KELAS B KELOMPOK 4 DIAN RAHMAWATI 1206218846 DWIANA INTAN RAHAYU PERTIWI 1206245140 NABILA DHEATAMI 1206218915 SHINTIA SILVANA 1206240543
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2014 i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kami, Kelompok 4, dapat menyelesaikan makalah yang memiliki topik Retensi fekal akibat Spinal Cord Injury (SCI) dengan baik. Penulisan ini dilakukan sebagai syarat pembelajaran mata kuliah Keperawatan Dewasa V di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini dibutuhkan beberapa pihak yang turut membantu dalam menyusun makalah sejak awal hingga selesai. Oleh karena itu, penulis ingin memberikan ucapan terima kasih kepada: 1. Ibu Debie Dahlia selaku dosen pembimbing kelas B yang telah memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing kami. 2. Orang tua penulis yang telah mendoakan agar penulis dapat menyeimbangkan waktu dan memberikan dukungan. 3. Teman-teman seperjuangan sivitas akademika Universitas Indonesia atas kerja sama dan bantuannya dalam pengerjaan makalah ini. Kiranya makalah ini dapat membantu mahasiswa dalam proses pembelajaran Keperawatan Dewasa V. Selain itu, bermanfaat bagi mahasiswa untuk lebih memahami pembelajaran pembuatan makalah.
Depok, Mei 2014 Penyusun
(Kelompok 4) ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i Daftar Isi..............................................................................................................ii BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................... 2 1.4 Metode Penulisan................................................................................... 2 1.5 Sistematika Penulisan............................................................................ 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4 2.1 Anatomi dan Fisiologi............................................................................ 4 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum.................................................... 4 2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Anus........................................................ 5 2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Tulang Servikal....................................... 7 2.2 Patofisiologi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord Injury (SCI)............... 8 2.3 Manifestasi Klinis Retensi Fekal Akibat Spinal Cord Injury (SCI)...... 12 2.4 Komplikasi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord Injury (SCI)................. 13 BAB 3 PEMBAHASAN..................................................................................... 14 3.1 Kasus...................................................................................................... 14 3.2 Pembahasan Kasus................................................................................. 14 3.3 Pengkajian.............................................................................................. 18 iii
1.1 Latar Belakang Sistem saraf merupakan suatu sistem jaringan yang saling berhubungan, sangat khusus dan kompleks yang berfungsi mengendalikan, mengatur, dan mengkoordinasikan interaksi antara sistem tubuh suatu individu maupun antara individu dengan lingkungannya. Salah satu contoh fungsi dari sistem saraf adalah mengatur proses pengeluaran eliminasi fekal atau pengontrolan sfingter ani yang bekerja secara sadar dan tidak sadar. Eliminasi merupakan proses pengeluaran sisa metabolisme yang dihasilkan oleh tubuh baik berupa urin maupun feses. Eliminasi fekal merupakan hal yang paling umum dan normal yang sering kita dengar. Banyak dari masyarakat menganggap masalah eliminasi fekal adalah hal yang biasa. Namun sebenarnya jika ada masalah dalam sistem gastrointestinal, maka akan ada masalah pula pada organ lainnya. Klien yang mengalami gangguan eliminasi fekal akan dapat mengalami emosional karena ada perubahan dalam citra tubuhnya (Perry & Potter, 2006). Proses pengeluaran zat sisa atau elminisasi fekal ini sangat bergantung pada banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dan fraktur pada servikal ke 7 inilah yang berhubungan langsung dengan sistem saraf dan berfungsi untuk mempengaruhi proses pengeluaran feses. Masalah ini tentunya harus diselesaikan guna klien tidak lagi mengalami retensi fekal akibat fraktur yang dialaminya. Dengan demikian sebagai tenaga kesehatan kususnya perawat, kita harus mengetahui bagaimana retensi fekal ini dapat terjadi, bagaimana anatomi dan fisiologi dari patent ductus arterious sebelum dan setelah kelahiran, penyebab, manifestasi klinis, bagaimana mengetahui seseorang yang mengalami fraktur pada bagian cervical ke-7 mengalami retensi fekal , penatalaksanan medis serta asuhan keperawatan yang tepat guna masalah retensi fekal yang disebabkan oleh fraktur cervical ke 7 dapat terselesaikan.
2
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini antara lain: a. Bagaimana anatomi dan fisiologi saraf cervical ke 7 dan sistem gastrointestinal? b. Bagaimana patofisiologi terjadinya retensi fekal? c. Apa hubungannya fraktur kompresi cervical ke 7 dengan retensi fekal? d. Apa etiologi, manifestasi klinis serta komplikasi dari retensi fekal? e. Bagaimana pengkajian (pengkajian fisik dan pengkajian diagnostik) yang harus dilakukan? f. Bagaimana penatalaksanaan medik (farmakologi dan nonfarmakologi) dari retensi fekal dan fraktur cervical ke 7? g. Bagaimana asuhan keperawatan serta intervensi keperawatan dari retensi fekal dan fraktur cervical ke 7?
1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami mengenai mekanisme terjadinya retensi fekal yang diakibatkan oleh fraktur cervical ke 7, serta mampu memberikan asuhan keperawatan individu dan keluarga melalui pendekatan proses keperawatan secara sistematis.
1.4 Metode Penulisan Penulis memakai metode studi literatur dan kepustakaan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber dari buku dan media-media lain seperti e-book, dan web.
3
1.5 Sistematika Penulisan Makalah ini diawali dengan Bab I, pendahuluan, yang terdiri dari paragraf yang menjabarkan latar belakang masalah yang akan dibahas, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Makalah dilanjutkan dengan Bab II, isi, yang berisikan tinjauan pustaka meliputi anatomi dan fisiologi dari cervical ke 7, dan sistem gastrointestinal, patofisiologi, etiologi, tanda dan gejala yang mungkin timbul dari fraktur cervical ke-7 dan retensi fekal, dan teori tentang pemeriksaan diagnostik. Selanjutnya BAB III, pembahasan yang melingkupi asuhan keperawatan, intervensi keperawatan serta penatalaksanaan medik dari patent ductus arteriosus. Kemudian dilanjutkan dengan Bab IV, Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum Makanan setelah masuk ke dalam tubuh melalui rongga mulut, akan dilanjutkan ke kerongkongan (pharynx), kemudian esophagus, dicerna dalam lambung, diteruskan ke usus halus (intestinum minor), dan usus besar (intestinum mayor), serta berakhir pada rectum untuk pengeluaran berupa feses (defekasi).
Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dengan bentuk yang lurus atau hampir lurus. Letaknya ada di dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os koksigius. Rectum merupakan perpanjangan dari kolon sigmoid. Struktur rectum serupa dengan colon (usus besar) yaitu lapisan serosa (bagian luar peritoneum), lapisan muscular, Lapisan submukosa, yang mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf, serta lapisan membrane mukosa. Namun pada rectum dindingnya yang berotot lebih tebal dan membran mukosanya memuat lipatan- lipatan membujur disebut dengan kolumna Morgagni. Saluran tersebut menyambung dengan saluran anus. Di dalam saluran anus ini serabut otot sirkular menebal membentuk otot sfingter ani interna. Sel-sel yang melapisi saluran anus 5
berubah sifanya; epithelium bergaris menggantikan sel-sel silinder. Sfingter ani eksterna yang menjaga saluran anus dan orifisium supaya tertutup.
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Anus
Anus merupakan saluran pencernaan makanan paling akhir yang menghubungkan usus besar dengan dunia luar. Letaknya di abdomen bawah bagian tengah di dasar pelvis setelah rectum. Dinding otot anus diperkuat oleh 3 sfingter yaitu: 1. Sfingter ani internus (tidak mengikuti keinginan) 2. Sfingter levator ani (tidak mengikuti keinginan) 3. Sfingter ani eksternus (mengikuti keinginan) Eleminasi fekal merupakan mekanisme buang air besar. Untuk mengetahui prosesnya, perlu untuk mengetahui apa saja sistem saraf autonom instrinsik pada usus yaitu: 6
1. Pleksus Mienterikus (Auerbach), terletak diantara lapisan otot polos sirkuler dan longitudinal. 2. Pleksus Meissner, terletak di sub mukosa. Pleksus Mienterikus dan Meissner merupakan pleksus intrinsik karena keduanya berada di dalam dinding saluran pencernaan. 3. Pleksus Henle, terletak disepanjang batas otot sirkuler. Keinginan untuk bedefekasi muncul ketika tekanan rectum mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani interna dan eksterna akan melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks instrinsik yang diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rektum. Ketika feses memasuki rektum, distensi dinding rectum akan mengirim sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gerakan peristaltik dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang perstaltik mendekati anus, sfingter ani interna direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterna dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang. Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksterna tercapai, defekasi volunteer dapat dicapai secara volunteer melemaskan sfingter eksterna dan mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu refleks spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksterna tetap berkontraksi atau melemaskan sfingetr dan mengontraksi otot abdomen. Stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai refleks defekasi, sehingga diperlukan refleks lain yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Jika ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dikirimkan ke medulla spinalis kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus. Sinyal ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan merelaksasi sfingter ani interna. Sehingga mengubah refleks defekasi interna menjadi proses defekasi yang kuat.
7
2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Tulang Servikal
Tulang belakang merupakan merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang-tulang yang tidak beraturan yang disebut vertebra, masing-masing vertebra dipisahkan oleh diskus intervertebralis, yang berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorption) dan menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang. Kolumna vertebralis adalah pilar utama tubuh, yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala dan batang tubuh yang diteruskan ke tulang-tulang paha dan tungkai bawah. Di setiap ruas tulang belakang juga terdapat 2 buah lubang di tepi kanan dan kiri belakang tulang bernama foramen invertebrate, yaitu sebuah lubang tempat berjalannya akar saraf dari canalis vertebrata menuju seluruh tubuh. Saraf-saraf tersebut keluar melalui lubang itu dan mempersarafi seluruh tubuh baik dalam koordinasi gerakan maupun sensai sesuai daerah persarafannya. Tulang belakang terdiri dari 4 segmen yaitu 1. Segmen Servikal (terdiri dari 7 ruas tulang) 2. Semen Torakal (terdiri dari 12 ruas tulang) 3. Segmen Lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) 4. Segmen Sakral (terdiri dari 5 ruas tulang) Tulang servikal terdiri dari tujuh tulang vertebra yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis dan dihubungkan oleh jaringan ligamen yang komplek. Jaringan ligamen tersebut menyebabkan tulang-tulang ini dapat bekerja sebagai satu kesatuan unit yang utuh. Vertebra servikal memiliki karakter berupa tiap procesus tranversus mempunyai foramen procesus tranversus untuk arteri dan vena 8
vertebralis, namun arteri vertebralis hanya melalui procesus transversus C16 saja. Pada sistem saraf terdapat sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom (SSO) merupakan sistem saraf campuran. Serabut-serabut aferennya membawa input dari organ-organ visceral (mengatur denyut jantung, diameter pembuluh darah, pernapasan, pencernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan, dan sebagainya) saraf eferen motorik SSO mempersarafi otot polos, otot jantung, dan kelenjar- kelenjar visceral. SSO terutama mengatur fungsi visceral dan interaksinya dengan lingkungan internal. (Muttaqin, 2008). SSO dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Mediator stimulus simpatis adalah norepinefrin sedangkan mediator impuls parasimpatis adalah asetikolin. Kedua zat kimia ini mempunyai pengaruh yang berlawanan. Bagian simpatis meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah torakal dan lumbal (torakolumbal medulla spinalis. Sedangkan bagian parasimpatis keluar dari otak (melalui komponen-komponen saraf cranial) dan bagian sacral medulla spinalis (kraniosakral)
2.2 Patofisiologi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord I njury (SCI) Pada hakikatnya, semua gerakan yang dilakukan oleh manusia diatur oleh sistem saraf. Sistem saraf merupakan suatu sistem jaringan yang saling berhubungan, sangat khusus dan kompleks yang berfungsi mengendalikan, mengatur, dan mengkoordinasikan interaksi antara sistem tubuh suatu individu maupun antara individu dengan lingkungannya. Sistem saraf dibagi atas dua yakni sistem saraf pusat yang didalamnya ada otak dan medulla spinalis (sumsum tulang belakang) dan sistem saraf tepi/perifer yang merupakan saraf yang mengubuhkan antara sistem saraf pusat dengan organ tubuh lainnya. Dalam hal retensi fekal ini, yang mengalami masalah pada intinya adalah berpusat pada sistem saraf tepi yang tidak kondusif lagi kerjanya karena telah mengalami fraktur pada bagiannya, khususnya cervical-7. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sistem saraf perifer/tepi ini merupakan sistem saraf yang menghubungkan sistem saraf pusat dengan organ tubuh lainnya, diantaranya kranial (yang menguhubungkan kinerja 9
otak dengan organ lainnya) dan spinal (yang menghubungkan kinerja sumsum tulang/medulla spinalis dengan organ tubuh lainnya).
Potongan melintang spinal cord Potongan sagital spinal cord Gangguan fungsi pencernaan adalah salah satu masalah terbesar bagi seseorang yang mengalami cedera tulang belakang/medulla spinalis, khususnya dalam mengontrol proses evakuasi (pengosongan usus). Hal ini akan bergantung pula pada sistem saraf perifer yang bertugas menghubungkan kinerja sistem saraf pusat dengan organ lainnya. Karena pada hakikatnya, gagguan usus merupakan hal yang paling sering ditemukan dalam program rehabilitasi seseorang setelah cedera tulang belakang, baik dalam hal kualitas hidup maupun morbiditas dan mortality hidup seseorang. Dalam baru-baru ini belajar di populasi besar negara Italia dengan pasien yang mengalami cedera tulang belakang (Spinal Cord Injury atau SCI) mengatakan mereka tidak puas dengan manajemen usus mereka, dan lebih dari setengah dari mereka mengatakan bahwa itu adalah beban berat pada sosial mereka hidup dan lebih dari sepertiga darii mereka mengeluh bahwa mereka tidak berhasil mencapai fungsi usus yang teratur , bahwa mereka malu dan bahwa mereka tidak mandiri dalam mengelola bowels (sistem pencernaan) mereka sendiri. Medulla spinalis memiliki 31 pasang kolumna vetrebralis yang terdiri atas cervical (7 pasang), thoracic (12 pasang), lumbar (5 pasang), dan sacral spinal (5 10
pasang). Medulla spinalis merupakan struktur lanjutan tunggal memanjang dari medulla oblongata (batang otak) melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbalis pertama atau L1 pada orang dewasa (Price & Wilson, 2012). Dalam kasus, klien berumur 25 tahun ini mengalami fraktur cervical-7 yang berakibat mengalami gangguan pada fungsi pencernaannya, yakni retensi fekal. Cervical merupakan bagian pada medulla spinalis/sumsum tulang belakang yang berfungsi mengatur kinerja sfingter ani yang melemah dan akhirnya berdampak pada retensi fekal.
Jalur impuls saraf medulla spinal Berdasarkan arah impuls, saraf perifer yang merupakan saraf yang menghubungkan kinerja saraf pusat dan organ lainnya terbagi atas saraf aferen dan eferen. Saraf aferen bekerja membawa impuls dari reseptor ke saraf pusat dan eferen bekerja membawa impuls dari saraf pusat ke efektor. Selanjutnya saraf eferen terbagi atas sistem saraf somatis dan autonom. Pada saraf somatis bekerja secara sadar dan tidak sadar dan berfokus pada respon motorik yang dihasilkan oleh otot rangka. Sedangkan pada autonom berfokus pada pengendalian seluruh respons involunteer organ-organ viseral seperti pengaturan denyut jantung, diameter pembuluh darah, pencernaan, eliminasi dan berkaitan dengan otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan mentransmisikan impuls saraf. Pada saraf autonom juga terbagi lagi menjadi saraf simpatis dan parasimpatis. Menurut Price & Wilson (2012: 457) persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf autonom dengan pengecualian sfingter eksterna karena bekerja secara volunter. 11
Serabut parasimpatis pada saraf autonom berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Sedangkan serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps melalui saraf seliaka dan aortikorenalis, serabut pasca ganglionik (mengeluarkan asetilkolin) menuju kolon. Rangsangan simpatis (mengeluarkan nonepineprin) menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum, sementara parasimpatis bekerja berkebalikan dengan simpatis. Efek stimulasi simpatis adalah menurunkan motilitas atau gerakan pada traktus digestif, kontraksi sfingter yang bermaksud mencegah gerakan maju isi saluran cerna dan inhibisi sekresi pencernaan. Sementara stimulasi parasimpatis bekerja meningkatkan motilitas, relaksasi sfingter (memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna) dan stimulasi sekresi pencernaan (pengosongan usus) (Ganong, 2007., Sherwood, 2012). Eliminasi fekal bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sfingter ani. Gerakan kolon dan dilatasi sfingter ani ini khusus dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis. Gerakan kolon meliputi tiga gerakan yaitu gerakan massa kolon, gerakan mencampur dan gerakan peristaltik. Gerakan massa kolon ini merupakan gerakan tercepat yakni bekerja mendorong feses dari kolon ke rektum. Begitu ada feses yang sampai di rektum, maka ujung saraf sensoris yang berada pada rektum menjadi regang dan terangsang. Kemudian impuls ini diteruskan ke medula spinalis. Setelah itu, impuls dikirim ke korteks serebri serta sakral II dan IV. Impuls dikirim ke korteks serebri agar individu menyadari keinginan buang air besar. Impuls dikirim ke sakral II dan IV, selanjutnya dikirim ke saraf parasimpatis untuk mengatur pembukaan sfingter ani interna. Terbukanya sfingter tersebut menyebabkan banyak feses yang masuk ke dalam rektum. Setelah itu, sfingter ani eksterna secara volunter akan membuka kemudian terjadilah proses defekasi. Pada kasus, klien mengalami fraktur cervical-7 yang dengan ini sistem saraf parasimpatis yang bekerja juga akan mengalami gangguan. Keadaan fraktur ini akan dapat mengakibatkan kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior yang dapat menyebabkan nekrosis dan menstimulasi 12
pelepasan mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson dan terbentuknya radikal bebas yang berlebih dalam tubuh dan tidak terkontrol oleh sistem enzim antioksidan, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik juga. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot-otot abdominal, intake pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor. Respon saaf simpatis dalam hal ini ditunjukkan dengan mengurangi perfusi pada traktus gastrointestinal dan juga produksi mucus lambung untuk melindungi organ yang persarafannya rusak sehingga klien dapat mengalami pemunduran proses defekasi atau retensi fekal.
2.3 Manifestasi Klinis Retensi Fekal Akibat Spinal Cord I njury (SCI) Manifestasi klinis yang timbul pada klien yang mengalami retensi fekal akibat fraktur kompresi C7 antara lain: 1. Perut kembung/distensi usus yang ditandai dengan banyaknya gerakan usus yang tidak lazim dan mungkin merasa seperti tidak dapat mengeluarkan fetus (gas/flatur) hal ini disebabkan oleh terlalu banyaknya tinja/feses di usus dan rektum yang tidak dapat dikeluarkan. 2. Gerakan usus (gerakan massa kolon) yang bekerja mendorong feses dari kolon ke rektum akan mengambil waktu yang jauh lebih lama dari biasanya hal ini disebabkan oleh adanya fraktur pada cervical ke-7 dan menyebabkan proses defekasi juga menjadi lebih lama (pada kasus satu kali sehari pada 5 hari yang lalu). 3. Ketidaknyamanan perut atau nyeri yang diakibatkan oleh distensi kandung kemih. 4. Gejala dysreflexia otonom (berkeringat, sakit kepala) yang disebabkan adanya rasa ingin melakukan proses defekasi damun tidak bisa mengeluarkan (retensi fekal) dan akan segera pulih apabila sudah melakukan proses defekasi. 5. Gerakan usus yang keras, disebabkan oleh kurangnya impuls yang diberikan oleh saraf cervical-7 akibat fraktur yang dialami klien. 13
2.4 Komplikasi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord I njury (SCI) Komplikasi yang mungkin terjadi pada klien yang mengalami retensi fekal akibat fraktur kompresi C7 antara lain: 1. Konstipasi Konstipasi merupakan kondisi dimana jarang untuk melakukan proses defekasi. Hal ini akan terjadi ketika klien mengalami retensi fekal. Ada beberapa karakteristik bagi seseorang yang diindikasikan konstipasi. Karakteristik tersebut diantaranya; penurunan frekuensi defekasi dari kebiasaan, feses keras, kering dan memiliki bentuk; mengejan saat dedekasi, defekasi terasa nyeri; merasa tidak komplit dalam mengeluarkan feses; nyeri abdomen, kram; sudah menggunakan laksatif; penurunan nafsu makan; dan, sakit kepala. (Kozier, 2011). Hal ini disebabkan oleh pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga memungkinkan tersedianya waktu yang cukup lama untuk melakukan proses penyerapan cairan di usus besar. 2. Impaksi Fekal Impaksi fekal adalah massa atau kumpulan feses yang mengeras didalam rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi feses dalam waktu lama. Impkasi fekal dapat diketahui dengan keluarnya feses cair (diare) dan bukan feses yang normal. Bagian feses cair akan keluar dari pinggir massa feses yang sudah mengalami impaksi (mengeras didalam rektum). Walaupun impaksi fekal dapat dicegah secara umum, kadang kala dibutuhkan pengeluarannya secara digital. 3. Inkontinensia Alvi Inkontinensia alvi merupakan hilangnya kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas dari sfingter anal (Kozier, 2011). Hal ini dapat terjadi ketika seseorang mengalami impaksi fekal dan terjadi penumpukan feses di rektum sehingga menyumbat rektum, maka massa feses akan menutupi seluruh permukaan rektum. Sensor syaraf yang ada di rektum menjadi tumpul dan tidak dapat lagi membedakan antara cairan, flatus ataupun feses. Massa feses keras juga dapat membuat iritasi dinding-dinding rektum sehingga mengakibatkan pengeluaran cairan yang nantinya akan keluar yang merupakan feses cair. 14
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Kasus Seorang laki-laki berusia 25 tahun, dirawat dengan suspect fraktur kompresi servikal ke 7. keluhan saat ini pasien belum BAB sejak 5 hari yang lalu. Sebelum sakit pasien mengatakan BAB 1x/hari.
3.2 Pembahasan Kasus Tulang belakang merupakan hal terpenting dalam manusia karena fungsinya dalam melindungi sistem syaraf perifer. Tulang belakang manusia terdiri dari 33 tulang yang terbagi menjadi beberapa bagian yaitu: 1. 7 tulang cervical (C) 2. 12 tulang thoracic (T) 3. 5 tulang lumbar (L) 4. 5 tulang sacral dan tulang coccygeal (fused)
15
C7 (cervical ke-7) merupakan salah satu bagian dari lower cervical region yang berfungsi untuk menopang cranium, melindungi neuronneuron vital, dan membantu pergerakan tubuh (Vaccaro, 2013). Selain fungsi fungsi tersebut, C7 juga merupakan salah satu sumber akson lateral cord atau awal dari neuron yang mengatur muskulokutaneous.
Pada kasus yang tertera di awal, dikatakan bahwa pasien mengalami suspect fraktur kompresi C7. Fraktur merupakan istilah untuk terputusnya kontinuitas tulang (precalculus). Fraktur pada tulang belakang dapat terbagi menjadi beberapa jenis yaitu (Cottrell, 2010). 1. Ekstensi, dapat dibagi menjadi tiga. Distraksi ekstensi Ekstensi Ekstensi Kompresi
16
2. Kompresi, dapat dibagi menjadi dua.
3. Fleksi Kompresi
4. Fleksi Distraksi, dapat dibagi menjadi dua. Distraksi Fleksi Fleksi
5. Distraksi
17
Berdasarkan gambargambar di atas, berikut ini merupakan beberapa jenis fraktur yang dapat terjadi pada Subaxial Cervical (C3 C7) (Cottrell, 2010)
Cedera kompresi, sebagaimana terlihat pada gambar, dapat dibagi menjadi dua jenis (Cottrell, 2010). 1. Wedge compression fracture pada umumnya terjadi di area thoracolumbar dan pada fraktur kompresi ini, ligamen posterior masih berada dalam keadaan utuh 2. Burst fracture merupakan fraktur kompresi yang sangat serius karena pada fraktur kompresi ini, fragment tulang, ligament, dan disk material dapat masuk ke kanal spinal dan kemudian dapat mengakibatkan kerusakan neurologis yang serius
18
Pasien dengan fraktur kompresi C7 dapat menunjukkan gejalagejala umum menyerupai gejala pada pasien dengan fraktur tulang seperti nyeri, pembengkakan, deformitas tulang, pemendekan tulang, ekimosis, dan krepitus (AAOS, 2011). Pasien dengan fraktur kompresi C7 memerlukan penanganan khusus lainnya karena fraktur di area cervical merupakan jenis fraktur yang dapat mengganggu fungsi tubuh lainnya dibandingkan fraktur di area lain di tulang belakang. Hal ini dikarenakan hampir semua kontrol sistem dalam tubuh melewati area cervical ini sehingga dikhawatirkan cedera pada area cervical dapat menimbulkan cedera pada neuron yang melintasinya hingga menimbulkan miskomunikasi antara pusat pengatur di hipotalamus dan sistem limbik yang kemudian dapat mengganggu kinerja organorgan efektor di sistem syaraf otonomi (Benzel, 2012). Salah satu contoh dari akibat suspect fracture compression C7 adalah reflex neurogenic bowel dysfunction yang dapat menyebabkan retensi fekal seperti yang tertera di awal pembahasan. Reflex neurogenic bowel dysfunction merupakan kelainan eliminasi fekal yang terjadi akibat cedera tulang belakang yang terjadi di atas T12 atau conus medullaris (Garber, 2009). Menurut ApunaGrummer (2013), hampir pada semua kasus cedera tulang belakang, disfungsi bowel merupakan prioritas tertinggi karena disfungsi bowel selain dapat mengganggu fungsi organ tubuh, disfungsi bowel juga dapat menimbulkan gangguan psikologis pada pasien. Individu dengan cedera tulang belakang mengalami tertahannya sensasi rectal yang telah terisi penuh dan kemampuan untuk mengosongkan bowel (ApunaGrummer, 2013). Karakteristik dari reflex neurogenic bowel dysfunction adalah peningkatan tonus atau tegangan otot pada dinding usus dan anal, menurunnya gerakan mendorong pada kolon, kurangnya waktu singgah makanan di kolon, spastisitas pada external anal sphincter (EAS), dan spastisitas otot (Dell, 2009).
3.3 Pengkajian Pengkajian kesehatan fisik yang menyeluruh dapat dilakukan pada klien mulai dari kepala dan dilanjutkan ke bawah secara sistematis. Meskipun demikian, prosedur ini dapat bervariasi tergantung pada usia individu, tingkat 19
keparahan penyakit, keinginan perawat, lokasi pemeriksaan, dan priortas serta prosedur yang berlaku di lembaga (Kozier, 2010).
3.3.1 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada prosesus spinosus vertebra servikalis ke tujuh (C-7), yang disebut juga prominensia vertebra. Ketika klien melakukan fleksi anterior pada leher, tonjolan prosesus dapat dilihat dan diraba (Kozier, 2010). Tonjolan tersebut adalah prosesus spinosus vertebra servikalis ketujuh. Apabila terlihat dua prosesus spinosus, sebelah atas adalah C-7 dan sebelah bawah adalah prosesus spinosus vertebra tolakalis pertama (T-1). Perawat kemudian memalpasi dan menghitung prosesus spinosus dari C-7 hingga T-3. Perhitungan ini juga digunakan untuk mengidentifikasi lobus paru.
Sumber: Kozier (2010) Telah dibahas bahwa fraktur kompresi C7 dapat menunjukkan gejalagejala umum menyerupai gejala pada pasien dengan fraktur tulang seperti nyeri, pembengkakan, deformitas tulang, pemendekan tulang, ekimosis, dan krepitus (AAOS, 2011). Dengan demikian, dilakukan pengkajian pada tulang yang 20
ditujukan untuk menilai normalitas bentuk tulang. Pengkajian pada sendi ditujukan untuk mengetahui adanya nyeri tekan, bengkak, penebalan, krepitasi (bunyi gesekan antar tulang), nodul, dan rentang pergerakan sendi. Pengkajian tulang dapat dilakukan dengan mengamati struktur normal rangka dan perhatikan adanya kelainan (deformitas) pada rangka. Palpasi tulang untuk menemukan area yang mengalami edema atau nyeri tekan. Jika terdapat kelainan akan didapatkan letak tulang yang tidak sejajar dan terdapat nyeri tekan atau bengkak yang dapat mengindikasikan fraktur. Pengkajian pada sendi dapat dilakukan dengan mengamati adanya bengkak pada sendi. palpasi setiap sendi untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan keluwesan gerak serta mengkaji rentang pergerakan sendi. Rentang pergerakan sendi yang dapat dilakukan terkait dengan lokasi padan fraktur kompresi C7, yaitu di bagian leher yang merupakan sendi putar. Pergerakannya yaitu fleksi (42-2),ekstensi (42-2), hiperekstensi(42-2), dan fleksi lateral (42-3), serta rotasi (42-4).
Sumber: Kozier (2010) 21
Selain melalui inspeksi dan palpasi pada tulang serta inspeksi pada rentang pergerakan sendi, pemeriksaan fisik juga dapat dilihat pada system neurologi, yaitu berkaitan dengan pengkajian reflek. Pengkajian reflex otot trisep ditujukan untuk menilai C-7, C-8 pada medulla spinalis. Prosedur tindakan ini dilakukan dengan memfleksikan siku klien, dan sangga lengan klien dengan telapak tangan nondominan, palpasi tendon trisep sekitar 2-5 cm di atas siku, ketukan palu perkusi langsung pada tendon, kemudian inspeksi adanya ekstensi ringan normal pada siku. Kelainanan yang terjadi terkait dengn C7, yaitu a) Kelemahan otot: ekstensi siku, pergelangan tangan fleksi, ekstensi jari b) Perubahan Reflex: trisep. c) Perubahan sensorik: jari tengah.
Sumber: Kozier (2010)
3.3.2 Pemeriksaan Diagnostik 1. Sinar-X Pencitraan diagnostik dimulai dengan sinar-X dari wilayah yang terkena dampak dari tulang belakang. Di beberapa hal, CT scan telah menggantikan sinar- X biasa. Serangkaian pemeriksaaan X-ray biasanya yang pertama kali dilakukan adalah bagian tulang belakang leher, dada dan panggul. X-Ray dari tulang belakang dan leher yang ditunjukkan dalam setiap pasien setelah kepala dan cedera wajah mempunyai kriteria sebagai berikut. 1) Tidak ada kelembutan serviks garis tengah 22
2) Tidak ada defisit neurologis fokal 3) Kewaspadaan normal 4) Tidak ada keracunan 5) Tidak menyakitkan, cedera mengganggu Wilayah dari tulang belakang dan leher yang dianjurkan untuk pemeriksaan yaitu: anteroposterior, lateral dan odontoid. Sinar-X dari dada dan lumbar tulang belakang yang ditunjukkan oleh setiap pasien menunjukan rasa sakit atau nyeri, penurunan yang signifikan, akibat kecelakaan lalu lintas jalan, adanya patah tulang belakang lainnya. Radiografi harus cukup menggambarkan semua vertebra.
Sumber: www.eorthopod.com
2. CT Scan Plain X-Ray tidak sensitif terhadap patah tulang belakang yang kecil. Secara umum, CT scan harus menjadi pendekatan lini pertama pada pasien berisiko tinggi dan sinar-X biasa harus disediakan untuk evaluasi awal pasien dengan risiko rendah lesi traumatik. CT Scan dicadangkan untuk menggambarkan kelainan tulang atau fraktur. Beberapa studi telah menyarankan bahwa CT Scan dengan sagital dan koronal reformatting lebih sensitif dibandingkan sinar-X polos untuk mendeteksi patah tulang belakang. CT/MRI dari tulang belakang dada dan lumbar sangat penting bagi setiap pasien yang mengalami defisit neurologis setelah trauma.
23
CT scan dapat dilakukukan jika dalam situasi sebagai berikut. 1) Plain radiografi tidak memadai. 2) Kenyamanan dan kecepatan. Misalnya, jika CT Scan kepala diperlukan maka mungkin lebih sederhana dan lebih cepat untuk mendapatkan CT dari cervical spine pada saat yang sama. 3) Sinar-X menunjukkan kelainan yang mencurigakan dan/atau tak menentu. 4) Sinar-X menunjukkan fraktur atau perpindahan CT Scan menyediakan visualisasi yang lebih baik dari tingkat dan perpindahan fraktur.
Sumber: www.ceessentials.net 3. MRI Jika radiografi serviks lateral dan CT Scan negatif, MRI merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengecualikan ketidakstabilan. Pasien dengan tanda- tanda neurologis fokal, injury atau fraktur, dan pasien yang operasi memerlukan pemeriksaan pra-operasi yang juga harus memiliki MRI Scan. Seluruh tulang MRI diindikasikan untuk luka bertingkat atau ligamen, dan untuk luka cauda equina. MRI yang terbaik untuk dicurigai lesi tulang belakang, kompresi tali pusat, patah tulang belakang di berbagai tingkat dan cedera ligamen atau cedera jaringan lunak lain atau patologi. MRI harus digunakan untuk mengevaluasi lesi 24
jaringan lunak, seperti hematoma ekstradural tulang belakang, abses atau tumor, atau perdarahan sumsum tulang belakang, memar dan / atau edema. Kerusakan neurologis biasanya disebabkan oleh cedera sekunder, yaitu edema atau perdarahan. MRI adalah gambar diagnostik terbaik untuk menggambarkan perubahan ini.
Sumber: www.ebmedicine.net
3.4 Diagnosis dan Intervensi Keperawatan Prioritas masalah keperawatan yang dipilih berdasarkan kasus pemicu dimana klien mengalami retensi fekal akibat fraktur kompresi servikal ke-7 antara lain: 1. Nyeri akut b.d fraktur kompresi servikal ke 7, kerusakan sistem saraf penggunaan traksi, dan distensi abdomen 2. Konstipasi b.d hambatan defekasi karena fraktur kompresi servikal ke 7 3. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal 4. Potensial terhadap kerusakan integritas kulit b.d imobilitas fisik 5. Risiko Trauma Spinal Tambahan b.d komplikasi fraktur servikal 25
No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional 1. Nyeri akut b.d fraktur kompresi servikal ke 7, kerusakan sistem saraf, penggunaan traksi, dan distensi abdomen
Klien melaporkan tingkat ketidaknyamanan berkurang. Klien terlihat relaks; istirahat dan tidur adekuat. Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi. Mandiri 1) Menyediakan kenyamanan bagi klien, seperti mengubah posisi, masase punggung, latihan ROM, kompres hangat dan dingin. 2) Mengajari klien untuk menerapkan teknik relaksasi, seperti visualisasi (membayangkan yang indah- indah) dan napas dalam. Kolaborasi 1) Memberikan obat sesuai indikasi, sebagai contoh: relaksan otot, seperti dantrolene (Dantrium) dan baclofen (Lioresal); analgesik; agen anti-ansietas, seperti alprazalam (Xanax) dan diazepam (Valium).
Tindakan yang dapat meningkatkan kenyamananpada tubuh klien dapat mengurangi kebutuhan pemakaian obat dan dapat menyediakan dukungan sosial. Relaksasi dan aktivitas dapat mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri yang dialaminya dan meningkatkan kemampuan koping.
Obat-obat ini menurunkan spasme otot, nyeri, kecemasan, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas istirahat. 26
2. Konstipasi b.d hambatan defekasi karena fraktur kompresi servikal ke 7 Konstipasi kien menurun, yang dibuktikan oleh pola defekasi yang normal. Klien menunjukkan pengetahuan program defekasi yang dibutuhkan. Klien memperlihatkan hidrasi yang adekuat (turgor kulit baik, asupan cairan kira- kira sama dengan haluaran). Klien dapat menjelaskan secara Mandiri 1) Menerapkan bowel program setiap hari, diantaranya dengan menerapkan digital stimulation dan penggunaan pelunak feses.
2) Anjurkan diet yang seimbang dan tingkatkan asupan cairan paling sedikit 1.500-2000 mL/hari, termasuk jus buah. 3) Batasi asupan makanan dan minuman yang mengandung kafein, misalnya kopi dan teh.
Kolaborasi 1) Memberikan obat-obatan sesuai indikasi, seperti pelunak feses,
Bowel program penting untuk mengontrol evakuasi feses. Catatan: Bowel program pada klien dengan kerusakan motorik bagian atas umumnya ditangani dengan penggunaan supositoria atau digital stimulation. Konsumsi serat dan cairan yang tinggi dapat mengubah konsistensi feses untuk dapat berpindah melalui saluran percernaan. Efek diuretik dari kafein dapat menurunkan ketersediaan cairan di usus, sehingga meningkatkan risiko kekeringan dan keras pada feses.
Pelunak feses, laksatif, supositoria, dan enema menstimulasi gerakan peristalsis 27
verbal dan menerapkan individual bowel program. laksatif, supositoria, dan enema (misalnya Therevac-SB).
2) Berkonsultasi dengan dietitian atau nutritional support team. dan evakuasi feses secara rutin. Supositoria harus dihangatkan pada suhu ruangan sebelum di insersi. Therevac-SB adalah enema 4 mL dari bahan gliserin yang dapat menurunkan waktu untuk bowel care paling lama 1 jam. Dukungan dari tim dietitian bermanfaat dalam membuat rencama diet berdasarkan kebutuhan nutrisi yang dibutkan klien. 3. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal
Meningkatkan kekuatan dan kompensasi bagian tubuh. Klien ikut serta dalam program rehabilitasi dan jadwal aktivitas. Klien mencapai Mandiri 1) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan ajarkan latihan rentang gerak aktif untuk semua ekstremitas secara lembut dan dengan gerakan yang halus setiap 2 jam. 2) Menyediakan jarak antara istirahat dan aktivitas.
ROM (range of motion) atau latihan rentang pergerakan sendi meningkatkan sirkulasi darah, mempertahankan tonus otot, dan mencegah atrofi otot atau kontraktur.
Istirahat yang adekuat dan aktivitas yang optimal menyediakan kesempatan bagi 28
kembali mobilitas sampai tingkat optimal. Klien melakukan rentang gerak dengan tepat.
3) Memonitor tekanan darah sebelum dan setelah aktivitas.
4) Mengubah posisi klien bahkan ketika sedang duduk di kursi.
Kolaborasi 1) Berkonsultasi dengan terapis fisik dan okupasi serta tim rehabilitasi lainnya.
2) Memberikan relaksan otot sesuai klien untuk memaksimalkan usaha dan berpartisipasi aktif. Kehilangan inervasi saraf simpatis, khususnya di T6 dan SCI pada bagian lebih atas, menyebabkan kehilangan tonus vaskular, yang berdampak pada hipotensi. Perubahan posisi mengurangi tekanan pada area yang tertekan dan meningkatkan sirkulasi perifer.
Kolaborasi membantu dalam merencanakan dan mengimplementasi program latihan individu. Anggota tim rehabilitasi mengidentifikasi dan mengembangkan penggunaan alat-alat bantu agar dapat meningkatkan fungsi tubuh dan kepercayaan diri klien. Relaksan otot berguna untuk membatasi 29
indikasi, seperti diazepam (Valium), baclofen (Lioresal), dan dantrolene (Dantrium). dan mengurangi nyeri.
4. Potensial terhadap kerusakan integritas kulit b.d imobilitas fisik
Klien mempertahankan integritas kulit di sekitar lokasi pemasangan. Klien dapat bergerak di sekitar tempat tidur dengan sering dan mempertahankan kesejajaran tubuh. Klien mengungkapkan pengertian tentang alat imobilisasi yang Mandiri 1) Ganti posisi secara rutin, baik dalam keadaan tidur atau duduk. Tempatkan dalam posisi prone dalam beberapa periode waktu 2) Lakukan perawatan kulit dan berikan masase serta gosok punggung dengan lotion atau minyak. 3) Jaga sprai agar tetap kering dan bebas dari kotoran. Pertahankan selimut alas bebas dari kerutan. Kolaborasi 1) Menyediakan terapi kinetik atau alternatif matras sesuai indikasi.
Pergantian posisi meningkatkan sirkulasi darah dan menurunkan tekanan terutama pada bagian kulit yang tertekan tulang.
Perawatan kulit dan masase meningkatkan sirkulasi darah dan melindungi permukaan kulit, sehingga menurunkan risiko luka tekan. Kondisi seperti ini mencegah kelembapan yang berlebihan sehingga mengurangi iritasi kulit.
Terapi kinetik dan alternatif matras membantu mengubah sirkulasi sistemik 30
dibutuhkan. dan perifer serta mengurangi tekanan pada kulit. 5. Risiko Trauma Spinal Tambahan b.d komplikasi fraktur servikal Tulang kembali pulih tanpa mengalami kerusakan yang lebih parah Mandiri 1) Mempertahankan istirahat di tempat tidur dan penggunaan alat- alat imobilisasi (kantung pasir, traksi, cervical collar keras dan lunak). 2) Memeriksa alat-alat stabilisasi eksternal, misalnya Gardner-Wells tongs atau traksi skeletal lainnya.
Kolaborasi 1) Mempersiapkan untuk operasi bedah stabilisasi internal, misalnya spinal laminectomy, jika diindikasikan.
Imobilisasi mencegah kolumna vertebra dari kerusakan yang lebih parah. Catatan: Traksi digunakan hanya untuk stabilisasi servikal.
Alat-alat ini digunakan untuk dekompresi fraktur spinal dan stabilisasi kolumna vertebra selama fase akut kerusakan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.
Operasi bisa diindikasikan untuk stabilisasi spinal, dekompresi, atau menghilangkan fragment tulang yang patah. 31
3.5 Penatalaksanaan Medis Spinal Cord Injury (SCI) atau cedera tulang belakang merupakan cedera mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya. Berdasarkan kasus pemicu, klien mengalami retensi fekal (tidak dapat buang air besar) akibat mengalami fraktur kompresi pada servikal ke 7. Cedera servikal tersebut mengakibatkan terbloknya saraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Kerusakan korda spinalis dan cedera kepala akan menimbulkan penurunan stimulus sensorik untuk defekasi. Apabila dibiarkan terus-menerus, maka terjadi retensi fekal yang dapat menimbulkan konstipasi dan komplikasi menuju impaksi fekal. Konstipasi adalah keluarnya feses yang dikit, kering, keras atau tidak keluarnya feses dalam jangka waktu lama. Konstipasi pada kasus ini disebabkan karena terganggunya proses penyampaian impuls saraf dari usus dan rektum ke sistem saraf pusat yang mengakibatkan tidak terjadinya proses defekasi. Impaksi fekal adalah massa atau kumpulan feses yang mengeras di dalam rektum, terjadi akibat retensi dan akumulasi materi feses dalam waktu lama, dan diketahui dengan keluarnya feses cair (diare) dan bukan feses normal. Bagian feses yang cair keluar dari pinggir massa feses yang mengalami impaksi. Impaksi fekal umumnya dapat dicegah secara umum, namun kadang kala dibutuhkan pengeluaran feses yang mengalami impaksi secara digital. Apabila diperkirakan ada impaksi fekal, klien sering kali diberikan enema retensi minyak, kemudian enema pembersih saat 2-4 jam sesudahnya, dan ditambah dengan pelunak feses setiap hari. Apabila proses ini gagal, pengeluaran feses secara manual sering diperlukan. Berikut ini merupakan beberapa penatalaksanaan medis yang dapat diterapkan pada kasus retensi fekal akibat fraktur kompresi servikal ke 7.
32
3.5.1 Pain Medications 1. Aspirin Senyawa aspirin adalah obat yang dapat membantu meringankan rasa sakit ringin dan sakit kambuh. Efek samping potensial yang paling utama dari aspirin yaitu permasalahan pada perut, khususnya ulkus lambung dengan atau tanpa perdarahan. 2. NSAID (Non-Steroidal Anti Inflamatory Drugs) Obat anti-inflamasi non-steroid 9NSAID) termasuk penghilang nyeri seperti ibuprofen dan naproxen. NSAID sangat efektif dalam mengurangi rasa sakit yang terkait dengan ketegangan otot dan peradangan. Obat ini dapat menurunkan fungsi ginjal jika dikonsumsi oleh pasien yang lebih tua dalam jumlah yang berlebihan. 3. COX-2 Inhibitors Obat ini merupakan kelas baru dari NSAID untuk mengurangi peradangan. NSAID baru ini bekerja secara selektif menghambat pembentukan bahan kimia yang menyebabkan nyeri. COX-2 Inhibitors kebih mudah dicerna di perut sebab tidak mengganggu enzim-enzim dalam perut seperti NSAID tradisional sebelumnya. Celecoxib (Celebrex(r)) dan Refecoxib (Vioxx(r)) adalah dua jenis obat ini yang paling sering diresepkan. 4. Non-Narcotic Prescription Pain Medications Analgesik non-narkotik (penghilang rasa sakit) adalah pengobatan yang ideal dalam menghilangkan nyeri ringan hingga kronis. Tylenol(tm) dan aspirin adalah analgesik yang paling banyak digunakan. Obat-obat analgesik yang memerlukan resep dari dokter mencakup NSAID, seperti Carprofen, Fenoprofen, Ketoprofen dan Sulindac. Pasien yang mengonsumsi obat ini dianjurkan untuk tidak berbaring selama 15 sampai 30 menit setelah minum obat. Jauhkan obat dari sinar matahari langsung. Hindari penggunaan obat ini jika anda memiliki borok berulang atau masalah hati. 5. Narcotic Pain Medications Obat nyeri narkotika mengurangi rasa sakit dengan bertindak sebagai anastesi mematikan ke sistem saraf pusat. Kekuatan dan panjang nyeri berbeda untuk masing-masing obat. Contoh obat ini yaitu Kodein dan Morfin. Obat ini dapat memiliki efek samping seperti mual, muntah, sembelit, dan sedasi (mengantuk). 33
Efek samping ini dapat diprediksi dan sering dapat dicegah. Langkah-langkah pencegahan yang umum antara lain tidak meminum obat tidur atau anti-depresan bersama dengan obat narkotika ini, menghindari konsumsi alkohol, meningkatkan asupan cairan, makan-makanan berserat tinggi, dan menggunakan obat pencahar serat atau pelunak tinja untuk mengobati sembelit. Perlu diingat bahwa penggunaan narkotika dapat menimbulkan kecanduan jika digunakan secara berlebihan dan tidak benar. 6. Muscle Relaxants Relaksan otot dapat membantu meringankan rasa sakit ketika mengalami kejang otot. Obat ini memiliki risiko yang signifikan sepeti rasa kantuk dan depresi. Penggunaan relaksan otot dalam jangka panjang tidak disarankan, biasanya hanya dianjurkan tiga sampai empat hari. 7. Anti-Depressants Sakit punggung adalah gejala umum dari depresi dan bisa menjadi indikator kehadirannya. Demikian pula nyeri punggung dapat menyebabkan gangguan emosi dan depresi. Tampaknya reaksi kimia yang sama dalam sel-sel saraf yang memicu depresi juga mengontrol jalur nyeri di otak. Anti-depresan dapat meredakan stres emosional yang terkait dengan nyeri punggung. Beberapa jenis anti-depresan membuat obat tidur yang baik. Jika mengalami kesulitan tidur karena sakit punggung, dokter mungkin meresepkan anti-depresan untuk membantu kita kembali ke rutinitas tidur. Efek samping dari obat ini antara lain mengantuk, kehilangan nafsu makan, sembelit, mulut kering, dan kelelahan.
3.5.2 Cervical Collar / Collar Neck Cervical Collar adalah alat untuk imobilisasi leher (mempertahankan tulang servikal). Salah satu jenis collar yang banyak digunakan SOMI (Sternal Occipital Mandibular Immobilizer). Ada juga yang menggunakan Xcollar Extrication Collar yang dirancang untuk mobilisasi (pemindahan pasien dari tempat kejadian kecelakaan ke ruang medis). Cervical Collar digunakan pada pasien yang mengalami trauma leher atau fraktur tular servikal.
34
Tujuan pemasangan cervical collar yaitu: 1) Mencegah pergerakan tulang servikal yang patah (proses imobilisasi serta mengurangi kompresi pada radiks saraf). 2) Mencegah bertambahnya kerusakan tulang servikal dan korda spinalis. 3) Mengurangi rasa sakit. 4) Mengurangi pergerakan leher selama proses pemulihan. Collar digunakan selama 1 minggu secara terus-menerus siang dan malam dan diubah secara intermiten pada minggu ke-2 atau bila mengendarai kendaraan. Perlu diingat bahwa tujuan imobilisasi ini bersifat sementara dan harus dihindari akibatnya, diantaranya atrofi otot serta kontraktur. Jangka waktu 102 minggu biasanya cukup untuk mengatasi nyeri servikal non spesifik. Apabila disertai dengan iritasi radiks saraf, collar perlu dipasang dalam waktu 2-3 bulan. Hilangnya nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan indikasi pelepasan collar. Unit pelaksana yang umumnya melakukan tindakan pemasangan collar antara lain Instalasi Gawat Darurat (IGD), rekam medik, dan radiologi.
3.5.3 Cervical Traction Traksi adalah alat imobilisasi yang menggunakan kekuatan tarikan yang diterapkan pada suatu bagian tubuh, sementara kekuatan yang kedua (disebut kontertraksi) menarik ke arah yang berlawanan. Kekuatan tarikan didapat melalui suatu sistem katrol, tali, dan pemberat yang dikaitkan ke klien.kontertraksi sering didapat dengan mengelevasi kaki atau kepala tempat tidur dan kekuatannya berasal dari tubuh klien. Klien yang terpasang traksi berada di tempat tidur berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Oleh karena itu, implementasi keperawatan meliputi aktivitas harian, pemeliharaan traksi, dan pencegahan masalah imobilisasi seperti dekubitus. Tujuan penggunaan traksi adalah: 1) Untuk mengurangi dan/atau imobilisasi fraktur tulang agar terjadi pemulihan. 2) Untuk mempertahankan kesejajaran tulang yang tepat. 3) Untuk mencegah cedera pada jaringan lunak. 4) Untuk memperbaiki, mengurangi, atau mencegah deformitas. 5) Untuk mengurangi spasme otot dan nyeri. 6) Untuk merawat kondisi inflamasi dengan imobilisasi sendi (misalnya artritis atau tuberkulosis sendi). Ada dua macam traksi servikal. Beban traksi yang diberikan sebaiknya jangan melebihi 5 kg untuk maksimal waktu dua jam. a. Traksi memakai pita kulit lebar yang disarungkan di dagu-oksiput (biasanya untuk stabilisasi sementara) yang disebut Halter traction. 36
b. Traksi skeletal (Gardner-Wells tongs) yang dipasang pada tulang tengkorak.
37
Traksi skeletal dipasang di tengkorak pada lokasi di atas telinga, pada titik di atas garis yang ditarik dari prosesus mastoid ke meatus auditorius eksternal. Pemasangan pada lokasi yang lebih anterior akan membuat traksi leher menjadi lebih ekstensi (untuk fraktur odontoid), sedangkan lokasi yang lebih posterior akan menjadikan traksi leher yang fleksi (untuk membuka sendi faset). Pedoman umum yang dipakai untuk menentukan berat beban traksi pada awalnya adalah 2,5 kg per vertebra mulai dari basis sampai dengan lokasi cedera. Namun, pemasangan traksi ini harus dipantau ketat melalui pemeriksaan klinis neurologis dan radiologis. Kadang perlu pula diberikan obat penenang ringan seperti Diazepan dan/atau analgetika selama pemasangan traksi.
3.5.4 Spinal Surgery Operasi tulang belakang adalah tindakan pembedahan serius yang dilakukan untuk memperbaiki fraktur kompresi vertebral jika ada bukti ketidakstabilan tiba- tiba dan serius dari tulang belakan, misalnya jika fraktur mengarah ke hilangnya 50% dari ketinggian vertebral tubuh. Pembedahan diperlukan untuk mencegah tulang belakang dari runtuh ke saraf tulang belakang yang dapat menyebabkan kerusakan yang lebih serius. Vertebroplasty dan Kyphoplasty adalah tindakan invasif minimal dalam menangani fraktur kompresi vertebral. Patah tulang belakang biasanya perlu waktu sekitar tiga bulan untuk sepenuhnya sembuh. 38
Pemeriksaan dengan menggunakan X-Ray mungkin akan dilakukan selama beberapa bulan untuk memeriksa kemajuan penyembuhan. Pembedahan untuk fraktur kompresi jarang diperlukan. 3.5.4.1 Vertebroplasty Vertebra adalah tulang kecil yang membentuk tulang belakang. Ketika tulang menjadi retak akan timbul rasa sakit dan kehilangan mobilitas. Vertebroplasty adalah prosedur dimana campuran semen medis khusus disuntikan ke dalam tulang belakang yang patah. Tidak semua orang dengan tulang belakang yang retak perlu dilakukan Vertebroplasty. Alasan utama perlu dilakukan Vertebroplasty adalah: 1) Mengobati patah tulang belakang yang menyebabkan rasa sakit dan mengurangi fungsi. 2) Metode tradisional untuk mengobati patah tulang belakang atau sakit punggung gagal. 3) Pasien menderita sakit parah atau berkepanjangan atau imobilitas. 4) Patah tulang belakang telah menyebabkan komplikasi yang lebih serius, seperti trombosis vena bagian dalam, percepatan osteoporosis, masalah pernapasan, kehilanggan tinggi, dan masalah emosional atau sosial lainnya. Prosedur Vertebroplasty umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, dengan risiko rendah untuk menimbulkan efek samping. Tingkat komplikasi dari Vertebroplasty adalah sekitar 1% hingga 3%. dan sebagian besar komplikasi ini kecil. Faktor-faktor risiko yang terkait dengan pelaksanaan Vertebroplasty antara lain pendarahan, kehilangan darah, patah tulang rusuk atau tulang disekitarnya, demam, ititasi akar saraf, infeksi, dan semen di luar tulang belum mengeras. Bagi sejumlah kecil orang, Vertebroplasty dapat menimbulkan rasa sakit selama beberapa jam saat semen sedang mengeras. 39
3.5.4.2 Kyphoplasty Kyphoplasty sering dibahas bersama dengan Vertebroplasty. Kyphoplasty digunakan untuk mengobati patah tulang belakang. Selama Vertebroplasty, dokter menyuntikkan bahan semen ke dalam tulang untuk membuatnya lebih stabil. Selama Kyphoplasty, pertama, dokter memompa perangkat balon ke dalam tulang belakang untuk membuat suatu ruang, kemudian ruang ini diisi dengan semen. Alasan perlu dilakukannya Kyphoplasty yaitu jika memiliki beberapa jenis patah tulang atau terdapat daerah yang rusak di tulang belakang. Pada kebanyakan kasus, penipisan tulang (osteoporosis) memainkan peran dalam patah tulang ini. Kyphoplasty dapat membuat tulang sedikit lebih tinggi yang sebelumnya memendek akibat terjadinya kompresi. Prosedur ini dapat mengurangi rasa sakit akibat patah tulang belakang. Biasanya dokter melakukan prosedur ini setelah mencoba melakukan perawatan lain, misalnya memakai penjepit belakang atau minum obat penghilang rasa sakit. Risiko yang terlibat dalam Kyphoplasty meliputi: 1) Infeksi 2) Perdarahan 3) Peningkatan nyeri punggung 4) Kesemutan 5) Mati rasa 6) Kelemahan akibat kerusakan saraf 7) Reaksi alergi terhadap bahan kimia yang digunakan selama X-Ray membantu dokter menaruh balon di tenoat yang tepat 8) Semen bocor keluar dari posisi 40
Jumlah radiasi yang digunakan selama prosedur X-Ray dianggap minimal. Oleh karena itu, risiko paparan radiasi rendah. Namun, apab dianggap minimal. Oleh karena itu, risiko paparan radiasi rendah. Namun, apabila pasien sedang hamil atau diduga hamil, pasien harus memberitahukan kepada penyedia layanan kesehatan. Ada kemungkinan risiko lainnya yang tergantung pada kondisi medis tertentu.
3.5.5 Laxative Laksatif dan katartiks adalah obat yang dipergunakan untuk mengeluarkan feses. Laksatif melunakkan feses dan katartik menyebabkan feses lunak sampai berair dengan sedikit kram. Kontraindikasi penggunaan laksatif adalah inflamasi saluran gastro intestinal seperti apendisitis, colitis ulserativa, rasa nyeri yang tidak diketahui penyebabnya, kolon spastic, atau obstruksi usus. Berikut ini merupakan jenis-jenis laksatif. 1. Stimulant Laxatives (meliputi cascara, senna, ExLax, Dulcolax, PeriColace) Laksatif ini menstimulasi usus besar untuk melakukan gerak peristaltis lebih kuat dan lebih sering, serta membantu feses untuk keluar melalui anus. Hasil akan muncul dalam waktu 6-12 jam setelah dikonsumsi, sehingga lebih dikonsumsi saat waktu tidur jika ingin melakukan bowel program pada pagi hari. 2. Bulk Laxatives (meliputi calcium polyCarbophil, psyllium, Citrucel, Metamucil, FiberCon) Laksatif ini bekerja sama seperti ketika anda meningkatkan konsumsi serat dalam pola makan anda. Laksatif ini juga membantu menambahkan sedikit 41
jumlah air ke dalam feses yang diproduksi, sehingga feses lebih lunak dan mudah untuk dikeluarkan. Bulk Laxatives dibuat dari ekstrak tanaman dan buah-buahan yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu bubuk yang dicampur dengan air, wafer, dan tablet. Apapun bentuk yang dikonsumsi, anda harus selalu minum air putih paling sedikit 8 gelas per hari. Laksatif ini biasanya dikonsumsi sebanyak 3 atau 4 kali per hari, dengan casupan cairan, dan aman untuk digunakan dalam jangka waktu panjang. 3. Magnesium Laxatives atau Saline Laxatives (meliputi magnesium citrate, Milk of Magnesia) Laksatif ini bekerja dalam waktu 1-2 jam setelah dikonsumsi, namun dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia fekal. Laksatif ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan secara rutin. Kontraindikasi dari obat ini adalah yang memiliki gangguan ginjal, jantung, atau radang usus. 4. Sorbitol, Lactulose, Golytely Laksatif ini berbentuk cair dan terasa manis. Berfungsi untuk menambahkan sejumlah air ke dalam feses dan melancarkan pergerakan feses. Laksatif ini bekerja dalam waktu 6-12 jam setelah dikonsumsi, sehingga boleh digunakan di malam hari bersama dengan cairan. Jika dibutuhkan dosis yang lebih besar, laksatif ini dapat dikonsumsi 2 kali per hari, yaitu pagi dan malam. Dapat digunakan untuk jangka waktu panjang. 5. Stool Softeners atau Lubricant Laxatives (Colace, dialose, doxidan) Walaupun sering digunakan sebagai laksatif, beberapa menyadari bahwa pelunak feses tidak bekerja sebagaimana laksatif. Pelunak feses melunakkan feses, namun tidak menstimulasi usus besar, oleh karena itu ini tidak efektif untuk menangani konstipasi. Pelunak feses harus digunakan oleh orang yang tidak berisiko terjadi konstipasi. Obat ini bekerja sekitar 1-2 hari.
3.5.6 Enema Enema paling sering digunakan sebagai terapi konstipasi. Enema adalah tindakan memasukan larutan ke dalam rektum dan kolon sigmoid untuk mengeluarkan feses/flatus. Enema diklasifikasikan ke dalam lima kelompok. 42
1. Enema pembersih, menstimulasi peristaltik dengan mengiritasi kolon dan rektum dan/atau dengan mendistensikan usus dengan sejumlah cairan yang dimasukkan ke dalam usus. 2. Enema karminatif, diberikan terutama untuk mengeluarkan flatus. Cairan yang dimasukkan ke dalam rektum akan mengeluarkan gas, yang akan mendistensikan rektum serta kolon sehingga menstimulasi peristaltik. 3. Enema retensi, yaitu memasukkan minyak ke dalam rektum dan kolon sigmoid. Minyak bekerja melunakan feses dan melumasi rektum serta saluran anal, sehingga memfasilitasi keluarnya feses. 4. Enema aliran balik, kadang kala disebut sebagai Harris flush atau irigasi kolon, digunakan untuk mengeluarkan flatus. Aliran cairan yang masuk dan keluar usus besar secara bergantian akan menstimulasi peristaltik. 5. Enema terapeutik, menghantarkan nutrien atau obat-obatan. Contohnya adalah kortikosteroid, antibiotik, dan kayeksalat (suatu resin (damar) yang digunakan untuk mengeluarkan kelebihan kalium. Enema merupakan prosedur yang relatif aman untuk klien. Bahaya utamanya adalah terjadi iritasi mukosa rektum karena menggunakan terkalu banyak sabun atau karena sabun yang mengiritasi dan efek negatif dari larutan hipertonik dan hipotonik terhadap perpindahan cairan dan elektrolit tubuh.
Beragam larutan digunakan untuk enema (tabel diatas). Pemberian larutan hipotonik berulang, seperti enema air keran (tap water enema), dapat 43
menyebabkan absorpsi cairan dari kolon ke aliran darah. Hal ini akan meningkatkan volume darah dan dapat menyebabkan intoksikasi cairan. Oleh sebab itu, enema air keran yang diberikan secara berurutan sebanyak tiga kali perlu dibatasi. Berikut ini merupakan panduan pemberian enema. a. Sebelum memberikan enema, tentukan apakah dibutuhkan program dokter. Pada beberapa institusi, seorang dokter harus memprogramkan tipe enema dan waktu pemberiannya, misalnya, pagi hari pada waktu pemeriksaan. Apabila klien memiliki penyakit rektum, dokter dapat juga menetapkan ukuran slang rektal yang akan digunakan. Pada institusi lain, enema diberikan sesuai dengan kebijaksanaan perawat (yaitu, dengan program PRN (bila perlu)). b. Enema untuk orang dewasa biasanya diberikan pada suhu 40-43C, kecuali ditetapkan lain. Suhu yang tinggi dapat mencederai mukosa usus, sedangkan suhu yang dingin membuat klien tidak nyaman dan dapat memicu spasme otot sfingter. c. Tekanan aliran larutan ditentukan oleh (1) tingginya wadah larutan, (2) ukuran slang, (3) viskositas cairn, dan (4) resistensi rektum. Semakin tinggi wadah larutan ditempatkan di atas rektum, semakin cepat aliran dan semakin besar tekanan di dalam rektum. d. Waktu yang dibutuhkan untuk memberikan enema sangat tergantung pada jumlah cairan yang dimasukkan dan toleransi klien. Volume yang besar, seperti 100 mL, memerlukan waktu 10-15 menit untuk dimasukkan, sedangkan volume yang lebih sedikit memerlukan waktu yang lebih sedikit juga. e. Waktu yang dibutuhkan klien untuk menahan larutan enema bergantung pada tujuan pemberian enema dan kemampuan klien untuk melakukan kontraksi sfingter anal eksterna dalam menahan larutan. Enema retensi dengan larutan minyak biasanya perlu ditahan selama 2-3 jam. Enema lain normalnya ditahan selama 5-10 menit. 44
Enema tidak boleh digunakan terlalu sering karena beberapa alasan. Pertama, enema dapat membuat menjadi malas, sehingga usus besar dan feses menjadi ketergantungan dengan enema untuk dievakuasi. Kedua, jumlah cairan enema yang digunakan untuk menimbulkan hasil yang diharapkan dapat meningkat seiring pengulangan penggunaan enema yang terlalu sering. Ketiga, penggunaan cairan enema dalam jumlah besar memungkinkan nutrien-nutrien penting yang ada di dalam usus besar untuk ikut terbuang bersama feses.
3.5.7 Suppository (glycerin, bisacodyl, Magic Bullet) Supositoria merupakan sedian padat yang berbentuk kerucut atau oval yang digunakan dengan cara memasukkannya ke dalam rektum. Umumnya supositoria melunak, meleleh, dan melarut pada suhu tubuh. Jika feses menjadi keras dan tersangkut di dalam rektum, suppository lunak (glycerin) dapat membantu melonggarkan sumbatan dan membuatnya lebih mudah untuk dilalui. Suppository bisacodyl tidak hanya melunakkan feses, namun juga menstimulasi usus besar, sehingga suppository ini lebih efektif dan sering digunakan. Jika anda mendapatkan suppository bisacodyl tidak efektif (membutuhkan waktu lebih lama untuk bekerja atau usus besar tidak kosong sepenuhnya), anda dapat meminta dokter untuk memberikan Magic Bullet. Magic Bullet adalah jenis lain dari suppository bisacodyl yang dapat mengurai feses lebih cepat setelah dimasukkan. Langkah-langkah yang tepat untuk memasukkan supositoria yaitu: 1) Hilangkan feses yang dapat menghalangi masuknya supositoria. 2) Lembabkan supositoria untuk melunakkannya sebelum dimasukkan ke dalam rektum. 45
3) Tempatkan supositoria setinggi mungkin di dalam rektum, gunakan sarung tangan steril atau suppository inserter. 4) Tempatkan supositoria agar tidak menempel dengan dinding rektum. 5) Keluarkan tangan secara perlahan-lahan untuk mencegah supositoria tergelincir dan posisinya semula.
3.5.8 Digital Stimulation Digital stimulation dilakukan tersendiri atau setelah memasukkan supositoria. Cara tepat untuk melakukannya yaitu dengan menggunakan sarung tangan steril, lalu memasukkan satu jari tangan (biasanya telunjuk) sedalam 2-3 inch melalui anus sampai jari merasakan sfingter ani internal (otot berbentuk cincin di dalam anus). Pijat sfingter ani sebanyak 3-4 kali, atau sampai otot berelaksasi. Relaksasi otot sfingter ani internal memungkinkan feses dievakuasi keluar anus. Tunggu selama 5-10 menit antara setiap stimulasi. Jika sebelumnya menggunakan supositoria, lakukan stimulasi 10-30 menit setelah memasukkan supositoria. Karena mukosa usus dapat mengalami cedera selama prosedur ini, beberapa institusi membatasi dan menetapkan staf yang diijinkan untuk melakukan tindakan ini. Sebelum mengeluarkan impaksi fekal, dianjurkan untuk memberikan enema retensi minyak yang di tahan selama 30 menit guna membantu melunakkan feses.
46
3.5.9 Abdominal Massage Abdominal massage biasanya dilakukan setelah memasukkan supositoria atau setelah digital stimulation yang pertama. Tekan perut bagian kanan bawah dengan menggunakan telapak tangan, pijat perut mengikuti bentuk tulang rusuk, lalu arahkan pijatan ke bagian kiri perut, dan kemudian pijat sampai ke bagian kiri bawah perut. Pijatan yang dilakukan ini mengikuti bentuk dari usus besar hingga rektum. Anda harus mengulang pijatan ini setiap 30 detik selama 10 kali untuk hasil yang maksimal.
3.5.10 Bowel Program Guidelines Pasien dengan Spinal Cord Injury (SCI) melakukan program ini untuk mengosongkan feses dan flatus dari dalam usus dan mencegah terjadinya konstipasi atau inkontinenesia fekal. Pemilihan waktu (jam) dapat dilakukan sesuai dengan keinginan klien, namun umumnya pada pagi hari. Semua orang yang mengalami SCI harus menerapkan jadwal bowel program harian yang telah ditetapkan. Pedoman umum di bawah ini dapat digunakan untuk menerapkan bowel program sehari-hari berdasarkan tingkatan injury seseorang. a. Neck/Upper SCI (spastic bowel) 1) Pasien harus melakukan bowel program setiap hari atau setiap pasien memiliki gejala atau faktor risiko konstipasi. Jika pasien tidak memiliki gejala atau faktor risiko konstipasi, pasien harus melakukan bowel program paling tidak satu kali setiap 3 hari untuk mencegah terjadinya konstipasi. 2) Masukkan supositoria ke dalam rektum pasien dengan teknik yang tepat. 3) Lakukan abdominal massage selama 5-10 menit. 4) Tunggu sampai feses dan flatus keluar. Jika feses tidak keluar setelah 10 menit, lakukan tahap ke 5. 47
5) Lakukan digital stimulation hingga sfingter ani berelaksasi. 6) Lakukan digital stimulation tambahan sebanyak 2 kali, tunggu 5-10 menit diantara keduanya. Jika tidak ada lagi feses yang keluar dalam 15 menit, pasien telah selesai melaksanakan bowel program. b. Low SCI (relaxed bowel) 1) Jadwalkan bowel program pasien untuk satu kali atau dua kali dalam sehari. 2) Gunakan bulk laxative sekali atau dua kali sehari untuk memproduksi feses dalam bentuk yang lebih baik. 3) Lakukan digital stimulation hingga sfingter ani berelaksasi. Jika rektum pasien penuh dengan feses, petugas kesehatan pertama-tama harus menghilangkan beberapa feses dari rektum dengan menggunakan jari tangan. Penggunaan lubricant gel akan membuat proses ini lebih mudah dan mengurangi ketidaknyamanan. Setelah pembuangan feses secara manual, ulangi digital stimulation. 4) Tarik napas dalam dan kempiskan perut untuk membantu mengevakuasi feses. 5) Jika tidak terdapat pergerakan usus besar dalam waktu 15 menit setelah digital stimulation, masukkan bisacodyl suppository atau mini-enema. Tunggu 15 menit sampai aliran feses terjadi. 6) Lakukan digital stimulation tambahan sebanyak 2 kali, tunggu 5-10 menit diantaranya keduanya. Jika tidak ada lagi feses yang keluar dalam 15 menit, pasien telah selesai melaksanakan bowel program. 48
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan Fraktur kompresi servikal ke 7 yang terjadi pada klien menyebabkan reflex neurogenic bowel dysfunction (salah satu contoh disfungsi bowel) yaitu dapat membuat pasien tidak merasakan sensasi jika rectum telah penuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya retensi fekal. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk mengkaji kasus ini yaitu inspeksi dan palpasi tulang serta inspeksi pergerakan sendi dan perkusi untuk mengetahui tingkat nyeri dan kelemahan otot dan perubahan reflex trisep. Sedangkan pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengkaji kasus ini antara lain pemeriksaan X-Ray, CT Scan dan MRI. Dalam hal ini, MRI adalah pemeriksaan diagnostik dengan tingkat ketelitian yang paling tinggi untuk klien yang mengalami fraktur kompresi cervikal ke 7 sehingga berakibat pada retensi fekal. Penataksanaan keperawatan diberikan sesuai dengan keluhan serta tanda dan gejala yang muncul pada klien. Penatalaksanaan medis yang diberikan yaitu berupa penggunaan obat-obatan penghilang rasa sakit, alat-alat bantu imobilisasi, operasi serta bowel program yang penting dilakukan untuk mengatasi permasalahan retensi fekal pada klien.
4.2 Saran Ketika perawat menerapkan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami retensi fekal akibat fraktur kompresi servikal ke-7, terdapat banyak hal penting yang perlu diperhatikan oleh perawat, dua diantaranya adalah dalam hal pemasangan alat imobilisasi dan pelaksanaan bowel program. Pemasangan alat imobilisasi harus sangat berhati-hati agar kita tidak menambah injury kepada klien. Apalagi pada kasus ini klien mengalami injury pada bagian servikal yang terbilang sangat vital dan rentan akan guncangan. Selain itu, ketika melaksanakan bowel program pada klien, tangan perawat harus bersih dan menggunakan sarung tangan steril. Hal ini perlu dilakukan agar perawat tidak menularkan mikroorganisme yang berasal dari tangannya ke daerah sistem pencernaan klien.
iv
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2011). Critical Care Transport. 2 nd Edition. Massachusetts: Jones and Bartlett Learning. ApunaGrummer, D. & Howland, W. A. (2013). A Core Curriculum for Nurse Life Care Planning. Indiana: iUniverse. Arifin, M. Zafrullah & Henky, Jefri. (2012) Analisis Nilai Functional Independence Measure Penderita Cedera Servikal dengan Perawatan Konservatif. Diambil dari http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/viewFile/1297/1186. Bazzocchi, Gabriele, Scuijt, Christoffel, Pederzini, Roberto & Menarini, Mauro. Bowel Disfunction in Spinal Cord Injury Patients: Pathophysiology and Management. Germany: University of Bologna. Benzel, E.C (ed). (2012). The Cervical Spine. 5 th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Berman, Audrey, Snyder, Shirlee, Kozier, Barbara, & Erb, Glenora. (2003). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5. (Terj. Kozier and Erbs Techniques in Clinical Nursing, 5 th Edition, 2002) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Black, J.M & Hawks, J. H. (2009). Medical-Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes. 7 th Edition. 2 nd Volume. Nebraska: Elsevier Saunders. Center for Neuro and Spine. Compression Fractures. Diambil dari http://www.centerforneuroandspine.com/conditions/spine-conditions/lumbar- spine-conditions/compression-fracture/default.aspx. v
Cottrell, J. E. & Young, W. L. (2010). Cottrell and Youngs Neuroanesthesia. 5 th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. Dell, M. O. & Stubblefield, M. (2009). Cancer Rehabilitation: Principles and Practice. New York: Demos Medical Publishing. Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances & Murr, Alice C. (2010). Nursing Care Plans: Guidelines for Individualizing Client Care Across the Life Span. 8 th Edition. USA: F. A. Davis Company. Ethel, Sloane (2003). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. (Terj. James Veldman) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ganong, W. F. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Garber, J. S., Gross, M. & Slonim, A. D. (2009). Avoiding Common Nursing Errors. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Gibson, John (2002) Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Edisi 2. (Terj. Bertha Sugiarto) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Harari, Danielle, Quinian, Jerrilyn & Stiens, Steven A. Spinal Cord Injury Kit: Constipation and SCI. Paralyzed Veterans of America (PVA) Spinal Cord Injury Education and Training Foundation (ETF). http://www.eorthopod.com/content/spinal-compression-fractures. http://www.patient.co.uk/doctor/Back-Examination-(Thoraco-lumbar).htm. https://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=213&s eg_id=4308. Johns Hopkins Medicine. Vertebroplasty. Diambil dari http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/orthopaedic/v ertebroplasty_135,37/. vi
Johns Hopkins Medicine. Kyphoplasty. Diambil dari http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/orthopaedic/k yphoplasty_135,36/. Kozier, Barbara et all. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses & Praktik. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Pain Medications. Diambil dari http://www.allaboutbackpain.com/html/spine_general/spine_general_painme ds.html#Medications. Pearce, Evelyn C. (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. (Terj. Sri Yuliani Handoyo) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice. 6 th Edition. St. Louis: Elsevier Mosby. Price, S. A. & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Rumah Sakit Ortopedi Purwokerto. (2013). Anatomi dan Fisiologi Tulang Belakang (Bagian 1). Diambil dari http://rsop.co.id/anatomi-dan-fisiologi- tulang-belakang-bagian-1/. Sherwood, Lauralee. (2012). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Spine Health. Compression Fracture Treatment. Diambil dari http://www.spine- health.com/conditions/osteoporosis/compression-fracture-treatment. Spine Health. Spine Fracture Treatment Options. Diambil dari http://www.spine- health.com/treatment/back-surgery/spine-fracture-treatment-options. vii
Tucker, Susan Martin, Canobbio, Mary M., Paquette, Eleanor Vargo, & Wells, Majorie Fyfe. (1993). Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan, Diagnosis, dan Evaluasi. Edisi V. Volume 4. (Terj. Patient Care Standards: Nursing Process, Diagnosis, and Outcome, 1992) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Watson, Roger. (2002). Anatomi & Fisiologi Untuk Perawat. Edisi 10 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Wibowo, Daniel S. (2008). Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Grasindo. Wilkinson, Judith M. & Ahern, Nancy R. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi 9. (Terj. Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook: NANDA Diagnoses, NIC Interventions, NOC Outcomes) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. ____. (2003). Anatomy & Phisiology: The Unity of Form and Function. Third Edition. Chapter 13: The Spinal Cord, Spinal Nerves and Somatic Reflexes. England: The McGraw-Hill Companies.
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis