah 2,5 kg per vertebra mulai dari basis sampai dengan lokasi cedera.
Namun, pemasangan traksi ini harus dipantau ketat melalui pemeriksaan klinis
neurologis dan radiologis. Kadang perlu pula diberikan obat penenang ringan
seperti Diazepan dan/atau analgetika selama pemasangan traksi.

3.5.4 Spinal Surgery
Operasi tulang belakang adalah tindakan pembedahan serius yang dilakukan
untuk memperbaiki fraktur kompresi vertebral jika ada bukti ketidakstabilan tiba-
tiba dan serius dari tulang belakan, misalnya jika fraktur mengarah ke hilangnya
50% dari ketinggian vertebral tubuh. Pembedahan diperlukan untuk mencegah
tulang belakang dari runtuh ke saraf tulang belakang yang dapat menyebabkan
kerusakan yang lebih serius. Vertebroplasty dan Kyphoplasty adalah tindakan
invasif minimal dalam menangani fraktur kompresi vertebral. Patah tulang
belakang biasanya perlu waktu sekitar tiga bulan untuk sepenuhnya sembuh.
38

Pemeriksaan dengan menggunakan X-Ray mungkin akan dilakukan selama
beberapa bulan untuk memeriksa kemajuan penyembuhan. Pembedahan untuk
fraktur kompresi jarang diperlukan.
3.5.4.1 Vertebroplasty
Vertebra adalah tulang kecil yang membentuk tulang belakang. Ketika tulang
menjadi retak akan timbul rasa sakit dan kehilangan mobilitas. Vertebroplasty
adalah prosedur dimana campuran semen medis khusus disuntikan ke dalam
tulang belakang yang patah. Tidak semua orang dengan tulang belakang yang
retak perlu dilakukan Vertebroplasty.
Alasan utama perlu dilakukan Vertebroplasty adalah:
1) Mengobati patah tulang belakang yang menyebabkan rasa sakit dan
mengurangi fungsi.
2) Metode tradisional untuk mengobati patah tulang belakang atau sakit
punggung gagal.
3) Pasien menderita sakit parah atau berkepanjangan atau imobilitas.
4) Patah tulang belakang telah menyebabkan komplikasi yang lebih serius,
seperti trombosis vena bagian dalam, percepatan osteoporosis, masalah
pernapasan, kehilanggan tinggi, dan masalah emosional atau sosial lainnya.
Prosedur Vertebroplasty umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien,
dengan risiko rendah untuk menimbulkan efek samping. Tingkat komplikasi dari
Vertebroplasty adalah sekitar 1% hingga 3%. dan sebagian besar komplikasi ini
kecil. Faktor-faktor risiko yang terkait dengan pelaksanaan Vertebroplasty antara
lain pendarahan, kehilangan darah, patah tulang rusuk atau tulang disekitarnya,
demam, ititasi akar saraf, infeksi, dan semen di luar tulang belum mengeras. Bagi
sejumlah kecil orang, Vertebroplasty dapat menimbulkan rasa sakit selama
beberapa jam saat semen sedang mengeras.
39


3.5.4.2 Kyphoplasty
Kyphoplasty sering dibahas bersama dengan Vertebroplasty. Kyphoplasty
digunakan untuk mengobati patah tulang belakang. Selama Vertebroplasty, dokter
menyuntikkan bahan semen ke dalam tulang untuk membuatnya lebih stabil.
Selama Kyphoplasty, pertama, dokter memompa perangkat balon ke dalam tulang
belakang untuk membuat suatu ruang, kemudian ruang ini diisi dengan semen.
Alasan perlu dilakukannya Kyphoplasty yaitu jika memiliki beberapa jenis patah
tulang atau terdapat daerah yang rusak di tulang belakang. Pada kebanyakan
kasus, penipisan tulang (osteoporosis) memainkan peran dalam patah tulang ini.
Kyphoplasty dapat membuat tulang sedikit lebih tinggi yang sebelumnya
memendek akibat terjadinya kompresi. Prosedur ini dapat mengurangi rasa sakit
akibat patah tulang belakang. Biasanya dokter melakukan prosedur ini setelah
mencoba melakukan perawatan lain, misalnya memakai penjepit belakang atau
minum obat penghilang rasa sakit.
Risiko yang terlibat dalam Kyphoplasty meliputi:
1) Infeksi
2) Perdarahan
3) Peningkatan nyeri punggung
4) Kesemutan
5) Mati rasa
6) Kelemahan akibat kerusakan saraf
7) Reaksi alergi terhadap bahan kimia yang digunakan selama X-Ray membantu
dokter menaruh balon di tenoat yang tepat
8) Semen bocor keluar dari posisi
40

Jumlah radiasi yang digunakan selama prosedur X-Ray dianggap minimal.
Oleh karena itu, risiko paparan radiasi rendah. Namun, apab dianggap minimal.
Oleh karena itu, risiko paparan radiasi rendah. Namun, apabila pasien sedang
hamil atau diduga hamil, pasien harus memberitahukan kepada penyedia layanan
kesehatan. Ada kemungkinan risiko lainnya yang tergantung pada kondisi medis
tertentu.


3.5.5 Laxative
Laksatif dan katartiks adalah obat yang dipergunakan untuk mengeluarkan
feses. Laksatif melunakkan feses dan katartik menyebabkan feses lunak sampai
berair dengan sedikit kram. Kontraindikasi penggunaan laksatif adalah inflamasi
saluran gastro intestinal seperti apendisitis, colitis ulserativa, rasa nyeri yang tidak
diketahui penyebabnya, kolon spastic, atau obstruksi usus.
Berikut ini merupakan jenis-jenis laksatif.
1. Stimulant Laxatives (meliputi cascara, senna, ExLax, Dulcolax,
PeriColace)
Laksatif ini menstimulasi usus besar untuk melakukan gerak peristaltis lebih
kuat dan lebih sering, serta membantu feses untuk keluar melalui anus. Hasil
akan muncul dalam waktu 6-12 jam setelah dikonsumsi, sehingga lebih
dikonsumsi saat waktu tidur jika ingin melakukan bowel program pada pagi
hari.
2. Bulk Laxatives (meliputi calcium polyCarbophil, psyllium, Citrucel,
Metamucil, FiberCon)
Laksatif ini bekerja sama seperti ketika anda meningkatkan konsumsi serat
dalam pola makan anda. Laksatif ini juga membantu menambahkan sedikit
41

jumlah air ke dalam feses yang diproduksi, sehingga feses lebih lunak dan
mudah untuk dikeluarkan. Bulk Laxatives dibuat dari ekstrak tanaman dan
buah-buahan yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu bubuk yang dicampur dengan
air, wafer, dan tablet. Apapun bentuk yang dikonsumsi, anda harus selalu
minum air putih paling sedikit 8 gelas per hari. Laksatif ini biasanya
dikonsumsi sebanyak 3 atau 4 kali per hari, dengan casupan cairan, dan aman
untuk digunakan dalam jangka waktu panjang.
3. Magnesium Laxatives atau Saline Laxatives (meliputi magnesium citrate,
Milk of Magnesia)
Laksatif ini bekerja dalam waktu 1-2 jam setelah dikonsumsi, namun dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia fekal. Laksatif ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan secara rutin. Kontraindikasi dari obat
ini adalah yang memiliki gangguan ginjal, jantung, atau radang usus.
4. Sorbitol, Lactulose, Golytely
Laksatif ini berbentuk cair dan terasa manis. Berfungsi untuk menambahkan
sejumlah air ke dalam feses dan melancarkan pergerakan feses. Laksatif ini
bekerja dalam waktu 6-12 jam setelah dikonsumsi, sehingga boleh digunakan
di malam hari bersama dengan cairan. Jika dibutuhkan dosis yang lebih besar,
laksatif ini dapat dikonsumsi 2 kali per hari, yaitu pagi dan malam. Dapat
digunakan untuk jangka waktu panjang.
5. Stool Softeners atau Lubricant Laxatives (Colace, dialose, doxidan)
Walaupun sering digunakan sebagai laksatif, beberapa menyadari bahwa
pelunak feses tidak bekerja sebagaimana laksatif. Pelunak feses melunakkan
feses, namun tidak menstimulasi usus besar, oleh karena itu ini tidak efektif
untuk menangani konstipasi. Pelunak feses harus digunakan oleh orang yang
tidak berisiko terjadi konstipasi. Obat ini bekerja sekitar 1-2 hari.

3.5.6 Enema
Enema paling sering digunakan sebagai terapi konstipasi. Enema adalah
tindakan memasukan larutan ke dalam rektum dan kolon sigmoid untuk
mengeluarkan feses/flatus. Enema diklasifikasikan ke dalam lima kelompok.
42

1. Enema pembersih, menstimulasi peristaltik dengan mengiritasi kolon dan
rektum dan/atau dengan mendistensikan usus dengan sejumlah cairan yang
dimasukkan ke dalam usus.
2. Enema karminatif, diberikan terutama untuk mengeluarkan flatus. Cairan
yang dimasukkan ke dalam rektum akan mengeluarkan gas, yang akan
mendistensikan rektum serta kolon sehingga menstimulasi peristaltik.
3. Enema retensi, yaitu memasukkan minyak ke dalam rektum dan kolon
sigmoid. Minyak bekerja melunakan feses dan melumasi rektum serta saluran
anal, sehingga memfasilitasi keluarnya feses.
4. Enema aliran balik, kadang kala disebut sebagai Harris flush atau irigasi
kolon, digunakan untuk mengeluarkan flatus. Aliran cairan yang masuk dan
keluar usus besar secara bergantian akan menstimulasi peristaltik.
5. Enema terapeutik, menghantarkan nutrien atau obat-obatan. Contohnya
adalah kortikosteroid, antibiotik, dan kayeksalat (suatu resin (damar) yang
digunakan untuk mengeluarkan kelebihan kalium.
Enema merupakan prosedur yang relatif aman untuk klien. Bahaya utamanya
adalah terjadi iritasi mukosa rektum karena menggunakan terkalu banyak sabun
atau karena sabun yang mengiritasi dan efek negatif dari larutan hipertonik dan
hipotonik terhadap perpindahan cairan dan elektrolit tubuh.

Beragam larutan digunakan untuk enema (tabel diatas). Pemberian larutan
hipotonik berulang, seperti enema air keran (tap water enema), dapat
43

menyebabkan absorpsi cairan dari kolon ke aliran darah. Hal ini akan
meningkatkan volume darah dan dapat menyebabkan intoksikasi cairan. Oleh
sebab itu, enema air keran yang diberikan secara berurutan sebanyak tiga kali
perlu dibatasi.
Berikut ini merupakan panduan pemberian enema.
a. Sebelum memberikan enema, tentukan apakah dibutuhkan program dokter.
Pada beberapa institusi, seorang dokter harus memprogramkan tipe enema
dan waktu pemberiannya, misalnya, pagi hari pada waktu pemeriksaan.
Apabila klien memiliki penyakit rektum, dokter dapat juga menetapkan
ukuran slang rektal yang akan digunakan. Pada institusi lain, enema diberikan
sesuai dengan kebijaksanaan perawat (yaitu, dengan program PRN (bila
perlu)).
b. Enema untuk orang dewasa biasanya diberikan pada suhu 40-43C, kecuali
ditetapkan lain. Suhu yang tinggi dapat mencederai mukosa usus, sedangkan
suhu yang dingin membuat klien tidak nyaman dan dapat memicu spasme
otot sfingter.
c. Tekanan aliran larutan ditentukan oleh (1) tingginya wadah larutan, (2)
ukuran slang, (3) viskositas cairn, dan (4) resistensi rektum. Semakin tinggi
wadah larutan ditempatkan di atas rektum, semakin cepat aliran dan semakin
besar tekanan di dalam rektum.
d. Waktu yang dibutuhkan untuk memberikan enema sangat tergantung pada
jumlah cairan yang dimasukkan dan toleransi klien. Volume yang besar,
seperti 100 mL, memerlukan waktu 10-15 menit untuk dimasukkan,
sedangkan volume yang lebih sedikit memerlukan waktu yang lebih sedikit
juga.
e. Waktu yang dibutuhkan klien untuk menahan larutan enema bergantung pada
tujuan pemberian enema dan kemampuan klien untuk melakukan kontraksi
sfingter anal eksterna dalam menahan larutan. Enema retensi dengan larutan
minyak biasanya perlu ditahan selama 2-3 jam. Enema lain normalnya
ditahan selama 5-10 menit.
44


Enema tidak boleh digunakan terlalu sering karena beberapa alasan. Pertama,
enema dapat membuat menjadi malas, sehingga usus besar dan feses menjadi
ketergantungan dengan enema untuk dievakuasi. Kedua, jumlah cairan enema
yang digunakan untuk menimbulkan hasil yang diharapkan dapat meningkat
seiring pengulangan penggunaan enema yang terlalu sering. Ketiga, penggunaan
cairan enema dalam jumlah besar memungkinkan nutrien-nutrien penting yang
ada di dalam usus besar untuk ikut terbuang bersama feses.

3.5.7 Suppository (glycerin, bisacodyl, Magic Bullet)
Supositoria merupakan sedian padat yang berbentuk kerucut atau oval yang
digunakan dengan cara memasukkannya ke dalam rektum. Umumnya supositoria
melunak, meleleh, dan melarut pada suhu tubuh. Jika feses menjadi keras dan
tersangkut di dalam rektum, suppository lunak (glycerin) dapat membantu
melonggarkan sumbatan dan membuatnya lebih mudah untuk dilalui. Suppository
bisacodyl tidak hanya melunakkan feses, namun juga menstimulasi usus besar,
sehingga suppository ini lebih efektif dan sering digunakan. Jika anda
mendapatkan suppository bisacodyl tidak efektif (membutuhkan waktu lebih lama
untuk bekerja atau usus besar tidak kosong sepenuhnya), anda dapat meminta
dokter untuk memberikan Magic Bullet. Magic Bullet adalah jenis lain dari
suppository bisacodyl yang dapat mengurai feses lebih cepat setelah dimasukkan.
Langkah-langkah yang tepat untuk memasukkan supositoria yaitu:
1) Hilangkan feses yang dapat menghalangi masuknya supositoria.
2) Lembabkan supositoria untuk melunakkannya sebelum dimasukkan ke dalam
rektum.
45

3) Tempatkan supositoria setinggi mungkin di dalam rektum, gunakan sarung
tangan steril atau suppository inserter.
4) Tempatkan supositoria agar tidak menempel dengan dinding rektum.
5) Keluarkan tangan secara perlahan-lahan untuk mencegah supositoria
tergelincir dan posisinya semula.

3.5.8 Digital Stimulation
Digital stimulation dilakukan tersendiri atau setelah memasukkan supositoria.
Cara tepat untuk melakukannya yaitu dengan menggunakan sarung tangan steril,
lalu memasukkan satu jari tangan (biasanya telunjuk) sedalam 2-3 inch melalui
anus sampai jari merasakan sfingter ani internal (otot berbentuk cincin di dalam
anus). Pijat sfingter ani sebanyak 3-4 kali, atau sampai otot berelaksasi. Relaksasi
otot sfingter ani internal memungkinkan feses dievakuasi keluar anus. Tunggu
selama 5-10 menit antara setiap stimulasi. Jika sebelumnya menggunakan
supositoria, lakukan stimulasi 10-30 menit setelah memasukkan supositoria.
Karena mukosa usus dapat mengalami cedera selama prosedur ini, beberapa
institusi membatasi dan menetapkan staf yang diijinkan untuk melakukan
tindakan ini. Sebelum mengeluarkan impaksi fekal, dianjurkan untuk memberikan
enema retensi minyak yang di tahan selama 30 menit guna membantu melunakkan
feses.



46

3.5.9 Abdominal Massage
Abdominal massage biasanya dilakukan setelah memasukkan supositoria atau
setelah digital stimulation yang pertama. Tekan perut bagian kanan bawah dengan
menggunakan telapak tangan, pijat perut mengikuti bentuk tulang rusuk, lalu
arahkan pijatan ke bagian kiri perut, dan kemudian pijat sampai ke bagian kiri
bawah perut. Pijatan yang dilakukan ini mengikuti bentuk dari usus besar hingga
rektum. Anda harus mengulang pijatan ini setiap 30 detik selama 10 kali untuk
hasil yang maksimal.

3.5.10 Bowel Program Guidelines
Pasien dengan Spinal Cord Injury (SCI) melakukan program ini untuk
mengosongkan feses dan flatus dari dalam usus dan mencegah terjadinya
konstipasi atau inkontinenesia fekal. Pemilihan waktu (jam) dapat dilakukan
sesuai dengan keinginan klien, namun umumnya pada pagi hari. Semua orang
yang mengalami SCI harus menerapkan jadwal bowel program harian yang telah
ditetapkan.
Pedoman umum di bawah ini dapat digunakan untuk menerapkan bowel
program sehari-hari berdasarkan tingkatan injury seseorang.
a. Neck/Upper SCI (spastic bowel)
1) Pasien harus melakukan bowel program setiap hari atau setiap pasien
memiliki gejala atau faktor risiko konstipasi. Jika pasien tidak memiliki
gejala atau faktor risiko konstipasi, pasien harus melakukan bowel
program paling tidak satu kali setiap 3 hari untuk mencegah terjadinya
konstipasi.
2) Masukkan supositoria ke dalam rektum pasien dengan teknik yang tepat.
3) Lakukan abdominal massage selama 5-10 menit.
4) Tunggu sampai feses dan flatus keluar. Jika feses tidak keluar setelah 10
menit, lakukan tahap ke 5.
47

5) Lakukan digital stimulation hingga sfingter ani berelaksasi.
6) Lakukan digital stimulation tambahan sebanyak 2 kali, tunggu 5-10 menit
diantara keduanya. Jika tidak ada lagi feses yang keluar dalam 15 menit,
pasien telah selesai melaksanakan bowel program.
b. Low SCI (relaxed bowel)
1) Jadwalkan bowel program pasien untuk satu kali atau dua kali dalam
sehari.
2) Gunakan bulk laxative sekali atau dua kali sehari untuk memproduksi
feses dalam bentuk yang lebih baik.
3) Lakukan digital stimulation hingga sfingter ani berelaksasi. Jika rektum
pasien penuh dengan feses, petugas kesehatan pertama-tama harus
menghilangkan beberapa feses dari rektum dengan menggunakan jari
tangan. Penggunaan lubricant gel akan membuat proses ini lebih mudah
dan mengurangi ketidaknyamanan. Setelah pembuangan feses secara
manual, ulangi digital stimulation.
4) Tarik napas dalam dan kempiskan perut untuk membantu mengevakuasi
feses.
5) Jika tidak terdapat pergerakan usus besar dalam waktu 15 menit setelah
digital stimulation, masukkan bisacodyl suppository atau mini-enema.
Tunggu 15 menit sampai aliran feses terjadi.
6) Lakukan digital stimulation tambahan sebanyak 2 kali, tunggu 5-10 menit
diantaranya keduanya. Jika tidak ada lagi feses yang keluar dalam 15
menit, pasien telah selesai melaksanakan bowel program.
48

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Fraktur kompresi servikal ke 7 yang terjadi pada klien menyebabkan reflex
neurogenic bowel dysfunction (salah satu contoh disfungsi bowel) yaitu dapat
membuat pasien tidak merasakan sensasi jika rectum telah penuh. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya retensi fekal. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
untuk mengkaji kasus ini yaitu inspeksi dan palpasi tulang serta inspeksi
pergerakan sendi dan perkusi untuk mengetahui tingkat nyeri dan kelemahan otot
dan perubahan reflex trisep. Sedangkan pemeriksaan diagnostik yang dapat
dilakukan untuk mengkaji kasus ini antara lain pemeriksaan X-Ray, CT Scan dan
MRI. Dalam hal ini, MRI adalah pemeriksaan diagnostik dengan tingkat
ketelitian yang paling tinggi untuk klien yang mengalami fraktur kompresi
cervikal ke 7 sehingga berakibat pada retensi fekal. Penataksanaan keperawatan
diberikan sesuai dengan keluhan serta tanda dan gejala yang muncul pada klien.
Penatalaksanaan medis yang diberikan yaitu berupa penggunaan obat-obatan
penghilang rasa sakit, alat-alat bantu imobilisasi, operasi serta bowel program
yang penting dilakukan untuk mengatasi permasalahan retensi fekal pada klien.

4.2 Saran
Ketika perawat menerapkan asuhan keperawatan kepada klien yang
mengalami retensi fekal akibat fraktur kompresi servikal ke-7, terdapat banyak hal
penting yang perlu diperhatikan oleh perawat, dua diantaranya adalah dalam hal
pemasangan alat imobilisasi dan pelaksanaan bowel program. Pemasangan alat
imobilisasi harus sangat berhati-hati agar kita tidak menambah injury kepada
klien. Apalagi pada kasus ini klien mengalami injury pada bagian servikal yang
terbilang sangat vital dan rentan akan guncangan. Selain itu, ketika melaksanakan
bowel program pada klien, tangan perawat harus bersih dan menggunakan sarung
tangan steril. Hal ini perlu dilakukan agar perawat tidak menularkan
mikroorganisme yang berasal dari tangannya ke daerah sistem pencernaan klien.

iv

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2011). Critical Care Transport.
2
nd
Edition. Massachusetts: Jones and Bartlett Learning.
ApunaGrummer, D. & Howland, W. A. (2013). A Core Curriculum for Nurse
Life Care Planning. Indiana: iUniverse.
Arifin, M. Zafrullah & Henky, Jefri. (2012) Analisis Nilai Functional
Independence Measure Penderita Cedera Servikal dengan Perawatan
Konservatif. Diambil dari
http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/viewFile/1297/1186.
Bazzocchi, Gabriele, Scuijt, Christoffel, Pederzini, Roberto & Menarini, Mauro.
Bowel Disfunction in Spinal Cord Injury Patients: Pathophysiology and
Management. Germany: University of Bologna.
Benzel, E.C (ed). (2012). The Cervical Spine. 5
th
Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins.
Berman, Audrey, Snyder, Shirlee, Kozier, Barbara, & Erb, Glenora. (2003). Buku
Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5. (Terj. Kozier and
Erbs Techniques in Clinical Nursing, 5
th
Edition, 2002) Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Black, J.M & Hawks, J. H. (2009). Medical-Surgical Nursing: Clinical
Management for Positive Outcomes. 7
th
Edition. 2
nd
Volume. Nebraska:
Elsevier Saunders.
Center for Neuro and Spine. Compression Fractures. Diambil dari
http://www.centerforneuroandspine.com/conditions/spine-conditions/lumbar-
spine-conditions/compression-fracture/default.aspx.
v

Cottrell, J. E. & Young, W. L. (2010). Cottrell and Youngs Neuroanesthesia. 5
th
Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier.
Dell, M. O. & Stubblefield, M. (2009). Cancer Rehabilitation: Principles and
Practice. New York: Demos Medical Publishing.
Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances & Murr, Alice C. (2010).
Nursing Care Plans: Guidelines for Individualizing Client Care Across the
Life Span. 8
th
Edition. USA: F. A. Davis Company.
Ethel, Sloane (2003). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. (Terj. James
Veldman) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ganong, W. F. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Garber, J. S., Gross, M. & Slonim, A. D. (2009). Avoiding Common Nursing
Errors. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Gibson, John (2002) Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Edisi 2. (Terj.
Bertha Sugiarto) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Harari, Danielle, Quinian, Jerrilyn & Stiens, Steven A. Spinal Cord Injury Kit:
Constipation and SCI. Paralyzed Veterans of America (PVA) Spinal Cord
Injury Education and Training Foundation (ETF).
http://www.eorthopod.com/content/spinal-compression-fractures.
http://www.patient.co.uk/doctor/Back-Examination-(Thoraco-lumbar).htm.
https://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=213&s
eg_id=4308.
Johns Hopkins Medicine. Vertebroplasty. Diambil dari
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/orthopaedic/v
ertebroplasty_135,37/.
vi

Johns Hopkins Medicine. Kyphoplasty. Diambil dari
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/orthopaedic/k
yphoplasty_135,36/.
Kozier, Barbara et all. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses & Praktik. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Pain Medications. Diambil dari
http://www.allaboutbackpain.com/html/spine_general/spine_general_painme
ds.html#Medications.
Pearce, Evelyn C. (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. (Terj. Sri
Yuliani Handoyo) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process,
and Practice. 6
th
Edition. St. Louis: Elsevier Mosby.
Price, S. A. & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rumah Sakit Ortopedi Purwokerto. (2013). Anatomi dan Fisiologi Tulang
Belakang (Bagian 1). Diambil dari http://rsop.co.id/anatomi-dan-fisiologi-
tulang-belakang-bagian-1/.
Sherwood, Lauralee. (2012). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Spine Health. Compression Fracture Treatment. Diambil dari http://www.spine-
health.com/conditions/osteoporosis/compression-fracture-treatment.
Spine Health. Spine Fracture Treatment Options. Diambil dari http://www.spine-
health.com/treatment/back-surgery/spine-fracture-treatment-options.
vii

Tucker, Susan Martin, Canobbio, Mary M., Paquette, Eleanor Vargo, & Wells,
Majorie Fyfe. (1993). Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan,
Diagnosis, dan Evaluasi. Edisi V. Volume 4. (Terj. Patient Care Standards:
Nursing Process, Diagnosis, and Outcome, 1992) Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Watson, Roger. (2002). Anatomi & Fisiologi Untuk Perawat. Edisi 10 Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wibowo, Daniel S. (2008). Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Grasindo.
Wilkinson, Judith M. & Ahern, Nancy R. (2009). Buku Saku Diagnosis
Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi
9. (Terj. Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook: NANDA Diagnoses,
NIC Interventions, NOC Outcomes) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
____. (2003). Anatomy & Phisiology: The Unity of Form and Function. Third
Edition. Chapter 13: The Spinal Cord, Spinal Nerves and Somatic Reflexes.
England: The McGraw-Hill Companies.

You might also like