You are on page 1of 7

Hak asasi manusia di kawasan ASEAN memang salah satu masalah krusial yang selalu hangat

untuk dibahas. ASEAN dulu dikenal konservatif terhadap permasalahan satu ini, sehingga cenderung
alergi untuk membahasnya dalam pertemuan akbar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Baru muncul
semilir angin segar pada KTT ke- 14 di Thailand bulan Oktober 2009 lalu yang membahas HAM secara
komprehensif hingga melahirkan Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk HAM (AICHR).

Kemudian tahun 2012 lahirlah Deklarasi HAM ASEAN (AHRD) saat KTT ASEAN ke-21 di Kamboja. Para
pemuda, melalui Pasal 10 AYAD, memuji pembentukan mekanisme regional hak asasi manusia di
ASEAN dengan kehadiran AICHR maupun Komite ASEAN untuk Pelaksanaan Deklarasi ASEAN tentang
Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Pekerja Migran (ACMW) yang lahir pada tahun 2008, serta
Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC) pada tahun 2010.

Namun demikian, dalam deklarasi itu juga pemuda kawasan ASEAN mempertanyakan fungsi badan-
badan HAM yang ada dalam melindungi hak-hak semua orang di ASEAN. Sebab, pelanggaran HAM
terus dibiarkan dan belum terselesaikan meskipun telah ada badanbadan HAM itu di kawasan
ASEAN. Kehadiran badan-badan HAM di ASEAN tak serta merta menghapuskan berbagai
problematika HAM di kawasan ini.

Laporan terakhir dari Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar yang disampaikan di Jenewa sangat kuat
mengindikasikan adanya genosida dan penyiksaan yang merupakan pelanggaran HAM berat di
Myanmar. Konflik bersenjata tak hanya terjadi di Myanmar. Apa yang terjadi di Papua, Indonesia,
meskipun kian hari skalanya kian kecil, tetapi tetap menyisakan ancaman dalam negeri.

Masih pula ada anggota ASEAN yang hingga kini belum memiliki pengadilan terhadap pelanggaran
ataupun kejahatan HAM, misalnya Kamboja. Sekalipun memiliki pengadilan HAM, seperti Indonesia,
belum ada pelaku kejahatan atau pelanggar HAM yang bisa dihukum. Masalah kejahatan berat
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) juga kerap terjadi di negara-negara Asia Tenggara
seperti Indonesia, Kamboja, maupun Filipina.

Peradilan hukum rupanya tak bersih dari ketersinggungan terhadap pelanggaran HAM. Seluruh
negara ASEAN kecuali Filipina, masih menerapkan hukuman mati yang dianggap usang bagi
perkembangkan hukum di era retroaktif kini. Pengadilan di luar mekanisme proses hukum masih
menyisakan luka atas HAM masyarakat Mindanau, Filipina. Terlebih, penyebab hal ini tak lain karena
adanya konflik politik lokal sehingga hukum seakan lumpuh.

Badan HAM ASEAN merupakan agenda yang sudah diwacanakan sejak terbentuknya
Kelompok Kerja Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN (Working Groups for an ASEAN
Human Rights Mechanism) pada tahun 1996; di mana kelompok kerja yang dimaksud adalah
kelompok kerja nasional di tiap-tiap negara anggota ASEAN (Triyana, 2012). Sayangnya,
tidak semua negara ASEAN menunjukkan keseriusan untuk benar-benar melaksanakan hal
ini karena tidak ada peraturan yang mengikat secara formal di dalam tingkatan regional. Di
samping itu, permasalahan juga muncul karena keberadaan prinsip nonintervensi yang
mempersulit upaya kerjasama dalam proses resolusi konflik, khususnya penegakan HAM, di
Asia Tenggara.
Dari perspektif hukum, yang paling dibutuhkan saat ini sebenarnya adalah legitimasi
bagi Badan HAM ASEAN yang bersifat integratif di dalam wilayah Asia Tenggara itu
sendiri; bukan kelompok-kelompok kerja yang bekerja sendiri-sendiri sehingga menimbulkan
inefisiensi dan ketidakpastian; sehingga dibutuhkan suatu dasar hukum yang dapat
mendefinisikan dan menetapkan legitimasi, otoritas, serta mekanisme kerja Badan HAM
ASEAN dalam melaksanakan peran dan fungsinya untuk melakukan advokasi serta
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia di Asia Tenggara.
Legitimasi terhadap Badan HAM ASEAN menjadi sangat mendesak karena catatan
penegakan HAM dan perlindungan terhadap kemanusiaan di ASEAN yang memprihatinkan;
terutama dengan munculnya kasus kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar yang
menimbulkan kecaman dari masyarakat internasional secara luas. Sayangnya, negara-negara
ASEAN gagal mengambil tindakan responsif yang signifikan karena dibatasi oleh keberadaan
prinsip nonintervensi yang membatasi keterlibatan negara lain dalam proses pencapaian
perdamaian. Urgensinya semakin tidak bisa ditawar ketika muncul kesangsian terhadap pola
kepemimpinan ASEAN yang kurang tegas; terutama di negara anggota yang masih belum
menjunjung tinggi penegakan hak asasi manusia dan perlindungan terhadap human security
sebagaimana yang diamanatkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui agenda human
development.

Padahal Uni Eropa telah memiliki Pengadilan HAM Eropa, Uni Afrika mempunyai
Komisi HAM, dan di Organisasi antarnegara Amerika (OAS) terdapat Komisi HAM
Inter-Amerika dan Pengadilan HAM, sehingga ada yang menyebut sudah saatnya
bagi ASEAN yang akan berusia 40 tahun beberapa hari mendatang mulai
memikirkan keperluan itu.

Dalam prinsip nonintervensi di ASEAN, satu negara anggota dilarang mencampuri
urusan dalam negeri dari negara anggota lain. Akan tetapi, prinsip nonintervensi tidak
mendefinisikan lebih lanjut mengenai restriksi terhadap aktor nonnegara sebagaimana yang
diperuntukkan kepada negara. Di sinilah kemudian peran ASEAN menjadi sangat signifikan
dalam menjaga stabilitas regional tanpa harus ada pelanggaran terhadap prinsip nonintervensi
yang menjadi salah satu nilai dan komitmen bersama ASEAN.
Melalui keberadaan Badan HAM ASEAN dengan mekanisme kewenangan (authority)
yang jelas, permasalahan kemanusiaan di ASEAN dapat dikelola tanpa harus
mengkhawatirkan terjadinya pelanggaran terhadap prinsip nonintervensi. Hal ini mungkin
tercapai apabila negara-negara ASEAN sendiri berani menginisiasi pembicaraan lebih lanjut
mengenai keberadaan Badan HAM di dalam struktur organisasi ASEAN.
Selama bertahun-tahun, permasalahan kemanusiaan sulit ditanganibaik oleh ASEAN
maupun organisasi internasional lainnyakarena setiap negara anggota ASEAN memiliki
pemahaman, standar-standar, dan metode yang berbeda dalam pengelolaaanya. Hal ini
terlihat dari bagaimana suatu konflik yang dikategorikan sebagai pelanggaran kemanusiaan
oleh satu negara bisa jadi dianggap bukan pelanggaran kemanusiaan oleh negara lainnya;
sehingga gagal mewujudkan kesepahaman di antara negara-negara anggota ASEAN. Oleh
karena itu, keberadaan Badan HAM ASEAN dengan mekanisme otoritas yang jelas dapat
menjadi solusi terbaik dalam pengelolaan masalah kemanusiaan di Asia Tenggara.
Pembentukan Badan HAM ASEAN sendiri sebenarnya telah diamanatkan melalui
Pasal 14 Piagam ASEAN sehingga memiliki dasar hukum yang jelas dalam struktur formal
ASEAN. Semakin hari, keberadaan Badan HAM ASEAN menjadi semakin mendesak karena
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mengandung makna perlindungan terhadap
eksistensi manusia (human existence); yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu kebebasan
(freedom), kesetaraan (equality), serta jaminan dan perlindungan hukum terhadap integritas
manusia (legal protection towards human integrity).
Dari perspektif legal, Badan HAM ASEAN sangat dipengaruhi oleh pola positif dan
pola negatif yang muncul di dalam interaksi masyarakat ASEAN itu sendiri. Apabila pola
positif secara garis besar mengedepankan adanya peningkatan budaya hukum (legal culture),
struktur hukum (legal structure), dan substansi hukum (legal substance) dalam konteks
perlindungan kemanusiaan, maka pola negatif mengedepankan trisula tujuan hukum
perlindungan kemanusiaan, yaitu kepastian hukum (legal rationale), kemanfaatan hukum
(legal usage), dan keadilan hukum (legal justice) (Triyana 2012, h. 431433).
Fakta membuktikan penegakan HAM kian menurunkan skala keurgenitasan bagi aktor
pelaksana negara atau pemerintahan. Pemarginalan akan Hak Asasi Manusia pada hak sosial,
ekonomi, budaya (ekososbud), dan hak sosial-politik (sipol) semakin meningkat setiap
tahunnya. Diperparah lagi dengan meningkatnya pembunuhan. Penghilangan paksa, represi,
pemarginalan orientasi seksual, perampasan tanah, hak berkumpul dan berasosiasi,
penebangan dan perusakan lingkungan melalui perusahan dan lain-lain.
Hal ini disebabkan hampir sebagian besar kalangan penyelenggaran/pelaksana negara kurang
peduli terhadap penegakan HAM secara holistik. Mirisnya kondisi penegakan HAM
cenderung dibekukan oleh perjalanan waktu. Bahasa lainnya dipeti eskan oleh aktor
penguasa. Bahkan mereka dimandatkan memenuhi dan penegakan HAM tetapi malahan asik
terjebak dalam kepentingan politik dan ekonomi. Di sinilah semakin melemahkan esensi Hak
Asasi Manusia bagi korban pelanggaran HAM terkait meminta keadilan kepada negara
seperti dalam hal pemulihan dan reparasi.
Melihat realitas demikian menyebabkan negara anggota ASEAN menginisiatif pembuatan
Komisi HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, AICHR).
Negara di Asia Tenggara, jika bersatu, tidak diragukan lagi akan membentuk kerangka
hukum normatif yang dapat memajukan upaya penyelesaian dan pencegahan pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Tujuan utamanya untuk penegakan HAM bagi keadilan korban.
Walaupun dilema ini sungguh berat mengingat hampir semua negara anggota ASEAN
memiliki persoalan HAM. Sebut saja Myanmar dengan rezim militernya yang otoriter dan
penindasan etnis minoritasnya (Rohingya dan lain-laiin). Thailand dengan kekerasan dan
konflik di Thailand Selatan (Patani Darussalam) dan sengketa perbatasan dengan Kamboja,
Malaysia dengan masalah diskriminasi rasial dan pemberlakuan internal security act-nya,
Kamboja dengan berlarut-larutnya peradilan terhadap mantan petinggi Khmer Merah,
Philippina dengan berlarutnya konflik dan macetnya perdamaian di Moro-Mindanao.
Indonesia yang memiliki masalah dengan kemiskinan, pengangguran, serta pemenuhan hak-
hak ekonomi, kesehatan dan pendidikan warganya.
Proses pembentukan Komisi HAM ASEAN dimulai pada tanggal 20 November 2007.
Indonesia meratifikasi ASEAN Charter melalui UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan
Charter of the Association of Southeast Asian Nations. Ini tidak terlepas sejak kontribusi
besar dari 40 tahun lalu sejak ditandatanginya Deklarasi Bangkok atau ASEAN Declaration
tahun 1967, 10 kepala negara/pemerintahan yang bergabung dalam Association of South East
Asia Nations (ASEAN) menandatangani Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Keberhasilan
negara tergabung di komunitas ASEAN.
Penandatanganan Piagam ASEAN mengubah ASEAN dari suatu asosiasi longgar menjadi
rule-based on organisation dan mempunyai legal personality. Piagam ASEAN disandarkan
pada dasar pemikiran, antara lain : adanya kepentingan bersama antar-rakyat dan negara-
negara anggota ASEAN dalam kesatuan visi, identitas dan komunitas (One Vision, One
Identity, One Community). Keinginan bersama dalam sebuah komunitas ASEAN tersebut
tetap menghormati prinsip-prinsip kedaulatan dan kesetaraan negara-negara anggota ASEAN
serta mematuhi prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
Salah satu tujuan ASEAN adalah memperkuat demokrasi dan memajukan serta melindungi
hak asasi manusia. Promosi dan perlindungan HAM merupakan bagian dari pembangunan
komunitas politik-keamanan (Political-Security Community). Pada tanggal 23 Oktober
2009 KTT ASEAN 15 di Thailand, para pemimpin ASEAN menyetujui the 'Cha-am
Hua Hin Declaration on the I nauguration of the AI CHR' (Cha-am Hua Hin Deklarasi
tentang Peresmian AICHR). Dalam deklarasi ini, negara-negara anggota ASEAN
berkomitmen untuk lebih mengembangkan kerjasama untuk mempromosikan dan
melindungi hak asasi manusia di wilayah ini.
Meski keberadaan Badan HAM ASEAN sangat penting, tetapi dalam pembahasannya
mengalami perdebatan dan proses panjang. Indonesia sebagai negara penggagas mendapat
tantangan keras dari sembilan negara anggota ASEAN lainnya. Perlindungan HAM dan
demokratisasi di negara-negara ASEAN bertolak belakang dengan realita di beberapa negara
ASEAN yang masih bersifat militeristik.
Pada tanggal 23 Oktober 2009 juga dibentuk ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Right (AICHR) atau Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk HAM. Bekerjanya
AICHR didasarkan pada Term of Reference (TOR) of AICRH. Meski tujuan dari AICHR
adalah untuk To promote and protect human rights and fundamental freedoms of the peoples
tetapi kewenangan dari AICH itu sendiri terbatas pada promosi belum mencakup aspek
proteksi. Hal demikian menjadikan Badan HAM ASEAN menjalankan mekanisme di bawah
standar mekanisme HAM. Pada sisi lain, AICHR sebagai bagian dari ASEAN mengunakan
pendekatan konsensus yang menjadi ciri ASEAN.
Pada sisi lain, dari TOR diatur bahwa AICHR beranggotakan negara-negara ASEAN dan
selanjutnya diatur bahwa Tiap negara anggota ASEAN harus mengangkat seorang wakil
untuk AICHR yang akuntabel pada pemerintah yang mengangkatnya. Menurut Solidarity
for ASIAN Peoples Advocacy (SAPA) Task Force on ASEAN and Human Rights (TFAHR),
ketentuan dalam dua ayat di atas menjelaskan bahwa pertanggungjawaban dari anggota
komisioner hanya kepada pemerintah yang menunjuknya dan tidak serta merta bertanggung
jawab kepada lembaga ASEAN, terlebih lagi terhadap rakyat di seluruh negara anggota
ASEAN.
Landasan Utama Dibentuk Komisi HAM ASEAN
Jika mengacu pada Term of Reference (ToR) ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Rights (AICHR) tujuan dibentuk Komisi HAM ASEAN, pertama; untuk
mempromosikan dan melindungi HAM dan kebebasan kebebasan dasar dari warga anggota
ASEAN. Kedua; untuk menjaga hak bangsa-bangsa ASEAN agar dapat hidup dalam damai,
bermartabat dan sejahtera (Dikutip dari: http://aichr.org, 2013).
Ketiga; mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam yakni
menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dan
kerja sama antara anggota ASEAN. Keempat mempromosikan HAM dalam konteks regional
dengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama
masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, melindungi HAM.
Kelima; meningkatkan kerja sama regional untuk membantu upaya-upayaa nasional dan
internasional dalam pemajuan dan perlindungan HAM, dan keenam; untuk menjunjung
prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Universal Declaration of Human
Rights, Vienna Declaration serta program pelaksanaannya, dan instrument HAM lainnya,
dimana anggota ASEAN menjadi pihak.
Berbanding terbaik dengan pendapat Lilies Pratiwining Setyarini terkait alasan utama
pembentukan Komisis HAM ASEAN karena pertama, faktor imej penegakan HAM di
ASEAN yang lemah sehingga mendorong ASEAN untuk mengubah imej tersebut menjadi
imej ASEAN yang peduli terhadap persoalan dan penegakan HAM. Faktor kedua, bahwa
imej tersebut berdampak pada terhambatnya interaksi kerjasama ASEAN dengan Uni Eropa
dan AS sehingga mendorong ASEAN untuk menyesuaikan penegakan HAM berdasarkan
perspektif Uni Eropa dan AS (alumni.unair.ac.id, 2013).
Selain itu faktor imej ASEAN sebagai organisasi yang tidak peduli terhadap persoalan
perlindungan dan penegakan HAM menjadi alasan utama mengapa Badan HAM ASEAN itu
perlu di bentuk. Hal ini berkaitan dengan faktor yang kedua, bahwa akibat dari buruknya
image ASEAN dalam persoalan HAM mempengaruhi kerjasama di beberapa bidang antara
ASEAN dengan Uni Eropa, maupun dengan Amerika Serikat.
Sedangkan pemikiran dari Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad
mengatakan pembentukan Komisi HAM ASEAN sangat dipengaruhi akan pelanggaran HAM
atas muslim Rohingya dan muslim di Mindanao. Atas kondisi itulah Indonesia berinisiatif
menyelesaikan masalah tersebut melalui pembentukan Komisi HAM ASEAN. Tetapi
hasilnya tidak begitu menyenangkan, dikarenakan Komisi HAM ASEAN lemah secara
mandat (Wawancara : 23/09/2013, Pukul 16.30, Warkop 3 in 1). Penjelasan akan kelemahan
akan dijabarkan pada bagian tersendiri di tulisan ini.
Pada prinsipnya pembentukan Badan HAM ASEAN merupakan pelaksanaan perintah dari
Piagam ASEAN yang diratifikasi pada tanggal 15 Desember 2008, dimana pasal 14 dari
piagam tersebut memerintahkan kepada ASEAN, dalam hal ini Forum Menteri Luar Negeri
ASEAN, untuk membentuk sebuah Komisi HAM ASEAN. ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Right (AICHR) adalah bagian dari pelaksanaan Piagam ASEAN
tersebut (Karnain Lukman, 2013).
Bagi pribadi saya landasan utama terbentuknya Komisi HAM ASEAN haruslah diletakan
memberikan jaminan dan pelaksanaan HAM yang wajib dipenuhi oleh negara tergabung di
Komisi HAM ASEAN. Posisi komisi harus mampu mengintervensi ke negara tergabung di
dalamnya agar merealisasikan hak-hak warga/masyarakat dijalankan dengan sepenuhnya oleh
negaranya sendiri.
Selain itu nilai dan prinsip keberpihakan akan HAM harus dijadikan landasan utama
terbentuknya komisi. Keberadaan dari Komisi HAM ASEAN harus mampu menjadi
mediator/fasilitator dalam memperjuangkan Hak Asasi manusia di negara tergabung pada
Komisi HAM ASEAN. Sehingga jelas manfaat keberadaan Komisi HAM ASEAN bagi
seluruh masyarakat/warga di negara yang tergabung di Komisi HAM ASEAN.
Tantangan dan Hambatan Implementasi Komisi HAM ASEAN
Disamping pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara yang menggambarkan variasi pemulihan
akibat krisis ekonomi global, persoalan penegakan HAM yang krusial di masing-masing
negara anggota ASEAN turut menjadi perhatian masyarakat internasional. Sejalan dengan
proses pematangan komisi HAM ASEAN, sejumlah kritik dan kontradiksi pun bermunculan.
Namun, paling tidak AICHR memiliki fungsi strategis karena masyarakat ASEAN memiliki
perangkat tambahan untuk menjamin pemenuhan HAM mereka. Dengan kata lain,
keberadaan AICHR hanya sebatas pelengkap (complement), bukan pengganti (substitute) dari
mekanisme penegakan HAM nasional di masing-masing negara anggota ASEAN
(http://www.hukumonline.com, 2013).
Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh sebagian besar negara ASEAN adalah
pelaksanaan kesepakatan ataupun persetujuan yang telah dicapai. Kurangnya tindak lanjut
serta implementasai nyata dari kesepakatan yang telah dicapai menyebabkan kurang
maksimalnya hasil yang dicapai dalam kerjasama antar negara-anggota ASEAN selama ini.
Khusus untuk pelaksanaan kerjasama Komisi HAM ASEAN, semua bentuk pesetujuan yang
dicapai semestinya dapat dimaksimalkan pelaksanaannya. Dalam kaitan itu, perlu diberikan
prioritas dan momentum yang tepat dari masing-masing pemerintah negara ASEAN untuk
mensosialisasikan dan mempromosikan nilai penting dari isu penegakan HAM di kawasan
Asia Tenggara sesuai dengan kerangka kerjasama ASEAN di bidang HAM. Meskipun
demikian, belum masuknya aspek pemantauan dalam cakupan kerja AICHR menggambarkan
belum sempurnanya cakupan kerja Komisi HAM ASEAN ini. Hal ini yang kemudian
menjadi tantangan bagi AICHR untuk mengembangkan cakupan kerja AICHR sehingga
aspek pemantauan nantinya bisa menjadi bagian integral dalam cakupan kerja AICHR.
Dalam pandangan sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) pejuang HAM, keberadaan
AICHR bisa menjadi otokritik internal terhadap sejumlah persoalan seperti kekerasan,
pengekangan hak-hak sipil-politik, impunitas, tidak terpenuhinya hak-hak dasar
ekonomi/sosial/budaya, dan masalah migrasi dan buruh migran di kawasan Asia Tenggara.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kontras bahwa AICHR lebih produktif sebagai mekanisme
koreksi internal di kawasan ASEAN bila para pemimpinnya membuka diri terhadap
keterlibatan aktif masyarakat sipil, termasuk komunitas korban. Semestinya hal ini bisa
berjalan dengan baik mengingat orietasi ASEAN yang telah beralih pada masyarakat (people-
oriented). AICHR dipandang sebagai komisi yang masih berkembang, dalam arti bahwa
mandat AICHR diharapkan akan diperluas pada masa mendatang hingga bisa menjadi
instrumen bagi korban khususnya untuk mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
mereka (http://www.politikindonesia.com, 25 Agustus 2013).
Membandingkan dengan kajian Setara Institute tentang Komisi HAM ASEAN, dimana
proses dan hasil pembentukan Deklarasi ini, sesungguhnya menggambarkan bahwa ASEAN
bukanlah arena dan sarana pemajuan HAM melainkan instrumen yang memproteksi
keberlakuan dan justisiabilitas HAM di negara-negara ASEAN. Dalam Deklarasi tersebut
dinyatakan bahwa hak-hak asasi akan dipertimbangkan dalam "konteks regional dan
nasional". Artinya, penghormatan, promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM sangat
bergantung pada pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh ASEAN secara kolektif dan
oleh negara-negara anggota ASEAN secara sendiri-sendiri. Dengan demikian, bukannya
pemajuan HAM dengan standar universal yang diperoleh dari deklarasi ini, tetapi justru
pembatasan kolektif atas nama prinsip non interference (tidak mencampuri urusan nasional
dalam negeri masing-masing). Semestinya, ASEAN belajar dari pengalaman kegagalan
perlindungan HAM di beberapa negara anggota ASEAN. Myanmar adalah contoh yang
paling sering mengalami krisis politik dalam negeri. Namun atas nama prinsip non-
interference, intervensi kemanusiaan bahkan sulit dilakukan (http://www.setara-institute.org,
23/08/2013).
Kelemahan Komisi HAM ASEAN Paska Terbentuk
Berbicara tentang kelemahan yang dimiliki oleh Komisi HAM ASEAN (Fokus group diskusi,
23/08/2013), hasil diskusi dengan berbagai narasumber ditemukan beberapa hal. Dimana
tidak diberikan mandat melakukan monitoring dan tidak diberikan sanksi tegas kepada negara
tergabung di dalam ASEAN ketika melakukan pelanggaran HAM. Selain daripada itu,
mekanisme partisipasi dari negara ASEAN secara kongkrit tidak dijelaskan di dalam
mandatnya. Belum lagi tidak diberikan ruang menyelesaikan pelanggaran HAM dalam
mekanisme internasional melalui Komisi HAM ASEAN. Ini justru semakin menjauhkan
harapan adanya mekanisme pertanggungjawaban negara tergabung di Komisi HAM ASEAN
dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM. Kelemahan lainnya, Komisi HAM ASEAN
tidak dimandatkan mengeluarkan resolusi guna menyelesaikan pelanggaran HAM.

You might also like