You are on page 1of 19

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I

PERCOBAAN 1
PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN KONVERSI DOSIS



Kelompok 7-B

Akmal Yuliandi Pratama (10060312030)
Riri Indri Septiani (10060312033)
M. Azril Aidineka Jaelani (10060312034)
Taufik Nugraha Esa (10060312035)
Chyntia Karimah (10060312037)

Asisten: Faza Shalihah, S.farm

Tanggal Praktikum: 22 September 2014
Tanggal Laporan: 29 September 2014


LABORATORIUM TERPADU FARMASI UNIT D
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2014

PERCOBAAN 1
PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN KONVERSI DOSIS
PERCOBAAN DAN KONVERSI DOSIS


I. TUJUAN PERCOBAAN
Mengetahui karakteristik hewan-hewan percobaan yang lazim digunakan dalam
percobaan
Memperlakukan dan menangani hewan percobaan seperti mencit, tikus, kelinci
dan marmot untuk percobaan farmakologi dengan baik
Menghitung konversi dosis antar spesies

II. TEORI
Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang
dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi,
phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya
di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak
dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah
yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup"dalam suatu
kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis
secara in vivo.
Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan sains dan
teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin
meningkat terutama untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di
dalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu
negara pensuplai kebutuhan tersebut (misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha
yang terpadu & programatis dalam penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas
maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang benar-benar mengerti dan sadar akan
kepentingan ini. (Brown, 2005).
Pengelolaan Hewan Percobaan Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan
dititik beratkan pada (Kumar,2005):
1. Kondisi bangunan
Persyaratan ini sangat menentukan kondisi hewan percobaan, karena bentuk,
ukuran serta bahan yang dipakai merupakan elemen dalam physical environment bagi
hewan percobaan. Bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga hewan dapat
hidup dengan tenang, tidak terlalu lembab, dapat menghasilkan peredaran udara yang
baik, suhu cocok, ventilasi lengkap dengan insect proof screen (kawat nyamuk)
(Kumar,2005).
2. Sanitasi
Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya dengan dapat terselenggaranya
sistem sanitasi yang baik, sestim drainase yang baik, tersedianya fasilitas desinfektan,
misalnya dengan jalan menempatkan tempat khusus yang berisi desinfektan (lysol 35%)
atau disebut dengan Foot baths. Sanitasi kandang atau peralatan lainnya dilakukan
dengan teratur. Di samping itu bagi tenaga pengelola perlu mengenakan lab jas
(Protective clothing) atau peralatan proteksi lainnya seperti masker dan sebagainya.
Peralatan sanitasi lainnya seperti halnya autoclave pembakar bangkai, fumigator bahkan
fasilitas shower dan toilet bila perlu diusahakan ada (kumar,2005).
3. Tersedianya makanan
Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan dalam jumlah yang
cukup. Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab, diusahakan
bebas dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan adanya ini dapat
merupakan petunjuk adanya kerusakan bahan makanan hewan dan sebagai usaha
pencegahannya adalah makanan ditempatkan dalam kantong-kantong plastik yang
waterproof, bila perlu dalam kondisi anaerob (dengan menggunakan vaccum pump) dan
tertutup rapat. Bentuk makanan bila perlu diusahakan berbentuk pellet (cetakan seperti
pil atau berbentuk silinder) dengan diameter tertentu tergantung macam hewannya.
Keuntungannya adalah dapat disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob), makanan bisa
habis termakan (dibandingkan bila dalam bentuk mess atau powder) serta kontrol
terhadap makanan yang dimakan lebih mudah (kumar,2005).
4. Kebutuhan air
Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancar dan usahakan tidak
terlalu tinggi kandungan mineralnya serta bersih (Kumar, 2005).
5. Sirkulasi udara
Adanya sistim ventilasi yang baik, sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih bila
dipasang exhaust fan (Kumar, 2005).
6. Penerangan
Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi
hewan Haruster, karena siklus estrus (siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh
penerangan dan bila tidak terdapat penerangan akan menyebabkan terhambatnya proses
reproduksi (Kumar,2005)
7. Kelembaban dan temperatur ruangan
8. Keamanan
Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi
penyakit baik yang berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha
pencegahan tidak diperkenankan semua orang keluar masuk ruangan hewan (lebih-lebih
bila hewannya adalah bebas kuman atau yang disebut dengan Germ Free Animals tanpa
suatu keperluan apapun (Kumar,2005).
9. Training/kursus bagi personil
Dalam program pemeliharaan hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih
dan berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut hewan percobaan dapat
melibatkan banyak aspek ilmu, sehingga diperlukan sekali adanya kursus baik tenaga
administrasi maupun tenaga teknis (Kumar,2005).
Cara Pemberian Obat (Rote of Drug Administration)
Cara pemberian obat adalah satu-satunya pengetahuan asli milik farmakologi.
Perbedaan cara pemberian sangat penting dalam penentuan efek yang diharapkan. Ada
obat yang hanya berkhasiat apabila disuntikkan dan tidak memberikan efek bila
diminum Karena itu cara pemberian obat ditentukan oleh jenis obat Kondisi penderita
(sadar, tidak sadar, koperatif, dan sebagainya) dan kondisi penyakit (perlu efek segera
atau tidak). Aplikasi Lokal Efek lokal diperoleh dengan membubuhkan obat pada kulit
atau mukosa, dan dalam beberapa hal dengan penyuntikan di daerah atau rongga
tertentu. Obat yang larut dalam air tidak diserap oleh kulit utuh. Obat yang dilarutkan
dalam minyak dapat diserap oleh kulit, dan bila penyerapan cukup besar, akan terjadi
efek sistemik bahkan keracunan. Kulit yang tidak utuh memperbesar penyerapan dan
perlu mendapat perhatian (Setiawati,1995).
Pada umumnya, obat mudah diserap dari mukosa mata, hidung, tenggorokan,
bawah lidah, rektum, saluran pernafasan dan saluran kemih kelamin. Karena itu perlu
disadari, bahwa pemberian lokal dapat menimbulkan efek sistemik sampai keracunan
(Setiawati, 1995).
Pemberian sistemik Pemberian obat melalui mulut disebut per oral atau per os
merupakan cara pemberian yang paling banyak dilakukan. Keuntungan cara per os
adalah murah, mudah, enak dan menyenangkan serta paling aman karena lebih mudah
ditolong. Pertolongan yang diberikan ketika keracuanan akut timbul adalah dengan
merangsang muntah, bilas lambung, pemberian penawar dan pemberian pencahar untuk
mengurangi penyerapan. Pertolongan demikian dapat dilakuka, karenaa penyerapan
obat per os memerlukan waktu yang relative lama. Kerugiannya adalah tidak mungkin
diberikan jika penderita tidak sadar, muntah-muntah, sebagian obat memberikan rasa
mual dan nyeri lambung atau dirusak oleh asam lambung. Selain itu, isi lambung juga
mempengaruhi keteraturan atau kecepatan penyerapan obat. Adakalanya cara per oral
juga digunakan pada obat yang berefek lokal pada saluran cerna seperti laksan
(pencahar), digestan, antacid non-sistemik dan sebagainya. (Mulkam Y.L., Rizali H.N.,
1993)
Cara Pemberian Obat Parenteral
Cara pemberian obat prenteral adalah sebagai berikut :
1. Subkutan atau di bawah kulit (s.c.), yaitu disuntikkan ke dalam tubuh melalui
bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume
yang diberikan tidak lebih dari 1 ml. Sediaan harus memenuhi krtiteria tertentu, seperti
berikut : Larutan sebaiknya isotonis dan iso hidris; Larutan yang sangat menyimpang
isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak
optimal; Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat daripada sediaan
suspensi; Determinan kecepatan absorbsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya
penyerapan; Absorpsi obat dapat diperlambat dengan menambahkan adrenalin ( cukup
1 :100.000-200.000) yang menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal, sehingga
difusi obat tertahan diperlambat. Contoh injeksi Lidocaine Adrenalin untuk cabut gigi.
Sebaliknya, absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyluronidase, yaitu
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menyebabkan
penyebaran dipecepat. Bila ada infeksi, maka bahaya lebih besar daripada penyuntikan
ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di
jaringan dan membentuk abses (Sulaksono,1992).
2. intramuskular (i.m.), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di
otot pantat atau paha. Syarat-sayarat yang harus dipenuhi sediaan adalah sebagai berikut
: Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada suspensi pembawa
minyak atau air; Larutan sebaiknya isotonis; Onset bervariasi tergantung besar kecilnya
partikel; Sediaan dapat berupa larutan, emulsi atau suspensi; Zat aktif bekerja lambat
(preparat devo) serta mudah terakumulasi, sehingga dapat menimbulkan keracunan;
Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan ke dalam otot dada,
sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain. Contohnya
adalah penicillin G 3.000.000 unit, injeksi antitetanus 10.000 atau 20.000 unit, injeksi
vitamin B kompleks (Sulaksono,1992).
3. Intravena (i.v.), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Syaratnya
adalah sebagai berikut : Larutan dalam volume kecil (dibawah 5 ml) sebaiknya isotonis
dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris; Tidak ada
fase absorpsi, Obat langsung masuk ke dalam vena; Onset of action segera; Obat
bekerja paling efisien; Bioavaibilitas 100%; Obat harus dalam larutan air, bila emulsi
lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit; Sedian
suspensi tidak dianjurkan; Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-
sel darah tidak banyak berpengaruh; Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah,
sehingga menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol; Sediaan yang
diberikan umumnya sediaan sejati; Adanya partikel dapat menyebabkan emboli; Pada
pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen.
Contohnya, injeksi ampicilin 500 mg, 1 gram, infuse Sodium chloride 0,9 % 25 ml, 50
ml, 500 ml (Sulaksono,1992).
4. Cara pemberian Parenteral lainnya :
a. Intraspinal, yaitu disntukkan ke dalam sumsum tulang belakang. Syaratnya :
larutan harus isotonis dan isohidris, bila digunakan sebagai anestesi larutan harus
hipertonis. Contoh sediaannya yaitu injeksi Xylocain heavy 0,5% 2 ml (Buvicaine
HCl).
b. Peritonial, yaitu kateter dimasukkan ke dalm rongga perut dengan operasi untuk
tempat memasukkan cairan steril CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisis).
Syaratnya yaitu : larutan harus hipertonis; zat aktif harus diabsorpsi dengan cepat;
volume diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 liter); Infeksi mudah terjadi karena
pemakaian yang terus menerus dan penanganan yang tidak steril; Biasa sebagai cuci
darah dengan cara CAPD. Contohh sediaannya infuse dianeal 1,5% atau 2,5% 2 liter.
c. Intraartikular, yaitu disuntikkan ke dalam sendi. Syaratnya yaitu larutan harus
isotonis dan isohidris. Contoh sediaan injeksi Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml.
d. Intradermal, yaitu disuntikkan ke dalam kulit. Syarat-syarat sediaan ini yaitu :
Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris; Volume yang disuntikkan kecil, antara 0,1
hingga 0,2 ml; Biasa sebagai diagnostik Mantoux tes atau tes alergi. Contohnya yaitu
tes alergi antibiotik 1 ml, injeksi Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml.
(Sulaksono,1992))
Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Penyerapan Obat
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral terteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,
subkutan dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda.
Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intraarteri, intraspinal
dan intraserebral, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke
peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor cite). Cara pemberian
yang lain adalah secara inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau
mata.
Proses penyerapan merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan mempengaruhi
aktivitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Penyerapan Obat Melalui
Saluran Cerna, Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah
dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu mengalami proses penyerapan
pada saluran cerna (Brown,2005).
Absorosi, Distribusi dan Ekskresi Obat
Kebanyakan obat diberikan secara oral, sehingga obat harus lewat melalui
dinding usus untuk dapat memasuki aliran darah. Proses absorpsi ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, tetapi biasanya sebanding dengan kelarutan obat di dalam lemak.
Sehingga, absorpsi obat yang tak terionkan adalah disangga karena obat adalah jauh
lebih mudah larut dalam lipid daripada yang terionkan (BH
+
) dan dikelilingi oleh kulit
molekul air. Obat yang diabsorpsi sebagian besar pada usus halus karena permukaannya
luas. Ini terjadi untuk obat yang bersifat asam lemah (misalnya aspirin), yang tidak
terionkan dalam HCl pada lambung. Obat diabsorpsi dari saluran pencernaan memasuki
gerbang sirkulasi dan secara ekstensif ada yang dimetabolisme karena melewati hati
(melewati metabolisme pertama).
Obat-obat yang cukup larut di dalam lemak siap diabsorpsi secara oral dan
dengan cepat didistribusikan seluruhnya oleh air kompartmen badan. Banyak obat yang
bebas berikatan dengan albumin plasma, dan bentuk kesetimbangan diantara ikatan
protein dan obat bebas dalam plasma. Obat yang berikatan dengan protein plasma yang
terkurung dalam system vaskular dan tidak dapat menimbulkan efek farmakologi.
Distribusi didalam tubuh terjadi ketika jangkauan obat di dalam tubuh. Kemudian
menembus jaringan untuk memberkan aksi.Waktu paruh (t1/2), adalah waktu yang
dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi separuh dari konsentrasi awalnya.
Ekskresi renal akhirnya bertanggung jawab untuk eliminasi obat paling banyak. Obat
ada yang terdapat dalam filtrate glumerulus, namun obat yang larut dalm lipid akan
dibsorpsi kembali pada tubulus renal secara difusi pasif (Michael J. Neal, 2002).
Obat merupakan kumpulan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup
setiap manusia yang mengkonsumsinya dan akan melewati mekanisme kerja dari mulai
bagaimana obat itu diabsorpsi, didistribusikan, mengalami biotransformasi dan
akhirnya harus ada yang diekskresikan.
Absorpsi Obat Dalam Tubuh, Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari
tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses. Pada klinik
pemberian obat yang terpenting harus mencapai bioavaibilitas yang menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai
sirkulasi sistemik.Hal ini penting, karena terdapat beberapa jenis obat tidak semua yang
diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik, namun akan
dimetabolisme oleh enzim didinding usus pada pemberian oral atau dihati pada lintasan
pertamanya melalui organ- organ tersebut.
Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat pada
pemberian oral, antara lain (Katzung,2004):
Faktor Obat Sifat- sifat fisikokimia seperti stabilitas pH lambung, stabilitas
terhadap enzim pencernaan serta stabilitas terhadap flora usus, dan bagaimana
formulasi obat seperti keadaan fisik obat baik ukuran partikel maupun bentuk kristsl/
bubuk dll.
Faktor Penderita Bagaimana pH saluran cerna, fungsi empedu, kecepatan pengosongan
lambung dari mulai motilitas usus, adanya sisa makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik
sampai dengan stress yang dialami pasien. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna
Adanya makanan, perubahan pH saluran cerna, perubahan motilitas saluran cerna,
perubahan perfusi saluran cerna atau adanya gangguan pada fungsi normal mukosa
usus. Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang
dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi,
phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya
di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak
dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah
yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup"dalam suatu
kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis
secara in vivo.
Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan sains dan
teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin
meningkat terutama untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di
dalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu
negara pensuplai kebutuhan tersebut (misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha
yang terpadu & programatis dalam penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas
maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang benar-benar mengerti dan sadar akan
kepentingan ini.
Cara Pemberian Obat (Rote of Drug Administration)
Cara pemberian obat adalah satu-satunya pengetahuan asli milik farmakologi.
Perbedaan cara pemberian sangat penting dalam penentuan efek yang diharapkan. Ada
obat yang hanya berkhasiat apabila disuntikkan dan tidak memberikan efek bila
diminum. Karena itu cara pemberian obat ditentukan oleh (Setiawati,1995):
a. Jenis obat
Kondisi penderita (sadar, tidak sadar, koperatif, dan sebagainya) kondisi
penyakit (perlu efek segera atau tidak).
b. Aplikasi Lokal
Efek lokal diperoleh dengan membubuhkan obat pada kulit atau mukosa, dan
dalam beberapa hal dengan penyuntikan di daerah atau rongga tertentu. Obat
yang larut dalam air tidak diserap oleh kulit utuh. Obat yang dilarutkan dalam
minyak dapat diserap oleh kulit, dan bila penyerapan cukup besar, akan
terjadi efek sistemik bahkan keracunan. Kulit yang tidak utuh memperbesar
penyerapan dan perlu mendapat perhatian. pada umumnya, obat mudah
diserap dari mukosa mata, hidung, tenggorokan, bawah lidah, rektum, saluran
pernafasan dan saluran kemih kelamin. Karena itu perlu disadari, bahwa
pemberian lokal dapat menimbulkan efek sistemik sampai keracunan.
c. Pemberian sistemik
Pemberian obat melalui mulut disebut per oral atau per os merupakan cara
pemberian yang paling banyak dilakukan. Keuntungan cara per os adalah
murah, mudah, enak dan menyenangkan serta paling aman karena lebih
mudah ditolong. Pertolongan yang diberikan ketika keracuanan akut timbul
adalah dengan merangsang muntah, bilas lambung, pemberian penawar dan
pemberian pencahar untuk mengurangi penyerapan. Pertolongan demikian
dapat dilakuka, karenaa penyerapan obat per os memerlukan waktu yang
relative lama. Kerugiannya adalah tidak mungkin diberikan jika penderita
tidak sadar, muntah-muntah, sebagian obat memberikan rasa mual dan nyeri
lambung atau dirusak oleh asam lambung. Selain itu, isi lambung juga
mempengaruhi keteraturan atau kecepatan penyerapan obat. Adakalanya cara
per oral juga digunakan pada obat yang berefek lokal pada saluran cerna
seperti laksan (pencahar), digestan, antacid non-sistemik dan sebagainya.
(Mulkam Y.L., Rizali H.N., 1993)

III. ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah Kandang hewan restriksi, alat
suntik dan Sonde oral.Bahan yang digunakan adalah sampel obat A dan B, NaCl
fisiologis, aquadest. Dan hewan yang digunakan adalah tikus dan mencit.

IV. PROSEDUR PERCOBAAN
a. Menghitung konversi dosis pada hewan.
Dosis pertama mencit dan tikus yang telah dipilih terlebih dahulu di
timbang, hasil timbangan tersebut dilakukan perhitungan konversi dosis untuk
mencit dan tikus tersebut dengan dosis obat A peroral pada manusia dewasa
sebesar 500 mg, lalu hitung volume yang akan diberikan kepada menci dan tikus
dengan konsentrasi yang ada di labolatorium 5 mg/ml. Pada dosis kedua mencit
dan tikus yang telah dipilih terlebih dahulu di timbang, hasil timbangan tersebut
dilakukan perhitungan konversi dosis untuk mencit dan tikus tersebut dengan
dosis obat A peroral pada manusia dewasa sebesar 50 mg, lalu hitung volume
yang akan diberikan kepada menci dan tikus dengan konsentrasi yang ada di
labolatorium 0,5 mg/ml.
b. Cara memegang hewan percobaan sehingga siap untuk diberi sediaan uji
Tahap pertama pada mencit yaitu ekor mencit dipegang dengan kanan di
atas permukaan yang kasar, tengkuk menccit di pegang dengan ibu jari dan jari
telunjuk sekuat dan senyaman mungkin dan ekor dililitkan pada jari kelingking
hingga mencit tidak dapat bergerak bebas, mencit dibalikan dengan permukaan
perut menghadap kemuka.
Pada tikus dilakukan hal yg sama seperti tikus dengan ekor tikus dipegang
dengan kanan di atas permukaan yang kasar, tengkuk tikus di pegang dengan ibu
jari dan jari telunjuk sekuat dan senyaman mungkin dan ekor dililitkan pada jari
kelingking hingga tikus tidak dapat bergerak bebas, tikus dibalikan dengan
permukaan perut menghadap kemuka.
c. Cara memberikan obat pada hewan percobaan
Mencit diperlakukan dengan berbagai cara pemberian obatnya. Untuk oral,
Sonde dipegang di tangan kanan dengan tangan kiri memegang tikus dengan kuat
dan nyaman, sonde diarahkan ke langit-langit mulut atas lalu masukan perlahan.
Untuk Sub kutan Jarum suntik dimasukan di sekitar bagian bawah tengkuk mencit
dengan sebelumnya diolesi alcohol. Dengan cara Intra vena, Mencit diperlakukan
berbeda, mencit dimasukan kedalam kandang restriksi dan dipegang ekornya yang
menjulur keluar, olesi ekor tikus denan etanol, dan arahkan jarum suntik pada
pembuluh vena dan dimasukan perlahan. Jika melalui Intramuscular maka Mencit
diperlakukan seperti sebelumnya, bagian paha posterior diolesi alcohol, arahkan
jarum suntik dipaha posterior dan keluarkan perlahan. Dan jika melalui
Intraperitonial maka mencit diperlakukan seperti sebelumnya, oleskan alcohol di
sekitar abdomen, lalu arahkan jarum suntik tepat dibawah kantung kemih dan
keluarkan secara perlahan.
Pada tikus dilakukan cara pemberian obat sesuai jenisnya juga. Untuk
sediaan oral, Sonde dipegang di tangan kanan dengan tangan kiri memegang tikus
dengan kuat dan nyaman, sonde diarahkan ke langit-langit mulut atas lalu
masukan perlahan. Jika melalui Sub kutan maka Jarum suntik dimasukan di
sekitar bagian bawah tengkuk atau dibawah kulit abdomen mencit dengan
sebelumnya diolesi alcohol. Jika melalui Intra vena lebih mudah bila dlakukan
dibagian penis tikus dengan cara yang sama. Untuk cara memasukan dari
Intramuscular Mencit diperlakukan seperti sebelumnya, bagian paha posterior
diolesi alkohol, arahkan jarum suntik dipaha posterior dan keluarkan perlahan.


V. DATA PENGAMATAN
Berat mencit = 23 gram
Konsentrasi yg tersedia


Maka :










Perhitungan memberian pada mencit
Intra vena dan subkutan






Untuk intraperitonial diberlakukan dosis 0.5 ml
Untuk intra maskular


.575 ml

Berat tikus = 199 gram
Maka :










Untuk pemberian intramaskular






Untuk parenteral







VI. PEMBAHASAN
Pada pecobaan penanganan hewan percobaan dan konversi dosis, uji
farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil farmakokinetik
(meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan
yang baku digunakan mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing, hewan-hewan
ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Uji praklinik juga merupakan suatu
senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu diuji
dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat baru ini dapat
dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat
farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji.
Dalam percobaan ini dilihat dahulu karakteristik berbagai hewan percobaan
seperti tikus, mencit, kelinci dan marmot. Pada mencit memiliki karakteristik yang
berperilaku penakut dan fotofobik, cenderung sembunyi dan berkumpul dengan
sesama, mudah ditangani, lebih aktif pada malam hari, aktivitasnya terganggu dengan
adanya manusia, suhu normal badannya 37,4
o
C, dan laju respirasinya sekitar
163/menit. Pada tikus mempunyai karakteristik sangat cerdas, mudah ditangani, tidak
begitu bersifat fotofobik, lebih resistensi terhadap infeksi, kecenderungan berkumpul
dengan sesame sangat kurang, jika makanan kurang atau diperlakukan sangat kasar
akan menjadi liar, suhu normal badannya sekitar 37,5
o
C dan laju respirasinya
210/menit. Pada kelinci memiliki karakteristik jarang bersuara kecuali bila merasa
nyeri, jika merasa tak aman akan berontak, suhu rectal jika mengalami gangguan
lingkungan dan laju respirasinya sekitar 38-65/menit. Pada marmot memiliki
karakteristik yang jinak, mudah ditangani, jarang menggigit, kulit halus dan berkilat,
bulu tebal dan kuat tapi tidak kasar, laju denyut jantungnya 150-160/menit, laju
respirasinya 110-150/menit dan suhu rektalnya 39-40
o
C (Subarnas,dkk,2008). Tetapi
dalam percobaan yang digunakan hanya mencit dan tikus. Tetapi dalam percobaan
yang dipakai hanya mencit dan tikus.
Pada saat memegang hewan percobaan ditentukan dahulu sifat hewan,
keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Apabila ada kesalahan dalam
memegang hewan percobaan akan dapat menyebabkan kecelakaan atau rasa sakit
untuk hewan tersebut juga akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah dan juga bagi orang yang memegangnya.
Cara memegang mencit dapat dilakukan dengan cara dipegang dahulu ujung
ekornya dengan tangan kanan. Lalu tangan kiri dengan ibu jari dan telunjuk menjepit
kulit tengkuknya setegang mungkin. Ekornya dipindahkan dari tangan kanan dan
dijepit diantara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Apabila dalam
memengangnya tidak benar, mencit biasanya mencit akan buang air besar maupun
buang kecil. Ini terjadi akibat mencit merasa ketakutan, stress dan bertujuan untuk
melindungi dirinya dengan cara mengeluarkan fesesnya. Sebelumnya mencit
ditimbang dahulu sekitar 23gram untuk dapat menghitung konversi dosis pada mencit
tersebut. Adapun cara memberikan obat pada mencit seperti :
Pemberian secara oral yang dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi sonde
oral/berujung tumpul. Bertujuan untuk meminimalisir terjadi luka atau cedera ketika
hewan akan diuji. Pertama sonde oral yang sudah diberikan cairan obat yang sudah
sesuai hasil konversi dosisnya sekitar 0,5 ml dimasukan ke dalam mulut dengan hati-
hati dan perlahan-lahan melalui langit-langit kearah belakang sampai esofagus dan
cairan obat dimasukan. Karena esofagus mencit kecil maka harus dilakukan hati-hati
agar tidak membuat mencit kesakitan, mengalami gangguan penapasan maupun
kematian ketika diberikan cairan obat.
Pemberian secara subkutan dilakukan dengan cara kulit pada daerah tengkuk
dicubit. Sebelumnya sudah dibersihkan dahulu area kulitnya dengan kapas yang sudah
dibasahi dengan alcohol 70%. Setelah itu dimasukan jarum suntik yang sudah
diberikan cairan obat yang sudah sesuai hasil konversi dosisnya sekitar 0,345 ml
secara paralel dari arah depan menembus kulit. Pada saat percobaan saat
menyuntiknya terlalu terburu-buru dan membuat kulit mencit menjadi bengkak, maka
harus dilakukan hati-hati agar menghindari pendarahan karena akibat dari pergerakan
kepala dari mencit.
Pemberian secara intravena dilakukan dengan cara penyuntikan pada vena ekor.
Sebelumnya mencit dimasukan kedalam kandang restriksi mencit dengan ekor yang
menjulur keluar. Ekornya dicelupkan air hangat bertujuan agar vena ekor mengalami
dilatasi. Ketika melakukan injeksi dalam alat suntik tidak boleh ada udara, karena
akan menyebabkan vena mengalami kerusakan. Maka perlu dilakukan pemberian obat
yang sudah diberikan cairan obat yang sudah sesuai hasil konversi dosisnya sekitar
0,345 ml dengan posisi yang benar dan akan terlihat pada vena warnanya akan pucat.
Pemberian secara intramuscular obat yang sudah diberikan cairan obat yang sudah
sesuai hasil konversi dosisnya sekitar 0,05 ml disuntikkan pada paha posterior dengan
jarum suntik no 24. Pada percobaan terlihat bengkak karena cara yang kurang tepat
menyebabkan kerusakan pembuluh.
Pemberian secara peritoneal, pertama mencit dipegang pada kulit punggungnya
sehingga kulit abdomennya tegang, kemudian jarum disuntukkan yang sudah
diberikan cairan obat yang sudah sesuai hasil konversi dosisnya sekitar 0,05 ml
dengan membentuk sudut 10
o
dengan abdomen yang tidak terlalu kearah kepala
bertujuan menghindari terkenanya kandung kemih dan hati.
Cara memegang pada tikus tidak jauh berbeda seperti mencit. Caranya tikus
diperlakukan sama seperti mencit, namun bagian ekornya dipegang pada bagian
pangkal ekor dan pegangannya pada bagian tengkuk bukan memegang kulitnya. Pada
percobaan tikus sebelumnya ditimbang sekitar 199 gram. Dalam cara memberikan
obat pada tikus juga hampir sama dengan mencit, tetapi yang dilakukan dalam
percobaan hanya secara oral dan intramuscular, disebabkan tikus mudah stress
sehingga sewaktu pemberian obat lebih aktif. Pemberian secara oral yang dilakukan
dengan alat suntik yang dilengkapi sonde oral/berujung tumpul. Bertujuan untuk
meminimalisir terjadi luka atau cedera ketika hewan akan diuji. Pertama sonde oral
yang sudah diberikan cairan obat yang sudah sesuai hasil konversi dosisnya sekitar
0,995 ml dimasukan ke dalam mulut dengan hati-hati dan perlahan-lahan melalui
langit-langit kearah belakang sampai esofagus dan cairan obat dimasukan. Pemberian
pada tikus harus dilakukan hati-hati agar tidak membuat mencit kesakitan, mengalami
gangguan penapasan maupun kematian ketika diberikan cairan obat. Sedangkan
pemberian secara intramuscular obat yang sudah diberikan cairan obat yang sudah
sesuai hasil konversi dosisnya sekitar 0,0995 ml disuntikkan pada paha posterior
dengan jarum suntik no 24. Pada percobaan terlihat bengkak karena cara yang kurang
tepat menyebabkan kerusakan pembuluh.
Karena menurut Ian Tanu cara pemberian yang lebih cepat adalah secara
intraperitoneal bila dibandingkan dengan secara oral. Hal ini dikarenakan bahwa
pemberian obat secara intraperitoneal yakni pemberian injeksi pada bagian abdomen.
Dimana pada bagian ini, terdapat banyak pembuluh darah sehingga obat lebih mudah
diserap ke dalam sistem peredaran darah. Sedangkan pemberian obat secara oral, obat
harus melalui tahap absorpsi yakni di lambung dan di usus. (Tanu, 2005)
Selanjutnya melakukan cara menganestesi hewan percobaan, Dalam
melakukan anestesi harus diperhatikan beberapa faktor yaitu kondisi hewan, lokasi
pembedahan, lama pembedahan, ukuran tubuh/jenis hewan, kepekaan hewan terhadap
obat anestetik dan penyakit-penyakit yang diderita hewan. Sebelum anestesi sangat
perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan, karena kadang-kadang anestesi umum
mempunyai resiko yang jauh lebih besar dibandingkan pembedahan yang dijalankan.
Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal dari bahasa
Yunani anaisthsia (dari antanpa + aisthsis sensasi) yang berarti tidak ada rasa
sakit. Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anesthesia lokal, yakni hilangnya
rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran, sedangkan anesthesia umum adalah
tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan dapat pulih kembali (reversible). Cara melakukan anestesi pada mencit umumnya
sama seperti tikus, senyawa yang dapat digunakan untuk anestesi biasanya eter,
uretan, halotan, pentobarbital natrium dan heksobarbital natrium. Senyawa eter
digunakan untuk anestesi singkat, caranya dengan meletakkan obat dalam satu wadah
lalau hewan dimasukan dan wadah ditutup. Apabila hewan sudah hilang kesadaran,
hewan siap dikeluarkan dan dibedah. Penambahan selanjutnya dapat diberikan kapas
yang dibasahi obat tersebut. Senyawa halotan untuk anestesi yang lebih lama. Dosis
pentobarbital natrium adalah 45-60 mg/kg untuk pemberian intra peritonial dan 35
mg/kg untuk pemberian intravena. Dosis heksobarbital natrium sekitar 75 mg/kg
untuk intra peritoneal dan 47 mg/kg untuk pemberian intra vena. Sedangkan dosis
uretan diberikan sekitar 1000-1250 mg/kg secara intra peritoneal dalam bentuk
larutan 25% dalam air.
Pada cara mengorbankan hewan percobaan bertujuan agar hewan mengalami
penderitaan seminimal mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pemberian
suatu anestetik dengan dosis berlebih secara intravena untuk kelinci, secara
intraperitonial untuk mencit, marmot dan tikus atau dengan menggunakan kloroform,
CO
2
, N
2
inhalasi. Pengorbanan hewan juga dapat dilakukan secara fisik atau
disembelih.

VII. KESIMPULAN
Dalam percobaan penangganan hewan percobaan dan konversi dosis dapat
disimpulkan yaitu :
Dalam ilmu pada bidang kedokteran/biomedis sangat penting untuk penelitian.
Pemberian cairan obat pada hewan percobaan tidak boleh melebihi batas
maksimal sehingga bisa membuat kematian pada hewan.
Cara memegang hewan dari masing-masing hewan berbeda-beda (secara oral,
subkutan, intravena, intramuscular, intaperitonial dan intradermal).
Dilakukan anestesi untuk kelancaran percobaan uji efek farmakologis suatu
obat yang dilakukan pada hewan percobaan.
Dilakukan cara mengorbankan hewan percobaan bertujuan agar hewan
mengalami penderitaan seminimal mungkin.

VIII. DAFTAR PUSTAKA
Brown, Michael, dkk,2005.(Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach),
Sixth Edition, McGraw-Hill Companies: United States of America, hal : 1.713
(e- book version of the text).
Katzung, Bertram G.2004. Basic & clinical pharmacology, 9th Edition, Lange
Medical Books/Mcgraw-Hill: New York, Hal : 6, 152 (e-book version of the
text).
Kumar, Vinay, dkk.2005. Robbins and Cotran Pathologic Basis Of Disease,
Seventh Edition, Elsevier Inc: USA, hal 1486 (e-book version of the text).
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna. 1995. Pengantar Farmakologi Dalam
Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru.
Hal. 3-5.
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan
Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta:
Gramedia
Tanu.2005.Farmakologi dan Toksikologi Ediasi 1. Jogjakarta:UGM

You might also like