You are on page 1of 18

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kepada tuhan YME, karena atas berkat dan rahmatnya kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan tujuan penulisan ini adalah Untuk mengetahui
pengertian respiratory distress syndrome (RDS) dan untuk melengkapi salah satu tugas mata
kuliah asuhan kebidanan neonates bayi dan balita.
Dalam penulisan ini kami bekerja sama menyelesaikan makalah ini dengan membahas
tentang RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS), kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan ini.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih, semoga dengan penulisan makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah ilmu pengetahuan.






Bogor, 28 Maret 2012


Penyusun


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Patofisiologi
2.4 Pencegahan RDS
2.5 Manifestasi Klinis
2.6 Peran Bidan Terhadap RDS
2.7 Klasifikasi Gangguan Nafas
2.8 Penunjang / Diagnostik
2.9 Penatalaksanaan
2.10 Komplikasi Penyakit
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
DEPARTEMEN Kesehatan (Depkes) mengungkapkan rata-rata per tahun terdapat 401
bayi baru lahir di Indonesia meninggal dunia sebelum umurnya genap 1 tahun. Data bersumber
dari survey terakhir pemerintah, yaitu dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (SDKI).
Berdasarkan survei lainnya, yaitu Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi
baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian
balita (AKB). Setiap tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam
rentang waktu 0-12 hari pasca kelahirannya. Parahnya, dalam rentang 2002-2007 (data terakhir),
angka neonatus tidak pernah mengalami penurunan. Penyebab kematian terbanyak pada periode
ini, menurut Depkes, disebabkan oleh sepsis (infeksi sistemik), kelainan bawaan, dan infeksi
saluran pemapasan atas.
Selaras dengan target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah
mematok target penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000
kelahiranhidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. AKB di indonesia
termasuk salah satu yang paling tinggi di dunia. Hal itu tecermin dari perbandingan dengan
jumlah AKB di negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 10per 1.000 kelahiran
hidup dan Singapura dengan 5 per 1.000 kelahiran hidup.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Badriul Hegar mengatakan
banyak faktor yang menyebabkan angka kematian bayi tinggi. Antara lain, faktor kesehatan
anak, lingkungan seperti keadaan geografis, dan faktor nutrisi.Bisa dicegah Menurut Kirana,
peran puskesmas dan posyandu sejatinya menjadi kunci untuk menekan kejadian AKB.
Antara lain menurunkan angka kematian anak balita sebesar 2/3 dalam kurun waktu
1990-2015. Pada tahun 2015 diharapkanangka kematian bayi sebesar 23 bayi per 1.000 kelahiran
hidup dan 32 anak balita per 1.000kelahiran hidup
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Badriul Hegar mengatakan,
penyebabkematian bayi berusia di bawah satu bulan, adalah sekitar 29 % disebabkan berat badan
rendah, 30 % gangguan pernapasan, dan sekitar 10 % masalah nutrisi. Dia berpandangan, guna
menekan angka kematian bayi dan anak balita, yang terpenting ialah upaya preventif dan
promotif.
Usaha promotif antara lain melalui promosi penggunaan air susu ibu, nutrisi adekuat,
kebersihan diri, dan lingkungan. Upaya preventif antara lain melalui imunisasi dasar. Selain itu,
perlu pula fasilitas pengobatan tingkat komunitas melalui fasilitas seperti puskesmas.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Sentra Laktasi Indonesia Pola pernafasan normal
adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada
inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja
secara pasif. Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang paling
sering adalah takipneu. Ganguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai
kelainan organic, trauma, alargi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru
lahir.
RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane disease
merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan pertukaran gas.
Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau komplikasi yang
dihasilkannya (Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).
Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid
dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi
hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang ini dari pelayanan NICU turun
menjadi 1%. Di Negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian
RDS.
Sedangkan angka kematian kematian bayi (infant mortality rate), yakni angka kematian
bayi sampai umur satu tahun, di Negara-negara maju telah turun dengan cepat dan sekarang
mencapai angka di bawah 20 pada 1000 kelahiran. Penurunan angka kematian prenatal
berlangsung lebih lambat, sebabnya ialah karena kesehatan serta keselamatan janin dalam
uterussangat tegantung dari keadaan dan kesempurnaan bekerjanya system dalam tubuh ibu yang
mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari mudhigah menjadi janin cukup
bulan.
Di Negara-negara maju kematian prenatal ini mencapai angka dibawah 25 per 1000
seperti telah dijelaskan, prematuritas memegang peran penting dalam hal ini. Selanjutny tidak
jarang bersama-sama dengan prematuritas terjadi factor-faktor lain seperti, kelainan congenital,
asfiksia neonatorum, insufisiensi plasenta, pelukaan kelahiran, dan lain-lain. Dua hal yang
banyak menentukan penurunan kematian prenatal ialah tingkat kesehatan serta gizi wanita dan
mutu pelayanan kebidanan yang tinggi di seluruh Negara.
1.2. TUJUAN PENULISAN
1.2.1. Tujuan Umum
Dapat menerapkan asuhan keperawatan anak yang aman dan efektif pada bayi baru lahir
yang beresiko tinggi (High Risk Newborn).
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kebutuhan dan masalah keperawatan bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
b. Mengetahui diagnosa keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
c. Mengetahui cara menyusun rencana keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI
Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda
takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk
pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan
besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA
(Stark 1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak nafas
berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi
oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata
pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya
hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress
syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama
akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak
menyisakan udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering
kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak, 2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan
dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.
(Dot Stables, 2005).









2.2. ETIOLOGI
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan,
makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan
pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum
berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada
kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH),

2.3. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi
untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian
distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan
desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik
karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan
bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran
hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai
membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini
adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia
(BPD).

2.4. PENCEGAHAN RDS
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi resiko
tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang
tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan
dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
Mencegah kelahiran < bulan (premature).
Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
Management yang tepat.
Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
Obat-obat tocolysis (-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus Contoh : Salbutamol (ex:
Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml) Untuk relaksasi uterus : 5 mg
salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10
50 g/menit dgn monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan
diturunkan atau obat dihentikan
Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg setiap 12 jam untuk
4 x pemberian)
Cek kematangan paru (lewat cairan amniotic pengukuran rasio lesitin/spingomielin : > 2
dinyatakan mature lung function)

2.5. MANIFESTASI KLINIS
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang
ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel
dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat
fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur
segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung,
grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama
setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS
yaitu :pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, kedua,
bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara
terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan
aerasi paru. ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih
opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. keempat,
seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :


0

1

2
Frekuensi
Nafas
< 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang dengan O
2
Sianosis menetap
walaupun diberi O
2

Air Entry Udara masuk Penurunan ringan udara masuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan stetoskop Dapat didengar tanpa
alat bantu

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe
Skor < 4 gangguan pernafasan ringan
Skor 4 6 gangguan pernafasan sedang
Skor > 7 Ancaman gagal nafas
(pemeriksaan gas darah harus dilakukan)




2.6 PERAN BIDAN TERHADAP RDS
Setiap bayi dengan gangguan pernafasan memerlukan penangan secara umum berupa :
1. Pemberian oksigen dengan aliran sedang.
2. Bila frekuensi pernafasan kurang dari 30 kali per menit, harus diobservasi ketat. Bila kurang dari
20 kali per menit setiap saat resusitasi bayi dengan menggunakan balon sungkup (Alat Balon-
Sungkup Alat kantong-sungkup terdiri atas sebuah kantong yang terhubungkan dengan sebuah
sungkup).
3. Bila apnu :
Stimulasi bayi untuk bernafas dengan menggosok-gosok punggung bayi selama 10 detik.
Bila belum mulai bernafas resusitasi bayi dengan menggunakan balon dan sungkup.
4. Indikasi penggunaan balon dan sungkup adalah apnu atau megap-megap, frekuensi jantung
kurang dari 100 kali per menit dan sianosis sentral persisten walaupun diberi aliran oksigen
bebas 100%. Periksa kadar glukosa darah bila kurang dari 45 g/dl, segera terapi sebagai
hipoglikemi.
5. Bila didapatkan tanda-tanda lainya misalnya: kesulitan minum, BBLR, tada-tanda kejang, sepsis
dan lain-lain, usahakan menentukan penyebab gangguan nafas ini sambil meneruskan pemberian
oksigennya.
2.7 KLASIFIKASI GANGGUAN NAFAS
Frekuensi nafas
(Pernafasan/menit)
Merintih saat ekspirasi
Retraksi dinding dada
Klasifikasi
60-90
60-90
>90
>90
-
+
-
+
Ringan
Sedang
Sedang
Berat

Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan
penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
a. Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir
tanpa gejala-gejala lain disebut Transient Tacypnea of the Newborn (TTN). Terutama terjadi
setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda
awal dari infeksi sistemik.
b. Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan
besar sepsis.
o Suhu aksiler <> 39C
o Air ketuban bercampur mekonium
o Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 C atau 37,5-39C. tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai
ulang setelah 2 jam:
Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika
untuk terapi kemungkinan besar seposis. Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu
kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai
kembali bayi setelah 2 jam
Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam,
terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan
kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika
tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali
tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap
tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
c. Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam pengamatan
ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar
sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan
salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada
perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
Fenobarbital
Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari
cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).

2.8 PENUNJANG / DIAGNOSTIK
1. Seri rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma dengan
overdistensi duktus alveolar.
2. Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
3. Data laboratorium
4. Profil paru,
untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin yang mempunyai
predisposisi RDS) Lecitin/Sphingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas
paru Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 mingguTingkat phosphatydylinosito
Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi
oksigen 92% 94%, pH 7,31 7,45
Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar yang rusak.
2.9 PENATALAKSANAAN
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi
masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi tidak
dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga kepatenan jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat

2.10 KOMPLIKASI PENYAKIT
2.10.1 Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :
1. kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang
tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis
yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah
leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan
jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
2.10.2 Komplikasi jangka panjang
Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan
penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka
panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya
masa gestasi.
2. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae
(Suryadi dan Yuliani, 2001).
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal,
maternal diabetes, seksio sesaria
Adapun Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang.
Adapun cara pencegahan RDS yang efektif yaitu : Mencegah kelahiran < bulan (premature),
Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, Management yang
tepat, Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM, Optimalisasi
kesehatan ibu hamil dan cek kematangan paru melalui cairan amnion.
Gejala klinikal yang timbul dari penyakit RDS yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur
segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung,
grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama
setelah lahir.
Adapun beberapa klasifikasi dari penyekit RDS ada 3 yaitu : gangguan pernafasan ringan,
gangguan pernafasan sedang dan gangguan pernafasan berat.
Beberapa tindakan untuk mengatasi kegawat daruratan pernafasan yaitu : Mempertahankan
ventilasi dan oksigenasi adekuat, Mempertahankan keseimbangan asam basa, Mempertahankan
suhu lingkungan netral, Mempertahankan perfusi jaringan adekuat, Mencegah hipotermia,
Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

3.2 SARAN
Kepada ibu hamil dianjurkan agar selalu menjaga kehamilannya dan memeriksakan kehamilannya
secara rutin kepada tenaga kesehatan agar dapat mengurangi penyakit kelainan bawaan pada
neonates dan apabila terdapat kelainan dapat di deteksi secara dini.
Hindari terjadinya kelahiran bayi premature karena bayi premature memungkinkan terjadinya
penyakit RDS terhadap bayi
Dan apabila pada ibu hamil dengan riwayat penyakit diabetes militus maka sebaiknya ibu
menjaga pola makannya terutama diet terhadap glukosa agar resiko terjadinya RDS pada bayinya
menurun.



DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders Elsevier : St.
Louis Missouri
Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.
Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.
http://www.scribd.com/doc/50783794/AKB-INDONESIA
Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2009

You might also like