You are on page 1of 20

Asuhan Keperawatan Cedera Saraf Perifer

Written By Saktya Yudha on Selasa, 17 Juni 2014 | 16.00




2.1 Definisi

Peripheral Nerve Injury atau cedera saraf perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan kerusakan saraf di luar otak atau sumsum tulang belakang. Cedera saraf perifer
biasanya disebabkan oleh trauma. Sebuah cedera saraf perifer terjadi ketika setiap saraf di tubuh
yang tidak di otak atau sumsum tulang belakang rusak.

Jika saraf perifer rusak kemudian ototdisuplai oleh saraf yang tidak menerima informasi dari
otak, maka organ yang hanya dipersarafi oleh saraf perifer menjadi lemah atau
lumpuh. Kerusakan saraf juga berarti bahwa otak tidak menerima informasi dari tubuh. Hal ini
menimbulkan bebrapa sensasi pada tubuh seperti mati rasa, kesemutan dan nyeri. Tidak seperti
tulang belakang, saraf perifer memilikikemampuan untuk disembuhkan.

Menurut WHO, technical report series 645, 1980 : batasan neuropati saraf tepi atau kematian
saraf perifer adalah kelainan menetap (lebih dari beberapa jam) dari neuron sumsum tulang,
neuron motorik batang otak bagian bawah, sensorimotor primer, neuron susunan saraf autonom
perifer dengan kelainan klinis, elektroneurografik dan morfologik

Salah satu contoh dari cedera saraf perifer adalah polineuropati. Polineuropati adalah neuropati
dengan lesi utama pada neuron. Pada umumnya polineuropati dapat menyebabkan kelainan
simetris dan bilateral pada sistem saraf tepi. Kelainan ini dapat berbentuk motorik, sensorik,
sensorimotor atau autonomik. Distribusinya dapat proksimal, distal atau umum. Polineuropati
mengakibatkan kelemahan atau paralyse pada beberapa bagian tubuh. Kerusakan ini dapat
disembuhkan seperti kerusakan pada sistem saraf perifer lainnya karena ujung saraf akson yang
rusak memiliki kemampuan untuk degenarasi aksonal.

2.3 Etiologi

1. 1. Secara langsung, akibat luka terbuka

2. 2. Secara tidak langsung karena peregangan

3. 3. Pada patah tulang atau dislokasi sendi

4. 4. Karena tekanan akibat pembidaian, pemasangan torniket atau tidakan pembalutan

5. 5. Iskemia pada emboli arteri atau sindrom kompartemen

6. 6. Penyuntikan yang mengenai saraf



2.4 Manifestasi Klinis

1. 1. Kausalgia yaitu nyeri hebat seperti terbakar, sepanjang distribusi serabut saraf yang
mengalami kerusakan persial.

2. 2. Hiperestesia

3. 3. Perubahan trofik pada kulit

4. 4. Hiperaktivitas vasomotor, hiperaktivitas kerja syaraf yang menimbulkan perubahan
pada diameter pembuluh darah, biasanya vasokontriksi.



2.5 Klasifikasi

Klasifikasi cedera saraf digambarkan oleh Seddon pada tahun 1943 dan oleh Sunderland pada
tahun 1951. Klasifikasi cedera saraf digambarkan oleh seddon neurapraxia terdiri dari,
aksonotmesis, dan neurotmesis. Sunderland memperluas sistem klasifikasi menjadi 5 derajat
cedera saraf.

1. Cedera saraf Tingkat pertama

Disebut juga neuropraxia, berupa kerusakan pada serabut myelin, hanya terjadi gangguan kondisi
saraf tanpa terjadinya degenrasi wallerian. Saraf akan sembuh dalam hitungan hari setelah
cedera, atau sampai dengan empat bulan.penyembuhan akan sempurna tanp ada masalah motorik
dan sensorik.

1. Cedera saraf tingkat dua

Disebut juga axonotmesis, terjadi diskotinuitas myelin dan aksonal, tidak melibatkan
jaringanencapsulating, epineurium dan perineurium, juga akan sembuh sempurna.
Bagaimanapun, penyembuhan akan terjadi lebih lambat daripada cedera tingkat pertama.

1. Cedera saraf tingkat tiga

Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson dan endoneurium. Cedera juga akan sembuh
dengan lambat, tetapi penyembuhannya hanya sebagian.penyembuhan akan tergantung pada
beberapa faktor, sepertisemakin rusak saraf, semakin lama pula penyembuhan terjadi.

1. Cedera saraf tingkat empat

Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, endoneurium dan perineurium. Cedera derajat
ini terjadi bila terdapat skar pada jaringan saraf, yang menghalangi penyembuhan.

1. Cedera saraf tingkat lima

Cedera ini melibatkan pemisahan sempurna dari saraf, seperti saraf yang terpotong. Cedera saraf
tingkat empat dan lima memerlukan tindakan operasi untuk sembuh.



Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf




















































Derajat cedera saraf


Myelin


Akson


Endoneurium


perineurium


epineurium



1. Neuropraksia


+/-


Tidak


tidak


tidak


tidak



1. Axonotmesis


Ya


Ya


tidak


tidak


Tidak


III


Ya


Ya


ya


tidak


Tidak


IV


Ya


Ya


ya


ya


Tidak


V. Neurotmesis


Ya


Ya


ya


ya


Ya





Tabel 2. Cedera saraf, penyembuhan dan tindakan bedah








































Derajat cedera saraf


Penyemban
spontan


Waktu penyembuhan


Tindakan
bedah

First neupraxia
Penuh
Berlangsung dalam hitungan hari smpai 4 bulan
setelah cedera

tidak

Second Axonotmesis
Penuh

Regenerasi terjadi kira-kira 1inci perbulan
tidak

Third
Parsial

Regenerasi terjadi kira-kira 1inci perbulan
ya

Fourth
Tidak ada

Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira-kira 1
inci per bulan

ya

Fifth Neurotmesis
Tidak ada

Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira-kira 1
inciper bulan.

ya



2.6 Komplikasi

1. Remisi spontan

2. Distrofi reflex simpatik Penyakit ini diyakini sebagai reaksi berantai abnormal dari
sistem saraf simpatik, yakni sistem tubuh yang mengatur aliran darah di kulit. Penyakit
ini secara spontan bisa hilang dengan sendirinya tapi kalau sudah timbul luar biasa
sakitnya.

3. Kontraktur miogen akibat paralisis otot sebagai akibat keterlambatan timbulnya
kontraktur atrogen

4. Penyakit kaki diabetic akinat anesthesia dan gangguan saraf autonom



2.7 Patofisiologi

Sistem saraf meliputi saraf perifer di wajah, lengan, kaki, badan, dan beberapa saraf kranial.
Sistem Ini berkomunikasi antara saraf otak dan otot, kulit, organ internal dan pembuluh darah.
Apabila sel saraf perifer mengalami kerusakan terutama pada selubung mielin, maka perjalanan
impuls dari sistem saraf pusat akan terputus dan tidak ada respon yang ditimbulkan oleh organ
efektor. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh Demyelination yakni, kehancuran atau hilangnya
selubung mielin.

Ketika myelin mengalami degradasi, konduksi sinyal di sepanjang saraf bisa terganggu atau
hilang dan saraf akhirnya layu. Sistem kekebalan mungkin memainkan peran penting dalam hal
ini terkait dengan penyakit yang diderita, termasuk peradangan dapat menjadi penyebab karena
produksi sitokin yang banyak melalui regulasi faktor nekrosis tumor (TNF) [3] atau interferon.



2.8 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik, meliputi :

1. Elektromiografi (EMG)

Elektromiografi dapat memberikan pemantauan secara berkesinambungan fungsi saraf kranial
dan perifer. Jika struktur saraf teriritasi saat manipulasi operasi, aktivitas elektromiografi akan
tampak pada otot yang diinervasi saraf tersebut. Iritasi ringan menyebabkan aktivitas EMG
transien sedangkan cedera yang lebih serius menyebabkan aktivitas EMG yang lebih panjang.
Elektrokauter dan irigasi cairan salin merupakan etiologi mayor interferensi EMG. Pemantauan
intraoperatif melalui EMG dapat digunakan untuk (1) mempreservasi fungsi nervus fasialis pada
tindakan operatif basis cranii, misalnya reseksi neuroma akustik, (2) memonitor fungsi nervus
kranialis yang menginervasi otot, yaitu nervus III, IV, VI, IX, X, XI, dan XII, (3) memonitor
fungsi medula spinalis dan akar saraf spinal saat operasi spinal. Elektroda diletakkan pada otot
yang diinervasi oleh saraf yang terancam cedera selama operasi. Pada operasi stabilisasi
vertebra, pedicle screwdapat distimulasi langsung untuk menentukan ada tidaknya penetrasi ke
kanalis spinalis. Penggunaan agen pelemas otot yang memblok neuromuscular
junction sebaiknya dikontrol sehingga tidak mempengaruhi interpretasi. Elektromiografi (EMG)
studi memungkinkan lokalisasi cedera saraf tepi dan memberikan informasi tentang prognosis.
Tes EMG terdiri dari dua bagian: studi konduksi saraf (baik motor dan sensorik) dan
pemeriksaan jarum elektroda. Studi ini idealnya harus dilakukan 3 minggu setelah cedera. EMG
Sebuah dilakukan jika pleksus saraf tepi atau cedera saraf akar diduga, untuk mengkonfirmasi
adanya cedera saraf, serta menilai keparahan dan lokasi. Studi-studi ini biasanya dilakukan oleh
ahli saraf.

2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)

Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera pleksus brakhial. Lesi
tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion dan tidak meluas kedaerah postganglion
berakibat hilangnya sensori distal lengkap dan tetap mempertahankan konduksi sensori distal.
Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan serabut sensori distal ganglion akar saraf tidak
berdegenerasi. Retensi konduksi sensori dari daerah anestetik dapat diperiksa dengan
merangsang jari pada distribusi C6 (jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jari tengah) dan C8-T1
(kelingking dan jari manis) dan pencatatan saraf median, radial dan ulnar diproksimal. Adanya
potensial aksi saraf sensori campuran memastikan cedera pre-ganglionik pada distribusi satu akar
atau lebih. Karena distribusi sensori akar didistal tumpang tinduh dengan satu atau lebih akar
lain, sulit menentukan dengan pemeriksaan ini bahwa satu akar, misalnya C6, adalah suatu
cedera preganglionik. Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan
SNAP pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada
tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP
apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena tidak
ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah pencatatan untuk hantaran ini: Penilaian
teliti akar sebelah atas dengan pencatatan SNAP tidak mungkin pada tingkat ini.

3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)

Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera, apakah praganglionik atau postganglionik,
pada lesi pleksus brakhial. Ia bernilai terbatas pada bulan-bulan
pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atas cedera brakhial
karena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik, stimulasi akar
proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial somatosensori diatas tulang belakang
servikal (SSP) dan membangkitkan (evoked) respons kortikal diatas kranium kontralateral
(ECR). Bila cedera praganglionik atau pra dan postganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan
didalam atau dekat foramen intervertebral, tidak akan
membangkitkan respons apapun. Reparasi jarang berhasil. Sayangnya, timbulnya SSP atau ECR
mungkin hanya memerlukan beberapa ratus serabut yang intak antara
daerah yang distimulasi dan daerah perekaman, hingga respons positif hanya memastikan
keutuhan minimal saraf atau akar spinal. ECR negatif lebih penting dari ECR positif.

4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP)

Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi lesi. Karena pelacakan yang ideal
untuk memutuskan apakah akan mereparasi saraf 8 minggu setelah cedera,
NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila dicurigai adanya neuroma yang parah pada
kontinuitas dan otot sasaran pertama berjarak lebih dari 3 inci
dibawahnya.

Hal penting pada perekaman NAP adalah:

1. Tampilan neuroma yang parah pada kontinuitas tidak perlu berhubungan dengan arsitektur
internal.

2. Bila akson mempunyai kemampuan melintas lesi, sudah dapat direkam oleh NAP jauh
sebelum akson mampu mencapai target.

3. Tehnik ini terutama berguna pada lesi saraf ekstremitas bawah dimana otot sasaran pertama
terletak 6-8 inci dibawah lesi. Jadi stimulasi saraf dan EMG tidak dapat memastikan hal ini untuk
6-8 bulan atau lebih, jadi penting bahwa rencana reseksi diambil sebelum masa tersebut.

Perekaman NAP juga sangat membantu menentukan perluasan lesi pleksus brakhial dan
memberikan indeks atas berapa banyak puntung proksimal dari lesi akan direseksi. Kebanyakan
cedera pleksus brakhial yang dipilih untuk operasi akan memiliki satu atau lebih elemen
keutuhan, namun dengan sejumlah variabel
kkerusakan intraneural. Perekaman NAP intrabedah membantu menentukan akan perlunya
reseksi. Disaat operasi, pengamatan terpenting adalah merekam ada atau tidaknya respons, bukan
bentuk atau bahkan kecepatannya. Respons NAP regeneratif adalah kecil dan biasanya lambat,
sedang yang diakibatkan adanya sisa bagian yang utuh mungkin kecil namun biasanya lebih
cepat atau mempunyai hantaran pada jangkauan normal. Bila cedera praganglionik tanpa cedera
postganglionik, perekaman yang lebih distal akan memperlihatkan penghantaran cepat, NAP
besar, tepat seperti mendiagnostik tiadanya SSP atau ECR bila akar distimulasi pada tingkat ini.

Pemeriksaan Radiologis

1. Sinar-X Tulang Belakang Servikal dll Fraktura tulang belakang servikal sering
berhubungan dengan cedera regang proksimal yang berat yang tidak dapat direparasi,
paling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan. Fraktura tulang lain
seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau iga, bila diamati memberikan perkiraan
kasar atas kekuatan yang menghantam bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu
membantu menentukan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih
proksimal dibanding sisi fraktura yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktura
humerus tengah terutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktura kominuta radius
dan ulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf median
dan ulner, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior. Komponen peroneal
saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secara khusus pada dislokasi atau cedera
panggul. Fraktura femur bawah dan fraktura tibial dan fibuler bisa mengenai saraf
peroneal dan/atau tibial. Sekali lagi, cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah
fraktura yang diperkirakan. Fraktura femur tengah bisa berkaitan dengan cedera regang
siatik lebih keproksimal pada tingkat bokong. Radiograf dada bisa menampakkan elevasi
diafragma yang tidak berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda prognosis
yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cedera tertutup, karena biasanya
berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher.

2. Mielografi

Bisa menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang pleksus brakhial
berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk lesi pleksus ditingkat infra klavikuler atau aksiler
(kebanyakan luka tembak pada pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang
servikal atau trayeknya supraklavikuler medial. Meningosel pada tingkat bersangkutan
menunjukkan tenaga yang cukup telah terjadi pada tingkat akar proksimal yang merobek
arakhnoid dan menyebabkan bocornya agen kontras. Ini tidak harus berarti bahwa akar
mengalami avulsi dari kord spinal. Lebih sering adanya meningosel menunjukkan walau akar
mungkin secara kasar masih utuh, terdapat kerusakan internal yang bermakna pada tingkat yang
sangat proksimal. Sejumlah pasien dengan kerusakan tingkat akar dimana tidak terdapat
meningosel (biasanya ditingkat akar yang lebih atas) dapat direparasi dengan baik, walau
terdapat meningosel pada akar lain (biasanya pada tingkat yang lebih bawah). Walau demikian,
bila terdapat meningosel, paling sering kerusakan pada proksimal akar, karenanya tidak dapat
direparasi. Temuan ini juga menjadikan bahwa kerusakan pada tingkat lain yang tidak dengan
adanya meningosel adalah sangat proksimal lebih mungkin. Mielografi modern dengan kontras
larut air bisa menampilkan akar-akar pada ruang subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena
dan sisi sehat menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap berguna membantu perencanaan
pada cedera pleksus.

1. Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)

Pemaparan tomografi terkomputer dengan kontras intra-tekal dimanfaatkan pada cedera regang
walau terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karena irisan
biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah akar pada setiap tingkat. Akibatnya,
mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis yang disukai.
Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI
ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya. CSS didalam meningosel dapat
tampak pada MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi.

1. Tes konduksi saraf

2. Nerve biopsi

3. Spinal tekan



Tes lainnya yang dilakukan tergantung pada penyebab yang dicurigai kondisi, dan dapat
mencakup x-ray, imaging scan, dan tes darah.



2.9 Penatalaksanaan

Dalam mengelola pasien dengan peripheral nerve injury perlu mengetahui mekanisme cedera,
respons patologis, dan kapasitas regenerasi yang akan terjadi. Rencana atas apakah akan
dilakukan operasi, bila akan dioperasi, dan apa yang dilakukan bila lesi terbuka berdasar pada
tidak hanya atas pengertian akan patologi pemulihan, namun juga akan beberapa hal yang
membatasi regenerasi neural dalam arti pemulihan fungsional praktis. Pemeriksaan klinis,
pemeriksaan elektrodiagnostik, dan pemeriksaan radiologis akan membantu dalam membuat
keputusan.

Penilaian Klinis

1. Pemeriksaan Motor

Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera saraf spesifik adalah tahap
terpenting dalam mengelola semua cedera saraf, adalah pemeriksaan teliti anggota, dengan
perhatian besar pada semua fungsi motor dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan
apakah kehilangan distal sisi cedera lengkap atau tidak. Hanya ini yang akan menjelaskan pada
pemeriksaan selanjutnya terjadi perubahan atau tidak. Pemeriksaan motor adalah cukup sebagai
bukti regenerasi bila pemulihan jelas. Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat juga
ditentukan dengan respons motor terhadap stimulasi. Stimulasi saraf terutama berguna dalam
pengenalan awal adanya pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. Pasien
dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi volunter pada otot peroneal dan tibial
anterior (eversi dan dorsifleksi kaki). Ini berlangsung beberapa minggu setelah perbaikan
elektrofisiologis yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf peroneal:

(1) tepat dibelakang kepala fibula, atau

(2) tepat didalam hamstring lateral, dimana batang saraf mudah dipalpasi. Penting pertama-tama
memastikan bahwa otot yang diamati berkontraksi pada distribusi dari saraf yang diharapkan
untuk distimulasi.

1. Tanda Tinel

Melakukan penekanan pada pertengahan ligamentum carpi transversum (volare). positif jika
timbul nyeri, yang berarti terdapat. penjepitan saraf (entrapment).Tanda Tinel positif hanya
menunjukkan regenerasi serabut halus dan tidak menunjukkan apapun tentang kuantitas dan
kualitas yang sebenarnya dari serabut yang baru.

Dsisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh tiadanya respons sensori distal (tanda Tinel
negatif) setelah waktu yang memadai telah berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6
minggu). Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis
dibanding tanda Tinel positif.

1. Berkeringat

Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut simpatis bermakna.
Pemulihan ini mungkin mendahului pemulihan motori atau sensori dalam beberapa minggu atau
bulan, karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan berkeringat tidak selalu berarti
akan diikuti fungsi motori atau sensori.

1. Pemulihan Sensori

Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi didaerah otonom
dimana tumpang tindih saraf berdekatan minimal. Daerah otonom saraf median adalah
permukaan volar dan dorsal telunjuk dan permukaan volar jempol. Saraf radial tidak mempunyai
daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan sensori pada distribusi ini, biasanya mengenai
sejumput daerah anatomis tertentu. Daerah otonom saraf ulnar adalah permukaan palmar 11
falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial adalah tumit dan sebagian telapak kaki,
sedang saraf peroneal adalah tengah dorsal kaki. Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada
daerah otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motori.

3.1.3 Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan paralisis ekstremitas.

2. Nyeri berhubungan dengan iritasi atau tekanan saraf/

3. Retensi urin b.d kerusakan neuromuskuler ( kehilangan sensasi dan refleks spfingter).

4. Resiko tinggi infeksi b.d ulkus pada kaki karena kerusakan pada sistem saraf.

5. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu.



3.1.4 Intervensi

1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan paralisis ekstremitas.

Tujuan : Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
sakit atau kompensasi

Kriteria hasil : Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan dilkukannya
kembali aktivitas.
























Intervensi Rasional
Letakkan pasien pada posisi tertentu,
untuk menghindari kerusakan karena
tekanan.

Ubah posisi pasien secara teratur dan
buat sedikit perubahan posisi antara
waktu perubahan posisi tersebut
Perubahan posisi yang teratur
menyebabkan penyebaran terhadap
berat badan dan meningkatkan
sirkulasi pada seluruh bagia tubuh.
Jika ada paralisis atau keterbatasan
kognitif pasien harus diubah
posisinya secara teratur dan posisi
dari daerah yang sakit hanya dalam
jangka waktu yang sangat terbatas.
Berikan perawatan kulit dengan
cermat, masase dengan pelembab,
ganti pakaian yang basah, dan
pertahankan pakaian tersebut tetap
bersih dan bebas dari kerutan.
Meningkatkan sirkulasi dan
elastisitas kulit dan menurunkan
resiko terjadinya ekskoriasi kulit.
Periksa kembali kemampuan dan
keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi
Mengidentifikasi kemungkinan
kerusakan secara fungsional dan
mempengarruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan
Ajarkan dan motivasi klien untuk


2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan pada neuron

Tujuan : nyeri berkurang

Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri berkurang., mengungkapkan metode
untuk meredakan nyeri, mendemostrasikan penggunaan keterampilan, relaksasi sesuai indikasi
untuk situasi individu












Intervensi Rasional
Mandiri

Anjurkan pasien untuk mengungkapkan
perasaan mengenai nyeri yang dirasakan



Lakukan perubahan posisi secara teratur.
Berikan sokongan dengan bantal, busa, atau
dengan selimut



Beikan latihan tentang gerak secara pasif



Kolaborasi

Berikan obat analgetik sesuai dengan
kebutuhan. Hindari penggunaan narkotika
Menurunkan perasaan terisolasi, marah dan
cemas yang dapat meningkatkan nyeri
tersebut

Membantu menghilangkkan kelelahan dan
tegangan otot

Menurunkan kekakuan pada sendi







Berguna untuk meninggalkan rasa nyeri
ketika merode lain yang telah dicoba tidak
memerikan hasil yang memuaskan

Bermanfaat dalam menghilangkan
ketidaknyuamanan pada otot.



Bantu dengan terapi terapi alternatif seperti
ultrason, diatermia, dan menggunakan unit
TENS


1. 3. Retensi urin b.d kerusakan neuron ( kehilangan sensasi dan refleks kandung
kemih).

Tujuan : tidak terjadi retensi urin

Kriteria hasil : mendemonstrasikan pengosongan kandung kemih adekuat / tepat waktu tanpa
retensi.












Intervensi Rasional
Mandiri



Catat frekuensi dan jumlah berkemih







Memberikan informasi selama pengkajian
dari fungsi kandung kemih




Lakukan palpasi abdomen ( diatas
supra pubik ) untuk mengetahui
adanya distensi kandung kemih



Anjurkan pasien untuk minum paling
tidak 2000 ml / dalam batas toeransi
jantung dan juga termasuk minum
juice buah.



Lakukan maneuver Crede







Kolaborasi



Lakukan kateterisasi pada residu
urine ( kateterisasi intermiten ) sesuai
kebutuhan.



Pasang / pertahan kan kateter
indwelling sesuai kebutuhan.

Jika refleks spfingter tidak ada, kandung
kemih akan penuh dan selanjutnya akan
menjadi distensi.







Mempertahankan laju filtrasi glomerulus
dan menurunkan resiko infeksi dan
pembentukan batu pada saluran
perkemihan.



Tekanan manual di atas kandung kemih
dapat memfasilitasi pengosongan kandung
kemih tersebut.







Memantau keefektifan dari pengosongan
kandung kemih.



Mungkin diperlukan untuk menanggulangi
terjadnya retensi urinarius atau sampai
terjadinya resolusi ( perbaikan ) dan adanya
perbaikan adekuat dari kontrol kandung
kemih.

You might also like