I. PENDAHULUAN Kelainan kongenital telinga luar adalah sebagai akibat gangguan perkembangan arkus brankial pertama dan kedua. Penyakit-penyakit yang sering didapatkan adalah lop ear, mikrotia dan atresia meatus akustikus eksternus dan fistel preaurikular. Pada atresia selain dari liang telinga yang tidak terbentuk, juga biasanya disertai dengan kelainan daun telinga dan tulang pendengaran. Kelainan ini jarang disertai dengan kelainan telinga dalam karena perkembangan embriologi yang berbeda. 1,2,3 Atresia telinga kongenital merupakan kelainan yang jarang ditemukan, penyebabnya belum diketahui dengan jelas, diduga disebabkan oleh intoksikasi obat. Diagnosis hanya dengan melihat daun telinga yang abnormal dan liang telinga yang atresia, keadaan telinga tengah yang tidak mudah dievaluasi. Pemeriksaan audiometrik dan radiologi akan sangat membantu untuk diagnosis serta penetalaksanaan selanjutnya. Sebagai indikator untuk meramalkan keadaan telinga tengah, ialah dengan melihat keadaan daun telinganya. Makin buruk keadaan daun telinganya, makin buruk pula keadaan telinga tengah. 1,4
Cacat pertumbuhan liang telinga luar dapat hanya mengenai bagian tulang rawan, bagian tulang atau yang paling sering terjadi kedua-duanya. Stenosis umumnya sama seluruh liang telinga, tetapi biasanya berupa corong, dengan lumen yang makin sempit dan ujungnya tertutup sama sekali. 4,5 Atresia meatus akustikus eksternus dapat terjadi unilateral ataupun bilateral. Tujuan operasi rekontruksi ialah selain dari memperbaiki fungsi pendengaran juga untuk kosmetik. Pada atresia liang telinga bilateral masalah utama ialah gangguan pendengaran yang harus ditangani secara cepat untuk perkembangan bicara anak. 4,6
2
II. ANATOMI Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam
Gambar 1. Anatomi telinga 1
Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit. Bentuk rawan ini unik dan dalam merawat trauma telinga luar, harus diusahakan untuk mempertahankan bangunan ini. Kulit dapat terlepas dari rawan di bawahnya oleh hematom atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol). 4,8 Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 21/2 3 cm. Sering kali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan ini. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. 7,9
1 Dikutip dari kepustakaan no.7 3
Gambar 2. Anatomi telinga 2
Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan liang telinga sementara prosesus mastoideus terletak di belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus di postoinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis. Tulang rawan liang telinga merupakan salah satu patokan pembedahan yang digunakan untuk mencari saraf fasialis, patokan lainnya adalah sutura timpanomastoideus. 2
Membran Timpani Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Terdiri dari. 1,7 Bagian atas disebut pars flaksid (membran Shrapnell) Memiliki dua lapisan yaitu bagian luar adalah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia seperti epitel mukosa saluran napas Bagian bawah pars tensa ( membran propria) Bagian ini mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam
2 Dikutip dari kepustakaan no.7 4
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan. Refleks cahaya adalah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat dua macam serabut sirkuler dan radier. 1 Membran timpani dibagi dalam empat kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis tersubut di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawahdepan serta bawah-belakang, untuk menentukan letak perforasi membran timpani. 2,7
Telinga Tengah Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disubut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu celah yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. 4
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubngkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. 1,2
Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap . Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media di antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, sedangkan skala media berisi endolimfe. Pada skala 5
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti. 1,2
III. EMBRIOLOGI Telinga Luar Liang telinga berasal dari celah brankial pertama ektoderm. Membrana timpani mewakili membran penutup celah tersebut. Selama satu stadium perkembangannya, liang telinga akhirnya menutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan telinga tetapi kemudian terbuka kembali, namun kemudian kejadian ini mungkin merupakan suatu faktor penyebab dari beberapa kasus atresia atau stenosis. 8
Gambar 3. Perkembangan organ telinga intra uteri 3
3 Dikutip dari kepustakaan no.8 6
Gambar 4. Gambaran skematik perkembangan telinga 4
Celah brankial pertama yang untuk sementara waktu pada minggu ke 4 berdekatan dengan ujung distal kantong faring, segera menjadi terpisah oleh pertumbuhan bagian kepala. Suatu lapisan jaringan ikat yang agak tebal memisahkan kedua struktur ini, dan lekukan tersebut menjadi berbentuk corong. Suatu inti sel-sel epitel tumbuh ke arah liang telinga tengah pada minggu ke 6 untuk kembali mendekati endoderm faring. Lapisan jaringan ikat diantaranya akan mengalami diferensiasi menjadi lapisan fibrosa membran timpani. Handle maleus terjadi sebagai suatu daerah masenkim yang padat. Meatus eksterna meluas dengan pertumbuhan tulang tengkorak hingga cincin timpani telah terbentuk di bagian pinggir gendang telinga pada bulan ketiga janin. Pada tingkatan ini inti epitel memecah membentuk epitel yang menutupi liang telinga luar bagian tulang, cincin timpani yang tumbuh ke arah luar dan 2/3 bagian dalam meatus eksterna. 10 Pinna atau aurikula berasal dari pinggir-pinggir celah brankial pertama dan arkus brankialis pertama dan kedua. Aurikula dipersarafi oleh cabang aurikulotempiralis dari saraf mandibularis serta saraf aurikularis mayor dan oksipitalis minor yang merupakan cabang pleksus servikalis. 8
4 Dikutip dari kepustakaan no.7 7
Gambar 5. Perkembangan daun telinga intra uteri hingga neonatus 5
Telinga Tengah Rongga telinga tengah berasal dari celah brankial pertama endoderm. Rongga berisi udara ini meluas ke dalam resesus tubotimpanikus, yang selanjutnya meluas di sekitar tulang-tulang dan saraf dari telinga tengah dan meluas kurang lebih ke daerah mastoid. Osikula berasal dari rawan arkus brankialis. Untuk mempermudah pemikiran ini maleus dapat dianggap berasal dari rawan arkus brankialis pertama (kartilago Meckel). Sedangkan inkus dan stapes dari rawan arkus brankialis kedua (kartilago Reichert). Saraf korda timpani berasal dari arkus kedua (fasialis) menuju saraf pada arkus pertama (mandibularis-lingualis). Saraf timpanikus (dari Jacobson) berasal dari saraf arkus brankialis ketiga (glosofaringeus) menuju saraf fasialis. Kedua saraf ini terletak dalam rongga telinga tengah. Otot-otot telinga tengah berasal dari otot-otot arkus brankialis. Otot tensor timpani yang melekat pada maleus, berasal dari arkus pertama dan dipersarafi oleh saraf mandibula (saraf kranial kelima). Otot stapedius-berasal dari arkus kedua, dipersarafi oleh suatu cabang saraf ketujuh. 2,10
Telinga Dalam Plakoda otika ektoderm terletak pada permukaan lateral dari kepala embrio. Plakoda ini kemudian tenggelam dan membentuk suatu lekukan otika dan akhirnya terkubur di bawah permukaan sebagai vesikal otik. Letak
5 Dikutip dari kepustakaan no.8 8
vesikal dekat dengan otak belakang yang sedang berkembang dan sekelompok neuron yang dikenal sebagai ganglion akustikofasialis, gangglion ini penting terhadap perkembangan dari saraf fasialis, akustikus dan vestibularis. 4 Vesikel auditorius membentuk suatu divertikulum yang terletak dekat terhadap tabung saraf yang sedang berkembang dan kelak akan menjadi duktus endolimfatikus. Vesikel otika kemudian berkerut membentuk suatu utrikulus superior (atas) dan sakulus inferior (bawah). Dari utrikulus kemudian timbul tiga tonjolan mirip gelang. Lapisan membran yang jauh dari perifer gelang diserap, diserap dan meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada perifer gelang. Sakulus kemudian membentuk duktus koklerais berbentuk spiral. Secara filogenetik, organ-organ akhir khusus berasal dari neuromast yang tidak terlapisi yang berkembang dalam kanalis semisirkularis untuk membentuk krista, dalam utrikulus dan sakulus untuk membentuk makula, dan dalam koklea untuk membentuk organ Corti. Organ-organ akhir ini kemudian berhubungan dengan neuron-neuron ganglion akustikofasialis. Neuron-neuron inilah yang membentuk ganglia saraf vestibularis dan ganglia spiralis dari saraf koklearis. 2 Mesenkim di sekitar ganglion otikum memadat untuk membentuk suatu kapsul rawan di sekitar turunan membranosa dari vesikel otika. Rawan ini diserap pada daerah-daerah tertentu di sekitar apa yang sekarang dikenal sebagai labirin membranosa, menyisahkan suatu rongga yang berhubungan dengan rongga yang terisi LCS melalui akuaduktus koklearis, dan membentuk rongga perilimfatik labirin tulang. Labirin membranosa berisi endolimfe. Tulang yang berasal dari kapsula rawan vesikal otika adalh jenis tulang khusus yang dikenal sebagai tulang endokondral. 2
Tulang Temporal Tulang yang membungkus telinga berasal dari empat bagian yang terpisah. Bagian telinga yang bertulang berasal dari cincin timpani. Prosesus stiloideus berasal dari rawan brankial kedua. Pars skuamosa berkembang 9
dalam rawan, sedangkan pars petrosa berasal dari kapsula kartilaginosa vesikel otika. Terdapat garis-garis sutura diantara bagian-bagian ini yang dapat terlihat pada tulang temporal. Prosesus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir dan ini berarti saraf fasialis bayi terletak sangat superfisialis. Turunan resesus tubotimpanikus yang terisi udara meluas dari telinga tengah melalui aditus sampai di atrum yaitu daerah yang terisi udara dalam tulang mastoid. Namun demikian seberapa jauh perluasan pneumatisasi pada bagian prosesus mastoideus yang tersisa sangatlah bervariasi. Sebagian tulang amat buruk pneumatisasinya atau menjadi sklerotik, lainnya dengan pneumatisasi sedang atau diploik, tapi tulang mastoid, sebagian besar tulang petrosa dan bahkan tulang skuamos temporal umumnya dapat terisi oleh sel-sel udara. 2 Bila ada kegagalan dalam pembentukan satu bagian akan mempengaruhi daerah sekitarnya dan semua urutan pembentukannya, tidaklah mengherankan bila terjadi kelainan kongenital dari telinga luar dan telinga tengah bersama-sama, dan sering kali juga dengan kelainan kongenital sistem lain. Untung saja labirin dibentuk oleh jaringan premordial yang lain yang jarang sekali dipengaruhi oleh kelainan telinga tengah (kecuali daerah foramen ovale), sehingga fungsi koklea tetap normal pada kebanyakan kasus kelianan kongenital telinga. 4,11
IV. EPIDEMIOLOGI Penyakit ini tergolong jarang ditemukan, insidennya didapatkan dengan mikrotia yaitu 1 dalam 10.000 - 20.000 kelahiran. Dilaporkan pada penderita dengan atresia meatus akustikus eksternus jarang didapatkan pada pasien dengan pinna yang normal biasanya diikuti dengan kelainan kongenital yang lainnya. Unilateral biasanya didapatkan 3-6 kali lebih banyak dibandingkan dengan kasus bilateral atresia. Kejadian pada telinga kanan lebih banyak didapatkan dibanding pada telinga kiri. Dilaporkan bahwa panyakit kongenital ini lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu 2 : 1 sampai 5 : 1. 6,11,12
10
V. ETIOLOGI Penyebab secara pasti dari kelainan kongenital ini belum ditemukan, akan tetapi faktor genetik memiliki peranan sebesar 14% dari kejadian ini. Diduga faktor utama pada penyakit ini adalah pengaruh obat intrauterin pada masa kehamilan trisemester pertama dan terutama pada 6 minggu pertama dari kehamilan (28 sampai 42 hari). Hal ini ditentukan pada saat penelitian pemakaian obat thalidomide yang dipakai di Eropa Barat antara tahun 1958 sampai 1962. Atresia meatus akustikus eksternus erat kaitannya dengan berat bayi lahir rendah, trauma pada kehamilan, toksik ataupun infeksi. 4,6,11
VI. PATOFISIOLOGI Atresia meatus akustikus eksternus disebabkan oleh kegagalan kanalisasi epitel plug pada lengkung brakial pertama. Cincin timpani yang menetap menyebabkan lempeng atresia yang berupa tulang pada membrane timpani. Malformasi osikuler dapat terlihat pada saat pertumbuhan dari jaringan kartilago lengkung brakial pertama. (contoh, kartilago Meckel). Kegagalan kanalisasi dari meatus akustikus eksternus berarti bahwa bunyi atau suara tidak dapat mencapai membrane timpani, sehingga menyebabkan tuli konduktif. Malformasi osikuler dapat terjadi akibat dari tuli konduktif tambahan. Atresia meatus dapat disertai oleh mikrotia (kegagalan perkembangan telinga luar). 4,11
Cacat pertumbuhan liang telinga luar dapat hanya mengenai bagian tulang rawan, hanya bagian tulang, atau yang paling sering terjadi, kedua- duanya. Stenosis umumnya sama seluruh liang telinga, tetapi biasanya berupa corong, dengan lumen yang makin sempit dan ujungnya tertutup sama sekali. Di balik fundus ini, serat jaringan ikat dapat tumbuh ke daerah membran timpani atau lempeng tulang yang padat (lempeng atresia) yang membentuk dinding lateral kavum timpani. Saluran tulang rawan dapat atresia, atau stenosis berat, kemudian melebar lagi di bagian tulang, sehingga membran timpani dapat bergerak. Pada keadaan ini, saluran tulang seringkali berisi serumen atau debris keratotik, yang kadang-kadang bersifat merusak. Pada 11
kebanyakan kasus, seluruh saluran tidak ada, atau paling sering berupa cekungan dangkal yang membedakan tragus dengan bagian daun telinga yang cacat lainnya. 4,13
VII. KLASIFIKASI Mekanisme penyebab anomali telinga kongenital tidak dapat dibuat klasifikasi yang tepat, karena terdapat kemungkinan campuran cacat dalam berbagai tingkat dan bentuk. Klasifikasi yang paling dapat dipakai ialah yang dibuat Henner dan diuraikan sebagai penuntun praktis untuk terapi dan prognosis, yaitu sebagai berikut. 4
Gambar 6. Gambaran skematik potongan telinga luar dan telinga tengah normal 6
1. Golongan I Termasuk dalam golongan ini adalah yang paling ringan kelainannya. Telinga luar bentuk dan besarnya mendekati normal. Liang telinga luar mungkin lebih sempit dari normal, tetapi membrane timpani dapat bergerak. Umbo mungkin pucat dan tampak kaki maleus berkapur. Mastoid biasanya berpneumatisasi baik. Terdapat tuli konduktif yang datar, sekitar 50-60 dB pada frekuensi bicara.
6 Dikutip dari kepustakaan no.4 12
Gambar 7. Gambaran skematik malformasi golongan I. Diameter liang telinga luar lebih sempit dari normal dan inkus serta maleus sinosteotik. OS, rangkaian tulang. OS, rangkaian tulang pendengaran; EAC, liang telinga luar; TC, kavum timpani; ILA, lempeng atresia tak lengkap 7
Pada golongan ini termasuk juga kelainan rangkaian tulang pendengaran tanpa kelainan telinga luar. Pada orang dewasa sukar dibedakan dengan otosklerosis. Kriteria diagnostik dari kelainan kongenital telinga tengah ialah sudah ditemukannya pada masa kanak-kanak; tidak bertambah buruk sejak ditemukan; tidak terdapat riwayat ketulian dalam keluarga; dan tuli konduktif yang mendatar pada 50-60 dB. Biasanya tidak terdapat takik Carhart pada hantaran tulang audiogram. Kemungkinan rehabilitasi pada golongan ini cukup baik. Dengan pembedahan stapes atau timpanoplasti akan menghasilkan pendengaran yang baik, pada 85-90% kasus. 2. Golongan II Kelainan pada golongan ini lebih berat dari golongan I. kelainan pada golongan II dahulu paling sering ditemukan. Sekarang dengan bertambah banyaknya eksplorasi telinga tengah untuk tuli konduktif, ditemukan golongan I lebih banyak. Pada kelainan golongan II terdapat berbagai bentuk mikrotia bersama dengan stenosis atau biasanya atresia liang telinga luar. Terdapat lempeng atresia di lateral dari rongga telinga tengah dengan bagian timpanik os temporal tanpa perforasi. Tulang pendengaran cacat,
7 Dikutip dari kepustakaan no.4 13
biasanya kaki maleus berupa punting, melekat pada lempeng atresia. Mastoid berpneumatisasi, dan ukuran telinga tengah cukup normal.
Gambar 8. Gambaran skematik malformasi golongan II. Terdapat agenesis liang telinga luar, fusi kaki maleus ke lempeng atresia dan sinostosis maleus dan inkus. 8
Kasus demikian dapat dioperasi dengan harapan perbaikan pendengaran. Dengan melakukan rekonstruksi liang telinga luar bersama rekonstruksi membrane timpani dan rangkaian tulang pendengaran akan menghasilkan pendengaran cukup baik 70% kasus golongan ini. 3. Golongan III Golongan terakhir ini merupakan kelainan yang paling berat, sehingga pembedahan jarang berhasil, dan hanya dilakukan dengan indikasi khusus. Kelainan yang terdapat pada golongan II ditambah dengan rongga telinga tengah yang sempit dan kurangnya pembentukan sel mastoid. Pada kebanyakan kasus, telinga tengah tidak ada, seringkali disertai dengan kegagalan pembentukan tuba Eustachius. Pada beberapa kasus terdapat juga paralisis fasial kongenital pada sisi yang terkena.
8 Dikutip dari kepustakaan no.4 14
Gambar 9. Gambaran skematik malformasi golongan III. Sebagai tambahan pada kelainan golongan II, terdapat restriksi jelas pada pertumbuhan liang telinga tengah. 9
Juga terdapat sistem klasifikasi yang khusus untuk atresia meatus, seperti yang tertera di bawah ini. Sistem ini mengkategorikan perkembangan dan hubungan kanalis eksternus, membran timpani, perkembangan telinga tengah, dan struktur osikuler. 11,12 a. Klasifikasi Altmann o Tipe I Kanalis ekternus kecil Hipoplasia tulang temporal/ membrane timpani Kontraktur telinga tengah Malformasi osikel o Tipe II Atresia kanalis eksternus dengan lempeng atresia Telinga tengah kecil Malformasi malleus dan inkus o Tipe III Atresia kanalis eksternus Atresia telinga tengah Atresia osikel
9 Dikutip dari kepustakaan no.4 15
b. Klasifikasi De la Cruz o Minor Pneumatisasi mastoid normal Jendela oval normal Telinga dalam normal Nervus fasialis/ jendela oval normal o Major Mastoid dengan pneumatisasi yang buruk Jendela oval abnormal Malformasi telinga dalam Aberasi nervus fasialis c. Klasifikasi Ombredanne o Minor Kanalis eksternus normal Telinga tengah normal Deformitas osikel Mikrotia o Major Atresia kanalis eksternus dan membrane timpani Aberasi atau dehisensi nervus fasialis Mikrotia
Klasifikasi-klasifikasi di atas dibuat berdasarkan temuan-temuan pada studi tulang temporal, evaluasi klinis, temuan pembedahan, atau kombinasi dari beberapa modalitas. Sebuah klasifikasi dibuat oleh Schuknecht didasarkan pada observasi klinis dan pembedahan, yaitu sebagai berikut. Tipe A, yaitu atresia meatus terbatas pada bagian fibrokartilago dari kanalis akustiku eksternus. Area yang atresia memiliki celah yang terlalu sempit yang memiliki predisposisi untuk terbentuknya kolesteatoma. 16
Tibe B, yaitu atresia partial dimana penyempitan terjadi pada fibrokartilago dan pars osseus pada kanalis eksternus. Ukuran membran timpani biasanya lebih kecil dan sebagian terdiri dari bagian tulang. Biasanya terdapat deformitas telinga tengah termasuk malformasi osikuler. Tipe C atau atresia total, termasuk kasus dengan atresia total namun memiliki pneumatisasi yang berkembang baik pada kavitas timpani. Terdapat lempeng atresia yang komplit atau parsial. Tipe D, atresia total hipopneumatik yaitu gambaran dismorfik pada Tipe C dan berkurangnya pneumatisasi tulang temporal. Biasanya terdapat abnormalitas pada nervus fasialis dan labirin.
VIII. DIAGNOSIS Pada umumnya, diagnosis dapat dilakukan dengan inspeksi telinga luar. Bergantung pada derajat abnormalitas, telinga yang mikrotik dapat diklasifikasikan dalam tiga derajat. Pada derajat I, aurikula berkembang namun dalam bentuk yang abnormal dan dapat dengan mudah dikenali. Pada derajat II, helix berbentuk rudimenter, dan lobules berkembang. Pada derajat III, tonjolan kulit amorphous dapat terlihat. Pada semua derajat, variasi yang luas morfologi dapat terlihat nyata. Pada kasus stenosis, epitel squamous yang terperangkap di dalam dapat menyebabkan retensi kolesteatoma dengan adanya destruksi tulang. Persentasi yang lebih besar pada atresia telinga sebagian memiliki retensi kolesteatoma yang lebih besar daripada atresia telinga total. 4,6,13
Diagnosis malformasi telinga congenital biasanya dibuat setelah lahir, ketika pinna yang melformasi atau kanalis akustikus yang atresia segera dapat diperhatikan pada saat secondary survey pada neonates. Beberapa kasus dapat didiagnosis segera setelah lahir, namun sebagian lain dapat dengan pinna yang normal atau kanalis akustikus yang tidak terbentuk sebagian. Masalah yang sering timbul pada umumnya adalah masalah sosial pasien dan perkembangan bahasa atau berbicara, misalnya interaksi anak 17
dengan lingkungannya. Vertigo juga pernah dilaporkan akibat gangguan pada system vestibuler. Nyeri, demam, atau drainase dari telinga yang atresia dapat mengindikasikan adanya kolesteatoma atau infeksi pada kanalis akustikus. 11,12
Pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan kepala dan leher lengkap, pada awalnya kemudian diikuti pemeriksaan anomali kraniofasial yang mungkin menyertai. Struktur otoligi juga perlu dinilai. Selain itu, pemeriksaan fisis harus dikombinasikan dengan pemeriksaan radiografi. 11
Pemeriksaan otologi yang dapat diperiksa yaitu sebagai berikut. a. Pinna: apakah terdapat mikrotia, makrotia, abnormalitas pinna yang lain.
Gambar 10. Mikrotia pada anak 10
Gambar 11. Telinga cauliflower pada perikondritis 11
10 Dikutip dari kepustakaan no.13 11 Dikutip dari kepustakaan no.13 18
b. Konka: penampakan meatus akustikus eksternus dapat berbentuk pinpoint, mengindikasikan adanya stenosis kanalis yang berat. c. Malformasi kongenital: tidak terbentuk kanalis eksternus dan membran timpani, liang telinga yang sempit, dan malformasi malleus dan inkus. Mikrotia dan mandibula yang hipoplasia biasanya menyertai pasien dengan malformasi telinga major.
Gambar 12. Telinga dengan atresia meatus akustikus eksternus 12
d. Tulang temporal: adanya hubungan antara sendi temporomandibular dengan ujung mastoid dan telinga tengah harus dicatat. Ujung mastoid harus diperiksa dan dibandingkan dengan sisi kontralateral. Perkembangan mastoid yang buruk menggambarkan adanya kelainan anatomi nervus fasialis. e. Pemeriksaan penunjang: contohnya pemeriksaan imaging dengan CT-scan. CT-scan dapat memperlihatkan perkembangan telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam, khususnya fossa cranial media di superior, arteri karotis dan vena jugular, serta fossa intratemporal. 11,14
12 Dikutip dari kepustakaan no.11 19
Gambar 13. CT-scan potongan axial pada atresia kanalis eksternus unilateral kanan. Kanalis kanan, pada sisi kiri gambar, tidak berkembang dibandingkan dengan kanalis kiri yang berkembang normal. 13
Gambar 14. CT-scan pasien dengan atresia aural kongenital pada telinga kiri, namum perkembangan telinga tengah baik. 14
13 Dikutip dari kepustakaan no.11 14 Dikutip dari kepustakaan no.10 20
Gambar 15. CT-scan menunjukkan mikrotia, atresia meatus, dan lumen telinga tengah yang menyempit 15
Pemeriksa sebaiknya mempertimbangkan evaluasi fungsi sistem organ lainnya untuk mendeteksi adanya defek perkembangan yang menyertai. 6
IX. PENATALAKSANAAN Pasien dengan kelainan telinga kongenital merupakan masalah yang membutuhkan pemecahan yang individual. Kelainan biasanya ditemukan segera setelah lahir, sehingga cukup waktu untuk mengevaluasi dan mendidik orangtuanya. Kelainan ini tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungannya, tetapi juga menyebabkan dampak psikologis yang berat akibat cacatnya. Dengan bertambahnya kebutuhan untuk mendengar, sesuai dengan meningkatnya pendidikan, meskipun tuli hanya sebelah telinga sudah dapat merupakan hambatan dalam beraktivitas. 6
Masalah yang paling mendesak ialah tuli yang mengenai kedua telinga. Anak mulai berbicara pada tahun pertama, tetapi pendengaran diperlukan untuk belajar berbicara. Keterlambatan berbicara setelah umur 4 tahun menyebabkan kerugian yang berat oleh karena kehilangan sesnsorik selama tahun-tahun kritis ini dan dapat mengakibatkan masalah pendidikan, meskipun pendengaran telah diperbaiki. Terdapat kesulitan untuk melakukan
15 Dikutip dari kepustakaan no.5 21
pembedahan sebelum berumur 3 tahun, oleh karena besarnya risiko bedah dan kesukaran perawatan pasca-bedah. 4,12
Kelainan congenital unilateral tidak memerlukan latihan pendengaran secara dini atau evaluasi secara dini, oleh karena kurang pendengaran pada kasus ini tidak merupakan factor penting. Tuli sebelah telinga dapat merupakan hambatan yang nyata, terutama apabila telah mencapai sekolah tingkat tinggi. Bila fungsi koklea adekuat, kebanyakan ahli otology sekarang sepakat bahwa koreksi pembedahan untuk ketulian cukup berharga untuk dikerjakan meskipun ada kemungkinan gagal atau risiko bedah yang dihadapi. 4,11 a. Non pembedahan Amplifikasi, pelatihan auditori, dan terapi bicara dapat mengembangkan kemampuan berbicara dan bahasa. Pada anak-anak dengan atresia bilateral, sebaiknya diberikan amplifikasi dengan alat bantu konduksi- tulang secepatnya, yaitu pada bulan pertama kehidupan. Pada bayi dengan atresia unilateral dan tuli konduktif, alat bantu konduksi-udara sebaiknya diberikan pada telinga yang masih memiliki kanalis. 6
b. Pembedahan Rekonstruksi telinga luar biasanya dilakukan oleh ahli bedah plastik, sedangkan otologis melakukan koreksi kanalis auditori eksternus dan defek pada telinga tengah. Keduanya bekerja sebagai satu tim untuk mencapai hasil yang optimal. Jahrdsdoefer dan Aguilar menemukan sistem grading untuk menetapkan kriteria untuk menyeleksi kandidat operasi. Kriteria ini dibuat berdasarkan variasi anatomi pada aurikula eksternal, kanalis, telinga tengah, nervus fasialis, dan pneumatisasi mastoid. Sistem grading ini membantu para ahli bedah pada penilaian pre-operasi mereka untuk menentukan kandidat terbaik dengan perbaikan fungsi pendengaran. Alokasi poin didasarkan pada penemuan-penemuan pada pemeriksaan CT-scan.
22
Tabel 1. Grading oleh Jahrsdoefer untuk menilai prognosis pada atresia meatus, dinilai dengan bantuan CT-scan (8:baik; 7:sedang, 5:buruk) 16
Adapun teknik operasi yang digunakan adalah sebagai berikut. 4,14,15
1. Insisi Penyempitan liang telinga dapat diperbaiki dengan melebarkannya setelah menyingkapkan kulit di atasnya. Pada liang telinga yang lebih sempit atau atresia pada kasus dengan daun telinga normal, meatus pars osseus dicapai dengan insisi endaural, yang meluas ke arah atas dari meatus. Kulit pada bagian yang atresia diinsisi secara vertikal, memungkinkan dua buah flap kulit triangular terangkat dan dapat dicapai meatus pars osseus. Pada kasus mikrotia, insisi dibuat di daerah tempat liang telinga akan dibuat.
16 Dikutip dari kepustakaan no.10 23
Gambar 16. Pendekatan dengan insisi endaural 17
Selain itu, juga dapat dibuat insisi postaurikuler untuk mencapai tulang mastoid. Jaringan lunak diangkat ke anterior hingga mencapai mastoid dan tulang atresia.
Gambar 17. Insisi postaurikuler 18
2. Rekonstruksi Liang Telinga Banyak ahli bedah akan memilih cara mastoidektomi radikal dengan modifikasi pada setiap kasus dengan atresia kongenital liang
17 Dikutip dari kepustakaan no.16 18 Dikutip dari kepustakaan no.10 24
telinga luar, tetapi risiko adanya nervus fasial aberans besar sekali dengan pendekatan ini. Diseksi liang telinga dimulai pada taut dura fossa media dan sendi rahang. Tulang di atas struktur ini ditipiskan, tetapi tidak dikeluarkan. Melebarkan liang telinga harus ke arah posterior dan inferior, tetapi pelebaran ini dihentikan bila ukuran liang telinga telah memadai, biasanya sampai diameter 12-15 mm. di sebelah inferior atik, lempeng atresia harus ditipiskan dan dikeluarkan sebanyak-banyaknya sehinga mesotimpanum terlihat. Setelah itu, maka lempeng atresia dikeluarkan dengan hati-hati dengan bor diamond untuk mempertahankan sebanyak-banyaknya jaringan ikat dan mukosa di bawahnya guna membantu rekonstruksi membrane timpani. Setelah diseksi, maka liang telinga telah terbentuk dan siap untuk penanduran kulit.
(A) 25
(B) (C) Gambar 18. Tahapan rekonstruksi liang telinga. A.Pembuatan kanalis eksternus. B.Mencapai daerah epitimpanum. C.Mencapai rangkaian osikuler 19
3. Memasang Tandur Membran Timpani Langkah akhir juga merupakan langkah yang paling rawan untuk jalannya penyembuhan tanpa kesukaran dan pencegahan terjadinya stenosis pasca-bedah. Tidak adanya membran timpani menyebabkan lateralisasi lebih lanjut. Dengan teknik Belluci, tandur dipasang di dalam liang telinga sebagai gorong-gorong kulit sebesar jari. Tandur ditempatkan anterior dan superior pada kanalis. Jika tepi tulang terlalu dangkal untuk menstabilkan tandur, dapat ditambah lubang beberapa millimeter di anterior dinding kanalis ke arah medial dari osikel. Teknik Livingstone dengan menjahit kulit berbentuk jari sebelum dipasang ke liang sama berhasilnya dengan Belluci, akan tetapi kadang-kadang menghabiskan waktu lebih lama dan lebih sukar. Teknik ini dapat
19 Dikutip dari kepustakaan no.10 26
menghindari lateralisasi dengan menutupi fascia graft dengan graft split- thickness pada kanalis, yang dibentuk pada sepanjang lingkaran kanalis.
Gambar 19. Penempatan split-thickness skin graft sebagai tandur membrane timpani 20
4. Meatoplasti Salah satu masalah yang sulit pada pembedahan atresia liang telinga adalah mempertahankan lumen liang telinga di sebelah luar. Oleh karena daun telinga yang mikrotia terletak di sebelah anterior, oleh karena posisi liang telinga telah ditentukan pada diseksi tulang sebelumnya, dan oleh karena posisi meatus yang dikehendaki terletak di anterior daun telinga, maka pada kebanyakan kasus perlu dilakukan penyesuaian letak daun telinga ke posterior. Harus dibuat lubang yang bulat ke liang telinga, biasanya memerlukan pengangkatan segmen semilunar dari tepi anterior massa daun telinga untuk membantu membentuk lubang ini.
20 Dikutip dari kepustakaan no.10 27
(A) (B) (C) (D) Gambar 20. Tahapan penempatan daun telinga 21
X. KESIMPULAN Atresia meatus akustikus eksternus merupakan sebuah kelainan kongenital yang disebabkan oleh kegagalan kanalisasi pada telinga bagian luar. Tujuan tindakan pembedahan kelainan congenital pada telinga yaitu untuk menciptakan jalur yang fungsional dimana rangsangan bunyi atau suara dapat mencapai cairan koklea. Pengetahuan yang luas mengenai variasi anatomi yang dapat menyebabkan perkembangan abnormal sangat diperlukan. Hasil akhir berupa pendengaran yang baik tidak sepenuhnya dapat dicapai dengan tindakan pembedahan atresia, namun dengan kriteria seleksi yang ketat dan dengan perkembangan terbaru mengenai teknik pembedahan, hasil yang memuaskan dapat dicapai. 12
21 Dikutip dari kepustakaan no.10 28
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetirto I, Hendarmin H. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam: Soepardi EA. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003 : p. 9-21 2. Liston SL. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam: Higler AB. BOI ES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 1997: p. 26-38 3. Moller AR. Hearing Anatomy, Physiology, and Disorders of Auditory System. New York: Academic Press; 2006: p. 207-12. 4. Ballenger JJ. Kelainan Kongenital Telinga. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid Dua. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997: p. 485-501. 5. Water TR. Otolaryngology Basic Science and Clinical Review. New York: Thieme Medical Publisher; 2006: p. 256-72. 6. Purisier SC, Fayad JN, Kimmelman CP. Microtia, Canal Atresia, and Middle Ear Anomalies. In: Snow JB. Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. New York: BC Decker; 2003: p. 353-62. 7. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose, and Throat. 4 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2007: p.45-52. 8. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second ed. New York: Mc-Graw Hill Companies; 2007: p 352-67. 9. Kryzer TC, Lambert PR. Diseases of the External Auditory Canal. In: Canalis RF, Lambert PR. The Ear Comprehensive Otology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2000: p. 341-50. 10. Lambert PR. Congenital Aural Atresia. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Forth ed. Volume 2. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: p. 2027-40. 11. Shah RK, et al. External Auditory Canal Atresia. [online] 2008 July. [cited] 2011 Oct 11th. Available at: http://www.medscape.com 12. Quinn FB, et al. Congenital Aural Atresia. [online] 2006 March. [cited] 2011 Oct 11th. Available at: http://www.otohns.net 29
13. Kesser BW, et al. Aural Atresia. [online] 2010 Mar 25th. [cited] 2011 Oct 11th. Available at: http://www.emedicine.com 14. Lambert PR. Management of the Unilateral Atretic Ear. In: Pensak ML. Controversies in Otolaryngology. New York: Thieme Medical Publisher; 2001: p. 377-84. 15. Shambaugh GE. Operations the Auricle, External Meatus, and Tympanic Membrane. In: Surgery of the Ear. Second ed. Philadelphia: WB. Saunders Company; 2003: p. 225-34. 16. Gurr A, Sudhoff H, Hildmann H. Approaches to the Middle Ear. In: Sudhoff H, Hildmann H. Middle Ear Surgery. Germany: Springer; 2006: p.19-23.