You are on page 1of 7

I.

Pengertian Hidayah
Tujuh ayat yang dirangkum dalam QS Al Faatihah, surah yang membuka Al Quran
sekaligus menjadi Induk Kitab, dapat kita bagi dalam tiga kelompok.
(1) Empat ayat pertama mengemukakan keagungan Allah SWT, Pembina semesta alam,
yang mengasihi seluruh makhluk-Nya dan yang menguasai Hari Kiamat.
(2) Ayat kelima menyatakan ikrar manusia yang telah menghayati keagungan Allah
tersebut; dia menyatakan: Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan.
(3) Dua ayat berikutnya mengajukan permohonan yang paling penting yaitu permohonan
hidayah petunjuk kepada jalan lurus, yaitu jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang
diberi nikmat-Nya, bukan jalan yang dimurkai dan yang sesat.
Karena doa permohonan hidayah itu dinyatakan pada surah pertama dan diucapkan
sekurang-kurangnya 17 kali sehari dalam shalat, maka jelas bahwa hidayah ini sangat
diperlukan oleh manusia. Di dalam Mujam Al Quran, perkataan hidayah dalam segala
bentukan katanya kita jumpai dalam lebih dari 300 ayat.
Apakah hidayah itu? Dari berbagai keterangan yang terdapat dalam Al Quran,
Ensiklopedi Islam mengartikan hidayah sebagai petunjuk Allah SWT terhadap makhluk-Nya
tentang sesuatu yang mengandung kebenaran atau sesuatu yang berharga dan membawa
keselamatan. Ahli Tafsir terkemuka, Ibnu Katsir (1300-1373 M) mengemukakan pengertian
hidayah dengan mengacu keterangan Allah dalam QS Al Balad (90): 10: Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan. Menurut beliau, dua jalan yang dimaksud oleh ayat ini
adalah hidayah yang menjelaskan sesuatu yang baik dan membawa kepada keselamatan serta
kebenaran, serta hidayah yang menjelaskan sesuatu yang buruk dan membawa kepada
kesesatan. Dengan memahami yang benar dan baik serta yang salah dan buruk, orang dapat
memilih jalan yang bermanfaat dan menghindari jalan-jalan yang akan mencelakakan dirinya.
Banyak lagi ulama yang mengulas pengertian hidayah ini. Kita dapat menyebut di
antaranya Raghib al Isfahani (wafat 1108 H), dan Ibnu Qayyim al Jauziah (1292-1350 M).
Dalam tulisan ini kita mengutip pendapat ahli tafsir kontemporer Mesir Muhammad Mustafa
Al Maraghi (1881-1945 M). Pikiran yang serupa juga dikemukakan oleh ulama Mesir lainnya
Muhammad Abduh (1849-1905 M). Menurur para beliau hidayah terdiri atas dua kelompok,
yaitu hidayatul ammah hidayah umum dan hidayatul khassah hidayah khusus. Hidayah
umum diberikan Allah kepada semua orang untuk menjadi petunjuk dalam menjalani
hidupnya. Sedangkan hidayah khusus hanya diterimakan kepada orang-orang tertentu;
dengan hidayah khusus itu dia sampai kepada kebenaran sejati yang mengantarkannya
kepada keselamatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
II. Jenis-jenis Hidayah
Ada empat macam hidayah umum, yaitu :
1. Hidayah ilham, yaitu gharizah atau naluri (instinct) yang dibawa setiap orang sejak
lahir, seperti keinginan makan dan minum ketika tubuh memerlukan asupan zat-zat
yang diperlukannya, naluri memiliki, dan sebagainya. Dengan hidayah ilham ini bayi
tanpa belajar dapat menemukan susu ibunya. Sejalan dengan pertumbuhan raga dan
jiwanya orang me-recall nalurinya dan mengembangkan cara-cara memperoleh apa
yang menjadi kebutuhan hidupnya itu.

2. Hidayatul hawas yaitu petunjuk berupa indera: penglihatan, pendengaran, penciuman,
pencecap, dan peraba. Dengan hidayah ini orang mampu mengenali lingkungan
fisiknya. Orang tahu bentuk, ukuran, warna, nada dan timbre suara, halus atau
kasarnya permukaan benda, harum atau busuk, manis, pahit atau asin, dan sebagainya

3. Hidayatul aql hidayah akal. Perlu kita ketahui bahwa aql dalam bahasa Arab
mencakup rasio dan rasa. Untuk memahami lingkungannya, orang tidak dapat
mengandalkan indera semata-mata karena dalam keadaan tertentu indera sering salah
tafsir. Ketika melihat dari jauh mata memahami langit, laut dan gunung berwarna biru
padahal tidak demikian. Dua rel kereta api yang sejajar nampak bertemu di satu titik.
Akal mengoreksi kesalahan indera tersebut. Lebih jauh lagi, akal mengembangkan
penangkapan indera mengenai warna daun yang hijau. Penyelidian akal memberi
pengetahuan tentang zat-zat apa yang terdapat di dalam daun sehingga berwarna
hijau, dan apa manfaatnya baik bagi pohon itu sendiri maupun bagi makhluk di
sekitarnya. Pengetahuan akal itu dikembangkan lagi dengan menghubungkan suatu
fakta dengan fakta lain sehingga orang memperoleh fakta baru. Kenyataan baru itu
dihubungkan lagi dengan kenyataan lain, maka orang memiliki pengetahuan yang
sangat banyak. Orang menyusun berbagai pengetahuan tersebut dalam sebuah sistem
sehingga terbentuklah ilmu. Orangpun memanfaatkan ilmu untuk mengembangkan
cara dan sarana meningkatkan kenyamanan hidup; sehingga terwujudlah teknologi.

4. Hidayah Ad Din atau agama. Hidayah ini diwahyukan Allah kepada para Rasul-Nya
untuk disampaikan kembali kepada ummatnya masing-masing. Ad Din diturunkan
kepada manusia untuk menjadi pedoman hidup di dalam mengusahakan kebahagiaan
di dunia dan di akhirat. Sebagian dari wahyu-wahyu Allah yang diturunkan kepada
beberapa Nabi dan Rasul tertentu, bersifat sistemik dan merupakan Kitab. Allah
menginformasikan empat Kitab-Nya yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan Al Qur'an.
Sebagaimana indera, akal juga berpotensi membuat kekeliruan, terutama ketika
ditaklukkan dan dikendalikan oleh nafsu. Raja Mesir yang cerdas, Firaun, ketika
melihat Musa AS dan rombongan Bani Israil menyeberangi lautan, pasti tahu bahwa
jembatan yang dilalui rombongan tersebut bukan sesuatu yang dibangun dengan
tangan manusia sehingga tidak dapat digunakan oleh sembarang orang. Tetapi dalam
kemarahan yang berkobar, dia mengabaikan rasionya dan terus mengejar Musa
beserta para pengikutnya. Maka masuklah mereka ke palung lautan dan mati sengsara
di dalamnya.
Ad Din bukan hanya meluruskan dan menyempurnakan kesalahan indera dan akal,
tetapi juga mengemukakan fakta-fakta yang tidak dapat diperoleh dengan cara apapun
kecuali melalui wahyu, informasi langsung dari Allah SWT. Ad Din memaparkan
siapa dan bagaimana Tuhan yang mencipta seluruh alam, bagaimana manusia
menyebut Dia, bagaimana posisi manusia terhadap Tuhan, apa kewajibannya terhadap
Tuhan, dan sebagainya. Ad Din menyatakan bahwa manusia tidak hanya hidup sekali,
tetapi dua kali yaitu di alam dunia dan alam akhirat. Setiap orang harus bertanggung
jawab atas sikap dan perbuatannya selama berada di dunia, dan akan memperoleh
balasan yang adil dari Allah, Penguasa seluruh makhluk-Nya. Ad Din menurunkan
sejumlah aturan yang harus ditaati manusia, baik aturan mengenai hubungan dia
dengan Allah (hablun minallah) maupun aturan tentang hubungan antar makhluk,
khususnya antara manusia dengan manusia (hablun minannas). Dasar ajaran Ad Din
adalah kepatuhan yang mutlak kepada Allah SWT; maka hidayah keempat ini disebut
Islam penyerahan diri kepada Allah dengan sukarela dan gembira.


Mengenai interaksi antara akal dan agama, terdapat perbedaan pendapat di antara para
ulama. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui mana yang
benar dan harus atau seyogyanya dikerjakan, dan mana yang buruk dan harus atau
seyogyanya ditinggalkan. Benar dan salah serta baik dan buruk, menurut ulama kelompok ini,
ditentukan oleh wahyu sedangkan wahyu itu dihimpun di dalam agama. Tetapi sebagian
ulama lain menyatakan bahwa akal yang murni yaitu yang belum dikendalikan nafsu dapat
mengetahuinya. Kita tidak bisa membantah kenyataan bahwa sebagian dari kebenaran yang
dikemukakan dalam agama itu dapat diperoleh akal tanpa petunjuk wahyu.
Masyarakat yang hidup di kawasan terpencil dan belum didatangi dakwah agama tahu bahwa
jujur itu baik dan dusta itu buruk, menghormati orang tua itu benar dan melecehkannya itu
salah. Bahkan fitrah manusia kecenderungan manusia kepada kebenaran, menjadikan orang
mengenal eksistensi Tuhan. Charles Gustav Jung menyebut kecenderungan itu sebagai
naturaliter religiosa. Tetapi dengan mengandalkan fitrahnya belaka orang tidak tahu
bagaimana Tuhan itu, apa yang Dia kehendaki untuk dilakukan manusia, dan sebagainya.
Keterangan mengenai hal itu beserta penjabarannya berada di kawasan Ad Din atau agama.
Demikianlah kita telah menguraikan empat bentuk hidayah yang termasuk dalam
kelompok Hidayatul ammah hidayah umum. Adapun hidayatul khassah atau hidayah
khusus, adalah petunjuk Allah yang dikaruniakan kepada orang-orang tertentu. Ini disebut
taufiq atau maunah (pertolongan). Hidayah ini menjadikan seseorang memiliki kesediaan
untuk melaksanakan Ad Din dengan sepenuh hati dan semangat tinggi. Ada orang yang tahu
betul mengenai ketetapan agama tetapi tidak melaksanakannya, baik karena tidak percaya
bahwa ketetapan itu berasal dari Allah maupun karena kemalasan. Ada pula yang tahu sedikit
tentang agama tetapi menunaikan apa yang diketahuinya itu dengan tertib. Ketetapan
mengenai siapa yang diberi maumah itu merupakan hak prerogatif Allah SWT, yang
ditegaskan dalam firman-Nya:
Katakanlah (wahai Rasul): Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. [QS Al Baqarah (2): 142].
Dan:
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. [QS Al Baqarah (2):
272].
Kita dapat mengambil contoh yang menunjukkan dengan nyata tentang hak mutlak Allah
di dalam memberikan hidayah ini. Abu Thalib, paman Muhammad SAW yang sangat
mencintai beliau dan yang memberikan perlindungan penuh kepada beliau ketika dimusuhi
kaum musyrikin Quraisy, sampai saat ajalnya tidak bersedia mengucapkan dua kalimat
syahadat. Tetapi Umar ibnu Khattab, orang yang amat membenci Rasulullah, masuk Islam
justru pada waktu bertekad hendak membunuh utusan Allah tersebut. Banyak orientalis yang
bergeming dari sikapnya menjadikan Islam sebagai bahan kajian ilmu belaka, tetapi Leopold
Weiss (1900-1992 M) yang lahir dari keluarga pemuka Yahudi, terpukau hatinya ketika
mepelajari Islam. Dengan rasa bahagia beliau memeluk agama ini dan mengganti namanya
menjadi Muhammad Asad. Dalam salah satu bukunya: Road to Mecca, beliau menulis:
Dalam pandangan saya Islam terlihat seperti sebuah hasil arsitektur yang sempurna. Semua
elemen di dalamnya harmonis dalam saling melengkapi dan mendukung; tidak ada yang
berlebihan dan tidak ada yang kurang. Hasilnya adalah sebuah struktur dengan keseimbangan
yang sempurna dan komposisi yang kuat.
Meskipun pemberian hidayah taufiq itu sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah,
tetapi kita manusia harus berikhtiar keras menjemputnya. Untuk itu kita mesti menyucikan
jiwa dari pikiran-pikiran kotor, membersihkan perbuatan dari apa yang tidak disukai Allah,
dan selalu meningkatkan nilai ibadah dan amal saleh. Selain itu kita harus berdoa kepada
Allah SWT. Ucapan Ihdinash shirathal mustaqiim yang kita jadikan pembuka uraian ini
bukan permohonan untuk memperoleh hidayah naluri, indera, akal, dan Ad Din, karena
keempatnya sudah diberikan Allah. Doa tersebut memohon izin Allah SWT untuk
menganugerahkan hidayah taufiq atau maunah. Upaya dan doa itu akan membawa kita
memasuki golongan orang-orang yang pantas menerima petunjuk suci dan pertolongan Allah
SWT, sebagaimana pesan-Nya:
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan
mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik
bergelimang dosa. [QS Al Hasyr (59): 19]




Al-Quran sebagai stairway to heaven

da beberapa hal yang harus kita kuasai dalam Al Imanu Fii Kitabillah, yaitu :
1. Kita mengakui bahwa hanya Al-Quran yang satu-satunya bisa memberi kita
kebahagiaan, tidak ada yang bisa menyamai Al-Quran, dan tidak ada pedoman hidup yang
lain selain Al-Quran. Hanya Al-Quran yang bisa menyelamatkan kita dan keluarga kita.
2. Meyakini bahwa Al-Quran sebagai Nuur, yaitu cahaya.
Dalam Q.S An-Nisa Ayat 174, yang artinya, Wahai manusia, telah datang kepadamu Al-
Quran dari Tuhanmu dan telah diturunkan kepadamu cahaya yang terang . Allah
mengatakan bahwa ! barang siapa yang mencari cahaya selain cahaya Allah, maka ia tidak
akan bisa menjalani hidup ini. Orang-orang kafir, mereka tidak punya cahaya, dan mereka
berjalan bagaikan orang-orang buta. Sehingga kita harus bersyukur kepada Allah SWT yang
menjadikan kita sebagai muslim.
3. Kita mengimani bahwa Al-Quran ini adalah petunjuk, menuju surga. Barang siapa
yang mencari petunjuk selain Al-Quran maka ia akan sesat.
4. Kita menyakini bahwa Al-Quran adalah sebagai pengingat/peringatan. Ini sesuai
dengan fitrah kita bahwa manusia sifatnya lupa. Allah ingatkan k! epada kita tentang kondisi
akhirat, kondisi neraka jahannam, kondisi orang-orang yang lupa kepada Allah SWT, kondisi
surga dan nikmatnya hidup di surga. Semua itu membuat kita semakin mantap dalam
menjalani hidup ini. Tidak ada rasa putus asa bagi orang yang meyakini Al-Quran. Karena
setiap kali kita merasa gundah atau sedih, Al-Quran selalu hadir sebagai penghibur hatinya.
Sebagaimana doa Rasulullah SAW, Ya Allah, jadikanlah Al-Quran ini sebagai penghibur
hati kami, cahaya hati kami, pengusir kesedihan kami. Setiap kali kita merasa sedih, Al-
Quran siap menentramkan hati kita. Ini adalah rahmat yang diberikan Allah SWT kepada
umat Islam, tidak kepada umat lainnya.
5. Kita meyakini Al-Quran ini sebagai pemberi syafaat.
Dalam Q.S Al Abasa, pada hari kiamat, semua manusia lari dari saudaranya, dari ibu
bapaknya, dari istri dan anak-anaknya, setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai
urusan yang cukup menyibukkannya.Kenapa mereka lari? Karena mereka takut diminta
amalnya dari saudaranya, padahal mereka selama di dunia saling berkasih sayang. Karena
mereka ingin menggunakan amal mereka sendiri untuk keselamatan dirinya sendiri. Pada
saat-saat genting seperti itu, Al-Quran akan datang untuk memberi syafaat kepada manusia.
Al-Quran berkata, Akulah yang kau baca selama kau di dunia. Dan Al-Quran berkata
kepada Allah, Aku telah mencegah orang ini dari tidur di malam hari, maka izinkan aku
memberi syafaat kepada orang ini. Allah berkata, Syafaatmu Aku terima. Al-Quran akan
meminta agar Allah menolong orang-orang yang dekat dengan Al-Quran. Hanya Al-Quran
yang memberikan ketentraman dalam hati.
Suatu hari, Ibnu Masud didatangi seorang sahabat yang mengatakan ia sedang gundah. Lalu
Ibnu Masud mengatakan agar ia berwudhu, shalat dan membaca Al-Quran. Setelah
melakukan semua itu, sahabat berkata bahwa segala kebodohan hatinya telah hilang dan ia
telah mendapatkan ketenangan hati.
Ketika kita mendapat berbagai permasalahan, semua kembali kepada Al-Quran. Al-Quran
adalah sebagai khazanah ilmu. Setiap permasalahan ekonomi, pemerintahan, dll, maka
jawabannya ada di Al-Quran. Allah berkata, bahwa barang siapa yang mencari penyelesaian
SELAIN di Al-Quran, maka ia tidak akan mendapatkannya. Barang siapa yang bertakwa
kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepadanya jalan keluar, memberinya rizki dari
jalan yang tidak disangka-sangka.

You might also like