Anton Christanto, Kartono Sudarman SMF/Bag IP THT-KL RSUP Dr Sardjito/FK UGM Yogyakarta
PENDAHULUAN
Dalam pemeriksaan audiometri subyektif, masking merupakan metode yang paling sulit dipelajari dan difahami oleh residen saat stase di audiologi. Masking di bidang audiologi klinis merupakan metode pemeriksaan yang harus betul-betul difahami baik dari segi dasar teori, metode pemeriksaan dan penatalaksanaannya dalam melakukan semua jenis tes pendengaran terutama secara subyektif. Problem utama dalam tes audiometri timbul karena suara dengan intensitas tertentu yang diberikan melalui headphone atau insertphone dapat menembus impedans tulang kepala, sehingga menyebabkan vibrasi seluruh tulang kepala dimana kedua koklea terbenam didalamnya. Hal tersebut mengakibatkan stimulus yang diberikan di satu telinga dapat diterima juga oleh koklea di telinga sisi yang lain. Pada gangguan fungsi pendengaran unilateral atau bilateral yang asimetris, maka stimulus pada intensitas tertentu yang diberikan di telinga yang pendengarannya lebih jelek, akan terdengar di telinga yang fungsi pendengarannya lebih baik. Apabila subyek memberikan respons terhadap stimulus yang diberikan (sebetulnya stimulus suara terdengar di telinga sisi lain/yang tidak dites) akan menghasilkan respons yang bukan sebenarnya (positif palsu/shadow hearing). Mekanisme menyeberangnya stimulus suara ke telinga sisi lain yang dikenal dengan cross over hearing tersebut, harus diatasi dengan cara memberikan suara masking disisi telinga yang tidak dites, agar supaya stimulus suara yang diberikan ditelinga yang 2 sedang dites (ambang pendengarannya lebih jelek), tidak dapat terdengar ditelinga yang tidak dites (ambang pendengarannya lebih baik). Seorang dokter spesialis/residen THT yang peka akan menduga kemungkinan terjadinya cross over hearing lebih sering daripada yang sebenarnya terjadi sehingga akan melakukan masking dalam melakukan tes pendengaran subyektif. Hasil audiometri dan keraguan akan jenis gangguan pendengaran yang sebenarnya akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam tindakan bedah di bidang otologi dan prediksi perbaikan pendengaran pasca operasi telinga. Masking merupakan prosedur dalam evaluasi fungsi pendengaran yang harus difahami bagi seorang dokter spesialis/residen THT. Melakukan pemeriksaan audiologi subyektif tidak hanya memerlukan kerjasama dengan subyek yang dites akan tetapi kita yang berkecimpung di bidang audiologi klinis harus peka akan kemungkinan terjadinya cross over hearing. Efektifitas suara masking ditentukan oleh beberapa variabel meliputi frekuensi yang sedang dimasking, spektrum suara masking yang dipakai dan jenis transduser yang digunakan untuk menghantarkan suara masking ke telinga yang tidak di tes. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masking pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipelajari dan difahami oleh dokter/residen THT. Pada tulisan ini akan dibicarakan mengenai dasar teori, mekanisme dan metode pemeriksaan masking pada audiometri nada murni.
3
URAIAN DAN PEMBAHASAN
A. Prinsip dasar dan pengertian masking. Definisi masking adalah menaikkan ambang dengar pada telinga yang tidak diperiksa dengan memberikan bunyi bising. Menurut Lassman et al., 1994 Masking (penyamaran) adalah mengaburkan suatu bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya atau peninggian ambang pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya sinyal kedua. Bising frekuensi sempit merupakan penyamar yang paling efisien untuk nada- nada murni. Tujuan utama melakukan masking dalam pemeriksaan fungsi pendengaran adalah untuk mencegah telinga yang tidak dites ikut mendengar stimulus suara yang diberikan di telinga yang sedang dites atau mencegah positif palsu/shadow hearing. Apabila subyek memberikan respons terhadap stimulus yang diberikan pada telinga yang dites (sebetulnya stimulus suara terdengar di telinga sisi lain/yang tidak dites), akan menghasilkan respons yang bukan sebenarnya. Hal tersebut disebut positif palsu/shadow hearing sehingga pada grafik audiogram sering disebut shadow curve. Dalam pemeriksaan visus, usaha agar supaya mata sisi yang lain tidak ikut berpartisipasi melihat obyek adalah dengan cara menutup mata yang tidak dites. Hal tersebut tidak bisa diterapkan pada saat melakukan tes pendengaran dengan cara menutup telinga yang tidak dites.Hal tersebut tidak bisa diterapkan pada saat melakukan tes pendengaran dengan cara menutup telinga yang tidak dites. Pada kondisi tertentu, penutupan liang telinga akan menyebabkan efek oklusi yang justru dapat meningkatkan 4 kepekaan pendengaran di telinga yang ditutup, yang dapat mengganggu validitas penilaian hasil tes (Sander, 1978; Martin 1986). Untuk menghindari hal tersebut, telinga yang tidak dites ambangnya dinaikkan dengan cara diberikan suara masking, sehingga stimulus suara yang diberikan ditelinga yang sedang dites tidak dapat terdengar di telinga yang dites (terutama dalam kondisi kemungkinan terjadi cross over hearing : stimulus suara terdengar ditelinga yang tidak dites). Contoh hasil audiogram yang menunjukkan kemungkinan terjadi cross over hearing/sebelum dilakukan masking (gambar1). Kemudian dilakukan masking (gambar2).
Gambar 1. Sebelum masking (Shadow curve)
Gambar 2. Sesudah masking 5
Gambar 3. Simbol pada audiogram. B. Pengertian cross over hearing. Bila kita menguji seseorang yang diketahui tidak mampu mendengar ditelinga kirinya, dan intensitas bunyi di earphone telinga kiri dinaikkan terus menerus, maka akan menyebabkan vibrasi tengkorak. Bila vibrasi dari telinga tersebut cukup kuat, maka bunyi akan menyeberang melalui tengkorak dan merangsang telinga kanan (cross over). Bila vibrasi tersebut cukup besar maka bunyi akan terdengar oleh telinga kanan (cross hearing). Kedua proses tersebut diatas disebut cross over hearing.
Gambar 4. a. bone conduction b. air conduction
C. Interaural Attenuation (IA) Konsep yang utama dalam metode masking adalah berapa besar interaural attenuation (IA). Interaural Attenuation disebut juga Transcranial Transmission Loss atau Transcranial Attenuation (Elpern & Naunton 1963; Snyder, 1973). IA merupakan 6 besar energi bunyi (stimulus suara) yang hilang (attenuate) pada waktu menyeberangi kepala (melalui hantaran tulang) dan diterima oleh koklea telinga sisi yang lain. Cross over hearing perlu dipertimbangkan apabila ambang telinga yang sedang dites melampui interaural attenuation yang tergantung pada: 1. J enis tes (hantaran udara/air conduction atau hantaran tulang/bone conduction) 2. J enis tranduser yang dipakai, 3. frekuensi yang sedang dites. Sebagai contoh konsep IA pada frekuensi 1000Hz dengan menggunakan transduser supraaural phone (gambar 5). Ambang hantaran tulang/bone conduction (BC) di telinga kiri 10dB; ambang hantaran udara/air conduction (AC) telinga kanan 60dBHL. Pada saat stimulus AC sebesar 60dB diberikan ditelinga kanan, subyek yang dites memberikan respons mendengar stimulus suara. Intensitas suara sebesar 60dB yang diberikan ditelinga kanan tersebut kemungkinan telah menyeberang ke telinga sisi kiri melalui vibrasi tulang kepala, sehingga stimulus suara terdengar ditelinga kiri dimana ambang BC : 10 dBHL. J umlah IA hantaran udara(AC) di frekuensi 1000Hz pada kasus tersebut adalah sebesar 50dB waktu menyebrangi kepala ke telinga kiri (lebih besar dari IA minimum pada frekuensi 1000Hz:40dB), sehingga suara yang diterima ditelinga kiri hanya tinggal sebesar 10dB.
Gambar 5. Konsep IA pada frekuensi 1000Hz 7 AC TE (Air Conduction Tested Ear) Kanan, IA (Interaural Attenuation), BC NTE (Bone Conduction Non Tested Ear) kiri. Rumus : AC TE (kanan) IA = BC NTE (kiri) 60 50 =10 terdengar
Gambar 6. Konsep IA Rumus : AC TE(earphone kiri) IA = BC NTE (choclea kanan) a. 60-50=10 (sesuai ambang dengar) terdengar b. 80-50=30 (20dB diatas ambang dengar) terdengar c. 55-50=5 (dibawah ambang dengar) tidak terdengar
Nilai IA hantaran udara bervariasi tergantung pada frekuensi dan jenis transduser yang dipakai (tabel 1). Tabel 1. Nilai IA 3 jenis transduser pada frekuensi 250-8000 (Stach, 1998) Frekuensi (Hz) Supra-aural(TDH49) Insertphone(ER-3A) Vibrator(BC) dB dB dB 250 40 75 500 40 75 0 1000 40 60 0 2000 45 55 0 4000 50 65 0 8000 50 65 8
Berdasarkan beberapa penelitian, rentang nilai IA hantaran udara pada beberapa frekuensi dengan memakai supra-aural phone cukup besar (gambar 7 dan tabel 2)(Katz & Lezynski, 2002)
Gambar 7. Rentang Nilai IA hantaran udara
Tabel 2. Rentang Nilai IA hantaran udara
Untuk kemudahan dalam praktek sehari hari dibidang audiologi klinis, Goldstein dan Newman tahun 2002, mengemukakan nilai IA minimum hantaran udara pada masking (tabel 3). Tabel 3. Pedoman nilai IA minimum sebagai panduan indikasi masking pada pemeriksaan hantaran udara Frekuensi 125 250 500 1000 2000 4000 8000 Beda dB Antara kedua telinga 35 40 40 40 45 50 50 9 IA frekuensi tinggi lebih besar daripada IA frekuansi rendah . Besar IA minimum diarea frekuensi 2000Hz dan diatas 200Hz berkisar antara 40-50dB, sedangkan pada frekuensi 125Hz hanya 35dB (Katz & Lezynski, 2002). Nilai minimum IA harus diketahui mengingat keputusan perlu tidaknya dilakukan masking tergantung pada nilai minimum IA frekunsi yang dites. Stach (1998) mengemukakan nilai IA yang dapat dipakai sebagai panduan kapan mulai terjadi cross over hearing berdasarkan pada jenis tranduser yang dipakai dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Besar IA minimum rata-rata 3 jenis transduser sebagai petunjuk kapan mulai terjadi cros over hearing. J enis Transduser Besar IA --------------------------------------------------------------------------------------------------- Supra-aural earphones 40 dB Insertphones 50 dB Bone-conductor vibrator 0 dB --------------------------------------------------------------------------------------------------- Dengan menggunakan supra-aural earphone, cross over hearing akan terjadi apabila ambang dengar salah satu telinga mencapai ambang BC telinga sisi yang lain sebesar 40db atau lebih. Apabila menggunakan insert earphone, cross over hearing baru terjadi apabila nilai IA mencapai minimum 50dB. Cross over hearing pada penggunaan vibrator BC dapat terjadi setiap saat, oleh karena stimulus tidak mengalami pengurangan/attenuation pada waktu menyebrang ke telinga sisi yang lain. J umlah IA pada BC sangat minimal (dianggap =0dB), sehingga pemeriksaan BC cenderung lebih memerlukan masking daripada AC (Stach, 1998; Sataloff et al, 1980).
10 D. J enis Tes D.1. Masking pada tes hantaran udara. Masking harus dilakukan apabila ambang AC di telinga yang sedang dites melampui nilai IA minimum diatas ambang BC di telinga yang tidak dites. Hal ini sangat penting untuk difahami dalam mekanisme masking, sekalipun tes yang dilakukan melalui hantaran udara akan tetapi cross over hearing selalu terjadi melalui hantaran tulang (Sanders, 1978). Dengan demikian yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan masking adalah berapa ambang BC (bukan AC) di telinga sisi yang lain/telinga yang tidak di tes. D.2. Masking pada tes hantaran tulang. Pemeriksaan BC lebih mutlak memerlukan masking dibandingkan dengan pemeriksaan AC (Stach, 1998). Hal ini disebabkan oleh jumlah IA tes hantaran tulang sangat minimal (nol), sehingga kemungkinan terjadinya cross over hearing pada hantaran tulang lebih besar.(Hinchcliffe, 1990; Sataloff, 1980; Stach, 1998). Pada waktu memeriksa BC disalah satu telinga (misalnya ditelinga kiri), stimulus vibrator yang diletakkan dimastoid kiri tidak hanya merangsang koklea kiri akan tetapi juga akan merangsang koklea di sisi kanan. Hal tersebut harus selalu diperhatikan dalam melakukan tes hantaran tulang, bahwa stimulus yang diberikan disalah satu telinga akan merangsang koklea dikedua sisi telinga. Dengan demikian kemungkinan terjadi cross over hearing tes hantaran tulang pada gangguan pendengaran unilateral lebih besar (gambar 8).
11
Gambar 8. Vibrator untuk tes hantaran tulang akan merangsang kedua koklea dimanapun vibrator diletakkan dikepala (Martin, 1986)
E. J enis Transduser. Mekanisme IA berhubungan erat dengan jumlah vibrasi yang dihantarkan oleh transduser ke permukaan kepala. Heeadphone berhubungan dengan area tulang kepala yang lebih luas sehingga jumlah IA berkurang yang mengakibatkan resiko terjadinya cross over hearing menjadi lebih besar. Semakin luas area headphone yang berhubungan dengan kepala , semakin besar transmisi yang dihantarkan melalui vibrasi tulang kepala (Hosford et al., 1986). Headphone/earphone yang dipakai umumnya jenis TDH 39 dan TDH 49 dengan supraaural cushion atau circum-aural cushion. Insertphone. Headphone dengan bantalan berbentuk donat (circumaural cushion) lebih banyak dipakai dalam klinik karena dapat memberikan ruang lebuh luas apabila telinga ditutup. J enis headphone tersebut dapat meningkatkan efek interaural attenuation/IA (Martin 1986; Snyder, 1973) yang dapat mempengaruhi pemeriksaan hantaran tulang apabila salah satu telinga ditutup dengan headphone. J enis tranduser yang lain adalah insertphone yang mempunyai interaural attenuation/IA sebesar 20dB lebih besar daripada IA tipe headphone (Clemis et al., 12 1986). Insertphone menghantarkan vibrasi suara yang berasal dari pengeras suara yang letaknya terpisah dari bagian yang dimasukkan kedalam liang telinga, melalui pipa yang relatif panjang. Hanya sebagian kecil dari insertphone yang berhubungan dengan liang telinga, sehingga jumlah vicbrasi yang dihantarkan melalui tulang kepala juga minimal (Hosford et al., 1986). Transduser vibrator bone conduction merangsang kulit dan tulang kepala secara langsung, sehingga IA sangat minimal dan resiko terjadinya cross over hearing lebih besar Clemis et al., 1986; Studebaker, 1973) Stach tahun 1998 mengemukakan nilai IA yang dapat dipakai sebagai panduan kapan mulai terjadi cross over hearing berdasarkan pada jenis transduser yang dipakai. Besar interaural attennuation/ IA minimum rata-rata tiga jenis transduser sebagai petunjuk kapan mulai terjadi cross over hearing : 1). Supra-aural earphones, besar IA 40dB. 2). Insertphones, besar IA 50dB. 3). Bone-conduction vibrator, besar IA 0dB (Stach, 1998) (Tabel 4) Gambar 9. J enis transduser . Insert phone B. Circumaural phone C. supra-auralphone
13 F. J enis suaramasking. Melakukan masking pada nada murni yang efisien perlu dipertimbangkan beberapa variabel antara lain 1). Spektrum suara masking. 2). Frekuensi yang sedang di masking 3). J enis transduser yang dipakai (Katz & Lezynki, 2002; Stach, 1998; Wood, 1993). Suara masking yang terbaik untuk nada murni adalah suara dengan spektrum frekuensi yang sama dengan frekuensi yang sedang dites. Pilihan jenis suara masking perlu pemahaman mengenai konsep Critical bandwidth Critical bandwidth (spektrum kritis) yaitu frekuensi yang dapat mempengaruhi kepekaan mendengar di frekuensi yang sedang dites. Spektrum kritis merupakan bagian dari spektrum bising yang terjadi terus menerus di sekitar suatu nada murni. Dengan menggunakan sistem filter, suara masking dapat diatur sesuai dengan frekuensi yang dibutuhkan dengan cara menghilangkan frekuensi dibawah dan diatas batas filter. Energi pada spektrum kritis akan menentukan berapa besar bunyi yang harus dimasking. Sound Pressure Level (SPL) di luar spektrum kritis tidak akan mengubah ambang dengar, malah hanya menambah kekerasan bising. J enis suara masking yang tersedia pada alat audiometer umumnya adalah white noise/broadband noise dan narrowband noise. 1. White noise (bising putih) White noise/bising putih merupakan signal akustik yang sebanding dengan jumlah energi yang ada pada semua frekuensi yang dapat didengar (berspektrum luas). Masking jenis white noise/WN distribusi energinya random (rata-rata hampir sama pada semua frekuensi), analog dengan distribusi cahaya yang warnanya putih. Karena spektrumnya 14 yang luas dan datar, WN mempunyai keterbatasan untuk masking nada murni , karena masking yang paling efisien adalah sekitar frekuensi yang dimasking. Dengan memakai white noise yang spektrumnya cukup luas, maka suara-suara diatas dan dibawah frekuensi yang sedang di tes tidak bermanfaat untuk bisa me- masking, tetapi justru dapat menyebabkan gangguan akibat kekerasan suara, sehingga pasien sering menolak tes selanjutnya karena suara masking yang tidak nyaman didengar (Martin, 1986; Stundebaker, 1973). 2. Narrow band noise (bising spektrum terbatas) Narrow band noise/bising spektrum terbatas merupakan bunyi bising yang paling efisien untuk masing audiometri nada murni. J enis suara masking yang paling efisien adalah yang dapat menghasilkan pergeseran ambang dengar yang paling besar dengan intensitas suara masking yang paling kecil. Hasil penelitian membuktikan bahwa masking yang paling efektif adalah disekitar frekuensi suara yang dimasking. Sehingga pemakaian broadband noise akan terlalu banyak frekuensi yang tidak efektif. Narrow band noise bisa didapat dengan menggunakan sistem filter pada white noise. Band filter sedikit lebih luas dibandingkan dengan critical band. Secara keseluruhan intensitas narow band noise lebih rendah daripada white noise. Suara masking jenis narrow band noise dapat menghasilkan pergeseran ambang tanpa menimbulkan gangguan akibat intensitas masking yang terlalu keras (Stundebaker, 1973). Bising spektrum bicara merupakan bising putih yang sudah disaring (frekuensi nada tinggi direduksi) sehingga lebih efisien untuk masking selama uji bicara.
15 G. Masking efektif. Nilai ambang dengar setelah pemberian suara masking di telinga yang sama dikenal dengan istilah Level Masking Efektif (Effective Masking Level/ EML). Masking efektif merupakan unit yang dipakai untuk menilai potensi suara masking. Level Masking Efektif (Effective Masking Level/ EML) adalah besarnya intensitas bising yang harus diberikan agar tidak terjadi cross hearing. Masking minimum merupakan nilai minimal yang perlu ditambahkan pada telinga yang tidak diperiksa/dites sehingga masking bermakna. Masking maksimum adalah nilai maksimal yang digunakan untuk masking tanpa menyebabkan over masking. Over masking terjadi bila intensitas bising terlalu keras sehingga terjadi penyeberangan kembali dari telinga yang tidak diperiksa melalui hantaran tulang. Konsep masking efektif tidak berhubungan dengan berapa jumlah nilai pergeseran ambang dengar sebagai akibat pemberian suara masking, akan tetapi merupakan tingkatan ambang dengar setelah pemberian masking. Penetapan EML sangat penting karena apabila ada cross hearing ditelinga yang tidak dites, dapat dicegah dengan menaikkan ambang dengar di telinga yang tidak dites. Tanpa tergantung pada berapa nilai ambang awal dan berapa besar pergeseran ambang, setelah pemberian masking efektif sebesar 60dB ditelinga yang sama akan menggeser ambang dengar menjadi 60dB HL (Hodgson, 1980).
16 Gambar 10. Ilustrasi Pergeseran ambang dengan pemberian masking efektif sebesar 60dBdisisi telinga yang sama (telinga kanan).
A. di telinga yang normal B. telinga dengan SNHL 40dB HL C. telinga dengan CHL 40dBHL
Pada grafik A, telinga normal dengan ambang AC=BC semula 0db HL akan bergeser menjadi 60dB HL. Gtafik B tuli SNHL: ambang semula AC=BC 40dB HL, keduanya akan bergeser sebesar 20dB menjadi 60dB HL. Grafik C , karena ada komponen konduktif sebesar 40dB, maka masking efektif AC dan BC sebesar 60dB akan bergeser ambang AC dan BC masing masing sebesar 20dB. Kondisi A-B gap yang ada sebelum dimasking tetap ada setelah pemberian masking efektif. J adi dapat disimpulkan bahwa Masking yang diberikan melalui hantaran udara di telinga yang sama, ambang hantaran udara ketiganya (gambar : grafik A, B dan C) akan bergeser ke ambang yang sama yaitu ambang masking efektif sebesar 60dB HL.
H. Intensitas awal masking. Sataloff (1980) mengemukakan besar intensitas masking awal sebagai panduan dalam melakukan masking untuk menghindari undermasking dan mempermudah mencapai masking efektif. Untuk menentukan besar intensitas masking awal dilakukan tes hantaran udara dan tes hantaran tulang. 17 1. Tes hantaran udara. Intensitas masking awal yang efektif merupakan intensitas masking awal pada saat mulai terjadi pergeseran ambang dengar ditelinga yang sedang dites. Berdasarkan penelitian sataloff (1980), intensitas masking awal dapat dilakukan pada intensitas ambang hantaran udara telinga yang tidak dites +25dB. Nilai 25dB merupakan hasil penjumlahan 15dB SL (15dB diatas ambang dengar), yang merupakan nilai intensitas dimana ambang telinga yang dites mulai bergeser dari ambang semula dan 10dB merupakan nilai konversi dari hearing threshold level (HTL) ke sound pressure level (SPL) 2. Tes hantaran tulang. Masking tes hantaran tulang dimulai pada ambang hantaran udara telinga yang tidak di tes +25dB. Apabila telinga yang di masking ambangnya normal atau tuli sensorineural (SNHL), perlu ditambahkan 15dB pada waktu melakukan masking di frekuensi 250Hz dan 500Hz dan 10dB pada waktu masking frekuensi 1000Hz, yang merupakan faktor koreksi efek oklusi pada telinga yang tertutup headphone. Efek oklusi diatas 1000Hz sangat minimal sehingga tidak perlu dikoreksi. Pada tuli konduktif (CHL) tidak perlu ditambahkan nilai efek oklusi (Clemis et al, 1986; Studebaker, 1973).
I. Permasalahan. Apabila ada dugaan telah terjadi cross over hearing, partisipasi telinga yang tidak dites perlu ditiadakan untuk mengetahui kemungkinan respons tersebut bukan respons yang sebenarnya ditelinga yang dites, akan tetapi merupakan respons telinga sisi yang tidak dites.. 18 Dalam menghadapi masalah masking, ada beberapa pertanyaan yang mendasar (Sanders, 1978) : 1. Kapan diperlukan masking? 2. J enis suara masking apa yang diperlukan? 3. Berapakah jumlah masking efektif yang diperlukan? Problem atau fenomena yang sering terjadi selama melakukan masking antara lain, central masking, efek sumbatan/oklusi dan overmasking.
J . Pembahasan. Untuk menjawab pertanyaan: kapan dilakukan masking pada pemeriksaan audiometer nada murni, bukan suatu hal yang mudah. Akan tetapi setelah mengetahui dasar teori tentang Masking yang tersebut diatas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan panduan, kapan dilakukan masking. Pada pemeriksaan audiometer nada murni diperlukan masking: 1). Apabila ada kecurigaan bahwa pasien kemungkinan mendengar pada telinga yang tidak di periksa. 2). Apabila ada keraguan tentang kemungkinan terjadi cross hearing. Contoh (gambar 11): Kondisi yang memerlukan masking pada saat pemeriksaan hantaran udara/AC kiri.
Gambar 11. Contoh audiogram yang memerlukan masking A. Telinga kanan normal, AC=BC=0. AC kiri 40dB B. Telinga Kanan SNHL minimal/ringan (30dB HL), AC kiri 70dB C. Telinga kanan CHL ringan, AC kiri : 40 dB HL 19
Contoh (gambar 12) kondisi yang memerlukan masking pada saat pemeriksaan hantaran tulang/BC telinga kanan.
Gambar 12. Contoh audiogram yang memerlukan masking A.. Gangguan unilateral: telinga kiri normal, perlu masking waktu memeriksa telinga kanan B. Gangguan bilateral: AC: simetris. Salah satu BC tanpa masking menunjukkan A-B gap. Perlu masking pemeriksaan AC dan BC bilateral tergantung perlu ada/tidaknya komponen konduktif di kedua telinga C. Gangguan bilateral asimetris: masking diperlukan waktu tes telinga kanan. D. Gangguan bilateral asimetris: hasil tes BC tanpa masking tidak pasti sebenarnya diterima disisi telinga yang mana. Masking mutlak diperlukan selama tes dikedua telinga E. Gangguan bilateral dengan hasil BC tanpa masking menunjukkan tidak ada A-Bgap, masking tidak diperlukan
Tiga fenomena yang sering terjadi selama melakukan masking antara lain, overmsking, central masking dan Efek sumbatan (Oclussion effect) i. Over masking Over masking terjadi bila intensitas bising terlalu keras sehingga terjadi penyeberangan kembali dari telinga yang tidak diperiksa melalui hantaran tulang. Overmasking terjadi apabila Masking efektif ditelinga yang tidak dites > (nilai IA minimum frekuensi yang dites +ambang BC telinga yang dites). 20 Masalah overmasking timbul apabila sisi telinga yang akan diberikan suara masking ada gangguan konduktif, sehingga diperlukan intensitas suara masking yang lebih besar, mengingat jumlah intensitas masking harus ditambah dengan nilai A-Bgap telinga yang diberi suara masking.
Gambar 13, Ilustrasi overmasking. Pergeseran ambang frekuensi 1000Hz di telinga kiri (telinga yang di tes) akibat pemberian masking yang berlebihan/overmasking ditelinga kanan Masking sebesar 60 dB di kanan akan berkurang 40dB (IA minimum pada 1000Hz=40dB), sehingga sisa sebesar 20dB akan diterima ditelinga kiri dengan ambang BC=10 dB. Kriteria ambang maksimum masking yang bisa diberikan untuk menghindari overmasking adalah tidak boleh melebihi 50dB (nilai IA minimum frekuensi yang dites +ambang BC telinga yang dites; 40+10=50dB). Dalam kasus ini telah terjadi overmasking, karena nilai masking efektif 60dB EM lebih besar dari 50dB (40 dB+10 dB; nilai IA minimum pada frekuensi 1000Hz ditambah ambang BC telinga yang dites) Hal tersebut akan menggeser ambang BC kiri dari 10dB menjadi 15dB +efek central masking. Penambahan intensitas suara masking lebih lanjut ditelinga kanan akan meningkatkan ambang dengar yang sebenarnya ditelinga yang dites (telinga kiri) sebagai akibat overmasking.
ii. Central masking/Masking sentral Central masking/Masking sentral adalah kecurigaan atau kemungkinan yang terjadi apabila didapatkan kenaikan ambang dengar telinga yang sedang dites pada saat 21 tes masking baru dimulai (pada intensitas yang relatif masih rendah atau masih dibawah intensitas masking yang efektif) (studebaker, 1973). Masking sentral menjadi masalah bila bising yang diberikan pada telinga yang tidak diperiksa menyebabkan pendengaran menjadi makin buruk pada telinga yang diperiksa. Kontaminasi sistem saraf pusat diduga berhubungan dengan hambatan pendengaran setinggi olivokoklea. Mekanisme central masking diduga karena efek hambatan oleh saraf eferen .auditorius. Besar central masking berkisar 5-15 dB, pada umumnya sekitar 5dB (Martin, 1986; Snyder, 1973) sehingga tidak perlu dikoreksi. iii. Efek sumbatan (Oclussion effect) Efek sumbatan adalah tekanan bunyi tambahan (Oclussion effect) yang dihantarkan ke koklea. Masking harus ditambah untuk mengimbangi tekanan bunyi tambahan (efek oklusi) yang dihantarkan ke koklea. Frek 250 dan 500 HZ ditambah 15 dB dan frekuensi 100Hz ditambah 15 dB. Untuk frekuensi 2000 dan 4000 Hz tidak diperlukan tambahan. Tabel 5. Efek oklusi pada frekuensi 250-4000Hz (Wood,1993)
Ftrkuensi 250Hz 500Hz 1000Hz 2000Hz 4000Hz ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- Efek oklusi 25dB 20dB 5-10dB Tidak ada Tidak ada
Pada saat pemeriksaan tes hantaran tulang, vibrator diletakkan pada tulang mastoid dengan kondisi kedua liang telinga terbuka. Waktu pemeriksaan masking telinga yang tidak dites tertutup oleh headphone yang dipakai untuk menghantarkan suara masking. Hal tersebut dapat menyebabkan kenaikan ambang dengar ditelinga yang 22 tertutup headphone karena efek oklusi (untuk frekuensi 250-1000Hz), yang perlu dipertimbangkan sebelum mulai pemeriksaan dengan masking (Sander, 1978). Pada saat telinga dipasang earphone (saat memberikan masking untuk hantaran tulang), maka dapat terjadi perubahan pada respons hantaran tulang. Sensitivitas fisiologi tidak berubah, namun bunyi ekstra masuk kedalam koklea, sehingga terjadi respons ambang dengar hantaran tulang yang lebih rendah. Bunyi tersebut terhalang keluar dari liang telinga karena tertutup earphone sehingga bunyi akan melewati membran timpani dan masuk ke koklea. Bila telinga yang tidak diperiksa normal atau mengalami tuli sensorineural, maka efek oklusi merupakan faktor yang berpengaruh. Bila telinga yang tidak diperiksa terdapat A-B gap, maka tidak diperlukan tambahan efek oklusi. Efek oklusi sering didapati dalam klinik audiologi pada saat melakukan tes hantaran tulang dengan masking. Dianjurkan untuk mengulang menilai ambang hantaran tulang setelah headphone atau insertphone untuk masking terpasang, sebelum pemeriksaan dengan masking dimulai (Martin, 1986; Wood, 1993). Besar efek oklusi tergantung pada frekuensi yang sedang dites. Dilema Masking Dilema masking terjadi apabila beda antara ambang AC di satu telinga dan ambang BC di telinga sisi yang lain mencapai nilai IA. (beda antara ambang AC disatu telinga dan ambang BC ditelinga sisi yang lain mencapai nilai IA).
23
Gambar 14. Dilema Masking Dilema masking : Hasil audiogram awal tanpa masking yang menunjukkan tuli konduktif sedang bilateral BC rata rata kedua telinga (tanpa masking) =10dB AC rata rata (60dB) kedua telinga telah mencapai IA (60-10=50dB) sehingga mutlak diperlukan masking AC J umlah masking minimum awal =10dB +(60-10)dB =60dB overmasking. karena dengan memberikan suara masking sebesar 60dB di telinga kiri akan terjadi cross over hearing ke telinga kanan (ambang BC kanan=10dB). Apabila telinga kanan (CHL, koklea normal), maka suara masking akan me-masking koklea kanan, sehingga meningkatkan ambang BC kanan
Kondisi dimana metoda masking secara konvensional tidak dapat dilakukan karena perbedaan ambang hantaran udara telinga yang diberi masking dan hantaran tulang ditelinga yang sedang diperiksa sedemikian besar sehingga melebihi nilai IA (over masking). Apabila ambang masking efektif (effectif masking) di telinga yang diberi suara masking dikurangi IA, nilainya diatas ambang BC telinga yang di tes, dapat mengakibatkan kenaikan ambang telinga yang dites akibat masking yang berlebihan (overmasking).Hal ini dapat terjadi pada 1. Tuli konduktif sedang bilateral. 2. Satu telinga tuli konduktif sedang berat, sisi telinga yang lain tuli sensorineural sedang-berat. 3. satu telinga tuli konduktif sedang-berat, telinga sisi yang lain tuli campur sedang-berat. 24 Mengatasi dilema masking tergantung derajat gangguan pendengaran, kondisi liang telinga dan membrana timpani dan dapat diatasi dengan bantuan : 1. Garpu tala, Tes bing berdasarkan pada efek oklusi dengan tes weber secara audiometrik, 2.menggunakan inserphone masker, 3.tes elektroakustik imitans.impedans, dan 4.metoda SAL (Sensorineural Acuity Level).
K. Metode pemeriksaan/prosedur masking Dibidang klinik audiologi dikenal dua metode making: metode psikoakustik/plateau/Hood dan metode formula, akan tetapi Katz dan Lezynsky tahun 2002, menganjurkan metode step masking yang lebih cepat daripada metode plateau, kecuali ada indikasi untuk memakai metode plateau. Kenaikan intensitas masking metode psikoakustik/plateau/Hood hanya 5-10dB setiap kali, metode step masking memakai kenaikan intensitas yang lebih besar (20dB) sehingga waktu tes lebih cepat. i. Simbol masking pada grafik audiogram
Gambar 15. Simbol grafik audiogram menurut ASHA 1974 25
Gambar 16: audiometer ii.Metode psikoakustik Metode psikoakustik berdasarkan tehnik plateau yang dikemukakan oleh Hood, merupakan metode yang selama ini dipakai sebagai panduan untung pemeriksaan masking terutama di United Kingdom (British Society of Auidiology, 1986; Hinchcliffe, 1989; Martin, 1986). Akhir akhir ini metode plateau kurang diminati oleh pemeriksa yang sudah memahami masalah masking mengingat memerlukan waktu tes yang cukup lama, akan tetapi tetap dianjurkan penggunaannya apabila area masking minimum dan maksimum sangat sempit (Goldstein & Newman; 1994). Prinsip masking dengan metode plateau adalah dengan memberikan suara masking yang intensitasnya dinaikkan secara bertahap sampai mencapai plateau yang menunjukkan bahwa ambang sebenarnya di telinga yang sedang dites sudah tercapai.
26 Gambar 17 : Skema yang menggambarkan metode plateau
Sumber : Stach, 1998. Cara masking dengan metode plateau : 1. Dicari ambang telinga yang sedang dites (tanpa masking) 2. Suara masking sebesar 10 dB SL/sensation level (10 dB diatas ambang dengar) diberikan ditelinga yang tidak dites dan tes ambang dengar diulang. 3. Setiap kali intensitas suara masking dinaikkan 10dB, ambang dengar ditelinga yang dites diulang. 4. Selama intensitas masking masih under masking, maka setiap kenaikan intensitas masking 10dB akan menggeser ambang dengar sebesar 10dB. 5. Pada intensitas tertentu, kenaikan intensitas masking 10dB tidak lagi menggeser ambang dengar (plateau sudah tercapai), berarti masking yang efektif sudah didapat.
Plateau yang sudah dicapai menunjukkan bahwa stimulus suara memang terdengar ditelinga yang sedang dites dan suara masking terdengar ditelinga yang tidak di tes. Ambang dengar yang didapat pada saat mencapai plateau tersebut merupakan ambang dengar yang sebenarnya ditelinga yang sedang dites. Dalam praktek sehari hari tidak selalu mudah mendapatkan plateau apabila intensitas maksimum stimulus sudah mencapai nilai output maksimum audiometer. Misalnya pada Hearing loss sedang-berat (>60dB) bilateral dengan salah satu telinga fungsi kokleanya masih baik. 27 Apabila intensitas suara masking setelah mencapai plateau dinaikkan lagi, dapat mengakibatkan kenaikan ambang dengar ditelinga yang sedang dites, yang dikenal dengan overmasking. iii.Metode formula. Metode ini tidak digunakan dalam praktek sehari-hari, akan tetapi bagi seorang residen yang sedang stase audiometri (pemula di bidang audiologi klinis) sangat bermanfaat sebagai panduan untuk menilai berapa jumlah masking minimum dan masking maksimum untuk menghindari kondisi undermasking dan overmasking. Masking minimum (Mmin) merupakan jumlah intensitas yang diperlukan untuk menggeser ambang BC telinga yang dites, sehingga telinga yang tidak dites tidak ikut berpartisipasi mendengar stimulus dengan mempertimbangkan nilai IA. Masking maksimum (Mmaks) merupakan intensitas terbesar yang boleh dipakai, tanpa menggeser ambang telinga yang sedang dites dengan mempertimbangkan nilai IA. Karena jalur cross over akibat overmasking melalui hantaran tulang, maka nilai masking maksimum selama tes AC dan BC sama Metode formula banyak dikemukakan dalam kepustakaan Amerika. Ada 2 formula masking yakni formula masking untuk tes hantaran udara dan formula masking untuk hantaran tulang. 1. Formula masking untuk tes hantaran udara. Masking minimum (Mmin) sama dengan ambang AC ditelinga yang dites (At) dikurangi nilai IA ditambah jumlah A-B gap telinga yang tidak dites atau telinga yang memberikan suara masking (Am=ambang AC telinga yang tidak dites dikurangi Bm= ambang BC telinga yang tidak dites). Mmin =At 40 +(Am - Bm). 28 Masking maksimum (Mmaks) sama dengan ambang BC telinga yang dites ditambah dengan IA. Mmaks =Bt +40. catatan: Mmaks <UCL (uncomfortable loudness level) Nilai IA minimum untuk semua frekuensi yang dipakai dalam metode formula : 40dB 2. Formula masking untuk hantaran tulang. Masking minimum (Mmin): hantaran tulang telinga yang dites(Bt) ditambah dengan ambang AC telinga yang tidak dites(Am) dikurangi ambang BC telinga yang tidak dites (Bm). Masking minimum: Bt +(Am - Bm) Masking maksimum: jumlah ambang BC telinga yang dites ditambah nilai IA. Mmaks =Bt +40. (dengan catatan Mmax <UCL (uncomfortable loudness level) iv. Metode step masking. Katz dan Lezynnsky (2002) menganjurkan metode step masking yang lebih cepat dari metode plateau, kecuali ada indikasi untuk memakai metode plateau. Kenaikan intensitas masking metode plateau anya 5-10 dB setiap kali, step masking memakai kenaikan intensitas yang lebih besar 20dB sehingga waktu tes lebih cepat (tabel 6 dan tabel 7). Tabel 6. Kriteria kapan diperlukan masking tambahan/subsequent masking/submask (Kats dan Lezynsky, 2002). Kriteria setelah pemberian masking awal. (apabila ambang ditelinga yang tidak dites bergeser setelah pemberian masking awal (EML 30 dB SL) jumlah pergeseran ambang ditelinga yang dites menunjukkan indikasi perlu/tidaknya masking tambahan/submask) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Pergeseran ambang dengan EML 30dB SL Perlu/Tidaknya submask 0 10 dB tidak perlu 15 dB kemungkinan tidak perlu 20 dB kemungkinan perlu 25 dB perlu
29
Tabel 7. Kriteria kapan diperlukan masking tambahan/subsequent masking/submask (Kats dan Lezynsky, 2002). Kriteria setelah pemberian subsequent masking/submask. (apabila setelah submask dijumlahkan (EML 20dB diatas masking awal), pergeseran ambang merupakan indikasi perlu/tidaknya tambahan submask. Pergeseran dB dengan submask 20 dB SL EML Perlu/Tidaknya tambahan submask 0 10 dB tidak perlu 15 dB kemungkinan tidak perlu 20 dB kemungkinan perlu >20 dB perlu
Masking dimulai dengan EML (effective masking level) sebesar 30dB SL/sensation level. Apabila ambang setelah pemberian masking bergeser sebesar 15dB atau lebih, diperlukan masking tambahan (subsequent masking/submask) sebesar 20dB. Apabila dengan pemberian masking awal EML sebesar 30dB SL tidak ada pergeseran ambang atau hanya bergeser sebesar 5-10dB, kemungkinan ambang yang sebenarnya sudah tercapai (tidak terjadi crossover hearing) sehingga tambahan masking/submask tidak diperlukan.
L. Interpretasi hasil tes audiometri nada murni dengan masking. Disamping masalah dilema masking, yang perlu difahami dalam interpretasi grafik audiogram dengan masking adalah kemungkinan persepsi vibrotaktil akibat getaran diarea frekuensi rendah dan output maksimum stimulus suara difrekuensi rendah. Pada sensorineural derajad berat, stimulus BC pada frekuensi rendah: 250-500Hz kemungkinan lebih banyak diterima sebagai persepsi getaran daripada persepsi mendengar stimulus bunyi (Boothroyd dan Cawkwell, 1970). Alat audiometer pada umumnya mempunyai limit stimulus untuk hantaran tulang di frekuensi rendah. Beberapa 30 audiometer output maksimum hantaran tulang pada frekunsi 250Hz berkisar antara 30-50 dB. Dengan demikian perlu diperhatikan dalam melakukan interpretasi hasil audiogram sensorineural berat (gambar 18) pada frekuensi 1000Hz keatas dan gambaran A-B gap di area frekuensi rendah (250-500Hz). Hal tersebut bukan berarti ada masalah konduktif diarea frekuensi rendah akan tetapi subyek memberikan respons BC pada frekuensi rendah karena sensasi vibrotaktil. Kepastian tidak adanya A-B gap dapat dibuktikan dengan tes elektroakustik impedans bahwa sebenarnya memang tidak ada A-B gap di area frekuensi tersebut.
Gambar 18. Tuli Sensorineural sangat berat kiri Ada A-B gap diarea nada rendah (250-500Hz) yang sebenarnya tidak ada A-B gap. . Respon BC pada frekuensi rendah tersebut merupakan persepsi vibrotaktil hantaran tulang.
31
RINGKASAN DAN SARAN
Masking merupakan prosedur dalam evaluasi fungsi pendengaran yang harus difahami oleh dokter/residen THT. Melakukan pemeriksaan audiologik subyektif tidak hanya memerlukan kerjasama dengan subyek yang dites akan tetapi dokter/residen THT harus peka akan kemungkinan terjadinya cross over hearing. Efektifitas suara masking ditentukan oleh beberapa variabel meliputi frekuensi yang sedang dimasking, spektrum suara masking yang dipakai dan jenis transduser yang digunakan untuk menghantarkan suara masking ke telinga yang tidak di tes. Masking mutlak dilakukan pada semua pemeriksaan audiometri nada murni apabila ada indikasi kemungkinan terjadi cross over hearing, terutama pada gangguan pendengaran unilateral dan gangguan pendengaran bilateral yang asimetris. Mengingat waktu yang diperlukan untuk melaksanakan prosedur masking , perlu difahami indikasi yang jelas kapan diperkukan masking dengan intensitas masking efektif (effective masking level/EML) untuk masing masing frekuensi yang sedang di tes. Metode step masking mempercepat waktu masking. Tiga fenomena yang sering terjadi selama melakukan masking antara lain, overmasking, central masking dan Efek sumbatan (Oclussion effect). Kesulitan masking pada tuli konduktif bilateral derajad sedang-berat (Dilema masking) karena masalah overmasking, dapat diatasi dengan bantuan insertphone, tes garpu tala, metode sensorineural acuity level/SAL atau elektroakustik imitans apabila tidak ada perforasi membran timpani. 32 DAFTAR PUSTAKA
ASHA. 1974. Committee on Audiometric Evaluation. Guidelines for audiometric symbols. ASHA 16:260-264. Dikutip dari Katz (1978): Handbook of Clinical Audiology. 2 nd ed.
Boothroyd A dan Cawkwell S. 1970. Vibrotactil threshold in pure tone audiometry. Acta Otolaryngol 69:381-387.
Clemis J D, Ballad WJ , Killion MC. 1986. Clinical use of an insert earphone. Ann Otol. 95:520-524.
Elpern and Naunton. 1963. The stability of the Occlusion Effect. Arch Otolaryngol. 77: 376-83.
Goldstein BA, Newman CW. 1994. Clinical Masking ; decision making process. Dalam: Katz J (ed), Handbook of clinical audiology. Williams & Wilkins Baltimore. . Hinchcliffe R. 1990. Clinical Audiology. Masking in Pure tone threshold audiometry. Dalam: MSc Course in Audiological Medicine. University College London.
Hodgson WR. 1980. Handbook of clinical audiology. 2 nd ed. The Williams & Wilkins Co.
Hosford DH, Kuklinski AL, Raggio M, Haggerty. 1986. Solving Masking Dilemmas with an insert Masker. Arch Otolaryngol 122: 92-98
Katz J , and Lezynski J . 2002. Clinical Masking. Dalam: Katz(ed). Handbook of Clinical Audiology. 5 th ed. Baltimore. Lippincot Williams & Wilkins.
Lassman FM, Levine SC, Greenfield DG. 1994. Audiologi. Dalam Boies (eds). Buku ajar penyakit THT. Penerbit Buku Kedokteran EGC.J akarta. hal 54
Martin FN. 1986. Introduction to audiology. 3 rd ed. Prentice Hall Inc
Sanders J W. 1978. Masking. In: Katz J (eds). Handbook of clinical audiology.Baltimore. Williams & Wilkins
Sataloff J , Sataloff RT, Vassalo LA. 1980. Masking and Bone Conduction Testing. Dalam: Hearing loss. 2 nd ed. J B Lippincot Co.
Snyder J M. 1973. Interaural Attenuation Characteristics in audiometry. Laryngoscope. 83:1847-55
Snyder J M.1973. Central maskingin normal listeners. Acta Otolaryng 75:419-24 33 Stach BA.1998. Masking. Dalam: Clinical Audiology. 2 nd ed. Singular Publ Group
Studebaker GA. 1973. Auditory Masking. Dalam: J eger (Ed) Modern Development in Audiology. 2 nd ed. Acad Press.Newyork.
Wood S. 1993. Pure tone audiometry. Dalam: McGormick,B(Ed). Paediatric Audiology 0-5 years. 2 nd ed. Whurr Publ.London