You are on page 1of 6

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TETANUS

PENGKAJIAN
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik
pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di hubungkan dengan keluhan keluhan dari klien.
Pada klien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40
0
C.
Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses implamasi dan toksin tetanus yang sudah
mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan
perfusi jaringan otak. Apabila disertai peninhkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan
dengan peningkatan laju metabilisme umum. TD biasanya normal.
B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, prodoksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya
ketidak efektifan bersihan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan taktil premitus seimbang kanan
dan kiri. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang meurun.
B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik yang sering terjadi pada
klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena adanya
hancurnya eritrosit.
B3 (brain)
Pengkajian B3 merupakan pemriksaan fokus dan lebih lengkap di bandingkan pengkajian
pada sistem lainnya.
1. Tingkat kesadaran (GCS)
Kesadaran klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien
sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
2. Fungsi serebri
Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan
observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya
status mental klien mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus mengeluh mengalami
fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus
rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat untuk memberikan intervensi menurunkan stimulus
cahaya tersebut.
Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala khas
pada tetanus).
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut (trismus).
Saraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada pasikulasi. Indra
pengecapan normal.
System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan kordinasi pada tetanus tahap lanjut
mengalami perubahan.
Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periusteum derajat
reflek pada respon normal.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien mengalami kejang
umum, terutama pada anak yang tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
System sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri
normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan
proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif normal.
B 4 (BLADER)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang
sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
B 5 (BOWEL )
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut
(perut papan) merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan
BAB.
B 6 (BONE)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-
hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan por de
entre kuman Clostridium tetani , sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya
kejang memberikan resiko pada praktur pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada
abdomen.

DIAGNOSA KEPERAWTAN
1. Pola nafas tidak efektif b.d. spasme otot pernafasan
2. Peningkatan suhu tubuh b.d. proses infeksi sekunder akibat kuman clostridium tetani
3. Resiko cedera b.d. aktivitas kejang
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. adanya trismus
5. Kerusakan mobilitas fisik b.d. nyeri
6. Resiko terhadap penularan infeksi berhubungan dengan pemajanan pada penularan
organisme melalui udara
7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltic sekunder terhadap spasme otot
dinding abdomen
8. Nyeri Akut berhubungan dengan spasme otot





INTERVENSI
1) Pola nafas tak efektif berhubungan dengan spasme otot pernafasan
Tujuan : Pola nafas pasien tak efektif
Kriteria Hasil : Menunjukkan pola mafas efektif dengan frekuensi dan kedalam rentang normal
Intervensi :
a) Kaji kadalaman frekuensi, irama, catat bila tidak ada keteraturan
b) Bila tidak kejang berikan posisi semi fowler
c) Berikan posisi miring dengan permukaan datar, miringkan kepala jika kejang
d) Longgarkan pakaian daerah leher dan dada
e) Anjurksn pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif
f) Berikan O2 sesuai kebutuhan
2) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi sekunder akibat kuman
Clostridium Tetani
Tujuan : Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam batas normal (36-37 derajat C)
Intervensi :
a) Pantau suhu tubuh setiap 4 jam
b) Beri kompres hangat si ketiak dan lipatan paha
c) Anjurkan banyak minum 1500 cc per hari
d) Kolaborasi pemberian antipiretik dan antibiotik
3) Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang
Tujuan : Cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil : Pasien tidak mengalami kejang menunjukkan perilaku penurunan resiko cedera
Intervensi :
a) Observasi pasien, catat aktivitas kejang, frekuensi lamanya kejang
b) Batasi pengunjung dan jaga ketenangan ruangan
c) Pasang tongespatel pada mulut pasien
d) Tempatkan pada ruangan khusus atau terisolasi
e) Beri anti kejang
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan trismus
Tujuan : Nutrisi pasien adekuat
Kriteria Hasil : Pasien mengatakan nafsu makan bertambah, kemajuan peningkatan berat badan
sesuai tujuan, tidak mengalmi tanda-tanda malnutrisi
Intervensi :
a) Kaji kemampuan pasien untuk menguyah, menelan dan mengatasi sekresi
b) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan suara
c) Beri makan dalam jumlah kecil tapi sering
d) Kolaborasi, konsultasi dengan ahli gizi dan berikan umpan balik
5) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
Tujuan : Dapat mobilisasi secara bertahap
Kriteria Hasil : Mempertahnkan posisi fungsi optimal, dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur,
meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit, mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a) Kaji tingkat mobilsasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
b) Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional seperti bokong, kaki dan tangan
c) Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena ekanan
d) Bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi
6) Resiko terhadap penularan infeksi berhubungan dengan pemajanan pada penularan
organisme melalui udara
Tujuan : Mencegah terjadinya penularan
Kriteria Hasil : Menunjukkan teknik perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang
aman
Intervensi :
a) Kaji adanya tanda-tanda infeksi seperti kalor, dolor, rubor, tumor dan fungsiolaesa
b) Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan terutama di daerah luka
c) Observasi vital sign
d) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi
7) Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltic sekunder terhadap spasme otot
dinding abdomen
Tujuan : Konstipasi tidak terjadi
Kriteria Hasil : Mampu menjelaskan factor penyebab bila diketahui pasien mengatakan nyerinya
hilang saat defekasi
Intervensi :
a) Auskultasi bising usus
b) Anjurkan secara bertahap untuk meningkatkan masukan cairan
c) Anjurkan pasien untuk makan sayur dan buah
d) Anjurkan untuk melakukan gerakan atau ambulasi sesuai kemampuan
e) Kolaborasi pemberian laksatif
8) Nyeri Akut berhubungan dengan spasme otot
Tujuan : Nyeri berkurang
Kriteria Hasil : Pasien mengatakan nyeri berkuran atau tekontrol
Intervensi :
a) Berikan lingkungan yang tenang
b) Pertahankan mobilisasi bagian yang sakit
c) Kaji adanya nyeri, Bantu pasien mengidentifikasi nyeri, seperti lokasi, tipe, intensitas
pada skala 0-10
d) Motivasi penggunaan tehnik relaksasi dan distraksi
e) Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi/nyeri otot

You might also like