You are on page 1of 17

68

Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004


Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak
Nanan Sekarwana
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004: 68-84
Alamat Korespondensi:
Dr. H. Nanan Sekarwana, Sp.A(K), MARS
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSUP dr. Hasan Sadikin
Jl. Pasteur No. 38
Telp./Fax. 2034426-203595 Bandung 40161
mencegah agar tidak terjadi gagal ginjal kronik dan
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa bila
sudah terjadi gagal ginjal agar tidak memburuk,
karena pasien dengan gagal ginjal kronik yang
sudah mengalami penurunan fungsi ginjal, lama
kelamaan akan masuk stadium terminal sehingga
memerlukan terapi pengganti seperti dialisis atau
transplantasi.
7
Berkaitan dengan pentingnya pencegahan agar
tidak jatuh ke gagal ginjal kronik dan mempertahankan
fungsi ginjal yang tersisa agar tetap dalam keadaan
steady state, maka dalam kuliah umum kali ini akan
dibahas mengenai batasan dan klasifikasi, angka
kejadian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penatalaksanaan pada masing-masing tahap gagal ginjal
kronik serta pencegahannya.
Batasan dan Klasifikasi
Beberapa penulis memberikan definisi sebagai berikut,
- Anochie (2003) : Gagal ginjal kronik adalah
penurunan LFG < 30 ml/menit/1,73m
2
atau
peningkatan serum kreatinin diatas 120 umol/l
dalam waktu sedikitnya 6 bulan, dan ditandai
dengan gangguan homeostasis tubuh.
2
- Verelli (2004) : Gagal ginjal kronik ditandai
dengan kerusakan progresif dari massa ginjal
dengan adanya sklerosis dan hilangnya nefron yang
irreversibel yang terjadi dalam periode berbulan-
bulan sampai menahun tergantung etiologi yang
mendasarinya.
4
- Lagomarsimo (1999) : Gagal ginjal kronik
didefinisikan sebagai peningkatan serum kreatinin
2 kali atau lebih dari normal sesuai usia dan jenis
kelamin, atau penurunan laju filtrasi glomerulus
< 30 ml/menit/1,73m
2
dalam waktu sedikitnya 3
bulan.
8
Beberapa definisi tertera di atas meskipun terdapat
beberapa perbedaan, namun pada dasarnya sama yaitu
G
agal Ginjal Kronik merupakan suatu
keadaan menurunnya fungsi ginjal yang
irreversibel, yang ditandai laju filtrasi
glomerulus (LFG) menurun akhirnya
mencapai suatu keadaan gagal ginjal terminal (GGT).
1
Gagal ginjal kronik yang telah mencapai gagal ginjal
terminal termasuk salah satu penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada anak.
2,3,4
Insidens gagal
ginjal kronik telah meningkat di seluruh dunia sejak
tahun 1989.
4
Dari data yang dikutip oleh Trihono, di
Indonesia, antara tahun 1984-1988 di 7 rumah sakit
pendidikan ditemukan kasus GGK sebesar 2% dari
2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal.
Sedangkan dalam kurun waktu 4 tahun 1991-1995
di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan
kasus GGK sebesar 4,9% dari anak yang dirawat
dengan penyakit ginjal dan meningkat menjadi 13,3%
antara tahun 1996-2000.
5
Adapun data dari bagian
anak RSHS dari tahun 1994-1998 terdapat 55 kasus
gagal ginjal kronik, dan dari tahun 2000-2003
sebanyak 20 kasus.
Penurunan fungsi ginjal bervariasi dari mulai yang
ringan sampai berat.
1
Identifikasi faktor-faktor yang
berkorelasi dengan tingkat progresifitas menuju gagal
ginjal kronik bermanfaat dalam pengelolaan anak gagal
ginjal kronik. Pada saat ini telah dimungkinkan
pengelolaan GGK pada anak yang sangat muda dan
pengelolaan tersebut ditujukan untuk mempertahankan
kemampuan fungsional nefron yang tersisa selama
mungkin serta memacu pertumbuhan fisik yang
maksimal.
6
Namun pengelolaan gagal ginjal kronik ber-
hadapan dengan masalah biaya yang sangat mahal,
sehingga meskipun membaiknya pengobatan pada
akhir-akhir ini, angka kematian masih tinggi (10%).
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana
69
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
suatu penurunan fungsi ginjal yang irreversibel ditandai
dengan penurunan LFG < 30 ml/menit/1,73m
2
dalam
waktu sedikitnya 3 bulan.
Klasifikasi gagal ginjal kronik terbagi atas 4 tingkat
seperti tertera pada Tabel 1.
Epidemologi
Masih sulit untuk menentukan secara pasti angka
kejadian GGK pada anak. Epidemiologi GGK pada
anak berdasarkan satu atau multisenter sangat tidak
sesuai untuk keakuratan analisis demografi karena
selalu dipengaruhi oleh bias (sebagai contoh pasien
dengan gangguan ginjal derajat kurang berat kadang-
kadang dirawat di senter non nefrologi pediatrik;
kelainan yang jarang, berat dan spesifik cenderung
terkumpul di senter tertentu; atau beberapa pasien
remaja biasa dirujuk ke bagian nefrologi dewasa).
10
Berdasarkan survey the Nephrology Branch dari
Chilean Pediatric Society tahun 1989 dilaporkan bahwa
insidens GGK sebesar 5,7 per satu juta penduduk dan
prevalens nasional sebesar 42,5. Sebanyak 50,7%
GGK terjadi pada anak laki-laki, 58,6% terjadi pada
anak usia > 10 tahun, dan 15% terjadi pada anak usia
< 5 tahun.
11
Anochie (2003) melaporkan the median annual
isidens GGK di Nigeria adalah 3 per satu juta anak,
Prevalens GGK meningkat dari 12,5 di tahun 1985-
1990 menjadi 15 per satu juta anak setelah tahun 1995.
Rasio penderita GGK laki-laki : perempuan = 1,6 : 1.
2
Di Amerika Serikat, insidens GGK pada kelompok
usia 0-19 tahun adalah 10-12 per satu juta penduduk
pertahun, sedangkan di Eropa 9,7 per satu juta penduduk
pertahun.
12
Rasio penderita gagal ginjal laki-laki :
perempuan adalah 2 : 1. Insidens dan prevalens gagal
ginjal kronik sebelum dialisis pada anak di beberapa
negara di Eropa, dengan memakai sistem surveilans yang
telah ada, memberikan gambaran morbiditas yang
ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 1. Tingkatan gagal ginjal
Residual fungtional renal mass (%) LFG (ml/m/1,73m
2
)
Insufisiensi ginjal ringan 50-25 80-50 Asimptomatik
Insufisiensi ginjal sedang 25-15 50-30 Kelainan metabolik,
Insufisiensi ginjal berat 15-5 30-10 angguan pertumbuhan,
gagal ginjal progresif
Gagal Ginjal terminal < 5 <10 Perlu terapi pengganti ginjal
Dikutip dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. Clinical Paediatric Nephrology, 2003.
9
Tabel 3. Insidens dan prevalens gagal ginjal terminal pada anak
Periode Umur (tahun) Insidens per juta Prevalens
populasi Per juta populasi
Perancis 75-90 0-16 7,3 37
Swedia 86-94 0,5-16 6,4 38
Amerika 89-91 0-19 11,0 53
Perancis 1998 0-17 14,0 NR (Not Reported)
Dikutip dari: Ardissino. Epidemiology of Chronic Renal Failure. ESPN Handbook, 2002.
10
Tabel 2. Insidens dan prevalens GGK pradialisis pada anak di beberapa negara di Eropa
Periode Umur Definisi GGK Insidens Prevalens
(tahun) Per juta populasi Per juta populasi
Perancis 75-90 0-16 Scr>2mg/dl 1,05 29,0
Swedia 86-94 0,5-16 Ccr<30ml/m 7,7 21,0
Italia 90-00 0-20 Ccr<75ml/m 12,1 74,7
Dikutip dari: Ardissino A. Epidemiology of Chronic Renal Failure. ESPN Handbook, 2002.
10
Scr : Serum kreatinin Ccr : klirens kreatinin
70
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Data yang dikutip Rigden SPA, 2003 di Inggris
dari tahun 1997-1999 pada anak usia < 18 tahun yang
mendapat terapi ginjal pengganti per tahunnya sekitar
101 atau 7,4 per satu juta populasi.
9
Berdasarkan the 2001 annual report of the
NAPRTCS (North American Pediatric Renal Transplant
Cooperative Study), dari data yang dikumpulkan sejak
tahun 1994-2001, sebanyak 4.666 pasien diidentifikasi
menderita GGK, dengan rincian 61% ras Caucasia,
18% Afrika-Amerika asli, dan 14% keturunan
Hispanik. Berdasarkan usia penderita, dikelompokkan
sebagai berikut: 0-1, 2-5, 6-12, dan > 12 tahun, dengan
persentase masing-masing 19%,17%, 33%, dan 31%.
Pasien kulit putih secara signifikan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk menjalani transplantasi
dibandingkan pasien hispanik atau kulit hitam.
3
Etiologi
Etiologi GGK tampaknya berhubungan erat dengan
usia penderita pada saat pertama kali gagal ginjal
ditemukan. GGK pada anak dibawah usia 5 tahun
umumnya berasal dari kelainan anatomis (hipoplasia,
displasia, malformasi), sedangkan setelah usia 5 tahun
berasal dari penyakit glomerulus yang di dapat
(glomerulonefritis, sindrom hemolitik uremik) atau
kelainan herediter (sindrom Alport, kista).
12
Penyebab terjadinya gagal ginjal kronik ditam-
pilkan pada Tabel 4.
Penyebab GGK (Tabel 4) yang terbanyak
adalah kelainan kongenital, dan dari laporan
tahunan NAPRTCS 2001 uropati obstruktif
merupakan diagnosis terbanyak. Pada kerusakan
Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal Kronik
Inggris (%) NAPRTCS(%) Swedia
n = 683 n = 6878 GGK(%) GGT(%)
n = 118 n = 97
Anomali Kongenital 55,1 40 40,7 34,1
- Aplasia/hipoplasia.dysplasia 22,5 15,8 17,8 15,5
- Uropati ostruktif 20,2 16,1 19,5 15,5
- Reflux nephropathy 7,2 5,4 0 0
- Prune belly syndrome 2,2 2,7 3,4 3,1
Kondisi herediter 17,6 13,3 26,3 35
- Juvenille nephronophthisis 5,3 2,8 6,8 10,3
/ 1,8 2,8
- Polycistic kidney disease-autosomal resessive 1,2 2,4 5,1 7,2
- Hereditary nephritis with or without nerve deafness 2 2,1
- Cystinosis 0,4 0,6
- Primary oxalosis 6,9 2,6 5,1 7,2
- Congenital nephritic syndr. 9,3 10,3
- Other hereditary conditions 10,3 22 14,4 14,4
Glomerulonephritis 6,4 11,6 2,5 3,1
- FSGS 3,9 10,4 11,9 11,3
- Other glomerulonephritis 5,6 6,8 3,4 4,1
Penyakit multisistem 1,7
- Lupus erithematosus 1,6 1,4
- HSP 3,2 2,7 3,4 4,1
- HUS 0,8 1
- Other multysistem diseases 9 12,6 15,2 12,4
Lain-lain 4,5 1,7 6,8 4,1
- Renal vascular disease 1,6 0,6
- Kidney tumor 0,6 2,5 3,1
- Drash syndrome 2,9 9,7 5,9 5,2
- Others 2 5,4
Tidak diketahui
Dikutip dari: Rigden SPA, The management of chronic and end stage renal failure in children.
Clinical Paediatric Nephrology,2003.
9
NAPRTCS : The North American Pediatric Transplant Cooperative Study
71
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
glomerulus, kondisi klinis terbanyak adalah focal
segmental glomerulosclerosis (FSGS).
3,9
Sedangkan di
Nigeria kelainan didapat menjadi penyebab utama
GGK pada anak yaitu tertinggi adalah glome-
rulopati terutama glomerulonefritis (56,5%) dan
sindroma nefrotik (30,4%). Kelainan kongenital
hanya 28,9% dari seluruh kasus GGK dan ini lebih
rendah dari data-data yang dilaporkan di negara
lain.
2
Di Amerika Serikat penyalahgunaan analgesik
bertanggung jawab atas sekitar 1-2% kasus gagal ginjal
tahap akhir, di Karolina Utara mencapai 10%, dan di
Australia 20%. Berdasarkan penelitian Fored tahun
1996-1998 pada kelompok usia > 18 tahun, tampak
adanya efek eksaserbasi penggunaan obat-obat
analgetik terhadap kejadian gagal ginjal kronik, dengan
risiko sebesar 2,5%.
13
Faktor yang ikut berperan dalam progresivitas
gagal ginjal kronik menjadi gagal ginjal terminal
adalah usia 6-12 tahun yang mempunyai resiko
relatif 2-3 X dibandingkan usia 0-5 tahun, dan bila
pertama kal i didiagnosis adal ah FSGS akan
mempunyai risiko relatif 2,5 x dibandingkan uropati
obstruktif atau renal aplasia/hipoplasia/displasia.
Adanya hipoalbumin juga berisiko 1,5x untuk
menjadi progresif dibandingkan tidak hipo-
albuminemia. Hiperfosfatemia dan hematokrit <
34% mempunyai risiko relatif 1,6 x dibandingkan
yang tidak.
3
Patofisiologi
Terdapat dua pendekatan teoritis untuk menjelaskan
gangguan fungsi ginjal pada GGK. Sudut pandang
tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron
yang telah diserang penyakit namun dalam stadium
berbeda-beda, dapat benar-benar rusak atau berubah
strukturnya. Misalnya lesi organik pada medula
akan merusak susunan anatomik ansa henle dan vasa
recta, atau pompa klorida pada pars asendens ansa
henl e akan mengganggu proses al iran bal ik
pemekatan. Pendekatan kedua, yang diterima
sekarang, dikenal dengan nama Hipotesis Bricer
atau hipotesis nefron utuh, yaitu bahwa bila nefron
terserang pernyakit, maka seluruh unitnya akan
hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap
bekerja normal. Hal ini menerangkan pola adaptasi
fungsional ginjal berupa kemampuan mem-
pertahankan homeostasis dengan cara sisa nefron
yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal.
14
Lebih kurang 1 juta nefron terdapat pada
masing-masing ginjal dan semuanya berkontribusi
terhadap laju filtrasi glomerulus. Tanpa memandang
penyebab kerusakan ginjal, nefron-nefron, ginjal
pada awalnya mampu mempertahankan laju filtrasi
glomerulus dengan cara hiperfiltrasi dan hipertrofi
kompensatori dari nefron-nefron yang masih sehat.
Kemampuan adaptasi ini terus berlangsung sampai
ginjal mengalami kelelahan dan akan tampak
peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam
plasma. Peningkatan kadar kreatinin plasma dari
nilai dasar 0,6 mg/dl menjadi 1,2 mg/dl, meskipun
masih dalam rentang normal, sebetulnya hal ini
merepresentasikan adanya penurunan fungsi ginjal
sebesar 50%.
4
Pada kebanyakan keadaan, kerusakan dimulai dari
glomerulus. Glomerulus lain yang tidak mengalami
kerusakan akan mengalami hipertrofi dan lama
kelamaan menjadi sklerotik. Hiperfiltrasi dan
hipertrofi dari nefron yang tersisa, meskipun tampak
sebagai hal yang menguntungkan, namun ternyata
diduga sebagai penyebab utama progresifitas disfungsi
ginjal, karena pada keadaan ini terjadi peningkatan
tekanan pada kapiler glomerulus sehingga me-
nyebabkan kerusakan kapiler-kapiler dan menuju ke
keadaan glomerulosklerosis fokal dan segmental hingga
glomerulosklerosis global.
14
Sebagai akibat perubahan-perubahan hemo-
dinamik di jaringan interstisial glomerulus terjadi
perubahan-perubahan sebagai berikut:
7
- infiltrasi sel-sel radang monosit/makrofag dan
limfosit
- prolliferasi sel-sel mesangial dan fibroblast
- ekspansi matriks mesangial ekstraselular yang
merupakan suatu materi kompleks yang terdiri atas
kolagen (tipe IV, V), fibronektin, laminin, heparin
sulfur, kondroitin sulfat dan proteoglikan.
Perubahan-perubahan ini mengikuti perubahan
pada glomerulus dan jaringan tubulointerstisial.
Perubahan pada jaringan tubulo-interstisiallah yang
mempunyai nilai prognostik dan berkorelasi dengan
penurunan ginjal.
7
Pada stadium lanjut perubahan-perubahan yang
terjadi berupa gambaran fibrosis luas dan hilangnya
struktur glomerulus dan tubulus.
7
72
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Mekanisme Progresivitas
Mekanisme progresivitas gagal ginjal kronik yang
paling meyakinkan adalah teori adaptasi. Dalam teori
ini dikemukakan bahwa sebagai akibat berkurangnya
sejumlah nefron, maka nefron-nefron yang tersisa akan
mengalami serangkaian perubahan baik secara
fungsional maupun morfologik.
7
Adapun perubahan-perubahan tersebut berupa
peningkatan aliran plasma glomerulus, peningkatan
tekanan kapiler intraglomerulus, peningkatan laju
filtrasi glomerulus, kemudian terjadi hipertrofi
glomerulus. Perubahan-perubahan ini yang merupa-
kan perubahan hemodinamik adalah suatu upaya yang
dilakukan ginjal untuk mempertahankan kese-
imbangan homeostasis. Namun ternyata berakibat
buruk terhadap nefron yang tersisa, oleh karena setelah
beberapa waktu akan timbul kerusakan pada glo-
merulus, tubulus maupun jaringan intestisial yang
berlanjut terus sampai akhirnya terjadi fibrosis yang
luas dan hilangnya struktur dari nefron. Pada tahap
ini fungsi ginjal sangat minimal.
4,7,9
Mekanisme dari perubahan hemodinamik meng-
akibatkan terjadi perubahan struktur yang menuju
kepada pembentukan jaringan fibrotik, diduga akibat
faktor-faktor berupa protein preload, keadaan hipoksia,
dan stres atau rangsangan mekanik:
7
Protein Preload
Perubahan hemodinamik yang dialami nefron berupa
peningkatan aliran darah glomerulus dan tekanan
intrakapiler glomerulus menyebabkan meningkatnya
protein dalam filtrat glomerulus. Meningkatnya
jumlah protein yang difiltrasi oleh glomerulus juga
disebabkan oleh mengingkatnya permeabilitas kapiler
glomerulus. (Gambar 1) Ukuran pori-pori pada
membran kapiler glomerulus membesar atas pengaruh
Angiotensin II lokal yang terbentuk akibat kerusakan
lapisan endotel kapiler glomerulus oleh perubahan
hemodinamik.
7
Selain protein, beberapa makromolekul juga
meningkat dalam ultrafiltrat. Keduanya bersifat toksik
dan menimbulkan kerusakan pada sel epitel tubulus.
Protein dalam filtrat glomerulus akan direabsorbsi oleh
sel epitel tubulus proksimal, lalu mengalami proses
endositosis (baik melalui reseptor atau secara
konstitusional) untuk kemudian mengalami degradasi
oleh lisosom menjadi asam-asam amino.
7
Apabila jumlah protein yang mengalami proses ini
meningkat terus maka di dalam sel tubulus akan terjadi
kongesti organel dan pembengkakan oleh lisosom lalu
pecah sehingga sitoplasma sel dan enzim lisosom
memasuki ruang interstisial dan menimbulkan
kerusakan melalui reaksi inflamasi.
7
Keadaan Hipoksia
Pada ginjal yang mengalami kerusakan, terjadi
hipertrofi dari nefron yang masih baik. Selain itu terjadi
peningkatan metabolisme dengan akibat mem-
butuhkan lebih banyak lagi oksigen. Kerusakan
struktur sebagai akibat reaksi inflamasi dan pening-
katan matriks ekstraselular dapat menyebabkan
obliterasi dari pembuluh darah kapiler peritubular
sehingga mengganggu vaskularisasi dan suplai oksigen
dan menyebabkan terjadinya suatu keadaan hipoksia.
7
Keadaan hipoksia merupakan suatu stimulasi bagi
ekspresi gen-gen yang mengkode pembentukan
beberapa growth factor seperti vascular endothelial growth
factor (VEGF), platelet derived growth factor (PDGF) dan
TGF-. Peptida-peptida ini berperan pada berbagai
proses seperti proliferasi dan hipertrofi sel, sintesis dan
degradasi matriks-matriks, stimulasi dan respons
inflamasi dan pengaturan tonus dinding vaskular.
7
Stres Mekanik
Perubahan hemodinamik pada sejumlah nefron
menimbulkan beban mekanik/regangan pada sel
dinding vaskular, tubuler maupun jaringan mesangial.
Secara invitro dapat dibuktikan bahwa rangsangan
mekanik/stres mekanik terhadap sel-sel mesangial
meningkatkan sintesis dari TGF-.
7
Pada gagal ginjal kronik ketiga faktor ini dapat
berperan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam
menimbulkan progresivitas.
7
(Gambar 2)
Laju filtrasi glomerulus < 30 ml/m/1,73 m
2
dan
proteinuria berat merupakan prediktor independen
terjadinya progresivitas menuju gagal ginjal terminal.
16
Manifestasi Klinis
Fungsi utama ginjal adalah untuk memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit serta fungsi
endokrin. Hilang atau rusaknya nefron berdampak
pada perubahan semua ekskresi, metabolik, endokrin
dan fungsi hemodinamik yang pada akhirnya akan
73
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
berpengaruh pada keseluruhan organ tubuh.
8
Kerusakan nefron membawa ke arah gangguan
homeostasis tubuh dan retensi toksin uremik yang
dibagi atas 3 kelompok.
8
Gangguan sekresi zat fisiologi oleh ginjal.
Gangguan Sekresi metabolit fisiologi oleh ginjal
Sekresi zat yang diperlukan untuk memelihara
homeostasis tetapi dalam konsentrasi patologi
Gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
Perubahan homeostasis cairan merupakan tanda awal
dari kehilangan nefron, mencakup penurunan
kemampuan untuk memaksimalkan konsentrasi urin.
Hal ini membawa ke keadaan isostenuria dan diuresis
osmotik dengan beban ekskresi dari volume urin yang
lebih besar untuk mengeluarkan sisa-sisa produk. Secara
klinis, hal ini menimbulkan gejala nokturia dan poliuria
yang tidak sensitif terhadap pengaruh vasopresin. Akibat
dari beban ekskresi yang lebih besar, setiap asupan cairan
yang dibatasi dapat menyebabkan dehidrasi dan
penurunan fungsi ginjal. Ekskresi cairan dipelihara
secara baik sampai LFG mencapai 10-15 ml/m/1,73m
2
.
Di bawah nilai ini, retensi cairan dan natrium
menyebabkan hipertensi dan edema.
8
Gambar 1 Gambar 1 Gambar 1 Gambar 1 Gambar 1. Efek peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap progresivitas kerusakan ginjal
Dikutip dengan modifikasi dari: Remuzzi G, dkk . Pathophysiology of Progressive Nephropaties. N Eng J Med,1998.
15
Renal scarring
fibrogenesis
Rx. Inflamasi Interstisial Transformasi sel tubular
menjadi fibroblas
Peningkatan sintesis dari
kolagen tipe IV
Pelepasan vasoaktif dan substan inflamatori ke
dalam intestisial
Nuclear signal untuk NF-

B dependent dan independent vasoaktif dan gen inflamasi


Akumulasi protein abnormal di endolisosom & retikulum endoplasma
Hipertrofi
sel tubulus
Reabsorbsi protein oleh tubular yang berlebihan
Up-regulation
TGF-
1
gene
Peningkatan filtrasi protein plasma
Proteinuri
Renal Injury
Penurunan jumlah nefron
Hipertensi kapiler glomerulus
Peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap makromolekul
Peningkatan sintesis
angiotensin II
Proliferasi fibroblas
74
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien
GGK, ginjal akan mempertahankan keseimbangan
natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh
nefron yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi,
akan timbul retensi natrium. Meningkatnya ekskresi
natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi
tubular dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi
natrium (FENa). Peningkatan masukan natrium yang
tiba-tiba dapat menimbulkan perubahan volume
ekstraselular dengan segala akibatnya. Sebaliknya
pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi
natrium pada saat diberikan diet dengan retriksi
natrium. Bila diberikan restriksi garam secara tiba-tiba
pada pasien GGK akan menimbulkan penurunan
volume cairan ekstraselular, perfusi ginjal dan laju
filtrasi glomerulus.
1
Kalium
Kapasitas ginjal dalam mengeksresikan kalium
dipelihara sampai LFG menurun dibawah 10 ml/
menit/1,73m
2
. Keseimbangan kalium pada pasien
GGK dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi
renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan
meningkatkan fraksi ekskresi pada nefron yang masih
berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama
melalui sekresi epitel kolon dan dikeluarkan melaui
feses yaitu sebanyak 75%.
1,8
Hiperkalemia umumnya
Gambar 2 Gambar 2 Gambar 2 Gambar 2 Gambar 2. Peran faktor-faktor yang menimbulkan kerusakan ginjal
Dikutip dari : Markum MS,dkk,1999.
7
Renal Injury
Kehilangan nefron
(Nephron Loss)
Oxygen Dellivery
Oxygen consumption
Glomerular/tubular
pressure/flow
Permeabilitas Glomerulus thd
makromolekul
Strech-stress ; Shear-stress
Hipoksia Renal
Tubular protein overload
Growth factor overexpression
Vasokonstriksi Hiperplasia ; Hipertrofi
Matrix expansion
Infiltrasi sel radang
Proliferasi fibroblas
Dilatasi tubulus
Sklerosis
glomerulus
Obliterasi
vaskular
Fibrosis interstitial
Atrofi tubular
75
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
terjadi ketika LFG kurang dari 20-25 ml/menit/
1,73m
2
karena penurunan kemampuan ginjal untuk
mengeluarkan kalium. Hal ini dapat terlihat lebih
cepat pada penderita yang mengkonsumsi diit kaya
kalium atau jika kadar aldosteron serum rendah.
1.8
Asidosis metabolik
Pada gagal ginjal, terjadi gangguan kemampuan ginjal
untuk mengekskresikan H
+
sehingga mengakibatkan
asidosis metabolik dengan ditandai penurunan pH dan
kadar HCO
3
-
plasma. Ekskresi NH4
+
yang merupakan
mekanisme utama ginjal dalam usahanya me-
ngeluarkan H
+
berkurang akibat berkurangnya jumlah
nefron. Asidosis metabolik juga dapat terjadi akibat
peningkatan senjang anion.
1
Meningkatnya senjang
anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat
dan anion organik dalam plasma.
1,17
Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik disebabkan karena
defisiensi hormon eritropoietin dengan gambaran
morfologi eritrosit normokrom normositer. Eri-
tropoietin diproduksi oleh sel kortikal interstitial di
sekitar tubulus proksimal (peritubular) yang berfungsi
untuk pematangan sel darah merah di sumsum
tulang.
18
Anemia pada pasien GGK juga dapat
disebabkan oleh defisiensi besi akibat malnutrisi atau
kehilangan darah kronik akibat perdarahan saluran
cerna tersembunyi (occult bleeding); masa hidup sel
darah merah menjadi pendek karena toksin uremik,
toksisitas aluminium yang berkaitan dengan peng-
gunaan fosfat binder; juga anemia dapat terjadi karena
kehilangan darah iatrogenik selama hemodialisis atau
pengambilan darah untuk pemeriksaan darah.
1,18
Manifestasi anemia umumnya terjadi bila laju filtrasi
glomerulus turun sekitar 35 ml/menit. Keadaan ini
menjadi lebih berat sejalan dengan penurunan LFG
yang progresif dengan semakin sedikitnya masa renal
yang tersisa.
18
Osteodistrofi ginjal
Ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab
terhadap produksi kalsitriol yang merupakan bentuk
metabolik paling aktif dari vitamin D.
Osteodistrofi ginjal umumnya terjadi oleh karena
hiperfosfatemia, hipokalsemia dan akibat peningkatan
hormon paratiroid.
12,17
Kegagalan ginjal dalam
menjalankan fungsinya mempunyai 3 konsenkuensi.
Kegagalan ekskresi fosfat yang menyebabkan
peningkatan fosfat serum, menurunnya kadar
kalsium darah dan timbul hiperparatiroid sekunder.
Gangguan pembentukan metabolit vitamin D aktif
(1,25 (OH)D
3
) karena tidak adanya proses
hidroksilasi. Kurangnya vitamin D aktif me-
nyebabkan malabsorpsi kalsium melalui saluran
cerna sehingga timbul hipokalsemia.
Kegagalan ekskresi asam dan retensi urea
17
(Gambar 3)
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain
gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang,
fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai
gejala rakitis yang jelas akan timbul hipotonia umum,
lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi
dan histologi ditemukan gambaran osteomalasia dan
osteofibrosis.
1
Gangguan Metabolisme
Metabolisme karbohidrat
Gangguan metabolisme karbohidrat sering menyertai
keadaan uremia. Pada gagal ginjal kronik yang berat,
terjadi hiperinsulinisme dengan resistensi post-reseptor
terhadap insulin. Hal ini menyebabkan kecenderungan
terjadi hipoglikemia dan gangguan metabolisme
karbohidrat.
10
Metabolisme lemak
Gangguan utama pada metabolisme lemak adalah
hipertrigliseridemia dan hiperkholesterolemia sedang,
terutama akibat penurunan aktivitas lipoprotein-lipase
dan hepatik trigliserid-lipase yagn terjadi pada keadaan
gagal ginjal sedang.
10
Gangguan Pertumbuhan
Gagal ginjal kronik pada anak dikaitkan dengan adanya
gangguan pertumbuhan yang dtandai oleh ter-
lambatnya maturasi tulang, perkembangan pubertas
dan kurangnya tinggi akhir saat dewasa. Hal ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor antara lain terlambatnya
diagnosis, usia timbulnya GGK, gangguan elektrolit,
cairan dan metabolik, gangguan keseimbangan asam
76
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
basa, malnutrisi, dan osteodistrofi ginjal. Kemung-
kinan faktor yang paling penting adalah umur waktu
timbulnya GGK.
12
Hipertensi
Hipertensi pada umumnya simptomatik, tidak jarang
dipakai sebagai gambaran skaring parenkim ginjal
akibat refluk nefropati misalnya sehingga berakibat
GGK.
9
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki
kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan
penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat
menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi
natrium dan air dan pengaruh vasopresor dari sistem
renin angiotensin.
12,13
Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif akibat hipertensi yang tidak
dikelola dengan baik atau kelebihan cairan dan
natrium, tidak akan terjadi sampai tahap lanjut GGK,
namun pada beberapa anak dapat terlihat gejala yang
membutuhkan terapi diuretik atau dialisis.
9
Ensefalopati Hipertensi
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba
dapat menyebabkan nekrosis arteri intrakranial dan
edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan
kesadaran dan kejang. Krisis hipertensi sering terjadi
pada GGT.
1
Diagram Gagal Ginjal Kronik pada Anak
Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang dapat memberikan nilai yang bermanfaat
untuk mencari penyebab GGK, namun pada beberapa
anak kadang-kadang memerlukan pemeriksaan khusus.
Tabel 5
Tata laksana
Pada tahapan penyakit ginjal yang sudah kronik, penyakit
primer yang mendasarinya umumnya sudah tidak ada
lagi bahkan awalnya sering tidak diketahui, sehingga
penanggulangan terhadap faktor ini tidak dapat
Gambar 3 Gambar 3 Gambar 3 Gambar 3 Gambar 3. Patogenesis Osteodistrofi Renal pada Gagal Ginjal Kronik.
Dikutip dengan modifikasi dari: Kher KK. Chronic Renal Failure. Clinical Paediatric Nephrology, 1992
Penurunan 1,25-(OH)2D3
Penurunan Resorpsi Tulang
Gangguan Fungsi Kalsifikasi
Osteoid
Rikets
Retensi Fosfat
Peningkatan fosfor serum
Penurunan Kadar kalsium serum PTH
Peningkatan sekresi hromon
Peningkatan Resorpsi Tulang
Osteitis Fibrosa
GAGAL GINJAL KRONIK
77
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
dilakukan lagi. Banyak faktor yang berpengaruh
terhadap perburukan seperti proteinuria, hipertensi, dan
asidosis metabolik, namun hanya penanggulangan
terhadap proteinuria dan hipertensi yang terbukti secara
klinis bermanfaat dalam menghambat progresivitas.
Secara garis besar penatalaksanaan dibagi menjadi 2
yaitu:
9
Tata laksana sebelum terjadi gagal ginjal terminal
Tata laksana gagal ginjal terminal
Tata laksana sebelum terjadi gagal ginjal
terminal
Tata laksana pada keadaan ini berupa pengobatan
konservatif yang bertujuan,
- Pasien merasa normal (feel normal), yaitu tidak
mengalami gejala uremia seperti mual, muntah
- Menjadi normal (be normal), yaitu menjadi seperti
teman-temannya dan mempunyai cukup energi
untuk ikut dalam kegiatan di sekolah atau aktivitas
sosial sepenuhnya
- Memelihara pertumbuhan normal
9
Selain itu tujuan pengobatan konservatif adalah
memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, meng-
hilangkan berbagai faktor yang memberatkan, dan bila
mungkin memperlambat progresifitas gagal ginjal.
19
Pengobatan konservatif sudah mulai dilakukan
apabila ginjal mengalami penurunan LFG < 50/m/1,73
m
2
. Untuk penderita GGK dengan LFG < 30/m/
1,73 m
2
terapi konservatif dilakukan lebih ketat lagi
dan sebaiknya dikelola oleh suatu tim yang meliputi
pediatri nefrologis, perawat yang terlatih dibidang
ginjal anak, ahli gizi, guru, pekerja sosial, psikolog atau
psikiater serta penderita dan keluarganya.
9,11
Tata laksana Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada penderita gagal ginjal
kronik. Hal ini disebabkan karena anoreksia akibat
uremia, dan asidosis kronik, gangguan rasa kecap akibat
defisiensi zink, status katabolisme dan muscle
breakdown, abnormalitas endokrin.
10
Prinsip peng-
obatan dietetik pada pasien GGK adalah:
7,20
Mencukupi semua nutrien esensial yang adekuat
termasuk vitamin
Mencukupi kalori yang adekuat dalam bentuk
karbohidrat dan lemak
Mencukupi protein berkualitas tinggi untuk
Tabel 5. Pemeriksaan khusus untuk mencari penyebab GGK
a. Laboratorium
- Adanya peningkatan ureum dan kreatinin serum
- Hiperkalemia, bikarnonat serum yang rendah, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hiponatremia (pada penderita GGT
dengan kelebihan cairan)
- Hipoalbumin pada pasien nefrotik dan atau malnutrisi
- Anemia normokrom normositer
- Urinalisis. Bila tampak dipstik proteinuria, maka kecurigaan pada masalah glomerular atau tubulointerstitial
- Sedimen urin adanya sel darah merah, mengarah pada golerulonefritis proliveratif. Piuria dan kast leukosit mengarah
pada nefritis interstitial atau infeksi traktus urinarius
- Tampungan urin untuk rasio total protein terhadap kreatinin memberikan perkiraan dari ekskresi urin selama 24
jam. Bila nilai > 2 gram perlu dipertimbangkan adanya masalah pada glomerulus, dan bila nilai > 3,0-3,5 gram
dipertimbangkan adanya masalah nefrotik, dan bila < 2 gram merupakan karekteristik dari masalah tubulointerstitial
- Tampungan urin selama 24 jam untuk menilai protein total dan klirens kreatinin
- Elektroforesis protein serum dan protein urin untuk menyaring dalah suatu kemungkinan protein monoknonal
yang merepresentasikan suatu multipel mieloma
- ANA, DNA double-stranded untuk menyaring kemungkinan adanya SLE
b. Radiologis
- Foto polos abdomen, terutama untuk melihat adanya batu radioopak
- USG ginjal
- Skanning radionukleoid ginjal (untuk melihat stenosis arteri renalis)
- CT scan
- MRI
- VCUG (voiding cystourethrogram) Kriteria standar untuk diagnosis VUR.
Dikutip dengan modifikasi dari Verelli M. Chronic Renal Failure. eMedicine, 2004. www.eMedicine.com
4
78
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
mempertahankan keseimbangan nitrogen positif
dan mendorong kecepatan pertumbuhan
Mengurangi terjadinya akumulasi nitrogen sampai
seminimal mungkin untuk menghindarkan akibat
uremia, misalnya kelainan hematologis dan
neurologis serta mencegah terjadinya osteodistrofi
Mengurangi beban asam yang harus diekskresi oleh
ginjal
Menghindarkan asupan elektrolit yang berlebihan.
Untuk menjamin kelangsungan dan mencegah
penurunan kecepatan pertumbuhan, jumlah minimal
kalori sebesar 100% dari RDA (recommended dietary
allowance) untuk anak < 6 tahun dan sedikitnya 80%
dari RDA untuk anak yang lebih besar.
10,17
Prinsipnya adalah kebutuhan karbohidrat dan
lemak tidak dibatasi akan tetapi protein perlu
dibatasi.
9,14
Biasanya sebagian besar kalori berasal dari
karbohidrat 50-55%%, lemak 7-10% berupa lemak
saturated, 15% lemak monounsaturated, dan 10% dari
polyunsaturated, dan protein dibatasi hanya 10% dari
total kebutuhan kalori.
17,20
Asupan protein merupakan modulator poten
terhadap laju filtrasi ginjal sehingga pengurangan
asupan protein diduga dapat memperlambat pro-
gresifitas penyakit.
11
Membatasi asupan protein akan
mengurangi penumpukan zat toksin uremik dan
mengurangi progresifitas penyakit, akan tetapi protein
dibutuhkan dalam penyediaan nutrisi untuk tumbuh
kembang anak.
21
Sebagai gambaran, berdasarkan
kidney/dialyse outcome quantitive initiative (K/DOQI)
pada anak dengan GGK, restriksi protein diberikan
dengan kadar 0,8-2,2 g/kg/hari tergantung usia, berat
badan dan jenis kelamin. Energi yang diberikan
berkisar antara 38-42 kkal/kg/hari pada anak usia 15-
18 tahun dan sebanyak 100 kkal/kg/hari pada usia 1-
3 tahun.
17
(Tabel 6)
Pada anak dengan GGK sebaiknya 70 % asupan
protein berasal dari makanan yang mengandung protein
dengan nilai biologis tinggi seperti didapatkan pada telur,
susu, daging, ikan dan unggas.
18
Penderita dengan LFG
< 60 ml/menit/1,73m
2
harus sudah mulai dilakukan
penilaian asupan protein dan energi serta status
nutrisinya. Status nutrisi pada penderita penyakit ginjal
kronis harus dimonitor dengan teratur. Pada penderita
dengan LFG < 30 ml/menit/1,73m
2
dilakukan
monitoring setiap 1-3 bulan dan pada penderita dengan
LFG 60-30 ml/menit/1,73m
2
setiap 6-12 bulan.
21
Terdapat 3 tipe diet yang biasa dilakukan untuk
mengurangi progresifitas penyakit ginjal yaitu diet yang
mengandung protein dengan nilai biologis tinggi yang
mengandung protein 0.6-0.8 g/kg/hari, diet yang
mengandung kadar protein sangat rendah (protein
hanya 50% dari RDA) disertai asam amino esensial
(EAAs = essential amino acids) dan diet serupa yang
ditambahkan alpha hydroxyketoanalogues, asam keton
(KAs = ketoacids). Keuntungan dari EAAs dan Kas adalah
dapat memperlambat progresifitas gagal ginjal.
11
Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan
Asam-Basa
Koreksi Cairan
Penderita dengan insufisiensi ginjal kronik dengan
LFG 50-30 ml/m/1,73 m
2
terutama yang disebabkan
Tabel 6.Kebutuhan Kalori, Protein, Natrium, Kalsium dan Fosfor yang
Direkomendasikan pada Anak dengan Insufisiensi Ginjal Kronik
Umur Energi Protein Natrium Kalium Kalsium Fosfor
(Tahun) (kkal/kg) (g/kg) (mg) (mg) (mg) (mg)
0-0.5 115 2,2 230 650 360 240
0.5-1 105 2,0 500 850 540 360
1-3 100 1,8 650 1.100 800 800
3-6 85 1,5 900 1.550 800 800
6-10 85 1,5 1.200 2.000 800 800
10-14 (Laki laki) 60 1,0 1.800 3.025 1.200 1.200
10-14 (Perempuan) 48 1,0 1.800 3.025 1.200 1.200
14-18 (Laki-laki) 42 0,85 1.800 3.025 1.200 1.200
14-18 (Perempuan) 38 0,85 1.800 3.025 1,200 1.200
Dikutip dengan modifikasi dari Chan, dkk, 2002.
17
79
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
pyelonefritis, displasia ginjal dan kista ginjal, biasanya
terjadi poliuria sehingga seringkali penderita jatuh
dalam keadaan dehidrasi berat. Pada keadaan ini
pasien membutuhkan minum yang cukup untuk
menjaga keseimbangan cairan. Insufisiensi ginjal
kronik yang disebabkan glomerulonefritis kronis, pada
stadium dini dapat menunjukkan gejala oliguria.
Keadaan ini perlu perhitungan keseimbangan cairan
untuk mencegah kelebihan cairan.
Koreksi Natrium
Diet natrium umumnya tidak perlu dibatasi pada
penderita GGK sampai laju filtrasi glomerulus tinggal
10%. Penderita dengan insufisiensi ginjal kronik
sampai dengan LFG 30 ml/m/1,73 m
2
dengan
pengeluaran natrium yang banyak terjadi hiponatremia
dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini penderita
membutuhkan minum yang cukup dan suplementasi
natrium (4-10 mEq/kgBB/hari) dalam makanannya
untuk menjaga keseimbangan cairan.
11
Sebaliknya
pada pasien yang disertai dengan hipertensi, edema
atau gagal jantung bendungan, harus dilakukan
pembatasan natrium dan pemberian diuretik seperti
furosemid (1-4 mg/kgBB/hari). Umumnya diet
rendah garam pada pasien gagal ginjal kronik tanpa
hipertensi dan atau sembab adalah 2 g/hari (80 mEq/
kgbb/hari). Bila disertai sembab, asupan garam
dikurangi menjadi 1 mEq/kgbb/hari dan bila
ditemukan oliguria atau anuria harus diperketat
menjadi 0,2 mEq/kgBB/hari.
11,12,17
Koreksi Kalium
Hiperkalemia biasanya timbul apabila fungsi ginjal
sudah sangat menurun. Tindakan utama untuk
mencegah terjadinya hiperkalemia adalah dengan
membatasi makanan yang mengandung kalium tinggi
seperti jeruk, pisang, tomat, kentang, coklat.
- Bila kadar kalium > 6 mEq/l tanpa disertai gejala
klinis, cukup dengan koreksi makanan dan atau
pemberian polysturene sulfonate (kayexalate 1 g/
kgBB) sampai kadar kalium < 6 mEq/l. Di
Indonesia tersedia Kalitake, yaitu suatu exchange
resin antara kalium dan kalsium yang dapat
diberikan secara oral atau suppositoria diberikan
1-2 kali/hari, dilarutkan dalam 30 ml air.
- Bila kadar kalium > 7 mEq/l dan disertai kelainan
EKG (gelombang T meninggi dan QRS kompleks
melebar) harus diberikan kalsium glukonas 10%
sebanyak 0,2-0,5 ml/kgBB diberikan secara
intravena perlahan-lahan selama 10-15 menit,
selama pemberian kalsium glukonas jantung harus
dimonitor. Penderita juga dapat diberikan natrium
bikarbonas 7,5% sebanyak 3 mEq/KgBB secara
intravena. Bila cara ini tidak efektif, diberikan
insulin dan larutan glukosa.
Tata laksana Asidosis
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien
GGK dengan LFG < 30 ml/m/1,73 m
2
.
12
Menurut
kidney foundation (K/DOQI 2000), untuk memper-
tahankan pertumbuhan anak secara adekuat maka
kadar bikarbonat plasma harus dipertahankan diatas
22 mEq/l.
17
Peneliti lain menyatakan kadar bikarbonat
plasma dapat dipertahankan antara 23-25mEq/l.
20
Untuk mengatasinya, berikan tablet bikarbonat
(NaHCO
3
) dengan dosis antara 1-5 mEq/kgBB/hari
disesuaikan dengan beratnya asidosis. 1 tablet
NaHCO
3
500 mg = 6 mEq HCO
3
-
Pada asidosis berat
dengan HCO
3
-
< 8 mEq/l dapat dikoreksi dengan
bikarbonat dosis 0,3 xkgBB x (12 - HCO
3
-
serum)
mEq/l intravena.
20
Tata laksana Hipertensi
Hipertensi yang terkontrol dengan baik akan
memperlambat progresifitas kearah gagal ginjal
terminal.

Pengendalian hipertensi pada GGK dimulai
dengan terapi non-farmakologi berupa restriksi garam
(diet rendah garam), menurunkan berat badan dan
olahraga.
23,24
Pengobatan farmakologis baru diberikan apabila
timbul gejala, didapatkan adanya kerusakan organ
terminal atau terjadi peningkatan tekanan darah
secara cepat. Terapi farmakologis dipilih berdasarkan
efek penurunan tekanan darah semaksimal mungkin
dengan efek samping yang minimal. Untuk
mencegah penurunan perfusi ginjal dan berkurangnya
fungsi ginjal, tekanan darah harus diturunkan secara
bertahap sampai berada dibawah persentile ke-95
sesuai umur dan jenis kelamin. Obat-obatan yang
sering dipakai adalah diuretika, beta-blockers,
vasodilator, simpatolitik sentral, ACE Inhibitor,
calcium channel blocker.
23
80
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Pada awalnya diberikan diuretika untuk hipertensi
sedang pada anak yang tanpa diserta kerusakan organ
terminal yang jelas (hipertrofi ventrikel kiri dan atau
retinopati). Tindakan farmakologik dimulai dengan
pemberian diuretika. Tetapi pemberian diuretika pada
penderita GGK dengan fungsi renal tinggal 30% (LFG
< 30 ml/menit/1.73m
2
) akan kehilangan efektifitasnya
karena tidak mampu meningkatkan pengeluaran
natrium pada nefron daerah distal dan akan me-
ningkatkan kehilangan cairan.
16,22
Seringkali terdapat
hipertensi yang tidak berhubungan dengan pening-
katan volume intravaskular. Untuk kondisi tersebut
pemberian ACE inhibitor (captopril, enalapril)
merupakan pilihan utama.
21
Pemberian ACE Inhibitor
lebih sering dipakai karena selain berfungsi untuk
menurunkan tekanan darah juga mempunyai manfaat
lain yaitu mencegah kelainan kardiovaskular,
menurunkan proteinuria, mengendalikan penurunan
LFG dan mencegah terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kearah GGT.
24
Tata laksana Anemia
Terapi anemia yang efektif dapat mempengaruhi
aktivitas, mengurangi mortalitas dan morbiditas,
mencegah progresifitas insufisiensi ginjal dan
memperbaiki risiko kardiovaskular.
24,25
Umumnya
kadar Hb pada penderita GGK berkisar antara 6-9
mg/dl.
12
Penderita dengan LFG < 60 mL/m/1,73 m
2
harus
mulai dievaluasi ke arah anemia.
Bila kadar Hb turun berada < 6 mg/dl dapat
diberikan transfusi PRC 10 ml/kgBB dengan hati-
hati.
Pemberian recombinant human erythropoietin
(rhuEPO)
Indikasi terapi eritropoietin apabila Hb < 10 gr/
dl dan penyebab anemia lainnya sudah disingkirkan.
Syarat pemberiannya adalah bila feritin serum > 100
ug/l dan saturasi transferin > 20%. Untuk mencapai
target Hb > 10 gr/dl atau Ht > 30% pada pasien
hemodialisis, diberikan terapi eritropoietin 2000-
4000 IU (50-150 IU/kgBB) subkutan 2-3 kali
seminggu selama 4 minggu. Dalam waktu 2-4
minggu diharapkan Hb naik 1-2 g/dl atau Ht naik
2-4%.
19,25
Tata laksana Osteodistrofi Ginjal
Penanganan secara optimal osteodistrofi ginjal pada
tahap awal gagal ginjal, akan menurunkan komplikasi
tulang yang sedang tumbuh. Pencegahan yang paling
penting adalah menghindarkan hiperfosfatemia,
hipokalsemia dan penumpukan bahan toksis seperti
aluminium.
26,27,28
Masukan fosfor dibatasi menjadi
kurang lebih 800 mg/hari pada anak-anak. Fosfor
hampir terdapat pada semua makanan dan tinggi
kadarnya dalam daging dan susu. Diet ini tidak hanya
berguna mengurangi pengaruh hiperparatiroid
sekunder, tetapi juga dapat menurunkan kecepatan
progresifitas gagal ginjal.
29
Pemberian fosfat binder
untuk meningkatkan ekskresi fosfat melalui saluran
cerna dengan pemberian kalsium karbonat oral dengan
dosis 50 mg/kg BB/hari diminum bersama makanan.
Kalsium karbonat adalah garam kalsium yang paling
banyak digunakan.
28
Vitamin D, baik itu 1,25 (OH)D
3
atau dihydro-
tachysterol harus sudah mulai diberikan bila LFG
menurun < 50ml/m/1,73 m
2
.
11,16
Pengobatan dimulai
dari pemberian 1 kapsul (0,25) perhari dalam bentuk
dihidroksi vitamin D aktif (Rocaltrol) atau dihydro-
tachysterol (Roxane) 0,05-0,20mg/hari. Bila dipakai
vitamin D
3
dosis yang digunakan adalah 5000-10.000
i.u/hari. Pemberian dosis tersebut dapat ditingkatkan
secara progresif sampai kadar kalsium serum mencapai
normal dan kadar PTH 200-400 pg/ml serta radiologis
memperlihatkan perbaikan.
12
Paratiroidektomi dapat dilakukan pada keadaan
pasien dengan hiperparatiroid sekunder yang berat,
namun komplikasinya dapat terjadi hipokalsemia.
Keadaan ini dikenal dengan hungry bone syndrome,
yang disebabkan oleh pengambilan kalsium tulang
rangka yang tinggi yang dapat terjadi sewaktu-waktu
akibat kadar serum PTH menurun pada para-
tiroidektomi. Kalsium serum menurun 24-36 jam
setelah operasi, sehingga perlu diberikan dosis harian
kalsitriol antara 0,5-1,0 mg selama 2-6 hari sebelum
operasi, untuk mencegah hipokalsemia. Bila kadar
serum menurun di bawah 8,5 mg/dl, infus kalsium
glukonas harus diberikan. Hipofosfatemia dapat
terjadi, tetapi suplemen fosfor tidak diberikan karena
mungkin dapat mengakibatkan hipokalsemia, kecuali
bila kadarnya kurang dari 20 mg/dl. Secara ideal
kadar fosfat serum harus dipertahankan antara 3,5-
4,5 mg/dl untuk mencegah penurunan kadar kalsium
serum.
29
81
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Memaksimalkan Pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan dapat dihambat dengan
mencegah terjadinya asidosis, osteodistrofi ginjal dan
melakukan konsultasi gizi untuk mendapatkan asupan
nutrisi yang optimal. Akhir akhir ini dicoba pemberian
Human recombinant growth hormone (rhGH) dan
ternyata memberikan hasil yang efektif untuk
mempercepat pertumbuhan anak dengan GGK
20,26,28
Dosis pemberian rhGH adalah 0,35 mg/kg atau 30
U/m
2
perminggu.
11,20
Penelitian tahun1989 terhadap 5 orang anak
penderita gagal ginjal kronik dengan klirens kreatinin
5-30 ml/m/1,73 yang menerima kadar rhGH dengan
dosis suprafisiologis (0,1,25 mg/kg BB sebanyak 3 kali
seminggu selama satu tahun, kecepatan pertumbuhan
meningkat dari 4,9 + 1,4 cm pertahun menjadi 8,9 +
1,2 cm/tahun,
3
dan dengan pemberian rhGH dengan
dosis 28 IU/m
2
/minggu menghasilkan peningkatan
percepatan pertumbuhan 4 cm per tahun.
31
Terapi
pemberian rhGH dapat dihentikan apabila anak sudah
mencapai persentil ke-50 dari tinggi midparental atau
anak telah menerima transplantasi ginjal.
17
Tata laksana Gagal ginjal Terminal
Prinsip tata laksana terapi ginjal pengganti adalah terapi
pengganti ginjal yaitu dengan dialisis atau transplantasi
ginjal.
Dialisis
32
Dasar fisiologis dialisis merupakan pemisahan zat-zat
terlarut yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi.
Difusi, merupakan pergerakan zat-zat terlarut dari
larutan dengan konsentrasi tinggi ke larutan
berkonsentrasi rendah. Mekanisme difusi di-
pengaruhi oleh perbedaan konsentrasi dalam kedua
larutan tersebut berat molekul zat terlarut dan
resistensi membran semipermeabel.
Ultrafiltrasi, adalah proses perpindahan air dan zat-
zat terlarut yagn permeabel karena adanya perbedaan
antara tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik
- Ultrafiltrasi hidrostatik
Pergerakan air terjadi dari kompartemen
bertekanan hidrostatik tinggi ke kompatemen
yang bertekanan hidrostatik rendah. Ultra-
filtrasi hidrostatik tergantung pada tekanan
transmembran dan koefisien ultrafiltrasi
- Ultrafiltrasi osmotik
Perpindahan air terjadi dari kompartemen yang
bertekanan osmotik rendah ke kompatemen
yang bertekanan osmotik tinggi, sampai
tercapai keadaan tekanan osmotik di dalam
kedua kompartemen tersebut seimbang.
Dialisis Peritoneal akut
Dialisis peritoneal akut dilakukan pada penderita
dengan gagal ginjal kronik yang menunjukkan tanda-
tanda akut (acute on chronic renal failure). Dialisis
peritoneal sangat berguna mengatasi keadaan darurat,
sehingga memungkinkan tindakan diagnostik dan
mengurangi kelainan yang bersifat menetap. Dialisis
peritoneal juga dapat dilakukan pada pasien yang
sedang menunggu transplantasi ginjal.
33
Indikasi dialisis peritoneal :
33
- Indikasi klinis
Sindrom uremia yang mencolok, yaitu
muntah-muntah, kejang, penurunan kesadar-
an sampai koma
Kelebihan cairan yang menimbulkan gagal
jantung, edema paru dan hipertensi
Asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian bikarbonat intravena
- Indikasi biokimiawi
Ureum darah > 200-300 mg/dl atau kreatinin
15 mg/dl
Hiperkalemia > 7 mEq/L
Bikarbonas plasma < 12 mEq/l
Kejadian obstruksi kateter pada dialisis peritoneal
meningkat pada keadaan peritonitis yang merupakan
komplikasi dialisis peritoneal. Hal ini karena adanya
hiperkoagulasi dan hipofibrinolisis pada keasaan
peritonitis.
34
CAPD (continuous ambulatory peritoneal
dialysis)
CAPD memakai peritoneum selama 24 jam sehari, dan
penggantian dialisat dilakukan 4-5 kali perhari oleh
orang tua atau keluarga pasien atau pasien itu sendiri.
10
CAPD merupakan alternatif pengobatan berdasarkan
3 alasan, yaitu:
32
Anak bertempat tinggal jauh dari unit ginjal
82
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
sehingga transportasi merupakan suatu masalah
Anak yang banyak menjalani hemodialsis yang
disebabkan oleh tingginya pembentukan metabolit
toksin dan juga lamanya menunggu untuk
dilakukan transplantasi. Selain itu, makin sering
dilakukan hemodialisis maka akan meningkat
masalah akses vaskular dan terganggunya studi anak
Teknik hemodialisis pada bayi dan anak sukar.
Hemodialisis
Hemodialisis kronik yang dilakukan pada anak usia <
dari 2 tahun cukup efektif dan aman sebagai terapi ginjal
pengganti, namun akses vaksular merupakan keterbatasan
untuk dilakukan dalam jangka waktu lama.
35
Transplantasi Ginjal
Transpantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk
pengobatan gagal ginjal terminal karena memberikan
potensi untuk rehabilitasi yang terbaik mendekati
kehidupan normal. Secara keseluruhan, di Eropa pada
periode 1984-1993, hampir 21% penanaman pertama
dilakukan pada penderita usia < 21 tahun berasal dari
donor hidup. Di Amerika Utara sekitar 50%
penanaman dilakukan pada anak dan remaja usia <
21 tahun antara tahun 1987-2000. Dinegara
berkembang hasil jangka panjang transplantasi renal
dari ginjal keluarga masih suboptimal, kematian karena
septikemia, 40% terbukti mengalami infeksi, 45,8%
mengalami rejeksi akut.
36
Usia optimal untuk dilakukan transplantasi ginjal
pada anak gagal ginjal terminal masih menjadi
perdebatan. Disebutkan bahwa tidak ada usia minimum
untuk menjalani transplantasi ginjal karena keberhasilan
tidak hanya ditentukan oleh usia saat transplantasi saja
melainkan faktor-faktor lainnya seperti ukuran ginjal
donor, asal ginjal donor dan fungsi ginjal serta follow up
selanjutnya dengan imunosupresif.
37
Obat-obat
imunosupresif harus diberikan pada penderita yang
menjalani transplantasi ginjal. Umumnya mereka
mendapat 3 macam obat yaitu azatioprin, metil
prednisolon, dan cyclosporin A.
Pencegahan
Deteksi dini dan pengobatan segera penyakit yang
mendasari secara adekuat adalah hal yang dapat
mencegah terjadinya gagal ginjal kronik. Pada sebagian
besar pasien gagal ginjal kronik belum ada pengobatan
yang spesifik terhadap penyakit primernya. Beberapa
contoh pengobatan kausal adalah upaya untuk
mengatasi obstruksi saluran kemih, mengendalikan
hipertensi, mengkoreksi gangguan keseimbangan
cairan, asam basa dan elektrolit, mengobati penyakit
autoimun dengan obat imunosupresan, mengatasi
infeksi. Dengan terapi segera dalam 24 jam onset
demam pada penderita infeksi saluran kemih dapat
menghindari kerusakan ginjal.
5,38
Pemakaian obat-obat
analgesik ataupun nefrotoksik lainnya secara tepat dan
hati-hati merupakan salah satu pencegahan terjadinya
gagal ginjal kronik dan pemakaiannya harus segera
dihentikan saat diketahui adanya tanda penurunan
fungsi ginjal, atau bila tidak dapat dihindari adalah
dengan dilakukan penyesuaian dosis.
5,13
Prognosis
Kelangsungan hidup anak penderita gagal ginjal
terminal semakin meningkat setelah menjalani
transplantasi. Mortalitas hanya 9% yang meninggal
saat dianalis, dan 5 year survival rate penderita yang
mendapat transplantasi ginjal dari donor hidup sebesar
80,8% pada anak usia < 1 tahun, dan 97,4% pada
anak usia 6-10 tahun. Rehabilitasi setelah menjalani
transplantasi pada umumnya baik.
9
Ringkasan
Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitias pada anak. Jalan keluar
terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi gagal ginjal
kronik, yaitu dengan deteksi dan intervensi dini
penyebab penyakit primernya serta menghindari obat-
obatan nefrotoksik, juga dengan melakukan pola hidup
yang baik seperti mengatur diit yang benar, olahraga
teratur. Apabila gagal ginjal kronik telah terjadi, maka
usaha yang dilakukan adalah memperlambat pe-
nurunan fungsi ginjal selama mungkin dengan
pengaturan nutrisi terutama asupan protein dan
kalium, natrium, mengendalikan hipertensi dan
kontrol secara teratur untuk memonitor perkembangan
fungsi ginjal. Penggunaan obat yang akhir-akhir ini
banyak dipakai, seperti recombinant human erytro-
poietin dan human growth hormone, CAPD dan
83
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
transplantasi ginjal memberikan harapan untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa depan,
meskipun masih merupakan kendala sehubungan
dengan biaya yang mahal.
Daftar Pustaka
1. Kher KK. Chronic renal failure. Dalam: Kher KK,
Makker SP, penyunting. Clinical Pediatric Nephrology.
New York:Mc Graw-Hill Inc,1992. h. 501-41.
2. Anochie I, Eke F. Chronic renal failure in children: a
report from Port Harcourt, Nigeria (1985-2000). Pediatr
Nephrol, 2003;18:692-5.
3. Seikaly MG, Ho PL, Emmett L, Fine RN, Tejani A.
Chronic Renal Insufficiency in Children: The 2001
Annual Report of the NAPRTCS. Pediatr Nephrol 2003;
18:796-804.
4. Verelli M. Chronic Renal Failure. eMedicine, 2004.
www.eMedicine.com
5. Trihono PP. Terapi konservatif untuk mencegah
penurunan fungsi ginjal yang progresif pada gagal ginjal.
Dalam: Adirawati, Bahrun D, Herman E, Prambudi,
penyunting. Naskah lengkap sinas nefrologi anak VIII
Ikatan Dokter anak Indonesia. Palembang 23-24 Juni
2001.163-72.
6. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal ginjal
kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi anak.
Edisi ke-2. Jakarta:FKUI, 2002:509-30.
7. Markum MS, Ardaya. Progresivitas penyakit ginjal
kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I, Bawazier
LA, Mansjoer A, penyunting. Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah tahunan Ilmu penyakit Dalam.
Jakarta:FKUI,1999.63-70.
8. Lagomarsimo E, Valenzuela A, Cavagnaro F, Solar E.
Chronic renal failure in pediatrics 1996 Chilean survey.
Pediatr Nephrol, 1999;13:288-91.
9. Ri dgen SPA. Chroni c Renal Fai l ure. Dal am:
Postlethwaite R, Web N, penyunting. Clinical
Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. New York:Oxford
Univ.Press, 2003. h. 428-45.
10. Ardissino G. Epidemiology of Chronic Renal Failure.
Dalam: Cochat P, penyunting. European Society for
Paediatric Nephrology. ESPN Handbook, 2002.h.369-
72.
11. Wassner SJ, Baum M. Physiology and management.
Dalam: Barratt TM, Avner ED, Harmon WE,
penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi ke-4.
Baltimore, Maryland : Lippincott Williams & Wilkins,
1999. h. 1155-76.
12. Bergstein JM. Chronic renal failure. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, JensonHB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics.Edisi ke-16 Philadelphia,
London: W B Saunders, 2000. h. 1609-11.
13. Fored CM, Ejerblad E, Lindblad P, Fryzek JP, Dickman
PW, Signorello LB, dkk. Acetaminophen, Aspirin, and
Chronic Renal Failure. N Engl J Med 2001; 345(25):1801-
8.
14. Wilson LM. Fungsi Ginjal Normal. Dalam: Price SA,
Wilson LM, penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis
proses-proses penyakit (Clinical Concept of Disease
Processes). Edisi ke-4. Jakarta:EGC,1995:769-94.
15. Remuzzi G, Bertani T. Pathophysiology og Progressive
Nephropaties. N Eng J Med,1998.
16. Soares CMB, Oliveira EA, Diniz JSS, Lima EM,
Vasconcelos MM, Oliveria GR. Predictive factors of
progression of chronic renal insufficiency: a multivariate
analysis. Pediatr Nephrol, 2003;18:371-7.
17. Wilson LM. Sindrom Uremik. Dalam: Price SA, Wilson
LM, penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis proses-
proses penyakit (Clinical Concept of Disease Processes).
Edisi ke-4. Jakarta:EGC,1995:848-61.
18. Chan JC, Williams DM, Roth KS. Kidney Failure in
infants and children. Pediatr rev 2002;23:2
19. Prodjosudjadi W, Lydia A. Penatalaksanaan Anemia pada
Gagal Ginjal Kronik. Simposium Current Diagnosis and
Treatment 2001.
20. Weiss RA. Dietary and pharmacologic treatment of
chronic renal failure a. Dalam: Edelmann CM Jr,
penyunting. Pediatric Kidney Disease. Edisi ke-2.
Bosston: Little Brown & Co, 1992;815-23.
21. Eknoyan G, Levin N. K/DOQI Clinical Practice
Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification and Stratification. Am J Kid Dis:
2002;39:2.
22. Kohaut EC. Chronic renal failure. Dalam: McMillan
JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB. Oskis
Pediatrics Principles and Practice. Edisi ke-3.
Philadelphia, Pennsylvania: Lip pincott Williams &
Wilkins; 1999. h. 1568-71.
23. Feld LG, Lieberman E, Mendoza SA, Springate JE.
Management of hypertension of. Child with chronic
renal disease J Pediatr 1996;129:S18-S26.
24. Pennel JP. Optimizing medical management of patients
with pre-end-stage renal disease. Am J Med 2001;111;7.
25. Kausz AT, Obrador GT, Pereira BJ. Anemia management
in patients with chronic renal insufficiency. Am J Kid
84
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Dis: 2000;36:6
26. Salusky IB. Goodman WG, Kuizon BD. Implication of
intermittent calcitriol therapy on growth and secondary
hyperparathyroidism. Pediatr Nephrol, 2000;14:641-5.
27. Sanchez CP. Modulation of endochondral bone
formati on: rol e of growth hormone, 1, 25-
dihydroxyvitamin D and hyperparathyroidism.
Pediatr Nephrol, 2000;11:646-9.
28. Hruska K. Pathophysiology of renal osteodystrophy.
Pediatr Nephrol,1995: 636-40.
29. Papadopoulou ZL. Chronic Renal Failure. Dalam:
Barakat AY, penyunting. Renal disease in children clinical
evaluation and diagnosis.New York: Springer-Verlag,
1990:286-303
30. Warady B, Kathy J. New hormones in the therapeutic
arsenal of chronic renal failure : Growth Hormone and
erythropoietin. Pediatr Clin North Am 1995;42 :1551-
72.
31. Vimalachandra D, Craig JC, Cowell CT, Knight JF.
Growth hormone treatment in children with chronic
renal failure : A meta-analysis of randomized controlled
trials. J Pediatr 2001;139:561-567.
32. Sudjatmiko S, Oesman O. Hemodialisis. . Dalam: Alatas
H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting.
Buku Ajar Nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI,
2002. h. 615-27.
33. Damanik MP. Dialisis Peritoneal. Dalam: Alatas H,
Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting.
Buku Ajar Nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI,
2002. h. 594-605.
34. de Boer AW, Levi M, Reddingius, Willems JL, van den
Bosch S, Schder et al. Intraperitoneal hypercoagulation
and hypofibrinolysis is present in childhood peritonitis.
Pediatr Nephrol, 1999;13:284-7.
35. Shroff R, Wright E, Ladermann S, Hutchinson C, Rees
L. Chronic hemodyalisis in infants and children under
2 years of age. Pediatr Nephrol,2003;11:378-83.
36. Gulati S, Kumar A, Sharma RK, Gupta A, Bhandari M,
Kumar A, Srivastava A. Outcome of pediatric renal
transplansts in developing country. Pediatr
Nephrol,2004;19:96-100.
37. Humar A, Arrazola, Mauer M, Matas AJ, Najarian JS.
Kidney transplantation in young children: should there
be a minimum age? Pediatr Nephrol,2001;16:941-5.
38. Hiraoka M, Hashimoto G, Tsuchida S, Tsukahara H,
Ohshima Y, Mayumi M. Eaarly treatment of urinary
infection prevents renal damage on cortical scintigraphy.
Pediatr Nephrol,2003;18:115-8.

You might also like