Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak Gagal Ginjal Kronik pada Anak Nanan Sekarwana Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004: 68-84 Alamat Korespondensi: Dr. H. Nanan Sekarwana, Sp.A(K), MARS Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSUP dr. Hasan Sadikin Jl. Pasteur No. 38 Telp./Fax. 2034426-203595 Bandung 40161 mencegah agar tidak terjadi gagal ginjal kronik dan mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa bila sudah terjadi gagal ginjal agar tidak memburuk, karena pasien dengan gagal ginjal kronik yang sudah mengalami penurunan fungsi ginjal, lama kelamaan akan masuk stadium terminal sehingga memerlukan terapi pengganti seperti dialisis atau transplantasi. 7 Berkaitan dengan pentingnya pencegahan agar tidak jatuh ke gagal ginjal kronik dan mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa agar tetap dalam keadaan steady state, maka dalam kuliah umum kali ini akan dibahas mengenai batasan dan klasifikasi, angka kejadian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan pada masing-masing tahap gagal ginjal kronik serta pencegahannya. Batasan dan Klasifikasi Beberapa penulis memberikan definisi sebagai berikut, - Anochie (2003) : Gagal ginjal kronik adalah penurunan LFG < 30 ml/menit/1,73m 2 atau peningkatan serum kreatinin diatas 120 umol/l dalam waktu sedikitnya 6 bulan, dan ditandai dengan gangguan homeostasis tubuh. 2 - Verelli (2004) : Gagal ginjal kronik ditandai dengan kerusakan progresif dari massa ginjal dengan adanya sklerosis dan hilangnya nefron yang irreversibel yang terjadi dalam periode berbulan- bulan sampai menahun tergantung etiologi yang mendasarinya. 4 - Lagomarsimo (1999) : Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai peningkatan serum kreatinin 2 kali atau lebih dari normal sesuai usia dan jenis kelamin, atau penurunan laju filtrasi glomerulus < 30 ml/menit/1,73m 2 dalam waktu sedikitnya 3 bulan. 8 Beberapa definisi tertera di atas meskipun terdapat beberapa perbedaan, namun pada dasarnya sama yaitu G agal Ginjal Kronik merupakan suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang irreversibel, yang ditandai laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun akhirnya mencapai suatu keadaan gagal ginjal terminal (GGT). 1 Gagal ginjal kronik yang telah mencapai gagal ginjal terminal termasuk salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak. 2,3,4 Insidens gagal ginjal kronik telah meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1989. 4 Dari data yang dikutip oleh Trihono, di Indonesia, antara tahun 1984-1988 di 7 rumah sakit pendidikan ditemukan kasus GGK sebesar 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal. Sedangkan dalam kurun waktu 4 tahun 1991-1995 di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus GGK sebesar 4,9% dari anak yang dirawat dengan penyakit ginjal dan meningkat menjadi 13,3% antara tahun 1996-2000. 5 Adapun data dari bagian anak RSHS dari tahun 1994-1998 terdapat 55 kasus gagal ginjal kronik, dan dari tahun 2000-2003 sebanyak 20 kasus. Penurunan fungsi ginjal bervariasi dari mulai yang ringan sampai berat. 1 Identifikasi faktor-faktor yang berkorelasi dengan tingkat progresifitas menuju gagal ginjal kronik bermanfaat dalam pengelolaan anak gagal ginjal kronik. Pada saat ini telah dimungkinkan pengelolaan GGK pada anak yang sangat muda dan pengelolaan tersebut ditujukan untuk mempertahankan kemampuan fungsional nefron yang tersisa selama mungkin serta memacu pertumbuhan fisik yang maksimal. 6 Namun pengelolaan gagal ginjal kronik ber- hadapan dengan masalah biaya yang sangat mahal, sehingga meskipun membaiknya pengobatan pada akhir-akhir ini, angka kematian masih tinggi (10%). Permasalahan yang timbul adalah bagaimana 69 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 suatu penurunan fungsi ginjal yang irreversibel ditandai dengan penurunan LFG < 30 ml/menit/1,73m 2 dalam waktu sedikitnya 3 bulan. Klasifikasi gagal ginjal kronik terbagi atas 4 tingkat seperti tertera pada Tabel 1. Epidemologi Masih sulit untuk menentukan secara pasti angka kejadian GGK pada anak. Epidemiologi GGK pada anak berdasarkan satu atau multisenter sangat tidak sesuai untuk keakuratan analisis demografi karena selalu dipengaruhi oleh bias (sebagai contoh pasien dengan gangguan ginjal derajat kurang berat kadang- kadang dirawat di senter non nefrologi pediatrik; kelainan yang jarang, berat dan spesifik cenderung terkumpul di senter tertentu; atau beberapa pasien remaja biasa dirujuk ke bagian nefrologi dewasa). 10 Berdasarkan survey the Nephrology Branch dari Chilean Pediatric Society tahun 1989 dilaporkan bahwa insidens GGK sebesar 5,7 per satu juta penduduk dan prevalens nasional sebesar 42,5. Sebanyak 50,7% GGK terjadi pada anak laki-laki, 58,6% terjadi pada anak usia > 10 tahun, dan 15% terjadi pada anak usia < 5 tahun. 11 Anochie (2003) melaporkan the median annual isidens GGK di Nigeria adalah 3 per satu juta anak, Prevalens GGK meningkat dari 12,5 di tahun 1985- 1990 menjadi 15 per satu juta anak setelah tahun 1995. Rasio penderita GGK laki-laki : perempuan = 1,6 : 1. 2 Di Amerika Serikat, insidens GGK pada kelompok usia 0-19 tahun adalah 10-12 per satu juta penduduk pertahun, sedangkan di Eropa 9,7 per satu juta penduduk pertahun. 12 Rasio penderita gagal ginjal laki-laki : perempuan adalah 2 : 1. Insidens dan prevalens gagal ginjal kronik sebelum dialisis pada anak di beberapa negara di Eropa, dengan memakai sistem surveilans yang telah ada, memberikan gambaran morbiditas yang ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 1. Tingkatan gagal ginjal Residual fungtional renal mass (%) LFG (ml/m/1,73m 2 ) Insufisiensi ginjal ringan 50-25 80-50 Asimptomatik Insufisiensi ginjal sedang 25-15 50-30 Kelainan metabolik, Insufisiensi ginjal berat 15-5 30-10 angguan pertumbuhan, gagal ginjal progresif Gagal Ginjal terminal < 5 <10 Perlu terapi pengganti ginjal Dikutip dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. Clinical Paediatric Nephrology, 2003. 9 Tabel 3. Insidens dan prevalens gagal ginjal terminal pada anak Periode Umur (tahun) Insidens per juta Prevalens populasi Per juta populasi Perancis 75-90 0-16 7,3 37 Swedia 86-94 0,5-16 6,4 38 Amerika 89-91 0-19 11,0 53 Perancis 1998 0-17 14,0 NR (Not Reported) Dikutip dari: Ardissino. Epidemiology of Chronic Renal Failure. ESPN Handbook, 2002. 10 Tabel 2. Insidens dan prevalens GGK pradialisis pada anak di beberapa negara di Eropa Periode Umur Definisi GGK Insidens Prevalens (tahun) Per juta populasi Per juta populasi Perancis 75-90 0-16 Scr>2mg/dl 1,05 29,0 Swedia 86-94 0,5-16 Ccr<30ml/m 7,7 21,0 Italia 90-00 0-20 Ccr<75ml/m 12,1 74,7 Dikutip dari: Ardissino A. Epidemiology of Chronic Renal Failure. ESPN Handbook, 2002. 10 Scr : Serum kreatinin Ccr : klirens kreatinin 70 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 Data yang dikutip Rigden SPA, 2003 di Inggris dari tahun 1997-1999 pada anak usia < 18 tahun yang mendapat terapi ginjal pengganti per tahunnya sekitar 101 atau 7,4 per satu juta populasi. 9 Berdasarkan the 2001 annual report of the NAPRTCS (North American Pediatric Renal Transplant Cooperative Study), dari data yang dikumpulkan sejak tahun 1994-2001, sebanyak 4.666 pasien diidentifikasi menderita GGK, dengan rincian 61% ras Caucasia, 18% Afrika-Amerika asli, dan 14% keturunan Hispanik. Berdasarkan usia penderita, dikelompokkan sebagai berikut: 0-1, 2-5, 6-12, dan > 12 tahun, dengan persentase masing-masing 19%,17%, 33%, dan 31%. Pasien kulit putih secara signifikan mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjalani transplantasi dibandingkan pasien hispanik atau kulit hitam. 3 Etiologi Etiologi GGK tampaknya berhubungan erat dengan usia penderita pada saat pertama kali gagal ginjal ditemukan. GGK pada anak dibawah usia 5 tahun umumnya berasal dari kelainan anatomis (hipoplasia, displasia, malformasi), sedangkan setelah usia 5 tahun berasal dari penyakit glomerulus yang di dapat (glomerulonefritis, sindrom hemolitik uremik) atau kelainan herediter (sindrom Alport, kista). 12 Penyebab terjadinya gagal ginjal kronik ditam- pilkan pada Tabel 4. Penyebab GGK (Tabel 4) yang terbanyak adalah kelainan kongenital, dan dari laporan tahunan NAPRTCS 2001 uropati obstruktif merupakan diagnosis terbanyak. Pada kerusakan Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal Kronik Inggris (%) NAPRTCS(%) Swedia n = 683 n = 6878 GGK(%) GGT(%) n = 118 n = 97 Anomali Kongenital 55,1 40 40,7 34,1 - Aplasia/hipoplasia.dysplasia 22,5 15,8 17,8 15,5 - Uropati ostruktif 20,2 16,1 19,5 15,5 - Reflux nephropathy 7,2 5,4 0 0 - Prune belly syndrome 2,2 2,7 3,4 3,1 Kondisi herediter 17,6 13,3 26,3 35 - Juvenille nephronophthisis 5,3 2,8 6,8 10,3 / 1,8 2,8 - Polycistic kidney disease-autosomal resessive 1,2 2,4 5,1 7,2 - Hereditary nephritis with or without nerve deafness 2 2,1 - Cystinosis 0,4 0,6 - Primary oxalosis 6,9 2,6 5,1 7,2 - Congenital nephritic syndr. 9,3 10,3 - Other hereditary conditions 10,3 22 14,4 14,4 Glomerulonephritis 6,4 11,6 2,5 3,1 - FSGS 3,9 10,4 11,9 11,3 - Other glomerulonephritis 5,6 6,8 3,4 4,1 Penyakit multisistem 1,7 - Lupus erithematosus 1,6 1,4 - HSP 3,2 2,7 3,4 4,1 - HUS 0,8 1 - Other multysistem diseases 9 12,6 15,2 12,4 Lain-lain 4,5 1,7 6,8 4,1 - Renal vascular disease 1,6 0,6 - Kidney tumor 0,6 2,5 3,1 - Drash syndrome 2,9 9,7 5,9 5,2 - Others 2 5,4 Tidak diketahui Dikutip dari: Rigden SPA, The management of chronic and end stage renal failure in children. Clinical Paediatric Nephrology,2003. 9 NAPRTCS : The North American Pediatric Transplant Cooperative Study 71 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 glomerulus, kondisi klinis terbanyak adalah focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). 3,9 Sedangkan di Nigeria kelainan didapat menjadi penyebab utama GGK pada anak yaitu tertinggi adalah glome- rulopati terutama glomerulonefritis (56,5%) dan sindroma nefrotik (30,4%). Kelainan kongenital hanya 28,9% dari seluruh kasus GGK dan ini lebih rendah dari data-data yang dilaporkan di negara lain. 2 Di Amerika Serikat penyalahgunaan analgesik bertanggung jawab atas sekitar 1-2% kasus gagal ginjal tahap akhir, di Karolina Utara mencapai 10%, dan di Australia 20%. Berdasarkan penelitian Fored tahun 1996-1998 pada kelompok usia > 18 tahun, tampak adanya efek eksaserbasi penggunaan obat-obat analgetik terhadap kejadian gagal ginjal kronik, dengan risiko sebesar 2,5%. 13 Faktor yang ikut berperan dalam progresivitas gagal ginjal kronik menjadi gagal ginjal terminal adalah usia 6-12 tahun yang mempunyai resiko relatif 2-3 X dibandingkan usia 0-5 tahun, dan bila pertama kal i didiagnosis adal ah FSGS akan mempunyai risiko relatif 2,5 x dibandingkan uropati obstruktif atau renal aplasia/hipoplasia/displasia. Adanya hipoalbumin juga berisiko 1,5x untuk menjadi progresif dibandingkan tidak hipo- albuminemia. Hiperfosfatemia dan hematokrit < 34% mempunyai risiko relatif 1,6 x dibandingkan yang tidak. 3 Patofisiologi Terdapat dua pendekatan teoritis untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada GGK. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron yang telah diserang penyakit namun dalam stadium berbeda-beda, dapat benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya lesi organik pada medula akan merusak susunan anatomik ansa henle dan vasa recta, atau pompa klorida pada pars asendens ansa henl e akan mengganggu proses al iran bal ik pemekatan. Pendekatan kedua, yang diterima sekarang, dikenal dengan nama Hipotesis Bricer atau hipotesis nefron utuh, yaitu bahwa bila nefron terserang pernyakit, maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Hal ini menerangkan pola adaptasi fungsional ginjal berupa kemampuan mem- pertahankan homeostasis dengan cara sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. 14 Lebih kurang 1 juta nefron terdapat pada masing-masing ginjal dan semuanya berkontribusi terhadap laju filtrasi glomerulus. Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, nefron-nefron, ginjal pada awalnya mampu mempertahankan laju filtrasi glomerulus dengan cara hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensatori dari nefron-nefron yang masih sehat. Kemampuan adaptasi ini terus berlangsung sampai ginjal mengalami kelelahan dan akan tampak peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam plasma. Peningkatan kadar kreatinin plasma dari nilai dasar 0,6 mg/dl menjadi 1,2 mg/dl, meskipun masih dalam rentang normal, sebetulnya hal ini merepresentasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%. 4 Pada kebanyakan keadaan, kerusakan dimulai dari glomerulus. Glomerulus lain yang tidak mengalami kerusakan akan mengalami hipertrofi dan lama kelamaan menjadi sklerotik. Hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang tersisa, meskipun tampak sebagai hal yang menguntungkan, namun ternyata diduga sebagai penyebab utama progresifitas disfungsi ginjal, karena pada keadaan ini terjadi peningkatan tekanan pada kapiler glomerulus sehingga me- nyebabkan kerusakan kapiler-kapiler dan menuju ke keadaan glomerulosklerosis fokal dan segmental hingga glomerulosklerosis global. 14 Sebagai akibat perubahan-perubahan hemo- dinamik di jaringan interstisial glomerulus terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut: 7 - infiltrasi sel-sel radang monosit/makrofag dan limfosit - prolliferasi sel-sel mesangial dan fibroblast - ekspansi matriks mesangial ekstraselular yang merupakan suatu materi kompleks yang terdiri atas kolagen (tipe IV, V), fibronektin, laminin, heparin sulfur, kondroitin sulfat dan proteoglikan. Perubahan-perubahan ini mengikuti perubahan pada glomerulus dan jaringan tubulointerstisial. Perubahan pada jaringan tubulo-interstisiallah yang mempunyai nilai prognostik dan berkorelasi dengan penurunan ginjal. 7 Pada stadium lanjut perubahan-perubahan yang terjadi berupa gambaran fibrosis luas dan hilangnya struktur glomerulus dan tubulus. 7 72 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 Mekanisme Progresivitas Mekanisme progresivitas gagal ginjal kronik yang paling meyakinkan adalah teori adaptasi. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sebagai akibat berkurangnya sejumlah nefron, maka nefron-nefron yang tersisa akan mengalami serangkaian perubahan baik secara fungsional maupun morfologik. 7 Adapun perubahan-perubahan tersebut berupa peningkatan aliran plasma glomerulus, peningkatan tekanan kapiler intraglomerulus, peningkatan laju filtrasi glomerulus, kemudian terjadi hipertrofi glomerulus. Perubahan-perubahan ini yang merupa- kan perubahan hemodinamik adalah suatu upaya yang dilakukan ginjal untuk mempertahankan kese- imbangan homeostasis. Namun ternyata berakibat buruk terhadap nefron yang tersisa, oleh karena setelah beberapa waktu akan timbul kerusakan pada glo- merulus, tubulus maupun jaringan intestisial yang berlanjut terus sampai akhirnya terjadi fibrosis yang luas dan hilangnya struktur dari nefron. Pada tahap ini fungsi ginjal sangat minimal. 4,7,9 Mekanisme dari perubahan hemodinamik meng- akibatkan terjadi perubahan struktur yang menuju kepada pembentukan jaringan fibrotik, diduga akibat faktor-faktor berupa protein preload, keadaan hipoksia, dan stres atau rangsangan mekanik: 7 Protein Preload Perubahan hemodinamik yang dialami nefron berupa peningkatan aliran darah glomerulus dan tekanan intrakapiler glomerulus menyebabkan meningkatnya protein dalam filtrat glomerulus. Meningkatnya jumlah protein yang difiltrasi oleh glomerulus juga disebabkan oleh mengingkatnya permeabilitas kapiler glomerulus. (Gambar 1) Ukuran pori-pori pada membran kapiler glomerulus membesar atas pengaruh Angiotensin II lokal yang terbentuk akibat kerusakan lapisan endotel kapiler glomerulus oleh perubahan hemodinamik. 7 Selain protein, beberapa makromolekul juga meningkat dalam ultrafiltrat. Keduanya bersifat toksik dan menimbulkan kerusakan pada sel epitel tubulus. Protein dalam filtrat glomerulus akan direabsorbsi oleh sel epitel tubulus proksimal, lalu mengalami proses endositosis (baik melalui reseptor atau secara konstitusional) untuk kemudian mengalami degradasi oleh lisosom menjadi asam-asam amino. 7 Apabila jumlah protein yang mengalami proses ini meningkat terus maka di dalam sel tubulus akan terjadi kongesti organel dan pembengkakan oleh lisosom lalu pecah sehingga sitoplasma sel dan enzim lisosom memasuki ruang interstisial dan menimbulkan kerusakan melalui reaksi inflamasi. 7 Keadaan Hipoksia Pada ginjal yang mengalami kerusakan, terjadi hipertrofi dari nefron yang masih baik. Selain itu terjadi peningkatan metabolisme dengan akibat mem- butuhkan lebih banyak lagi oksigen. Kerusakan struktur sebagai akibat reaksi inflamasi dan pening- katan matriks ekstraselular dapat menyebabkan obliterasi dari pembuluh darah kapiler peritubular sehingga mengganggu vaskularisasi dan suplai oksigen dan menyebabkan terjadinya suatu keadaan hipoksia. 7 Keadaan hipoksia merupakan suatu stimulasi bagi ekspresi gen-gen yang mengkode pembentukan beberapa growth factor seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), platelet derived growth factor (PDGF) dan TGF-. Peptida-peptida ini berperan pada berbagai proses seperti proliferasi dan hipertrofi sel, sintesis dan degradasi matriks-matriks, stimulasi dan respons inflamasi dan pengaturan tonus dinding vaskular. 7 Stres Mekanik Perubahan hemodinamik pada sejumlah nefron menimbulkan beban mekanik/regangan pada sel dinding vaskular, tubuler maupun jaringan mesangial. Secara invitro dapat dibuktikan bahwa rangsangan mekanik/stres mekanik terhadap sel-sel mesangial meningkatkan sintesis dari TGF-. 7 Pada gagal ginjal kronik ketiga faktor ini dapat berperan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menimbulkan progresivitas. 7 (Gambar 2) Laju filtrasi glomerulus < 30 ml/m/1,73 m 2 dan proteinuria berat merupakan prediktor independen terjadinya progresivitas menuju gagal ginjal terminal. 16 Manifestasi Klinis Fungsi utama ginjal adalah untuk memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit serta fungsi endokrin. Hilang atau rusaknya nefron berdampak pada perubahan semua ekskresi, metabolik, endokrin dan fungsi hemodinamik yang pada akhirnya akan 73 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 berpengaruh pada keseluruhan organ tubuh. 8 Kerusakan nefron membawa ke arah gangguan homeostasis tubuh dan retensi toksin uremik yang dibagi atas 3 kelompok. 8 Gangguan sekresi zat fisiologi oleh ginjal. Gangguan Sekresi metabolit fisiologi oleh ginjal Sekresi zat yang diperlukan untuk memelihara homeostasis tetapi dalam konsentrasi patologi Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Perubahan homeostasis cairan merupakan tanda awal dari kehilangan nefron, mencakup penurunan kemampuan untuk memaksimalkan konsentrasi urin. Hal ini membawa ke keadaan isostenuria dan diuresis osmotik dengan beban ekskresi dari volume urin yang lebih besar untuk mengeluarkan sisa-sisa produk. Secara klinis, hal ini menimbulkan gejala nokturia dan poliuria yang tidak sensitif terhadap pengaruh vasopresin. Akibat dari beban ekskresi yang lebih besar, setiap asupan cairan yang dibatasi dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan fungsi ginjal. Ekskresi cairan dipelihara secara baik sampai LFG mencapai 10-15 ml/m/1,73m 2 . Di bawah nilai ini, retensi cairan dan natrium menyebabkan hipertensi dan edema. 8 Gambar 1 Gambar 1 Gambar 1 Gambar 1 Gambar 1. Efek peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap progresivitas kerusakan ginjal Dikutip dengan modifikasi dari: Remuzzi G, dkk . Pathophysiology of Progressive Nephropaties. N Eng J Med,1998. 15 Renal scarring fibrogenesis Rx. Inflamasi Interstisial Transformasi sel tubular menjadi fibroblas Peningkatan sintesis dari kolagen tipe IV Pelepasan vasoaktif dan substan inflamatori ke dalam intestisial Nuclear signal untuk NF-
B dependent dan independent vasoaktif dan gen inflamasi
Akumulasi protein abnormal di endolisosom & retikulum endoplasma Hipertrofi sel tubulus Reabsorbsi protein oleh tubular yang berlebihan Up-regulation TGF- 1 gene Peningkatan filtrasi protein plasma Proteinuri Renal Injury Penurunan jumlah nefron Hipertensi kapiler glomerulus Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul Peningkatan sintesis angiotensin II Proliferasi fibroblas 74 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 Natrium Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK, ginjal akan mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium. Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi tubular dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FENa). Peningkatan masukan natrium yang tiba-tiba dapat menimbulkan perubahan volume ekstraselular dengan segala akibatnya. Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat diberikan diet dengan retriksi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara tiba-tiba pada pasien GGK akan menimbulkan penurunan volume cairan ekstraselular, perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus. 1 Kalium Kapasitas ginjal dalam mengeksresikan kalium dipelihara sampai LFG menurun dibawah 10 ml/ menit/1,73m 2 . Keseimbangan kalium pada pasien GGK dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan fraksi ekskresi pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama melalui sekresi epitel kolon dan dikeluarkan melaui feses yaitu sebanyak 75%. 1,8 Hiperkalemia umumnya Gambar 2 Gambar 2 Gambar 2 Gambar 2 Gambar 2. Peran faktor-faktor yang menimbulkan kerusakan ginjal Dikutip dari : Markum MS,dkk,1999. 7 Renal Injury Kehilangan nefron (Nephron Loss) Oxygen Dellivery Oxygen consumption Glomerular/tubular pressure/flow Permeabilitas Glomerulus thd makromolekul Strech-stress ; Shear-stress Hipoksia Renal Tubular protein overload Growth factor overexpression Vasokonstriksi Hiperplasia ; Hipertrofi Matrix expansion Infiltrasi sel radang Proliferasi fibroblas Dilatasi tubulus Sklerosis glomerulus Obliterasi vaskular Fibrosis interstitial Atrofi tubular 75 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 terjadi ketika LFG kurang dari 20-25 ml/menit/ 1,73m 2 karena penurunan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan kalium. Hal ini dapat terlihat lebih cepat pada penderita yang mengkonsumsi diit kaya kalium atau jika kadar aldosteron serum rendah. 1.8 Asidosis metabolik Pada gagal ginjal, terjadi gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan H + sehingga mengakibatkan asidosis metabolik dengan ditandai penurunan pH dan kadar HCO 3 - plasma. Ekskresi NH4 + yang merupakan mekanisme utama ginjal dalam usahanya me- ngeluarkan H + berkurang akibat berkurangnya jumlah nefron. Asidosis metabolik juga dapat terjadi akibat peningkatan senjang anion. 1 Meningkatnya senjang anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat dan anion organik dalam plasma. 1,17 Anemia Anemia pada gagal ginjal kronik disebabkan karena defisiensi hormon eritropoietin dengan gambaran morfologi eritrosit normokrom normositer. Eri- tropoietin diproduksi oleh sel kortikal interstitial di sekitar tubulus proksimal (peritubular) yang berfungsi untuk pematangan sel darah merah di sumsum tulang. 18 Anemia pada pasien GGK juga dapat disebabkan oleh defisiensi besi akibat malnutrisi atau kehilangan darah kronik akibat perdarahan saluran cerna tersembunyi (occult bleeding); masa hidup sel darah merah menjadi pendek karena toksin uremik, toksisitas aluminium yang berkaitan dengan peng- gunaan fosfat binder; juga anemia dapat terjadi karena kehilangan darah iatrogenik selama hemodialisis atau pengambilan darah untuk pemeriksaan darah. 1,18 Manifestasi anemia umumnya terjadi bila laju filtrasi glomerulus turun sekitar 35 ml/menit. Keadaan ini menjadi lebih berat sejalan dengan penurunan LFG yang progresif dengan semakin sedikitnya masa renal yang tersisa. 18 Osteodistrofi ginjal Ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab terhadap produksi kalsitriol yang merupakan bentuk metabolik paling aktif dari vitamin D. Osteodistrofi ginjal umumnya terjadi oleh karena hiperfosfatemia, hipokalsemia dan akibat peningkatan hormon paratiroid. 12,17 Kegagalan ginjal dalam menjalankan fungsinya mempunyai 3 konsenkuensi. Kegagalan ekskresi fosfat yang menyebabkan peningkatan fosfat serum, menurunnya kadar kalsium darah dan timbul hiperparatiroid sekunder. Gangguan pembentukan metabolit vitamin D aktif (1,25 (OH)D 3 ) karena tidak adanya proses hidroksilasi. Kurangnya vitamin D aktif me- nyebabkan malabsorpsi kalsium melalui saluran cerna sehingga timbul hipokalsemia. Kegagalan ekskresi asam dan retensi urea 17 (Gambar 3) Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi ditemukan gambaran osteomalasia dan osteofibrosis. 1 Gangguan Metabolisme Metabolisme karbohidrat Gangguan metabolisme karbohidrat sering menyertai keadaan uremia. Pada gagal ginjal kronik yang berat, terjadi hiperinsulinisme dengan resistensi post-reseptor terhadap insulin. Hal ini menyebabkan kecenderungan terjadi hipoglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat. 10 Metabolisme lemak Gangguan utama pada metabolisme lemak adalah hipertrigliseridemia dan hiperkholesterolemia sedang, terutama akibat penurunan aktivitas lipoprotein-lipase dan hepatik trigliserid-lipase yagn terjadi pada keadaan gagal ginjal sedang. 10 Gangguan Pertumbuhan Gagal ginjal kronik pada anak dikaitkan dengan adanya gangguan pertumbuhan yang dtandai oleh ter- lambatnya maturasi tulang, perkembangan pubertas dan kurangnya tinggi akhir saat dewasa. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain terlambatnya diagnosis, usia timbulnya GGK, gangguan elektrolit, cairan dan metabolik, gangguan keseimbangan asam 76 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 basa, malnutrisi, dan osteodistrofi ginjal. Kemung- kinan faktor yang paling penting adalah umur waktu timbulnya GGK. 12 Hipertensi Hipertensi pada umumnya simptomatik, tidak jarang dipakai sebagai gambaran skaring parenkim ginjal akibat refluk nefropati misalnya sehingga berakibat GGK. 9 Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air dan pengaruh vasopresor dari sistem renin angiotensin. 12,13 Gagal jantung kongestif Gagal jantung kongestif akibat hipertensi yang tidak dikelola dengan baik atau kelebihan cairan dan natrium, tidak akan terjadi sampai tahap lanjut GGK, namun pada beberapa anak dapat terlihat gejala yang membutuhkan terapi diuretik atau dialisis. 9 Ensefalopati Hipertensi Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat menyebabkan nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang. Krisis hipertensi sering terjadi pada GGT. 1 Diagram Gagal Ginjal Kronik pada Anak Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang dapat memberikan nilai yang bermanfaat untuk mencari penyebab GGK, namun pada beberapa anak kadang-kadang memerlukan pemeriksaan khusus. Tabel 5 Tata laksana Pada tahapan penyakit ginjal yang sudah kronik, penyakit primer yang mendasarinya umumnya sudah tidak ada lagi bahkan awalnya sering tidak diketahui, sehingga penanggulangan terhadap faktor ini tidak dapat Gambar 3 Gambar 3 Gambar 3 Gambar 3 Gambar 3. Patogenesis Osteodistrofi Renal pada Gagal Ginjal Kronik. Dikutip dengan modifikasi dari: Kher KK. Chronic Renal Failure. Clinical Paediatric Nephrology, 1992 Penurunan 1,25-(OH)2D3 Penurunan Resorpsi Tulang Gangguan Fungsi Kalsifikasi Osteoid Rikets Retensi Fosfat Peningkatan fosfor serum Penurunan Kadar kalsium serum PTH Peningkatan sekresi hromon Peningkatan Resorpsi Tulang Osteitis Fibrosa GAGAL GINJAL KRONIK 77 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 dilakukan lagi. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap perburukan seperti proteinuria, hipertensi, dan asidosis metabolik, namun hanya penanggulangan terhadap proteinuria dan hipertensi yang terbukti secara klinis bermanfaat dalam menghambat progresivitas. Secara garis besar penatalaksanaan dibagi menjadi 2 yaitu: 9 Tata laksana sebelum terjadi gagal ginjal terminal Tata laksana gagal ginjal terminal Tata laksana sebelum terjadi gagal ginjal terminal Tata laksana pada keadaan ini berupa pengobatan konservatif yang bertujuan, - Pasien merasa normal (feel normal), yaitu tidak mengalami gejala uremia seperti mual, muntah - Menjadi normal (be normal), yaitu menjadi seperti teman-temannya dan mempunyai cukup energi untuk ikut dalam kegiatan di sekolah atau aktivitas sosial sepenuhnya - Memelihara pertumbuhan normal 9 Selain itu tujuan pengobatan konservatif adalah memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, meng- hilangkan berbagai faktor yang memberatkan, dan bila mungkin memperlambat progresifitas gagal ginjal. 19 Pengobatan konservatif sudah mulai dilakukan apabila ginjal mengalami penurunan LFG < 50/m/1,73 m 2 . Untuk penderita GGK dengan LFG < 30/m/ 1,73 m 2 terapi konservatif dilakukan lebih ketat lagi dan sebaiknya dikelola oleh suatu tim yang meliputi pediatri nefrologis, perawat yang terlatih dibidang ginjal anak, ahli gizi, guru, pekerja sosial, psikolog atau psikiater serta penderita dan keluarganya. 9,11 Tata laksana Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada penderita gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan karena anoreksia akibat uremia, dan asidosis kronik, gangguan rasa kecap akibat defisiensi zink, status katabolisme dan muscle breakdown, abnormalitas endokrin. 10 Prinsip peng- obatan dietetik pada pasien GGK adalah: 7,20 Mencukupi semua nutrien esensial yang adekuat termasuk vitamin Mencukupi kalori yang adekuat dalam bentuk karbohidrat dan lemak Mencukupi protein berkualitas tinggi untuk Tabel 5. Pemeriksaan khusus untuk mencari penyebab GGK a. Laboratorium - Adanya peningkatan ureum dan kreatinin serum - Hiperkalemia, bikarnonat serum yang rendah, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hiponatremia (pada penderita GGT dengan kelebihan cairan) - Hipoalbumin pada pasien nefrotik dan atau malnutrisi - Anemia normokrom normositer - Urinalisis. Bila tampak dipstik proteinuria, maka kecurigaan pada masalah glomerular atau tubulointerstitial - Sedimen urin adanya sel darah merah, mengarah pada golerulonefritis proliveratif. Piuria dan kast leukosit mengarah pada nefritis interstitial atau infeksi traktus urinarius - Tampungan urin untuk rasio total protein terhadap kreatinin memberikan perkiraan dari ekskresi urin selama 24 jam. Bila nilai > 2 gram perlu dipertimbangkan adanya masalah pada glomerulus, dan bila nilai > 3,0-3,5 gram dipertimbangkan adanya masalah nefrotik, dan bila < 2 gram merupakan karekteristik dari masalah tubulointerstitial - Tampungan urin selama 24 jam untuk menilai protein total dan klirens kreatinin - Elektroforesis protein serum dan protein urin untuk menyaring dalah suatu kemungkinan protein monoknonal yang merepresentasikan suatu multipel mieloma - ANA, DNA double-stranded untuk menyaring kemungkinan adanya SLE b. Radiologis - Foto polos abdomen, terutama untuk melihat adanya batu radioopak - USG ginjal - Skanning radionukleoid ginjal (untuk melihat stenosis arteri renalis) - CT scan - MRI - VCUG (voiding cystourethrogram) Kriteria standar untuk diagnosis VUR. Dikutip dengan modifikasi dari Verelli M. Chronic Renal Failure. eMedicine, 2004. www.eMedicine.com 4 78 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 mempertahankan keseimbangan nitrogen positif dan mendorong kecepatan pertumbuhan Mengurangi terjadinya akumulasi nitrogen sampai seminimal mungkin untuk menghindarkan akibat uremia, misalnya kelainan hematologis dan neurologis serta mencegah terjadinya osteodistrofi Mengurangi beban asam yang harus diekskresi oleh ginjal Menghindarkan asupan elektrolit yang berlebihan. Untuk menjamin kelangsungan dan mencegah penurunan kecepatan pertumbuhan, jumlah minimal kalori sebesar 100% dari RDA (recommended dietary allowance) untuk anak < 6 tahun dan sedikitnya 80% dari RDA untuk anak yang lebih besar. 10,17 Prinsipnya adalah kebutuhan karbohidrat dan lemak tidak dibatasi akan tetapi protein perlu dibatasi. 9,14 Biasanya sebagian besar kalori berasal dari karbohidrat 50-55%%, lemak 7-10% berupa lemak saturated, 15% lemak monounsaturated, dan 10% dari polyunsaturated, dan protein dibatasi hanya 10% dari total kebutuhan kalori. 17,20 Asupan protein merupakan modulator poten terhadap laju filtrasi ginjal sehingga pengurangan asupan protein diduga dapat memperlambat pro- gresifitas penyakit. 11 Membatasi asupan protein akan mengurangi penumpukan zat toksin uremik dan mengurangi progresifitas penyakit, akan tetapi protein dibutuhkan dalam penyediaan nutrisi untuk tumbuh kembang anak. 21 Sebagai gambaran, berdasarkan kidney/dialyse outcome quantitive initiative (K/DOQI) pada anak dengan GGK, restriksi protein diberikan dengan kadar 0,8-2,2 g/kg/hari tergantung usia, berat badan dan jenis kelamin. Energi yang diberikan berkisar antara 38-42 kkal/kg/hari pada anak usia 15- 18 tahun dan sebanyak 100 kkal/kg/hari pada usia 1- 3 tahun. 17 (Tabel 6) Pada anak dengan GGK sebaiknya 70 % asupan protein berasal dari makanan yang mengandung protein dengan nilai biologis tinggi seperti didapatkan pada telur, susu, daging, ikan dan unggas. 18 Penderita dengan LFG < 60 ml/menit/1,73m 2 harus sudah mulai dilakukan penilaian asupan protein dan energi serta status nutrisinya. Status nutrisi pada penderita penyakit ginjal kronis harus dimonitor dengan teratur. Pada penderita dengan LFG < 30 ml/menit/1,73m 2 dilakukan monitoring setiap 1-3 bulan dan pada penderita dengan LFG 60-30 ml/menit/1,73m 2 setiap 6-12 bulan. 21 Terdapat 3 tipe diet yang biasa dilakukan untuk mengurangi progresifitas penyakit ginjal yaitu diet yang mengandung protein dengan nilai biologis tinggi yang mengandung protein 0.6-0.8 g/kg/hari, diet yang mengandung kadar protein sangat rendah (protein hanya 50% dari RDA) disertai asam amino esensial (EAAs = essential amino acids) dan diet serupa yang ditambahkan alpha hydroxyketoanalogues, asam keton (KAs = ketoacids). Keuntungan dari EAAs dan Kas adalah dapat memperlambat progresifitas gagal ginjal. 11 Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam-Basa Koreksi Cairan Penderita dengan insufisiensi ginjal kronik dengan LFG 50-30 ml/m/1,73 m 2 terutama yang disebabkan Tabel 6.Kebutuhan Kalori, Protein, Natrium, Kalsium dan Fosfor yang Direkomendasikan pada Anak dengan Insufisiensi Ginjal Kronik Umur Energi Protein Natrium Kalium Kalsium Fosfor (Tahun) (kkal/kg) (g/kg) (mg) (mg) (mg) (mg) 0-0.5 115 2,2 230 650 360 240 0.5-1 105 2,0 500 850 540 360 1-3 100 1,8 650 1.100 800 800 3-6 85 1,5 900 1.550 800 800 6-10 85 1,5 1.200 2.000 800 800 10-14 (Laki laki) 60 1,0 1.800 3.025 1.200 1.200 10-14 (Perempuan) 48 1,0 1.800 3.025 1.200 1.200 14-18 (Laki-laki) 42 0,85 1.800 3.025 1.200 1.200 14-18 (Perempuan) 38 0,85 1.800 3.025 1,200 1.200 Dikutip dengan modifikasi dari Chan, dkk, 2002. 17 79 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 pyelonefritis, displasia ginjal dan kista ginjal, biasanya terjadi poliuria sehingga seringkali penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat. Pada keadaan ini pasien membutuhkan minum yang cukup untuk menjaga keseimbangan cairan. Insufisiensi ginjal kronik yang disebabkan glomerulonefritis kronis, pada stadium dini dapat menunjukkan gejala oliguria. Keadaan ini perlu perhitungan keseimbangan cairan untuk mencegah kelebihan cairan. Koreksi Natrium Diet natrium umumnya tidak perlu dibatasi pada penderita GGK sampai laju filtrasi glomerulus tinggal 10%. Penderita dengan insufisiensi ginjal kronik sampai dengan LFG 30 ml/m/1,73 m 2 dengan pengeluaran natrium yang banyak terjadi hiponatremia dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini penderita membutuhkan minum yang cukup dan suplementasi natrium (4-10 mEq/kgBB/hari) dalam makanannya untuk menjaga keseimbangan cairan. 11 Sebaliknya pada pasien yang disertai dengan hipertensi, edema atau gagal jantung bendungan, harus dilakukan pembatasan natrium dan pemberian diuretik seperti furosemid (1-4 mg/kgBB/hari). Umumnya diet rendah garam pada pasien gagal ginjal kronik tanpa hipertensi dan atau sembab adalah 2 g/hari (80 mEq/ kgbb/hari). Bila disertai sembab, asupan garam dikurangi menjadi 1 mEq/kgbb/hari dan bila ditemukan oliguria atau anuria harus diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hari. 11,12,17 Koreksi Kalium Hiperkalemia biasanya timbul apabila fungsi ginjal sudah sangat menurun. Tindakan utama untuk mencegah terjadinya hiperkalemia adalah dengan membatasi makanan yang mengandung kalium tinggi seperti jeruk, pisang, tomat, kentang, coklat. - Bila kadar kalium > 6 mEq/l tanpa disertai gejala klinis, cukup dengan koreksi makanan dan atau pemberian polysturene sulfonate (kayexalate 1 g/ kgBB) sampai kadar kalium < 6 mEq/l. Di Indonesia tersedia Kalitake, yaitu suatu exchange resin antara kalium dan kalsium yang dapat diberikan secara oral atau suppositoria diberikan 1-2 kali/hari, dilarutkan dalam 30 ml air. - Bila kadar kalium > 7 mEq/l dan disertai kelainan EKG (gelombang T meninggi dan QRS kompleks melebar) harus diberikan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,2-0,5 ml/kgBB diberikan secara intravena perlahan-lahan selama 10-15 menit, selama pemberian kalsium glukonas jantung harus dimonitor. Penderita juga dapat diberikan natrium bikarbonas 7,5% sebanyak 3 mEq/KgBB secara intravena. Bila cara ini tidak efektif, diberikan insulin dan larutan glukosa. Tata laksana Asidosis Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan LFG < 30 ml/m/1,73 m 2 . 12 Menurut kidney foundation (K/DOQI 2000), untuk memper- tahankan pertumbuhan anak secara adekuat maka kadar bikarbonat plasma harus dipertahankan diatas 22 mEq/l. 17 Peneliti lain menyatakan kadar bikarbonat plasma dapat dipertahankan antara 23-25mEq/l. 20 Untuk mengatasinya, berikan tablet bikarbonat (NaHCO 3 ) dengan dosis antara 1-5 mEq/kgBB/hari disesuaikan dengan beratnya asidosis. 1 tablet NaHCO 3 500 mg = 6 mEq HCO 3 - Pada asidosis berat dengan HCO 3 - < 8 mEq/l dapat dikoreksi dengan bikarbonat dosis 0,3 xkgBB x (12 - HCO 3 - serum) mEq/l intravena. 20 Tata laksana Hipertensi Hipertensi yang terkontrol dengan baik akan memperlambat progresifitas kearah gagal ginjal terminal.
Pengendalian hipertensi pada GGK dimulai dengan terapi non-farmakologi berupa restriksi garam (diet rendah garam), menurunkan berat badan dan olahraga. 23,24 Pengobatan farmakologis baru diberikan apabila timbul gejala, didapatkan adanya kerusakan organ terminal atau terjadi peningkatan tekanan darah secara cepat. Terapi farmakologis dipilih berdasarkan efek penurunan tekanan darah semaksimal mungkin dengan efek samping yang minimal. Untuk mencegah penurunan perfusi ginjal dan berkurangnya fungsi ginjal, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap sampai berada dibawah persentile ke-95 sesuai umur dan jenis kelamin. Obat-obatan yang sering dipakai adalah diuretika, beta-blockers, vasodilator, simpatolitik sentral, ACE Inhibitor, calcium channel blocker. 23 80 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 Pada awalnya diberikan diuretika untuk hipertensi sedang pada anak yang tanpa diserta kerusakan organ terminal yang jelas (hipertrofi ventrikel kiri dan atau retinopati). Tindakan farmakologik dimulai dengan pemberian diuretika. Tetapi pemberian diuretika pada penderita GGK dengan fungsi renal tinggal 30% (LFG < 30 ml/menit/1.73m 2 ) akan kehilangan efektifitasnya karena tidak mampu meningkatkan pengeluaran natrium pada nefron daerah distal dan akan me- ningkatkan kehilangan cairan. 16,22 Seringkali terdapat hipertensi yang tidak berhubungan dengan pening- katan volume intravaskular. Untuk kondisi tersebut pemberian ACE inhibitor (captopril, enalapril) merupakan pilihan utama. 21 Pemberian ACE Inhibitor lebih sering dipakai karena selain berfungsi untuk menurunkan tekanan darah juga mempunyai manfaat lain yaitu mencegah kelainan kardiovaskular, menurunkan proteinuria, mengendalikan penurunan LFG dan mencegah terjadinya progresifitas penyakit ginjal kearah GGT. 24 Tata laksana Anemia Terapi anemia yang efektif dapat mempengaruhi aktivitas, mengurangi mortalitas dan morbiditas, mencegah progresifitas insufisiensi ginjal dan memperbaiki risiko kardiovaskular. 24,25 Umumnya kadar Hb pada penderita GGK berkisar antara 6-9 mg/dl. 12 Penderita dengan LFG < 60 mL/m/1,73 m 2 harus mulai dievaluasi ke arah anemia. Bila kadar Hb turun berada < 6 mg/dl dapat diberikan transfusi PRC 10 ml/kgBB dengan hati- hati. Pemberian recombinant human erythropoietin (rhuEPO) Indikasi terapi eritropoietin apabila Hb < 10 gr/ dl dan penyebab anemia lainnya sudah disingkirkan. Syarat pemberiannya adalah bila feritin serum > 100 ug/l dan saturasi transferin > 20%. Untuk mencapai target Hb > 10 gr/dl atau Ht > 30% pada pasien hemodialisis, diberikan terapi eritropoietin 2000- 4000 IU (50-150 IU/kgBB) subkutan 2-3 kali seminggu selama 4 minggu. Dalam waktu 2-4 minggu diharapkan Hb naik 1-2 g/dl atau Ht naik 2-4%. 19,25 Tata laksana Osteodistrofi Ginjal Penanganan secara optimal osteodistrofi ginjal pada tahap awal gagal ginjal, akan menurunkan komplikasi tulang yang sedang tumbuh. Pencegahan yang paling penting adalah menghindarkan hiperfosfatemia, hipokalsemia dan penumpukan bahan toksis seperti aluminium. 26,27,28 Masukan fosfor dibatasi menjadi kurang lebih 800 mg/hari pada anak-anak. Fosfor hampir terdapat pada semua makanan dan tinggi kadarnya dalam daging dan susu. Diet ini tidak hanya berguna mengurangi pengaruh hiperparatiroid sekunder, tetapi juga dapat menurunkan kecepatan progresifitas gagal ginjal. 29 Pemberian fosfat binder untuk meningkatkan ekskresi fosfat melalui saluran cerna dengan pemberian kalsium karbonat oral dengan dosis 50 mg/kg BB/hari diminum bersama makanan. Kalsium karbonat adalah garam kalsium yang paling banyak digunakan. 28 Vitamin D, baik itu 1,25 (OH)D 3 atau dihydro- tachysterol harus sudah mulai diberikan bila LFG menurun < 50ml/m/1,73 m 2 . 11,16 Pengobatan dimulai dari pemberian 1 kapsul (0,25) perhari dalam bentuk dihidroksi vitamin D aktif (Rocaltrol) atau dihydro- tachysterol (Roxane) 0,05-0,20mg/hari. Bila dipakai vitamin D 3 dosis yang digunakan adalah 5000-10.000 i.u/hari. Pemberian dosis tersebut dapat ditingkatkan secara progresif sampai kadar kalsium serum mencapai normal dan kadar PTH 200-400 pg/ml serta radiologis memperlihatkan perbaikan. 12 Paratiroidektomi dapat dilakukan pada keadaan pasien dengan hiperparatiroid sekunder yang berat, namun komplikasinya dapat terjadi hipokalsemia. Keadaan ini dikenal dengan hungry bone syndrome, yang disebabkan oleh pengambilan kalsium tulang rangka yang tinggi yang dapat terjadi sewaktu-waktu akibat kadar serum PTH menurun pada para- tiroidektomi. Kalsium serum menurun 24-36 jam setelah operasi, sehingga perlu diberikan dosis harian kalsitriol antara 0,5-1,0 mg selama 2-6 hari sebelum operasi, untuk mencegah hipokalsemia. Bila kadar serum menurun di bawah 8,5 mg/dl, infus kalsium glukonas harus diberikan. Hipofosfatemia dapat terjadi, tetapi suplemen fosfor tidak diberikan karena mungkin dapat mengakibatkan hipokalsemia, kecuali bila kadarnya kurang dari 20 mg/dl. Secara ideal kadar fosfat serum harus dipertahankan antara 3,5- 4,5 mg/dl untuk mencegah penurunan kadar kalsium serum. 29 81 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 Memaksimalkan Pertumbuhan Gangguan pertumbuhan dapat dihambat dengan mencegah terjadinya asidosis, osteodistrofi ginjal dan melakukan konsultasi gizi untuk mendapatkan asupan nutrisi yang optimal. Akhir akhir ini dicoba pemberian Human recombinant growth hormone (rhGH) dan ternyata memberikan hasil yang efektif untuk mempercepat pertumbuhan anak dengan GGK 20,26,28 Dosis pemberian rhGH adalah 0,35 mg/kg atau 30 U/m 2 perminggu. 11,20 Penelitian tahun1989 terhadap 5 orang anak penderita gagal ginjal kronik dengan klirens kreatinin 5-30 ml/m/1,73 yang menerima kadar rhGH dengan dosis suprafisiologis (0,1,25 mg/kg BB sebanyak 3 kali seminggu selama satu tahun, kecepatan pertumbuhan meningkat dari 4,9 + 1,4 cm pertahun menjadi 8,9 + 1,2 cm/tahun, 3 dan dengan pemberian rhGH dengan dosis 28 IU/m 2 /minggu menghasilkan peningkatan percepatan pertumbuhan 4 cm per tahun. 31 Terapi pemberian rhGH dapat dihentikan apabila anak sudah mencapai persentil ke-50 dari tinggi midparental atau anak telah menerima transplantasi ginjal. 17 Tata laksana Gagal ginjal Terminal Prinsip tata laksana terapi ginjal pengganti adalah terapi pengganti ginjal yaitu dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Dialisis 32 Dasar fisiologis dialisis merupakan pemisahan zat-zat terlarut yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi. Difusi, merupakan pergerakan zat-zat terlarut dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke larutan berkonsentrasi rendah. Mekanisme difusi di- pengaruhi oleh perbedaan konsentrasi dalam kedua larutan tersebut berat molekul zat terlarut dan resistensi membran semipermeabel. Ultrafiltrasi, adalah proses perpindahan air dan zat- zat terlarut yagn permeabel karena adanya perbedaan antara tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik - Ultrafiltrasi hidrostatik Pergerakan air terjadi dari kompartemen bertekanan hidrostatik tinggi ke kompatemen yang bertekanan hidrostatik rendah. Ultra- filtrasi hidrostatik tergantung pada tekanan transmembran dan koefisien ultrafiltrasi - Ultrafiltrasi osmotik Perpindahan air terjadi dari kompartemen yang bertekanan osmotik rendah ke kompatemen yang bertekanan osmotik tinggi, sampai tercapai keadaan tekanan osmotik di dalam kedua kompartemen tersebut seimbang. Dialisis Peritoneal akut Dialisis peritoneal akut dilakukan pada penderita dengan gagal ginjal kronik yang menunjukkan tanda- tanda akut (acute on chronic renal failure). Dialisis peritoneal sangat berguna mengatasi keadaan darurat, sehingga memungkinkan tindakan diagnostik dan mengurangi kelainan yang bersifat menetap. Dialisis peritoneal juga dapat dilakukan pada pasien yang sedang menunggu transplantasi ginjal. 33 Indikasi dialisis peritoneal : 33 - Indikasi klinis Sindrom uremia yang mencolok, yaitu muntah-muntah, kejang, penurunan kesadar- an sampai koma Kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung, edema paru dan hipertensi Asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena - Indikasi biokimiawi Ureum darah > 200-300 mg/dl atau kreatinin 15 mg/dl Hiperkalemia > 7 mEq/L Bikarbonas plasma < 12 mEq/l Kejadian obstruksi kateter pada dialisis peritoneal meningkat pada keadaan peritonitis yang merupakan komplikasi dialisis peritoneal. Hal ini karena adanya hiperkoagulasi dan hipofibrinolisis pada keasaan peritonitis. 34 CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis) CAPD memakai peritoneum selama 24 jam sehari, dan penggantian dialisat dilakukan 4-5 kali perhari oleh orang tua atau keluarga pasien atau pasien itu sendiri. 10 CAPD merupakan alternatif pengobatan berdasarkan 3 alasan, yaitu: 32 Anak bertempat tinggal jauh dari unit ginjal 82 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 sehingga transportasi merupakan suatu masalah Anak yang banyak menjalani hemodialsis yang disebabkan oleh tingginya pembentukan metabolit toksin dan juga lamanya menunggu untuk dilakukan transplantasi. Selain itu, makin sering dilakukan hemodialisis maka akan meningkat masalah akses vaskular dan terganggunya studi anak Teknik hemodialisis pada bayi dan anak sukar. Hemodialisis Hemodialisis kronik yang dilakukan pada anak usia < dari 2 tahun cukup efektif dan aman sebagai terapi ginjal pengganti, namun akses vaksular merupakan keterbatasan untuk dilakukan dalam jangka waktu lama. 35 Transplantasi Ginjal Transpantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginjal terminal karena memberikan potensi untuk rehabilitasi yang terbaik mendekati kehidupan normal. Secara keseluruhan, di Eropa pada periode 1984-1993, hampir 21% penanaman pertama dilakukan pada penderita usia < 21 tahun berasal dari donor hidup. Di Amerika Utara sekitar 50% penanaman dilakukan pada anak dan remaja usia < 21 tahun antara tahun 1987-2000. Dinegara berkembang hasil jangka panjang transplantasi renal dari ginjal keluarga masih suboptimal, kematian karena septikemia, 40% terbukti mengalami infeksi, 45,8% mengalami rejeksi akut. 36 Usia optimal untuk dilakukan transplantasi ginjal pada anak gagal ginjal terminal masih menjadi perdebatan. Disebutkan bahwa tidak ada usia minimum untuk menjalani transplantasi ginjal karena keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh usia saat transplantasi saja melainkan faktor-faktor lainnya seperti ukuran ginjal donor, asal ginjal donor dan fungsi ginjal serta follow up selanjutnya dengan imunosupresif. 37 Obat-obat imunosupresif harus diberikan pada penderita yang menjalani transplantasi ginjal. Umumnya mereka mendapat 3 macam obat yaitu azatioprin, metil prednisolon, dan cyclosporin A. Pencegahan Deteksi dini dan pengobatan segera penyakit yang mendasari secara adekuat adalah hal yang dapat mencegah terjadinya gagal ginjal kronik. Pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik belum ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit primernya. Beberapa contoh pengobatan kausal adalah upaya untuk mengatasi obstruksi saluran kemih, mengendalikan hipertensi, mengkoreksi gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit, mengobati penyakit autoimun dengan obat imunosupresan, mengatasi infeksi. Dengan terapi segera dalam 24 jam onset demam pada penderita infeksi saluran kemih dapat menghindari kerusakan ginjal. 5,38 Pemakaian obat-obat analgesik ataupun nefrotoksik lainnya secara tepat dan hati-hati merupakan salah satu pencegahan terjadinya gagal ginjal kronik dan pemakaiannya harus segera dihentikan saat diketahui adanya tanda penurunan fungsi ginjal, atau bila tidak dapat dihindari adalah dengan dilakukan penyesuaian dosis. 5,13 Prognosis Kelangsungan hidup anak penderita gagal ginjal terminal semakin meningkat setelah menjalani transplantasi. Mortalitas hanya 9% yang meninggal saat dianalis, dan 5 year survival rate penderita yang mendapat transplantasi ginjal dari donor hidup sebesar 80,8% pada anak usia < 1 tahun, dan 97,4% pada anak usia 6-10 tahun. Rehabilitasi setelah menjalani transplantasi pada umumnya baik. 9 Ringkasan Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitias pada anak. Jalan keluar terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi gagal ginjal kronik, yaitu dengan deteksi dan intervensi dini penyebab penyakit primernya serta menghindari obat- obatan nefrotoksik, juga dengan melakukan pola hidup yang baik seperti mengatur diit yang benar, olahraga teratur. Apabila gagal ginjal kronik telah terjadi, maka usaha yang dilakukan adalah memperlambat pe- nurunan fungsi ginjal selama mungkin dengan pengaturan nutrisi terutama asupan protein dan kalium, natrium, mengendalikan hipertensi dan kontrol secara teratur untuk memonitor perkembangan fungsi ginjal. Penggunaan obat yang akhir-akhir ini banyak dipakai, seperti recombinant human erytro- poietin dan human growth hormone, CAPD dan 83 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 transplantasi ginjal memberikan harapan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa depan, meskipun masih merupakan kendala sehubungan dengan biaya yang mahal. Daftar Pustaka 1. Kher KK. Chronic renal failure. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Clinical Pediatric Nephrology. New York:Mc Graw-Hill Inc,1992. h. 501-41. 2. Anochie I, Eke F. Chronic renal failure in children: a report from Port Harcourt, Nigeria (1985-2000). Pediatr Nephrol, 2003;18:692-5. 3. Seikaly MG, Ho PL, Emmett L, Fine RN, Tejani A. Chronic Renal Insufficiency in Children: The 2001 Annual Report of the NAPRTCS. Pediatr Nephrol 2003; 18:796-804. 4. Verelli M. Chronic Renal Failure. eMedicine, 2004. www.eMedicine.com 5. Trihono PP. Terapi konservatif untuk mencegah penurunan fungsi ginjal yang progresif pada gagal ginjal. Dalam: Adirawati, Bahrun D, Herman E, Prambudi, penyunting. Naskah lengkap sinas nefrologi anak VIII Ikatan Dokter anak Indonesia. Palembang 23-24 Juni 2001.163-72. 6. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI, 2002:509-30. 7. Markum MS, Ardaya. Progresivitas penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I, Bawazier LA, Mansjoer A, penyunting. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah tahunan Ilmu penyakit Dalam. Jakarta:FKUI,1999.63-70. 8. Lagomarsimo E, Valenzuela A, Cavagnaro F, Solar E. Chronic renal failure in pediatrics 1996 Chilean survey. Pediatr Nephrol, 1999;13:288-91. 9. Ri dgen SPA. Chroni c Renal Fai l ure. Dal am: Postlethwaite R, Web N, penyunting. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. New York:Oxford Univ.Press, 2003. h. 428-45. 10. Ardissino G. Epidemiology of Chronic Renal Failure. Dalam: Cochat P, penyunting. European Society for Paediatric Nephrology. ESPN Handbook, 2002.h.369- 72. 11. Wassner SJ, Baum M. Physiology and management. Dalam: Barratt TM, Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi ke-4. Baltimore, Maryland : Lippincott Williams & Wilkins, 1999. h. 1155-76. 12. Bergstein JM. Chronic renal failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, JensonHB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics.Edisi ke-16 Philadelphia, London: W B Saunders, 2000. h. 1609-11. 13. Fored CM, Ejerblad E, Lindblad P, Fryzek JP, Dickman PW, Signorello LB, dkk. Acetaminophen, Aspirin, and Chronic Renal Failure. N Engl J Med 2001; 345(25):1801- 8. 14. Wilson LM. Fungsi Ginjal Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM, penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses penyakit (Clinical Concept of Disease Processes). Edisi ke-4. Jakarta:EGC,1995:769-94. 15. Remuzzi G, Bertani T. Pathophysiology og Progressive Nephropaties. N Eng J Med,1998. 16. Soares CMB, Oliveira EA, Diniz JSS, Lima EM, Vasconcelos MM, Oliveria GR. Predictive factors of progression of chronic renal insufficiency: a multivariate analysis. Pediatr Nephrol, 2003;18:371-7. 17. Wilson LM. Sindrom Uremik. Dalam: Price SA, Wilson LM, penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis proses- proses penyakit (Clinical Concept of Disease Processes). Edisi ke-4. Jakarta:EGC,1995:848-61. 18. Chan JC, Williams DM, Roth KS. Kidney Failure in infants and children. Pediatr rev 2002;23:2 19. Prodjosudjadi W, Lydia A. Penatalaksanaan Anemia pada Gagal Ginjal Kronik. Simposium Current Diagnosis and Treatment 2001. 20. Weiss RA. Dietary and pharmacologic treatment of chronic renal failure a. Dalam: Edelmann CM Jr, penyunting. Pediatric Kidney Disease. Edisi ke-2. Bosston: Little Brown & Co, 1992;815-23. 21. Eknoyan G, Levin N. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kid Dis: 2002;39:2. 22. Kohaut EC. Chronic renal failure. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB. Oskis Pediatrics Principles and Practice. Edisi ke-3. Philadelphia, Pennsylvania: Lip pincott Williams & Wilkins; 1999. h. 1568-71. 23. Feld LG, Lieberman E, Mendoza SA, Springate JE. Management of hypertension of. Child with chronic renal disease J Pediatr 1996;129:S18-S26. 24. Pennel JP. Optimizing medical management of patients with pre-end-stage renal disease. Am J Med 2001;111;7. 25. Kausz AT, Obrador GT, Pereira BJ. Anemia management in patients with chronic renal insufficiency. Am J Kid 84 Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004 Dis: 2000;36:6 26. Salusky IB. Goodman WG, Kuizon BD. Implication of intermittent calcitriol therapy on growth and secondary hyperparathyroidism. Pediatr Nephrol, 2000;14:641-5. 27. Sanchez CP. Modulation of endochondral bone formati on: rol e of growth hormone, 1, 25- dihydroxyvitamin D and hyperparathyroidism. Pediatr Nephrol, 2000;11:646-9. 28. Hruska K. Pathophysiology of renal osteodystrophy. Pediatr Nephrol,1995: 636-40. 29. Papadopoulou ZL. Chronic Renal Failure. Dalam: Barakat AY, penyunting. Renal disease in children clinical evaluation and diagnosis.New York: Springer-Verlag, 1990:286-303 30. Warady B, Kathy J. New hormones in the therapeutic arsenal of chronic renal failure : Growth Hormone and erythropoietin. Pediatr Clin North Am 1995;42 :1551- 72. 31. Vimalachandra D, Craig JC, Cowell CT, Knight JF. Growth hormone treatment in children with chronic renal failure : A meta-analysis of randomized controlled trials. J Pediatr 2001;139:561-567. 32. Sudjatmiko S, Oesman O. Hemodialisis. . Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI, 2002. h. 615-27. 33. Damanik MP. Dialisis Peritoneal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI, 2002. h. 594-605. 34. de Boer AW, Levi M, Reddingius, Willems JL, van den Bosch S, Schder et al. Intraperitoneal hypercoagulation and hypofibrinolysis is present in childhood peritonitis. Pediatr Nephrol, 1999;13:284-7. 35. Shroff R, Wright E, Ladermann S, Hutchinson C, Rees L. Chronic hemodyalisis in infants and children under 2 years of age. Pediatr Nephrol,2003;11:378-83. 36. Gulati S, Kumar A, Sharma RK, Gupta A, Bhandari M, Kumar A, Srivastava A. Outcome of pediatric renal transplansts in developing country. Pediatr Nephrol,2004;19:96-100. 37. Humar A, Arrazola, Mauer M, Matas AJ, Najarian JS. Kidney transplantation in young children: should there be a minimum age? Pediatr Nephrol,2001;16:941-5. 38. Hiraoka M, Hashimoto G, Tsuchida S, Tsukahara H, Ohshima Y, Mayumi M. Eaarly treatment of urinary infection prevents renal damage on cortical scintigraphy. Pediatr Nephrol,2003;18:115-8.